18.2.11

DI SEBERANG LAUT JAWA

S
udah hampir dua jam mobil tua itu parkir di depan sebuah rumah bercat krim di pinggir jalan tidak jauh dari Batang Kuwis, sebuah kawasan yang banyak dihuni masyarakat Jawa. Sudah amat lama pemilik mobil tua yang biasa disapa Mas Ario ,meremas-remas jari tangan Marni yang lentik. Sudah lama Marni menyandarkan kepalanya di dada lelaki itu
, merasakan dengus nafasnya. Marni juga merasakan detak-detak jantung lelaki itu, merasakan desir-desir darahnya . juga merasakan denyut cinta Mas Ario.
“Mas Rio,” bisik Marni lirih dan kepalanya tetap bersandar di dada lelaki itu.
“Hmmmm,” lelaki pemilik mobil tua itu hanya bergumam lirih.
“Aku lebih senang memanggilmu Mas Rio.”
“Aku juga senang mendengarnya.”
“Nama itu keren!,”
“Ayah dan ibuku serta semua keluargaku tidak pernah memanggilku begitu.”
“Biarlah cuma aku yang memanggilmu begitu. Biar tidak terlalu tampak, bahwa Mas Rio adalah orang Jawa. Biar orang tidak terkesan, bahwa Mas Rio bukanlah keturunan kuli kontrak yang dibawa Belanda dari Pulau Jawa.”
“Kenapa harus malu mengakui keturunan Jawa kontrak?.”
“Rasanya tidak memiliki martabat”
“Lemparkan jauh-jauh anggapan seperti itu. Buang ke tengah sungai yang airnya deras biar kesan buruk seperti itu hanyut dibawa arus ke tengah laut.”
“Di mata orang banyak selalu ada fenomena yang kurang enak di dengar ,bahwa orang-orang suku Jawa selalu indentik dengan kuli kontrak yang dibawa dengan kapal laut dari Pulau Jawa seperti mengangkut sapi.”
“Biarkan mereka berkata sesuka hatinya. Justru aku bangga berasal dari keturunan Jawa Kontrak, sebab pada umumnya orang Jawa sangat kreatif, tidak terlalu mengharapkan uluran tangan orang lain meski pun dalam kesulitan dan kesukaran. Orang Jawa memiliki budaya dan kultur yang khas. Di mana pun orang Jawa menjejakkan kakinya pasti mudah beradaptasi dengan orang lain. Ingat saja, hampir pada setiap jengkal tanah di nusantara ini , pasti ada orang Jawa. Putera-puteri keturunan kuli kontrak justru lebih tekun belajar,lebih tekun menciptakan lapangan kerja, lebih rajin mengais rezeki. Seperti halnya kau sendiri , siang dan malam menghadapi mesin jahit.”
Ario yang memiliki nama lengkap Ario Harsono itu memang tidak merasa rendah diri atau malu dilahirkan dari rahim seorang ibu berdarah Jawa, bahkan kakek dan neneknya adalah orang-orang yang dibawa dari Jawa Tengah untuk dipekerjakan sebagai kuli di perkebunan. Dalam kehidupannya sehari-hari Ario juga masih kental berpegang pada kebiasaan orang Jawa, berkomunikasi juga dalam bahasa Jawa. Sebagai orang yang dilahirkan dari rahim seorang ibu berdarah Jawa, Ario Harsono tahu persis kapan waktunya harus mengggunakan bahasa Jawa ngoko dan kapan pula harus menggunakan bahasa kromo. Terhadap eyang , bude, atau orang-orang yang status sosialnya lebih tinggi, Ario harus menggunakan bahasa kromo.
Kultur musyawarah mufakat dalam kehidupan orang Jawa tidak mudah luntur di mana pun ia berada dan dalam setiap langkah kehidupannya nilai-nilai tepo seliro, gotong royong , hamemayu hayuning bawana, ing ngarso sung tuladha,ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Sepi ing pamrih rame ing gawe selalu melekat dalam dirinya.
Bahkan ketika masih bocah dulu, bila sudah berkumpul sesama kanak-kanak berdarah Jawa mereka bermain , nyanyi dan menari khas Jawa. Sampai sekarang Ario masih ingat tari dan nyanyi “cublak-cublak suweng” .
Lihatlah, di desa itu masih ada grup kesenian yang selalu memainkan angguk, sebuah kreasi tari perang-perangan yang biasanya diperankan para perempuan dan juga kesenian jathilan. . Ario dan Marni juga senang nonton pertunjukan itu. . Suasana Jawa amat terasa di kelurahan tempat tinggal Marni.
Awalnya, dulu desa itu adalah pinggiran perkebunan tembakau yang sudah ditinggalkan Belanda karena hak guna usahanya sudah berakhir dan dibiarkan menjadi semak belukar sehingga ular, babi dan binatang-binatang lainnya banyak di sana. Bila malam kunang-kunang menerangi semak belukar itu.. Lalu para kuli kontrak yang sudah habis masa kontraknya dan tidak ingin kembali ke Jawa menjadikan semak belukar itu tempat hunian. Karena yang menggarap lahan bekas perkebunan tembakau itu adalah orang-orang Jawa , maka desa itu diberi nama Harjowinangun dan setiap gang-gang yang ada di desa itu diberi nama dari tokoh-tokoh pewayangan, seperti Gang Hanoman, Gang Srikandi, Gang Arjuna, Gang Abimanyu dan Gang Semar. Gang Pandawa juga ada di sana.
Pada awalnya rumah yang dibangun amat sederhana, kerangkanya dari glugu, dindingnya dari gedeg , atapnya dari blarak dan berlantai tanah. . Tetapi sekarang rumah-rumah itu sudah berubah menjadi permanen, berdinding beton, lantai keramik dan beratap genteng warna. Jumlah rumah juga sudah ratusan banyaknya. Bahkan masjid pun sudah berdiri kokoh di tengah-tengah desa dan menaranya setinggi 12 meter. Pada setiap waktu sholat tiba suara azan yang dilantunkan Mas Broto terdengar sampai ke desa seberang.
Lelaki pemilik mobil tua yang sudah keropos itu masih meremas-remas jari tangan Marni lagi, dan tetap saja Marni bersandar di dada lelaki itu, tetap Marni merasakan detak-detak jantungnya, tetap saja merasakan desir-desir darah lelaki itu
“Saat seperti ini kurasakan denyut-denyut nafasmu,” bisik Marni.
“Juga denyut cintaku,bukan?”
“Ya!”
Tiba-tiba saja Marni bangkit. Tiba-tiba saja Marni menarikkan tangannya yang digenggam lelaki itu erat sekali. Sesaat ia menatap wajah Mas Ario amat dalam.
“Aku ingin bicara denganmu,Mas Rio”
“Hmmmm,” Lelaki itu bergumam lagi
“Aku ingin bicara serius,Mas Rio!.”
“Tentang apa?,’ Ario menatap wajah Marni yang bundar telur dan dagunya runcing serta bulu matanya lentik.
“Penting sekali. Sudah lama aku ingin bicara dengan Mas Rio. Sudah lama aku ingin mengungkap apa yang ada dalam rongga dadaku..”
“Katakanlah, aku akan mendengarnya setiap kata yang lahir dari celah bibirmu.”
“Kita sudah sering pergi bersama. Kita sudah sering makan bersama, kita sudah sering menikmati kemesraan seperti ini. Desir darahmu, detak jantungmu, denyut nafasmu sudah sering kurasakan.”
“Tapi kita tidak pernah berbuat terlanjur,bukan?. Kita tidak pernah melanggar batas susila,bukan?”
“Ya!. Andainya kita sudah berbuat terlanjur, pasti aku akan selalu menangis, aku akan selalu bersedih dan kehilangan masa depan.”
“Aku tetap menjunjung tinggi nilai kesucian dirimu,”
“Terima kasih,Mas Rio.. Tapi ada satu hal yang sangat kuharap dari Mas Rio.”
“Berharap apa?,” lelaki pemilik mobil tua yang sudah keropos dan keempat bannya sudah gundul itu masih menatap wajah Marni dan rambut gadis itu tampak acak-acakan karena Ario selalu mengusapnya dengan kasih sayang.
“Aku berharap Mas Ario segera meminangku. Sebaiknya kita segera menikah.”
“Aku sudah menduga, suatu saat aku akan mendengar kata-kata itu darimu.”
“Kita sudah sangat akrab,Mas Rio. Tidak ada bagian tubuhku yang belum disentuh oleh Mas Rio. Apalagi yang diharapkan dari seorang gadis kalau setiap tubuhnya sudah disentuh oleh seorang lelaki selain sebuah perkawinan?.”.
Sesaat lelaki itu merenung, menekuri lantai dan seekor semut kecil sedang merayap dekat kakinya seperti terpisah dari kelompoknya dan semut-semut lainnya dibawah meja sedang mengusung bangkai belalang. Semut-semut kecil adalah mahluk yang paling setia, mahluk kecil yang memiliki persahabatan dan persaudaraan yang amat kental. Juga dalam hal membagi rezeki mereka tidak pernah curang. Semut-semut kecil adalah mahluk yang paling jujur.
“Kapan lagi orang tua Mas Rio datang kemari?” Marni menatap wajah lelaki di depannya.
Dan lelaki itu masih menekuri lantai.
“Kapan orang tua Mas Rio memberiku peningset sebagai ikatan kemudian kita menikah?’
“Berilah aku waktu,Marni,” suara lelaki itu l lirih.
“Sampai kapan?.”
“Sampai aku dapat mengganti mobil yang lebih bagus. Rasanya mobil itu sudah tidak layak lagi. Aku sendiri merasa malu mengajakmu jalan-jalan dengan mobil itu. . Yang pantas naik mobil itu adalah Monang!”. Lelaki itu menyebut nama seorang sahabatnya kelahiran Tapanuli Utara yang memiliki usaha tambal ban yang terletak di pinggir jalan raya tidak jauh dari terminal bis. Meski pun lelaki suku Batak itu hanya sebagai penempel ban, tapi hidupnya layak. Dari hasil membuka usaha tempel ban di pinggir jalan itu, dia mampu membeli rumah. Penghasilannya dari menempel ban jauh lebih lumayan ketimbang guru es-em-a yang menyandang gelar sarjana pendidikan sementara Monang hanya sempat menikmati pendidikan sekolah dasar. Dan setiap orang Batak pasti ulet dalam mencari nafkah. Setiap orang yang berasal dari Tapanuli Utara pasti paling ulet mengais rezeki. . Setiap hari lelaki Batak itu hadir di pinggir jalan itu dengan pakaian lusuh, kumal dan jorok, tapi jangan ditanya soal duit, pasti koceknya selalu penuh. Tiap hari ada saja mobil yang berhenti di depan kiosnya karena bannya bocor. Tidak hanya mobil tua seperti yang dimiliki Mas Ario, tapi mobil-mobil mewah yang harganya ratusan juta juga selalu tampak parkir di sana.
Usaha lelaki keturunan Batak itu tidak hanya hanya dari tambal ban yang diberi nama “SAROHA”,., tapi juga jual beli ban bekas berbagai merk dan ukuran. Jual beli ban bekas itu justru untungnya jauh lebih lumayan, sebab ban bekas itu dibeli dengan harga murah, laku dijual dengan harga tinggi. Tidak hanya itu, Monang juga menampung mobil yang akan dijual, apa lagi mobil-mobil tua, seperti halnya mobil tua yang dimiliki oleh Mas Ario juga dibeli dari lelaki berdarah Batak itu..
Dan sekarang Mas Ario sudah bosan dengan mobil tua itu. Bodinya sudah keropos, bannya gundul, bila malam lampu yang berfungsi hanya satu, kaca belakang dibiarkan pecah karena ketika mengajak makan Marni di restoran mobil itu menubruk tembok. Bahkan tidak jarang mobil itu mogok di tengah jalan, padahal Marni ada di jok depan dan matahari sedang panas terik membakar bumi ketika ia harus ikut mendorong mobil tua itu yang lebih sering masuk bengkel daripada jalan. Apalagi harganya lebih mahal sebuah sepeda motor daripada mobil tua itu. Yang penting dalam mobil tua itu Ario dan Marni tidak kehujanan dan tidak kepanasan. Tapi hanya itulah kemampuan Ario, hanya mampu memiliki sebuah mobil rongsokan karena di kantornya Ario hanya pegawai golongan II. Untuk membeli mobil itu Ario terpaksa menjual sapi milik ayahnya.
Ario merasa malu kepada kawan-kawannya yang memiliki kenderaan lebih bagus dan mulus., yang tidak pernah mogok di tengah jalan, yang bannya tidak pernah gembos. Ario sudah menabung uang untuk tambahan ganti mobil, setidak-tidaknya seperti mobil yang dimiliki Mas Gunawan yang bekerja di Kantor Gubernur dan kini sudah memiliki jabatan penting. Mas Gunawan yang tubuhnya jangkung itu juga keturunan kuli kontrak dan kakeknya yang lahir di Boyolali itu diboyong Belanda di tahun l930 untuk membuka kebun kelapa sawit di Dolok Sinumbah di Kabupaten Simalungun. Siapa menduga, bahwa seorang lelaki yang berasal dari keluarga Jawa kontrak ternyata memiliki karir yang mapan di kantor gubernur?.
Masih banyak lagi orang-orang yang berasal dari keluarga Jawa kontrak sekarang memiliki pendidikan tinggi dan menduduki jabatan yang lumayan. Siapa menduga, bahwa seorang hakim di pengadilan negeri yang sudah banyak mengadili koruptor dan pencoleng harta negara itu kakeknya berasal dari Kebumen yang diangkut dengan kapal oleh Belanda untuk membuka kebun karet dekat Pematang Siantar?.
Pak Camat yang ada di Kabupaten Deli Serdang tidak hanya orang Melayu, tidak hanya orang Batak atau orang Minang, tapi yang berasal dari keluarga kuli kontrak juga ada. Yang jadi anggota CPM juga banyak. Bahkan keturunan kuli-kuli kontrak yang jadi tentara dan ditugaskan membasmi GAM di Serambi Makkah selalu mendapat pujian karena menjalankan tugas dengan baik. Yang jadi pemain sepak bola terkenal dan selalu ikut dalam berbagai liga kejuaraan juga ada.
Ario sendiri kalau sakit berobat ke Dr.Raharjo, padahal kakek dokter itu di tahun 1920 pernah mendapat penyiksaan dari asisten kebun Bah Jambi karena menghilangkan sebuah alat kerja, sebuah cangkul. Kakek dokter itu harus menjalani hukuman dijemur sepanjang hari di depan kantor administratur dan ditonton orang banyak.
Jangan anggap remeh terhadap keturunan kuli-kuli kontrak yang berasal dari Jawa. Anak cucu mereka banyak yang kini hidup terhormat, mandiri, layak dan mapan, bahkan jauh lebih lumayan dari kehidupan para bangsawan yang namanya tinggal di istana, tapi tidak lain hanya berupa bangunan tua yang sudah keropos . Istana yang tinggal puing juga ada, bahkan yang sudah rata dengan tanah juga ada.
Yang diwariskan orang-orang kontrak itu bukanlah sebuah istana, bukan titel kebangsawanan, tapi pendidikan dan kiat-kiat untuk mencari nafkah. Yang diwariskan orang-orang asal Pulau Jawa itu adalah semangat untuk belajar, pantang menyerah kepada nasib dan ajaran untuk tidak bermalas-malas, serta tidak mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Siapa menduga, bahwa Pak Jono yang berdomisili di kawasan Setia Budi itu dan pemilik usaha garmen yang diekspor ke mancanegara juga berasal dari keluarga orang Jawa yang dulu diangkut Belanda untuk membuka hutan di Tanah Deli?.
“Mas Rio!,” terdengar lagi suara Marni dan rebah di dada lelaki itu.
Lelaki itu tidak menyahut, hanya tangannya yang mengusap pundak Marni.
“Kadang-kadang aku sudah membayangkan pada saat kita menikah nanti,tamu-tamu sangat banyak. Semua famili dan kawan-kawanku akan hadir..”
“Yang pasti hiburannya tidak hanya kibod.”
“Lalu apa lagi?”
“Kita adalah orang Jawa,Marni. Meski pun kita berada jauh di Sumatera dan sudah berbaur dengan masyarakat Deli, tapi adat dan budaya Jawa jangan sampai ditinggalkan.”
“Harus ada nasi tumpeng dan jajan pasar?”
“Ya.”
“Lalu tidak perlu marhaban?. Tidak perlu tepung tawar?”
“Tepung tawar dan Marhaban boleh-boleh saja, tapi wayang juga harus ada, biar warna dan aroma Jawa terlihat pada perkawinan kita nanti.”
“Oh,Mas Rio. Aku merasa sangat bahagia sekali nanti. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi menanti hari bahagia itu.”
Sudah selalu terbayang di pelupuk mata Marni pada saat perkawinannya berlangsung. Dimulai dengan peminangan atau nakokake yang diiringi dengan acara peningsetan lalu diikuti dengan penyerahan seperangkat pakaian perempuan atau sakpengandek lengkap dengan cincin sebagai tanda ikatan, tandanya sang perawan sudah siap untuk dinikahi atau wis dipancangake. Marni dan Mas Rio menyadari, bahwa mereka sebagai orang Jawa yang masih memegang jati dirinya sebagai orang Jawa, sesaat setelah peningsetan, dilakukan perhitungan weton atau perhitungan tanggal kelahiran kedua calon pengantin. Marni juga sudah membayangkan sebelum pernikahan, dirumahnya akan diadakan malam tirakatan atau malam midodareni. Masih banyak orang Jawa yang percaya, bahwa pada malam midodareni, bahwa pada malam itu dari langit akan turun para bidadari untuk memberikan doa restu.
“Bersabarlah!”
“Sampai kapan aku harus menunggu datangnya hari bahagia itu?. Seminggu?. Sebulankah?”
“Pokoknya aku harus mengganti mobil dulu, lalu setelah itu orang tuaku akan datang meminangmu dan kita segera menikah.”
“Oh,Mas Rio, rasanya aku ingin memutar jarum jam biar waktu cepat berlalu kemudian kita hidup sebagai suami isteri.”
Marni masih rebah di dada Ario yang kekar dan tegar, seperti dada seorang atlit. Di dada lelaki itu, Marni selalu rebah, selalu tenggelam dalam dekapan Ario , tak perduli tubuhnya seakan remuk. Di dada yang tegar itu Marni selalu merasakan desah-desah nafas lelaki itu. Di dada lelaki itu Marni selalu merasakan denyut jantung lelaki itu. Juga mendengar janji-janji yang amat manis tentang hari esok yang amat indah
“Tiap orang Jawa pasti mencintai budayanya, harus mencintai kesenian daerahnya. Karena itu, kesenian wayang harus tampil sepanjang malam kalau kita menikah nanti. Jangan sampai kesenian itu masuk liang kubur karena masyarakat Jawa lupa pada jati dirinya.”
“Aku setuju saja. Biar saja kita gabungkan budaya Jawa dan Melayu Deli. Biar suasananya jadi meriah.”
“Aku akan memilih dalang yang paling ngetop nanti!,” cetus Ario masih membelai pundak Marni.
“Apakah dalang itu harus diimpor dari Jawa Tengah?”
“Apa salahnya kalau memang kita punya biaya?. Dalangnya datang dari Solo atau Yogya, pesinden juga dari sana. Biar meriah.” Mas Ario berkata demikian karena ia pun tahu, tidak sembarang orang dapat menjadi dalang. Sejak dulu, dalang dipandang dapat menjadi penghubung antara manusia dengan jagad besar atau antara komunitas dan dunia spiritual. Di Pulau Jawa, dalang mendapat tempat yang terhormat di tengah-tangah masyarakat.
Sudah terbayang di pelupuk mata Marni suasana perkawinannya yang meriah nanti, ada marhaban, ada tepung tawar, ada acara memijak telur, dan tidak ketinggalan hiburan wayang kulit semalam suntuk. Adat Jawa dan Melayu dikemas menjadi satu
“Sebaiknya kita minta Ki Dalang memainkan lakon Parto Kromo!,” terdengar suara lelaki itu ketika tangannya membelai rambut Marni.
“Apa maknanya Parto Kromo,”
“Kisah tentang perkawinan Arjuna, tokoh pewayangan yang paling gagah dan banyak dikejar para gadis-gadis cantik,”
“Tapi Mas Rio juga gagah, tidak kalah dari Sang Arjuna”
Lelaki itu hanya tersenyum. Sebagai seorang putera yang berdarah Jawa, Ario tetap ingat penuturan kakeknya yang diboyong Belanda dari kampung halamannya di Purwerejo untuk dijadikan kuli kontrak di Sumatera. Dan sang kakek selalu bercerita tentang lakon-lakon wayang.,seperti halnya lakon Abimanyu untuk menyambut kelahiran bayi. Andainya Ario tahu, bahwa wayang berasal dari kata “wa” dan “hyiang” yang berarti “leluhur’ tentunya dari sang kakek yang dikenal sebagai kuli kontrak.
Ario juga tahu dari sang kakek, bahwa wayang kulit diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang Kediri di abad ke l0.
Meski pun lahir jauh di seberang Laut Jawa, meski pun lahir di Tanah Deli, tapi adat budaya Jawa masih amat melekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seperti halnya Ario yang dilahirkan sebagai anak tunggal, dalam masyarakat Jawa disebut bocah “ontang-anting”, sepanjang hidupnya akan selalu diganggu oleh sang Batara Kala atau sejenis mahluk raksasa. Lalu untuk menghindari sang anak dari gangguan raksasa jahat itu haruslah dilakukan ucapara ruwatan yang disertai dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Batara Kala . Ruwatan itu sudah dilakukan oleh orang tua Ario dan lelaki itu hingga kini tidak harus takut lagi dirinya akan diganggu mahluk jahat dan dia akan menjalani kehidupannya dengan tenang.
“Jangan anggap remeh terhadap kesenian wayang, sebab dalam pengembangan agama Islam di Jawa, wayang sangat berperan. Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang amat popular sebagai pembawa ajaran Islam di tanah air, menggunakan wayang sebagai media dakwah.”
Ario juga tidak pernah lupa, ketika Pak Susilo mengawinkan puteri tunggalnya juga mengundang wayang dan dalangnya sengaja diimpor dari Surakarta. Tamu-tamu amat banyak dan sebagian besar adalah keluarga-keluarga suku Jawa dan sebagian besar pula adalah orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan kuli kontrak yang diboyong dengan kapal laut oleh Belanda untuk menjadi kuli di Tanah Deli. Tapi masa suram para kuli-kuli kontrak itu sudah berakhir dan hampir tidak ada para kuli kontrak itu yang mau kembali ke kampung leluhur di Jawa. Sebagian besar di antara mereka lebih senang menetap di Tanah Deli dan sebagian besar anak cucu mereka berpendidikan tinggi dan hidup mapan. Jangan anggap remeh dengan anak cucu para kuli kontrak. Justru anak cucu para kuli kontrak itu nasibnya lebih mapan ketimbang para bangsawan yang amat bangga dengan gelar kebangsawanannya ,padahal masyarakat tidak lagi memandang mereka meski pun dengan sebelah mata. .
Jangan ditanya soal warisan apa yang ditinggalkan para kakek dan nenek yang pernah hidup sengsara penuh penderitaan sebagai kuli kontrak di jaman penjajah dulu. Tidak ada harta benda melimpah yang diwariskan, tidak ada kekayaan. Juga tidak ada segumpal emas yang ditinggalkan. Yang diwariskan mereka adalah falsafah kehidupan orang Jawa. Yang diwariskan mereka adalah sebait puisi karya Ranggawarsita, seorang ahli filsafah, ahli sejarah dan tokoh pendidikan yang dilahirkan dan meninggal di Solo.
Kadang-kadang dalam kesepian malam, anak cucu kuli kontrak itu melantunkan tembang Jawa yang sebenarnya adalah sebuah puisi karya Ranggawarsita yang amat terkenal:
“Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada”
Syair tembang yang berupa puisi itu maknanya teramat luas. Setiap orang Jawa pasti amat senang mendengarnya dan selalu merenungi maknanya Sebab yang menciptakan puisi berjudul Zaman Edan itu adalah Ranggawarsita, seorang pujangga besar kelahiran Solo, yang selama hidupnya banyak melahirkan karya-karya besar berupa filsafat, sastra, sejarah dan pendidikan
“Setelah kita kawin nanti, aku akan tetap menjahit,” terdengar lagi suara Marni ketika Mas Ario membelai rambutnya dengan kasih sayang.
“Aku juga tidak akan melarangmu, karena menjahit adalah pekerjaan terhormat buat perempuan. Dimana-mana perempuan biasanya memang andal dalam mencari rezeki untuk tambahan belanja.”
“Aku akan berhemat , biar kita cepat membangun rumah sendiri, biar tidak menumpang pada orang tua lagi.”
“Aku juga ingin cepat-cepat mandiri. Bukankah itu yang terbaik?”
Perkawinan itu masih jauh dari genggaman, tapi Marni sudah sering bicara tentang bulan madu, tentang ngidam, tentang anak, tentang persalinan ,tentang rumah dan banyak lagi. Tapi, betapa pun Marni selalu mendesak agar Mas Ario segera melangsungkan perkawinan, lelaki itu selalu meminta waktu. Padahal kawan-kawan Marni sudah banyak yang menikah, seperti halnya Utari yang baru 4 bulan pacaran dengan Wahyu lalu menikah. Yanti sempat setahun pacaran dan sekarang sudah dianugerahi anak.
Bahkan Hartati tidak sempat pacaran karena dipinang seorang lelaki duda yang berasal dari Sipirok. Hartati yang usianya sudah dua puluh tujuh memang sudah siap untuk menikah dengan seorang duda yang membawa 2 anak. Yang penting suaminya mempunyai pegangan hidup yang kokoh sebagai pedagang kain di pasar Sukaramai. Wanita suku Jawa selalu lembut dan telaten mengurus anak dan rumah tangga. Ia tidak merasa canggung mengurus 2 anak tiri yang kini sudah dianggap sebagai darah dagingnya sendiri. Hartati tidak pernah dianggap ibu tiri yang kejam dan zalim. Ia memandikan anak-anak tiri yang masih berumur satu dan tiga tahun. Ia melatihnya berjalan, ia yang membawanya ke dokter kalau anak-anak itu sakit.
Meski pun suami asal Sipirok, tetapi komunikasi dengan mertua dan kerabat lainnya tetap lancar Ia pun sudah pintar berbahasa Tapanuli Selatan. . Hartati tidak pernah mengeluh meski pun di rumahnya selalu kedatangan tamu dari Sipirok. Bahkan tiap bulan Hartati harus membuka dompet membantu mertuanya, membantu uang kuliah adik suaminya. Hartati tidak pernah terdengar mengeluh.
Hartati juga tidak pernah ketinggalan dalam acara adat bila ada keluarga suami yang menikah atau meninggal. Ia ikut memberikan upah-upah. Hartati merasa tidak lagi canggung mnghadiri acara marbokkot bagas atau memasuki rumah baru, juga dalam acara patandahon anak tubu, yakni memperkenalkan anak, apalagi dalam acara haroan boru yakni mengawinkan anak lelaki serta mengadati namaninggal atau upacara melepas keluarga yang meninggal.
Karena kasih sayang dalam hal merawat anak-anak tiri yang masih kecil dan karena kelembutannya serta sikapnya yang cepat beradaptasi dengan keluarga lainnya, Hartati sangat disayangi suaminya. Tiap hari raya, pasti ia berada di Sipiorok dan berkumpul dengan anggota keluarga suaminya. Siapa yang tidak berbahagia bila akhirnya Hartati diajak suaminya menunaikan Ibadah Haji?.
Dan Marni tetap saja berharap kapan datangnya hari bahagia itu. .
***
P
erkawinan yang sudah sering terbayang di benak Marni hanyalah mimpi indah sesaat yang harus segera berakhir, yang tidak pernah terwujud menjadi sebuah kenyataan.. Sebab Ario dipromosikan untuk mengikuti pendidikan di bidang perminyakan jauh di kawasan Cepu sesuai dengan latar belakang pendidikannya di bidang teknik,terutama teknik perminyakan.
Derai air mata seperti hujan yang amat deras tercurah dari langit ketika Ario pamit amat mendadak kepada Marni..
“Aku harus menerima kesempatan ini.Marni. Demi untuk masa depan kita. Pulang dari pendidikan, pasti aku akan menduduki jabatan yang lebih baik.”, bujuk Ario ketika mengusap air mata di pipi Marni.
“Apakah aku akan kehilangan dirimu,Mas Rio,” hampir Marni tidak mampu berkata-kata.
“Kenapa harus kehilangan?. Dua tahun tidak terlalu lama. “
“Tapi aku sangat takut kehilangan dirimu. Demi Tuhan, aku amat takut, ada seseorang yang akan merebut milikku di sana,” suara itu terdengar diantara derai tangis.
“Aku bersumpah, untuk selalu setia padamu. Aku tidak akan melupakan dirimu. Gambar dirimu akan menemani aku tidur. Aku akan selalu mimpi bersamamu. Aku akan selalu menyebut namamu.”
“Oh,rasanya aku tidak sanggup untuk melepas kepergianmu”
“Kau harus berlapang dada, demi masa depan kita bersama..”
Marni tidak mampu berkata-kata, hanya air mata yang terus berderai di pipinya. Marni tersedu, dan lelaki itu mendekapnya amat erat.
“Begitu pulang dari pendidikan, kita akan segera menikah. Demi Tuhan!”
Marni hanya tersedu.
“Tanpa mengikuti pendidikan, nasibku akan tetap seperti ini, tetap jadi orang bawahan. Pendidikan ini merupakan kesempatan emas untuk merobah nasib.. Aku tidak ingin selamanya jadi kuli di kantorku. Tanpa pendidikan aku akan dilangkahi orang dan aku akan tetap seperti ini, tetap tertinggal di bawah, bahkan untuk mengganti mobil tua itu rasanya tidak mungkin.”
Ario menggenggam jari tangan Marni amat erat.
“Kuminta doamu!,” terdengar suara lelaki itu.
“Aku akan mendoakan tiap saat.”
“Doakan agar aku tidak banyak menghadapi kesulitan di sana.”
“Tentu!” Marni mengangguk. Lirih. Air matanya masih mengalir seperti sebuah anak sungai di pipinya.
“Aku juga selalu berdoa untukmu, agar kau sehat-sehat sampai aku pulang dengan nasib yang lebih baik dari sekarang.”
Marni hanya rebah di pelukan Ario dan lelaki itu memeluknya amat erat kemudian mengecup bibirnya.
“Mobil kutitipkan kepada Monang.”
“Kenapa kepada Monang?. Kenapa tidak di sini saja.”
“Monang adalah kawanku yang baik. Orangnya tampak kasar, karena memang begitulah tampang orang Batak, tapi hatinya selalu lurus.. Lagi pula dia dapat segera menjualnya. Aku sudah berpesan, agar uang penjualan mobil itu diberikan kepadamu.”
“Kepadaku?,” Marni menunjuk dadanya sendiri.
“Ya,kepadamu. Simpanlah baik-baik uang itu, setelah aku pulang nanti kita beli mobil yang jauh lebih bagus, biar tidak selalu mogok di tengah jalan., biar kau tidak pernah lagi mendorong mobil di tengah hari yang panas terik.”
Marni hanya menunduk.
“Sesekali mampirlah di kios Monang dan tanyakan kepadanya, apakah mobil itu sudah laku. Aku yakin, meski pun mobil itu adalah mobil tua, tapi cepat dijadikan uang sebab mobil itu biasa untuk mengangkut ternak, biasa untuk mengangkut sayur mayur,biasa dijadikan alat untuk mencari uang.. Apa lagi bagi orang Batak, pasti mobil tua itu biasa digunakan untuk mengangkut pupuk kandang.”
“Malam tadi sulit bagiku untuk tidur, lalu ketika mataku terpejam sesaat aku mimpi buruk,” terdengar lagi suara Marni di antara isaknya.
“Mimpi hanya bunga tidur,Marni. Tidak perlu sedih kalau mimpi buruk.,” bujuk Ario dan perlahan sekali lelaki itu mengecup kening Marni.
“Dalam mimpi itu Mas Rio naik perahu ke tengah laut, tapi tiba-tiba muncul badai topan yang amat kencang. disertai hujan lebat dan petir yang tidak henti-hentinya.”
“Lalu sampan itu terbalik?. Lalu sampan itu tenggelam?. Lalu diriku juga ikut tenggelam di dasar laut?. Apakah diriku jadi santapan ikan-ikan laut?’
“Tidak,Mas Rio. Sampan itu memang tenggelam dan ditelan ombak besar, tapi tiba-tiba muncul bidadari cantik dari langit dan menyelamatkan dirimu hanya dengan selendangnya.”
“Wah, adakah bidadari sebaik itu di dunia ini sementara kulit bumi ini sudah amat kotor karena tingkah pola manusia?”
‘”Sungguh mati, bidadari itu sangat cantik jelita dan selendangnya yang berwarna-warni dipenuhi pernak-pernik permata zamrud, liontin dan mutiara. Bidadari cantik itu membawamu entah kemana.”
“Lupakan saja mimpi buruk itu,Marni!,” sekali lagi Ario mengecup kening Marni dengan kasih sayang.
“Tapi justru mimpi itu membuat aku tidak rela melepas kepergianmu. Mimpi itu seakan sebuah tanda, bahwa seseorang akan merampas milikku yang paling kucintai. Aku akan kehilangan dirimu. Aku akan kehilangan segalanya. Hidupku akan sengsara. Aku tak sanggup,Mas Rio. Aku tidak sanggup…”
Marni ingin berkata lebih banyak tentang kesedihan hatinya, tapi Ario segera mengecupnya.
***
S
elamat tinggal Marni. Hanya kecupan di kening yang ditinggalkan lelaki yang sedang mengejar jenjang karir yang sudah diberikan kepadanya oleh instansinya..
Setetes demi setetes air mata mengalir di pipinya yang mulus. Marni tidak mampu berkata lebih banyak ketika lelaki itu melangkah memasuki ruang tunggu keberangkatan di bandara.
Pada minggu-minggu pertama memang pesawat telepon di rumah Marni selalu berdering dan yang berbicara pastilah Ario.. Ada rasa sejuk di dadanya setiap Marni berbicara dengan seorang lelaki yang amat ia rindukan dan teramat dicintainya. Marni tetap percaya pada kesetiaan lelaki itu. Apa lagi ketika Marni menerima beberapa lembar foto Ario ketika hari libur lalu piknik ke Candi Borobudur bersama kawan-kawannya sesama pria. Tidak satu pun perempuan. Nafas Marni terasa plong dan dadanya terasa lapang. Juga ketika Ario berada di Parang Taritis semua kawannya adalah laki-laki. Setiap menerima kabar dari Ario sejenak hatinya terasa sejuk.
Bulan-bulan berikutnya, Ario semakin jarang memberi kabar. Telepon genggamnya tidak pernah aktif kalau Marni mengontaknya. Mana mungkin lagi Marni dapat menghubungi Ario karena Ario sudah mengganti ponselnya dan sekali gus mengganti nomornya. Mana mungkin lagi Marni dapat menghubungi Ario karena lelaki itu sudah mulai berubah. Kesetiaan pada dirinya mulai luntur sejak lelaki itu bertemu seorang gadis kelahiran Solo pemilik sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari kampus tempat Ario menerima pembelajaran.
Marni selalu termenung, mau makan termenung, mau mandi juga termenung, apa lagi mau tidur. Bahkan terlalu sukar baginya untuk memejamkan mata. Marni amat merindukan Ario.,merindukan dekapannya yang hangat, merindukan denyut-denyut jantungnya, merindukan kecupan di keningnya. Dan kabar tentang Ario tetap saja tidak pernah sampai di telinga Marni. Dan Marni semakin sering termenung, pagi, siang dan malam. Nonton tv enggan, membaca majalah juga malas. Membuat rujak atau membuat lemper juga tidak ingin sama sekali. Maunya sepanjang hari termenung terus. Pekerjaan jahitan juga terbengkalai. Tidak jarang jahitan orang menjadi salah dan Marni harus mengganti padahal bahan baju itu amat mahal.
Ketika sedang termenung di teras rumah itulah terlihat sebuah sepeda motor memasuki halaman rumahnya.
“Hai,Marni!,” sapa seorang lelaki pengendera sepeda motor besar itu. Harley Davidson itu memang sudah sangat tua, tapi masih tampak keren. Dengan mengenderai sepeda motor besar itu semakin tampak gaya keperkasaannya karena lelaki itu memang seorang bangsawan Deli dan saat ini masih tetap tinggal di lingkungan istana meski pun istana itu cuma merupakan bangunan tua yang halamannya dipenuhi rumput yang tidak pernah lagi dipangkas, bahkan tikus dan kecoa banyaknya bukan main. Apa lagi dalam istana, semut-semut amat banyak hingga ke ruangan yang dulu dijadikan balairung, hingga ke kamar permaisuri.
“Apa yang kau renungkan,Marni?,” sapa lelaki pengendera sepeda motor besar yang biasanya disapa dengan Ozi, padahal nama bangsawannya adalah Tengku Azmi.
Langsung saja lelaki itu duduk di sisi Marni.
“Jangan terlalu kau kenang kepergian Ario. Bukankah kau sendiri tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang?”, ujar lelaki itu dan langsung menyulut Gudang Garam dan mengepulkan asapnya tinggi-tinggi.
“Ia baik-baik saja!,” sahut Marni tidak gairah menyambut kedatangan lelaki bangsawan itu.
“Dari mana kau tahu keadaannya baik-baik saja?. Ario memang tidak sakit saat ini, tapi dia sedang menikmati kemesraan bersama seorang gadis berdarah Surakarta, pemilik sebuah restoran.”
“Jangan membawa kabar yang bukan-bukan,Bang Ozi,” Marni menyela dan menatap wajah tamunya dengan pandangan sinis.. Sejak dulu Marni dan Ario lebih senang memanggil lelaki keturunan bngsawan Melayu dengan panggilan Ozi daripada nama bangsawannya, Azmi dan di depan nama itu ada gelar bangsawan.
“Ario adalah sahabatku. Bertahun-tahun kami main basket bersama karena itu aku tahu benar bagaimana keadaannya sekarang, karena bersama dia mengikuti pendidikan di Cepu, kawan-kawanku juga ikut disana. Mereka tahu pasti kemana Ario pergi kalau malam minggu!”
Marni hanya menghela nafas panjang. Ia menekur, merenungi lantai.
Ia membiarkan lelaki berdarah bangsawan Deli itu terus bertutur.
“Sahabat-sahabatku yang juga ikut pendidikan di sana memberi kabar kepadaku, bahwa Ario memang tidak lagi setia kepadamu. Sahabat-sahabatku meminta supaya aku menyampaikan kabar ini kepadamu.”
Perlahan sekali Marni menatap wajah Azmi yang biasa disapa Ozi biar terdengar lebih keren.
“Bang Ozi sungguh-sungguh?,” Marni seperti tidak yakin pada kata-kata lelaki itu.
“Untuk apa aku menabur bohong?”
Marni merasa dadanya amat perih. Dan pedih. Sekali lagi Marni menekur dan membiarkan lelaki yang masih memiliki darah bangsawan itu berkata lagi:
“Aku amat kasihan kepadamu karena aku sudah sangat lama mengenalmu, sudah amat lama mengenal Ario. Pada awalnya kukira kau dan Rio adalah pasangan yang paling harmonis dan setia. Dan aku tidak menduga,bahwa suatu saat Ario akan mendapat kesempatan dari instansinya untuk mengikuti pendidikan untuk jenjang kepangkatannya, lalu demikian mudah hatinya berpaling kepada gadis asal Solo itu. Mungkin gadis itu cantik, masih amat muda dan duitnya banyak.”
“Demi Tuhan, aku tidak menduga Mas Rio teramat mudah berpaling,”suara Marni terdengar parau dan berat.
“Suasana di Jawa amat beda dengan di daerah kita,Marni. Tiap lelaki yang menginjakkan kakinya di Jawa, kalau iman tidak kukuh di dadanya pasti dalam waktu sekejap dia akan jatuh ke pelukan perempuan yang cantik jelita dan menggoda..”
Marni masih menekuri lantai. Di dadanya masih ada rasa perih, masih ada nyeri dan menggigit.
“Karena itu aku datang kemari, untuk mengingatkan kau agar tidak lagi terlalu banyak berharap. Lupakan Ario. Lupakan segalanya tentang dirinya. Lemparkan pandanganmu keluar, di langit tampak awan putih berarak-arak, kenapa kau tidak bebas seperti awan itu?. Di antara awan itu burung-burung pun terbang bebas, kenapa kau mengurung diri di rumah?. Kenapa kau tidak sebebas burung-burung itu dan mencari pasangan karena di hati Ario tidak ada lagi tempat untuk dirimu?.. Tataplah daun-daun di ranting- pohon yang bergoyang dibelai angin. Kenapa kau tidak keluar rumah untuk menikmati belaian angin?. Tidak usah di rumah terus,Marni. Sebab tidak ada lagi yang harus kau tunggu. Jangan mengurung diri dalam sepi dan sedih, sementara yang kau nantikan kepulangannya sudah bukan milikmu lagi.”
Perlahan sekali Marni mengangkat wajahnya dan menatap lelaki itu.
“Terima kasih Bang Ozi telah mengabarkan sesuatu kepadaku,” suara itu lirih terucapkan dari celah sepasang bibir Marni yang tipis dan merekah serta dipolesi lipstik merah menyala. Lelaki itu amat senang menatap sepasang bibir Marni, amat senang memandang sepasang matanya yang jernih seperti air telaga, senang memandang hidungnya yang mancung.
Sudah sejak dulu Azmi ingin mengulurkan tangan, ingin selalu mengajaknya jalan-jalan atau sekedar makan bakso, tapi pintu-pintu dan jendela hati Marni sudah tertutup karena Ario sudah lebih dulu hadir di hati Marni . Tidak ada peluang meski pun seujung rambut di belah tujuh untuk Ozi yang tatapan matanya teramat dalam dan tajam.
“Aku ingin mengajakmu sekedar jalan-jalan, sekedar menikmati udara di luar, atau menikmati belaian angin atau memandang burung-burung terbang di antara awan putih yang berarak.”
Dada Marni masih terasa pedih dan perih. Marni tidak mampu untuk menatap sepasang mata lelaki itu karena tatapan matanya yang amat dalam dan penuh sejuta arti.
“Ayo,Marni!. Temani aku jalan-jalan!,”ajak lelaki itu.
“Kemana Bang Ozi akan membawaku?”
“Terserah kepadamu.”
“Aku tidak punya rencana. “
“Mau duduk-duduk di pinggir laut menyaksikan ombak berderai-derai?. Mau ke pantai dan memandang burung elang terbang melayang-layang serta perahu nelayan berderet-deret pergi ke laut.”
“Sebenarnya aku ingin tetap di rumah”
“Untuk apa mengurung diri di rumah?. Untuk apa mengenang kembali masa lalu bersama Ario yang tidak mungkin kembali kepadamu..”
“Aku…aku….,” Marni tidak mampu melanjutkan kata-kata itu. Jauh di dasar hatinya ada perasaan ragu-ragu tentang kabar yang disampaikan laki-laki di sisinya.
‘Sia-sia kalau kau masih banyak berharap dari Ario. Memang Ario pasti pulang, tapi tidak seperti dulu. Ario memang pasti akan pulang, tapi tidak sendiri lagi. Kau boleh saja merasa yakin, bahwa Ario akan kembali, tapi bukan untukmu lagi..”
“Aku ingin Mas Rio berterus terang kepadaku dan kenyataan ini akan kuhadapi meski pun terasa seperti beling tajam yang menggores rongga hatiku. “
“Mana mungkin seorang lelaki mau berterus terang kalau hatinya sudah berpaling kepada orang lain. Lihat saja nanti, kalau Ario pulang pasti tidak sendiri. Sebab kawan-kawan yang ikut pada pendidikan itu mengabarkan kepadaku, bahwa Ario sudah merencanakn perkawinannya dengan gadis asal Solo itu. Bukankah bagi Ario seperti mendapat rezeki nomplok, bertemu gadis kaya?”
Relung hati Marni semakin perih dan ia membiarkan lelaki itu berkata lagi:
“Kalau Ario mengawini gadis berdarah Solo itu, Ario tidak usah jadi pegawai juga dapat hidup layak karena gadis itu punya usaha yang sedang berkembang. Lagi pula kabarnya perempuan itu masih berdarah ningrat.”
Marni meremas dadanya yang terasa amat perih menggigit.
“Demi Tuhan, apa yang kukatakan bukanlah rekayasa atau kabar bohong!”
Seperti umumnya orang-orang Melayu, pasti pintar melantunkan pantun-pantun yang enak di dengar dan lelaki itu juga melantunkan sebait pantun di depan Marni:
“Burung gereja burung merpati
Terbang jauh ke batas kota
Ambil gunting ambillah belati
Tikam dadaku bila aku berdusta.”
Sebait pantun itu benar-benar mampu menggugah hati Marni. Ia tidak menolak ketika lelaki itu mengajaknya ke pinggir laut, menyaksikan ombak bergulung-gulung dan buihnya berderai-derai.
***
M
arni dan lelaki itu menyusuri tepian laut dan kakinya meninggalkan bekas di atas pasir putih yang membentang luas. Laut yang terbentang luas itu tampak berbinar diterpa matahari. Burung-burung elang terbang berpasangan dan sesekali terbang menungkik kebawah menyambar mangsanya lalu seekor ikan dicengkeram oleh kukunya yang amat tajam. Elang adalah pemangsa yang amat piawai.
Ombak bergulung-gulung membentur pantai dan deburnya seperti nyanyian laut yang tidak pernah ada akhirnya. Di kejauhan tampak perahu nelayan berderet-deret menuju tepian dan layar perahu mereka terkembang. Di sepanjang pantai tampak pasangan remaja duduk-duduk di atas pasir memandang ombak yang terus berdebur. Dan Marni masih terus berjalan menyusuri tepian laut, untuk mencari tempat yang aman dan sepi. Azmi ingin duduk berdua menghadap laut lepas dan berharap Marni akan bersamdar di dadanya lalu lelaki itu memeluknya amat erat.
Langkah mereka terhenti, ketika terdengar ribut-ribut dan hanya beberapa belas meter di depan mereka tampak dua lelaki muda bertengkar serius. Dan pertengkaran itu terjadi ketika anak muda warga asli desa pantai itu menemukan sepasang remaja sedang bermesraan di antara semak-semak di pinggir laut itu. . Tidak hanya bermesraan, tapi mereka akan berbuat hal-hal yang diluar batas di pantai itu. Tentu saja anak muda warga desa pantai itu tidak rela ada mahluk yang mengotori pantai itu.
Setiap warga desa itu pasti tidak rela desa mereka dikotori oleh dosa. Warga desa itu tidak menghendaki adanya orang-orang melakukan perbuatan seperti suami isteri. Mereka takut laut akan murka bila pantai itu dikotori oleh dosa manusia. Mereka takut akan terjadi badai dahsyat di tengah laut sehingga nelayan tidak dapat ke laut untuk menangkap ikan. Mereka takut ombak besar akan menenggelamkan para nelayan. Mereka juga takut ombak besar akan naik ke darat. Mereka lebih takut lagi tsunami akan datang dan memporak porandakan desa itu. Tsunami akan datang tanpa diundang bila dosa anak manusia telah menyebar di pantai itu. Dan tsunami akan meruntuhkan ratusan rumah-rumah warga dan membunuh amat banyak manusia.
Karena itulah terjadi pertengkaran amat serius antara dua orang lelaki di pinggir laut itu. Seorang pendatang membawa pacarnya ke pantai itu dan menikmati kemesraan hingga di luar batas. Lihatlah si gadis yang dibawa lelaki pendatang itu, rambutnya kusut, kancing-kancing blus sudah terbuka. Hanya tinggal sesaat lagi dosa antara dua anak muda berlainan jenis itu terjadi, lalu muncullah warga desa itu mencegah agar dosa di antara mereka tidak sempat terjadi. Pertengkaran yang amat serius tidak terelakkan., Anak muda pendatang itu amat marah ketika niatnya dicegah dan ia merasa kebebasannya diusik orang lain. Tidak hanya pertengkaran mulut yang terjadi, tapi adu jotos pun tidak terelakkan.
Tampaknya anak muda pendatang itu tidak memiliki ilmu bela diri, sementara anak muda warga desa itu memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Berkali-kali lawannya memukul, seperti memukul angin. Cukup hanya sekali pukulan anak muda warga desa itu melayang tepat mengenai pelipis lawannya dan langsung terjungkal di atas pasir di pinggir laut itu. Burung-burung elang pun berhenti terbang ketika melihat perkelahian itu. Seperti halnya burung-burung elang itu, Marni dan Azmi juga menyaksikan perkelahian itu. Saling memukul dan saling mengelak dan keduanya tampak tangguh dan kuat.
Dalam keadaan terdesak, anak muda pendatang itu menghunus pisau mengkilat, tapi anak muda warga desa itu justru seperti menyerahkan dadanya untuk ditusuk dengan belati yang amat tajam. Tusukan itu memang tepat mengenai rusuk lelaki muda warga desa itu, tapi sama sekali tidak berbekas. Sekali lagi lawannya menusukkan belati ke arah perut, tapi juga tidak berbekas. Anak muda warga desa itu memang memiliki ketangguhan yang luar biasa. Berkali-kali tusukan belati sama sekali tidak melukainya.
Bila tiba gilirannya anak muda warga desa itu memukul, sekali tangan kanannya bergerak, cukup membuat anak muda yang membawa pacar ke pantai itu terpental jauh, lalu tidak bergerak lagi. Sesaat warga pendatang itu tidak bergerak dan seorang gadis yang rambutnya kusut dan kancing-kancing blusnya sudah terbuka langsung memberikan pertolongan dan menangis ketakutan.
“Tolong dia bawa pergi dari tempat ini atau kuhabisi nyawanya!,” anak muda warga desa pantai itu memberi peringatan kepada gadis cantik yang hampir saja terjerumus dalam dosa di tepi pantai itu.
“Maafkan kami!. Maafkan kami!,” hanya itu yang mampu diucapkan gadis cantik itu. Tubuh gadis itu gemetar. Ia amat ketakutan.
“Jangan kotori pantai ini!. Jangan sebarkan dosa di sini. Ombak laut akan sangat marah kalau ada seseorang berbuat dosa di pinggir laut ini!.”
Beberapa saat lelaki muda pendatang itu tetap terbaring di atas pasir. Dari pelipisnya mengucur darah. Gadis di sisinya menyeka darah itu dengan sapu tangan.
“Cepat tinggalkan pantai ini!,” anak muda warga desa pantai itu memberi peringatan terakhir.
“Ya, kami akan segera pergi!,” sahut sang gadis.
“Kalau mau berbuat dosa jangan di pantai ini!”
Gadis itu tidak menyahut dan sesaat kemudian lelaki yang kalah dalam perkelahian itu mulai sadar. Perlahan sekali anak muda itu berusaha untuk bangkit.. Perlahan sekali lelaki itu berdiri kemudian melangkah pergi. Desa pantai itu tidak sempat dikotori oleh dosa. Tepian laut itu tidak sempat dikotori dengan noda.. Bila dosa sempat terjadi di sana mungkin badai akan datang. Bila dosa sempat menyebar di pinggir laut, pasti ombak laut akan murka dan menenggelamkan perahu nelayan. Bila dosa sepasang anak muda itu terjadi di tepi laut itu, pasti tsunami akan datang memusnahkan segalanya di pinggir laut itu. Bila tsunami tidak menerpa desa pantai pesisir itu, pasti bencana lain akan datang ,mungkin ternak-ternak peliharaan para nelayan akan mati, atau wabah penyakit menular akan menimpa desa itu dan warga akan banyak yang menemui kematiannya. Bila pantai itu sudah dikotori dosa-dosa anak manusia, mungkin para nelayan akan bernasib sial , mereka tidak mendapat tangkapan ikan di tengah laut, sehingga mereka akan terlantar.
Syukurlah sepasang anak muda pendatang itu tidak sempat berbuat dosa. Mereka segera meninggalkan pantai itu setelah darah mengucur dari pelipisnya dan tidak berdaya, padahal anak muda itu membawa belati.
“Luar biasa,” cetus Marni setelah menyaksikan perkelahian antara warga pendatang dan warga desa pantai itu.. “Anak muda itu tidak terkalahkan meski pun lawannya menghunus belati. Tiga empat kali ditusuk tidak membuatnya terluka sedikit pun.”
“Itu tandanya ia memiliki kekuatan batin. Laki-laki itu pasti anak berdarah Melayu. Jangan anggap remeh kepada anak muda di desa, mereka umumnya sangat lugu,tapi dalam dirinya mempunyai simpanan tenaga batin. Anak-anak Melayu yang tinggal di pantai pesisir biasanya pintar mengaji, pintar bermain silat, bahkan tidak jarang mereka memiliki ilmu penjaga badan sehingga tidak terluka meski pun ditebas dengan parang, tidak terluka ditebas dengan kapak, bahkan juga tidak terluka oleh peluru,” ujar Azmi.
“Tapi ilmu batin itu bukan untuk berbuat jahat dan zalim bukan?,” Marni menyela di antara debur ombak laut.. “Bila mereka tidak terluka oleh pisau dan senjata tajam lainnya, bukan menyombongkan diri,bukan?”
“Tentu saja tidak!. Sebab anak-anak muda berdarah Melayu hanya melawan bila diserang. Aku sendiri pernah belajar untuk membela diri.”
“Jadi Bang Ozi tidak takut ditusuk dengan pisau, begitukah?. Bang Ozi tidak takut dibacok orang?”
“Mudah-mudahan aku dapat menghindar.”
“Boleh aku mencobanya?. Bolehkah aku menusuk perut Bang Ozi dengan gunting?
“Tidak harus begitu,Marni. Ilmu bela diri yang kupelajari bukan untuk main-main,”
“Kukira boleh saja aku menusuk perut Bang Ozi,”
“Untuk mendapatkan ilmu itu tidak mudah,Marni. Banyak persyaratan yang harus dipatuhi.. Banyak mantera yang harus dihafal dan banyak pantangan yang harus dihindari.”
“Boleh aku mendengar salah satu mantera itu?”
“Kenapa tidak?,” Lelaki itu menatap wajah Marni.
“Aku ingin mendengarnya!’
Marni dan lelaki itu berhenti melangkah. Mereka menghadap laut berwarna biru yang tampak seperti tidak memiliki batas. Debur ombak terus terdengar. Perahu-perahu nelayan semakin banyak yang menuju ke tepi.. Sesaat lelaki di sisi Marni menekur lalu tampak seperti bersemedi. Seperti yang dipinta Marni, lelaki itu membaca beberapa mantera yang tidak terdengar oleh Marni. Hanya bagian akhir dari mantera itu yang terdengar jelas oleh Marni dan itu pun terdengar di antara debur ombak yang tidak ada hentinya.
“Bismillaahirrahmaanir ‘rahim
Orong-orong batu terkurung
Batu di kananku
Tiba di kanan batu pecah
Tiba di gunung ,gunung tembus
Syah si dian guruku
Sidian juga padaku
Berkat Lailahailallah , Muhammad Rasulullah”
Marni mendengar setiap kata dari mantera yang dibaca oleh lelaki itu. Di tepi pantai itu, lelaki itu tampak berubah karena dalam jasad dirinya telah terisi oleh kekuatan batin. Bahkan tatapan mata lelaki itu tiba-tiba berubah, tidak seperti saat-saat sebelumnya.
“Marni!,” suara lelaki itu terdengar parau. Seperti bukan suara Azmi, seperti ada suara orang lain yang menyusup dalam tubuh lelaki itu.
“Hmmm,” Marni hanya bergumam pendek.
“Ambilah sebongkah batu besar, lalu pukul kepalaku dengan sekuat tenagamu,mudah-mudahan aku tidak akan merasakan apa-apa!”
Sesaat Marni termenung. Sepasang elang laut terbang di atas mereka yang masih tegak di atas pasir di pinggir laut.
“Ayo ambil batu besar itu,” lelaki itu menunjuk arah sebongkah batu sebesar kelapa. “Ayo ambil batu itu, lalu pukullah kepalaku!”
“Ayo,Marni!. Tidak usah ragu-ragu, pukullah aku dengan batu itu!,” desak lelaki itu lagi. Tapi Marni tidak melakukannya.”
“Ayo lakukan,Marni!,” desak lelaki itu lagi.
Marni menggelengkan kepala dengan lirih.
“Aku tidak sanggup,Bang Ozi. Aku tidak sampai hati melakukannya!”
Ombak laut terus berdebur. Burung-burung elang masih menyambar mangsanya.
“Hebat, Bang Ozi. Aku tidak menduga kalau Bang Ozi juga punya simpanan”
“Anak dari keturunan Melayu selalu dibekali oleh orang tuanya dengan berbagai ilmu untuk menjaga dirinya, sebab hidup ini penuh dengan tantangan. Kekerasan selalu ada dimana-mana. Anak-anak suku Melayu tidak boleh kalah oleh kekerasan . Anak-anak Melayu harus mampu bertahan terhadap semua tantangan.”
“Aku kagum kepada Bang Ozi!” cetus Marni.
“Bahkan anak Melayu diajarkan untuk mampu memanggil angin. Hanya dengan sebuah senandung, angin pun akan berhembus.”
“Boleh aku mendengar senandung memanggil angin itu?,” pinta Marni.
“Untukmu tentu saja boleh!”
Lelaki itu menghadap laut lepas lalu terdengar suaranya membawakan sebuah senandung yang iramanya seperti hembusan angin di tengah laut biru, mendayu-dayu:
Irama senandung itu terdengar amat indah, seperti sebuah simfoni yang amat merdu. Marni seperti mendengar suara gesekan biola yang menggetarkan hati, yang menggetarkan jantung. Senandung memanggil angin itu dibawa gelombang ke tengah laut yang amat luas dan tak bertepi. Angin laut yang sedang berkumpull di tengah samudera segera terpanggil untuk bertiup ke tepi pantai
Marni memandang kearah laut lepas dan ia melihat gumpalan awan bergerak kearah pantai karena terbawa angin . Puncak pohon nyiur di pantai itu mulai bergoyang-goyang.
“Angin barat (ei ei) gelombang barat
Angin memecah (hitam manis hei woho) di pintu karang
Sedeyangku tinggal dendam melarat (tuan ahai)
Kekasihku pergi (o kurung) dendam berkurung (aai)
Habis tanam (ai wo e) tujuh pengikat (ai bujang sialang ai)
Putus disambar (hitam manis ai hei ai) sirajawali
Maksud sedangku sudahlah dapat (intan ahai)
Rayalahkan musim (lagi) kembalilah lagi (ai)
Anak Cina (ei wo e) menjual bawang (ai)
Bawang dijual (hirtm manis ai hoi wo) bawang halia
Jangan sedayangku gagah melawang (intan ai)
Takut marah (kunun en) pawang sedia (intan ai) “
Sesaat Mani terkesima karena angin pun terasa berhembus membelai rambut Marni, membelai tubuhnya. Senandung memanggil angin itu terasa amat mujarab,karena angin pun tiba-tiba datang berhembus sepoi . Angin yang terasa sejuk membelai tubuh, sejuknya hingga ke dasar hati..
“Aku benar-benar kagum kepada Bang Ozi!, “ cetus Marni dan tersenyum manis.
Lelaki itu mengajak Marni duduk di atas pasir menghadap ke laut. Angin pun terus berhembus ketika Marni rebah di dada lelaki itu. Ketika bersandar di dada lelaki itu Marni merasa mendapatkan tempat bersandar yang kukuh. Ketika rebah di dada lelaki itu, dadanya tidak lagi terasa perih dan pedih karena seorang lelaki yang amat dicintainya ,Ario, kini telah berpaling. Ketika memandang laut itu bersama Azmi, Marni tidak lagi merasa sedih dikhianati Ario.
“Aku pernah membaca Sejarah Melayu yang ditulis oleh Tun Seri Lanang,” terdengar suara Marni di antara debur ombak.
“Ya,hikayat itu ditulis ketika pengarangnya masih meringkuk dalam penjara.” Lelaki Melayu itu menimpali.
“Dalam hikayat itu dikisahkan kerajaan Mesir dan Persia yang dipimpin Raja Kida Hindi bertempur dengan kerajaan Macedonia yang lebih dikenal dengan nama Yunani dan dipimpin oleh Sultan Iskandar Zulkarnain dan mampu mengalahkan Raja Kida Hindi. Karena kekalahaan itu raja Kida Hindi mempersembahkan puterinya kepada Sultan Iskandar Zulkarnain,”
“Ya,puterinya bernama Syahrul Bariah,” sahut Bang Ozi. “Aku senang kau banyak mengetahui tentang Hikayat Melayu.”
“Pantaskah seorang puteri raja diberikan sebagai persembahan?. Seorang perempuan biasanya adalah mahluk yang mulia dan terhormat, bukan sekedar untuk persembahan belaka. Demikankah sikap para bangsawan Melayu memandang kaum hawa, hanya sebagai persembahan?.”
“Jangan salah tafsir,Marni. Persembahan itu dimaksudkan untuk dijadikan isteri. Persembahan itu bukan sebagai pelecehan, sebab untuk dijadikan permaisuri sultan.”
“Permasisuri yang keberapa?”
Azmi seorang Melayu, tapi ia tidak mampu menjawab peranyaan itu.
Angin yang berhembus dari arah laut, membelai anak-anak rambut Marni dan beberapa helai rambutnya lekat di wajah Azmi, tapi lelaki itu tidak perduli. Laut pun terus berdebur, ombaknya bergulung-gulung berkejaran mencium bibir pantai. Buih air laut berderai-derai.
“Tiap tahun biasanya di pantai ini selalu dilakukan jamuan laut sebab masyarakat desa pantai ini masih sangat percaya ,bahwa lautan dikuasai oleh mahluk halus ,” terdengar suara Azmi di antara debur ombak.
“Sebangsa jin dan roh jahat,begitukah?”
“Ya!,” ujar Azmi lagi . “Masyarakat yang mendiami desa-desa sepanjang pantai pada umumnya menggantungkan hidup dari laut. Mereka berharap penguasa laut tidak marah dan selalu bersikap manis terhadap para nelayan dan mereka berharap tiap hari mendapatkan tangkapan ikan yang banyak serta melimpah agar mereka dapat hidup makmur,”
“Tapi sayangnya kehidupan para nelayan tetap saja sangat sederhana, tetap saja miskin ,tetap saja tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya hingga ke jenjang tinggi. Di mana-mana tetap saja desa nelayan selalu kumuh dan amis. Harga ikan mahal dan tidak terjangkau, tapi yang kaya bukan nelayan. Yang kaya adalah sang juragan.”
“Tapi harus diakui, bahwa meski pun hidup amat sederhana, tetap saja mereka ulet menerjang badai di tengah laut.”
Mereka terus bicara tentang kehidupan nelayan, tetap saja bicara tentang indahnya laut. Amat lama Marni bersandar di dada lelaki itu, amat lama merasakan desah-desah nafas lelaki itu menyentuh pipinya yang kemerahan. Tentang Ario yang saat ini sedang berada di tempat yang amat jauh sesaat terlupakan dari benak Marni. Sepasang matanya tetap saja memandang laut yang terhampar amat luas dan seakan tidak bertepi.
Perlahan-lahan air laut mulai naik ke darat. Air laut mulai pasang dan sesaat kemudian kaki Marni mulai disentuh air laut.
“Sebentar lagi pantai ini akan tenggelam,” terdengar suara lelaki itu. .
“Rasanya aku ingin lebih lama memandang laut. Menatap ombak yang berdebur seakan tidak pernah puas.” Marni seperti enggan untuk berdiri, enggan untuk meninggalkan pantai yang indah itu.
“Aku akan mengajakmu ke pantai ini ketika ada acara jamuan laut. Biar kita melihat bagaimana pawang laut memberikan sajian kepada penguasa laut. “
“Aku akan senang sekali melihatnya nanti!”
Mereka berdiri dan ketika berjalan pulang air laut sudah menyentuh mata kaki dan angin pun terasa semakin kencang. Daun-daun pepohonan yang mengotori pantai itu diseret ombak ke tengah laut. Puncak pohon nyiur yang tumbuh di sepanjang pantai itu melambai-lambai.
***
Sepasang tangan Marni melingkar di pinggang lelaki itu ketika di atas sepeda motor yang meluncur kencang di jalan raya menuju pulang.. Marni tidak merasa ragu-ragu untuk menempelkan dadanya di punggung laki-laki itu. Marni tidak merasa sungkan lagi untuk duduk rapat dan melingkarkan kedua tangannya amat erat di pinggang lelaki itu. Marni tidak perduli angin kencang yang terasa menampar wajahnya. Ujung rambutnya berkibar-kibar dipermainkan angin petang. Kemesraan yang dulu ia nikmati bersama Ario Harsono kini ia nikmati kembali bersama Azmi, lelaki berdarah bangsawan Melayu itu.
Kemesraan itu juga terlihat oleh lelaki suku Batak bernama Monang yang sedang sibuk menambal ban mobil pelanggannya. Lelaki Batak itu sesaat tertegun dan tersenyum seorang diri. Famili dan kawan-kawan akrab Marni juga heran dan tertegun ketika melihat Marni demikian mesra dengan orang lain, bukan dengan Ario yang selama ini selalu mengajaknya kemana-mana.
“Wah, tampaknya begitu mesra kamu dengan Ozi,Marni!,” cetus Monang dengan logat Batak yang amat kental ketika hari berikutnya lelaki berdarah Tapanuli itu mampir di rumah Marni.
“Tidak ada salahnya,bukan?” sahut Marni seenaknya.
“Kau sudah mendengar tentang Ario di Jawa?”
Marni mengangguk.
“Aku tidak berharap lagi ia pulang.”
“Aku juga banyak mendengar kabar burung tentang Ario.” Lelaki suku Batak itu menatap wajah Marni amat dalam dan lama..
“Mungkin gadis Solo itu jauh lebih cantik. Mungkin juga gadis dari Jawa itu punya ilmu pelet”
“Aku ikut sedih. Aku ikut perihatin padamu..”
“Tidak ada salahnya kalau sesekali aku bersama Azmi,bukan? Azmi juga seorang yang baik dan banyak mengerti diriku.”
“Tapi aku berharap kau tidak terlalu banyak berharap darinya.” tatapan Monang semakin dalam menembus bola matanya, menembus dinding hatinya. Sore itu, Monang lebih cepat menutup kios tempel ban yang dikelolanya. Sore itu lelaki berdarah Batak itu lebih cepat menyalin pakaian kerja yang setiap hari tampak kumuh,lusuh dan kotor. Sore itu Monang yang logat Batak masih amat kental pada bicaranya, tampak berpakaian rapi mengenakan jin dan kaus oblong bergambar pembalap di atas mobil gokart.
“Kenapa tidak boleh terlalu berharap?,” Marni juga menatap wajah lelaki suku Batak itu.
“Aku hanya memberi isyarat. Jangan sampai kehilangan dua kali. Kehilangan itu amat pahit,Marni. “
“Ya,amat pedih dan perih!”
“Karena itu aku berharap kau tidak terlalu rapat dengan Azmi.”
“Kenapa?”
“Ingat, Azmi masih kental memiliki darah bangsawan Melayu.”
“Tapi saat ini orang tidak lagi memandang bangsawan atau tidak,Bang Monang. Bahkan orang tidak lagi memandang dengan sebelah mata terhadap kebangsawanan itu. Tidak ada lagi kerajaan, tidak ada lagi kesultanan. Sejak kita merdeka, yang ada hanyalah Indonesia. Seluruh kesultanan sudah roboh diterpa angin puting beliung. Para bangsawan tidak perlu bangga dengan gelar itu. Bagaimana mau bangga kalau istananya saja sudah rata dengan tanah?. Bagaimana para bangsawan itu mau berbangga diri kalau istananya saja sudah jadi sarang kecoa dan tikus?.”
“Jangan berkata begitu,Marni. Masih ada segelintir para bangsawan itu masih merasa dalam jaman penjajahan. Sebab segelintir orang itu merasa justru pada jaman penjajahan Belanda itu adalah masa kejayaan, pada masa dijajah Belanda itulah jaman emas. Nah, segelintir bangsawan itu memandang rendah suku lainnya,…”
“Terutama terhadap orang Jawa,begitukah?”
“Benar!”
“Mereka menganggap setiap orang Jawa adalah keluarga kuli kontrak yang tidak bermartabat,bukan?. Mereka menganggap setiap orang Jawa adalah budak yang diangkut dari Jawa seperti sapi?”
“Ya,begitulah,Marni.”
“Sungguh anggapan yang keliru dan tolol!,”cetus Marni kesal.
“Ingat, Azmi mungkin sudah berpikir maju, tapi bagaimana dengan ayah bunda dan keluarga lainnya?”
“Terus terang,Bang Monang. Aku memang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang berasal dari keluarga kuli kontrak. Kakek dari ibuku diboyong dari sebuah desa bernama Prembun di pinggiran kota Kutoarjo. Sementara kakek dari ibuku dari desa yang terletak di lereng Gunung Selamet.”
Ketika kakek Marni masih hidup dulu, ketika di hari tuanya, setelah tua renta, bongkok dan uzur, selalu bertutur, bahwa hidup sebagai kuli kontrak sangat menderita. Gaji kuli kontrak laki-laki hanya 35 sen perhari, sementara gaji kuli perempuan hanya 32 sen perhari. Ratusan ribu orang-orang dari berbagai kota dan tempat di Jawa diboyong ke Tanah Deli tanpa perjanjian yang pasti dan hidup amat menderita selama jadi kuli di berbagai di perkebunan. Banyak para kuli konrak itu menderita berbagai penyakit karena sarana tempat tinggal yang tidak memadai. Banyak kuli kontrak itu menderita TBC karena bangsal tembakau tempat kerja mereka udara buruk dan pengab. Penyakit lain yang diderita para kuli kontrak itu adalah demam tinggi, rabun, luka-luka di kaki dan disentri.
Penyiksaan oleh para mandor juga amat sering terjadi. Hanya karena menghilangkan alat-alat kerja seperti cangkul atau parang hukumannya pasti dicambuk dengan rotan atau tongkat bahkan diikat dan dijemur diterik matahari..
Kakek Marni juga selalu bertutur, bahwa Belanda memboyong kuli-kuli kontrak itu dari Jawa tanpa disediakan sarana ibadah, tidak ada guru mengaji, sehingga umumnya keturunan kuli kontrak itu amat dangkal dalam hal ilmu agama dan mengaji. Bila ada kuli kontrak atau keluarganya yang meninggal cara menguburkannya asal-asalan karena ketiadaan bilal,padahal bila salah satu umat Islam meninggal fardhu kifayahnya tidak dilaksanakan secara benar,maka warga sekampung akan menanggung dosa.
Lebih menyedihkan lagi adalah adanya diskriminasi antara kuli berasal dari Jawa dengan kuli keturunan Tionghoa yang upahnya lebih tinggi dan mereka pun diberi kesempatan untuk membuka warung sembako di areal perkebunan.
“Aku juga pernah membaca di majalah, bahwa upah kuli kontrak itu sangat rendah dan para mandor menganjurkan agar para kuli kontrak itu main judi lalu setelah kalah dalam perjudian mereka berhutang dan upah mereka dipotong sehingga penderitaan para kuli kontrak semakin bertambah. “ Monang menyela ucapan Marni.
“Lalu sebagai akibat kalah berjudi dan terlilit hutang banyak isteri-isteri para kuli kontrak itu menjadi pelacur!” tukas Marni lagi dan penuturan itu didengarnya dari sang kakek yang terikat oleh kontrak kerja sebagai kuli selama lebih dari 25 tahun di Perkebunan Deli Mij. Saat itu Belanda memiliki tidak kurang dari 160 perkebunan yang tersebar di sekitar Sumatera Timur. Dari mana pengusaha Belanda itu dapat memiliki tanah ratusan ribu hektar kalau tidak dari para penguasa di Tanah Deli, kalau tidak dari para sultan dan raja-raja Deli?.
Siapa yang tidak sedih mendengar ungkapan di berbagai surat kabar jaman itu , bahwa Rijkdommen in Deli verworven door de slavernij der contractkolies yang bermakna kekayaan di Deli dikorek dengan perbudakan kuli kontrak?.
‘Terus terang, sistem kuli kontrak jaman itu tidak ada bedanya dengan perbudakan terselubung,”
“Suasana seperti itulah yang masih lekat di dalam kepala para bangsawan Melayu itu, padahal penderitaan para kuli konrtrak itu karena mereka memberi ijin tanah milik mereka dipergunakan Belanda.
“Dan suasana pahit itu pula yang masih melekat di benak para bengsawan itu,bukan?. Orang Jawa gemar berjudi, isteri melacur, tidak ada pendidikan agama untuk anak-anak,itulah yang tetap diingat para bangsawan itu. Memang alangkah amat menyedihkan fenomena itu,” Marni menghela nafas panjang dan berat.
“Jangan terkejut kalau suatu saat Azmi meninggalkanmu karena orang tuanya tidak ingin anaknya kawin dengan boru Jawa. Jangan menangis kalau suatu ketika Azmi meninggalkanmu karena nenek-nenek mereka tetap beranggapan, bahwa keturunan kuli kontrak yang tidak bermartabat. “
“Artinya aku harus bersiap-siap kalau akhirnya Azmi dikawinkan dengan sesama bangsawan?”
“Ya!”
Marni menghela nafas panjang dan berat. Ia menelan air liurnya sendiri.. Sesaat ia menekur.
***
A
pa yang diucapkan lelaki kelahiran Siborong-borong itu memang benar adanya. Lelaki berdarah bangsawan itu memang tidak pernah lagi tampak batang hidupnya. Azmi tidak pernah mengajaknya ke pantai, tidak pernah lagi mengajaknya ke gunung, bahkan sekedar duduk-duduk di taman dekat air mancur juga tidak pernah lagi.. Bahkan sekedar mengajak makan bakso pun jauh panggang dari api.
Azmi tidak pernah datang lagi mengunjungi Marni, tapi Marni tidak berusaha untuk mencari tahu, tidak berusaha menyusul ke tempat lelaki itu bermukim di kompleks istana yang kini tidak lebih dari bangunan tua yang tidak terurus. Sekarang di kompleks bekas istana itu tampak bangunan berjejer yang terlihat seperti emperan. Masing-masing anak cucu dari keturunan raja atau sultan yang dulu pernah berkuasa mendirikan bangunan untuk tempat tinggal. Mau kemana lagi para bangsawan itu tinggal dan bernaung dari panas dan hujan kalau tidak membuat emperen di halaman belakang istana itu karena harga tanah saat ini setinggi langit, sementara para nengsawan itu hanya berpanghasilan pas-pasan dari kebun karet yang diwariskan dari Atok mereka.
Itulah sebabnya Marni tidak harus menyesal Azmi tidak pernah mengunjungi lagi. Marni tidak harus sangat menyesal karena lelaki bangsawan itu tidak sempat menjadi teman hidupnya. Mana mungkin ia harus bermukim di kompleks istana dan berjubel disana dengan para keturunan raja-raja dan sultan lainnya.
“Kabarnya Azmi buru-buru dikawinkan dengan bangsawan dari Asahan,” lelaki suku Batak itulah yang membawa kabar tentang perkawinan Azmi .
“Biarlah ia berbahagia,” Marni hanya berkomentar pendek.
Lelaki kelahiran Siborong-borong itu pula yang menceritakan ,bahwa ketika perkawinan Azmi dengan perempuan sesama bangsawan dari Asahan itu, cukup meriah. Pantun-pantun dilantunkan pembawa acara tidak hentinya mulai dari menyambut pengantin pria hingga duduk dipelaminan dan dilakukan tepung tawar, apa lagi tepak sirih juga sangat berperan. Para tamu yang hadir dihibur oleh orkes Melayu dan joged. Tidak ketinggalan kesenian khas Melayu Makyong yang pada hari itu membawakan lakon Nek Gajah Dandaru yang yang mengungkap kisah tentang seekor gajah Mina di pusat Tasik Pauh Jenggi yang bertempur dengan ular dan naga. Sebelum cerita itu dimulai, di atas panggung dilakukan sesaji berupa ayam panggang
“Kau tidak merasa sedih karena tidak masuk hitungan dalam keluarganya?”
“Aku sudah menduga, keluarganya pasti menganggap rendah diriku karena aku seorang gadis Jawa, apalagi kakekku tidak lebih dari kuli kontrak yang tidak bermatabat. Aku memang sudah siap untuk menerimanya.”
“Aku kagum kepadamu,Marni. Hatimu mulia.”
“Apa yang harus dibanggakan pada Azmi?. Bangsawannya?. Orang tidak lagi memandangnya dengan sebelah mata. Soal nafkah?. Kukira penghasilan Bang Monang jauh lebih lumayan dari pada Azmi”
“Akh Marni ,aku cuma tukang tambal ban di pinggir jalan yang tiap hari berpakaian kotor dan kumuh.”
“Tapi dalam soal duit, jangan tanya. Begitu bukan?. Gaji pegawai negeri lulusan sarjana golongan tiga, masih kalah dengan penghasilan Bang Monang “
Lelaki suku Batak itu hanya tersenyum.
“Nasib kita sama,Bang Monang. Kita pernah sama-sama kehilangan orang-orang tercinta. Aku kehilangan Mas Ario, lalu sekarang Azmi pun menikah dengan orang lain. Dan Bang Monang kehilangan Hadijah karena gadis itu direnggut penyakit demam berdarah.”
Sesaat lelaki kelahiran Tapanuli Utara itu termenung.
“Haruskah kehilangan itu akan berulang dan berulang lagi?’ terdengar lagi suara Marni lirih.
“Aku hanya pasrah ,” sahut Bang Monang.
“Aku juga begitu!”
“Kau cantik,Marni. Tidak kalah dengan bintang-bintang sinetron. Besok atau lusa pasti akan kau temukan seseorang yang akan menggantikan Mas Ario”
“Aku hanya berharap Tuhan akan mengirim seseorang kepadaku, tidak harus berpendidikan tinggi , tidak usah kaya, tapi berpanghasilan tetap. Sekedar bisa hidup sederhana. Bukankah ayah dan ibuku juga hidup sederhana?. Bukankah kakekku adalah kuli kontrak yang lebih banyak menderita dan miskin?”
“Pegawai negeri,maksudmu?. Guru, kontraktor atau karyawan Pertamina yang duitnya banyak?.”
“Tidak harus begitu. Tidak harus pegawai Pertamina!”
“Pegawai pe-el-en?”
Marni menggeleng.
“Bagaimana kalau .akhirnya Tuhan mengirimkan jodoh seorang lelaki yang pekerjaanya sebagai tukang tambal ban di pingir jalan?,” Ucapan itu lahir dari celah bibir Monang yang hitam legam diiringi tatapan mata yang amat dalam. Sebab jauh di dasar hati lelaki Batak itu amat mengagumi bibir Marni yang tipis dan matanya yang jernih seperti air telaga. Lelaki kelahiran Tapanuli itu juga mengagumi sifat Marni yang lembut dan keibuan., beda dengan ibunya sendiri yang tampak kasar.
“Aku belum memikirkannya,Bang Monang. Aku hanya dapat mengatakan, bahwa Bang Monang adalah seorang lelaki Batak yang baik dan selalu mengerti perasaan orang lain. Terus terang, aku berdarah Jawa dan berasal dari kakek yang bekerja sebagai kuli kontrak , tapi aku sudah biasa bergaul dengan orang Batak yang tampak kasar, tapi hatinya polos.”
Lelaki itu tersenyum.
“Tidakkah Bang Monang berusaha mencari pengganti Hadijah yang meninggal?.” Marni menatap wajah lelaki itu.
Lelaki itu menggeleng.
“Kenapa”, Marni masih menatap wajah lelaki bertubuh hitam legam itu.
“Banyak kenangan yang sangat sulit untuk dilupakan,” lelaki itu menunduk. Kenangan masa silam ketika ia masih pacaran dengan seorang gadis bernama Hadijah kembali membersit di benaknya.
“Bang Monang sulit melupakan kebaikan Hadijah?. Sulit untuk melupakan kelembutan tutur sapanya?”
“Tidak hanya itu!”
“Apanya lagi?”
“Aku lebih memilih mendapatkan Hadijah daripada memilih ayah dan ibuku di Siborong-borong.”
“Kenapa?”
“Aku sangat mencntainya dan apa pun aku lakukan untuknya. Karena Hadijah, akhirnya aku meninggalkan keyakinanku sebagai seorang penganut Kristen. Amang dan inang sangat marah kepadaku. Bahkan amang tobang, oppung, tulang tobang, tulang dan nan tulang tobang sangat murka seperti gunung berapi yang meletus. Amang , inang dan semua saudaraku mengancam, bila aku meninggalkan keyakinanku, aku dianggap bukan keluarga lagi, bukan anak, bukan famili,bahkan aku dianggap sebagai anak terbuang”.
“Ingat,Monang!. Kalau kau memeluk agama lain, putus hubungan keluarga di antara kita. Kau bukan orang Batak lagi!. Kau adalah anak terbuang, itulah ucapan amang dan inang yang sampai sekarang tetap terngiang di telingaku,” ujar lelaki itu lagi.
“Bang Monang benar-benar tidak takut menjadi seorang anak terbuang?”
“Apa yang harus ditakutkan?. Aku mampu mandiri. Aku mampu mencari nafkah sendiri dan aku tidak butuh uluran tangan siapa pun, apa lagi uluran tangan orang tua.”
“Hebat ,Bang Monang.”
“Aku tidak boleh pulang ke kampung. Aku tidak boleh lagi menginjakkan kaki di rumah orang tuaku.Aku tidak boleh pulang ke Siborong-borong.”
“Bang Monang siap menanggung semua risiko?”
“Risiko macam apa pun harus kuterima. Bahkan aku divonis tidak mendapatkan warisan apa pun.”
“Warisan apa saja? Tanah?”
“Tanah, kebun kemenyan, babi yang jumlahnya puluhan ekor, beberapa ekor anjing dan banyak lagi. Padahal babi-babi dan anjing itu harganya cukup mahal. Banyak orang dari kota mencari anjing ke kampung halamanku, untuk menjaga rumah, untuk menjaga ladang dan juga untuk berburu. Sudah lama anjing asal Siborong-borong sangat terkenal.”
Sesaat Marni temenung ketika lelaki suku Batak itu menceritakan pengalaman masa lalunya. Dulu, ketika masih pemeluk Kristen, namanya Hamonangan dan setelah menjadi seorang muslim namanya menjadi Ahmad Monang, tapi lelaki itu lebih senang dipanggil Monang saja. Marni jadi sangat iba kepada lelaki itu.
“Bang Monang tidak menyesal kehilangan warisan itu?”
“Kenapa harus menyesal?. Biarlah adik-adikku yang menerima warisan itu. Siapa tahu adik-adikku kesulitan hidup, mereka dapat hidup dari kebun kemenyan atau dari ternak babi-babi itu. “
“Aku kasihan, Bang Monang tidak sempat menikahi Hadijah karena harus menemui kematiannya akibat demam berdarah yang terlambat ditangani dokter.”
“Itulah yang amat kusesali. Itulah yang membuat hatiku seperti digores dengan beling tajam. Seperti ada seribu duri menusuk rongga hatiku”.
“Sekarang Hadijah sudah tidak ada, apakah Bang Monang akan kembali kepada keyakinan semula dn memohon maaf kepada orang tua dan semua famili di kampung?”
“Tidak!. Aku lebih tenang menjadi seorang muslim, meski pun saat ini belum dapat hadir di masjid . Aku akan tetap menjadi seorang muslim meski pun belum melaksanakan sembahyang secara rutin.”
“Artinya Bang Monang tetap tidak diakui sebagai anak oleh orang tua?. Bang Monang tetap dianggap sebagai anak terbuang?. Bang Monang tetap tidak dibolehkan pulang ke kampung halaman?”
“Aku sudah benar-benar siap jadi anak terbuang. Aku sudah siap tidak punya amang,tidak punya inang, tidak punya tulang, tidak punya oppung dan tidak punya siapa pun lagi. Tapi aku masih punya saudara, bahkan setelah aku kehilangan kerabat dekat, aku sudah mendapatkan lebih banyak saudara.. Semua muslim adalah saudaraku dan perduli terhadapku. Bukankah ajaran Islam mengatakan, bahwa sesama muslim itu bersaudara?. Itulah yang amat kukagumi pada ajaran Islam.”
“Aku senang mendengar semua itu!,” cetus Marni polos.
Sesaat lelaki itu termenung.
“Lalu suatu saat nanti Bang Monang akan menikah dengan gadis Batak ?, “Marni bertanya dan memandang wajah lelaki itu.
“Tidak!.”
“Gadis Melayu?”
“Juga tidak!”
“Minang?”
Lelaki itu menggeleng. Mereka saling bertatapan pandang. Marni bertanya lagi:
“Lalu Bang Monang akan memilih gadis seperti apa?”
“Seperti halnya Hadijah!”, lelaki itu menyahut polos.
“Jawa?”
“Ya!”
“Meski pun kakek neneknya dulu adalah kuli kontrak seperti halnya Hadijah dan aku?”
“Aku tidak pernah menganggap rendah keturunan kuli-kuli kontrak.”
“Bukankah mereka keturunan budak?. Bukankah kuli-kuli kontrak itu ketika bekerja dikebun senang main judi dan para isteri mereka banyak yang menjadi pelacur?”
“Tidak semuanya begitu. Aku sudah melihat sendiri , banyak orang-orang Jawa yang ibu bapaknya atau kakeknya adalah kuli kontrak, tapi mereka hidup layak dan terhormat. Mereka berpendidikan lumayan dan jadi pegawai.”
“Syukurlah kalau begitu!,” Marni tersenyum.
***
T
uhan memang menurunkan seseeorang untuk kawan akrab bagi Marni setelah Ario menjauh dan seorang lelaki berdarah bangsawan Melayu juga meninggalkannya. Marni tidak sempat terlalu lama Marni termenung-menung mengenang dan memikirkan dua lelaki itu. Marni tidak menolak ketika diajak Hanafi, seorang guru di sebuah perguruan swasta untuk minum air kelapa muda jauh di pinggir kota, arah ke gunung. Angin gunung pun sudah terasa membelai tubuhnya ketika mereka duduk lesehan di tempat sepi.
Marni tidak menolak ketika lelaki itu menyentuh jari tangannya dan meremasnya.
“Jari manismu masih kosong,Marni!,” bisik lelaki itu.
“Ya,” Marni mengangguk. “Itu tandanya belum seseorang pun yang hadir di hatiku.”
“Kalau begitu, aku masih punya kesempatan untuk mengetuk pintu hatimu,” lelaki itu menatap wajah Marni amat dalam.
“Kenapa tidak?”
“Kalau begitu belum ada yang memiliki”
Ada!. Jelas ada yang memiliki diriku dan selalu menjagaku dengan baik-baik!”
“Siapa?. Lelaki mana yang memilikinya dan selalu menjagamu setiap saat?”
“Ayah dan ibuku.”
Lelaki muda itu tertawa. Ia semakin erat menggenggam tangan Marni.
Amat cepat lelaki itu akrab dengan Marni yang mudah memberikan senyum kepada seseorang yang sudah dikenalnya, seperti sudah bertahun-tahun bersahabat. Lihatlah guru es-el-te-pe itu tidak merasa canggung lagi meremas-remas jari tangan Marni yang lentik. Bahkan lelaki itu tidak canggung lagi membelai rambut Marni, juga membelai pundaknya. Bahkan lelaki yang sehari-harian selalu menghadapi puluhan murid itu tidak lagi merasa canggung ketika Marni pun menyandarkan kepala di dada lelaki itu..
Tidak hanya sekali itu Marni diajak minum air kelapa muda. Hari-hari berikutnya, ketika libur Hanafi mengajak Marni ke gunung dan duduk di bawah pohon memandang kejauhan, memandang bukit-bukit yang diselimuti kabut.
“Mau naik kuda,?” terdengar suara Hanafi.
“Tidak usah!”
“Kenapa?””
“Aku takut terhempas. Tampaknya kuda-kuda itu semuanya binal dan liar.”
“Aku akan menjagamu. Mana mungkin kubiarkan kau terhempas dari punggung kuda”
“Aku lebih senang di sini dan memandang kejauhan.”
Amat manja Marni tidur-tiduran di atas rumput dan meletakkan kepalanya di paha lelaki itu. Ia membiarkan Hanafi membelai rambutnya.
“Marni,” suara lelaki itu lirih, terdenggar di antara gemersik dedaunan dibelai angin gunung.
“Hmmm,” Marni hanya bergumam.
“Andainya Tuhan mempertemukan kita…”
“Dalam sebuah perkawinan,maksudmu?,” Marni menatap wajah lelaki itu.
“Ya!”
“Lalu?”
“Aku hanya seorang guru yang gajinya pasti tidak cukup untuk hidup. Maukah kau untuk hidup sederhana?”
“Aku sudah memikirkannya. Kuharap kau maklum, bahwa aku adalah seorang gadis Jawa. Setiap gadis berdarah Jawa dalam menjalani kehidupannya selalu diberi warisan dari orang tuanya, tapi bukan berupa harta, bukan emas, bukan gedung, tapi falsafah ajaran leluhur.”
“Apa bunyi falsafah itu?”
“Banyak!. Amat banyak falsafah leluhur itu dan jumlahnya tidak terhitung.”
“Bolehkah aku mendengarnya salah satu saja?”
“Salah stunya adalah Aja dumeh ayu banjur kemayu,”
Tentu saja Hanafi yang lahir di kawasan Tanah Rencong itu tidak mengerti makna falsafah Jawa itu.
“Apa maknanya falsafah itu?,” lelaki itu masih mengusap rambut Marni dengan kasih sayang, padahal mereka belum lama saling mengenal, tapi sudah amat akrab.
“Artinya jangan mentang-mentang berwajah cantik lantas sok cantik dan tinggi hati. Wanita yang dikodratkan memiliki wajah cantik tidak boleh memamerkan kecantikannya, tapi harus diimbangi dengan kemampuan lain, seperti memiliki keahlian khusus.”
“Seperti ketrampilan yang kau miliki selama ini,bukan?. Trampil menjahit busana ,terutama busana muslimah dan juga pintar mengaji. Justru hal-hal itulah yang menggugah hatiku ,Marni.”
Marni tersenyum. Marni hanya sempat menikmati pendidikan kelas dua SMA, lalu drops out karena ayahnya tidak punya biaya lagi. Marni lalu mengikuti kursus ketrampilan menjahit busana wanita, sekali gus kursus border. Alhamduillah, kursus ketrampilan itu amat bermanfaat baginya. Marni segera membuka butik kecil-kecilan, namun pelanggannya amat banyak. Semua kawan-kawannya ketika kecil dulu bila menempah busana pasti mencari Marni. Kawan-kawan Marni mengaji di rumah Ustaz Sulaiman Wardoyo juga banyak menempah busana muslimah kepadanya. Malah mahasiswi yang akan diwisuda juga menjahitkan kebaya juga mencari rumah Marni. .Sepanjang hari Marni selalu sibuk. Sepanjang hari roda mesin jahit Singernya senantiasa terus berputar. Berjam-jam Marni berada di depan mesin jahitnya, hingga matanya perih, hingga pinggangnya terasa patah.
Tapi Marni tidak pernah mengeluh. Ia merasa sebagai penjahit pakaian sudah menjadi dunianya. Dan penghasilannya juga lumayan. Uang tidak putus-putusnya terus mengalir. Penghasilannya tidak kalah dengan Ainun yang menjadi pegawai di kantor bupati.
“Terus terang aku sudah siap seandainya harus hidup sederhana dan prihatin bila Tuhan memberikan jodoh kepadaku seorang suami yang gajinya kecil.”
“Ah,Marni. Hatimu teramat mulia. Aku jadi amat kagum kepadamu.,” cetus Hanafi polos dan Marni mendapat kecupan dikening.
“Maukah mendengar falsafah Jawa lainnya dan maknanya sangat bagus untuk menjadi pegangan hidup?”
Sepasang bibir Marni yang tipis dan dipolesi lipstik warna jambon itu bergetar melahirkan kata-kata tentang falsafah leluhur Jawa:
“Cegah dhahar lawan guling, artinya anjuran untuk berpuasa dan berprihatin dengan mengurangi makan dan tidur. Terlalu kenyang dan tidur lelap membuat manusia menjadi malas dan tidak sensitive terhadap kehidupan..”
“Falsafah itu cukup bagus dan bermakna tinggi.,”sambut Hanafi.
Marni memberikan jari-jemari tangannya untuk dirgenggam lelaki itu, untuk diremas-remas. Dan lelaki itu meremasnya.
“Seandainya Tuhan mempertemukan kita dalam sebuah perkawinan dan gaji yang diberikan kepadaku tidak cukup untuk biaya hidup kita dari bulan ke bulan, aku sudah siap membantu. Aku bukan seorang wanita karir, aku bukan perempuan kantoran, tapi untuk mencari tambahan penghasilan suami, aku sudah punya sandaran.. Kita akan mampu mandiri. Kita akan mampu mengontarak rumah, kemudian lambat laun membeli tanah, lalu selangkah demi selangkah kita akan membangun rumah sendiri. Aku sudah punya usaha butik meski pun kecil-kecilan..”
Sekali lagi Marni mendapat hadiah ciuman di kening, juga di pipinya.
“Kalau begitu, aku tidak ragu-ragu untuk melamarmu. Kita akan membangun sebuah perkawinan.”
“Kita tidak akan terlantar. Kita akan hidup layak!”
Berulang kali Marni mendapat hadiah kecupan dari Hanafi. Ketika Marni berbaring beralaskan rumput-rumput halus di pebukitan itulah sekali lagi ia mengungkap sebuah falsafah Jawa , Guci lenga kayu gapuk. Lugu suci, mentheleng lunga, kaku ngguyu, lega dipukpuk. Falsafah itu bermakna tentang perkawinan orang Jawa. Bahwa sebuah perkawinan adalah untuk membangun keluarga dengan niat suci, lugu dan suci. Setiap persoalan harus diselesaikan dengan kepala dingin, jangan membesarkan biji mata atau dalam bahasa Jawa mentheleng agar pasangan kita tidak lunga atau pergi. Jika salah satu pihak kaku,maka pasangannya haruslah ngguyu atau tersenyum. Jika suami menjadi api yang membara maka isteri haruslah menjadi air yang dapat memadamkan bara api. Disamping itu perasaan tulus ikhlas atau lilla legawa harus dipuk-puk atau dibangun. Hanafi amat senang mendengar falsafah itu yang memiliki makna amat dalam dan teramat luas.
***
Sebagai seorang lelaki muda yang dilahirkan di Meulaboh, kawasan Serambi Makkah, Hanafi ingin pernikahan dengan Marni dilakukan dengan adat Aceh sepenuhnya . Hanafi sudah meminta bantuan Ustaz Abdul Manaf untuk menjadi seulangke yang akan menjadi perantara atau juru bicara dalam menyelesaikan urusan perkawinan itu yang mewakili calon linto baro atau calon mempelai lelaki yang dimulai dengan meulakee yakni peminangan hingga acara akad nikah hingga bersanding di atas pelaminan.
Pihak keluarga Hanafi akan mempersiapkan ranub bate atau sirih selengkapnya kemudian akan diiringi dengan acara ranub kong haba selanjutnya menyerahkan kain sarung, bakal baju dan perhiasan emas yang akan dipakai Marni selama masa pertunangan. Bahkan Hanafi sudah merencanakan dengan matang bulan Zulhijah acara pernikahan itu akan dilangsungkan. Hanafi sudah memberi tahu Geuchik dan Teungku Sagoe serta kaum kerabat dekat.
Hanya seminggu sebelum acara jak meulakee dilaksanakan, Hanafi merasakan jidatnya disambar petir ketika ia menerima sebuah surat kilat khusus dan pengirimnya adalah Ummi Cut Syarifah dengan alamat Jalan Dwiwarna nomor 39 .Lama lelaki itu memikir-mikir karena Hanafi tidak memiliki kerabat bernama Ummi Cut Syarifah dan ia pun tidak tahu dimana letak Jalan Dwiwarna. Dan isi surat itu dirasakan Hanafi bagaikan sebutir peluru yang ditembakkan tepat di keningnya. Tangannya gemetar ketika membaca surat itu baris demi baris:
“Hanya karena ummi merasa ananda Hanafi sebagai anak kandung ummi, sebagai darah daging ummi, maka ummi menulis surat ini karena ummi tidak ingin ananda terjerumus dalam lumpur kubangan kerbau. Ummi menyadari ananda mencintai Marni karena ia adalah seorang gadis yang cantik, lembut dan sifat keibuan amat terlihat pada dirinya . Marni adalah seorang gadis yang dapat mencari nafkah dengan membuka usaha butik . Ummi tahu, ananda akan menikahi gadis itu karena kelak ia mampu membantu dalam hal mencari nafkah. Ia dapat menopang keluarga dalam hal nafkah.
Tapi disamping itu semua, tahukah ananda , bahwa gadis itu memiliki masa silam yang amat kelabu?. Tidak pernahkah selama ananda mengenal gadis itu mencoba menyingkapkan tabir masa lalunya yang hitam seperti arang?. Ummi hanya ingin agar ananda tidak terjerumus ke dalam jurang. Sebab ummi tahu benar masa lalu gadis itu. Marni sudah amat akrab dengan seorang lelaki bernama Ario Harsono yang saat ini menghilang tidak tentu rimbanya. Marni sudah sangat sering diajak bermalam entah dimana. Sulit dibayangkan apa yang terjadi bila seorang gadis dibawa seorang lelaki hingga tidak pulang ke rumah. Ummi tahu persis, Marni pernah hamil dan terpaksa harus menggugurkan kandungannya karena lelaki yang telah menodai dirinya lenyap bagai diterbangkan burung garuda. Ummi kasihan kepadamu kalau sempat mengawini seorang gadis yang pernah terjerumus dalam dosa dan noda yang amat sulit untuk dimaafkan. Silakan ananda menikah dengan Marni, tapi Ummi sudah menyampaikan hal ini untuk pertimbangan.
Salam
Ummi Cut Syarifah
Tiba-tiba saja tubuh Hanafi lemah seperti kehabisan tenaga, seperti darahnya membeku dalam seketika. Lelaki itu terhenyak disofa dan dan sehelai surat itu masih di tangannya yang gemetar.
Surat dari siapa,Han?,” Nurul, kakak kandungnya segera menghampiri dan langsung saja menyambar surat itu dari tangannya.
Surat ini harus menjadi pertimbangan bagimu,Han. Kakak juga tidak ingin kau menikah dengan seorang gadis yang tak suci lagi,.” Kakak kandung lelaki itu memberi reaksi keras.
‘Apa yang harus kulakukan ?.”
“Ingat, kau adalah seorang guru dn muridmu ratusan banyaknya. Karirmu adalah seorang guru, perofesi yang terhormat di masyarakat. Apa kata murid-muridmu, apa kata masyarakat kalau mendengar kau menikah dengan seorang gadis yang sudah pernah disentuh orang lain hingga hamil?”
Hanafi merasa kepalanya dipukul dengan palu godam seberat dua puluh lima kilogram. Sesaat Hanafi termenung. Tubuhnya masih terasa amat lemah.
“Jalan yang terbaik adalah mencari tahu. Kau bisa saja mendatangi beberapa orang teman gadis itu, atau tetangganya. Pasti mereka tahu persis apa dan bagaimana masa lalu gadis itu.”
“Aku akan pergi sekarang. Aku harus menyelediki detik ini juga. Aku harus tahu siapa sebenarnya Marni.!”.
Hanya dengan sandal jepit dan celana jin lusuh, lelaki yang bekerja sebagai guru itu langsung mengendai Vespa tuanya . Dengan diam-diam Hanafi mendatangi salah seorang tetangga Marni yang juga membuka usaha jahit menjahit, terutama jahitan busana muslimah.
Tentu saja Kak Zainab yang membuka usaha jahit menjahit itu senyum-senyum mendengar pertanyaan Hanafi tentang Marni. Tentu saja Kak Zainab memberi bumbu penyedap karena tetangga Marni memang sudah lama merasa tidak simpati terhadap Marni karena persaingan. Sejak Marni membuka usaha butik, hampir semua langganan Kak Zainab berpindah kepada Marni.
“Lihat saja sendiri, bagaiman Marni berpakaian mengumbar aurat. Marni memang cantik, tapi tidak dapat menjaga kehormatan dan kesucian dirinya sebagai seorang gadis. Kalau seorang gadis yang tahu menjaga dirinya, pasti dia menolak kalau diajak bermalam di suatu tempat. Tapi Marni tidak begitu. Dua malam pergi bersama pacarnya juga pernah.” Seenaknya Kak Zainab yang hatinya kotor seperti air limbah itu mengumbar kata-kata indah.
“Pernahkah kakak mendengar Marni menggugurkan kandungan?”. Hanafi bertanya lebih jauh.
“Tentang hal itu hanya Tuhan yang tahu. Kakak hanya pernah mendengar, bahwa Marni memang pernah masuk rumah sakit selama hampir seminggu,” ucap Kak Zainab yang memang selalu bersikap tidak simpati terhadap Marni karena merasa banyak pelanggannya direbut Marni.
“Tidak mungkin Marni masuk rumah sakit karena dia sehat dan segar bugar, tapi karena itu tadi, untuk menbuang segumpal dosa dalam rahimnya…”
Hanafi merasa ulu hatinya ditusuk dengan beribu duri. Lelaki itu langsung pulang..
Kepalanya terasa amat pening, hingga hampir saja lelaki itu menabrak sebuah truk yang sedang membongkar muatan sembako.
Tidak ada lagi acara jak meulakee, tidak ada lagi acara ba ranub kong haba atau mengantar sirih pertunangan di rumah Marni. Hanafi tidak pernah lagi hadir di rumah Marni. Tidak pernah lagi mengajaknya minum air kelapa muda. Sebab ia menduga Marni bukanlah seorang gadis yang baik. Hanafi menganggap Marni bukan seorang gadis suci lagi. Padahal ia tidak tahu siapa yang telah menulis selembar surat kaleng yang menamakan dirinya Ummi Cut Syarifah.. Padahal Hanafi sama sekali tidak pernah mengenal nama itu sebelumnya. Teramat mudah lelaki itu termakan fitnah yang amat keji. Hanafi adalah seorang guru, tetapi terlalu mudah ia mencerna sebuah fitnah yang lebih kejam dari sebuah pembunuhan.
Harus berapa kalikah aku kehilangan?. Harus berapa kalikah aku mengalami kegagalan?. Harus beribu kalikah aku merasakan pedih di rongga dada?. Harus beribu kalikah aku tersandung batu cadas. Haruskah aku berulang-ulang terbentur sebongkah batu?. Haruskah aku selalu menelan empedu yang pahit dalam perjalanan hidupku?, Marni termenung dan mengusap dadanya yang perih dan pedih menggigit. Lama ia menekur, lama ia menghela nafas berat dan panjang.
Lama Marni merasakan perih di dadanya, seperti digores beling tajam.
Untunglah selalu saja ada gadis-gadis yang datang menjahitkan kebaya untuk menyambut tamu-tamu pada upacara perkawinan keluarganya, atau mahasiswi yang menjahitkan busana untuk wisuda. Ibu-ibu yang akan menunaikan Ibadah Haji dan datang ke rumah Marni juga selalu ada. Rumah Marni tidak perrnah sepi. Marni tidak sempat terlalu lama termangu-mangu. Ia tidak sempat terlalu lama mengenang orang-orang yang pernah mempunyai tempat istimewa di hatinya. Sebagai seorang penjahit busana kaum hawa ia memang selalu sibuk. Bahkan terkadang makan pun terlambat,sampai perutnya selalu terasa perih.
Membaca majalah khusus perempuan pun terkadang tidak punya waktu lagi. Apa lagi untuk membuat kue lemper makanan kesukaannya, tentu saja tidak sempat. Tapi Marni merasa senang dengan karirnya sebagai penjahit busana wanita. Ia memiliki banyak sahabat,ia memiliki banyak kenalan. Kalau Marni berjalan di pasar untuk mencari benang, kancing baju. resluiting atau asesoris lainnya, pasti ada saja orang-orang yang menyapa, padahal Marni merasa tidak kenal. Pastilah orang yang menyapa dengan ramah itu adalah mereka yang pernah hadir di rumahnya untuk menempah baju baru, padahal butik miliknya hanya kecil-kecilan.
***
Sebuah mobil kijang tua tampak memasuki halaman rumah Marni ketika ia sedang menyelesaikan busana muslimah milik seorang ibu yang akan menunaikan Ibadah Haji. Seorang lelaki berkulit hitam legam dan bibirnya tebal ,turun dari kijang tua itu dan mengucapkan salam.
“Hai, Bang Monang, lama tidak muncul main kemari!,” sapa Marni dan masih duduk di depan mesin jahitnya.
“Aku sibuk terus,” sahut lelaki itu dan langsung duduk di depan Marni.
“Sibuk mengumpul uang buat kawin?”
“Ya, kalau suatu saat ada gadis yang mau, aku sudah punya uang untuk pesta yang meriah.”
Marni tersenyum. Lelaki itu menatap wajah Marni, menatap bibirnya yang tipis tanpa dipolesi lipstik dan memperhatikan hidungnya yang mancung. Meski pun tanpa lipstik, meski pun tanpa dandanan, meski pun hanya mengenakan daster yang gombrong, Marni tetap tampak cantik, tetap berpenampilan menarik, tetap membuat hati dan jantung lelaki kelahiran Siborong-borong itu bergetar.
“Kulihat kau tidak pernah lagi jalan-jalan bersama Hanafi,” terdengar lagi suara Bang Monang.
“Ya!” Marni menyahut pendek.
“Kenapa?. Putus hubungan lagi?”
“Begitulah adanya. Datang dan pergi,” Marni menghela nafas panjang dan berat.
“Kau sudah kehilangan Ario, lalu ketika Azmi mulai akrab denganmu, tiba-tiba ia kawin dengan gadis sesama keturunan bangsawan Melayu. Lalu aku selalu memperhatikamu dari jauh dan diam-diam aku selalu melihatmu bersama Hanafi, tapi kemudian menghilang lagi.”
“Entah apa sebabnya harus begitu. Apakah retak tanganku yang kurang baik? . Harus berapa kali aku kehilangan?. Adakah sesuatu yang membawa sial pada diriku?.”
Marni mengucapkan kata-kata itu sambil menunduk, ia masih saja duduk di depan mesin jahit yang sudah amat banyak mendatangkan uang baginya.
“Aku kasihan melihatmu,Marni. Kalau memang retak tanganmu kurang menguntungkan, mungkin dapat dirobah. Kalau memang ada sesuatu yang membawa sial pada dirimu juga dapat dibuang jauh-jauh,” lelaki itu berkata polos.
“Bagaimana aku harus merobah retak tangan?. Bagaimana aku harus membuang sesuatu yang membawa sial pada diriku?.”
“Bisa!. Kalau kau memang mau pasti bisa.”
“Meminta bantuan orang pintar? Haruskah aku pergi ke dukun?. Haruskah aku mendatangi paranormal?. Itulah yang tidak pernah kulakukan.” Marni mengangkat wajahnya dan menatap wajah lelaki itu.
“Tidak ada salahnya berusaha,Marni. Kalau kau memang mau, aku dapat mengantarmu kepada orang pintar yang sudah amat terkenal dan bertangan dingin.”
Sesaat Marni memikir-mikir. Kadang-kadang Marni selalu memperhatikan tubuhnya sendiri di cermin, tidak ada secuil pun cacat, tidak ada bekas luka seujung jarum pun, apa lagi yang namanya panau dan kadas, tidak ada sama sekali. Bentuk tubuhnya indah dan mulus. Tiap lelaki pasti akan senang memandang bentuk tubuh seindah itu. Apa lagi bibir Marni yang tipis dan hidungnya yang mancung seperti tidak puas-puasnya untuk dipandang berlama-lama.
“Jodohku masih amat jauh,Bang Monang.”
“Mudah-mudahan dengan bantuan orang tua mungkin jodoh yang jauh dapat dibuat dekat. Atau seseorang tidak mudah meninggalkanmu.”
“Ya, rasanya memang tidak ada salahnya aku memohon bantuan orang tua, siapa tahu ada manfaatnya.”
“Oke, aku akan mengantarmu, mumpung ada yang menitipkan kepadaku kijang tua untuk dijual dan sebelum laku bisa untuk mengantarmu ke Porsea.”
“Porsea? Di daerah Batak sana?. Sejauh itukah”
“Ya!.”
“Haruskah aku menginap di sana?. Haruskah aku bermalam di rumah dukun itu?’
“Tidak harus menginap. Kita akan pulang hari itu juga.”
“Meski pun hujan lebat?”
“Meski pun ada tanah longsor, meski pun ada badai dan banyak pohon tumbang, kita akan tetap pulang.”
“Terima kasih,Bang Monang. Aku sudah amat banyak menerima uluran tangan dan kebaikan Bang Monang”
Marni tersenyum.
***
D
emi Tuhan, itulah pertama kalinya Marni menjejakkan kakinya di tanah leluhur orang Batak. Sepanjang jalan rambut Marni berkibar dibelai angin ketika ia duduk di sisi Monang memegang stir kijang tua tapi mesinnya bandel itu sambil merokok sepanjang jalan.. Di kiri kanan jalan tampak pemandangan indah, bukit-bukit hijau, jalan berliku-liku, babi-babi berkeliaran dan tugu keluarga tampak di sana-sini dan juga patung pangulubalang tampak di setiap desa sebagai simbol penjaga desa.
“Masyarakat Batak masih banyak yang percaya, bahwa asal mula sejarah manusia suku Batak diawali dengan Dewa Mulajadi Na Bolon yang mengirim puterinya si Boru Deak Parujar dari langit dan turun ke bumi lalu kawin dengan dewa Odap-Odap yang kemudian melahirkan anak kembar yang laki-laki bernama Si Raja Ikat,” sambil menyetir mobil tua itu, Monang berkisah tentang riwayat suku Batak.
“Yang perempuan siapa namanya?,” Marni tertarik pada kisah itu.
“Yang perempuan bernama Si Boru Ihat dan mereka kawin hingga lahirlah seorang anak yang disebut Si Raja Batak bertempat di Sianjur Mula-mula di kaki gunung Pusuk Buhit di sebelah Barat Pulau Samosir.”
“Pantas sejak nenek moyang, orang Batak selalu tampak kasar dalam berprilaku dan berbicara.”
“Ya,tapi hatinya selalu polos dan lugu.”
“Aku memahami hal itu, seperti aku memahami pribadi Bang Monang. Kalau hati Bang Monang tidak polos, mana mau aku ikut Bang Monang sampai ke Tapanuli yang banyak kulihat hanya tugu dan babi,” cetus Marni dan melontar pandangan ke kanan dan kiri jalan, memandang bukit-bukit hijau.
“Apakah ada penganut muslim di sini?. Karena yang banyak kulihat hanya gereja,.” tanya Marni.
“Ada!. Bahkan sebelum aku menjadi seorang muslim, kerabat dekatku juga ada yang memeluk agama Islam. Dulu, sebelum Islam dan Kristen menyebar di Tapanuli, masyarakat Batak menganut kepercayaan primitive dan mereka percaya kepada Ompu Mulajadi Na Bolon, yaitu dewa sebagai dewa Pencipta Alam Semesta.”
Tangan Bang Monang lincah memegang bundaran stir karena jalan yang berkelok-kelok, tapi dari celah bibir yang hitam itu terus saja melahirkan kata-kata yang bertutur tentang masyarakat Tapanuli yang dulu amat percaya dengan Dewa Batara Guru yang bertempat tinggal di benua bawah dan disebut Tuan Pane Na Bolon yang mengatur sirkulasi hujan, cahaya, angin, petir dan laut serta memberi kesuburan tanah.
Bang Monang juga bertutur tentang dewa Soripada atau Silaon Na Bolon yang memberi anak dan keturunan dan menciptakan anak dalam kandungan ibu. Lalu yang mengatur hidup dan matinya manusia adalah dewa Mangala Bulan, yang mengatur kaya atau miskinnya manusia.
Marni amat senang mendengar penuturan itu. Meski pun lelaki yang ada di sisinya hanyalah seorang penambal ban mobil, tapi duitnya banyak. Dalam soal uang pasti lebih banyak daripada duit pegawai negeri golongan III.
Mobil kijang tua itu membelok ke arah sebuah jalan sempit, lalu membelok lagi dan memasuki desa Siraituruk dan berhenti di sebuah rumah khas Batak Di rumah itulah bermukim seorang Guru Huta yang sudah amat terkenal hingga ke seberang desa, hingga ke kabupaten lain.
“Kita sudah sampai,”, Bang Monang turun dan Marni melangkah di sisinya.
“Mudah-mudahan kita akan berhasil, kau segera memdapatkan jodoh.,” ucap lelaki itu lagi.
“Aku juga berkeinginan begitu, seseorang datang dan tidak pergi pergi lagi.”
Mereka berdua diterima oleh seorang lelaki tua berjanggut panjang,berpakaian serba hitam dan berbicara dalam bahasa Toba. Tentu saja Marni tidak mengerti dan yang menyahut adalah Bang Monang.
Sang Guru Huta itu manggut-manggut dan berkata, bahwa sudah banyak anak-anak gadis yang datang kepadanya untuk memohon jodoh dan pada umumnya berhasil. Marni duduk bersimpuh di depan sang dukun dengan jantung berdebar kencang karena baru sekali inilah Marni mendatangi seorang paranormal yang bertempat tinggal jauh di Tapanuli, itu pun karena diajak oleh Monang.
Marni hanya memperhatikan ketika orang tua yang diakui orang banyak sebagai orang pintar itu mulai bekerja, menjalin bonang manalu atau benang tiga warna, putih,hitam dan coklat, kemudian meletakkan segelas air di depannya.
“Gelas itu berisi aek singali-ngali,” Monang menjelaskan.
“Apa itu?,” Marni ingin tahu.
“ Air dingin dan sejuk yang diambil bukan dari sembarang tempat.”
“Lalu dari mana?”
“Dari kaki Pusuk Buhit, di kaki gunung yang dikelilingi danau dan disanalah orang Batak pertama kali tinggal.”
Marni hanya manggut-manggut dan memperhatikan setiap gerak sang dukun di depannya. Lelaki berjanggut panjang itu mulai membakar dupa dan mulutnya berkomat-kamit mengucapkan kalimat-kalimat tertentu.
“Dia sedang memanggil dewa Silaon Bolon, dewa yang berkuasa mengatur kelahiran manusia, mengatur kapan manusia hidup dan kapan akan mati.”
“Juga mengatur jodoh seseorang?.”
“Ya!. Dewa itu yang menentukan jodoh setiap manusia. Karena itu dia memanggilnya untuk hadir di depan kita dan memberikan jodoh kepadamu.”
“Mudah-mudahan ada hasilnya kita jauh-jauh datang ke tempat ini.”
Sang Guru Huta yang sudah sangat tua itu mulai membaca mantera dengan nada berirama :
“Di halaman ni musunta inon da surungi pitu hali da ordong pitu hali le amang datu surung ma ho Batara Silaon Bolon ni gurungku janggamora jangga morisi mardung ni shirput na rere na sada panggumorang dohot shhirput na rere mago-mago ho ugus ni bujing-bujing di bahen pangulubalang mago ma ho agos”
Usai membaca mantera lalu orang tua itu menyembur gelas berisi aek singali-ngali kemudian memberikannya kepada Marni untuk diminum beberapa teguk dan sisanya agar dibawa pulang. Bonang Manalu yang sudah dijalin kemudian diikatkan pada jari manis tangan kiri.
“Benang ini harus selalu mengikat jari manismu agar seseorang yang datang tidak pergi lagi.” Itulah saran Pak Tua berjanggut panjang itu.
“Terima kasih,oppung!,’ sahut Marni.
“Dalam waktu tiga malam kau akan bermimpi didatangi oleh seorang pemuda dan laki-laki itulah jodohmu. Jangan tolak kehadirannya. Tapi harus diingat, bahwa pemuda yang datang, bukanlah orang intelek ,bukan pegawai tinggi, tapi jangan keliru, dia mampu memberi nafkah yang cukup!” itulah pesan sang dukun.
“Terima kasih,Oppung,” sahut Marni.
Terakhir sang Guru Huta itu menyelimutkan sebuah ulos ragihotang ke pundak Marni dan berpesan:
“Ulos ini harus dilingkarkan di leher setiap malam menjelang tidur,”
“Sampai kapan,Oppung.”
“Sampai kau bermimpi didatangi seorang pemuda yang bakal menjadi suamimu .”
Marni hanya mengangguk lirih. Sebelum meninggalkan rumah berbentuk adat Batak itu Marni meninggalkan sebuah sumpit dari pandan berisi beras dan sebuah amplop berisi uang.
“Biasanya dukun itu bertangan dingin dan biasanya perempuan yang meminta jodoh lalu mendapatkan jodoh lelaki yang baik dan sudah punya pekerjaan atau usaha yang dapat untuk hidup layak,” itulah kata-kata yang diucapkan Bang Monang ketika mobil kijang tua itu meninggalkan kawasan Porsea di Tapanuli.
“Terima kasih,Bang Monang sudah mengantar aku,” Marni tersenyum kepada lelaki di sisinya di atas kijang tua yang meluncur cepat di jalan raya.
Aek Singali-ngali pemberian dukun di Porsea itu diusapkan Marni tiga kali di bagian muka setiap menjelang tidur, lalu ketika mulai berbaring Marni menyelimuti dirinya dengan ulos. Tengah malam, ketika ia tidur lelap dan bermimpi sedang berjalan di sebuah taman bunga seorang diri, dari kejauhan tampak seorang lelaki membawa sekuntum mawar lalu memberikan mawar itu kepadanya, tapi aneh, lelaki itu adalah Bang Monang.
Malam berikutnya, sekali lagi Marni mengusap wajahnya dengan aek singali-ngali, lalu berselimut ulos, ia bermimpi sedang mangayuh sampan di tengah laut dan ombak tiba-tiba amat besar , hampir saja menenggelamkan sampan itu. Marni berteriak-teriak meminta pertolongan tetapi siapa yang perduli karena di tengah lautan luas tidak ada orang?. Tiba-tiba saja muncul seorang lelaki yang menyelamatkan dirinya ketika sampan itu mulai tenggelam. Ya, Tuhan. Lelaki yang tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan dirinya adalah Bang Monang.
Sulit bagi Marni untuk memejamkan mata lagi. Sudah dua malam berturut-turut yang hadir dalam mimpinya adalah seorang lelaki berdarah Batak yang memiliki usaha tempel ban di pinggir jalan. Kenapa harus Bang Monang yang datang dalam mimpiku?.
Kenapa harus Bang Monang yang hadir dalam mimpi-mimpiku?. Apakah lelaki seperti Bang Monang itukah yang akan menjadi teman hidupku?. Oh,Tuhan, Marni mengeluh panjang..
Aneh, sungguh amat aneh, pikir Marni ketika di malam ketiga ia bermimpi berjalan seorang diri di tengah hutan belantara, tiba-tiba muncul si belang dari balik belukar dan bersiap-siap untuk menerkamnya. Marni berlari seperti seekor kijang, namun harimau itu tetap saja mengejarnya, siap untuk menyobek tubuhnya. Marni berteriak-teriak meminta pertolongan. Tapi siapa yang mendengar jeritannya selain burung-burung selain ular berbisa, atau beruang yang juga ingin menyantap tubuhnya.
Mukzizat Tuhan seakan turun, seorang lelaki mirip tarzan berayun-ayun pada akar kayu , langsung menyambar dirinya lalu membawanya ke atas pohon. Lelaki kesatria itu pun lalu menangkap si belang dan mematahkan batang lehernya.
Ya,Tuhan. Lagi-lagi sang penyelamat itu adalah Bang Monang. Nafas Marni terengah-engah. Jantungnya hampir copot. Marni tidak dapat lagi memejamkan mata dan pukul tiga dinihari ia bangkit lalu melakukan sholat tahajud. Marni mohon kepada Tuhan, apakah jodohnya memang seorang lelaki kelahiran Siborong-borong yang usahanya adalah tukang tambal ban.
“Ya,Robbi. Apakah jodohku adalah Bang Monang?. Tidak adakah lelaki lain yang lebih layak untuk menjadi teman hidupku?. “
Lama bibir Marni yang tipis itu berkomat-kamit menyebut kebesaran Tuhan dan memohon petunjuk. Di luar terdengar desau angin malam mempermainkan daun-daun pohon jambu. Malam amat sepi dan dingin. Yang terdengar hanya desau angin dan nyanyian jengkrik. Sepasang bibir itu terus bergetar melantunkan doa-doa yang panjang.
Pada saat itulah, ketika malam dingin, ketika bibir Marni berkomat-kamit, tiba-tiba seperti ada seseorang yang berpakaian serba putih menghampiri dan mengusap pundaknya, lalu menyapa lirih.
“Doamu didengar Tuhan,Marni,” ujar mahluk berpakaian serba putih.
“Tidak usah risau, tidak usah merasa sedih kalau memang jodohmu adalah lelaki berdarah Tapanuli itu. Jangan anggap remeh status sosialnya hanya sebagai penambal ban, tapi hatinya mulia. Ingat Marni, Monang adalah seorang lelaki ulet dalam mencari nafkah. Di mana pun ia tegak, pasti tidak akan menderita karena ia pintar dan tekun dalam mengais rezeki.”
Marni tertegun mendengar bisikan itu::
“Kenapa harus rendah diri kalau teman hidupmu bukan seorang pegawai negeri?. Apa artinya suamimu adalah pegawai negeri tapi tidak mencukupi untuk hidup?. Ingat Marni, jangan menjadi sombong dan tinggi hati. Kau sendiri dilahirkan dari keluarga kuli kontrak yang selalu diremehkan orang. Kau lupa, bahwa kakekmu diangkut dengan kapal laut seperti sapi dari desa Pituruh Kutoarjo?. Kau lupa ketika kakekmu jadi kuli perkebunan pernah di hukum cambuk karena lari dari hospital?”
“Kalau memang jodohmu adalah lelaki bernama Monang, terimalah dengan dada terbuka,Marni. Yakinlah kau akan berbahagia di sisinya.!”
Marni menunduk mendengar semua ucapan itu dan sesaat kemudian mahluk berpakaian putih itu naik ke langit. Sebagai seorang gadis yang memiliki darah Jawa, Marni selalu mendengar dari neneknya tentang falsafah Jawa , bahwa setiap manusia dilahirkan memiliki saudara ghaib yang empat, yakni ari-ari,plasenta, darah rasa perih ibu dan dirinya sendiri. Pada malam yang sepi dan dingin itulah, diantara desau angin malam, saudara ghaib yang namanya ari-ari menghampiri Marni dan mengajaknya berkata-kata:
“Kau gadis berdarah Jawa,Marni. Kau harus memilih seperti apa dirimu sebenarnya, apakah seperti retna kencana, atau seperti surya sumurup, tasik madu, dhandhan ngelak, puspa megar, padma sari, pandhan kanginan, gedhah seta, tarabas, padma Negara, amurwa tarung, wulandari, kusumastuti, candrawela, kunci kencana, loncang kencana, atau lintang kerahinan dan sri tumurun,”
“Aku memilih sebagai puspa megar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar,” sahut Marni sejujurnya.
“Seharusnya kau tahu apa maknanya, kombak kombuling kahanan, mobah mungkreting donya, bahwa kehidupan manusia ibarat cakra manggilingan, seperti roda yang terus berputar ,demikian pula kehidupan selalu berobah. Kalau teman hidupmu adalah Bang Monang, dalam keadaan apa pun dia akan tetap hidup layak karena ia memang ulet mencari nafkah.”
Marni menunduk mendengar ucapan itu. Ia membiarkan saudara sekelahiran ,ari-ari berkata lagi:
“Kau dan laki-laki itu akan selalu dalam keadaan sabaya mati, sabaya mukti, sehidup semati sependeritaan sampai akhir hayat. Ingatlah ajaran orang Jawa, bahwa urip mung mampir ngombe, bahwa hidup ini hanya sesaat ,hanya mampir sejenak untuk sekedar minum. Karena itulah kau terimalah uluran tangan Bang Monang, mudah-mudahan kau akan berbahagia.”
Kata-kata itu hanya membuat Marni termangu sesaat. Dan saudara sesama lahir yang biasa disebut ari-ari itu berkata lagi:
“Witing tresna jalanan saka kulina. Asal mula dua orang berlainan jenis itu jatuh cinta karena sudah lama saling bertemu dan mengenal pribadi masing-masing. Ingat dalam falsafah orang Jawa, tresna atau jatuh cinta akan tumbuh setelah dua insan saling memahami lawan jenisnya. Terimalah kehadiran Bang Monang dengan tangan terbuka.”
Tiba-tiba saja dada Marni terasa sejuk. Malam itu ia tidak merasa ragu-ragu lagi untuk menerima uluran tangan Bang Monang. Biarlah usahanya hanya sebagai tukang tambal ban mobil di pinggir jalan.
Itulah sebabnya ketika lelaki itu datang dengan berpakaian rapi, bercelana jin dan kaus oblong bergambar seorang Indian melempar tombak, Marni menyambutnya dengan wajah cerah. Tidak ada lagi keraguan di hatinya. . Lelaki kelahiran Siborong-borong itu tampak tegar dan gagah.
“Hai,Bang Monang. Hari ini aku membuat lemper, pasti Bang Monang senang menikmatinya,” sapa Marni ramah.
“Wah, orang Batak pasti suka makanan apa pun, asalkan bukan batu kerikil atau besi”
Marni tertawa ceria. Ada kebahagiaan di rongga hatinya. Lelaki itu duduk dan menyulut rokok. Bang Monang memang seorang perokok berat, asap rokok selalu mengepul dari mulut dan hidungnya. Tapi pada saat dia sedang menambal ban lelaki itu tidak teringat pada rokoknya.
Baru sesaat ia duduk , telinganya sayup-sayup mendengar sesuatu yang indah dan enak didengar.
“Seperti ada suara nyanyian,” ujar lelaki itu.
“Itu gending Jawa,” sahut Marni. “Kampung ini umumnya dihuni oleh masyarakat suku Jawa dan sebagian besar mereka keturunan kuli kontrak. Meski pun sudah bertahun-tahun meninggalkan daerah leluhur mereka di Jawa Tengah, tapi mereka pada umumnya tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa. Mereka masih mencintai kesenian Jawa, seperti wayang, ketoprak, kuda lumping,ludruk, reog dan tari”
“Seharusnya memang begitu. Seperti halnya orang Batak agar tidak lupa pada tari tor-tor, jangan lupa apa artinya ulos bagi masyarakat Batak. Orang Tapanuli harus tetap merindukan ende-ende dimana pun ia berada.. Tiap orang Batak, meski pun bertempat tinggal yang jauh, tapi mereka harus tahu apa maknanya Dalihan Na Tolu.”
Marni tersenyum. Ia membiarkan lelaki itu menyimak alunan gending Jawa yang terdengar dari kejauhan:
“Gesang sesrawunganing manungsa tuwin samubarang kawon tenan ingkang mawarni-warni ing donya punika bade andayana sadaya dateng lare tumrap indaking gesangipun lair saha batos…”
“Mau tahu makna gending yang dikidungkan oleh pesinden itu?,” tanya Marni dan menatap wajah lelaki itu.
“Tentu saja!. Aku selalu panasaran.”
“Maknanya, bahwa pergaulan hidup manusia di dunia ini dalam keadaan beraneka warna dan semua mempunyai daya pengaruh atas tumbuh berkembangnya anak , baik lahir mau pun batin. Artinya gending itu adalah anjuran mendidik anak ”
“ Sungguh bagus maknanya. Yang menyanyikan tembang itu pasti perempuan cantik.”
“Tentu saja.”
Lelaki itu mengepulkan asap lagi.
“Gadis-gadis Jawa sudah banyak yang menikah dengan lelaki suku lain, demikian juga lelaki Jawa sudah banyak yang menikah dengan perempuan dari suku lain, tapi umumnya mereka tetap saja merasa sebagai orang Jawa, bergaul dengan cara Jawa. Itulah sebabnya ketika aku masih bocah , ayah dan ibuku ingin aku menjadi seorang penari srimpi.”
“Lalu kau pernah belajar tari itu?”
Marni mengangguk.
“Banyak nilai-nilai luhur pada tari itu. Pada awalnya tari itu hanya ditampilkan di istana keraton Yogyakarta dan Surakarta, tapi pada akhirnya dimana saja tari itu sering ditampilkan orang.”
Meski pun tari Srimpi pernah diperlajari Marni ketika masih bocah, tapi ia akan tetap ingat jenis-jenis tari srimpi mulai dari srimpi Anglirmendung, srimpi Glondongpring, hingga Jayaningsih. Bahkan sampai saat ini busana untuk tampil sebagai penari serimpi masih tersimpan dengan baik di lemarinya, seperti baju kotang,kain samparn, slepe,kanthong gelung, garuda mungkur , gelung jungkat kandhal menek. Gending yang mengeringi tarian srimpi seperti , ladrang gudhasi dan ketawang sumedhang masih selalu diingat Marni.
Marni membiarkan lelaki itu mengunyah lemper yang dibuatnya dan meneguk kopi kental yang masih hangat.
“Wah, enak kopi buatanmu,Marni. Membuat aku sering-sering kemari,” cetus lelaki itu memuji. Lelaki itu juga mengatakan, bahwa setiap orang Batak pasti pecandu kopi, pasti gemar minum tuak dan makan jengkol.
“Aku justru senang kalau Bang Monang selalu kemari.”.
“Tidak menganggu?”
“Kenapa harus terganggu. Akhir-akhir ini aku selalu memikirkan Bang Monang, bahkan dalam mimpi-mimpiku yang selalu hadir adalah Bang Monang,” Marni mengatakan hal itu dengan wajah menunduk dan tersipu.
“Aneh,Marni. Aku juga merasakan hal yang sama,” sahut lelaki itu.
“Kalau demikian kita memiliki perasaan yang sama. Dalam mimpi-mimpiku tengah malam yang sepi dan dingin, Bang Monang selalu datang untuk menolong diriku yang sedang diintai bahaya. Bang Monang selalu tiba-tiba muncul pada saat aku sedang dalam kesulitan. Bang Monang tiba-tiba muncul ketika aku dalam bencana.”
“Memang aku tidak ingin melihat kau dalam kesulitan dan kesukaran. Diam-diam meski pun dari kejauhan aku selalu memperhatikan dirimu. Aku akan berbuat apa saja untukmu.”
Marni mengerti makna kata-kata yang artinya amat dalam.
“Apakah untuk selamanya Bang Monang selalu datang ketika aku dalam bahaya dan diintai bencana yang mengerikan.?” Amat dalam Marni menatap wajah lelaki itu. Ia ingin menyelami isi hati lelaki itu. Ia ingin tahu apakah di dasar hati lelaki itu ada rasa sayang dan kerinduan..
“Ya, untuk selamanya!.” Lelaki itu menyahut polos. Marni dan lelaki itu saling bertatapan. Masing-masing merasakan perasaan yang amat dalam , merasakan ada getar-getar halus dalam sanubari mereka.
“Bagaimana andainya aku sedang dalam suasana suka cita dan kebahagiaan?,” tanya Marni dan masih tetap menyelami isi hati lelaki itu. Ia ingin tahu apa isi hati lelaki itu adalah lumpur kotor atau mutiara yang berkilau.
“Tentu saja kalau kau berbahagia akulah yang membahagiakanmu!. Aku ingin membuat hidupmu bahagia!”
“Artinya dalam sebuah rumah tangga?.” Marni masih menatap wajah lelaki itu amat dalam.
“Ya, dalam sebuah perkawinan yang suci!”
“Oh, Bang Monang.” Marni tiba-tiba rebah di dada lelaki itu. “Bang Monang berkata sungguh-sungguh?”
“Tentu!,” sahut lelaki itu dan mendekap tubuh Marni amat erat dan lama.
Marni tidak mampu berkata-kata. Ia membiarkan tubuhnya remuk dalam dekapan Bang Monang.
“Aku berjanji untuk membuat hidupmu senang. Tidak usah khawatir, kalau saat ini aku hanya sebagai seorang tukang tambal ban di pinggir jalan. Suatu saat aku akan mampu membeli sebuah rumah dan bagian depan akan kujadikan sebuah show room yang menjual mobil-mobil bekas. “
“Lalu Bang Monang tidak lagi menambal ban?,” tanya Marni.
“Tentu usaha itu tetap kupertahankan, karena itulah dasar hidupku, tapi yang mengerjakannya bukan lagi aku. Aku akan menggaji orang untuk mengerjakannya.”
“Oh,Bang Monang , aku berdoa semoga semua itu menjadi kenyataan. Aku pun mempunyai pekerjaan, aku juga akan bekerja keras untuk mengumpul uang. Aku akan berhemat, untuk hidup kita.”
Lama Marni dalam dekapan lelaki itu.
***
Apa yang diucapkan lelaki berdarah Batak itu bukanlah sekedar tinggi gunung seribu janji, bukan janji yang semanis madu. Lelaki itu harus bekerja keras, tidak hanya menambal ban di kiosnya di pinggir jalan, tapi juga sebagai agen mobil. Kadang-kadang di sisi kiosnya dipajang dua atau tiga sepeda motor bekas untuk dijual dan terkadang dalam waktu yang tidak lama, sepeda motor itu terjual dan lelaki itu mendapatkan untung tiga atau empat ratus ribu.
Minggu yang lalu Bang Monang mendapat rezeki satu juta rupiah karena berhasil menjualkan sebuah mobil Carry dan penjual mobil bekas itu memang butuh duit.
Sekarang, pertolongan Tuhan pun datang lagi untuk membuka pintu rezeki bagi lelaki itu .ketika ada seorang pegawai Badan Pertanahan Negara butuh uang segar. Tanpa harus menunggu lama lagi, Monang harus menemui kenalannya di kawasan Belawan yang memang ingin membeli sebuah Panther .
Monang sendiri yang menyetir mobil itu ke arah Belawan. Lelaki itu hanya memiliki waktu dua jam, karena ada makelar mobil yang juga menawarkan mobil Panther. Monang harus lebih dulu tiba di Belawan dan berharap kenalannya cocok dengan mobil yang dibawa Monang .
Jalan pintas mana lagi yang lebih cepat dan tanpa rintangan selain jalan tol?. Di tangan Monang Panther itu memang lincah dan tenang meluncur di jalan tol dan tanpa sadar jarum speedometer sudah menunjukkan angka 120 . Angin terasa mendesing-desing. Jalan tol yang mulus membuat setiap pengendera terkadang selalu tidak menyadari, bahwa kecepatan mobilnya sudah seperti angin dan belasan mobil terlampaui
Di atas mobil yang meluncur seperti angin itulah di benak lelaki itu muncul bayang-bayang wajah Marni yang bundar telur dan bila tertawa ada hiasan lesung pipit di pipinya yang mulus. Terbayang oleh lelaki itu saat Marni sedang berada di depan mesin jahitnya untuk menyelesaikan busana pesanan orang. Marni juga seperti halnya Monang sendiri, harus bekerja keras untuk masa depan mereka berdua.
“Aku kagum kepadamu,Marni. Kau ulet mencari uang seperti umumnya perempuan suka Batak dalam mengais duit. Perempuan Batak dengan menggendong bayinya di belakang pagi-pagi benar sudah hadir di Central Pasar untuk menjual sayur. Inang-inang suku Batak juga tidak harus minder, tidak harus merasa malu berdagang pakaian bekas di sekitar Jalan Sambu.
Ibu-ibu suku Batak tidak harus merasa minder menjual barang-barang rumah tangga dengan sistem cicilan. Bahkan inang-inang yang melakukan bisnis uang tidak kurang banyaknya, memberi pinjaman dengan bunga dua puluh persen. Demi menghidupi anak dan keluarganya tidak jarang orang Batak jadi pengijon dan tempat praktek rentenir itu sampai ke kantor-kantor pemerintah.
“Jangan terlalu lelah dalam mencari duit,Marni,” bisik Bang Monang dalam mobil yang terus meluncur seperti angin. Di pelupuk matanya tetap terbayang seraut wajah Marni yang cantik dan tutur sapanya selalu lembut. Sebentar lagi perempuan berdarah
Jawa yang kakeknya adalah kuli kontrak itu akan menjadi isterinya. Seperti tampak di depan matanya roda mesin jahit di depan Marni yang terus berputar.
“Kalau memang lelah, istirahatlah dan tidurlah yang nyenyak dengan mimpi indah.”
Bang Monang terus berkata-kata sendiri dalam mobilnya yang terus meluncur amat kencang di jalan yang mulus. Lelaki itu harus mengejar waktu agar tidak didahului orang lain mumpung ada peluang besar..Dua tiga mobil sudah didahului. Dan lelaki itu terus berkata-kata dan berkali-kali menyebut nama Marni.
“Sebentar lagi kita menikah,Marni. Sebentar lagi kita kawin dan berbahagia. Sesaat lagi kita akan menikmati saat-saat yang amat indah. Tidak lama lagi kita akan menikmati hari-hari yang amat manis. Tunggulah sesaat lagi kita memetik bintang-bintang di langit biru dan bersama-sama kita membawanya pulang.”
Mobil Panther itu terus meluncur dan bayang-bayang wajah Marni tetap melekat di pelupuk matanya. Puluhan kali lelaki itu menyebut nama Marni. Puluhan kali lelaki itu menyebut kata-kata tentang kebahagiaan.
“Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menikmati hari bahagia itu,Marni. Kau ingin anak kita dua orang, atau tiga atau lima atau tujuh?. Orang Batak biasanya mempunyai anak banyak sampai timbul semboyan maranak sapulu pitu atau tujuh belas orang, biar bersama anak-anak sebanyak itu membuka lahan pertanian. Banyak anak tentu banyak pula rezekinya, begitu prinsip orang Batak, Marni.”
Lelaki itu tersenyum sendiri . Kebahagiaan sebentar lagi akan tergenggam di tangannya. Dan lelaki itu tersenyum lagi, tersenyum lagi tandanya ia sedang membayangkan keindahan dan saat-saat manis.
“Kau senang kalau anak-anak kita berikan nama-nama seperti umumnya nama Batak?. Kau senang mendengar nama Bistok?. Atau kau senang dengan nama Oloan?. Masih banyak lagi nama-nama orang Batak yang enak di dengar, seperti Tagor, Mangihut atau Bonar. Kalau anak kita lahir perempuan senangkah kalau kita beri nama Saulina atau Tiurma?. Nama Tio dan Maniur juga sangat bagus..Tapi kalau kau lebih ingin anak-anak kita diberi dengan nama-nama khas Jawa, aku juga tidak akan melarang, asal nama-nama itu enak di dengar dan indah.”
Sebagai lelaki Batak mana mungkin Monang tahu nama-nama anak lelaki suku Jawa yang bagus.-bagus. Andainya ia yang harus memilih nama, mungkin akan memberi nama anak lelakinya dengan nama Karto, Pawiro, Ngadimin atau Sastro. Kalau anak perempuan yang ia tahu hanya nama Inem, Iyem, Kartik , Atun atau Ijah.
Ketika menyebut nama-nama tentang anak-anak yang bakal lahir dari rahim Marni itulah, tiba-tiba saja as depan mobil itu patah, padahal mobil itu meluncur dalam kecepatan tinggi. Lelaki itu tidak sempat memijak rem. Lelaki itu tidak mampu mengendalikan mobilnya, apa lagi saat itu ia sedang melamun. Karena as depan sebelah kiri patah, mobil itu meluncur ke arah kiri dan menabrak pembatas jalan. Monang merasakan benturan yang amat keras di kepalanya dan semua berlangsung amat cepat. Mobil itu ringsek karena benturan yang amat keras, apa lagi dalam kecepatan tinggi. Tidak hanya kepalanya yang terbentur pada kaca depan, tetapi pecahan kaca juga menembus dan merobak bagian bawah perutnya . Lelaki itu tidak sadar lagi. Darah terlalu banyak mengucur dari tubuh hitam legam itu.
Darah terlalu banyak mengucur. Untunglah sebuah mobil milik Jasa Marga sedang melakukan patroli rutin. Beberapa orang turun dan berusaha menyelamatkan tubuh lelaki suku Batak yang bermandi darah dalam keadaan terjepit. Karena benturan yang amat keras, tubuh lelaki itu amat sulit untuk dikeluarkan dari bangkai mobil. Tubuh yang terluka itu segera diusung ke rumah sakit. Lama lelaki yang malang itu tidak sadarkan diri.
Hingga berjam-jam berada di ruang rawat gawat darurat lelaki itu tetap belum sadarkan diri. Marni hanya mampu menangis ketika tiba di rumah sakit dan menyaksikan tubuh yang terbaring penuh luka-luka.
“Anda anggota keluarganya?,” tanya salah seorang dokter yang merawat lelaki malang itu.
“Ya!,” Marni hanya mengangguk,padahal anggota keluarganya berada jauh di Tapanuli Utara. Marni harus mengakui Bang Monang sebagai anggota keluarganya karena Marni segera ingat bahwa Bang Monang tidak diakui sebagai anak lagi oleh kedua orang tuanya sejak dia menjadi seorang muslim. Tidak ada lagi yang mau mengakui sebagai keluarga sejak Bang Monang beralih akidah. Marni segera ingat Bang Monang dianggap sebagai anak yang terbuang, sebagai anak yang tersingkir dari sisi kerabatnya, yang tidak mempunyai famili dan saudara lagi. Di dunia ini lelaki itu menjadi sebatang kara karena telah beralih agama.
“Ia membutuhkan transfusi darah secepatnya. Terlambat memberikan darah mungkin membawa akibat fatal baginya,”ujar dokter itu lagi.
“Saya akan mencari darah dengan segera ,dokter,” ujar Marni dan tidak sempat terlalu lama menangis di depan tubuh Bang Monang yang terbujur bagai orang mati.
“Lebih cepat akan lebih baik untuk menolong jiwanya!.” ujar dokter itu lagi.
Marni bergegas pergi. Sepanjang jalan sepasang bibir Marni berkomat-kamit memanjatkan doa kepada Tuhan untuk meminta perlindungan bagi Bang Monang. Airmatanya seperti hujan lebat yang tercurah dari langit. Berderai-derai membasahi pipinya.
“Oh,Tuhan, selamatkan nyawa Bang Monang. Ya,Robbi, lindungi jiwa Bang Monang. Jangan ambil nyawanya, jangan pisahkan kami. Perkenankan hidupnya lebih lama, Ya Allah,” itulah doanya beruilang-ulang. “Kasihanilah Bang Monang karena ia adalah sebatang kara , karena ia tidak mempunyai orang tua lagi, tidak mempunyai sanak saudara, dan tidak mempunyai siapa pun di atas dunia ini.”
Tidak perduli harus membayar mahal, Marni tidak harus merasa sayang menguras dompetnya untuk membayar harga darah yang setinggi langit. Berapa pun harganya, Marni harus membayarnya demi untuk menyelamatkan nyawa seorang lelaki yang seharusnya sesaat lagi akan menjadi suaminya.
Obat-obat yang harus dibeli juga setinggi langit. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, Marni harus kehilangan uangnya ratusan ribu untuk membeli obat dan darah. Apalagi lelaki yang baru saja mengalami kedelakaan itu harus menjalani operasi untuk mengeluarkan pecahan kaca di kepala dan di bawah bagian perutnya.
Lebih enam jam lelaki yang malang itu tidak sadarkan diri karena luka-luka yang amat parah dan terlalu banyak mengucurkan darah. Syukurlah Marni segera memperoleh darah sehingga nyawa lelaki malang itu dapat tertolong. Air mata Marni masih bederai-derai ketika ia membasuh mukanya dengan air ketika wudhuk kemudian melaksanakan sholat hajat memohon perlindungan Tuhan agar seorang lelaki yang bakal menjadi suaminya tetap hidup.
Malam itu tidak sedetik pun matanya terpejam, padahal udara di rumah sakit itu dingin dan angin berhembus giris. Sebentar-sebentar ia bertanya kepada perawat apakah Bang Monang sudah sadar . Ia hanya menghela nafas panjang bila Suster memberi jawaban agar Marni membantu dengan doa.
Dada Marni terasa plong, terasa seperti baru saja lepas dari himpitan sebatang pohon yang tumbang ketika mendengar Bang Monang mulai sadar dari pingsan.
“Bersyukurlah kepada Tuhan, bahwa keluarga anda sudah melewati saat-saat paling kritis,” ujar salah seorang perawat yang menemuinya.
“Alhamdulillah, syukur pada-Mu Tuhan,” gumam Marni hampir tidak terdengar. “Kebesaran-Mu jua yang telah menyelamatkan seseorang yang kucintai dari kematian”
Saat-saat kritis sudah berakhir, tapi Bang Monang belum mampu berkata-kata. Matanya sudah terbuka, tapi belum dapat mengenal dengan pasti siapa yang ada di depannya. Matanya sudah dapat memandang langit-langit rumah sakit, tapi ia tetap belum mampu berpikir jernih, belum mampu mengingat apa yang baru saja terjadi atas dirinya. Marni tetap berada si sisi lelaki itu dan tangannya tidak pernah lepas dari pergelangan tangan lelaki itu untuk merasakan denyut nadinya. Marni tidak merasa lapar, tidak merasa haus meski pun sudah berjam-jam berada di sisi lelaki itu.
“Marni,” suara lelaki itu amat irih, tapi Marni mendengarnya dengan jelas. Nafas Marni terasa lega setelah lelaki itu sadar sepenuhnya, sadar siapa perempuan yang ada di sisinya.
“Bang Monang…”
“Dimana aku berada?.” Suara itu pun masih lirih.
“Bang Monang berada di rumah sakit dan aku selalu ada di sisimu.”
“Kenapa aku ada di sini?”
“Bang Monang baru saja mengalami kecelakaan,” Marni merasa amat iba melihat keadaan lelaki itu yang tampak amat lemah. Pasti lelaki itu merasa kepalanya amat pening, pasti tubuhnya yang penuh luka-luka itu terasa amat sakit.
Sesaat lelaki itu menekur, seperti berusaha untuk mengingat apa yang baru saja terjadi atas dirinya. Setelah amat lama menekur, barulah ia sadar, mobil yang dikenderainya mengalami patah as dan mobil itu menubruk tembok pembatas jalan tol.
“Kecelakaan itu terjadi ketika aku sedang menyebut namamu,Marni. Tuhan masih melindungi diriku. Tuhan masih sayang kepadaku. “
“Ya, Tuhan masih sayang kepada kita semua. Andainya Bang Monang tidak tertolong, pasti yang paling bersedih adalah aku.”
“Kau juga ikut menyelamatkan nyawaku dari kematian,Marni. Aku sudah tidak punya sanak saudara, tidak punya siapa pun di dunia ini. Siapa yang akan mencarikan darah kalau tidak ada kau,Marni?. Aku sudah mati dan kaku di sini kalau kau tidak segera datang.”
Lelaki itu menggerakkan tangannya seperti ingin menggenggam jari jemari tangan Marni. Marni memberikan jari tangannya dan membiarkan lelaki itu menggenggamnya erat-erat, tapi tenaga lelaki itu masih amat lemah.
Pada saat Bang Monang mulai sadar dan dapat berbicara, muncul pemilik mobil sial yang sudah ringsek dan jadi besi tua itu. Bang Monang merasa bahwa pemilik mobil yang akan dijual itu menuntut ganti rugi karena mobil yang akan dijual itu sekarang tidak lebih dari besi tua. Berapa juta aku harus membayar biaya perbaikan mobil yang ringsek itu?, pikir Monang. Tapi yang terjadi adalah lain.
“Tidak usah pikirkan lagi mobil yang sekarang sudah jadi bangkai itu. Saya datang untuk mengatakan bahwa anda tidak perlu menggantinya. Saya lupa untuk mengatakan, bahwa mobil itu memang sudah lama terasa tidak enak di atasnya.”
“Terima kasih,” hanya itu yang mampu diucapkan Bang Monang. Ia merasa bersyukur, tidak perlu membayar ganti rugi mobil yang sudah hancur. Namun yang pasti, Bang Monang sudah terhindar dari kematian, sementara mobil yang akan dijual itu memang sudah dirasakan oleh pemiliknya tanda-tanda kerusakan pada bagian as depan hingga akhirnya patah ketika mobil itu meluncur amat kencang di jalan tol.
Setetes demi setetes cairan bening bergulir di pipi Marni yang mulus dan lelaki itu memperhatikan pipi Marni yang basah.
“Marni,” suara lelaki itu masih lirih.
Marni tak mampu menyahut,hatinya merasakan kesedihan yang amat mendalam.
“Maafkan aku,Marni. Aku telah membuatmu menangis. Aku telah membuatmu bersedih dan aku telah membuatmu mengalami banyak kesulitan.”
“Tidak ada yang harus dimaafkan. Setiap gadis berdarah Jawa pasti akan menolong orang lain dengan hati ikhlas,”
Lelaki itu tersenyum meski pun sakit di kepala dan tubuhnya yang luka-luka masih ia rasakan.
“Aku merasa senang Bang Monang sudah dapat tersenyum, padahal sejak beberapa waktu yang lalu aku disiksa rasa cemas khawatir akan keadaan Bang Monang.”
Mereka saling bertatapan pandang dan ujung jari tangan lelaki itu berusaha untuk menyeka tetesan air mata di pipi Marni.
“Aku akan segera sembuh,Marni. Aku akan segera meninggalkan rumah sakit ini dan pulang. Bukankah kita akan segera menikah?. Bukankah kabar tentang rencana perkawinan kita sudah tersebar kemana-mana?”
“Biarlah kabar itu sudah tersebar kemana-mana, Bang Monang tidak usah buru-buru pulang sebelum luka-luka Bang Monang benar-benar sembuh.”
Marni diminta meninggalkan ruangan itu ketika dokter yang merawat lelaki itu memasuki ruangan untuk memeriksa keadaannya. Beberapa saat dokter itu memeriksa tubuh Monang dengan teliti.
“Tidak ada lagi hal-hal yang mengkhawatirkan. Anda hanya menunggu kesembuhan.,” ujar dokter yang amat baik dan ramah itu.
“Terima kasih ,dokter.” Sahut lelaki suku Batak itu.
“Hanya ada sesuatu yang harus anda maklumi dan hal ini harus diterima dengan sabar dan lapang dada,” dokter itu menatapnya. Stetescop masih bergantung di lehernya dan seorang perawat senantiasa mendampingi dengan kartu status di tangannya.
“Hal apa yang harus saya maklumi,dokter?,” tanya lelaki berdarah Batak itu.
“Sebentar lagi anda akan sembuh total dan boleh pulang, tapi anda harus menyadari, bahwa ada organ tubuh yang mengalami kerusakan dan tidak berfungsi secara sempurna,” ujar dokter yang merawatnya.
“Artinya saya akan cacat?. Apakah saya akan berjalan pincang?. Apakah saya akan pikun karena benturan keras di kepala saya?.”
“Bukan!. Bukan pikun, tapi anda tidak akan mempunyai keturunan.”
“Artinya saya tidak akan mampu memberi nafkah batin kepada isteri saya kalau satu saat nanti saya menikah?” .
“Dalam hal itu anda adalah seorang lelaki normal. Anda dapat bergaul dengan isteri sebagaimana mestinya.”
Dengan amat hati-hati dokter itu mengatakan, bahwa lelaki yang baru saja mengalami kecelakaan itu tetap saja sebagai lelaki perkasa dalam menggauli isterinya. Monang memang tampak sebagai lelaki normal setelah kecelakaan itu terjadi. Monang tetap saja memiliki daya ereksi dan ejakulasi tinggi.. Tapi akibat benturan yang amat keras pada organ tubuh di bagian bawah perutnya menyebabkan kerusakan fungsi testis .. Benturan yang amat keras itu menyebabkan organ yang namanya testis itu tidak dapat berfungsi secara optimal, padahal organ itu merupakan pabrik sel-sel sperma. Dokter itu juga mengatakan, bahwa kerusakan organ testis yang sesungguhnya amat vital bagi seorang suami, akan menentukan ada atau tidaknya keturunan nanti. .Sekarang kedaaan lelaki itu mirip seorang suami yang menjalani vasektomi. Itu artinya Bang Monang tetap saja sebagai lelaki perkasa, tapi statusnya seperti lelaki yang tidak dapat menghamili isterinya. Lelaki itu bagaikan dikebiri. Sperma yang kelak disemai dalam rahim isterinya tidak berkualitas.
“Artinya saya tetap memiliki sifat sebagai lelaki namun tidak dapat membuat isteri saya hamil dan selamanya saya tidak akan mempunyai keturunan?”
“Ya,begitulah gambarannya. Kami para dokter yang merawat anda berharap hal ini tidak menyebabkan anda mengalami pukulan mental.!,” itulah pesan dokter itu.
“Saya sudah siap menghadapinya dokter. Siapa tahu dengan pengobatan alternatif saya akan tertolong.”
“Silakan saja.”
Lama lelaki itu termenung ketika dokter yang merawatnya menyampaikan tentang keadaan dirinya yang saat ini bagaikan seorang lelaki yang sudah menjalani vasektomi karena ada organ tubuh yang diangkat akibat kecelakaan di jalan tol itu.
Ketika Marni masuk lelaki itu masih termenung. Memang apa yang diungkapkan dokter itu amat memukul batin Bang Monang, apa lagi sebagai orang yang berdarah Batak, tidak punya anak akan menjatuhkan martabat dan marwahnya sebagai lelaki. Tiap lelaki suku Batak yang tidak punya anak akan dianggap tidak perkasa. Siapa yang akan meneruskan keturunan dan marganya kalau ia tidak punya anak?. Suami dari kalangan suku Batak merasa hidupnya tidak sempurna kalau tidak punya keturunan. Dan Marni tidak boleh tahu hal itu. Bang Monang harus menyembunyikan hal itu terhadap Marni. Pasti hati Marni akan merasa sangat sedih mendengarnya. Setiap perempuan menikah, pasti yang diinginkan tidak hanya kebahagiaan, tapi juga keturunan. Dan hal itulah yang tidak dapat diberikan oleh Bang Monang setelah mengalami kecelakaan.
“Kenapa Bang Monang termenung?. Apa kata dokter?” tanya Marni.
“Dokter itu hanya berkata dalam waktu dua atau tiga hari lagi, aku diijinkan pulang,” lelaki itu membohong. Ada hal-hal yang harus disembunyikan terhadap Marni.
“Syukurlah, pulang dan benar-benar sembuh.”
Marni mencoba untuk tersenyum. Dan Marni tidak pernah tahu ada sebongkah batu cadas yang tersembunyi di relung hati lelaki yang tidak lama lagi akan menjadi suaminya. Marni tidak pernah tahu ada hal-hal yang tersembunyi akibat dari kecelakaan yang dialami lelaki itu. Ia akan amat sedih andainya tahu, bahwa Bang Monang keadaannya sudah seperti suami yang menjalani vaksetomi, perkasa tapi benihnya kosong. Benih-benih dari lelaki itu kini bodong dan hampa. Bang Monang memang memiliki senjata, tapi pelurunya tumpul!.
Meski pun Bang Monang sudah dapat menyuap makanan sendiri di rumah sakit itu, meski pun sudah dapat turun sendiri dari tempat tidurnya dan berjalan ke toilet tanpa bantuan orang lain, tapi tiap hari,tiap malam Marni selalu menjaga lelaki di sisinya. Marni tidak ingin meninggalkan lelaki itu sedetik pun. Marni tidak rela kalau ada seekor nyamuk menggigit tubuh lelaki yang ia harapkan akan menjadi suaminya. Karena terlalu lelah, terkadang Marni tanpa sadar tertidur di sisi lelaki itu dan tidak menyadari lelaki itu membelai rambutnya dan mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.
“Kau sudah menyelamatkan nyawaku, Marni. Kau adalah seorang perempuan yang berhati mulia. Kalau kau tidak ada, sudah pasti aku sudah jadi makanan cacing-cacing tanah,” bisik lelaki itu ketika mengusap rambut Marni dan mengecupnya. Marni tidak mendengar ucapan itu. Ia terlalu lelah. Bila ia membuka mata, terdengar kicau burung di ranting pohon mahoni yang tumbuh di halaman rumah sakit dan langit pun berwarna merah tandanya fajar sudah terbit.
“Nyenyak benar tidurmu,Marni. Pasti mimpimu indah sekali.”
“Ya!,” Marni tesenyum. “Indah sekali. Rasanya Bang Monang sudah benar-benar sembuh dan kita berjalan-jalan di taman yang penuh dengan bunga mekar dan harum semerbak.”
Di luar rumah sakit itu, di ranting pohon mahoni burung-burung berkicau nyaring dan seekor induk burung mengajar anaknya terbang.
***
A
ngin yang berhembus seperti menyebarkan kabar tentang rencana perkawinan Marni dan Bang Monang hingga ke ujung dunia. Burung-burung yang terbang dari ranting pohon ke ranting lainnya juga membawa kabar itu kemana-mana, hingga ke balik gunung, hingga ke seberang laut.
“Kau merasa tidak salah pilih,Marni?,” ujar salah seorang sahabatnya, Ratna, yang kini sudah diberi anugerah 2 anak dan suaminya seorang pegawai negeri di kantor camat. Namanya memang keren, sebagai pegawai negeri sipil, tapi hidupnya bagai kerakap tumbuh di atas batu. Tiap bulan gajinya kurang melulu. Mana ada gaji PNS yang mencukupi sementara biaya hidup terus melonjak. Gaji yang tidak cukup dari bulan ke bulan akan memicu terjadinya pertengkaran dalam sebuah rumah tangga. Apalagi hutang di warung sembako sudah menumpuk.
“ Kenapa salah pilih,” sahut Marni heran.
“Kau cantik,Marni. Kau masih muda, kenapa memilih suami seperti itu?. Apa jawabmu kalau ditanya orang apa pekerjaan suamimu?”
“Apa salahnya kalau kujawab, pekerjaan suamiku adalah wiraswata, keren bukan?”
“Tapi orang bakal tahu, bahwa suamimu selalu mangkal di pinggir jalan dan menambal ban.”
“Yang penting penghasilannya lumayan dan halal.’
“Banyak orang merasa prihatin ketika mendengar kau akan kawin dengan lelaki suku Batak , lumyan kalau suamimu seorang pegawai. Yang pakaiannya tiap hari rapi dan keren.”
Marni hanya menunduk. Menjelang perkawinannya dengan lelaki berdarah Batak itu cemohan orang selalu saja terdengar dari berbagai penjuru. Apa jeleknya kawin dengan orang Batak?. Apa jeleknya kawin dengan seorang lelaki yang landasan hidupnya hanya sebagai penambal ban di pinggir jalan?.
Lebih baik kawin dengan seorang laki-laki tukang tambal ban tapi sudah punya rumah meski pun sederhana sudah ada tempat untuk berteduh , jauh lebih baik dari pada kawin dengan lelaki yang menjadi pe-en-es di kantor camat tapi rumah mengontrak terus bertahun-tahun. Lalu karena ingin tampak keren, Ratna mengangsur sepeda motor , tapi tiga bulan kemudian sepeda motor itu ditarik dengan paksa oleh dealernya karena tidak sanggup membayar angsuran.
“Seperti tidak ada laki-laki lain saja,Marni!,” salah seorang saudara sepupunya juga usil dan tidak setuju Marni akan kawin dengan Monang. “Orang Batak itu kasar.”
“Aku sudah memikirkannya seribu kali,” sahut Marni.
“Kau tidak takut kawin dengan orang Batak?,” kawannya ketika di SMP dulu juga ikut-ikutan memberi reaksi.
“Kenapa takut kalau ia juga seorang muslim?”
“Mudah-mudahan saja ia menjadi suami yang baik, setia, dan tekun mencari nafkah. Aku yakin dapur kami akan tetap mengepul nanti!”
Banyak dan amat banyak yang mulutnya gatal dan memberi reaksi ketika mendengar Marni akan menikah dengan seorang lelaki suku Batak, apalagi pekerjaannya hanya sebagai penambal ban. Rasanya tidak cocok dengan Marni yang memiliki wajah cantik dan pintar mencari nafkah dengan menjahit busana perempuan.
“Kenapa harus terburu-buru kawin,Marni. Dunia ini masih sangat luas, laki-laki tidak seorang saja, masih banyak laki-laki lain!,” ucapan sinis seperti itu pun selalu di dengar Marni.
“Kau takut dunia akan segera kiamat lalu buru-buru kawin?. Cepat-cepat kawin boleh-boleh saja, tapi lihat-lihat dulu calon suami kita. Jangan jadi penyesalan nanti,” kata-kata itu pun hanya menyebabkan hati Marni seperti tertusuk duri.
Terkadang Marni termenung bila mendengar kata-kata sinis tentang Bang Monang. Kenapa orang harus sinis karena Marni akan menikah dengan seorang lelaki berdarah Batak?. Kenapa orang menjadi gatal dan usil kalau pekerjaan Bang Monang hanya sebagai tukang tambal ban?. Apakah pekerjaan menambal ban sangat hina di mata orang? . Apakah pekerjaan Bang Monang bukan sebagai pengemis. Bukankah pekerjaan Bang Monang lebih mulia dari suami Kartika yang selalu berpakaian rapi tapi tidak lebih dari seorang preman yang selalu meminta uang dengan paksa dari pedagang kaki lima di pasar tradisional Simpang Lemon?.
Perempuan masa kini selalu salah dalam menilai seseorang, juga dalam menilai pekerjaan dan penampilan seorang lelaki. Selalu memilih lelaki keren, berpenampilan intelek, tapi pekerjaannya hanya calo penumpang di Terminal Amplas, atau calo di kantor PLN. Lebih baik seperti Marni memilih calon suami lelaki suku Batak dan pekerjaannya sebagai penambal ban, dari pada laki-laki lain yang cuma jadi preman atau calo.
Apa pun yang dikatakan orang tentang rencana perkawinan Marni, ia tetap saja tidak perduli. Hatinya tidak pernah goyah meski pun kata-kata usil datangnya dari berbagai arah. Menambal ban bukanlah pekerjaan hina, bukan sebagai maling. Lihatlah Linda yang kawin dengan seorang lelaki gagah, tapi ternyata gemar menenggak minuman keras dan pulang ke rumah menjelang pagi dalam keadaan teler. Lebih menderita lagi seperti Fitri yang menikah dengan seorang pegawai tapi tiap bulan tidak pernah membawa pulang gajinya karena habis di meja judi.
Pegawai negeri sipil yang mentalnya kurang baik juga banyak. Entah bagaimana manusia-manusia yang kurang baik mentalnya bisa jadi pegawai negeri yang seharusnya menjadi abdi masyarakat. Mungkin ketika masuk menjadi pegawai tidak melalui testing yang benar. Mungkin ketika melamar dulu lewat jalan belakang dengan menyodorkan segepok uang.
Lihatlah nasib Fitri tampak sangat menderita dan tubuhnya tampak kurus kering karena menderita batin. Siapa yang tidak ikut sedih melihat nasibnya, bertahun-tahun kawin bukan hartanya bertambah, justru malah berkurang karena dijual dengan diam-diam oleh suaminya. Kalung dan gelang peninggalan almarhumah ibunya dan selalu disimpan baik-baik memang tetap pada tempatnya, tapi suatu saat Marni akan memakai perhiasan itu ternyata sudah diganti dengan imitasi. Fitri hanya mampu menangis. Pesawat tv yang ada di rumah juga diboyong suaminya keluar dengan alasan akan diganti dengan tv yang baru, ternyata juga hanyut.
***
S
uasana kejawen amat terasa pada pesta perkawinan Marni. Tidak tampak lucu seorang mempelai pria kelahiran Siborong-borong ketika di atas pelaminan mengenakan pakaian keraton Surakarta. Justru Bang Monang tampak gagah dengan keris terselip di belakang pinggangnya. Itulah bedanya dengan orang Melayu atau suku lainnya meletakkan keris di depan , tapi khusus adat Jawa menyelipkan keris di belakang pinggang.
Di atas pelaminan, lelaki itu tampak seperti bangsawan ketuurunan raja-raja Surakarta. Lelaki itu tampak bagaikan seorang pangeran yang mengenakan pakaian kebesaran raja-raja Jawa. Ia mirip pangeran keturunan raja-raja Mataram. Marni pun tampak amat cantik dan untaian melati menghiasi sanggulnya. Ketika rombongan mempelai pria memasuki rumah Marni terdengar suara gamelan dengan irama klenengan. Di kawasan pemukiman itu gamelan selalu terdengar untuk mengiringi berbagai ucapara bermuatan ritual, apa lagi pada acara menyambut pengantin.
Tamu-tamu amat banyak sehingga tiga ratus kursi yang tersedia tidak pernah kosong silih berganti. Tamu-tamu yang datang sebagian besar adalah masyarakat Jawa dan sebagian besar kakek atau nenek mereka adalah kuli kontrak. Seperti halnya keluarga Mas Susilo yang bekerja di pelabuhan, kakeknya adalah seorang kuli kontrak di perkebunan milik HVA dan menyaksikan sendiri kekejaman dan perlakuan tidak manusiawi dari para asisten Belanda terhadap kuli kontrak. Banyak kuli kontrak ditelanjangi, tangan diikat ke belakang lalu disuruh makan kotoran kuda tanpa kesalahan yang jelas.
Alangkah cantiknya Marni duduk di atas pelaminan dengan mengenakan pakaian wiron dan untaian bunga melati menghiasi sanggulnya. Harum bunga melati itu semerbak. Tidak terasa lelah meski pun ia harus menerima uluran tangan yang berganti-ganti menyampaikan ucapan selamat. Lagu-lagu yang ditembangkan juga bernuansa Jawa, mulai dari lagu-lagu pop hingga lagu-lagu klasik. Meski pun berada di Tanah Deli, tapi pada pesta itu semua merasa seperti di kampung halaman, karena yang hadir sebagian besar adalah masyarakat berdarah Jawa dan lagu-lagu yang terdengar adalah lagu Romo Ono Maling, Yen Ing Tawang Ono Lintang, Tahu Opo Tempe, Jangkrik Genggong dan Cucak Rowo.
Tamu-tamu yang memberikan ucapan selamat sebagian besar adalah kerabat dekat Marni sehingga tegur sapa yang terdengar tentu saja dalam bahasa Jawa. Sementara kerabat dari Bang Monang tidak ada sama sekali.
“Mana keluarga suamimu,Marni?,” salah seorang saudara Marni bertanya. “Tidak satu pun keluarga suamimu yang datang.”
“Apakah perkawinanmu tidak mendapat restu keluarga dari suamimu sehingga tidak satu pun yang muncul di sini?”
“Bang Monang sudah jadi orang Jawa sekarang. Untuk apa lagi kedatangan tamu dari kampungnya?” sahut Marni seadanya.
Tentu saja tidak ada seorang pun kerabat dari suaminya yang datang memberikan restu pada saat perkawinan itu berlangsung, karena Bang Monang tidak diakui lagi sebagai anak oleh kedua orang tuanya. Mana mungkin lagi ada famili yang datang dari Siborong-borong karena Bang Monang sudah dianggap sebagai anak yang terbuang.
“Biasanya orang Batak adalah keluarga besar, lalu kalau ada pesta perkawinan semua hadir dan seekor sapi yang dipotong masih tidak cukup. Kemana semua?. Apakah perkawinanmu membawa problem,Marni?,” tanya salah seorang saudara dari ayahnya.
Marni menggeleng. Marni merasa belum saatnya untuk mengatakan, bahwa tidak satu pun kerabat suaminya hadir di pesta itu. Suatu saat nanti kaum kerabat Marni akan tahu, bahwa Bang Monang kini menjadi manusia sebatang kara karena ayah bundanya amat marah Bang Monang beralih agama menjadi seorang muslim.
Diam-diam Marni memperhatikan Bang Monang yng termenung di atas pelaminan, seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkan amat dalam.
“Bang Monang sedih karena tidak satu pun famili yang datang?,” Marni menatapnya.
“Untuk apa sedih?. Aku juga sudah lama siap kehilangan mereka semua.”
“Lalu apa yang Bang Monang pikirkan?”
“Tidak ada!.”
“Kenapa termenung?”
“Saudaramu amat banyak. Pada umumnya mereka berbahasa Jawa di sini.”
“Ya, mereka pada umumnya adalah berdarah Jawa.”
“Mereka semua tampak ramah dan lembut”
“Lalu kenapa?”
“Apakah aku akan masuk hitungan dalam keluargamu karena aku adalah orang Batak dan pekerjaanku hanya tukang tambal ban?.”
“Tidak perlu rendah diri. Semua kerabatku bukan seperti para bangsawan yang selalu menganggap rendah suku lainnya. Juga tidak pernah mempersoalkan status sosial serta pekerjaan seseorang.. Di mata saudaraku semua suku sama saja dan tidak pernah membedakan status orang lain. Bukankah aku sendiri adalah seorang perempuan yang asal usulnya adalah kuli kontrak yang selalu dianggap rendah oleh orang lain.”
“Haruskah aku mengaku sebagai wiraswasta biar terdengar keren?”
“Tidak!. Tidak perlu mengada-ada. Berterus terang saja apa adanya. Yang penting kita akan membuktikan kepada semua orang, bahwa kita akan hidup bahagia, mandiri dan hidup layak.”
Lelaki itu tersenyum. Tamu-tamu masih amat banyak. Rasanya ia tidak harus merasa terasing, tidak merasa kaku di tengah para tamu dan tegur sapa selalu dalam bahasa Jawa
“Suatu saat Bang Monang harus belajar bahasa Jawa, supaya bisa menyatu,” ujar Marni kemudian.
“Dan aku akan mengajarmu bahasa Batak!”
Marni tertawa.
Lewat maghrib tamu-tamu masih ada saja yang datang,terutama tamu-tamu yang bertempat tinggal jauh. Jantung Marni hampir copot ketika tamu-tamu sudah sepi, seorang lelaki gagah tiba-tiba muncul dan lelaki itu adalah Mas Ario Harsono, seorang lelaki yang pernah mempunyai arti penting dalam kehidupan Marni. Kenapa ia harus datang, padahal aku tidak mengundangnya?. Kenapa ia harus datang, padahal ia sudah berada di tempat yang jauh, di Jawa Tengah?. Marni berkata-kata sendiri dan darahnya berdesir-desir. Ia sama sekali tidak ingin lagi bertemu lelaki itu, tapi tiba-tiba saja pada saat perkawinan Marni berlangsung, lelaki itu muncul ketika tamu mulai sepi dan kedatangan Ario adalah tamu yang terakhir. Langkah Ario tetap saja tegar dan tenang.
Marni bangkit untuk lari kekamar karena memang tidak ingin lagi bertemu dengan Mas Ario, tapi tangan Bang Monang segera menyentuh tangan Marni.
“Jangan menghindar,Marni!” Bang Monang mencegah dengan sikap yang amat tenang. “Jangan pergi!”
“Aku sudah bersumpah tidak ingin bertemu dengannya lagi!”
“Kita harus menerimanya dengan baik, karena aku yakin kedatangannya bukan untuk mengusik kebahagiaan kita.”
“Aku tidak mau!. Aku tidak mau!,” Marni bersikeras untuk pergi ke kamar.
“Kita harus menerimanya dengan dada yang bersih. Aku yakin Ario datang hanya untuk mohon maaf kepadamu dan terimalah permohonan maaf itu,” lihatlah betapa mulia hati lelaki berdarah Batak itu. Tampangnya kasar dan sanger, tapi hatinya lembut.
Tubuh Marni terasa gemetar dan bermandi peluh ketika Ario mendekati Marni dan suaminya yang sedang beristirahat.
“Aku datang untuk mengucapkan selamat kepada kalian berdua, tapi disamping itu aku juga ingin mohon maaf kepadamu,Marni!,” lelaki itu berkata dengan sikap amat tenang dan Marni tidak mampu menatap wajah lelaki itu. Marni hanya mampu menunduk.
“Haruskah aku mencium ujung kakimu agar kau menerima maafku karena aku sudah membuatmu amat kecewa dan amat sedih?. Aku mohon maaf karena aku telah melukai hatimu yang mungkin sukar untuk disembuhkan!” terdengar lagi suara lelaki itu.
Marni tetap menunduk, hingga Bang Monang memberinya peringatan.
“Ayo Marni, katakan, bahwa kau memaafkan semuanya!”
Marni tetap saja menunduk, tetap tidak mampu menatap wajah lelaki yang pernah ia cintai dan mencintainya. Marni tetap saja tidak mampu berkata apa pun.
“Aku memang sudah berdosa kepadamu,Marni,” Mas Ario berkata lagi. “Andainya kau tidak mau menerima maafku, mungkin bila suatu saat aku mati nanti akan menghadapi siksa yang amat berat. Mungkin pula sulit nyawaku dicabut saat malaikat datang, dan mungkin pula rohku sulit untuk meninggalkan jasadku yang sekarat.”
“Ayo Marni, kau harus memberinya maaf!”
“Aku memaafkan semuanya!”, kata-kata itu diucapkan Marni dengan wajah tertunduk, dengan suara lirih, hampir tidak terdengar.
Mas Ario merasa dadanya lapang setelah Marni menerima permohonan maafnya.
“Bolehkah aku berada di sini sejenak, hanya beberapa detik saja, hanya untuk mengatakan , bahwa aku merasa amat menyesal meninggalkan Marni!”
“Tidak ada salahnya!,” Bang Monang menyahut polos. Bahkan lelaki yang kini sudah menjadi suami Marni mengajaknya duduk bersama di beranda rumah itu.
“Aku sengaja memberimu kado sebuah mesin cuci, karena aku tahu sepanjang hari sibuk menghadapi langganan dan tidak punya waktu untuk mencuci,” terdengar suara Mas Ario ketika mereka duduk bertiga dan menikmati teh hangat dan kue-kue pengantin.
“Ter…teriiim…ma.. kasih, Mas Rio.” suara Marni lirih dan teputus-putus.
“Terus terang, ketika aku mendapat kesempatan belajar dari instansiku di bidang perminyakan di Cepu harus kuterima demi hari depanku, karena aku ingin memperbaiki nasibku. Tapi baru saja sesaat aku menjejakkan kakiku di tempat itu, hatiku seperti terkena mukzizat, tiba-tiba saja hatiku luruh ketika bertemu dengan seorang gadis kelahiran Surakarta. Apa lagi gadis itu disamping memiliki usaha sebuah restoran, juga adalah seorang penari srimpi, seperti halnya ketika Marni masih kecil. Mungkin hal itulah yang membuat hatiku cepat luruh dan tidak mampu berpaling lagi…,” Mas Ario menuturkan perjalanannya di tempat yang jauh, di kawasan yang kaya dengan minyak bumi.Jauh di seberang Laut Jawa.
“Pesta perkawinan itu pasti amat meriah. Berapa puluh juta Mas Ario untuk memetik gadis Surakarta itu,?” Marni menyindir halus dan berusaha menatap wajah lelaki yang kini bermukim di tempat yang amat jauh.
“Demi Tuhan tidak satu sen pun. Pesta itu memang amat meriah, tapi tidak satu pun aku harus mengeluarkan uang karena yang membiayainya adalah Ningrum,” Mas Ario menyebut nama isterinya. .Mas Ario masih sempat bertutur tentang isterinya yang masih memiliki darah ningrat karena ayahnya terlahir dari rahim seorang selir yang ada kaitannya dengan keraton. Bahkan sebagian para pinisepuh dari pihak ayah Ningrum yang meninggal dunia dikebumikan di pemakaman bangsawan di kawasan Imogiri.
“Kenapa Mas Ario tidak membawa Mbak Ningrum kemari untuk melihat Sumatera?,” tanya Bang Monang.
“Bayi kami pertama baru saja lahir, itulah sebabnya Ningrum tidak dapat menyertaiku,padahal Ningrum ingin sekali hadir di pesta ini agar dapat mencium ujung kaki Marni untuk memohon maaf karena ia merasa amat berdosa merebut seorang lelaki yang seharusnya menjadi milik Marni.”
“Aku sudah memaafkan segalanya,” Marni berkata sejujurnya.
“Terima kasih,Marni. Ningrum akan tenang sekali hidupnya kalau kau telah memberinya maaf. Satu hal lagi yang ingin kukatakan kepadamu, bahwa perkawinanku dengan Ningrum ketika aku sedang berstatus pendidikan merupakan pelanggaran kedisiplinan pegawai dan merupakan kesalahan besar hingga akhirnya aku dipecat dengan tidak hormat oleh instansiku.,” lelaki itu menghela nafas panjang
“Lalu Mas Ario menjadi seorang pengangguran sekarang?” tanya Marni dan suaminya bersamaan. “Mas Ario tidak merasa kehilangan wibawa karena sebagai suami tidak mempunyai pekerjaan?”
“Demi Tuhan, tidak. Karena aku sudah siap untuk menerima risiko macam apa pun. Memang pada awalnya aku menganggur, tapi Ningrum memiliki usaha restoran dan kehadiranku seakan membawa keberuntungan bagi usahanya. Sejak aku mendampinginya, usaha itu melejit. “
Berulang-ulang lelaki itu mengutarakan, bahwa perkawinannya dengan seorang perempuan kelahiran Surakarta pada saat ia masih dalam status pendidikan merupakan pelanggaran disiplin pegawai juga .merupakan kesalahan yang harus dikenakan sanki pemecatan tanpa hak pensiun.
“Aku dipecat seperti seekor kecoa yang tidak ada harganya sama sekali. Tapi aku besyukur kepada Tuhan, ternyata setelah aku dilemparkan keluar lewat jendela dari instansiku, justru nasibku lebih baik,” tutur lelaki itu lagi.
“Mas Ario tidak menyesal?” tanya Marni.
“Pada awalnya aku memang menyesal, apa yang harus kulakukan. Tapi Ningrum memang sudah siap ikut menanggung risiko apa pun yang terjadi. Aku ikut mengelola restoran yang dimilikinya. Alhamdulillah , Tuhan membuka rezeki kami lebar-lebar.
Aku beruntung tidak menjadi pegawai lagi, sebab sejak kecil aku sudah diajarkan oleh ayah dan kakek yang biasa sangat menderita sebagai kuli kontrak, bahwa aku harus bekerja keras dan pantang menyerah. Tiap keturunan kuli kontrak tidak mudah putus asa dan mampu menciptakan lapangan kerja.”
“Aku kagum kepadamu,Mas Ario,” Bang Monang memberikan komentar.
“Aku beruntung tidak menjadi pegawai, aku beruntung , sebab rezeki datangnya tidak hanya dari pegawai. Rezeki yang turun kepadaku dan Ningrum tidak mutlak dari uluran pemerintah. Bahkan aku bersyukur kepada Tuhan, bahwa aku sebenarnya terhindar dari bencana besar,” tutur lelaki itu lagi serius.
“Bencana?. Kenapa bencana?. Dari mana datangnya bencana itu?” tanya Marni heran.
“Jadi pegawai sama saja dengan menghadapi bencana. Bukankah negara ini sudah sangat banyak digerogoti oleh tikus dan maling?. Korupsi ada dimana-mana. Kalau aku tetap jadi pegawai di instasiku, mungkin aku pun akan jadi tikus, mungkin aku akan jadi maling juga . Peluang menggerogoti uang milik negara yang sebenarnya uang milik rakyat itu selalu ada dimana-mana dan akhirnya menyeret kita ke penjara.” ujar lelaki itu lagi.
“Hatimu amat mulia, Mas Ario,” cetus Bang Monang.
“Kakekku adalah kuli kontrak, namun kepada keturunannya selalu berpesan untuk memiliki hati mulia, untuk bekerja jujur dan jangan mencubit orang lain, jangan menyakiti jasad siapa pun. jangan merampas hak orang lain dan jangan mencuri apalagi mencuri harta Negara.”
Lalu panjang lebar lelaki itu mengungkapkan rencananya ke depan bersama isterinya yang juga memiliki semangat usahawan yang ulet. Mas Ario memang sudah dididik memiliki wawasan luas oleh ayah dan kakeknya. Selama di Jawa Tengah lelaki itu banyak melakukan riset, apa yang harus dilakukan di kawasan kaya minyak itu dan kekayaan itu sudah lama diincar oleh investor asing terutama dari Eropa dan Amerika. Kawasan Cepu, Blora dan kawasan perbatasan dengan Jawa Timur itu memiliki kandungan minyak bumi yang melimpah dan terbesar di negeri ini. Itulah sebabnya kawasan Blok Cepu menjadi rebutan.
“Sebentar lagi sebuah perusahaan Amerika akan menanamkan modalnya di kawasan blok Cepu dan tidak lama lagi kawasan perbatasan dengan Jawa Timur itu akan menjadi ramai.” Lelaki itu berkata lagi.
“Mudah-mudahan negeri ini aman sehingga para investor tidak lari terbirit-birit lalu memindahkan modalnya ke negara lain,” sahut Bang Monang yang selalu membaca koran pagi.
“Kalau negeri ini terus dalam keadaan aman dan kondusif, para pekerja asing akan banyak memasuki Blok Cepu. Karena itulah aku dan Ningrum sudah merencanakan untuk membuka restoran khas masakan Eropa dan tidak ketinggalan Chiness Food. Kalau aku jadi kaya, bukan karena menggerogoti harta Negara, tapi karena usahaku bersama Ningrum.” tutur lelaki itu lagi.
“Aku kagum kepada keuletan keturunan orang-orang kontrak yang semuanya ulet bekerja dan mandiri, seperti halnya orang Batak,” itulah komentar lelaki berdarah Batak itu.
“Kalian boleh saja berbulan madu ke Jawa dan mampirlah ke rumahku. Tidak usah tidur di hotel, rumahku cukup besar dan mampu menampung tamu-tamu yang datang dari Sumatera,” itulah ucapan terakhir Mas Ario.
“Suatu saat langkah kami akan sampai ke sana nanti,” sahut Marni dan suaminya.
Lelaki itu mohon diri, langkahnya tetap tegar dan hidupnya benar-benar mapan, senang. Bila ia hidup senang dan kaya, bukan karena menggerogoti harta negara, tapi karena usaha restoran yang ditekuni bersama isterinya yang berasal dari Surakarta.
Beberapa saat Marni menatap langkah lelaki itu hingga naik ke taksi yang sejak tadi menunggunya. Seorang lagi lelaki keturunan kuli kontrak telah meraih sukses dalam perjalanan hidupnya. Barisan anak cucu kuli kontrak yang sudah mapan, mandiri dan bahagia semakin panjang di republik tercinta ini. Barisan amat panjang itu sebagai bukti, bahwa anak cucu para kuli kontrak tidak dapat dipandang rendah, tidak dapat dipandang sebelah mata. Anak cucu kuli kontrak adalah manusia andal dalam meraih pendidikan dan karir.
***
M
alam dingin dan sepi, yang terdengar hanya desau angin yang membelai daun-daun pohon sawo yang tumbuh di halaman rumah itu atau decak-decak cecak di dinding, atau suara kepak sayap kelelawar. Tapi pada malam seperti itu adalah malam yang penuh dengan kebahagiaan dan saat-saat paling manis dan indah bagi pengantin baru, Marni dan Monang.
Dalam satu selimut sepasang pengantin baru itu berdekapan erat, selalu tidur jauh malam, setelah malam dingin dan sepi, setelah keduanya tenggelam dalam indahnya sebuah perkawinan.
“Bang Monang,” bisik Marni malam itu.
“Ada apa,manis?”
“Bang Monang ingin anak kita pertama laki-laki atau perempuan?,” pertanyaan Marni terdengar di rongga telinga lelaki itu bagaikan tembakan pistol yang pelurunya tepat mengenai keningnya. Pertanyaan seperti itulah yang amat ditakuti Bang Monang. Bagaimana mungkin Bang Monang menjawab pertanyaan itu kalau ia memang tidak dapat membuat isterinya hamil?. Dokter yang merawatnya ketika mengalami kecelakaan di jalan tol sudah memberi tahu, bahwa kecelakaan itu menyebabkan organ tubuh di bagian bawah perut, yakni organ yang namanya testis mengalami kerusakan akibat benturan keras. Apa boleh buat , keadaan Bang Monang seperti suami yang telah menjalani operasi vaksetomi..
“Kenapa Bang Monang tiba-tiba termenung?. Tidakkah Bang Monang ingin kita cepat-cepat menimang anak?,” bisik Marni di malam sepi.
“Tentu saja ingin!,” Bang Monang menyahut seadanya.
“Lalu Bang Monang ingin anak kita pertama ,laki-laki atau perempuan?”
“Orang Batak biasanya menginginkan anak pertama adalah laki-laki.” Bang Monang pura-pura bersemangat, padahal jauh di dasar hatiya ada kesedihan.
“Lalu siapa yang memberi nama?”
“Siapa?. Tentu saja kedua orang tuanya, kau dan aku!”
“Kalau begitu seandainya anak kita lahir laki-laki nama depannya adalah nama Batak lalu dibelakangnya ada nama Jawa.”
“Maksudmu ayahnya yang memberi nama depan?”
“Ya,harus nama khas Batak!”
“Nama depan yang baik khas Batak adalah Oloan,”
“Nama belakangnya dari ibunya, Wibisono, jadi nama anak kita pertama nanti adalah Oloan Wibisono. Nama yang indah,bukan?. Enak didengar,bukan?. Jelas anak itu lahir dari perkawinan seorang berdarah Jawa dan Batak.”
“Ya!,” Bang Monang manggut-manggut. “Lalu kalau perempuan bagaimana?”
“Nama depan ibunya yang memberikan ,lalu nama di belakangnya dari ayahnya. Dan aku sudah menyediakan sebuah nama yang indah, Wulandari.”
“Dan nama pemberian bapaknya Pintanauli”
“Wulandari Pintanauli!. Alangkah indahnya nama itu.”
Marni mendapat kecupan di kening sebgai tanda kasih sayang suaminya, lalu sepasang matanya terpejam. Marni tidur amat nyenyak dan bagi Bang Monang justru sebaliknya, terlalu sukar memejamkan mata meski pun hanya untuk sedetik. Bahkan ketika sesaat matanya terpejam, mimpinya amat buruk. Pada mimpi itu seakan Marni menghunus sebilah keris mengkilap untuk merobek perutnya. Lelaki itu tersentak dan terbangun dari tidur lalu segera memandang isterinya yang masih tidur amat nyenyak.
Itulah sebabnya bila malam Bang Monang selalu menghindari pembicaraan tentang anak. Itulah sebabnya bila Marni sudah mulai bicara anak perempuan atau lelaki, Monang pasti mengalihkannya pada pembicaraan tentang hal-hal lain, tentang rencana membeli rumah di pinggir jalan untuk sebuah usaha atau tentang keluarga dari pihak Marni yang sudah banyak meraih sukses dan mandiri dalam hidupnya.
Pembicaraan tentang anak membuat kepala lelaki itu pusing tujuh keliling. Dan hal itu pula yang menyebabkan diam-diam lelaki itu selalu keluar kota untuk menemui dukun yang diakui memang pintar. Dokter sudah mengatakan, bahwa Bang Monang tidak akan mampu menyebabkan isterinya hamil, tapi pengobatan alternatif sudah banyak ditempuh orang untuk mengatasi berbagai keluhan, juga keluhan tentang tidak adanya keturunan.
***
D
alam keadaan terpaksa Monang harus menjadi seorang pembohong. Marni tidak boleh tahu tahu, bahwa setiap mereka menikmati saat-saat paling indah di malam sepi dan dingin, tidak mungkin lagi akan membuat Marni hamil. Sebab benih-benih dari Monang hampa dan bodong. Sebab sel-sel sperma dari Monang tidak berkualitas. Kalau Bang Monang pergi keluar kota, ia bermaksud mendatangi seorang paranormal untuk memohon bantuannya agar Bang Monang benar-benar kembali sebagai lelaki perkasa yang seutuhnya, yang dapat mempersembahkan keturunan kepada isterinya.. Kepada Marni ia pamit pergi ke Bahorok untuk mengantarkan sebuah mobil yang akan dijual kepada pembelinya di sana, padahal untuk menemui seorang paranormal di kawasan pegunungan itu.
“Hati-hati,Bang. Jangan sampai terulang lagi kecelakan seperti yang lalu!,” itulah pesan isterinya.
“Tentu saja aku sangat hati-hati karena aku akan selalu ingat isteri di rumah.”
Marni melepas kepergian suaminya dengan seulas senyum di bibirnya yang tipis dan sebelum lelaki itu melangkah pergi memberikan kecupan di kening Marni.
Tidak perduli paranormal itu bermukim di tempat yang jauh di lereng Gunung Lauser. Bang Monang harus menemuinya dan yang menyambutnya di lereng gunung itu adalah binaang-binatang seperti ular, landak, monyet dan juga orang utan yang memang dilestarikan di kawasan suaka alam itu. Bahkan lelaki itu juga bertemu dengan perempuan bule yang bekerja sebagai relawan untuk melestarikan orang utan.
Tubuh Bang Monang bermandi peluh ketika ia harus mendaki bukit dengan berjalan kaki di jalan setapak sejauh lebih dari tiga kilometer barulah tiba di rumah paranormal itu . Bang Monang bersimpuh di sebuah rumah berlantai seperti umumnya rumah-rumah orang Melayu. Ia disambut oleh seorang lelaki berumur limapuluhan dan menanyakan maksud kedatangannya. Tanpa harus malu-malu Bang Monang menyampaikan keluhannya dan memohon bantuan sang parnormal itu.
“Insya Allah keinginan ananda untuk mempunyai keturunan akan berhasil,”cetus sang paranormal yang tinggal di dusun yang sepi, jauh dari jalan raya, jauh dari rumah-rumah lainnya di kaki gunung itu.
“Alhamdulillah,” sahut Monang senang.
Bang Monang hanya memperhatikan sang paranormal yang mulai melakukan rabun atau pembakaran bulu-bulu binatang seperti bulu kuda, sapi, kerbau, kuda,landak serta barang-barang bekas seperti payung, sepatu, tali pinggang, topi dan baju yang tidak terpakai lagi.
“Anda harus maklum, bahwa ada penghalang dalam tubuh anda sehingga sukar untuk mendapat anugerah dari Allah. Penghalang itu harus disingkirkan jauh-jauh,” ujar sang paranormal yang kemudian mengatakan, bahwa ia harus memangggil jin yang mengusai Gunung Lauser agar mengusir segala roh halus yang mengganggu di tubuh Bang Monang.
Bau tidak sedap menusuk rongga hidung Monang ketika asap dari barang-barang bekas itu dibakar dan ia hanya memperhatikan ketika sang paranormal membaca mantera dengan irama yang khas:
“Aku tahu mulamu jadi
Benih api menyala
Jangan lagi kau sakiti manusia
Bila engkau ingkar
Engkau akan dibakar
Atas nama Yang Maha Besar!”
Paranormal itu mengayun-ayunkan sapu dari lidi pohon aren yang dipercaya dapat mengusir mahluk halus dan roh jahat. Akhirnya ketika Monang pulang ia dibekali dengan air putih untuk diminum bersama isterinya.
***
S
eperti sebuah mukzizat yang turun dari langit di rumah itu, Marni tampak muntah beberapa kali setelah enam minggu Bang Monang mendatangi paranormal di lereng gunung itu. Kepala Marni terasa sangat pening, air liurnya lebih banyak dari biasa dan perutnya sepanjang hari mual. Sepajang hari Marni tidak mau makan nasi, maunya hanya mangga muda atau kedondong.
“Bang Monang,” suara Marni seperti sebuah rintihan.
“Ada apa?. Sakit?” Bang Monang menghampiri Marni yang muntah lagi untuk kesekian kalinya.
“Rasanya perasaanku lain hari ini,” Marni muntah lagi. Bang Monang amat kasihan melihat keadaan Marni lalu memijit-mijit tengkuk Marni.
“Bagaimana perasaanmu?”
“Sepertinya tanda-tanda hamil,”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
“Syukurlah!,” Bang Monang memeluk Marni dan mengecupnya berkali-kali. Kebahagiaan tampak jelas diwajahnya yang hitam legam. Ia merasa usahanya mendatangi paranormal di kaki gunung itu sudah membuahkan hasil.
“Tapi aku tidak mau makan nasi dri rumah kita sendiri.”
“Lho harus nasi dari mana,”
“Memang kalau seorang perempuan mulai hamil selalu aneh keinginannya.”
“Lalu kau ingin makan apa?. Nasi sop?. Burger?. Kentucky?. Atau kepiting?”
Marni menggeleng.
“Udang gala?. Atau soto?”
Sekali lagi Marni menggeleng.
“Tidak suka makanan Padang di warung Ajo Munir?”
Terus-terusan Marni menggeleng.
“Rasanya aku ingin nasi orang kenduri.”
“Nasi berkat orang kenduri maksudmu?”
Marni mengangguk. Bang Monang merasa pusing tujuh keliling.dari mana pula mendapatkan nasi berkat orang kenduri?. Syukurlah diujung pemukiman itu ada seseorang suku Jawa yang sedang melaksanakan adat Jawa, yakni “sedekah nyewu” atau kenduri memperingati seribu harinya salah seorang kerabat yang meninggal .
Demikianlah kebiasaan di kawasan pemukiman yang sebagian besar dihuni masyarakat Jawa dan sebagian besar adalah keturunan kuli kontrak. Mereka pada umumnya masih kental melaksanakan adat-adat kebiasaan memperingati kerabat yang meninggal mulai dari sedekah “sartanah” atau “geblak” lalu diiringi sedekah nelung dina atau hari ketiga, dilanjutkan dengan sedekah mitung dina, nyatus,nyewu hingga nguwis-nguwisi atau kenduri yang terakhir.
Masyarakat di kawasan itu memang umumnya berasal dari keluarga kuli kontrak di jaman penjajahan dulu. Bahasa Jawa koko sebagai sarana komunikasi antar warga masih amat kental begitu juga dengan adat kebiasaan. Tiap wanita hamil pada usia tujuh bulan biasanya dilakukan upacara tingkepan sebagai ungkapan rasa syukur akan segera mendapat momongan dan para kerabat, terutama para pinisepuh akan hadir pada acara itu.
Syukurlah Monang diundang pada upacara nyewu itu dan pulangnya membawa bingkisan atau berkat. Marni amat lahap menyantapnya.
“Enak?,” sapa Bang Monang.
Marni hanya mengangguk. Nasi kenduri itu habis tidak bersisa disantap berdua bersama Bang Monang.
“Soalnya yang makan bukan hanya aku, tapi juga bayi kita,” ujar Marni tersenyum.
“Mudah-mudahan bayi kita sehat.”
“Mudah-mudahan bayi yang kukandung adalah anak laki-laki, seperti yang diinginkan Bang Monang.”
Marni mengusap perutnya sendiri. Bila benar-benar hamil, tidak lama lagi pasti perutnya akan mengalami perubahan, akan seperti nangka masak, atau seperti karung beras. Tapi Marni akan tetap terlihat cantik walau pun perutnya seperti karung beras dan ia akan mengenakan gaun hamil yang gombrong biar bebas dan tidak mengganggu nafas.
“Masih pening?”
Marni menggeleng.
“Masih mual?”
Lagi-lagi Marni menggeleng. Bang Monang menatapnya, tapi ada rasa heran di hatinya. Biasanya seorang isteri yang sedang mengidam paling tidak tiga bulan dalam keadaan mau muntah terus, mual terus dan terkadang sehari-harian tidur terus. Tapi Marni hanya beberapa saat pening dan muntah beberapa kali.
“Tampaknya anakmu dalam rahimku bayi yang baik”
“Kenapa begitu?. Biasanya bayi orang Batak selalu lasak dan tidak mau diam.”
“Soalnya bayi itu tetap tenang dan aku pun tidak lama merasa pening dan rasa mau muntah juga tidak ada lagi.”
“Besok kuantar ke dokter untuk memastikan kehamilanmu.”
“Kalau aku benar-benar hamil, Bang Monang akan memberiku hadiah?”
“Tentu!”
Marni tampak amat bahagia.
Tapi kebahagaiaan itu hanya sesaat. Senyum di bibir Marni pun segera berubah dengan cemberut. Sebab dokter ginkolog yang memeriksanya setelah test urine memastikan ternyata hasilnya negatif.
“Tidak usah kecewa, anda adalah pasangan yang masih sangat muda, harapan masih sangat banyak. Masih banyak waktu yang panjang, untuk mendapatkan anugerah Tuhan,” itulah ucapan dokter di klinik bersalin.
Bang Monang hanya menghela nafas panjang. Ada rasa kecewa dan sedih. Ia ingat ucapan dokter yang merawatnya ketika ia mengalami kecelakaan di jalan tol, bahwa status dirinya mirip dengan suami yang menjalani operasi vasektomi yang tidak dapat menghamili isterinya. Ia pun ingat, bahwa ia sudah mendatangi paranormal di lereng gunung untuk dapat membantunya mendapatkan anak. Tapi usaha itu pun kandas.
Sekali lagi lelaki suku Batak itu menyusuri lereng gunung untuk menemui sang paranormal itu. Tidak ada lagi pembakaran rabun untuk mengusir roh jahat, tidak ada lagi pembacaan mantera-mantera. Yang ada hanyalah ucapan sang parnormal yang cukup menusuk relung hatinya.
“Terus terang, semua sungguh diluar jangkauan saya. Sejumlah mahluk halus dan penguasa lereng gunung ini sudah saya hadirkan di sini dan mereka sepakat mengatakan, bahwa ada kerusakan pada bagian tubuh ananda.”
“Artinya saya tidak dapat memperoleh pertolongan lagi?”
Sang paranormal itu mengangguk. Bang Monang pulang dengan rasa kecewa yang amat dalam.
Lelaki Batak memang pantang menyerah, paling pantang untuk berputus asa. Tidak berhasil memohon bantuan paranormal di lereng gunung, ia pun mendatangi orang pintar yang bermukim di pinggiran Sungai Bah Bolon. Orang pintar yang bermukim tidak jauh dari pinggiran Bah Bolon itu tidak hanya sudah biasa memberi pertolongan bagi keluarga-keluarga yang menginginkan keturunan, tapi juga dapat membantu orang-orang yang kehilangan harta bendanya, juga dapat membantu seorang pegawai yang ingin naik pangkat. Bahkan seorang gadis yang sudah berumur tiga puluh lima tapi belum juga mendapat jodoh juga akhirnya menikah atas pertolongannya. Apa lagi bila ada anak-anak hanyut di sungai atau disambar buaya, pasti orang pintar itu dipanggil untuk mencari mayatnya . Paling lambat satu atau dua hari pasti mayat orang yang hanyut atau disambar buaya akan ditemukan, karena ia memang seorang pawang andalan yang sudah kenyang dengan berbagai pengalaman kebatinan.
Sama dengan paranormal di lereng gunung itu, orang pintar di pinggiran sungai Bah Bolon yang airnya deras juga bersemedi setelah membakar kemenyan, lalu terdengar suaranya membaca mantera:
“Ahu pangulubalang singa marongat-ingat di banuwa suraton di simbora datanompon ma dibaha ni bindoran dabhon ma di sibiyangsa panaluwan surung bunu musuhu.”
Sebagai lelaki yang dilahirkan di Siborong-borong, Monang pasti tahu apa makna mantera itu yang bermakna mengusir mahluk jahat di sekitar tubuh Monang dan mengusirnya jauh-jauh. Sudah dua kali ia mendatangi orang pintar dan paranormal, prilakunya sama, tetap saja menganggap ada mahluk halus di tubuh Monang.
Anehnya kedua dukun ditempat yang berbeda itu memberi kesimpulan yang sama, bahwa mahluk halus di sekitar tubuh Monng sudah diusir, tapi ada anggota badan yang sudah rusak. Tentu saja sama dengan keterangan dokter yang merawatnya ketika ia mengalami kecelakaan di jalan tol. Ada rasa sedih dan kecewa di hati lelaki itu.
***
Pergantian musim sudah berkali-kali, kemarau berakhir dan datanglah musim penghujan lalu tiada hari tanpa curahan air dari langit. Sampai selokan pun tidak mampu menampung air sehingga jalanan becek dan tergenang air. Bahkan air sungai pun meluap, menggenangi sawah-sawah merusak tanaman padi atau palawija, bahkan ternak pun ada yang hanyut. Musim penyakit pun ikut mengiringi datangnya musim hujan ,seperti flu, diare, asthma, gatal-gatal,bahkan demam bedarah juga mulai berjangkit dimana-mana. . Kasihan kakek atau nenek yang memiliki penyakit asthma , pasti kumat dan seperti ada musik dalam nafasnya.
Musim kemarau pun akhirnya menggantikan musim hujan, tanah-tanah kering dan merekah, sawah-sawah tak berair, jalanan berdebu tebal. Kaca jendela, bahkan perabot rumah tangga yang berharga mahal juga dikotori debu. Pergantian musim sudah terjadi berkali-kali, itu tandanya sudah beberapa tahun perkawinan Marni dan Monang sudah berlangsung, namun anugerah Tuhan berupa anak belum juga ada. Mereka masih tetap saja berdua, meski pun nasib sudah berubah jauh lebih baik. Pasangan suami iseri itu memang amat giat dan ulet dalam mencari uang. Marni dan Monang adalah pasangan yang andal dalam mengais rezeki.
Marni sudah sering ke dokter ahli, tapi cuma sendiri. Berkali-kali ia mengajak suaminya untuk ikut memeriksakan diri, tapi Monang selalu menolak dengan berbagai dalih dan alasan. Dokter ahli kandungan itu berkesimpulan, bahwa semua organ reproduksi dalam diri Marni dalam keadaan sempurna. Tidak ada infeksi di rahim, tidak ada kista pada indung telur, tidak ada gangguan di rahim. Juga dalam saluran telur tidak ada gangguan apa pun.
Dokter ginekolog itu juga banyak bertanya tentang suami Marni, tentang ereksi, tentang sejauh mana ejakulasinya dan tentang penyakit yang pernah diderita sang suami. Bahkan volume bergaul intiem juga ditanyakan dokter itu yang akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa suami Marni harus memeriksakan diri, terutama pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui dengan pasti kadar sel sperma. Dan itulah yang selalu dielakkan Monang. Itulah sebabnya Monang selalu menolak kalau diajak ke dokter.
“Kapan lagi kau akan punya momongan,Marni,” tanya saudara sepupunya yang sudah mendapat karunia dua anak. “Mencari duit boleh-boleh saja, tapi ingat kau harus mempunyai anak.”
“Tuhan belum memberikan kami rezeki,” Marni hanya senyum-senyum.
Lalu ketika seorang langganannya datang untuk menempah busana muslimah untuk menghadiri majlis ta’lim, juga memperhatikan perut Marni.
“Koq masih ramping terus, kapan ada isinya?,” tanya langganannya.
“Tunggulah tahun depan, mungkin Tuhan akan memberi kami karunia.”
“Tidak usah lama-lama, Marni. Bukankah perkawinanmu sudah berjalan empat tahun?. Sudah waktunya punya anak.”
Marni hanya menunduk dan pelanggannya berkata lagi:
“Ingat,Marni. Suamimu adalah orang Batak. Orang Batak pasti ingin cepat-cepat punya anak.”
“Bang Monang masih sabar.”
“Ingat, kehadiran seorang anak dalam sebuah perkawinan amat penting.”
“Saya mengerti hal itu.”
“Jangan sampai terlambat. Ingat, kalau suami orang Batak harus serius memikirkan anak. Sebab kalau seorang isteri tidak punya anak sampai bertahun-tahun suami akan kawin lagi untuk mendapatkan keturunan. Kalau suami kawin lagi karena menginginkan anak, itu artinya kebahagiaan kita hancur.””
Kata-kata itu membuat Marni tercenung.
“Karena itulah kalau sudah beberapa tahun belum juga ada tanda-tanda hamil usahakan berobat. Sekarang ini peralatan kedokteran sudah sangat canggih dan perempuan mandul dapat diusahakan hamil.”
“Saya merasa sehat.”
Seorang nenek berusia enam puluh yang akan berangkat ke Tanah Suci dan menempah pakaian muslimah juga ikut-ikutan bicara tenang anak:
“Nenek pada umur dua puluh empat sudah punya anak,sebab kehadiran anak selalu menambah keharmonisan rumah tangga.”
“Saya juga ingin segera punya anak, tapi takdir berkata lain.”
Ucapan Lastri yang pernah melahirkan anak kembar dan sekarang anaknya sudah tiga orang itu berkata lebih sinis lagi:
“Ingat Setiawati,Marni. Lima tahun kawin tidak juga punya momongan,”
“Ya, kudengar suaminya kawin lagi,” sahut Marni.
“Tidak hanya kawin lagi, tapi Setiawati ditinggal begitu saja oleh suaminya yang sekarang entah dimana. Pokoknya kalau tidak ada anak dalam sebuah perkawinan, pasti terancam berantakan.”
Hati Marni amat sedih mendengar ucapan itu. Tua muda, kerabat, kenalan dan langganan sangat banyak yang ikut perduli dalam hal anak. Seperti seorang ibu yang anak gadisnya sudah hampir tamat dari Fakultas Kedokteran juga ikut-ikutan ngomong:
“Jadi perempuan mandul itu amat menyedihkan. Nasibnya sukar untuk diramalkan akan jadi bagaimana nanti.”
Lalu isteri seorang ustaz yang tiap hari mengenakan busana muslimah juga memberikan isyarat kepada Marni tentang arti seorang anak dalam keluarga.
“Bila meninggal keturunan Adam, habis semua amalannya kecuali tiga perkara dan salah satunya adalah doa anak yang solih. Nah kalau tidak punya anak siapa yang akan mendoakan kita di akhirat nanti.”
“Insya Allah saya masih banyak kesempatan untuk punya anak,” sahut Marni.
Apa lagi dalam bertetangga, para jiran justru lebih sering perduli:
“Ingat,Marni. Jangan terlalu lelah mencari duit. Itu yang menyebabkan kau belum juga hamil. Karena itu kurangi menerima jahitan, biar cepat dapat momongan.”
Tetangga lainnya ikut menimpali:
“Tidak punya anak akan susah dihari nanti.Marni. Anak adalah penerus keturunan kita.”
Marni tidak banyak memberikan komentar. Jauh di dasar hatinya memang ia sudah merindukan kehadiran seorang anak, tetapi Tuhan memang belum waktunya memberi anugerah. Namun ia tetap yakin, suatu saat rahmat itu pasti akan datang.
Memang Tuhan belum memberikan karunia keturunan, tapi dalam hal rezeki, Tuhan sudah membuka pintu rezeki lebar-lebar kepada pasangan suami isteri itu. Mereka sudah membeli sebidang tanah di pinggir jalan padahal harga tanah saat ini amat menggila, mahalnya setinggi langit. Sebentar lagi Monang tidak lagi membuka usaha tambal ban itu di atas trotoar yang sebenarnya dilarang pemerintah kota karena dianggap kota terkesan kumuh. Sebentar lagi usaha tambal ban SAROHA itu tidak lagi di atas trotoar yang hanya dilindungi dengan terpal jorok yang sudah kumal. Sebentar lagi usaha itu akan menempati bangunan yang kokoh yang tidak melanggar Perda kota.
Meski pun sudah membeli tanah untuk tempat usaha nanti, tapi bukan berarti tidak lagi memiliki perhiasan. Marni masih memiliki gelang emas, memiliki kalung, cincin dn peniti emas. Kalau ada undangan pesta tidak pernah tidak menggunakan kebaya baru dan perhiasan emas berkilauan melekat pada dirinya. Siapa menduga, bahwa seorang perempuan yang berkebaya mahal dan perhiasan emas melekat pada dirinya adalah isteri seorang pengusaha tambal ban sementara Marni sendiri hanya memiliki usaha jahit menjahit?.
Ratna yang suaminya pegawai negeri sipil di kantor camat hanya mampu melirik dengan sinis, padahal dulu amat meremehkan Marni karena profesi suaminya sebagai tukang tambal ban. Lihatlah, tiap Ratna hadir di pesta, pakaiannya hanya sederhana dan tempat tinggal pun bertahun-tahun tetap saja di rumah kontrakan. Hampir semua orang yang pernah melecehkan Marni hanya mampu melirik. Kehidupan Marni jauh lebih baik dari yang lainnya. Apa lagi tahun depan nanti, Marni akan menempati rumah baru dan usaha suaminya tidak lagi di atas trotoar . Sebentar lagi kios yang beratapkan terpal itu akan dibongkar. Sebentar lagi Bang Monang juga tidak akan terjun langsung menambal ban karena setidaknya satu atau dua orang buruh akan membantu usaha itu.
Tapi sebelum usaha tempel ban SAROHA menempati gedung baru, terjadilah tragedi yang amat dahsyat. Pemerintah kota sudah berkali-kali melakukan sosialisasi agar para pedagang kaki lima dan para pemilik kios di atas trotoar agar membongkar kios-kios itu demi ketertiban dan keindahan kota. Memang pihak pemerintah kota sedang melakukan berbagai perubahan agar kota tampak bersih dan indah. Untuk taman-taman dan lampu jalan pemerintah kota harus menyediakan dana puluhan milyar padahal banyak pihak melakukan protes karena menganggap dana untuk itu terlalu mahal sementara dana untuk pendidikan sangat rendah. Tapi pihak pemerintah kota tetap saja bersikeras melakukan pembangunan taman-taman dan pemasangan lampu-lampu jalan. Lihatlah bila malam hari, kota ini tampak indah dan cantik karena lampu-lampu jalan gemerlapan dan warna-warni di mana-mana . Pejalan kaki tidak perlu lagi takut karena sekarang tidak ada lagi jalan raya yang gelap, semua gemerlapan. Karena itulah yang jadi sasaran adalah pedagang kaki lima atau pemilik kios dagangan di atas trotoar berkali-kali jadi korban penggusuran.
Tapi para pedagang kaki lima dan pemilik kios dagangan di atas trotoar selalu saja bandel. Trotoar itu seakan milik nenek moyang mereka, meski pun berkali-kali diimbau untuk membongkar sendiri kios-kios itu .Kalau pun ditertibkan esok atau lusa pasti akan berdiri lagi. Pedagang kaki lima itu terus saja membandel, terus saja marak, tetap saja mengotori wajah kota yang saat ini mulai menghiasi diri.
Tetap saja Etek Fatimah, juga Ajo Bakar atau Boru Sitepu, tidak ketinggalan Oppung Simarmata, dan puluhan PKL yang berjualan berbagai jenis barang dagangan lainnya , tetap saja membandel. Hati mereka tetap saja seperti batu cadas yang amat keras. Mereka tetap saja berdagang di tempat semula. Sebab mereka merasa rezeki mereka ada di sana. Bila pemerintah kota tetap saja ingin melakukan penggusuran permanen maka ratusan pedagang kaki lima akan kehilangan matapencaharian dan ribuan anggota keluarga mereka tidak sekolah, bahkan akan kelaparan.
Untuk membeli kios di penampungan yang disediakan sudah pasti tidak sanggup karena harganya diluar jangkuan para PKL. Apalagi pemilik kios terpal untuk tambal ban seperti Bang Monang, mana mungkin pemerintah menyediakannya karena ukurannya yang cukup luas. Mana mungkin tambal ban ditempatkan dalam ruang pasar.
Itulah sebabnya, bila ada pemilik kios di atas trotoar yang tidak mau membongkar kiosnya adalah Bang Monang dan satu dua lagi pemilik kios yang tetap bertahan apa pun yang terjadi. Bang Monang tetap membandel. Bang Monang tetap keras kepala. Apalagi darah Batak mengalir dalam dirinya, pasti tidak mudah menyerah.
Ketika itulah , ketika Bang Monang sedang menambal ban sepeda motor milik seorang lelaki muda, tiba-tiba saja muncul puluhan petugas ketertiban dari pemerintah kota untuk menggusur semua pedagang kaki lima mau pun pedagang di atas trotoar.
“Ayo menyingkir!,” teriak salah seorang PKL memberikan aba-aba.
“Si Galak itu datang lagi!,” teriak yang lain dan buru-buru mengemasi barang dagangannya sebelum diangkut ke dalam truk. Petugas yang dijuluki si Galak itu segera mengobrak abrik dagangan para PKL. Ada pedagang buah yang tidak sempat berbuat apa-apa sehingga seluruh dagangannya dilontarkan ke dalam truk berwarna kuning dan tidak menghiraukan pemiliknya yang memelas. Sebuah warung yang berjualan mie juga mengalami nasib yang sama. Di sebelahnya lagi sebuah warung kopi juga diobrak-abrik hingga gelas-gelasnya pecah dan berserakan. Bahkan uang hasil penjualan minuman sepanjang hari juga ikut berserakan.
“Tolong,Pak!. Dagangan saya jangan dibawa!,” seorang inang-inang yang berjualan bensin juga memelas tetapi tetap saja dagangannya diangkut ke mobil truk. Tentu saja minyak premium dan solar tertumpah di atas trotoar . Pada saat itulah muncul seorang provokator yang menyalakan korek api dan seketika api pun berkobar. Dalam waktu sesaat kawasan itu dikerumuni orang banyak dan berusaha untuk memadamkan api. Tapi yang ingin membuat kerusuhan juga ada. Namun api yang berkobar tidak menyebabkan surutnya aparat pemerintah kota, mereka tetap saja melanjutkan tindakan mengobrak-abrik kios dan warung-warung liar di sepanjang jalan itu.
Kios yang terbuat dari terpal milik Bang Monang juga tidak ketinggalan jadi sasaran, padahal ia sedang menambal ban sebuah sepeda motor milik seorang preman Terminal Amplas yang terkenal sanger dan sadis sehingga dijuluki “kepala suku”. Pada saat ban sepeda motornya kempis dan sedang ditambal oleh Bang Monang ia dalam keadaan mabuk berat
Tentu saja Bang Monang sangat marah ketika mesin kompresor yang berharga mahal itu dirampas untuk dinaikkan ke atas truk. Bang Monang berusaha mempertahankan agar mesin itu tidak disita karena urusannya sangat ruwet dan berbelit-belit. Pasti bila sesuatu barang sudah dibawah dengan truk berwarna kuning itu untuk mengambilnya kembali butuh uang banyak.. Otak para petugas ketertiban itu terkadang kotor. Penertiban PKL itu terkadang jadi objek pemerasan dan sumber uang siluman.
Terjadilah tarik menarik antara Bang Monang yang berusaha mempertahankan kompresor itu, sementara empat orang petugas tetap saja berusaha menaikkan mesin itu ke atas truk. Bang Monang tidak mampu mengendalikan darahnya yang mendidih. Lelaki Batak itu tidak mampu mengendalikan emosinya lagi. Tindakan para petugas itu dirasakan Bang Monang sangat keterlaluan dan tidak manusiawi.
Lelaki berdarah Batak itu merasa haknya dirampas, ia merasa seakan mesin kompresor itu disita tanpa presedur hukum. Harga dirinya seakan dipijak-pijak oleh para petugas itu.. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang membiarkan harga dirinya dipijak-pijak meski pun oleh aparat. Sebagai seorang lelaki suku Batak, ia meyakini bahwa dalam diri setiap manusia tidak hanya ada nyawa dan jasad, tapi juga ada “tondi”., atau si penjaga badan. Bila Monang harus melawan terhadap petugas, yang berbuat, yang menggerakkan tubuhnya tidak hanya emosinya, tidak hanya dirinya sendiri, tapi juga “tondi’ pada dirinya ikut menambah tenaganya.
Tinju kanannya melayang mengenai pelipis salah satu aparat penertiban itu hingga terjungkal diatas trotoar. Lelaki suku Batak biasanya memiliki otot dan tenaga yang sangat kuat dan karena itulah tinjunya yang melayang ke arah seorang petugas membuat petugas itu terjajar dan hampir tidak dapat bangkit lagi.
Petugas lainnya semakin marah dan bertindak kasa.r. Mereka makin panasaran untuk menyita kompresor itu sehingga Bang Monang semakin kalap. Ia segera maraih kunci besi pembuka ban mobil. Dengan sekuat tenaganya memukul kepala petugas lainnya sehingga tersungkur. Kerusuhan segera tidak terhindari, apalagi preman dan orang-orang tidak dikenal ikut ambil bagian dalam bentrokan fisik itu.
Apalagi ketika sepeda motor yang sedang kempis ban itu dengan kasar akan dinaikkan ke atas truk oleh para petugas ketertiban itu.. Tentu saja pemiliknya sangat marah, apalagi pemiliknya adalah preman kelas kakap yang sedang dalam keadaan mabuk. Preman itu memukul petugas yang akan menaikkan sepeda motor miliknya ke atas truk , lalu terjadilah adu tenaga dan preman itu menghunus belati lalu menusuk sang petugas. Dua tusukan cukup membuat petugas yang sombong dan angkuh itu tersungkur dan tidak bangkit lagi. Darah mengucur memerahi trotoar di sekitar kios terpal milik Monang. Preman yang sudah melakukan penusukan itu segera angkat kaki dan membuang belati miliknya di dalam kios milik Monang. Preman yang sudah melakukan penusukan itu segera kabur. Sepeda motornya yang gembos bannya ditinggalkan begitu saja karena sepeda motor itu memang hasil curian.
Api yang membara dan kerusuhan yang melebar membuat belasan polisi segera datang sehingga kerusuhan yang lebih luas dapat dicegah. Andainya polisi tidak segera datang mungkin kerusuhan lebih luas akan merebak dan pasti mobil dan truk milik pemerinah kota akan jadi abu sebab massa sudah amat banyak berdatangan dari segala penjuru.
Monang tidak berdaya ketika empat orang polisi meringkusnya. Ia meronta-ronta ketika sepasang gari memborgol tangannya.
“Lepaskan aku!. Lepaskan aku!. Aku bukan penjahat. Aku bukan perampok!,” Monang berteriak-teriak ketika ia digiring ke mobil polisi . Tapi polisi tetap saja menggiringnya ke kantor polisi.
Siang hari itu memang Bang Monang mengalami nasib paling buruk selama hidupnya. Ia harus dijebloskan ke dalam rumah tahanan dan di sana ada perampok, ada pencuri, pemeras dan juga pemerkosa. Lelaki itu tidak berdaya. Lelaki itu hanya pasrah kepada nasib.
Tidak ada satu pun tahanan yang tidak mengalami penyiksaan ketika menjalani penyidikan dan penyelidikan. Monang juga harus mengalami penyiksaan yang cukup berat untuk mengakui segala tuduhan terhadap dirinya. Tentu saja ia tetap tidak mengakui tuduhan telah menusuk salah seorang anggota petugas ketertiban hingga menemui kematiannya. Tapi penyidik tetap saja bersikukuh menuduh , bahwa Monanglah yang menghunus belati dan menusuk petugas itu karena pisau berlumur darah itu ditemukan tidak jauh dari dirinya. Betapa pun berat penyiksaan itu , lelaki itu tetap saja tidak mengakui. Selama beberapa hari Monang tidak diperkenankn menerima kunjungan keluarga dan siapa pun. Hanya Tuhanlah yang diharapkan akan menyelamatkan dirinya.
***
Air mata berderai-derai di pipi Marni ketika Bang Monang tidak pulang ke rumah dan disusul kabar suaminya ada di rumah tahanan polisi. Hujan air mata itu pun semakin deras ketika Marni mendengar kabar, bahwa suaminya dituduh melakukan pengaiayaan dan menyebabkan seorang petugas ketertiban tewas di tangannya. Hati Marni seperti ditusuk duri.
“Kenapa hal itu sampai terjadi pada dirimu,Bang Monang?. Kenapa sampai petugas itu tewas di tanganmu. Oh,Tuhan lindungi suamiku. Aku yakin ia tidak bersalah . Ya,Tuhan tolong bebaskan suamiku dari penjara itu. Tolong suamiku agar segera bebas dari segala tuduhan dan pulang.”
Lama bibir Marni berkomat-kamit berdoa memohon perlindungan untuk suaminya. Dan air matanya terus berderai seperti hujan lebat. Apalagi Marni tidak diperkenankan mengunjungi suaminya dalam sel. Marni juga berdoa semoga Bang Monang kuat dan sehat-sehat berada di dalam sel yang dianggap semua manusia sebagai neraka dunia, penuh dengan kekejaman yang dilakukan oleh sesama penghuni sel dan juga oleh aparat penyidik.
Air mata itu pun berderai lebih deras dari hujan lebat ketika di hari ketiga Marni diijinkan menjenguk suaminya. Marni membawa pakaian, makanan dan rokok. Hatinya tidak mampu menahan kesedihan yang amat dalam ketika melihat sepasang mata suaminya bengkak akibat pukulan, wajahnya pucat dan pelipisnya juga memar. Bahkan Marni juga melihat suaminya tidak dapat berdiri lurus dan berjalan pincang. Semua itu karena penyiksaan yang dialami suaminya selama menjalani pemeriksaan. Lelaki itu mengalami penyiksaan yang amat berat selama berlangsungnya pemeriksaan.
Sesaat Bang Monang termenung. Sepanjang hidupnya ia tidak akan dapat melupakan apa yang dialami selama menghuni sel itu. Tidak hanya tindakan aparat pemeriksa yang tidak manusiawi, tetapi juga keadaan para tahanan lainnya yang terdiri dari perampok, penodong, pemerkosa, pencoleng harta negara dan penjahat kambuhan. Di sel itu ada seorang lelaki muda yang sekujur tubuhnya penuh luka bakar. Lelaki itu dijebloskan ke sel setelah dihakimi massa ketika tertangkap basah mencuri sepeda motor di sebuah universitas sewasta. Massa memang sudah sering menjadi hakim sendiri. Bila ada pencuri, apa lagi pencuri sepeda motor, bila tertangkap tangan pasti runyam,pasti babak belur dihajar puluhan massa, bahkan tidak jarang terjadi tubuhnya disiram bensin lalu dibakar hidup-hidup.
Dalam sel itu juga ada seorang lelaki yang kakinya membusuk karena luka tembak. Lelaki itu ternyata adalah penjahat kambuhan yang sudah sering melakukan perampokan terhadap seorang ibu . Sebutir timah panas bersarang di kaki kirinya. Luka tembak itu kini membusuk, karena pengobatan yang tidak sempurna dan tidak tuntas.
Dalam sel itu juga ada lelaki yang selalu menangis karena ingat isterinya yang sedang hamil tua . Lelaki itu tidak tahu bagaimana keadaan isterinya sekarang, entah siapa yang akan mengantarnya ke rumah sakit bila waktunya bersalin tiba, sebab istrerinya adalah sebatang kara dan uang pun tidak dimiliki iserinya. Saat lelaki itu mencuri sebuah HP milik seorang gadis kepergok petugas lalu dijebeloskan ke dalam sel itu. Padahal ia mencuri HP untuk biaya bersalin isterinya.
Hati Bang Monang terenyuh menyaksikan orang-orang penghuni sel yang mirip neraka itu. Keadaannya sendiri masih kelabu. Tapi ia yakin, pertolongan Tuhan akan datang. .
“Aku tidak menduga yang terjadi akan seperti ini,Bang Monang.,” suara Marni terdengar parau di antara isaknya.
“Aku tidak tahan harga diriku dipijak-pijak para petugas itu,” sahut Bang Monang.
“Seharusnya Bang Monang tidak melakukannya, tidak melawan para petugas itu.”
“Aku manusia biasa,Marni. Siapa pun orangnya akan melawan kalau harga dirinya dipijak-pijak. Lagi pula aku mempertahankan hakku. Aku tidak rela mesin kompresor itu dirampas semena-mena oleh petugas itu. Aku tidak rela ada harta milikku dirampas dengan kasar. Rasanya pantas kalau aku melawan, pantas kalau aku melukai salah seorang petugas itu. Tapi demi Tuhan, aku hanya melukai petugas itu. Aku tidak membunuh aparat itu. Ada orang lain yang melakukannya karena waktu itu orang-orang sangat banyak. Provokator pun ada di sana”
“Aku berdoa semoga Bang Monang baik-baik saja di sini.”
“Ya!. Aku baik-baik saja,Marni,” sahut lelaki itu.
Bang Monang mengaku kepada Marni dalam kondisi baik-baik saja,tapi tampak jelas bekas-bekas pukulan benda keras dan juga penyiksaan.
“Doakan aku kuat menghadapi semua ini.”
“Aku mendoakan setiap saat. Dan aku yakin Bang Monang tidak menusuk aparat itu,bukan?”
“Demi Tuhan ,tidak!”
“Lalu kenapa penyidik membuat tuduhan seperti itu?”
“Semoga Tuhan memberikan petunjuk mana yang benar itu benar. Aku benar-benar tidak melakukannya. Namun demikian aku berharap carilah bantuan,” pinta lelaki itu.
“Bantuan apa?”
“Carilah pengacara, kita butuh bantuan hukum.”
Sesaat Marni termenung. Ia diminta untuk mencari bantuan hukum, padahal itulah yang tidak pernah dilakukannya dan Marni sama sekali buta dalam hal itu.
“Biayanya pasti mahal,” cetus Marni.
“Jangan pikirkan soal biaya. Biarlah kita tidak punya simpanan lagi, tapi aku mendapat perlindungan hukum. Biarlah kita menjual apa yang kita miliki, tapi kita akan mendapatkan keadilan yang sebenarnya.”
Meski pun hanya mengecap pendidikan rendah, tapi pasangan suami isteri itu menyadari, bahwa saat ini rakyat kecil sangat sulit untuk mendapat perlindungan hukum. Meski pun Marni dan suaminya hanya berpendidikan rendah, tapi mereka menyadari, bahwa wong cilik sangat sulit untuk mendapatkan keadilan yang sebenarnya. Lihatlah, koruptor kakap dapat divonis bebas oleh pengadilan. Sudah sering terjadi pencoleng duit rakyat yang milyaran jumlahnya hanya mendapatkan hukuman beberapa bulan saja. Bahkan koruptor kakap bebas berkeliaran. Pencoleng harta Negara yang divonis bebas juga sering terjadi. Apalagi dalam hal sengketa tanah, pasti yang tidak punya duit akan kehilangan haknya. Rakyat kecil selalu tertindas dalam hal perlakuan hukum. Hukum masih dapat dibelok-belokkan di negara ini. Keadilan belum ditegakkan secara benar.
“Aku akan berusaha mencari seorang pengacara. Mungkin ada diantara saudara atau kerabat kita yang tahu mencarikan jalan keluar bagi persoalan kita.”
“Kuatkan hatimu,Marni,” pinta lelaki itu ketika Marni akan meninggalkan rumah tahanan itu.
Langkah Marni terlihat gontai ketika ia meninggalkan kantor kepolisian itu. Air matanya semakin habis terkuras ketika ia menjenguk suaminya. Tubuhnya seakan kehilangan tenaga, seperti tidak mampu lagi bagi Marni untuk tegak dan berjalan. Ia seperti tidak sanggup menghadapi persoalan itu. Selama ini Marni selalu tabah dalam menghadapi berbagai persoalan dan kesulitan. Tapi kali ini ketika suaminya berhadapan dengan pihak kepolisian, Marni seperti tidak kuat menghadapinya. Berurusan dengan polisi sama saja berada di kandang singa. Keadaannya menyeramkan dan yang dihadapi bukanlah perlindungan, tetapi tekanan. Terkadang ujung-ujungnya adalah pemerasan. Kasus apa pun yang dihadapi, bila sudah berurusan dengan polisi, pasti ujung-ujungnya adalah duit.
Ketika Marni melangkah keluar kompleks kantor kepolisian itu, Marni melihat puluhan orang berkerumun sedang melakukan demo melakukan orasi sambil membawa spanduk dan meneriakkan yel-yel. Marni masih sempat mendengar yel-yel itu. Marni juga masih sempat membaca tulisan pada spanduk itu yang berbunyi agar Bang Monang dibebaskan. Spanduk itu juga ada yang bertuliskan, bahwa Bang Monang bukan pembunuh aparat. Demo itu dilakukan oleh sejumpah pedagang kaki lima dan beberapa LSM pembela rakyat kecil juga ikut mendukung. Marni merasa terharu melihat dukungan moral dari para pendemo, seakan Bang Monang memang tidak bersalah..
Namun bila ingat Bang Monang dalam kerangkeng besi yang harus menghadapi tekanan dan juga penyiksaan,kepala Marni terasa amat pening .. Ia seperti orang linglung yang tidak tahu harus pulang kemana dan tidak tahu harus naik apa. Ia juga tidak tahu harus menemui siapa untuk meminta bantuan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengacara .
Ketika sedang berdiri tidak jauh dari kantor kepolisian itulah sebuah mobil berhenti di depan Marni. Pintu mobil itu terbuka kemudian tampak wajah seorang lelaki yang amat dikenalnya.
“Marni!,” sapa lelaki dalam mobil itu.
“Mas Rio!,” tiba-tiba saja nama itu tercetus dari celah bibir Marni yang tipis dan hari itu ia tidak sempat memoleskan lipstik di bibirnya dan tidak sempat berdandan, tapi dalam keadaan amat sederhana itu pun Marni tetap terlihat cantik.
“Ayo naik,Marni!,” ajak lelaki itu.
Sesaat Marni memikir-mikir, pantaskah aku bersama Mas Rio lagi?.. Marni segera ingat, betapa dulu ia amat karib dengan lelaki itu, tapi lelaki itu kemudian meninggalkannya.
“Tidak usah ragu-ragu,Marni. Aku mencarimu kemana-mana.”
Sesaat Marni menunduk. Ia masih ragu-ragu untuk bersama lelaki itu.
“Aku tahu kau dalam kesulitan dan kebingungan. Aku datang untuk membantumu dalam semua hal. Ayolah naik, banyak yang ingin kukatakan kepadamu.,” desak lelaki itu.
Seperti terkena mukzizat Marni tidak lagi ragu-ragu untuk pulang bersama Mas Ario. Ia duduk di sisi lelaki itu dan membiarkan lelaki itu menatap wajahnya yang sedang berduka.
“Aku tahu kau sedang bersedih. Aku tahu kau sedang dalam kebingungan. Aku tahu suamimu sedang berurusan dengan polisi. Ia pasti butuh bantuan.”
“Ya,bantuan hukum dari seorang pengacara.”
“Hal itulah yang ingin kukatakan kepadamu. Aku sengaja pulang karena ibuku dalam keadaan sakit dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Aku ikut sedih dan prihatin ketika mendengar suamimu terlibat bentrok dengan aparat dan salah seorang aparat ketertiban itu tewas.”
“Tapi Bang Monang tidak melakukannya. Demi Tuhan. Bang Monang tidak melakukannya.”
“Karena itulah suamimu butuh bantuan seorang pengacara.”
“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,Mas Ario. Aku tidak tahu kemana harus mencari seorang pembela.” Marni mengatakan hal itu dengan nada berat dan iringan nafas panjang.
“Aku kasihan kepadamu. Aku pernah mencintaimu, aku pun pernah berdosa kepadamu karena meninggalkanmu hingga hatimu pasti terluka. Sekaranglah saatnya aku menebus dosa itu.”
“Terima kasih atas semua kebaikan Mas Rio.”
“Aku ingin mengangkatmu dari semua kesulitan dan kesukaran, juga kesulitan suamimu. Aku yang akan mencari pengacara itu. Kau pun tidak usah khawatir tentang biayanya, karena aku memang sudah siap untuk membantumu sampai suamimu mendapat perlindungan hukum dan kalau harus dijatuhi hukuman mudah-mudahan hukuman yang seringan-ringannya.”
Sekali lagi Marni mengucapkan terima kasih kepada lelaki di sisinya..
“Aku sengaja memilih seorang pengacara yang sudah mengantongi cukup banyak jam terbang dalam menangani berbagai kasus di pengadilan.”
“Boleh aku tahu siapa pengacara itu?” Marni menatap wajah lelaki itu.
“Wisnu , lengkapnya lengkapnya Bambang Wisnu es-ha kantornya berlantai tiga di Jalan Gatot Subroto,” jelas Mas Ario lagi. “Aku sangat kenal dengannya dan pasti besedia andainya aku yang meminta bantuannya.”
“Dari namanya pengacara itu seperti berdarah Jawa,”
“Ya!.” sahut Ario lagi. “Terus terang Mas Bambang Wisnu juga seperti kita. Kakeknya adalah seorang kuli kontrak”
Panjang lebar Ario menuturkan sosok pengacara yang akan diminta bantuannya untuk mendampingi suami Marni sejak dalam penyidikan, penyelidikan hingga ke pengadilan nanti. Barisan anak cucu kuli kontrak yang sudah meraih sukses dalam pendidikan dan karir semakin panjang. Semakin banyak anak cucu kuli kontrak yang menjadi orang penting . Makin banyak orang berdarah Jawa yang kakek atau neneknya adalah kuli kontrak yang kini hidup mapan dan di papan atas. Orang ramai semakin melek matanya melihat bahwa para kuli kontrak yang dulu sangat menderita ternyata mewariskan anak-anak yang mampu meraih sukses dalam berbagai bidang.
Seperti halnya tentang Bambang Wisnu SH yang membuka kantor bantuan hukum “Bambang Wisnu SH & Associates” kakeknya dulu adalah kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan Parnabolon dan melihat sendiri seorang kuli kontrak asal Semarang yang membunuh isteri asisten Belanda karena tindakan asisten itu tidak wajar. Semau-maunya asisten Belanda itu memindahkan sang kuli kontrak ke tempat yang jauh dari iserinya. Ternyata asisten Belanda itu berniat jahat terhadap isteri sang kuli kontrak yang memang cantik. Kuli kontrak asal Semarang itu tidak mampu membendung kemarahannya dan membunuh isteri asisten yang memiliki otak kotor itu. Sang kuli kontrak itu ditangkap dan dihukum pancung.
Sejak terjadinya pembunuhan terhadap isteri asisten berkebangsaan Belanda itulah para isteri asisten merasa tidak tenteram dan dikejar-kejar ketakutan hingga mereka menulis surat kepada Ratu Wilhelmina untuk meminta perlindungan. Tidak hanya isteri assisten itu yang terbunuh, bahkan seorang asisten Belanda bernama Van Vessen juga tewas diserang para kuli karena kekejamannya. Sejak saat itu, hampir diseluruh perkebuan milik Belanda terjadi penyerangan terhadap assiten Belanda, seperti di perkebunan Bah Soemboe, Dolok Sinumbah, Damoeli, Pagar Marbau, Mendari, Kanopan Oeloe, Aek Paningke, Batang Serangan, Tjinta Radja dan banyak lagi. Sejak itu pula para asisten berkebangsaan Belanda mulai ketakutan dan mereka lebih takut lagi suatu saat para kuli kontrak itu akan mendirikan serikat kuli kontrak yang akan menggalang kekuatan untuk menyerang orang-orang Belanda dan keluarganya. Sejak itu pula pihak Belanda mengirimkan serdadunya ke berbagai perkebunan di Sumatera.
“Aku sudah menemui pengacara itu dan bersedia meluangkan waktu dan suamimu menjadi kliennya,” ujar Mas Ario.
“Berapa aku harus menyediakan uang,Mas Rio?,” Marni menatap wajah lelaki yang amat baik hati itu.
“Tidak usah pikirkan hal itu. Aku benar-benar ingin menolongmu dengan tulus. Aku yang akan menanggung semua biayanya. Lagi pula pengacara itu berdarah Jawa yang kakeknya adalah kuli kontrak . Pasti ia dengan rela mengulurkan tangan memberikan bantuan perlindungan hukum kepada kliennya sesama orang Jawa yang dulunya senasib dan sependeritaan.”
“Terima kasih,Mas Rio. Hari ini rasanya aku mendapatkan rahmat. Tuhan benar-benar memberi perlindungan untuk Bang Monang.”
“Bantulah dengan doa kalau hanya itu yang dapat kau lakukan. Banyak orang sangat simpati kepada suamimu. Demo yang terjadi di depan kantor poilisi itu sebagai bukti, bahwa banyak elemen masyarakat memberikan dukungan moral.”
“Aku berharap kasus ini akan segera selesai, biar hidupku tenteram. Aku tidak menduga, bahwa ketenteraman hidup kami terusik oleh hal ini, padahal kami sedang membangun rumah di pinggir jalan yang strategis untuk dapat melanjutkan usaha dengan tenang dan tidak bertentangan dengan hukum.”
“Aku kasihan melihat keadaanmu, Marni. Aku selalu ingat masa lalu ketika kita sering jalan-jalan menikmati saat-saat indah, tapi Tuhan tidak mempetemukan kita.”
Mobil itu membelok ke arah Jalan Gatot Subroto dan membelok lagi di depan sebuah bangunan ruko tiga tingkat. Marni masih sempat membaca nama sebuah kantor pengacara Bambang Wisnu SH & Assiciates, dengan sederetan nama-nama advokat yang berpengalaman dan memiliki jam terbang tinggi di bidang penanganan berbagai kasus di pengadilan.
Suasana akrab sangat terasa pada pertemuan dengan pengacara itu dan pembicaraan berlangsung dalam bahasa Jawa ngoko sehingga yang terlihat adalah suasana persaudaraan dan kekerabatan sesama orang Jawa. Pengacara itu amat simpati kepada suami Marni dan ia memang sudah tahu dari pemberitaan di media massa.
Jari-jari tangan Marni tarasa amat ringan ketika menurunkan tanda tangannya sebagai pemberian kuasa dan sebagai pelimpahan hak serta kewajiban .
***
B
erdesir-desir darah dalam tubuh Marni ketika menuruni anak tangga di kantor pengacara itu. Mas Ario menyentuh jari tangan Marni seakan lelaki itu takut Marni akan terjatuh. Jantungnya berdebar keras. Sesaat ia terkenang saat-saat indah masa lalu bersama lelaki itu.
“Hati-hati,Marni. Aku tidak ingin melihatmu terjatuh di tangga ini, sebab aku melihat tubuhmu lemah.” terdengar susara lelaki itu ketika menuruni tangga dari lantai tiga.
“Aku memang lemah karena beberapa malam tidak dapat tidur terlalu memikirkan nasib Bang Monang,” sahut Marni polos.
“Aku maklum. Kau pasti tidak enak makan,”
“Ya. Rasanya aku tidak lapar dan tidak haus.”
“Pantas wajahmu tampak pucat dan lemah.”
“Andainya tidak bertemu dengan Mas Rio, entah kemana aku harus melangkah.”
“Pantas hati nuraniku seperti terpanggil untuk pulang ke Sumatera. Seperti ada mukzizat agar aku segera pulang kemari, padahal penyakit ibuku tidak terlalu parah. Ternyata seseorang yang pernah kucintai saat ini dalam kesulitan.”
Marni hanya menunduk dan menghela nafas panjang..
“Tidak ada salahnya hari ini aku mengajakmu makan bersama,bukan?”
Marni tidak segera berkata-kata.
“Bukankah katamu sejak beberapa hari tidak merasa lapar dan haus?. Jangan biarkan keadaan itu terus berlanjut, kau akan jatuh sakit. Aku tidak ingin melihatmu terlalu menderita batin, apalagi sampai jatuh sakit.”
Marni tidak menolak. Ia duduk berdampingan di sisi Mas Ario dalam mobil yang membawanya ke arah restoran. Di restoran itu Marni juga duduk berdampingan dengan lelaki itu. Kemesraan dan saat-saat indah seperti dulu kini berulang kembali, padahal suasananya sudah berubah. Lelaki itu sudah menikah dengan Ningrum yang selalu sibuk mengurus restoran miliknya di Jawa dan Marni sudah milik Monang yang kini sedang mendekam di balik jeruji besi .
“Ayo makan yang enak!,” lelaki itu mengajak Marni untuk mulai menyantap makanan yang terhidang. Musik live melantunkan lagu-lagu bernada kemesraan..“Aku ingin melihatmu sehat dan ceria . Lemparkan jauh-jauh segala persoalan yang sedang menghadangmu.”
“Bagaimana mungkin aku melemparkan jauh-jauh rasa khawatir dan kesukaran kalau Bang Monang saat ini masih dalam sel?”
“Untuk apa terlalu kau risaukan. Persoalannya akan segera tuntas. Bukankah sudah diambil alih oleh Mas Bambang Wisnu?. Suamimu tidak akan dijatuhi hukuman berat. Monang tidak akan menghadapi perlakuan yang tidak wajar dari penyidik karena sudah menjadi kliennya. Polisi tidak akan berbuat sewenang–wenang setelah didampingi pengacara.”
Kata-kata itu membuat dada Marni terasa lapang. Selama ini ia merasa dadanya seperti terhimpit sebongkah batu cadas yang amat menyesakkan nafas. Diam-diam Mas Ario memperhatikan Marni yang sedang menikmati hidangan. Marni tampak lahap menikmati cumi-cumi dan sambal goreng udang, padahal sudah berhari-hari Marni tidak merasa lapar dan haus karena terlalu memikirkan suaminya. Perempuan mana yang dapat makan enak dan hidup tenang kalau suaminya meringkuk dalam sel bercampur dengan para penjahat dan pemerkosa?. Pembunuh juga ada di sel itu.
“Aku senang melihatmu makan dengan lahap,Marni,” terdengar suara Mas Ario.
“Hari ini aku merasa dadaku sangat sejuk, seperti ditetesi embun pagi,” Marni berkata sejujurnya. Ia membiarkan lelaki di sisinya menatap wajahnya amat dalam dan penuh arti. Sungguh sama sekali di luar dugaan, dalam keadaan yang amat sulit, tiba-tiba muncul Mas Ario untuk menghindari dari segala kesukaran.
“Syukurlah dan aku memang melihat wajahmu hari ini segar dan ceria, seperti tidak ada masalah apa pun.”
Marni tersenyum dan ia tampak amat cantik. Langit di atas mereka berwarna biru cerah dan awan berarak-arak. Burung-burung terbang dengan damai dan angin pun berhembus sepoi, membelai rambut Marni. Hatinya damai sekarang dan sejuk. Sesaat Marni lupa kepada Bang Monang yang saat ini masih di balik jeruji besi namun tidak lagi menghadapi tekanan dan penyiksaan. Tidak ada lagi tindakan sewenang-wenang.
Mobil itu meluncur di jalan raya yang padat, lalu menuju arah keluar kota.. Sesekali Mas Ario melirik , memandang wajah Marni yang bundar telur, memandang bibirnya yang tipis dan merekah.
“Kemana Mas Rio membawa diriku?,” tanya Marni setelah menyadari Mas Ario membawanya ke arah luar kota.
“Ke suatu tempat yang indah.”
“Di mana tempat yang indah itu?”
“Di kaki gunung.”
“Kenapa harus di kaki gunung?”
“Udara di sana sejuk dan nyaman. Sudah lama kita tidak menikmati udara sejuk dan pemandangan indah. Sudah lama kita tidak mendengar kicau burung.”
“Akh, Mas Rio. Keadaan kita tidak seperti dulu lagi.”
“Tapi aku masih selalu terkenang masa lalu.”
“Rasanya tidak mungkin lagi masa lalu yang indah itu terulang lagi.”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Kita tidak seperti dulu lagi.”
Lelaki itu hanya tersenyum. Angin yang berhembus membawa udara sejuk dari pegunungan terasa membelai tubuh Marni. Tampak bukit-bukit berwarna hijau karena pohon-pohon yang lebat dan tinggi diselimuti kabut. Jantung Marni berdetak keras ketika mobil itu memasuki halaman sebuah hotel.
“Kenapa harus berhenti di sini,Mas Rio?” Marni menatap wajah lelaki itu.
“Aku ingin beristirahat sejenak.”
“Tapi…tapi…,” amat sulit bagi Marni untuk berkata lebih lanjut.
“Aku melihatmu juga dalam kelelahan karena itu sebaiknya kita istirahat dan menikmati udara sejuk.”
“Burung-burung di ranting pohon akan mentertawakan kita andainya kita istirahat di sebuah hotel.”
‘Tidak,Marni!. Burung-burung tidak akan mentertawakan kita, tapi mereka akan bernyanyi buat kita, karena kita pernah saling mencintai. Kita akan menikmati nyanyian burung di sini.”
“Akh,Mas Rio. Kalau burung-burung bernyanyi untuk kita, mungkin awan yang berarak yang akan mentertawakan kita, karena aku bukan milikmu.”
“Awan putih itu akan terus berarak,Marni dan tidak perduli kepada siapa pun.”
Marni tidak mampu berkata lebih banyak ketika lelaki itu memesan sebuah kamar. Marni juga tidak mampu mencegah ketika lelaki itu kemudian menutup pintu kamar di hotel itu. Awan putih memang tidak melihat mereka berdua menikmati kemesraan dan saat yang manis penuh kehangatan.. Namun kicau burung masih terdengar seperti bernyanyi untuk mereka.
“Aku selalu ingat dirimu,Marni,” bisik lelaki itu di telinga Marni ketika mereka berbaring
“Tapi Mas Rio sudah menjadi milik Mbak Ningrum,bukan?”
“Aku merasa terpanggil kemari. Seperti ada bisikan halus dari jauh yang memanggilku, yang memberi tahu aku, bahwa seseorang yang pernah kucintai sedang dalam kesulitan dan aku harus melakukan sesuatu.”
“Aku tidak tahu harus berkata apa terhadap Mas Rio.”, bisik Marni di antara nyanyian burung di ranting pohon.
Ketika burung-burung sedang bernyanyi untuk mereka itulah sepasang anak manusia itu menikmati saat-saat yang amat indah dan manis. Mereka tenggelam dalam kehangatan.. Dosa telah menjerumuskan sepasang anak manusia itu. Hari itu benih-benih dari Mas Ario telah tersemai dalam rahim Marni, padahal suaminya sendiri tidak mampu menyemaikan benih-benih seperti itu akibat kecelakaan yang dialaminya di jalan tol. Padahal Mas Ario adalah seorang lelaki yang amat perkasa,adalah seorang .lelaki yang seutuhnya, yang memiliki benih-benih amat subur. Lihatlah dari perkawinannya dengan Ningrum di Jawa, Mas Ario sudah mendapatkan seorang anak yang kini mulai berjalan.
***
S
eperti sebuah mukzizat yang turun dari langit, pengacara yang menjadi penasihat hukum bagi Monang menemukan bukti-bukti baru, bahwa lelaki berdarah Batak itu memang tidak melakukan penusukan terhadap seorang aparat ketertiban ketika bentrokan dengan pedagang kaki lima berlangsung. Tidak sia-sia pengacara berdarah Jawa yang sudah mengantongi ribuan jam terbang dalam menangani berbagai perkara di pengadilan itu menjadi penasihat hukum dalam perkara tewasnya seorang aparat penertiban kota. Aksi bentrok itu sendiri mendapat perhatian yang amat luas dari masyarakat. Nama Monang selalu disebut-sebut tidak saja dalam pemberitaan, tapi juga dalam obrolan di warung kopi. Juga pengacara berdarah Jawa yang mendampinginya di pengadilan disebut-sebut orang di mana-mana. Pengacara bertubuh jangkung yang selalu mengenakan dasi lebar itu mendapat simpati yang amat besar dari masyarakat luas. Banyak orang yang kagum karena kesediaannya membela kasus yang sedang dihadapi oleh rakyat kecil
Semua tahu saat ini untuk meminta bantuan perlindungan hukum dari pengacara pasti biayanya mahal. Mana mungkin pengacara ada yang mau membela seorang tukang tambal ban di pinggir jalan karena dianggap tidak punya uang. Tapi pengacara berambut cepak itu tidak demikian halnya, ia tidak memandang uang. Pengacara itu merasa senang dan merasa rakyat kecil seperti Monang justru yang pantas menjadi kliennya. Puluhan pedagang kaki lima sengaja menghadiri persidangan itu dan memadati ruangan pengadilan.
Salah seorang PKL yang memiliki HP sengaja merekam gambar-gambar ketika bentrok dengan aparat sedang berlangsung .Sesama PKL pasti merasa simpati apa lagi kepada Bang Monang. Seorang pedagang kaki lima itu sengaja memberikan rekaman gambar-gambar melalui kamera HP kepada pengacara Bambang Wisnu. Rekaman gambar yang memperlihatkan bentrok antara PKL dan aparat ketertiban kota itu merupakan fakta akurat dan aktual yang tidak dapat dibantah. Tampak jelas dalam rekaman itu gambar-gambar ketika aparat mengobrak-abrik kios pedagang minyak campur sehingga premium tertumpah di trotoar kemudian seorang provokator menyulutkan api.
Juga tampak jelas gambar ketika Bang Monang mempertahankan mesin kompresor yang disita oleh aparat. Justru yang paling jelas tampak adalah seorang lelaki muda yang dikenal masyarakat sebagai preman terminal Amplas menusuk perut aparat ketetiban dengan belati hingga petugas itu akhirnya tewas. Polisi pun segera meringkus oknum preman itu di sekitar terminal bis . Beruntunglah Bang Monang lolos dari lubang jarum. Beruntunglah lelaki keturunan Batak itu terhindar dari dakwaan melakukan penganiayaan terhadap seorang aparat hingga tewas. Sebagai tanda syukur, lelaki itu brsujud di lantai gedung pengadilan.
“Syukur kepadaMu , Ya Allah. Hanya karena kebesaranMu suamiku terhindar dari hukuman yang sangat berat,” Marni yang ikut hadir pada persidangan itu mengusap dadanya dan air mata keharuan mengalir di pipinya yang mulus.
Demi hukum, hakim mengetukkan palunya, lelaki kelahiran Siborong-borong itu hanya divonis tiga bulan penjara dipotong masa tahanan. Sekali lagi lelaki yang profesinya sebagai tukang tambal ban itu melakukan sujud syukur di lantai gedung pengadilan. Bang Monang memang dijatuhi hukuman yang ringan dan semua itu karena pembelaan seorang pengacara berdarah Jawa dan Marni tidak sempat membayar mahal. Bahkan Marni tidak sempat mengeluarkan uang satu sen pun karena semua yang menanggung pembiayaan adalah seorang lelaki bernama Ario Harsono dan itu pun tidak terlalu mahal. Sebab sesama orang Jawa selalu saling tolong menolong, selalu bergandengan tangan dalam banyak hal, juga ketika seseorang dalam kesulitan.
Berkali-kali Marni bersyukur kepada Tuhan, tapi ia pun berkali-kali menyebut nama Mas Ario yang telah mencarikan seorang pengacara yang sudah memiliki nama tenar.
“Bantuanmu sangat besar,Mas Rio. Andainya kita tidak bertemu, pasti suamiku akan dijatuhi hukuman berat, mungkin sepuluh tahun, mungkin lima belas tahun.,pasti aku akan sangat menderita sekali.” Ujar Marni berkata-kata sendiri.
“Dengan apa aku harus membalas segala kebaikanmu,Mas Rio?,’ tanya Marni lagi sendiri.
Burung-burung yang selalu terbang jauh, yang selalu hinggap dan berkicau di ranting pohon mahoni yang tumbuh di halaman kantor pengadilan itu bernyanyi seperti menyampaikan pesan dari tempat yang sangat jauh, dari seberang Laut Jawa, dari seorang lelaki bernama Ario Harsono.
“Aku tidak mengharap balas jasa apa pun darimu,Marni. Aku pun bersyukur dapat membantu mengangkatmu dari segala kesulitan. Aku bahagia suamimu divonis dengan hukuman yang seringan-ringannya”.
“Andainya kita tidak pernah bertemu, pasti aku sangat menderita dan suamiku akan lebih menderita lagi. Jasamu terlalu besar kepadaku dan tidak akan terlupakan olehku, Mas Rio,” Marni berkata-kata lagi, menyebut nama Mas Ario lagi.
“Aku selalu ingat kepadamu,Marni,” burung di ranting pohon berkicau lagi, seperti masih banyak pesan dari seberang Laut Jawa yang ingin disampaikan kepada Marni.. “Sampai detik ini aku masih sayang kepadamu dan aku tidak rela kalau dirimu dalam kesulitan. Aku tidak rela kalau ada seekor nyamuk menyakiti tubuhmu, pasti nyamuk itu akan kutepuk.”
Marni tertegun dan di pelupuk matanya terbayang wajah Mas Ario. .
“Aku sudah menikmati saat-saat paling indah dan manis bersamamu dan aku tidak akan melupakan hal itu sampai kapan pun,Marni,”
Marni hanya menghela nafas panjang. Sesaat Marni ingat, bahwa di kaki gunung, di sebuah hotel, Marni dan lelaki yang kini ada di seberang Laut Jawa itu telah menikmati saat-saat paling indah dn manis, juga kehangatan,tapi juga penuh dosa. Penuh noda. Dan lelaki itu telah menaburkan benih-benih subur dalam rahim Marni.
Marni juga menyebut-nyebut nama Bambang Wisnu SH yang sudah berkenan memberikan perlidungan dan bantuan hukum terhadap suaminya hingga hukuman bagi Bang Monang adalah seringan-ringannya. Marni sengaja tidak memberikan apa pun, hanya untaian bunga anggrek segar sebagai ucapan terima kasih. Hari itu di lantai tiga kantor pengacara Bambang Wisnu & Associates dihiasi untaian anggrek yang indah dan enak dipandang.
***
M
eski pun bangunan berlantai dua itu belum rampung seluruhnya, meski pun belum diplester dan jendela masih ditutup dengan seng bekas, tapi sudah ditempati untuk usaha tambal ban SAROHA. Bang Monang dan Marni sengaja buru-buru menempati rumah yang belum rampung itu dan membuka usaha di sana, karena merasa tidak ingin tragedi yang lalu terulang lagi. Bang Monang pun tidak mau lagi jadi korban penggusuran kemudian terjadi bentrok lalu dia memukul aparat lagi.. Bang Monang tidak mau melanggar hukum lagi. Bang Monang tidak mau memukul aparat dengan sepotong besi.. Ia tidak mau berurusan dengan polisi lagi. Baginya berurusan dengan polisi sama saja berhadapan dengan harimau.
Tuhan tetap saja membuka pintu rezeki lebar-lebar bagi keluarga itu. Tiap hari tidak henti-hentinya pemilik kenderaan parkir untuk tambal ban. Karena kesibukannya, Bang Monang terpaksa menggunakan seorang pembantu dan ia tidak terlalu sibuk lagi. Sejak ada seorang pekerja di bengkel itu, Bang Monang punya kesempatan untuk merokok dan membaca koran.
Marni juga begitu, rezekinya semakin lancar. Kaum hawa yang datang menjahitkan pakaian selalu saja berganti-ganti dari mulai anak-anak, gadis remaja, mahasiswi hingga ibu-ibu dan nenek-nenek. Siapa yang tidak sibuk ketika ada grup marhaban yang berjumlah sepuluh orang menempah seragam busana muslimah?. Belum selesai pakaian seragam grup marhaban itu, datang lagi delapan remaja menempah pakaian Melayu karena mereka akan ikut festival tari Melayu. Wah, sibuknya bukan main. Untuk memasang kancing dan mejahit resluiting, Marni terkadang meminta bantuan orang lain. Buku-buku mode pun semakin banyak tersedia di atas meja. Perempuan memang paling peka dalam hal memilih mode mutakhir. Belum semua terlayani, tidak kurang dari 50 siswa TK menempah seragam sekolah.
Rezeki memang sedang mengalir kencang kepada pasangan suami isteri Jawa dan Batak itu. Kadang-kadang sambil merokok, Bang Monang terbayang kembali ketika kecelakaan di jalan tol yang menyebabkan Monang tidak mampu menyemaikan benih-benih subur dalam rahim isterinya , lalu terbayang ketika bentrok dengan aparat saat penggusuran terhadap pedagang kaki lima. Terbayang ketika ia harus berurusan dengan polisi.
Sekarang Bang Monang menyadari, bahwa pedagang kaki lima pada umumnya menimbulkan kesan semrawut dan jorok,apalagi dengan mendirikan tenda-tenda darurat sehingga sia-sia pemerintah kota membangun taman-taman sepanjang jalan, sia-sia pemerintah kota giat melakukan gebrakan kebersihan dan keindahan. Dan sekarang, setelah pedagang kaki lima ditertibkan, suasana kota tampak indah, nyaman dan asri. Apa lagi ketika malam hari, sepanjang jalan dihiasi lampu warna-warni. Peristiwa bentrok yang lalu menjadi pelajaran mahal bagi lelaki itu.
Marni selalu bersyukur, bahwa usaha jahitannya semakin berkembang pesat. Ia tidak punya waktu lagi untuk ngrumpi di warung Mbak Yul ketika belanja sayur dan lauk pauk. Tapi betapa pun ia sibuk menghadapi jahitan, tapi tiap kamis sore Marni harus meluangkan waktu untuk menghadiri majlis ta’lim yang diadakan oleh ibu-ibu anggota Pujakesuma, sebuah organisasi tempat berkumpulnya warga Jawa kelahiran Sumatera. Ustaz yang diundang untuk memberikan ceramah juga dari kalangan orang Jawa. Terkadang Al Ustaz Drs.Haji Agus Mulyono, lulusan IAIN jurusan syari’ah atau Ustazah Hj.Sulastri, jebolan pesantren Mustafawiyah Purba Baru.
Kepala Marni yang pening menyebabkan sudah dua kali Marni tidak hadir pada majlis ta’lim di masjid Baiturrahman. Semua jamaah bertanya-tanya mana Marni?. Semua tidak ingin Marni mencari duit melulu dan melupakan ukhhkhuwah Islamiah, lupa silaturrahmi, lupa pada bekal akhirat.
“Jangan mengejar dunia melulu,Marni,” Bu Hajjah Ningsih mengingatkan Marni ketika bertemu di warung sembako. “Investasi akhirat juga perlu dibangun.”
“Saya kurang enak badan,Bu!,” sahut Marni tersipu.
“Pening?.”
Marni mengangguk.
“Perut mual?”
“Ya!”
“Tidak selera makan nasi?” tanya Bu Hajjah Ningsih lagi.
“Ya!”
“Wah , itu tanda-tanda baik. Itu tandanya akan mendapat anugerah.”
“Maksud ibu saya hamil?” Marni menatap wajah pengurus majlis ta’lim yang dilaksanakan Pujakesuma itu.
“Ibu memastikan kau benar-benar hamil,Marni. Kau masih amat muda, sehingga tidak tahu masalah perempuan,apalagi kehamilan anak pertama.”
Marni tersenyum.
“Kau harus memberi tahu perubahan dirimu kepada sumimu. Pasti ia sangat gembira mendengarnya, apalagi ia memang orang Batak yang pasti ingin secepatya punya anak untuk penyambung keturunannya.”
Marni tidak berkata apa-apa.
“Dulu ketika pertama kali ibu hamil dan memberitahukan kepada suami ibu., bapak gembiranya bukan main, sampai ibu digendong keliling kamar.”
Marni tersenyum lagi mendengar kata-kata itu. Ia membiarkan Bu Hajjah Ningsih berkata lagi :
“Kehamilan anak pertama risikonya tinggi,Marni,”
“Risiko?. Risiko apa?”
“Bulan pertama hingga ketiga biasanya selalu terjadi keguguran, karena itu harus ekstra hati-hati menjaganya. Jangan terlalu lelah, jangan mengangkat benda-benda berat dan hindari jongkok. Juga harus dihindari naik turun tangga.”
“Terima kasih atas nasihat itu,Bu Hajjah,” sahut Marni
Bu Hajjah Ningsih sedang memilih tomat dan Marni memilih ikan mas untuk dimasak arsik. Sejak menikah dengan lelaki suku Batak, Marni jadi pintar memasak masakan khas Batak seperti arsik dan sambal tuk-tuk Sambil memilih tomat, Bu Hajjah Ningsih memberi nasihat lagi kepada Marni, sebab ia merasa sesama orang Jawa harus saling nasihat menasihati. Bagi perempuan suku Jawa selalu bersikap lembut dan semua perempuan suku Jawa adalah saudaranya, bahkan Bu Hajjah Ningsih menganggap Marni sebagai anaknya sendiri. Nasihatnya benar-benar panjang lebar yang lahir dari dasar hati:
“Ingat ,Marni. Untuk sementara waktu hindari naik sepeda motor. Kalau memang terpaksa harus keluar rumah bawalah gunting dan delingo bunglai yang dirangkai agar tidak diganggu mahluk halus, sebab perempuan hamil darahnya harum dan manis.”
“Ya, ibu saya juga selalu memberi nasihat begitu,” sahut Marni.
Marni membiarkan Bu Hajjah Ningsih mendekat dan seperti ada rahasia yang tidak boleh didengar orang lain, perempuan pengurus pengajian itu berbisik di telinga Marni:
“Dalam bergaul mesra dengan suami juga harus hati-hati dan dilakukan dengan perlahan, jangan sembarangan, jangan lasak dan lakukanlah dalam posisi yang aman.”
Kata-kata itu membuat Marni tertawa dan perempuan berkerudung putih itu melanjutkan nasihatnya.
“Suamimu orang Batak, biasanya orang Batak selalu kasar dan lasak, hal itu dapat mengganggu janin.”
Marni mengucapkan terima kasih atas semua nasihat itu.
Tidak hanya perempuan berkerudung putih itu yang ikut gembira melihat Marni mulai hamil, perempuan lain yang datang untuk menjahitkan pakaian juga ikut perduli:
“Wah, hebat kau Marni!”, cetus Fatma ketika melihat Marni muntah.
“Kenapa hebat?”
“Suamimu ternyata perkasa!”
Marni mengusap perutnya sendiri.
“Orang sekampung kita heran melihat keadaanmu yang tetap ramping meski pun sudah bertahun-tahun menikah. Lalu banyak yang menduga, bahwa suamimu adalah macan ompong, gagah, tapi loyo.”
Marni hanya berdiam diri mendengar ucapan itu. Ia membiarkan tamunya berbicara lagi:
“Pasti suamimu melompat-lompat kegirangan setelah mendengar kau hamil. Pasti kau akan mendapat hadiah istimewa . Ketika kakak hamil yang pertama dulu almarhum suami kakak memberiku kalung sepuluh gram. Nah, sekarang kau hamil pasti hadiah untukmu sangat istimewa.”
“Mana mungkin ada hadiah istimewa , paling-paling hanya ciuman di kening.”
“Kenapa tidak ada hadiah istimewa?”
“Kami tidak punya uang lagi, semua terkuras untuk membangun rumah, sebab Bang Monang tidak mau kiosnya digusur dan terjadi bentrok lagi. Bang Monang trauma masuk penjara lagi.”
“Untuk memastikan kehamilanmu, segeralah periksa ke Dokter Laksono, spesialis kandungan yang bertangan dingin.”
“Dokter spesialis sudah sangat banyak sekarang,” sahut Marni yang sedang memikir-mikir kemana akan memeriksakan diri dan di klinik mana akan melahirkan nanti..
“Tapi Dokter Laksono benar-benar bertangan dingin. Tiga anak kakak lahir di tanggannya dan benar-benar aman, padahal semua lahir tidak melalui jalannya,”
“Lalu dengan bedah kaesar?”
“Ya. Ketiganya lahir aman, padahal kakak sudah sangat khawatir dan sudah siap andainya maut menjemput dan harus meninggalkan semua.”
“Dokter itu pula yang menyarankan kakak harus ikut ka-be?” tanya Marrni.
“Ya, sebab sudah tiga kali melahirkan dengan cara bedah kaesar, lalu kalau harus melahirkan lagi bagian mana lagi yang akan dibedah?”
“Mudah-mudahan saya melahirkan nanti biasa-biasa saja, tidak ada kesulitan apapun. Kalau mungkin sebaiknya jangan sampai menjalani bedah kaesar dan dua anak cukup.”
“Lalu kalau suamimu ingin tiga atau empat anak?. Kebiasaan orang Batak selalu lain, harus ada anak laki-laki dalam perkawinan. Andainya bayimu lahir perempuan , pasti ia ingin anak yang kedua. Nah, kalau anak kedua perempuan juga, pasti ia ingin anak ketiga. Bagaimana kalau sampai anak ketiga dan keempat perempuan terus?. Wah pasti repot sebab laki-laki selalu ingin menang sendiri. Kaum perempuan bukan hanya untuk melahirkan melulu. Perempuan bukan pabrik anak.”
Marni hanya menekur. Seperti banyak yang ia pikirkan. Seperti ada benang kusut dalam benaknya. Di hadapannya seperti ada sebongkah batu. Seperti seribu permasalahan sedang menghimpit dadanya.
“Demi Tuhan, kakak sebenarnya menyesal telah menjalani operasi ka-be,” suara Kak Fatma pelan dan di wajahnya terlihat seperti ada kesedihan.
“Kenapa harus menyesal?. Bukankah ka-be dengan jalan operasi paling aman.”
Kak Fatma tidak segera menyahut. Mendadak wajahnya murung:.
“Sudah empat tahun kakak sendiri terus sejak gagal ginjal merenggut suami kakak.
Hidup sebagai janda itu serba salah,Marni. Banyak laki-laki terus menggoda seakan semua janda itu gampang dibawa-bawa,” ujar Kak Fatma lagi.
“Kakak berniat untuk menikah lagi?”
“Kalau Tuhan meredhoi, ada seseorang yang baik hati untuk menjadi teman kakak setelah empat tahun menyendiri terus.”
“Ya, mudah-mudahan tidak banyak permasalahan dengan perkawinan kedua.”
“Kakak juga berharap begitu, tapi permasalahannya selalu ada. Bagaimana andainya suami yang kedua ingin anak sementara kakak tidak dapat melahirkan lagi setelah menjalani operasi ka-be?.”
“Begitulah kodrat perempuan, begitulah nasib kaum kita.”
Marni seperti ikut merasakan beban berat yang dihadapi Kak Fatma. Sesama perempuan memang selalu saling simpati dan ikut merasakan penderitaan sesama kaumnya.
***
S
eraut wajah cantik itu berhari-hari murung. Tidak ada kegembiraan, tidak ada keceriaan. Cecak yang merayap di dinding juga heran melihat sikap itu. Semut-semut kecil yang sedang menyusun barisan panjang dan mengusung bangkai lalat juga keheranan dan bertanya, mengapa perempuan yang sedang mendapat anugerah dari Tuhan, tapi murung dan lesu sepanjang hari?. Bahkan kelelawar yang baru keluar dari sarangnya bertanya, apa gerangan yang terjadi di rumah ini hingga penghuninya yang cantik jelita itu selalu murung?
Ada kegalauan di hati Marni. Ada kegelisahan di relung hatinya. Ada sebongkah batu yang menghimpit dadanya. Ada segumpal benang kusut di benaknya. Seharusnya seorang isteri yang hamil untuk pertama kalinya, pasti akan sangat bahagia sekali. Seharusnya seorang isteri yang merasakan perubahan pada dirinya lalu segera memberi tahu suami. Tapi kali ini Marni merasa amat takut. Sebab ia ingat pernah berbuat dosa bersama Mas Ario. Sebab lelaki itu pernah mengotori dirinya. Ia selalu ingat Mas Ario pernah menaburkan benih-benih subur dalam rahimnya beberapa minggu yang lalu. Ia pun menghitung-hitung waktu, sekian tahun menikah dengan Bang Monang tidak ada tanda-tanda perubahan pada dirinya, bahkan Bang Monang, selalu mengelak bila diajak ke dokter ahli. Selama ini diam-diam Marni sudah berkali-kali mendatangi Dr. Laksono dan mengatakan, bahwa Marni adalah seorang perempuan yang normal, seorang isteri yang sehat dan masih banyak harapan untuk hamil. Tidak ada kelainan apa pun untuk hamil dan melahirkan, Marni selalu mengajak Bang Monang untuk bersama-sama ke dokter, tapi Bang Monang selalu mengelak dengan berbagai alasan.
Jauh di dasar hati Marni ada dugaan, bahwa benih-benih yang ditaburkan Bang Monang dalam dirinya adalah benih-benih hampa, adalah benih yang kosong. Diam-diam Marni menduga, bahwa benih-benih yang ditaburkan suaminya adalah benih bodong. Peluru yang ditembakkan suaminya adalah peluru hampa, atau peluru tumpul.
Bagaimana mungkin Marni akan hamil kalau benih-benih dari suami adalah benih bodong?. Bagaimana Marni akan hamil kalau benih dari suaminya hampa dan kosong?.
Dan sekarang Marni mengalami perubahan pada dirinya, ada anda-tanda kehamilan. Tapi Marni takut berterus terang.. Marni sendiri tidak dapat memastikan, bahwa apakah kehamilannya karena Bang Monang atau karena dosanya bersama Mas Ario.
Ya,Tuhan, benih-benih dari siapakah yang kini tumbuh dalm rahimku?. Berilah kepastian, biar hidupku tenteram. Pastikan , bahwa janin dalam rahimku adalah tetesan darah Bang Monang. Pastikan, bahwa Bang Monang akan menerima bayi yang kukandung adalah anaknya. Jangan sampai Bang Monang menduga yang bukan-bukan. Pastikan, bahwa bayi yang kukandung bukan karena dosa. Sepasang bibir Marni berkomat-komit.
Terkadang terlalu mengerikan andainya Bang Monang tidak mengakui bayi itu sebagai tetesan darahnya. Pasti Bang Monang akan sangat marah. Mungkin Bang Monang akan menarikkan rambutnya dan membenturkan kepalanya ke dinding hingga berdarah. Atau mencekiknya hingga lidahnya menjulur keluar dan kehabisan nafas.. Aku akan mati di tangannya, pikir Marni. Kalau ingat hal itu, ketakutan menghantui dirinya. Marni seperti melihat momok di siang bolong yang amat menakutkan.
Kegalauan semakin menggunung dalam rongga dadanya. Perasaan khawatir semakin besar di relung hatinya. Kekhawatiran itulah yang mendorong Marni harus berterus terang kepada Mas Ario lewat telepon Tidak perduli Marni harus membayar mahal di wartel hanya untuk melontarkan kegalauan hatinya kepada Mas Ario.
“Aku seakan sedang menghadapi gunung meletus,Mas Rio,” Marni berkata lewat telepon.
“Kenapa harus ada gunung meletus?,” sahut Mas Ario di seberang Laut Jawa.
“Ada perubahan pada diriku sekarang.”
“Maksudmu hamil?”
“Ya!”
“Bukankah kau bersuami,Marni. Seorang perempuan yang punya suami kalau ia hamil adalah peristiwa biasa.”
“Itulah yang mencemaskan aku. Masalahnya bertahun-tahun perkawinan kami tidak ada tanda-tanda kehamilan. Sekarang tiba-tiba ada perubahan pada diriku. Bagaimana kalau benih-benih dari Bang Monang adalah benih yang hampa?. Bagaimana kalau benih dari bang Monang adalah benih bodong?. Ia pasti akan membunuhku.” Marni seperti menahan tangis.
“Tidak usah terlalu risau,Marni. Aku tidak akan membiarkan kau dalam kesulitan. Sudah kukatakan kepadamu, seekor nyamuk pun akan ketepuk agar tidak menggigitmu, apa lagi kalau kau sempat teraniaya. Aku akan menjemputmu kalau kau terusir dari sisi suamimu. Nuraniku juga berkata, bahwa bayi dalam rahimmu adalah anakku. Bayi itu berdarah Jawa. Naluriku berbisik kepadaku, tidak ada setetespun darah Batak mengalir dalam tubuh janin itu. Bayi itu akan kuambil kalau suamimu memang tidak menghendaki.”
“Bagaimana kalau Bang Monang sampai membunuhku?.”
“Kalau kau terbunuh, aku yang akan mengambil mayatmu, aku yang akan mengusung mayatmu dan aku sendiri yang akan menurunkan jasadmu ke liang kubur, sebagai tanda cintaku kepadamu yang diam-diam tetap tumbuh subur di hatiku. Kasih sayang kepadamu terus mengalir dalam tiap tetes darahku meski pun di sisiku sudah ada Ningrum, isteriku.. Kukira kau juga harus tahu, bahwa aku pun sedang dilanda kegelisahan.”
“Kenapa gelisah?. Bukankah Mbak Ningrum telah mengangkat nasibmu sehingga Mas Rio sekarang hidup mapan dan kaya?”
“Tampakanya kami harus segera berpisah.”
“Kenapa berpisah?. Apakah Mbak Ningrum tidak mencintai Mas Rio?. Atau mentang-mentang ia kaya lalu tidak menghargai Mas Rio Mungkin ia merasa keturunan ningrat.”
“Tidak seperti itu. Masalahnya isteriku selama ini menyimpan rahasia..”
“Rahasia apa?’
“Rahasia sebesar gunung.”
“Tidak boleh aku tahu gunung apa yang menghimpit dirimu,Mas Rio?. Sinabungkah?. Merapikah? Atau Krakatau?”
“Ningrium menderita leukemia. Dokter sudah memberi tahu, bahwa umurnya hanya tinggal bilangan bulan. Sebentar lagi aku akan kehilangan.”
“Aku ikut prihatin,Mas Rio. Aku ikut sedih.”
Di depan pesawat telepon itu air mata Marni berderai.
***
G
unung berapi itu akhirnya meletus dan bumi pun diguncang gempa dahsyat. Lahar panas bercampur dengan bebatuan mengalir memusnahkan segala yang ada di lereng gunung itu. Dan hati Marni lebih keras lagi terguncang.
“Tidak mungkin kau hamil,Marni. Tidak mungkin!,” suara lelaki itu menggelegar lebih keras daripada petir. Lebih keras daripada gunung meletus.
“Kenapa tidak mungkin?. Bukankah Bang Monang adalah suamiku?. Bukankah Bang Monang selalu menikmati kemesraan besamaku?. Apa artinya kita selalu bergaul intim?. Kemana terbuang benih-benih yang Bang Monang taburkan dalam rahimku tiap kita bergaul sebagai suami isteri?”
“Kau tidak akan hamil,Marni. Kau tidak akan hamil, karena dokter sudah mengatakan aku tidak mampu membuat isteriku hamil. Dokter dan para dukun sudah menegaskan kepadaku, bahwa isteriku tidak akan pernah hamil karena keadaan diriku. Selama ini aku tidak pernah berterus terang, bahwa aku memang tampak seperti lelaki perkasa, tapi ada kelemahan pada diriku.”
Setelah bertahun-tahun perkawinan itu terjadi, barulah saat ini Bang Monang berterus terang, bahwa keadaannya tidak lebih daripada seorang suami yang sudah menjalani operasi vasektomi. Baru sekarang lelaki yang pernah mengalami kecelakaan itu berterus terang , bahwa benih-benih yang disemai dalam rahim Marni adalah benih yang hampa, bodong dan tidak berfungsi. Semua itu karena kecelakaan yang pernah menimpanya di jalan tol.
“Bertahun-tahun aku tidak pernah mengatakan hal itu kepadamu karena aku takut kau tidak mencintaiku lagi. Aku takut kehilangan dirimu.”
“Sebenarnya apa pun yang Bang Monang katakan, aku akan menghadapinya dengan tabah,” sahut Marni. “Aku adalah isterimu, keadaan macam apa pun Bang Monang tetap suamiku.”
“Aku sangat mencintaimu,Marni Tapi dosamu bersama orang lain, tidak dapat kumaafkan..” cetus lelaki itu dengan wajah merah dibakar amarah. Tangannya gemetar. Darahnya gemuruh,seperti gemuruh gunung berapi yang akan meletus lagi
“Artinya aku akan diusir dari rumah ini?,” tanya Marni penuh rasa takut.
. “Tidak!. Aku tidak akan mengusirmu, tapi aku akan membunuhmu. Orang Batak sangat pantang dikhianati isterinya. Bagi orang Batak, isteri yang berbuat dosa dengan orang lain itu artinya adalah kematian.”
“Aku rela mati!.”, sahut Marni dengan tubuh gemetar dan bermandi keringat dingin. “Aku rela mati di tangan Bang Monang.”
“Kau memang harus mati di tanganku,Marni. Tapi tidak hanya kau. Laki-laki yang menggiringmu dalam dosa itu juga harus menebus dosanya.”
Tiba-tiba saja tangan lelaki berdarah Batak itu menarikkan rambut Marni dan membenturkan kepala Marni ke dinding, terasa amat sakit. Marni terkapar di lantai. Ada tetesan darah di lantai karena hempasan yang terlalu keras menyebabkan Marni mengalami pendarahan. Gunung berapi itu meletus lagi dan teramat dahsyat. Bumi semakin terguncang oleh gempa yang mengerikan . Lelaki itu tidak hanya membenturkan kepala Marni ke dinding. Kemarahan sudah membara dalam dadanya. Kedua tangannya yang kekar itu segera menyentuh leher Marni dan mencekiknya sekuat tenaga.
Marni merasa sesak nafas dan kehabisan tenaga. Ia memohon ampun dengan suara tersendat-sendat.
“Ampuni aku,Bang Monang. Maafkan aku. Jangan bunuh aku. Jangan bunuh aku, biarkan aku mencium ujung kakimu.”
“Tidak ada lagi ampun, tidak ada lagi maaf. Yang pantas kau terima adalah mati di tanganku. Kau dengar itu?,” suara lelaki itu seperti petir yang membahana.
Sepasang tangan lelaki berdarah Tapanuli itu semakin keras mencekik leher Marni, hingga wajahnya membiru. Amat lama kedua tangan itu lekat di leher Marni, tapi perempuan malang itu tidak juga menemui kematiannya, seperti ada kekuatan gaib yang melindunginya.
“Aku tidak puas sebelum melihat darahmu mengucur. Aku akan meminum darahmu,Marni!”
Tiba-tiba saja lelaki itu melepaskan tangannya dari leher Marni. Lelaki itu seperti kesurupan. Ia lari ke kamar untuk mengambil sebuah keris yang selama ini disimpan Marni amat rapi di lemari. Marni tidak ingin ada debu yang melekat di keris itu. Marni melihat sendiri, bila ada semut yang merayap di keris itu lalu terjatuh. Cecak pun tidak berani mendekat. Kecoa pun menjauh. Bahkan pada malam-malam tertentu keris itu menyebarkan aroma harum.
Keris itu adalah pemberian kakeknya dulu. Karena Marni adalah cucu kesayangan dan dinilai memiliki hati yang mulia serta prilakunya yang lembut.. Juga karena Marni pandai mengaji dan rajin sholat. Dan sang kakek memperoleh keris itu juga dari kakeknya pula. Karis itu sudah turun temurun diwariskan lebih dari 5 generasi dan sudah menempuh perjalanan yang jauh dari Pulau Jawa menyeberangi Laut Jawa hingga ke Tanah Deli.
Bagi masyarakat Jawa dipercaya, bahwa keris memiliki kukuatan gaib yang dapat melindungi diri pemiliknya, apa lagi senjata itu dirawat dengan baik, seperti merawat bayi semata wayang , pada waktu-waktu tertentu dibersihkan serta diberikan sesaji. Bagi masyarakat Jawa keris sebagai lambang ketangkasan dan keperkasaan seorang lelaki pemiliknya. Tidak sembarang orang memiliki keris yang memiliki “isi”. Hanya manusia-manusia tertentu saja yang serasi memilikinya. Bahkan yang tidak serasi memiliki keris itu, si pemegangnya akan sakit-sakitan lalu mati.
Keris yang diwarisi Marni dari kakeknya sudah berusia berabad-abad dan merupakan keris yang pernah digunakan oleh para kesatria pada jaman kompeni Belanda masih menjajah pulau Jawa pertengahan abad ke l8. Keris itu memang memiliki sejarah yang panjang, Awalnya keris itu dimiliki kesatria kerajaan Mataram yang pada akhirnya kerajaan itu terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta, Surakarta dan Kerajaan Paku Alam serta Kerajaan Mangkunegara..Dan keris itu dibawa pemiliknya ke Kerajaan Mangkunegara. Keris itu telah menewaskan puluhan serdadu VOC , sampai suatu saat keris itu menghilang dan akhirnya ditemukan oleh nenek moyang Marni.
“Akan kubunuh kau dengan keris milikmu sendiri,Marni. Lalu darahmu akan kuminum,” teriak lelaki itu seperti mabuk, seperti kesurupan syetan kuburan.
:”Bunuhlah aku,Bang Monang. Aku memang ingin mati di tanganmu, karena Bang Monang adalah suamiku, “ sahut Marni seperti mendapat kekuatan baru. Tiba-tiba saja Marni tidak lagi gemetar, tidak lagi merasa takut untuk mati terbunuh di tangan suaminya sendiri..
“Ayo bunuh aku, tusuk aku dengan keris itu kemudian teguklah darahku sepuas hati Bang Monang. Aku akan mati dengan tenang. Ayo bunuh aku sekarang!,” Marni memberikan dadanya untuk ditusuk suaminya sendiri dengan sebilah keris yang selama ini dirawat dengan baik, seperti merawat bayi semata wayang.
“Tapi ingat, Bang Monang akan menyesal setelah aku mati di tanganmu. Sebab Bang Monang tidak punya siapa-siapa lagi. Sebab Bang Monang tidak punya ayah ibu lagi karena Bang Monang dianggap sebagai anak yang terbuang. Lupakah Bang Monang, bahwa di dunia ini Bang Monang adalah sebatang kara?. Lupakah Bang Monang , bahwa ketika Bang Monang mengalami kecelakaan aku yang mencarikan darah untukmu?. Kalau tidak ada aku, sudah lama Bang Monang menjadi santapan pesta cacing-cacing tanah.”
Sesaat Bang Monang tertegun, langkahnya terhenti selangkah. Tapi wajahnya tetap saja merah, seperti bara api. Sepasang matanya melotot, seperti akan terlempar keluar. Dadanya masih menyimpan amarah yang membara. Di dadanya masih ada syetan. Iblis masih mengalir dalam setiap tetes darahnya. Lelaki itu kembali mendekati Marni dengan keris yang terhunus, padahal keris itu sudah berkali-kali menyelamatkan kakek Marni ketika mendapat hukuman Belanda dengan cara kaki dan tangan diikat tali lalu dijemur karena menghilangkan sebuah cangkul. Aneh ikatan itu terbuka sendiri, dan kakek Marni pulang dengan tenang. Siapa lagi yang memotong tali-tali ikatan itu kalau bukan keris yang memiliki majik itu.
Sekarang keris itu dipergunakan untuk membunuh Marni kemudian lelaki itu akan meneguk darahnya sampai tetes darah yang terakhir.
“Kau memang pernah menyelamatkan diriku dari kematian, tapi dosamu lebih berat. Dosamu sukar diampuni dengan cara apa pun. Aku akan membunuhmu, kemudian mengejar laki-laki yang menyeretmu ke lembah dosa.”
Lelaki itu sudah amat dekat dengan Marni dan keris itu masih tergenggam di tangannya. Tapi lelaki itu tidak segera menghunjamkan keris itu ke perut Marni. Dengan suara parau dan keras, karena yang berbicara bukan lagi dirinya, tapi syetanlah yang berkata-kata:
“Aku memang akan membunuhmu,Marni. Aku akan menghabisi nyawamu, baru setelah itu aku mengejar Ario. Ayo katakan dimana laki-laki jahanam itu sekarang!” Monang mengguncang lengan Marni amat keras.
“Aku tidak tahu!”, sahut Marni dan tatapannya amat dalam kepada suaminya. Marni tidak takut terbunuh di tangan suaminya sendiri, apa lagi saat mengetahui Bang Monang akan menghabisi nyawanya dengan keris miliknya.
“Ayo katakan dimana Ario sekarang!.” desak Monang dengan nada kasar dan penuh kebencian.
“Aku tidak tahu!” sahut Marni dengan tenang. Ia menunggu suaminya menghunjamkan keris itu ke perutnya.
“Apakah Ario di Solo?”
“Aku tidak tahu!”
“Apakah ia sembunyi di Yogya?”
“Aku tidak tahu!”
“Di Pekalongan? Ha?”
“Aku tidak thu!”
“Di Semarang?”
Marni malas menyahut. Ia hanya menggelengkan kepala.
“Atau dia sembunyi di Surabaya?”.
Lelaki itu sangat marah. Iblis di dada lelaki itu semakin marah ketika Marni terus menerus menyahut tidak tahu ketika didesak keberadaan Mas Ario.
Marni sama sekali tidak takut lagi akan ditusuk dengan keris itu. Ia justru memberikan dadanya. Ia rela mati di tangan suaminya sendiri. Keris itu sudah menempel di atas perutnya.
“Karena aku sangat cinta kepadamu, berapa kali aku harus menusuk perutmu sampai nyawamu melayang, Marni?. Tiga kali .. empat kali, lima kali atau sepuluh kali?” .
“Tusuklah aku seratus kali atau seribu kali!,” Marni justru menantang tanpa rasa takut, tanpa gentar. Jawaban itu membuat iblis di dada lelaki itu semakin marah.
Bukan orang Batak namanya kalau ia tidak sanggup membunuh apabila isterinya sudah berbuat dosa bersama orang lain. Monang segera mengangkat keris itu tinggi-tinggi dan dengan sekuat tenaga ia mengayunkan keris itu ke perut isterinya sendiri dan terhunjam tepat di jantung Marni. Tapi aneh, tubuh Marni seperti dilapisi lempengan baja sehingga keris itu tidak mampu melukai tubuh Marni seujung jarum pun. Bahkan ujung keris itu bengkok.
Iblis dalam dada lelaki itu semakin memuncak kemarahannya. Sekali lagi dengan sekuat tenaga Monang menghunjamkan keris itu ke tubuh Marni, tapi sekali lagi tubuh yang ramping dan indah itu seperti dilindungi malaikat. Keris itu semakin bengkok. Iblis dalam dada lelaki berdarah Batak itu semakin panasaran. Untuk kesekian kalinya lelaki itu mengayunkan keris itu ke dada Marni. Pada saat itulah keris di tangannya membalik. Tidak hanya itu, lelaki itu terjungkal karena gagang keris itu tiba-tiba bergerak sendiri dan menojok perut Monang hingga terjungkal.
Lelaki itu berusaha bangkit, tapi sekali lagi keris itu bergerak sendiri dan gagangnya memukul ke arah kening lelaki itu, seperti sambaran petir yang mengenai kepalanya. Sekali lagi lelaki itu terjungkal dan tidak bergerak lagi. Seperti ada kekuatan gaib yang menyelamatkan Marni dari kematian. Seperti ada keajaiban yang tiba-tiba muncul dan melumpuhkan lelaki itu hingga membuatnya tidak bergerak lagi , terkapar di lantai lalu dari hidung, mulut, dan telinganya keluar darah segar.
Pada saat itulah, ketika lelaki berdarah Batak itu terkapar di lantai karena pukulan gaib , Marni bergegas melangkah pergi. Keris yang sudah bengkok dan berlumur darah dengan sendirinya kembali lurus dan kembali masuk ke sarungnya, kembali berada di lemari.
Marni bergegas melangkah pergi sebelum suaminya sadar dari pingsannya. Tapi amat lama lelaki itu terkapar karena dari hidung, mulut dan telinga terlalu banyak mengeluarkan darah. Marni pun melangkah dengan amat hati-hati, tanpa menoleh ke belakang lagi. Ia tidak ingin tersandung dan jatuh. Ia harus segera tiba di rumah sakit untuk menyelamatkan bayi dalam rahimnya. Ia tidak ingin bayi itu menjadi gumpalan darah yang tercecer sepanjang jalan. Ia tidak ingin kandungannya gugur. Sebab bayi itu meski pun kehadirannya karena dosa, tapi Mas Ario akan menerimanya, karena bayi itu adalah titisan darahnya. Tidak ada darah Batak mengalir dalam tubuh janin di rahim Marni. Karena benih-benih dari Monang adalah benih yang hampa. Karena Monang sendiri sudah mengakui, bahwa benih-benih yang disemainya adalah benih bodong atau seperti senapan yang pelurunya tumpul.
***
Tidak seorang pun yang mengantar Marni ke rumah sakit. Meski pun dari rahimnya banyak mengucur darah, tapi ia tidak segera kehabisan darah.. Marni masih mampu berjalan dengan tegar,seperti ada yang membimbingnya untuk berjalan hingga ke rumah sakit. Sepanjang jalan berkali-kali ia menyebut nama Mas Ario. Juga kepada burung-burung yang sedang terbang tinggi Marni titip pesan untuk Mas Ario. Juga kepada awan yang berarak ia juga menyampaikan kabar bahwa ia baru saja selamat dari kematian dan kini sedang berjalan menuju rumah sakit. Apa lagi kepada angin yang berhembus, ia juga berkata-kata agar menyampaikan kabar, bahwa darah sangat banyak mengucur dari rahimnya karena terlalu keras dihempaskan Bang Monang.
“Aku baru saja terlepas dari maut,Mas Rio,” Marni berkata-kata sendiri.
“Siapa yang menyelamatkan dirimu,Marni?” tiba-tiba saja Marni seperti mendengar suara Mas Ario dari kejauhan .
“Tentu saja Tuhan yang melindungi aku!”
“Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Aku sedang berjalan ke rumah sakit karena aku mengalami pendarahan. Aku tidak ingin kandunganku gugur. Aku tidak takut terbunuh di tangan Bang Monang, tapi aku lebih takut kehilangan janinku.”
“Kuatkan dirimu, Marni. Jangan sampai bayi di rahimmu menjadi gumpalan darah dan akhirnya gugur. Jaga bayi itu baik-baik,Marni. Karena bayi itu memang darah orang Jawa, dan kita harus menyelamatkannnya.”
“Akankah aku sangat menderita pada hari nanti,Mas Rio. Haruskah nasibku akan terlunta-lunta esok hari?’” kata-kata Marni amat memelas. Lalu angin yang berhembus seperti menyampaikan pesan dari Mas Ario dari tempat yang amat jauh.
“Tidak,Marni. Kau tidak akan menderita. Kau tidak akan sengsara. Kau tidak akan terlunta-lunta, sebab akan datang seseorang yang akan menyelamatkan dirimu dari kesulitan dan penderitaan. Sesaat lagi penderitaanmu akan segera berakhir. Istirahatlah dengan tenang, sampai seseorang datang menjemputmu.”
“Tidak bolehkah aku tahu siapa yang akan menyelamatkan aku?. Malaikatkah?. Atau sebangsa jin laut?”
“Bukan!. Bukan malaikat!. Juga bukan jin!”
“Lalu siapa?”
“Aku.Marni!. Aku sendiri yang akan menjemputmu!”
“Kalau Mas Rio yang menjemputku , aku menghindar. Aku harus pergi jauh, sebab aku tidak ingin merebut suami orang. Bukankah Mas Rio masih milik Mbak Ningrum?. Sesama perempuan tidak boleh saling menyakiti. Jangankan menyakiti, mencubit saja tidak boleh. . Sesama perempuan tidak boleh saling mengkhianati. Dimana-mana perasaan perempuan selalu sama, bila suami direbut orang lain hatinya akan ikut hancur berkeping-keping.”
“Alangkah indahnya kata-katamu,Marni. Meski pun dalam penderitaan, kau masih mampu berkata-kata begitu indah dan enak didengar. Hatiku tergugah untuk mendengarnya.”
“Tidak usah jemput aku,Mas Rio. Lebih baik aku pergi jauh dan menjadi sebatang kara dan hanya bersama anakku selagi Mas Rio masih menjadi milik Mbak Ningrum. Kasihan, ia akan sangat menderita nanti. Hatinya akan tertusuk duri tajam.”
.”Aku akan menjemputmu sesaat lagi, Marni.”
“Tidak usah!” sahut Marni. “Aku akan pergi jauh, hingga ke ujung langit!”
“Aku akan menjemputmu dimana pun kau berada. Aku akan mencarimu meski pun hingga ke ujung dunia dan harus menyeberangi lautan atau menyeberangi lembah dan hutan belantara.”
“Mas Rio tidak akan menemukan aku!”
“Aku akan bertanya kepada angin lalu atau bertanya kepada burung terbang. Semua akan memberi tahu keberadaanmu,karena aku datang dengan niat mulia dan suci.”
“Bukan niat suci namanya kalau Mas Rio harus menghancurkan hati Mbak Ningrum. Bukan niat yang mulia kalau Mbak Ningrum sengsara dalam hidupnya.”
“Dengar baik-baik,Marni. Ningrum sudah berada di tempat yang sangat jauh sekarang.”
“Sangat jauh?. Dimana?. Kenapa Mas Rio membiarkan ia pergi jauh,?” Marni heran mendengar kata-kata itu.
“Karena Tuhan memanggilnya. Ningrum sudah beristirahat untuk selamanya karena leukemia yang dideritanya selama bertahun-tahun. Aku baru saja pulang dari pemakaman di Imogiri dan aku sendiri yang menurunkan jasadnya ke liang lahat. Ia sudah mendapatkan tempat yang tenteram meski pun aku harus menangis karena kepergiannya.”
Tanpa sadar amat lama Marni merenung. Amat lama ia berdiri ,padahal ia sedang berada di sebuah simpang empat yang ramai. Marni tidak sadar bahwa darah sudah amat banyak mengucur dari rahimnya karena terhempas amat keras. Seorang ibu berjilbab yang mengenderai mobil amat kasihan melihat ada perempuan yang sedang mengalami pendarahan di badan jalan. Perempuan berbusana muslimah itu merasa amat iba dan mengajaknya naik ke mobilnya lalu mengantarnya ke sebuah rumah sakit. Untunglah ada seseorang yang bermurah hati mengantarnya ke rumah sakit, sebab darah sudah terlalu banyak mengucur dari rahimnya.. Dokter dan perawat segera memberikan pertolongan. Terlambat beberapa menit saja tiba di rumah sakit, Marni akan kehabisan darah yang membahayakan bagi janinnya, juga nyawanya sendiri.
***
M
asih ada seseorang yang mengulurkan tangan memberikan bantuan perempuan malang itu ke rumah sakit dan untuk segera mendapatkan perawatan. Akan halnya lelaki berdarah Batak, suami Marni, tetap saja terkapar di lantai dan bersimbah darah yang mengucur dari mulut, hidung dan telinganya. Tidak seorang pun yang mendekat, tidak seorang pun yang memberi pertolongan. Bahkan lalat pun menjauh. Semut-semut kecil juga menyingkir, bahkan kecoa juga enggan mendekati tubuh lelaki itu. Cecak yang merayap di dinding hanya jadi penonton. Apa lagi malaikat tidak satu pun yang mau turun untuk menghampiri seorang lelaki yang sudah berlaku kejam terhadap isterinya sendiri.
Yang menghampirinya ketika lelaki bertubuh hitam legam itu pingsan hanya para begu ,di antaranya adalah begu sumangot ni ompu atau sejenis mahluk halus jelmaan nenek moyang. Dalam keadaan terkapar dan tidak sadarkan diri itulah lelaki Batak itu mendengar musik khas Batak seperti gondang ditabu orang dan begu sumangot ni ompu itu menari-nari sembari membawa palu godam. Perasan Monang akan bangkit, tapi begu itu memukul kepalanya, hingga lelaki itu tersungkur lagi. Ia berusaha bangkit lagi tapi sekali lagi sang begu yang amat ditakuti orang itu berhenti menari dan marah kepadanya.
Berkali-kali palu godam itu diayunkan tepat di kepala lelaki itu sehingga ia akhirnya menangis tersedu-sedu dan mohon maaf.
“Kau harus mati,Monang. Kau harus mati di tanganku!,” ujar begu itu lagi dan sekali lagi mengayunkan palu godamnya, Monang kesakitan . Lelaki itu merintih dan mohon maaf.
“Kau boleh hidup , kau akan kumaafkan, tapi kau juga harus memaafkan isterimu.” ujar begu sumangot ni ompu itu .
“Tapi isteriku sudah berbuat dosa, dia harus dibunuh, dia harus mati dan aku harus meneguk darahnya sampai habis.”
“Memang isterimu sudah berdosa, tapi dosamu lebih besar lagi kepadanya.”
“Tidak!. Tidak. Aku merasa tidak pernah berbuat dosa terhadapnya,” Monang membantah.
“Dosamu kepada isterimu sangat banyak dan tidak terhitung banyaknya.”
“Dosa apa?,” tandanya Monang adalah seorang lelaki yang keras kepala, ia tetap saja membantah tudingan sang begu tentang dosanya kepada Marni.
“Sebenarnya Marni tidak cinta kepadamu,Monang.. Tidak ada secuil pun cinta Marni kepadamu, tapi kau terus menerus pergi berdukun agar Marni jatuh hati kepadamu. Kau ingat itu?”
Monang mengingat-ingat hingga akhirnya sang begu mengancam lagi:
“Akui dosa itu,Monang!. Kalau tidak kau akui, palu godam ini akan singgah di kepalamu.”
“Ya, aku pernah berdukun.”
“Berapa kali?”
“Tujuh kali.’
“Cinta Marni kepadamu karena tepaksa, karena pengaruh guna-guna yang dibuat dukun-dukun itu. Atas permintaanmu.”
Monang mengakui terus terang.
“Siapa yang menanam jeruk perut, bunga tujuh macam, air tujuh sumur dan nasi basi?” tanya sang begu yang melototkan mata karena marah.
“Aku!,” sahut Monang sejujurnya.
“Untuk apa kau lakukan itu?”
“.Supaya laki-laki lain benci kepada Marni. Supaya orang melihat Marni bosan dan dimata laki-laki dia tampak wajahnya buruk.”
“Sungguh kejam kau .Monang. Sungguh besar dosamu, lebih besar dari dosa isterimu.”
Monang menundukkan wajah. Ia menyesal.
“Aku mohon ampun, oppung.” Monang menyembah sang begu.
“Masih ada lagi dosamu kepada isterimu.”
“Dosa apa lagi?”
“Siapa yang menulis surat kaleng mengatas namakan Ummi Hajjah Cut Syarifah ?. Kau menyebarkan fitnah seakan Marni pernah menggugurkan kandungan , padahal Marni masih gadis suci.. Marni sempat menjadi korban fitnah karena perbuatanmu. Marni sempat dianggap orang pernah menggugurkan kandungan karena otakmu yang kotor.”
Monang menunduk mendengar ucapan itu.
“Aku yang mengirim surat kaleng itu,”
“Untuk apa kau mengirim surat kaleng itu?”
“Supaya Marni tidak kawin dengan lelaki kelahiran Tanah Rencong yang bekerja sebagai guru itu.”
“Sungguh kejam kau , Monang. Seharusnya Marni sudah kawin dan berbahagia bersuamikan seorang guru, tapi kau menyebarkan fitnah. Marni sangat menderita karena perbuatanmu,Monang!.”
“Aku melakukannya karena aku sangat cinta kepadanya,” ujar Monang lagi tidak berani menatap wajah begu sumangot ni ompu itu. Tubuhnya gemetar karena amat ketakutan.
“Sebenarnya kau tidak pantas kawin dengan Marni, karena kau hanya seorang tukang tambal ban, sementara Marni dari keluarga terhormat.”
Monang semakin menekur. Ia ingat Marni yang sudah angkat kaki dari rumah itu. Ia tidak tahu di mana Marni sekarang berada.. Terbayang di pelupuk matanya wajah Marni yang cantik. Terbayang senyumnya yang manis dan tutur sapanya lembut. Ia menyadari semua gadis-gadis suku Jawa selalu memiliki hati selembut sutera. Amat sulit untuk menemukan seorang perempuan seperti Marni.
“Jangan kau anggap sepele jasa-jasa baik isterimu. Kau lupa ketika terjadi bentrokan antara pedagang kaki lima dengan aparat ketertiban kota?. Kau memukul seorang aparat hingga hampir mati lalu kau masuk penjara. Ingat yang berusaha mencari pembela kenamaan adalah isterimu. Kalau tidak dibantu seorang pengacara terkenal itu kau akan dihukum sepuluh tahun. Kau akan mati di penjara. “
“Aku ingat hal itu,” sahut Monang mengakui.
“Kau masih ingin hidup,Monang?, “ tanya sang begu yang masih melototkan mata.
.”Ya, aku masih ingin hidup, ampunilah aku,” Monang menghiba dan mencium kaki sang begu.
. “Kalau kau masih ingin hidup kau harus mencari isterimu. Kau harus temukan Marni dan mencium kakinya lalu katakan , bahwa kau sudah memberinya maaf. Sekarang Marni sedang terbaring di rumah sakit. Temuilah Marni dan bawalah pulang.”
“Aku akan melakukannya.”
“Kau bersumpah, tidak akan melakukan kekejaman lagi terhadap perempuan yang hatinya selembut sutera itu?”
“Aku berjanji. Aku besumpah. Kalau aku melanggar sumpah itu, bunuhlah aku!”
“Ingat kau harus mencari Marni sampai bertemu meski pun ia diujung langit. Kau harus segera menemukannya karena saat ini ia dalam keadaan menderita, ia terlalu banyak mengeluarkan darah karena kau hempaskan dirinya hingga ia terkapar di lantai. Saat ini ia butuh darah dan kau harus mencarikan darah untuk menyelamatkan dirinya, seperti dulu Marni pernah menolongmu ketika kau mengalami kecelakaan.”
“Ya, aku segera mencarinya. Aku akan mendatangi setiap rumah sakit untuk mnyelamatkan nyawanya, seperti ia pernah menyelamatkan aku.”
“Ingat,Monang. Kalau kau tidak berhasil menolongnya, kalau kau tidak berhasil menemukan Marni, kau juga harus mati. Aku akan datang lagi untuk menghabisi nyawamu Ingatlah itu!,” itulah kata-kata ancaman yang diucapkan begu sumangot ni ompu untuk terakhir kalinya.
Tiba-tiba asap tebal mengepul dan begu sumangot ni ompu itu kemudian menghilang bersama asap tebal itu dan Monang pun sadar dari pingsannya.
***
K
ata-kata yang diucapkan begu smangot ni ompu itu amat lekat di rongga hati Monang. Sekarang justru Monang yang merasa sangat berdosa kepada iserinya. Ia harus mencarinya hingga bertemu. Ia harus mencium kakinya dan memohon maaf, lalu mengajak Marni pulang. Monang amat takut terhadap ancaman begu yang baru saja menemuinya, bahwa ia akan mati kalau tidak berhasil mencium ujung kaki Marni.
Monang berlari-lari. Sepanjang jalan ia berteriak-teriak bagaikan orang gila.
“Aku akan datang,Marni. Aku sedang mencarimu kemana-mana. Kuatkan semangatmu. Kau harus hidup,Marni. Kau harus hidup. Bersamaku!”
Suara lelaki itu menggelegar dan ia terus berlari, hingga nafasnya terengah-engah. Pada saat lewat sebuah taksi, Monang memanggilnya. Tapi taksi itu tidak mau berhenti karena sopirnya memandang Monang yang berteriak-teriak bagaikan orang gila.
“Aku ingin mohon maaf kepadamu,Marni. Aku pernah menganggapmu berdosa, tapi aku sadar sekarang dosaku lebih besar lagi. Mafkan aku,Marni. Ampuni aku,” katanya lagi seorang diri. Ia terus melangkah dan terus melangkah mendatangi rumah sakit demi rumah sakit.
Lelaki itu amat kecewa ketika tiba di rumah sakit Permata Bunda dan bertanya tentang pasien benama Marni . Perawat yang bertugas di rumah sakit itu menjawab bahwa, tidak seorang pun pasien bernama Marni. Lelaki itu pergi dan berlari lagi. Ia bertekad untuk segera menemukan Marni untuk mencari darah, untuk mencium ujung kakinya dan memohon maaf. Ia tidak ingin Marni menemui ajalnya sebelum Monang mencium ujung kakinya.
Nafasnya terengah-engah ketika Monang tiba di rumah sakit Martha Friska, tapi suster yang bertugas juga mengatakan tidak ada pasien bernama Marni. Monang menghela nafas panjang dan kecewa. Ia amat lelah. Ia buru-buru meneguk air mineral yang disediakan gratis di rumah sakit itu. Andainya tidak ada minuman gratis itu, mungkin Monang sudah mati kehausan karena kehabisan tenaga berlari-lari mendatangi rumah sakit demi rumah sakit.
Ia hampir pingsan ketika tiba di rumah sakit Malahayati karena kelelahan. Ia pun kecewa karena di rumah sakit itu tidak ada pasien yang dirawat bernama Marni.
Untunglah pada saat ia hampir mati kelelahan, muncul seorang lelaki suku Jawa yang biasa menjadi langganannya kalau ban mobilnya bocor. Dimana-mana orang Jawa selalu bermurah hati menolong orang lain , tidak perduli terhadap suku Batak, Karo, Melayu, ,Minang atau Aceh. Bahkan terhadap orang Benggali syeikh, ia suka memberikan pertolongan kalau orang itu dalam kesulitan.
“Hai,Monang. Mengapa kau ada di sini?,” tanya lelaki suku Jawa langganan Monang ketika melihat Monang kelelahan dan duduk di pinggir jalan.
“Aku mencari isteriku,” sahut Monang sejujurnya.
“Kemana isterimu?”
Monang tidak segera mampu berkata-kata. Nafasnya masih terengah-engah. Lelaki suku Jawa itu amat kasihan lalu mengambil sebotol minuman dari mobilnya dan diberikan kepada Monang.
“Apa yang terjadi dengan istrerimu?,” tanya lelaki berdarah Jawa yang memiliki mobil kijang mulus. Lelaki itu adalah pedagang bakso yang sukses. Warungnya ada empat buah dan karyawannya lebih dari 20 orang.
“Aku sudah berdosa kepada isteriku dan aku ingin mohon maaf. Aku ingin mencium kakinya,” Monang berterus terang.
“Dosa apa yang kau lakukan kepada iserimu?”
“Aku sudah menyakiti hatinya. Aku telah menyebabkan ia mengalami pendarahan karena ia sedang hamil muda.”
Lelaki itu amat kasihan.
“Kalau begitu ayo kuantar mencarinya. Ke ujung langit pun aku akan mengantarmu kalau yang kau cari adalah isterimu.”
Tubuh Monang tampak lemah. Ia dipapah naik ke mobil kijang lalu menaju rumah sakit Adam Malik. Ratusan pasien sedang dirawat disana. Monang merasa lega ketika seorang perawat memberi petunjuk , bahwa di lantai empat ada pasien bernama Marni.
Tanpa menghiraukan lelaki suku Jawa yang mengantarnya, Monang segera berlari menaiki lantai 4 rumah sakit itu Matanya berkunang-kunang karena kelelahan dan karena batinnya sedang terhimpit oleh perasaan berdosa. Di sebuah ruangan Monang melihat seorang perempuan terbaring dan sedang ditangisi oleh keluarganya karena keadaannya yang kritis. Pasien itu memang bernama Marni dan bajunya juga mirip dengan baju yang dikenakan Marni, isteri Monang.
Monang langsung menyerbu pasien yang terbaring dalam keadaan kritis itu. Ia segera mencium ujung kaki pasien itu dan tangisnya berderai:
“Ampuni aku,Marni. Maafkan aku!,” ujar Monang dan berkali-kali mencium ujung kaki pasien itu. “Jangan pergi jauh,Marni. Jangan tinggalkan aku. Aku datang untuk mengajakmu pulang karena aku sangat mencintaimu. Ayo kita pulang bersamaku.”
“Anda salah alamat!,” ujar salah seorang kerabat yang menunggu pasien perempuan yang sedang terbaring dalam keadaan kritis. Di dunia ini terdapat ribuan orang memiliki nama yang sama. Seperti nama Marni
“Tidak!. Aku tidak salah alamat.. Marni adalah isteriku.. Aku sudah mencarinya kemana-mana. Aku datang untuk menyelamatkan jiwanya. Aku datang untuk membawanya pulang.”
Kerabat yang menunggu pasien itu sangat kesal karena Monang. keras kepala dengan mengaku suami pasien itu. Apa pun yang dikatakan kerabat itu Monang tetap bersikukuh, bahwa Marni adalah isterinya. Kerabat pasien yang terbaring itu terpaksa melaporkan kehadiran Monang yang sikapnya seperti orang mabuk kepada petugas keamanan. Dua orang satpam segera datang dan mengamankan Monang. Sikap keras kepala yang dimiliki Monang menyebabkan ia meronta-rointa ketika diamankan satpam. Setelah dilakukan interogasi, barulah Monang akhirnya memahami bahwa pasien yang terbaring itu memang bernama Marni, beursia 63 tahun dan menderita kanker serviks, bukan Marni isteri Monang..
Monang amat menyesal dan pergi. Ia berjalan lagi. Ia putus asa karena tidak berhasil menemukan isterinya. Kepalanya amat pening, tubuhnya bemandi keringat. Pada saat itulah muncul kembali di depannya begu sumangot ni ompu yang selalu menggodanya.
“Dosamu terlalu besar kepada Marni sementara kau tidak berhasil menemukannya, tidak berhasil mencium kakinya. Kau harus mati,Monang. Kau harus mati. Kau harus menebus dosamu terhadap Marni. Kau harus mati di tanganku.”
Monang berlari ketakutan untuk menghindar. Ia tidak ingin mati terbunuh di tangan begu itu. Ia merasa lebih nikmat lagi mati bunuh diri. Lelaki itu pulang ke rumah . Nafasnya terengah–engah ketika tiba di rumah. Tapi ia masih mampu meraih sebilah keris milik Marni yang tersimpan dengan baik di lemari.
Lelaki suku Batak itu menghunus keris milik Marni. Sebelum ia menusuk perutnya sendiri, ia menghadap ke langit. Ia berkata kepada awan yang berarak-arak:.
“Maafkan aku,Marni. Aku tidak sempat menolongmu. Aku tidak sempat mencium ujung kakimu. Aku akan mati bunuh diri. Aku akan mati dengan tenteram karena keris milikmu yang akan mengakhiri hidupku. Aku menganggap inilah cara yang terbaik untuk menebus dosaku terhadapmu. Ampuni aku Marni. Mafkan aku!,” ujar lelaki itu. “Kita akan bertemu di alam kubur,Marni. Kita akan bersama lagi.”
Keris iu terasa amat ringan ketika lelaki itu menusuk perutnya sendiri hingga tiga kali. Tidak ada yang menolongnya, tidak seorang pun yang perduli ketika ia terkapar di lantai bersimbah darah. Lelaki keturunan Batak itu sudah pergi untuk selamanya setelah beberapa saat menggelepar-gelepar kesakitan. . Ia menebus kesalahannya terhadap Marni dengan cara mengakhiri hidupnya dengan keris milik isterinya.
Bila lelaki itu sudah menghembuskan nafas terakhir, keris itu bergerak sendiri. Keris itu membumbung ke langit dan terbang amat jauh, menyeberangi lautan.. Keris itu kembali ke tempat asalnya di sebuah tempat tersembunyi di bekas-bekas Kerajaan Mangkunegara yang tentaranya pernah bertempur melawan serdadu VOC pada tahun l757 dan keris itu mampu menewaskan puluhan serdadu Belanda.
***
Darah yang amat banyak mengucur dari rahim Marni menyebabkan Marni hampir kehabisan tenaga. Syukurlah tim dokter yang merawatnya di rumah sakit dapat menghentikan pendarahan itu. Marni masih amat lemah ketika Mas Ario menjemputnya untuk diterbangkan ke Jakarta.
“Aku tidak ingin kau kehabisan tenaga karena pendarahan,Marni.” ujar Mas Ario setelah memberinya ciuman di rumah sakit itu. “Kau harus dirawat di rumah sakit besar yang lengkap sarana peralatan dan dokter-dokternya juga sangat berpengalaman.”
“Tapi pendarahan itu sudah berhenti. Dokter di sini sudah merawatku dengan baik. Tahukah Mas Rio, bahwa sebagian besar dokter di sini adalah orang Jawa?. Mereka semuanya baik dan ramah.”
Mas Ario yang baru saja turun dari pesawat dan langsung menemui Marni di rumah sakit itu tersenyum.. Lama lelaki itu menatap wajah Marni yang masih pucat. Tapi dalam keadaan pucat pun Marni tampak cantik dan keibuan nampak jelas di wajahnya. Juga kelembutannya.
“Pendarahan memang sudah dapat diatasi, tapi kau masih lemah. Kau butuh perolongan lebih jauh agar bayi dalam rahimmu benar-benar sehat. Aku ingin anak itu lekas lahir, karena aku adalah ayahnya.”
Marni tersenyum.
“Di sini keselamatanmu terancam,Marni. Siapa tahu hari ini atau besok, Monang datang lagi membawa parang atau kapak. Kepalamu akan dipenggal olehnya. Kau akan terbunuh di tangannya. Aku tidak ingin kau terbunuh di tangannya. Bahkan disentuh dengan ujung jari pun aku tidak rela”
“Aku memang menginginkan perlidunganmu,Mas Rio.”..
“Karena itu kita harus meninggalkan rumah sakit ini dengan segera.. Perawatanmu akan dilanjutkan di Jakara.”
“Terima kasih,Mas Rio.”
Marni meningalkan rumah sakit dengan bantuan kursi roda karena kesehatannya belum pulih benar. Ia masih amat lemah. Bahkan ketika menaiki tangga pesawat Garuda, Marni juga butuh bantuan kursi roda, bahkan slang infus masih melekat di pergelangan tangan kanannya. Mas Ario senantiasa menjaga dirinya.
Ketika pesawat mulai bergerak meninggalkan landasan, Ario yang duduk di sisinya memeluknya agar tubuh Marni tidak ikut terguncang. Ia tidak ingin penerbangan menuju Pulau Jawa itu akan menyebabkan bayi yang dikandung Marni akan gugur.
“Kita akan segera menikah,” ujar Mas Ario ketika pesawat itu sudah terbang tinggi namun sesekali masih terasa goncangan karena udara yang kurang baik.
“Tunggu dulu,Mas Rio!,” sahut Marni dan menatap wajah lelaki itu.
“Tunggu apalagi?. Aku ingin mengangkatmu dari semua penderitaan. Aku kasihan melihat keadaanmu dan perjalanan hidupmu yang penuh liku-liku. ”
“Ada beberapa permintaanku,” terdengar suara Marni lirih..
“Apa pun permintaanmu aku akan mengabulkannya. Meski pun kau meminta bulan yang sedang bersinar malam nanti aku akan terbang kesana dan menggendongnya pulang untuk kuberikan kepadamu.”
Marni tersenyum mendengar ucapan itu.
“Yang kuminta kepada Mas Rio agar aku diantar ke Imogiri.”
“Untuk apa ke Imogiri?”
“Aku ingin berziarah di makam Mbak Ningrum.”
“Ia sudah beristirahat dengan tenang disana.”
“Mbak Ningrum adalah seorang perempuan, sama denganku. Perasaan perempuan selalu sama di mana-mana. Penderitaannya adalah penderitaan sesama kaum perempuan. Semua perempuan akan bersedih kalau mendengar Mbak Ningrum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Karena itulah aku ingin berziarah di makamnya untuk menaburkan kembang-kembang segar agar makamnya selalu wangi.”
“Tentu saja aku akan mengantarmu kesana.”
“Aku juga ingin menyiramkan air putih di atas makamnya, biar Mbak Ningrum senantiasa dalam kesejukan dan kedamaian”
“Hatimu teramat mulia,Marni. Jiwamu seputih kapas. Dan itulah yang amat kukagumi pada dirimu sehingga aku tidak pernah dapat melupakanmu.”
Marni tesenyum lagi.
“Setelah ke Imogiri antarkan aku ke kaki gunung Slamet,” pinta Marni lagi.
“Untuk apa ke kaki Gunung Slamet?,” lelaki itu menatapnya amat dalam.
“Mas lupa , bahwa kakekku adalah kuli kontrak yang dibawa menyeberangi laut dengan kapal oleh Belanda seperti membawa sapi?. Aku ingin menziarahi kampung halaman kakek dan leluhurku. Aku juga ingin berkunjung ke Prembun di Kutoarjo “
“Ke ujung langit pun aku akan mengantarmu,Marni. Karena aku sangat menyayangimu.”
Marni tersenyum manis. Dalam perjalanan itu , di sisi Mas Ario, ia merasa seperti mendapat kekuatan baru. Ia tidak lagi merasa lemah. Darah juga tidak menetes lagi dari rahimnya. Bayi yang dikandungnya merasa amat kuat berpegang pada dinding rahimnya.
“Aku juga meminta sesuatu kepadamu,Marni?”
“Sesuatu apa?. Apa yang dapat kuberikan kepada Mas Rio. Aku hanya seorang perempuan yang lemah.”
“Aku selalu ingat pesan almarhumah Ningrum pada saat ia akan mehembuskan nafas yang terakhir.”
“Apa pesannya?. Mbak Ningrum meminta agar Mas Rio tidak menikah lagi?”
“Bukan!. Bukan seperti itu. “
“Lalu apa pesannya terakhir.”
“Ningrum meninggalkan amanah yang harus kulaksanakan. Ia meminta agar aku melaksanakan bakdal haji untuknya.”
“Maksudnya bakdal haji di Tanah Suci?”
“Ya!”
“Alangkah suci dan mulia pemintaannya.. Mas Rio harus segera memenuhi pemintaan itu. Amanah itu harus dilaksanakan.” desak Marni dan menatap wajah lelaki di sisinya
“Aku memang akan melaksanakan amanah itu. Selama ini aku sudah memikirkannya, bahwa kita pun pernah melakukan dosa. Kita harus menebus dosa itu,Marni. Dosa itu sangat berat dan sukar dimaafkan. Dosa itu selalu mengusik ketenteraman hidupku. Hidupku tidak akan pernah tenang selama dosa itu belum terhapus dari dalam diri kita.”
Marni termenung sesaat, ia ingat pernah berbuat dosa bersama Mas Ario hingga menyebabkan Marni hamil.
“Dosa itu hanya dapat ditebus di Padang Arafah. Sebab semua dosa akan diampuni Tuhan di padang pasir yang amat luas itu. Matahari amat panas di Padang Arafah dan biarlah tubuh kita berdua dibakar matahari disana, agar dosa-dosa kita semuanya ikut terbakar dan kita mendapat pengampunan dari Allah. . Kita akan mendapat maghfirah setelah kita bermunajah kepada Tuhan di padang pasir yang amat panas itu. “
“Rasanya aku juga ingin mendapatkan keampunan itu. Aku juga ingin bermunajah kepada Tuhan di sana dan memohon keampunan atas semua dosaku. Juga dosa kakekku.”
“Ya, kita akan kesana tahun depan, setelah bayi kita lahir.”
“Alangkah indahnya hidup ini kalau bersih dari dosa. Alangkah manisnya hidup ini kalau seujung rambut di belah tujuh pun dosa tidak ada yang melekat dalam diri kita”
“Itulah yang kuinginkan bersamamu. Jangan ada dosa meski pun sekecil serpihan debu.” .
Marni membiarkan jari tangannya digenggam amat erat oleh Mas Ario. Sejak perkawinannya dengan Ningrum, lelaki itu memang selalu menghadiri pengajian, sebab Ningrum juga seorang isteri yang taat. Ningrum tidak pernah lalai menyisihkan sebagian hartanya untuk membayar zakat. Tidak hanya membayar zakat setiap tahun, tapi ia juga sudah membangun sebuah masjid di sebuah desa di kawasan Wonogiri, di lereng Gunung Semiling yang indah dan hijau. Keinginannya untuk menginjakkan kakinya di Tanah Suci sudah amat lama, tapi sebelum niat itu menjadi kenyataan, penyakit leukemia telah merenggut nyawanya. Perempuan berhati mulia itu hanya titip amanah kepada suaminya untuk melakukan bakdal haji untuk dirinya.
Pesawat itu terus menjelajah langit, menyeberangi laut, melewati gunung-gunung dan lembah. Marni membiarkan jari tangannya digenggam dan diremas lelaki di sisinya. Dari jendela pesawat Marni memandang ke bawah . Tampak Laut Jawa yang biru dan amat luas. Amat indah. Perjalanan hidup Marni memang penuh liku-liku, tapi akan berakhir dengan kebahagiaan. Sesungguhnya hidup ini memang teramat indah dan manis.

1 comment:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete