(Tondi Yang Pergi Jauh)
Sastra Novela – ISBN 979 – 98285 – 1 – 1
(Novel ini sudah berkali-kali ditelaah, salah satumya oleh Profesor DR Ikhwanudin Nasution Msi, Guru Besar Fakultas Sastra USU )
H
|
ari masih pagi, tapi terik matahari disekitar gurun pasir itu amat panas, seperti membakar ubun-ubun. Angin gurun pun berhembus giris membawa debu dan serpihan pasir halus ketika Bu Azizah bersama suaminya dan jamaah lainnya turun dari bus di kaki Jabal Rahmah. Angin lebih sering berhembus, tapi tidak pernah membasahi Padang Arafah yang amat luas itu.
“Inilah Jabal Rahmah,” gumam Bu Zizah ketika kakinya terjejak di lereng bukit itu. Sesaat dia memandang kea rah puncak Jabal Rahmah dan diatasnya terlihat sebuah tugu menjulang ke langit. Di puncak bukit itu terlihat ratusan orang-orang yang lebih awal datang menziarahi bukit itu. Semua berdoa dengan khusu’. Semua pasti mendoakan putera-puteri masing-masing mendapatkan jodoh orang yang baik. Sebab di Jabal Rahmah ini merupakan sebuah tempat yang paling makbul berdoa, paling di dengar Allah.
“Sungguh amat berbeda Jabal Rahmah dengan gunung-gunung yang ada di negeri kita yang ditumbuhi pohon-pohon subur,” gumam Bu Azizah lagi.
“Dan di lerengnya mengalir sungai-sungai yang airnya bening,” sahut suami Bu Azizah.
“Tidak mungkin ada sungai-sungai yang airnya jernih di Jabal Rahmah karena hujan hampir tidak pernah turun. Karena Jabal Rahmah adalah bukit-bukit batu tanpa pepohonan tapi penuh pesona.”
“Tidak hanya pesonanya yang dimiliki Jabal Rahmah, tapi juga nilai sejarahnya.”
“Disini dulu Nabi Adam bertemu kembali dengan isterinya, Siti Hawa, setelah lebih dari seratus tahun berpisah.” Terdengar lagi suara suami Bu Azizah ketika mereka masih memandang puncak Jabal Rahmah.
“Sungguh amat mengharukan pertemuan kembali sepasang suami isteri setelah lebih seratus tahun berpisah dan saling mencari setelah mereka dikecoh oleh bujuk rayu syeitan.” Sahut Bu Zizah dan menghela nafas panjang. Seratus tahun, betapa amat lama. Betapa amat panjang perjalanan selama itu untuk saling mencari, untuk dapat memadukan kembali kasih sayang yang hilang oleh perpisahan.
Andainya Nabi Adam memiliki sifat istiqomah untuk tidak terpengaruh oleh bujuk rayu syeitan, pasti pasangan suami isteri itu tidak akan berpisah demikian lama, pasti mereka akan tetap berada di sorga dengan segala keindahan dan kenikmatannya, pasti mereka akan tetap menikmati sejuknya air sungai-sungai susu disana dan bidadari-bidadari cantik selalu ada disekitar mereka.
“Syukur pada-Mu, Tuhan. Aku dapat menjejakkan kaki disini, di tempat ini dulu Siti Hawa juga menjejakkan kakinya!,” gumam Bu Azizah sebelum melangkahkan kakinya di lereng bukit bebatuan itu.
Bu Azizah tertegun memandang puncak bukit batu itu. Kenangannya merambat jauh berabad-abad silam, ketika perpisahan Nabi Adam dan Siti Hawa terjadi. Perpisahan antara suami dan isteri pastilah merupakan tragedi yang amat menyedihkan, apalagi lebih dari seratus tahun. Masing-masing dari mereka merasakan kerinduan yang amat mendalam. Merindukan dekapan, merindukan belaian, merindukan kata-kata mesra. Juga merindukan kebersamaan yang amat indah dan manis sebagai suami isteri.
Bu Azizah sendiri tidak pernah berpisah lama dengan suaminya. Sebab suaminya selalu ada disisinya dan tiap makan siang atau malam pasti Bu Azizah menemaninya. Sebab suami Bu Azizah adalah seorang pemilik usaha alat-alat kantor, mulai dari mesin ketik, mesing hitung, addressograph, lemari arsif, cash register, mesin stensil dan banyak lagi. Namun kemajuan teknologi dan munsulnya perangkat canggih yang namanya komputer menyebabkan usaha suami Bu Azizah mendekati liang kubur.
Betapa Bu Azizah amat bersyukur, pada saat usaha suaminya diterpa badai teknologi dan kini keadaan perusahaan itu sering sesak nafas, dia masih mempunyai investasi lain berupa sebidang tanah dan saat ini harga tanah amat mahal, lumayan untuk pergi menunaikan ibadah haji bersama suami.
Kini, setelah Sembilan hari di Madinah melaksanakan sholat arbain, setelah melaksanakan umroh di Makkah, Bu Azizah berkesempatan melakukan ziarah. Sebagai seorang muslimah yang selalu menghadiri majlis ta’lim di Masjid Ubudiyah, Bu Azizah tahu percis bahwa hukum melakukan ziarah ke tempat-tempat bersejarah adalah mubah, namun bila niatnya baik untuk menambah keimanan dan keyakinan terhadap keagungan ajaran Islam akan menjadi sunat.
Bersama suaminya Bu Azizah sudah mengunjungi sebuah gunung yang amat penting dalam sejarah Islam, yakni Jabal Nur. Nafasnya terengah-engah ketika Bu Azizah dipapah suaminya mendaki gunung itu. Setelah tubuhnya bermandi keringat, setelah lebih dari satu jam mendaki batu-batu terjal dan gersang, Bu Azizah amat bersyukur dapat menjejakkan kaki di sebuah gua yang amat bersejarah, yakni Gua Hira dan disinilah Rasul dulu menerimah wahyu yang pertama. Air mata Bu Azizah berderai karena terkenang, di gua yang sempit, sepi dan gersang itulah dulu Rasulullah selalu menyendiri hingga datangnya wahyu.
“Ayo kita ke atas!,” ajak lelaki disisinya ketika sesaat Bu Azizah termenung memandang puncak Jabal Rahmah. “ Kita berdoa disana!”
“Justru itu amat ingin saya lakukan!,” sahut Bu Azizah dan menghindari tumpukan tahi unta. Di lereng Jabal Rahmah memang selalu ada beberapa ekor unta yang dihiasi warna-warni dan belasan orang sedang menunggang hewan gurun pasir itu sambil berfoto untuk kenang-kenangan.
“Kita harus berdoa untuk Ainun!,” terdengar lagi suara Bu Azizah menyebut nama puteri sulungnya yang pintar membuat halwa betik atau asam glugur dan kalau memasak anyang pakis enaknya bukan main. Apalagi memasak pajri nenas.
Sebagai seorang muslimah yang berasal dari rumpun Melayu kelahiran Serdang Bedagai, Bu Azizah memberi nama anak-anaknya bernuansa Islam, karena Melayu sangat identik dengan Islam. Ainun bermakna sepasang mata yang jeli memandang segala kebaikan duniawi dan juga akhirat. Lalu anak kedua diberi nama Fadilah yang bermakna keutamaan. Dan suami Bu Azizah bernama Faris mengandung makna penunggang kuda yang gagah perkasa.
“Doa agar orang tua Rizal segera datang meminang? Begitukah ?” Suami Bu Azizah menatapnya dalam-dalam.
“Tidak! Justru saya berharap Ainun tidak lagi memberi harapan kepada laki-laki itu.”
“Kenapa? Bukankah Rizal bakal menjadi seorang insinyur lalu mempunyai jabatan penting dan hidup mapan?”
“Tidak ! sebaiknya Ainun tidak pacaran sesama mahasiswa. Status mahasiswa sama saja dengan pengangguran. Lulus sebagai sarjana belum menjadi jaminan untuk hidup mapan. Kalau drops out lebih mengerikan lagi.”
Banyak yang amat dikhawatirkan oleh Bu Azizah kalau dia ingat sesekali Ainun pergi bersama Rizal yang kuliah di Fakultas Teknik. Ayahnya hanya seorang pekerja di sebuah bengkel mobil dan kabarnya sering sakit-sakitan. Siapa yang akan membiayai lelaki itu kuliah bila ayahnya meninggal?
Lagipula lelaki muda yang selalu mengajak Ainun itu tampak belajar seperti tidak serius. Rizal lebih gemar mendaki gunung atau berhari-hari ikut rombongan arung jeram di kawasan Bahorok yang cukup angker itu. Bagaimana kalau banjir bandang tiba-tiba muncul dan lelaki itu tenggelam? Bagaimana kalau ada badai dahsyat pada saat Rizal sedang mendaki gunung Sibayak dan sebatang pohon tumbang menimpa dirinya? Rizal akan mati di tengah hutan belantara di lereng gunung dan apa jadinya kalau Ainun sudah sangat akrab dengan lelaki itu?
Banyak dan amat banyak yang dicemaskan Bu Azizah terhadap hubungan puterinya dengan lelaki itu. Dan itulah sebabnya, ketika Bu Azizah berada di Tanah Suci, di tempat-tempat yang makbul doanya, dia selalu memohon agar hubungan puterinya dengan pendaki gunung itu lebih baik diakhiri.
“Hmmm,” suami Bu Azizah hanya bergumam pendek.
“Saya lebih ingin agar Ainun memberi harapan kepada putera Pak Rasyid. Orangnya ulet, gagah dan sudah punya lapangan usaha yang layak. Abang juga harus berdoa untuk anak kita agar mendapatkan jodoh seorang yang mapan hidupnya, bukan pengangguran.”
“Ya, saya juga akan berdoa untuk anak-anak kita!”
Bu Azizah membiarkan tangannya disentuh suaminya kemudian mereka melangkah mendaki lereng Jabal Rahmah.
Setetes demi setetes air mata berderai di pipi Bu Azizah ketika kakinya terjejak di puncak bukit itu. Jabal Rahmah, pada setiap musim haji pasti didatangi jutaan umat, sebab di puncak bukit itu orang-orang berdoa untuk jodoh anak-anaknya. Dan doa itu memang diaminkan malaikat, didengar Tuhan dan selalu dikabulkan.
Bu Azizah menangis terharu ketika kakinya terjejak di puncak bukit itu. Hanya dengan izin Allah, hanya karena keridhaan Allah Bu Azizah dan suaminya dapat menjejakkan kakinya di tanah suci. Kalau ingat usaha suaminya yang sedang diterpa angin putting beliung akibat kemajuan teknologi, rasanya tidak mungkin dapat mengumpul uang untuk melunasi ONH yang tiap tahun naik terus sementara usaha yang bergerak dibidang mesin-mesin sekarang sudah kehabisan nafas.
Syukurlah mukzizat Allah tiba-tiba turun dari langit. Sebidang tanah yang dibelinya lebih sepuluh tahun lalu dengan harga sangat murah, tiba-tiba dilirik oleh seorang pengusaha property untuk dijadikan perumahan.
Alhamdulillah, berkali-kali Bu Rahmah amat bersyukur ketika sebidang tanah itu akhirnya laku dengan harga tinggi, cukup untuk membayar ONH. Bu Azizah tidak lupa memberi infaq di masjid Ubudiyah untuk mengganti lantai semen dengan keramik dan kini penunai sholat di masjid itu dapat beribadah dengan nyaman dan khusu’.
Di puncak bukit itu sesaat perempuan yang bermukim tidak jauh dari pinggiran Sungai Deli itu memandang keliling. Tampak Padang Arafah terbentang amat luas. Di atas gurun pasir yang tandus itulah tidak lama lagi dua juta umat akan melakukan wuquf sebagai salah satu rukun haji. Setiap jamaah harus hadir di gurun tandus itu meskipun dalam keadaan sakit atau sekarat. Tidak syah haji seseorang kalau dia tidak hadir melakukan wuquf di gurun pasir yang amat panas dan gersang itu. Padahal tidur pun hanya di alasi karpet sederhana di atas pasir.
Dari puncak bukit itu pulah sesaat perempuan berkaca mata putih itu tertegun ketika memandang kea rah timur. Di arah timur itulah Rasul melakukan wuquf bersama pengikut-pengikutnya.
Kini dengan mata basah Bu Azizah menengadahkan tangan dan sepasang bibirnya berkumat-kumat. Bu Azizah mengawali doanya dengan menyebut kebesaran Allah dan salawat untuk baginda Rasul dan air matanyan berderai lagi. Dia tidak mampu meredam keharuan hatinya. Jauh dari rumah, di tempat yang gersang dan angin gurun pun berhembus giris membawa serpihan pasir menyebabkan seseorang mudah menitikkan air mata.
Bu Azizah dan lebih dari dua juta jamaah lainnya yang telah menjejakkan kaki di Tanah Suci tidak hanya merasa terharu, tapi juga amat bahagia dan mendapat ketenangan jiwa. Siapa yang tidak bahagia kalau sholat di Masjid Nabawi mendapatkan ganjaran pahala seribu kali ? Siapa yang tidak bahagia kalau melaksanakan sholat di Masjidil Haram pahalanya lebih banyak lagi hingga 100.000 kali ? Siapa yang tidak merasa hatinya amat tenteram kalau setiap haji dan berwuquf di Arafah seluruh dosa-dosanya mendapat magfirah atau pengampunan dari Allah?
Ya Allah, perkenankan hamba – Mu memohon jodoh seseorang yang mapan hidupnya untuk anakku Ainun. Perkenankan hamba memohon agar seorang lelaki bernama Rizal menjauhi anakku karena aku khawatir Ainun tidak akan berbahagia disisinya. Hadirkankah disisi anakku seorang lelaki yang mapan hidupnya, yang mampu membahagiakan hidupnya. Perkenankan anakku mendapatkan jodoh seorang lelaki yang tegak di tempat yang tegar. Janganlah sampai puteriku mendapatkan jodoh seorang pria yang berdiri di tempat yang rapuh. Disini Engkau mempertemukan kembali Siti Hawa dan Adan Alaihissalam setelah seratus tahun mereka berpisah. Di tempat ini pula, di Jabal Rahmah ini, aku memohon kebahagiaan untuk Ainun. Amin, ya Allah. Amin Ya Robbal Alamien.
Bu Azizah menutup doanya dengan menyapukan kedua telapak tangannya pada wajahnya yang jernih. Matahari di atas gurun Arafah yang amat terik dan terpaan angin yang selalu membawa serpihan pasir tidak membuat wajahnya menjadi hitam.
Sudah puluhan kali Bu Azizah berdoa untuk kebahagiaan dan masa depan dua orang puterinya, Ainun dan seorang lagi Fadilah yang berarti sebuah keutamaan. Utama dalam marwah, kehormatan, utama dalam kehidupan, utama dalam santun dan utama dalam ibadah. Ketika melaksanakan sholat arbain di Masjid Nabawi, di tempat yang namanya Raudah, Bu Azizah juga berdoa untuk puterinya. Perempuan dari rumpun Melayu itu memang amat menyayangi puteri-puterinya yang semua cantik dan lembut.
Lalu setela kakinya terjejak di kota Makkah, setiap usai sholat fardhu, pastilah Bu Azizah berdoa untuk anak-anaknya, terutama ketika berada di Multazam dan juga di bawah Pancuran Emas. Doa-doa di tempat itu memang diaminkan malaikat dan didengar Allah.
“Berapa ratus kali lagi kita akan mendoakan untuk kebahagiaan anak-anak kita?,” Tanya suami Bu Azizah pada saat Bu Azizah mengusap wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangannya.
“Kita akan terus berdoa untuk anak-anak kita, untuk kebahagiaan Ainun dan Fadilah!,” sahut Bu Azizah. Sebagai seorang muslimah yang selalu menghadiri majilis ta’lim, Bu Azizah tahu dengan pas tempat-tempat yang paling makbul untuk berdoa, seperti di sudut Hajaratul Aswad, di sudut Yamani, di Hijir Ismail, di Telaga Zam-Zam, di bukit Safa dan Marwah, di Padang Arafah, di Jamratul Ula, Wustha dan Aqabah serta banyak tempat lagi.
“Allah akan mendengar doa kita dan mengabulkannya.”
“Amien!”
Ribuan, bahkan jutaan orang yang pernah menjejakkan kakinya di tanah suci, tidak akan pernah melewatkan kesempatan ziarah ke Jabal Rahmah dan memohon jodoh untuk puteri-puterinya. Dan ribuan puteri-puteri telah mendapatkan jodoh yang baik serta hidup berbahagia karena doa orang tua mereka di puncak bukit-bukit batu yang gersang itu. Mereka mendapatkan kebahagiaan, seperti halnya kebahagiaan Siti Hawa dan Nabi Adam setelah ratusan tahun berpisah dan bertemu kembali di bukit bebatuan itu.
***
D
|
oa di tanah suci memang selalu dikabulkan Allah, apalagi kepergian ke tanah suci itu semata-mata untuk melakukan ibadah, tanpa ditumpangi niat lain. Apalagi biaya kesana benar-benar halal dan jelas asal usulnya. Bu Azizah menyadari benar hal itu dan dia pun ingat pasangan suami isteri Hamdani dan Farida, yang sudah lebih sepuluh tahun tidak mendapatkan keturunan. Sudah sepuluh kali pasangan suami isteri itu berkonsultasi ke dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan, tapi hasilnya tetap nihil.
Mendatangi orang-orang pintar juga sudah amat sering. Hingga ke Kabupaten Langkat dan ke Kabupaten Labuhan Batu pasangan itu sudah pergi untuk meminta bantuan paranormal agar mendapatkan momongan, tapi hasilnya juga nol besar.
Bu Azizah pernah member saran agar mereka mengadopsi anak, terutama dari kalangan keluarga baik-baik dan taat pada agama. Tapi sang suami yang memang rajin beribadah itu tetap menolak. Keluarga itu bertekad untuk menunaikan ibadah haji lalu berdoa di Multazam.
Dan rezeki pasangan suami isteri itu memang sudah diperoleh. Bonus dari perusahaan tempat mereka bekerja ditabung selama lebih dari empat tahun. Pasangan muda itu berangkat ke Tanah Suci dan Bu Azizah ikut memberikan tepung tawar pada saat melepas keberangkatan mereka.
Tanpa malu-malu tidak mengurangi etika dan santun, pasangan keluarga itu bercerita panjang lebar, bahwa di hotel mereka yang terletak lebih dari 4 KM ke arah Masjid Jin di kawasan Ma’la, mereka selalu melakukan “making love”. Kamar hotel yang sempit dihuni oleh 6 orang, tapi dua pasangan suami isteri lainnya di kamar itu selalu penuh pengertian, sholat subuh pergi lebih awal dan pulang tidak pernah cepat. Pulang dari Masjidil Haram, pasti mereka mampir dulu di Pasar Seng meskipun yang dibeli hanya tasbih atau jilbab untuk oleh-oleh nanti.
Pada saat rekan-rekan sekamar belum pulang dari masjid, Hamdani dan isterinya memulai hubungan indah sebagai suami isteri dengan harapan membuahkan janin.
Doa pasangan suami isteri yang tidak pernah melalaikan sholat itu benar-benar didengar Allah dan dikabulkannya. Juga tentang keinginannya untuk mendapatkan keturunan. Pulang dari Tanah Suci sang isteri yang memang cantik itu tidak lagi kedatangan tamu si bulan merah yang dating menghampiri tiap bulan. Benih-benih dari suami bersemi saat mereka berada di Tanah Suci. Bulah Zulhijah mereka menjejakkan kakinya di Tanah Suci, sembilan bulan berikutnya bayi mereka lahir.
Bila bayi itu lahir benar-benar merupakan rahmat dari Allah semata, bukan karena bantuan seorang ginekolog, bukan karena bantuan paranormal atau supranatural.
Ketika nama bayi itu ditabalkan dilakukan kenduri, pembacaan barzanzi dan marhaba serta pengguntingan rambut. Sebagai seorang muslimah dari rumpun Melayu, Bu Azizah ikut melantunkan suaranya dengan mengumandangkan Marhaba Ya Marhabaa, Asyraqal Badru ‘alaina Fakhtafat minhul buduuru. Mitsla husnika Maa raainaa Qaththu Yaa Wajhas suruuri.
Bu Azizah hafal benar makna barzanzi dan marhaba yang mengandung nilai sastra yang amat tinggi.
Seperti hanya pasangan suami isteri Hamdani dan Faridah. Bu Azizah dan suaminya juga ingin menikmati saat-saat paling indah dan manis di Tanah Suci. Pada saat rekan-rekan sekamar belum pulang dari membeli kurma di Pasar Seng dan sebagian lagi melakukan ziarah ke Mesjid Jin yang terletak di Ma’la,”making love” itu pun dinikmati Bu Azizah.
“Jangan lupa membaca doa!,” itulah ucapan Bu Azizah ketika suaminya membelai rambutnya, mengecup pipinya dan mereka menikmati saat-saat yang paling indah dan teramat manis. Betapa nikmat dan teramat indah bila berangkat ke Tanah Suci bersama isteri. Betapa amat mesra bermain cinta dengan suami di Tanah Suci.
Dan Bu Azizah menyadari benar, bahwa kemesraan di atas tempat tidur bersama suami haruslah amat berhati-hati. Bu Azizah menyadari, bahwa melakukan hubungan suami isteri pada saat ihram atau sebelum tahallul akan dikenakan sanksi yang amat berat, yakni harus membayar “Dam”. Para jamaah haji mengartikan dam adalah denda atas pelanggaran yang dilakukan. Padahal “Dam” berarti darah dalam arti luasnya mengalirkan darah, yakni dengan menyembelih ternak seperti unta, sapid an kambing.
Bukan tanggung-tanggung, bagi jamaah haji yang melakukan hubungan suami isteri sebelum tahallul dam yang harus dibayar adalah membayar kifarat seekor unta. Bila tidak mampu menyembelih seekor unta dapat diganti dengan 7 ekor kambing. Bila tidak mampu menyembelih 7 ekor kambing, maka harus member makan fakir miskin di tanah haram seharga unta. Alhamdulillah Bu Azizah dan suaminya tidak melanggar ketentuan itu. Bila Bu Azizah melakukan hubungan suami isteri, syah-syah saja. Bu Azizah bahagia sekali.
***
B
|
anyak kenangan manis dan teramat indah ketika Bu Azizah pulang dari Tanah Suci. Kenangan manis ketika bergandengan tangan bersama suami mengunjungi makam Baqi dan banyak keluarga Rasul dikuburkan disana. Para isteri Rasul juga dimakamkan di tempat itu, seperti Siti Aisyah, Ummi Salamah, Juwairiyah, Zainab, Habsyah binti Umar bi Khattab dan Mariyah bin Affan, juga dimakamkan disana. Bu Azizah juga tidak melewatkan kesempatan untuk berziarah ke Jabal Uhud dan pertempuran paling dahsyat pernah terjadi disana antara pengikut Islam dan musuh-musuh yang ingin menghancurkan Islam.
Tidak akan pernah terlupakan, ketika bersama suaminya Bu Azizah berziarah ke Jabal Tsur, tempat Nabi Muhammad bersembunyi dari serangan kaum kafir Quraisyh. Juga tidak akan pernah terlupakan ketika melakukan pelontaran Jamratul Aqabah lalu ada jamaah dari Afrika Selatan yang mati terpijak-pijak dan dibiarkan terkapar di atas tanah. Setiap orang melontarkan sedekah lima atau sepuluh rial kepada keluarga jamaah yang tewas tidak jauh dari Aqabah itu.
Doa untuk puterinya di Jabal Rahmah memang tidak segera dikabulkan Tuhan. Bu Azizah tertegun ketika seminggu setelah kembali dari Tanah Suci menemukan sejumlah foto Ainun bersama Rizal di lereng gunung. Juga ketika puterinya diajak mengikuti arung jeram di Bahorok, padahal tempat itu amat berbahaya dan sewaktu-waktu banjir bandang datang amat mengerikan.
Bu Azizah semakin tertegun lagi ketika melihat foto-foto puterinya bersama lelaki itu. Lihatlah, betapa amat akrab dan mesra ketika Ainun bersama lelaki itu naik kuda di kawasan bukit-bukit Brastagi. Juga ketika bersampan di Danau Toba.
“Kamu sudah amat akrab dengan laki-laki itu, Ainun!,” sepasang bibir tipis Bu Azizah bergumam. Dia berkata-kata sendiri.
“Ibu sangat menghawatirkan masa depanmu bersama Rizal. Ibu sudah mendoakan kamu di Jabal Rahmah, anakku. Ibu juga mendoakan kamu di Multazam, juga di telaga Zam-zam yang penuh mukjizat dan rahmat itu. Semoga Tuhan mengabulkan doa Ibu. Kamu harus melupakan Rizal!,” Bu Azizah masih berkata-kata sendiri.
“Hari ini kamu memang masih akrab dengan lelaki itu, hari ini kamu masih amat senang berjalan dengan berbimbingan tangan bersama Rizal, tapi esok atau lusa kamu harus melupakannya dan Allah akan mengirimkan seseorang yang sudah mapan hidupnya untuk jodohmu. Lupakan dia, anakku”.
Lama Bu Azizah berkata-kata sendiri. Lebih dari dua lusin foto-foto puterinya bersama Rizal masih ada di tangannya dan yang terbanyak adalah foto-foto ketika berada di pinggir laut, di kawasan Pantai Cermin. Lama Bu Azizah tertegun ketika melihat selembar foto tentang seorang pawang berpakaian putih, seluar hitam dan tutup kepalanya berwarna putih memandikan seekor kambing jantang berwarna hitam. Di latar belakang tampak panji-panji di atas tiang bamboo dan juga selembar kain putih bertuliskan kalimat syahadat dalam huruf Arab Melayu. Juga foto tentang sekelompok orang berada di atas balai-balai dinding dan beratapkan anyaman daun kelapa. Juga terlihat ketika pawang mengusungkan kepala dan tulang kambing dipersembahkan kepada penguasa laut.
“Sepertinya Ainun diajak Rizal menyaksikan jamuan laut,” gumam Bu Azizah seorang diri. Sesaat dia termenung. Terbayang di pelupuk matanya suasana ritual jamuan laut yang biasa dilakukan masyarakat yang terletak di pinggir laut apabila hasil tangkapan ikan tidak memadai lagi atau dengan datangnya berbagai bala.
Dan yang dipersembahkan tidak hanya seekor kambing jantan berwarna hitam, tapi juga ayam, beras putih, beras kuning, bertih, bunga rampai satu malam, rincisan tepung tawar. Setalam kue-kue yang juga tidak ketinggalan.
Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan di kawasan Serdang Bedagai, dia memaklumi apa makna jamuan laut.
“Setiap warga Melayu percaya, bahwa seluruh kawasan laut dikuasai makhluk halus berupa jin dan roh jahat,” katanya seorang diri. Perempuan itu juga tahu benar, bahwa ada kekuatan gaib di laut. Yakni Mambang Laut yang tinggal di delapan penjuru angin diantara mereka adalah Mayang Mangurai, Mambang Tali Arus, Laksamana dan Datuk Panglima Hitam.
Jamuan itu dilabuh dua mil dari pantai di suatu tempat yang dipercayai sebagai sempadan pusaran angin. Semua perahu berhenti dan tidak diperkenankan berlayar pada saat jamuan dilaksanakan. Pada saat yang amat hening dan yang terdengar hanya desir-desir ombak kecil, semua yang hadir menghadap kiblat lalu terdengar azan dan selawat dilantunkan amat syahdu. Usai upacara itu segenap yang hadir meninggalkan tempat itu dan tidak diperkenankan melihat ke belakang lagi.
“Terus terang, anakku, Ibu sangat senang menyaksikan ritual seperti jamuan laut atan Mandi Berminyak yang masih selalu dilakukan orang dimana-manaa. Tapi Ibu sungguh tidak dapat menerima kalau kamu menyaksikan acara seperti itu bersama Rizal. Kamu harus melupakannya. Kamu harus menjauhi laki-laki itu, anakku!,” Bu Azizah berkata-kata di depan foto-foto puterinya, seperti dia berkata kepada Ainun. Juga berkata kepada laki-laki bernama Rizal agar meninggalkan puterinya.
***
A
|
pa yang selama ini amat dikhawatirkan oleh seorang muslimah yang dilahirkan di Serdang Bedagai ini akhirnya menjadi kenyataan. Hampir semua surat kabar dan stasiun televisi menyiarkan berita kecelakaan yang menimpa sekelompok mahasiswa pecinta alam yang mengalami musibah di lereng Gunung Lauser. Hujan lebat yang mendadak turun di kawasan gunung yang merupakan konservasi flora dan fauna itu telah menyebabkan beberapa mahasiswa mengalami luka-luka serius karena tertimpa pohon tumbang. Dua diantaranya mahasiswa yang malang itu adalah Rizal dan Rika, seorang mahasiswi yang pernah mengikuti pendakian Gunung Jayawijaya.
Pada saat itulah, seorang pecinta alam terbaring di rumah sakit dengan luka-luka cukup serius, sebuah Taft Rocky berwarna biru pekat memasuki halaman rumah bercat krim itu. Seorang lelaki gagah turun dan lelaki muda itu adalah Anas Pardamean, putera Pak Rasyid. Lelaki muda itu lebih sering disapa dengan nama kecilnya, Bang Dame.
“Assalamu’alaikum,” terdengar lelaki itu mengucap salam.
“Alaikum salam,!” Bu Azizah menyambut ramah dan segera membuka pintu depan.
“Saya ingin bertemu dengan Ainun, Bu!,” sapa sang tamu ramah.
“Ainun masih membaca buku di kamarnya. Silahkan duduk dulu, Ibu akan memanggilnya.”
Lelaki muda itu duduk di ruang tamu dan Bu Azizah segera menghampiri puterinya yang sedang asyik membaca novel berjudul Ullyses karya James Joyce, padahal novel itu pernah dilarang di Inggris dan Amerika karena terlalu terbuka dalam mengemukakan berahi manusia. Masih ada dua novel lagi di kamar Ainun, Para Priyayi-nya Umar Kayam dan novel Ahmad Tohari, Bekisar Merah. Sejak dulu Ainun memang gemar membaca buku, terutama novel.
Bahkan novel terjemahan hasil karya seorang pengarang perempuan terkenal pemenang hadiah nobel seperti Pearl S.Buck pernah melalapnya. Tak perduli buku karya keturunan Jahudi seperti Boris Pasternak yang juga pernah menerima hadiah nobel sudah dinikmatinya, padahal buku itu setebal bantal.
Tapi jangan mengira gadis berdarah Melayu itu hanya pintar membaca novel. Gadis berwajah bundar telur itu juga pintar menjahit, pintar menyulam, membordir busana wanita muslimah juga dapat dilakukannya dengan baik. Apalagi membuat anyang pakis dan membuat gulai asam lodeh, pasti enaknya bukan main. Membuat halwa betik dan asam glugur dia juga amat mahir.
“Hai, Ainun! Kenapa kamu harus mengurung diri di kamar?” sapa lelaki muda yang masih duduk di ruang depan ketika Ainun keluar dari kamar.
“Hari ini saya enggan keluar rumah.” Sahut Ainun seadanya.
“Abang ingin mengajakmu melihat pekan bunga. Bukankah kamu senang bunga?”
“Dimana?”
“Brastagi. Abang berharap kamu mau menemani!”
Sesaat Ainun menunduk, tapi Ibunya segera menghampiri dan mengusap pundaknya.
“Pergilah, Ainun. Temani Bang Dame. Seorang perempuan tidak hanya mencintai buku, tapi juga menyenangi bunga. Kalau boleh bawa beberapa jenis bunga yang cantik untuk menghiasi halaman rumah kita. Ibu yang akan mengurusnya nanti!”
Seperti ada mukjizat, puteri Bu Azizah tidak menolah ajakan itu, padahal siang nanti dia harus ke rumah sakit untuk menjaga Rizal yang mengalami kecelakaan ketika mendaki Gunung Lauser. Apel dan biskuit kaleng sudah dibelinya untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi tiba-tiba hatinya berpaling kepada Bang Dame yang pernah menjadi kakak kelasnya di Fakultas Ekonomi dulu. Namun nasib Bang Dame jauh lebih baik karena menyelesaikan kuliah tepat waktu dan Ainun sendiri mengalami nasib yang amat malang. Ainun drop out padahal kuliahnya sudah memasuki semester 6. Penyakit typus menyebabkan lebih lebih dari enam minggu dia terbaring di RS Permata Bunda hingga rambutnya rontok. Pulang dari rumah sakit, berbulan-bulan tubuhnya terasa amat lemah karena typus yang dideritanya menyebabkan Ainun harus menderita anemia pula. Apa boleh buat, Ainun hanya mampu mengusap dada kalau cita-citanya untuk menjadi seorang akuntan hanya tinggal impian.
Sekarang seorang lelaki gagah hadir di rumah itu mengajak Ainun untuk mengunjungi Pekan Bunga di Brastagi. Tiap tahun kawasan pegunungan itu memang selalu dilangsungkan pekan bunga dan kawasan pegunungan Kabupaten Karo memang merupakan produsen bunga terbesar.
Itulah tandanya doa-doa Bu Azizah ketika di Jabal Rahmah didengar Tuhan dan dikabulkan. Doa agar Ainun dapat melupakan Rizal, dan semoga Tuhan mengirim seseorang yang hidupnya mapan. Kini doa itu benar-benar terkabul. Lihatlah seorang lelaki gagah yang memiliki sebuah perusahaan perkebunan warisan dari ayahnya hadir di rumah bercat krim itu untuk mengajak Ainun pergi ke gunung.
“Bawalah bibit beberapa bunga nanti dan pulang jangan terlalu malam,” hanya itu pesan Bu Azizah ketika puterinya pergi bersama seorang lelaki yang pernah jadi kakak kelasnya dulu.
“Syukur pada-Mu Tuhan, doaku Engkau kabulkan!,” Bu Azizah menengadahkan tangannya ke atas. Dia amat bersyukur.
“Semoga mereka semakin akrab. Semoga Engkau memperkenankan Nak Dame menjadi teman hidup anakku. Semoga mereka hidup mapan dan bahagia, seperti doaku di Jabal Rahmah,” itulah harapan dan doa Bu Azizah.
Tidak ada yang harus dikhawatirkan pada diri Anas Perdamean, sebab setelah ayahandanya mengalami stroke, lelaki muda itu harus melanjutkan usaha ayahnya di bidang perkebunan. Empat anak-anak Pak Rasyid sudah dapat warisan masing-masing. Bahkan anak perempuan paling bungsu juga mendapatkan warisan lebih dari 20 hektar kebun kelapa sawit yang terletak di perbatasan Labuhan Batu dan Asahan.
Benar-benar Tuhan mendengar dan mengabulkan doa seorang Ibu dari keturunan Melayu itu. Seorang lelaki yang profesinya sebagai pengusaha kebun kelapa sawit itu tidak hanya mengajak Ainun sekedar mengunjungi pekan bunga di kota dingin Brastagi. Bang Dame juga mengajak Ainun makan jagung bakar, naik kuda hingga jauh ke tengah hutan pinus, padahal Ainun paling takut di tengah hutan yang sepi.
Tapi Ainun tidak perlu takut akan diterkam harimau atau ular berbisa karena seorang lelaki ada disisinya, tidak hanya menjaganya agar tidak terjatuh dari punggung kuda tapi juga memeluk tubuhnya amat erat. Tidak terasa lagi oleh Ainun udara pegunungan yang amat dingin menusuk ke sumsum tulang.
Teramat cepat Ainun dan lelaki itu amat akrab seakan sudah amat lama berpacaran dan menjalin kasih sayang. Begitulah bila Tuhan sudah menghendaki dan semua itu terjadi karena doa-doa Bu Azizah di Jabal Rahmah.
Kasihan Rizal yang terbaring di rumah sakit dengan tubuh yang terluka akibat tertimpa pohon tumbang saat lelaki itu mendaki gunung Lauser. Sepanjang hari lelaki itu ternanti-nanti. Tidak ada yang menyuapkan nasi dan obat. Tidak ada lagi yang mengulurkan obat. Tidak ada lagi yang memberinya minum padahal lelaki itu amat haus.
Tidak ada yang mengupaskan apel atau jeruk manis. Tidak ada seorang pun yang menunggu disisinya. Lelaki itu sendiri, padahal sejak hari pertama ia terbaring di rumah sakit itu, Ainun selalu ada disisinya. Dan sejak hari itu Ainun tidak pernah hadir lagi disisinya. Sebab cinta dan kasih sayang itu sudah beralih kepada orang lain, kepada Bang Dame.
“Tidak usah harapkan lagi kehadiran Ainun, Rizal,” seorang sahabatnya yang ikut mendaki Gunung Lauser mengulurkan gelas berisi minuman karena lelaki itu memang sudah haus.
“Biasanya dia selalu ada disini,” sahut Rizal diiringi oleh nafas panjang.
“Ainun tidak akan pernah datang lagi untukmu.”
“Dia juga sakit?”
“Ainun sudah bersama orang lain. Aku melihat sendiri dia bersama seorang lelaki gagah di kawasan Brastagi.”
“Kamu tidak keliru??”
“Demi Tuhan!”
Lelaki yang terbaring itu menghela nafas panjang lagi. Tubuhnya yang terluka terasa amat sakit, tapi dalam rongga dadanya terasa lebih sakit lagi. Sebab sejak hari itu Rizal telah kehilangan seseorang yang amat dia cintai sepenuh hati. Seperti ada seribu duri di rongga dadanya. Seperti ada seribu luka direlung hatinya. Terasa amat sakit dan perih.
***
B
|
ila Tuhan menghendaki, jodoh seseorang memang akan datang seketika. Begitu juga dengan rezeki, bila Tuhan menentukan, harta seseorang akan datang dengan amat mudah lalu dalam sesaat menjadi kaya. Begitu juga dengan maut dan kematian. Seseorang yang semula sehat dan tegar, tapi esok atau lusa dia akan diantar ke kubur karena kematian menjemputnya amat mendadak akibat serangan jantung.
Begitu juga dengan puteri Bu Azizah yang pada awalnya amat akrab dengan Rizal yang sudah amat sering mengajak Ainun ke pantai dan berjam-jam menatap laut maha luas, tapi akhirnya Ainun menikah dengan seorang lelaki kelahiran Padang Sidempuan bernama Anas Pardamean dan ompungnya bermukim tidak jauh dari Bagas Godang.
Seperti umumnya anak-anak yang berdarah Mandailing, nama-nama khas Mandailing pasti tertera di belakang namanya seperti Parlindungan, Tigor, Sangkot, Oloan, Ojak, Mara, Panusunan dan banyak lagi. Padahal nama lelaki muda itu sudaha amat bagus, Anas yang berarti sahabat nabi atau boleh juga berarti sang penurut. Dan sejak masih masa bocah dulu, sejak masih tinggal di kampong halamanya di kawasan Sidempuan, lelaki itu lebih sering dipanggil dengan nama kecilnya, Dame, singkatan dari namanya Anas Pardamean. Kanak-kanak tetangganya memanggilnya bang Dame.
Perkawinan itu berlangsung amat meriah dan adat istiadat Melayu lebih menonjol pada upacara perkawinan dua insan itu. Pantun-pantun yang amat enak didengar sejak acara meminang sudah dilantunkan orang dari kedua belah pihak hingga acara bersanding. Meskipun mempelai pria berasal dari kalangan rumpun Mandailing, tapi pantun-pantun yang dilantunkan tidak terasa sumbang, sebab keluarga dari Padang Sidempuan itu sengaja membawa seorang telangkai, Pak Uncu Musa dari Perbaungan yang memang keturunan Melayu asli. Pantun-pantunnya amat menggugah hati setiap yang mendengarnya.
Tidak ada kendala yang berarti bila pernikahan seorang gadis berdarah Melayu dengan seorang lelaki kelahiran Sidempuan. Diatas pelaminan lelaki itu juga sempat mengenakan pakaian adat Mandailing. Betapa gagah ketika lelaki itu mengenakan “bulang” kebesaran adat daerah kelahirannya. Lelaki itu tampak seperti sang raja yang amat perkasa.
Mandailing juga seperti halnya Melayu, identik dengan Islam. Hukum adat yang berlaku di tanah Mandailing juga disesuaikan dengan hukum Islam. Adat bersendi sara’, sara’ bersendi kitabullah juga berlaku di bumi Mandailing. Istilah “ eme na using marusang” yang artinya hasil panen tidak habis-habisnya dari tahun ke tahun lalu pada waktu tidak ke sawah berpesta pora, sudah lama ditinggalkan orang disana. Di bumi Mandailing juga ada falsafah “Hombar do adat dohot ibadat” yang bermakna adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan dan adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam.
Tamu-tamu amat banyak dan tiga ratus kursi yang tersedia tidak mampu menampung para tamu yang hadir. Mereka seakan enggan bangkit dari tempat duduknya untuk menyaksikan gadis-gadis cantik bersama jejakanya di atas pentas berlenggang lenggok membawakan tarian Dayang Senandung, Tanjung Katung, Makan Sirih dan tidak ketinggalan Serampang Dua Belas. Jari-jari yang lentik para gadis-gadis remaja di atas panggung itu tampak lemah gemulai diiringi lagu-lagu Melayu yang melankolis, seakan perahu nelayan yang terayun-ayun dibuai ombak Selat Malaka. Semua tamu terlena.
Hanya seorang tamu yang tampak berwajah lesu, murung dan matanya cekung dan hampir tidak mampu memandang pengantin yang sedang bersanding dengan mengenakan pakaian adat kebesarang Kerajaan Melayu Deli.
Dan tamu yang berwajah murung, lesu dan matanya cekung itu adalah mahasiswa Fakultas Teknik Sipil bernama Rizal yang dulu selalu mengajak Ainun ke laut dan di tengah laut yang sepi lelaki itu mendekap tubuh Ainun amat erat, amat lama dan membelai semua tubuhnya amat mesra.
Sekarang Ainun bersanding bersama orang lain, bersama seorang lelaki gagah yang memiliki kebun kelapa sawit, sementara Rizal sendiri belum tahu kapan kuliahnya akan selesai.
Bahkan minggu lalu, ketika musim ujian datang, untuk mata kuliah KONSTRUKSI BETON, lelaki itu hanya mampu mendapat nilai C. hasil ujian mata kuliah PAVMENT DESIGN juga sama jebloknya. Perkawinan Ainun dan Anas Pardamean benar-benar amat memukul jiwanya. Dia jadi enggan membaca, malas belajar dan makan pun enggan sama sekali. Tidur pun tidak nyenyak lagi. Pada saat perkawinan Ainun dan Bang Dame diresmikan, berat badannya turun lebih dari 3 kilo.
Lelaki muda itu merasa dirinya benar-benar malang. Dan dia harus memaksakan dirinya untuk hadir pada pesta perkawinan itu meskipun amat berat untuk menatap sepasang mata Ainun, amat berat untuk memandang sepasang bibir merekah yang pernah dikecupnya amat lama ketika mereka bersampan di Danau Toba.
Tangannya terasa sedingin salju di kutub ketika Rizal memaksakan dirinya untuk mengulurkan tangan dan mengucapkan selamat kepada sepasang pengantin itu.
“Selamat berbahagia….,” hanya sepotong kata itu yang mampu diucapkan lelaki muda itu. Bibirnya seperti amat berat untuk berkata lebih banyak. Bahkan di depan Ainun yang sedang bersanding, lelaki itu seakan kehilangan kekuatan dirinya. Tubuhnya terasa amat lemah. Hampir saja lelaki itu roboh di depan sekian banyak tamu, namun dia memaksakan dirinya untuk segera beranjak. Tidak diperdulikannya lagi gadis-gadis cantik di atas panggung yang sedang berlenggang lenggok membawakan tarian Kuala Deli. Kata-kata Ainun selalu terngiang kembali di rongga telinganya.
“Maafkan aku, Riz,” ucapan Ainun yang amat lirih hanya menambah banyaknya beling tajam yang menggores relung hatinya.
“Aku berharap kamu berbahagia, Ainun. Akan halnya diriku, sukar untuk kubayangkan entah akan bagaimana nasibku. Mungkin aku akan terbawa langkahku hingga ke ujung langit,” lelaki itu berkata lirih. Kata-katanya penuh dengan nada rintihan.
“Aku berharap kuliahmu segera selesai kemudian bekerja dan menikah. Kamu juga akan berbahagia seperti halnya aku!,” sahut Ainun juga dengan nada lirih.
Lelaki itu tetap saja menunduk, menekuri bumi tempatnya berpijak. Dan ketika lelaki itu mohon diri, langkahnya gontai. Lelaki itu tidak menoleh lagi. Dia tidak mampu lagi memandang seorang gadis yang pernah amat dicintainya bersanding dengan seorang lelaki lain.
Tamu-tamu masih terus bertambah. Orkes Malayu Sukma Murni masih mendendangkan lagu-lagu khas Melayu mengiringi gerak tari gadis-gadis remaja di atas panggung.
“Hari ini Bang Dame sudah menjadi orang Melayu,” bisik Ainun ketika masih di pelaminan.
“Haruskah sejak hari ini abang belajar pantun memantun? Kalau ditanya siapa jagonya pantun memantun, pasti jawabannya adalah orang Melayu,” terdengar suara Bang Dame yang saat itu mengenakan pakaian adat kebesaran Melayu dengan memakai keris terselip di pinggang sebelah kanan.
“Sebaiknya memang begitu. Sebab setiap orang Melayu selalu memiliki perasaan halus dan dalam mengungkap sesuatu selalu dengan kiasan, sindiran atau pepatah. Lagi pula pantun Melayu memiliki sejarah yang panjang. Ketika zaman penjajah dulu, pantun-pantun selalu mengandung nilai magik dan mistis yang dapat mempengaruhi jiwa seseorang. Seseorang dapat menyerah dan tidak berdaya lagi bila mendengar pantun yang mengandung bisa. Tapi saat ini pantun yang mengandung bisa dan magik dan mistis hampir tidak pernah ada lagi.”
“Hmmmm,” lelaki yang biasanya dipanggil Bang Dame itu bergumam. Tamu-tamu semakin banyak. Kursi-kursi yang tersedia tidak pernah kosong karena tamu yang terus berganti.
“Lalu setelah kita punya anak nanti haruskah kita beri nama Si Kolok dan kalau anak kita lahir perempuan di panggil Si Subang?,” Tanya Anas lagi masih diatas pelaminan.
“Tidak harus begitu. Zaman sudah berubah. Memanggil orang-orang tertentu, terutama yang memiliki kaitan kerabat seperti makcik telah berubah menjadi tante. Pakcik sudah menjadi Oom serta ayah bunda sudah berganti dengan papa dan mama. Panggilan Atok juga ikut berubah menjadi Opa. Begitulah keadaan pada era globalisasi saat ini.”
“Haruskah aku membiasakan makan sirih?,” Tanya Bang Dame dan tersenyum. “Sebab makan sirih adalah kebesaran Melayu.”
“Jangan katakan makan sirih adalah adat kebesaran hany milik orang Melayu. Lupakah Bang Dame bahwa di Mandailing juga ada adat istiadat manyurdu burangir yang berarti mempersembahkan sirih kepada pihak tertentu yang sangat dihormati?”
“Ya, benar!”
Sebagai seorang lelaki yang pernah duduk di perguruan tinggi, Anas Pardamean tahu, bahwa sejak zaman dulu, makan sirih sudah menjadi kebiasaan orang Melayu, tapi di daerah kelahirannya adat yang amat mirip seperti itu juga selalu dilakukan orang. Pada upacara-upacara tertentu sirih tidak boleh ditinggalkan, apalagi pada upacara pernikahan. Menyodorkan tepak berisi sirih lengkap dengan ramuan lainnya, seperti kapur, gambir, pinang dan tembakau artinya adalah menghormati tamu.
“Mempersembahkan tepak sirih mempunyai makna yang luas,” ucap Ainun lagi polos. “Bang Dame juga harus memaklumi, bahwa pohon sirih tumbuh merambat dan membutuhkan sandaran batang pohon lainnya untuk hidup, tapi sirih tidak akan pernah merusak tanaman tempatnya bersandar. Itu maknanya sirih tidak pernah mengusik dan merugikan pihak lain. Dan rasa sirih seperti pedas, itu artinya merupakan penawar.”
Bang Dame hanya tersenyum. Sebagai seorang lelaki yang juga lahir dari rahim seorang Ibu berdarah Mandailin, dia juga tahu tentang budaya leluhur ibundanya. Dikawasan kelahirannya, Bang Dame juga mengenal upacara “manyurdu burangir” atau menyajikan tepak sirih yang isinya sama dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Melayu, hanya namanya saja yang berbeda. Seperti sirih disebut burangir,gambir disebut “sontang”, pinang disebut “pining” dan kapur sirih disebut “soda”. Memilih sirih juga tidak boleh sembarangan, tapi harus pilihan dan disebut sataon na so ra busuk, sa bulan na so ra malos, yang artinya setahun tidak busuk dan tidak layu selama sebulan.
Dalam hal bahasa Mandailing yang mempunyai logat dan irama khas serta 5 tingkatan.
Meskipun sudah belasan tahun kuliah dan bermukim dikota besar, tapi Bang Dame masih tahu dengan pas 5 tingkatan bahasa daerahnya, seperti bahasa andung, yakni bahasa pada waktu bersedih, bahasa adat, yakni pada acara adat, bahasa parkapur, yakni bahasa pada waktu di hutan, bahasa na biaso untuk bahasa sehari-hari di pasaran dan terakhir adalah bahasa yang diucapkan dengan nada kasar dan marah, yakni bahasa bura.
Seperti halnya sirih dalam bahasa andung disebut “simanggurak,” dalam bahasa adat disebut “mapuran” dalam bahasa biasa disebut “burangir” sementara “siroan” diucapkan dalam bahasa perkapur. Begitu juga dengan ucapan harimau dapat diucapkan “baleman” tapi pada waktu di hutan disebut “ ompu I” dan pada waktu marah disebut “ si morjut”.
Sama dengan orang Melayu bila berada di hutan amat pantang menyebut langsung harimau atau gajah, tapi harus dengan kiasan nenek dan datuk.
Kebahagiaan benar-benar menjadi milik Ainun sekarang. Dan Bu Azizah lebih berbahagia lagi. Puterinya menikah dengan seorang lelaki yang sudah mapan hidupnya, sebagai seorang pengusaha perkebunan. Betapa perempuan kelahiran Serdang Bedagai itu amat bersyukur, doanya di Jabal Rahmah benar-benar didengar dan dikabulkan Tuhan.
Andainya Bu Azizah tidak mendoakan puterinya, di Jabal Rahmah pasti Ainun masih pacaran dengan Rizal dan entah kapan lelaki itu akan lulus dari fakultasnya. Kalaupun lulus entah kapan pula akan mendapat pekerjaan yang layak. Lulusan perguruan tinggi saat ini sudah merupakan barisan yang teramat panjang dan masing-masing menunggu kesempatan kerja yang tidak kunjung terbuka, sebab negeri ini masih dalam keadaan terpuruk. Pengangguran masih belasan juta banyaknya di negeri ini. Bahkan mereka yang sudah bekerja di berbagai industri terkena musibah yang paling menyedihkan, yakni pe-ha-ka.
Apalagi sekarang lulusan perguruan tinggi amat banyak mengalami stress berat karena tidak kunjung memperoleh pekerjaan.
Lihatlah Anas Pardamean!. Lelaki itu tidak mengharapkan mukzizat Tuhan. Lelaki itu tidak berharap menjadi pegawai negeri atau karyawan di be-u-em-en. Lelaki itu berusaha menciptakan lapangan kerja sendiri. Lelaki kelahiran Padang Sidempuan itu memang tidak pernah membayangkan menjadi pejabat di be-u-em-en lalu menjadi kayak arena uang sampingan. Lelaki yang senang dipanggil dengan nama kecilnya “Dame” itu lebih ingin mengembangkan usaha yang dia warisi dari ayahandanya.
Sekarang Bang Dame memiliki kebun kelapa sawit meskipun tidak terlalu luas yang diwarisi dari ayahandanya yang kini menderita stroke. Lelaki itu sudah memiliki rumah sendiri, memiliki kendaraan. Hidupnya benar-benar mapan. Apalagi lelaki itu sedang merencanakan untuk membeli kebun kepala sawit di kawasan Riau. Propinsi yang berpenduduk mayoritas Melayu itu memang merupakan lahan yang paling cocok untuk tanaman kelapa sawit.
Bila Ainun berbahagia dan hidup senang disisi Anas Pardamean, Bu Azizah dan suaminya juga ikut terangkat hidupnya. Apalagi usaha di bidang penjualan dan reparasi mesin-mesin kantor saat ini mengalami hempasan badai dahsyat. Kantor-kantor tidak lagi membutuhkan mesin ketik, tidak butuh lagi mesin hitung. BUMN seperti PLN, Gas Negara, Telkom dan PAM tidak lagi butuh mesin pencetak rekening sejak munculnya perangkat canggih yang namanya komputer yang kemampuannya sungguh luar biasa. Apalagi didunia perbankan.
Mahasiswa yang menulis skripsi atau paper tidak lagi membutuhkan mesin ketik tapi cukup ke rental komputer dan lebih praktis. Usaha mesin-mesin kantor semakin tersingkir. Semua nyaris gulung tikar. Betapa beda dengan pemasaran komputer yang terus merebut pasar.
Work shop milik Haji Faris sekarang sepi. Seekor lalat pun sepanjang hari tidak ada yang singgah. Pemilik usaha itu saat ini sehari-hari hanya selalu termenung dalam tokonya. Paling-paling sepanjang harinya hanya membaca buku terutama kitab-kitab agama. Sejak pulang dari menunaikan ibadah haji dia lebih sering membaca buku kumpulan hadist, tuntunan ibadah yang benar, fiqih bimbingan tauhid atau kisah-kisah dua puluh lima rasul.
Pertolongan Tuhan datang pada saat toko Haji Faris hampir mendekati kiamat. Puteri pertamanya mendapatkan jodoh seorang lelaki kelahiran Padang Sidempuan dan pengusaha perkebunan, tahu percis usaha ayahnya bangkrut. Bila tidak ada uluran tangan dari sang menantu pastilah dapur keluarga itu tidak berasap lagi.
Tiap awal bulan pasti di halaman rumah yang terletak tidak jauh dari Sungai Deli itu tampak sebuah mobil Taft Rocky diparkir dan dari mobil itu diturunkan dua goni beras, minyak goring rendah kalori, gula dan tidak ketinggalan Rinso. Dari mana lagi datangnya sembako itu kalau tidak dari seorang anak perempuan yang kini menjadi isteri seorang pengusaha perkebunan?
Bu Azizah amat bersyukur dapurnya masih terus berasap. Dia pun bersyukur ketika akan membayar rekening listrik ternyata rekening itu sudah tidak ada lagi karena sudah lebih awal dilunasi seseorang. Begitu juga dengan rekening gas, seseorang juga sudah melunasinya. Siapa lagi yang bermurah hati membayar rekening listrik dan gas kalau bukan sang anak perempuan yang kini hidup mapan disisi suaminya?
Tidak hanya kiriman sembako dan kebutuhan dapat diterima Hajjah Azizah , tapi juga kiriman uang. Tanpa kiriman uang dari sang anak perempuan, mungkin suami Bu Azizah rambutnya akan gondrong hingga ke bahu dan mirip preman yang wajahnya bringas karena untuk membayar ongkos pangkas saja tidak ada uang. Tanpa kiriman dari puteri sulungnya mungkin setiap hari Jum’at sore ketika Bu Azizah menghadiri majlis ta’lim yang diikuti puluhan ibu-ibu, Bu Azizah tidak dapat mengisi kotak infaq.
Lelaki yang pernah memiliki hampir selusin karyawan untuk reparasi berbagai jenis mesin-mesin kantor di berbagai instansi pemerintah itu sekarang lebih sering melamun. Lelaki itu juga sering memijit jidatnya sendiri karena kepalanya sering pening tujuh keliling. Bahkan lelaki itu pernah hampir pingsan di tokonya yang sekarang amat sepi. Kelapanya lebih sering terasa nyut-nyut sekarang.
Siapa lagi yang mengantarnya ke dokter kalau bukan seorang anak perempuan yang kini hidupnya mapan dan tinggal di sebuah rumah besar tidak jauh dari Asrama Haji ? suami Bu Azizah hanya terperangah ketika dokter yang memeriksa penyakitnya memberikan diagnosa, bahkan lelaki itu menderita hypertensi.
“Hindari garam dan makanan berlemak kalau bapak tidak ingin menderita stroke!,” itulah pesan sang dokter.
“Artinya penyakit saya adalah tekanan darah tinggi ?” Tanya Haji Faris kepada dokter yang merawatnya.
Dokter yang memeriksa penyakitnya mengangguk diiringi ucapan :
“Terlambat mendapatkan pengobatan akan sangat berakibat fatal, setidak-tidaknya bapak akan menderita lumpuh total.”
Lelaki berumur hampir setengah abad itu hanya menghela nafas panjang, apalagi mendengar tekanan darahnya mencapai 200/110.
“Persoalan apa yang menjadi beban pikiran bapak?,” itulah pertanyaan yang amat sulit dijawab. Tapi akhirnya lelaki itu tidak mampu mengelak.
“Usaha saya sedang menghadapi saat-saat paling sulit. Bahkan nyaris gulung tikar.”
“Saya mengerti. Dan pasien yang datang kemari tidak hanya satu dua, tapi belasan bahkan puluhan dengan keluhan yang sama karena usaha yang mengalami masa-masa suram. Saat ini keadaan negeri kita memang masih dalam kritis. Tidak hanya pengusaha kecil yang mengalami kesulitan dalam usahanya, tapi para konglomerat juga mengalami hal yang sama. Semua harus dihadapi dengan tabah. Carilah jalan keluar yang terbaik agar terhindar dari beban pikiran yang berat yang dapat menyebabkan stress.”
Panjang lebar dokter yang baik hati itu member nasehat, padahal di ruang tunggu masih terdapat banyak pasien, bahkan yang menderita stroke yang di papah anaknya juga ada.
Lelaki itu hanya menghela nafas panjang. Usaha miliknya diterpa badai dari dua arah. Satu arah karena krisis moneter yang melanda negeri ini dan satu lagi karena perkembangan teknologi dan munculnya perangkat canggih komputer sehingga mesin ketika tidak lagi dibutuhkan orang.
Apalagi yang namanya mesin stensil Gestetner, orang sama sekali tidak lagi membutuhkannya. Padahal dulu, sebelum kehadiran mesin fotocopy, di setiap kantor instansi pemerintah maupun swasta, pasti membutuhkan mesin stensil. Di toko Haji Faris sendiri, dalam seminggu paling tidak sepuluh atau lima belas unit mesin stensil Gestetner pasti terjual. Juga mesin ketik berbagai merk dan tipe.
Sekarang, orang sama sekali tidak lagi menjual mesin itu. Lelaki setengah baya itu selalu merasa sedih bila ingat masa jayanya dulu. Sekarang usaha lelaki itu sudah gulung tikar. Sekarang lelaki itu sedang memikirkan usaha lain untuk nafkah keluarganya.
“Jangan terlalu menjadi beban pikiran usaha kita yang sedang menghadapi saat-saat suram!,” itulah ucapan Bu Azizah bila melihat sang suami termenung dan terkadang memijat kepalanya yang terasa pening.
“Demi Tuhan, kita tidak menduga keadaan akan seperti ini!”
“Pasrahkan semua kepada Allah!”
Sang suami termenung lagi. Sesekali lelaki itu terkenang pada masa jayanya dulu, ketika mesin ketik Olivetti dan mesin ketik stensil Gestetner serta mesin cash register manual masih sangat popular dan tokonya tidak pernah sepi. Keuntungan dari menjual mesin-mesin kantor itu lebih dari lumayan.
“Masih ingat keluarga Pak Harun?,” tiba-tiba lelaki itu menyebut sebuah nama.
“Pak Harun suami Bu Amaliah ?”
“Ya! Pak Harun yang amat senang dengan lagu-lagu langgam Melayu.”
“Kenapa tiba-tiba abang menyebut nama Pak Harun.”
“Pak Harun pernah meminta pertolongan kepada kita pada waktu anaknya yang kuliah di Yogja harus menjalani operasi appendix.”
“Ya! Pak Harun meminjam uang lima ratus ribu dari kita.”
“Dan pertolongan kita tidak sia-sia. Anaknya terhindar dari kematian dan segera lulus sebagai insinyur kemudian bekerja di Pertamina dan menduduki jabatan penting.”
“Itulah nasib, itulah takdir Allah. Seorang anak yang hampir menemui kematian karena penyakit usus buntu masih dilindungi Tuhan dan menjadi pejabat penting, lalu membiayai ayahb bundanya ke Tanah Suci. Tapi sayang Pak Harun tidak tahan dengan udara panas di Tanah Suci. Dia jatuh sakit dan ibadah wuquf dilakukannya di atas mobil ambulans dan pelontaran jamrah pun tidak mampu dilakukannya hingga akhirnya Tuhan memanggilnya di Mina.”
Sesaat suami Bu Azizah termenung lagi. Ketika usahanya sedang jaya dulu, banyak orang-orang yang selalu meminta pertolongan terutama dari kalangan famili dan kerabat. Ada yang meminjam uang untuk biaya pernikahan anak, ada yang meminta bantuan karena isteri menderita kanker serviks dan terpaksa dilakukan operasi tapi sang isteri akhirnya meninggal. Yang meminjam uang untuk menghadiri wisuda anak di Bogor juga ada. Semua tidak pernah pulang dengan tangan hampa. Lelaki yang memiliki nama yang artinya penunggang kuda perkasa itu memang selalu baik hati.
Lelaki itu mudah mengulurkan tangan kepada siapa saja.
Tapi sekarang, setelah usahanya menghadapi saat-saat paling suram, tidak ada lagi orang-orang yang datang untuk meminjam uang. Kalaupun ada seseorang yang ingin meminta bantuan, lelaki itu memang tidak mampu lagi membantu. Usahanya sedang berada di ujung tanduk. Usaha itu hampir masuk liang kubur.
Dan sekarang, lelaki itu lebih sering termenung memikirkan pengganti usahanya yang sudah diterpa badai dahsyat akibat kemajuan teknologi dan era globalisasi.
Rasanya lebih selamat membuka warung sembako. Tapi sepanjang jalan dimana-mana, hingga ke pinggiran kota warung sembako sudah teramat banyak. Siapa lagi yang akan menjadi pembeli kalau warung sembako sudah ada dimana-mana? Usaha wartel juga sudah seperti jamur di musim hujan. Menjadi usaha angkot? Haji Faris sama sekali tidak berbakat menjadi pengusaha angkot atau taksi. Membuka bengkel mobil, dia sama sekali tidak tahu seluk-beluk mesin mobil.
Membuka usaha apa saja saat ini memang tantangannya amat berat. Pengusaha kelas kakap atau konglomerat juga banyak yang mengalami kehancuran. Yang masuk penjara karena kredit dalam jumlah besar tidak dapat dikembalikan juga banyak. Konglomerat yang mati bunuh diri karena kreditnya tidak terbayar juga ada.
Itulah yang selalu menjadi beban pikiran lelaki itu, hingga kepalanya terus berdenyut dan tanpa sadar tekanan darahnya naik dan terlambat berobat dapat menyebabkan dia menderita stroke alias lumpuh.
Untunglah seorang puteri yang sudah menikah menganjurkan untuk segera berobat. Akibat yang fatal memang dapat dihindari, tapi sang ayah masih saja selalu termenung memikirkan usaha apalagi yang dapat dilakukan.
“Ayah bermaksud membuka warung sembako,” itulah yang diucapkan lelaki itu kepada puterinya.
“Tidak usah ! warung sembako sudah teramat banyak. Kalau tidak ada yang membeli, ayah akan semakin stress.” Puterinya yang sudah menikah dan saat ini sedang hamil muda mencegah.
“Lalu ayah harus berbuat apa?”
“Untuk sementara istirahatlah dulu!”
Lelaki setengah baya itu menghela nafas panjang.
“Rasanya tidak mungkin seseorang tanpa usaha apapun.”
“Tidak usah pikirkan hal-hal yang berat. Bukankah Ainun sudah menikah dan mampu membantu?”
“Sampai kapan ?”
“Tentu saja selamanya.”
“Tidak mungkin, Ainun!. Sungguh tidak mungkin sepanjang hari ayah hanya berpangku tangan.”
“Ayah tidak ingin termenung sepanjang hari ? begitukah ? sang puteri yang sedang mengandung anak pertama itu menatap ayahnya dalam-dalam.
“Ya! Harus ada sesuatu yang harus ayah lakukan.”
“Benar ayah ingin melakukan sesuatu ?”
“Sungguh !”
“Ayah ingin kesibukan meskipun kesibukan itu ayah lakukan tidak di rumah ini?”
“Dimana pun. Yang penting ada tempat berpijak.!”
“Ayah mau tinggal di tengah perkebunan yang sepi ?”
“Kenapa tidak ?”
“Bang Dame baru saja membeli kebun baru di kawasan Riau. Kebun itu sudah mulai menghasilkan. Saat ini belum ada seseorang yang dapat dipercaya untuk menjaga kebun itu. Kalau ayah memang sungguh-sungguh tidak ingin termenung-menung, ayah boleh-boleh saja mengurus kebun itu. Sekaligus menjadi manajernya disana. Ainun akan membicarakan dengan Bang Dame nanti. Dia pasti setuju!”
“Wah, Ainun! Sungguh hal ini merupakan rahmat dari Tuhan. Ayah akan senang sekali mengurus kebun itu !”
Ainun tersenyum. Lelaki setengah umur itu juga tersenyum. Kepalanya tidak lagi berdenyut.
***
L
|
elaki setengah baya itu tidak sempat membuka warung sembako Karen amat ditentang oleh kedua puterinya. Apalagi sang menantu amat menentang rencana itu. Justru sang menantu amat bersyukur andainya mertuanya mau menjadi pengawas sekaligus menjadi manajer kebun seluas 25 hektar yang baru dibelinya. Tentu saja sang ayah yang sedang kebingungan memikirkan usaha apa yang layak dilakukannya tidak ragu-ragu lagi untuk menerima tawaran itu.
Banyak barang-barang yang harus dibawa oleh lelaki setengah umur itu ke tengah kebun kelapa sawit yang terletak di kawasan Riau itu. Ada biscuit, buah dalam kemasan kaleng, pakaian sehari-hari, sajadah, selusin kitab agama, senter, radio, obar anti nyamuk dan obat-obatan penurun tekanan darah yang baru diberikan dr. Ghani. Juga tidak ketinggalan sebilah pedang panjang.
“Untuk apa dibawa pedang panjang itu ? untuk menebas batang leher syeitankah?,” Bu Azizah masih sempat bergurau.
“Mana mungkin menebas batang leher syeitan yang memang ada dalam darah setiap manusia. Syeitan cuma mampu dihalau dengan cara membaca Qur’an dan sholat.”
“Lalu untuk apa pedang itu? Untuk menebas batang leher harimau ?”
“Apa saja yang datang mengganggu !”
Bu Azizah hanya tersenyum melepas kepergian suaminya untuk menjadi pengawas kebun kelapa sawit yang baru dibeli menantunya. Sang menantu tidak perlu menggaji seseorang untuk menjadi pengawas kebunnya.
Kebun hampir seluas 25 hektar itu memang sepi, apalagi terletak di pedalaman, jauh dari kota besar. Yang selalu terdengar adalah kicau burung bersahut-sahutan. Lelaki itu merasa kerasan di alam terbuka dan udara pun benar-benar sehat, suasananya hijau jauh dari polusi pabrik dan asap kendaraan.
Kehadirannya di kawasan perkebunan itu disambut amat ramah oleh warga setempat. Apalagi warga segera tahu, bahwa yang akan menjadi pengawas perkebunan itu adalah seorang haji dan mesjid berukuran kecil tanpa menara yang ada di desa itu baru saja kehilangan seorang imam yang meninggal karena penyakit paru-paru.
Malam pertama kehadirannya di Masjid Ar Raudah di desa itu lelaki itu langsung didaulat menjadi imam. Tidak hanya itu, segudang jabatan segera dipercayakan di pundak lelaki itu. Dia menjadi ketua koperasi petani kelapa sawit, ketua syarikat tolong menolong, ketua majlis ta’lim, pengurus majlis desa, ketua komite sekolah dasar padahal tidak satu pun anaknya sekolah disana.
Kalau ada pembentukan panitia hari-hari besar Islam seperti peringatan Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj pasti akan terpilih menjadi ketua panitia adalah Haji Faris. Bergitu juga ketika ada salah satu partai ingin melakukan kegiatan social dengan mengadakan sunatan massal, yang menjadi ketua juga Haji Faris. Lelaki itu benar-benar amat cepat mendapat simpati dan kepercayaan warga desa yang pada umumnya adalah pendatang. Apalagi bila ada warga yang meninggal pasti yang menjadi imam sholat jenazah adalah lelaki itu. Lelaki itu pula yang membacakan talkin diatas pusaranya.
Betapa lelaki itu amat bersyukur bila dia mendapat kiriman serandan pisang dari tetangga. Yang memberinya sepasang ayam untuk diternakkan juga ada. Yang mengirimkan durian juga ada. Suasana akrab itulah yang membuat lelaki itu benar-benar amat kerasan di tengah kebun yang sepi itu. Pagi-pagi benar sebelum fajar terbit yang membangunkannya dari tidur lelap adalah kicau burung dan kokok ayam jantan pemberian tetangga.
Lelaki itu tidak pernah termenung lagi merenungi usahanya yang bergerak di bidang mesin-mesin kantor. Tidak pernah terpikir olehnya lagi mesin ketik Remington atau Royal dan Olivetti di show roomnya yang sama sekali tidak diminati orang lagi. Lelaki itu lebih senang member makan puluhan ekor ikan gurami atau lele dumbo peliharaannya. Benih-benih berbagai jenis ikan air tawar itu juga pemberian jiran tetangga yang semuanya baik dan ramah.
Apalagi tetangganya terdekat yang mendapat jatah Perkebunan Inti Rakyat seluas 19 hektar adalah seorang pensiunan TNI berpangkat letnan juga amat ramah kepadanya. Mereka cepat akrab dan selalu ngobrol panjang lebar.
Di tengah perkebunan itu, lelaki itu tampak sehat dan segar bugar. Obat penurun tekanan darah tinggi yang diberikan dr.Ghani tidak satupun yang di tenggak, namun darahnya benar-benar normal. Pikirannya amat tentram. Mungkin bila lelaki itu membuka warung sembako tekanan darahnya akan melonjak karena menghadapi pembeli yang terkadang tidak membayar tunai alias hutang. Mungkin dia akan merasa kepalanya pusing kalau beras yang dipesan ternyata sudah kadaluarsa dan berulat atau mengandung pasir. Persoalan pemilik warung sembako pasti seribu satu macam.
Beruntunglah Haji Faris dipercaya menantunya untuk menjadi pengawas perkebunan kelapa sawit yang baru dibelinya sekaligus menjadi manajernya. Tidak ada yang menjadi beban pikirannya. Tiga atau empat bulan mendatang, buah sawit dari ribuan batang pohon itu sudah dapat dipanen. Dan hasilnya pasti lumayan. Saat ini kelapa sawit memang merupakan komoditi ekspor paling handal. Hanya pemilik kebun kelapa sawit yang tidak pernah merasakan badai krisis moneter di negeri ini. Justru petani kelapa sawit merasa seperti ada hujan emas dari langit pada saat krisis, sebab kelapa sawit dijual keluar negeri dengan dollar.
Sang menantu memang sudah berpikir matang. Kelapa sawit tetap merupakan primadona ekspor. Dan sebagai pengawas di kebun seluas 25 hektar itu suami Bu Azizah akan menerima bonus khusus. Hati laki-laki itu benar-benar tentram sekarang meskipun dia harus jauh dari rumah, jauh dari isteri dan seorang lagi puterinya. Tiap akhir bulan, baru lelaki itu pulang. Berat badannya naik tiga kilo selama lelaki itu menjadi pengawas di perkebunan kelapa sawit milik sang menantu.
Lelaki setengah baya itu juga ingin puterinya yang kedua menemukan jodoh seorang lelaki yang mapan hidupnya. Sebab selama di tanah suci, di Multazam, di Pancuran Emas, di Telaga Zam-zam, dan terakhir di Jabal Rahmah dia juga mendoakan jodoh untuk Fadilah. Lelaki itu berharap setelah Fadilah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Sosial akan segera bekerja kemudian menemukan jodoh yang baik, seperti sang kakak yang saat ini sedang hamil muda.
***
S
|
ebulan sekali, sang kakak pasti hadir di klinik dr. Gunawan, seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan untuk konsultasi tentang janin yang kini ada dalam rahimnya. Ainun amat bersyukur hingga minggu ke dua puluh janinnya sehat-sehat saja dan normal. Tidak ada anjuran khusus kapada calon ibu muda itu. Calon ibu muda itu juga bersyukur pada saat ngidam tidak kepingin macam-macam. Yang diinginkannya hanya mangga muda, tidak lebih dari itu.
Sebagai seorang calon ibu, Ainun menyadari setiap wanita yang mengalami kehamilan, sejak minggu-minggu pertama telah terjadi berbagai perubahan metabolisme pada dirinya yang terkadang menyebabkan sikapnya selalu serba salah.
Ainun hanya merasa tubuhnya cepat lelah serta liurnya lebih banyak dari biasanya dan perutnya terasa mual. Buang air kecil memang terasa lebih sering dari biasanya. Aneh, ketika batuk saja air seni itu juga keluar. Ketika tertawa lebih keras, pipis itu juga menetes. Tapi Ainun tidak harus khawatir, sebab ibunya selalu memberinya penjelasan.
“Tidak usah khawatir, Ainun. Sebab setiap perempuan hamil banyak perubahan pada dirinya. Lebih sering pipis adalah hal yang lumrah bagi perempuan hamil karena rahim yang membesar sehingga menekan kandung kemih!,” itulah ucapan sang ibu yang selalu hadir di rumah itu untuk membawa jamu hamil, buah segar dan juga popok serta gurita bayi.
Belum genap 30 minggu kehamilannya, sang ibu sudah amat sibuk menjahit popok dan gurita. Sebab waktu terluang Bu Azizah amat banyak sekarang. Pulang dari menghadiri majlis ta’lim di Masjid Ubudiyah, perempuan itu sudah menghadapi bahan-bahan popok bayi. Apalagi bayi Ainun diperkirakan akan lahir pada musim hujan, persediaan popok dan gurita harus lebih banyak dari biasanya.
Meskipun tanpa keluhan, Ainun harus hadir di klinik dr.Gunawan, seorang ginekolog. Sebab dia ingin tahu pada usia 32 minggu kandungannya, apakah letak janin dalam rahimnya benar-benar normal, apakah kepala janin itu sudah berada di bawah. Dan Ainun juga tidak ingin plasenta atau uri juga berada di bawah sehingga kelak akan menutupi jalan lahir. Ainun tidak ingin melahirkan anaknya melalui bedah caecar karena jalan bayi tertutup oleh plasenta.
Demi Tuhan, Ainun tidak menduga, ketika dia melangkah ke ruang praktek dokter ahli kandungan itu seseorang menyebut namanya.
“Ainun!,” puteri Bu Azizah amat kenal dengan suara itu.
“Rizal!” nama itu segera tergetar dari bibirnya ketika dia menoleh. Seorang lelaki muda yang dulu selalu mengajaknya ke pinggir laut dan bersampan hingga ke tengah tiba-tiba saja ada di depannya.
“Kamu baik-baik saja, Ainun?” lelaki itu menatapnya amat dalam.
“Ya! Dan kamu?,” Ainun memperhatikan sejak ujung rambut hingga kaki lelaki itu. Dulu dia selalu rebah di dada lelaki dan membiarkan tangan lelaki itu membelai rambutnya juga tubuhnya.
“Aku masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah, cuma aku lebih sering di kamar. Aku tidak pernah lagi mendaki gunung atau ikut arung jeram.”
“Kenapa ? takut mengalami kecelakaan lagi dan aku tidak ada disisimu?”
“Bukan takut!”
“Lalu kenapa ? karena kamu kehilangan semangat setelah aku menikah?”
“Tidak juga!”
“Bukankah mendaki gunung sudah menjadi bagian dari hidupmu?”
Ainun masih menatap wajah lelaki itu didepannya. Tatapan lelaki itu juga amat dalam, penuh sejuta arti. Padahal dulu, ketika mereka selalu berdua di gunung atau di danau, tatapan lelaki itu terasa hingga ke jantung Ainun.
“Aku sibuk sekarang!,” lelaki muda itu berkata datar.
“Sibuk ngapain?”
“Aku baru saja riset di tempat yang jauh.”
“Dimana?”
“Di perbatasan Padang Lawas dan Riau.”
“Wah, jauh banget. Kenapa harus sejauh itu?”
“Aku sengaja riset tentang pembangunan jembatan, sesuai dengan jurusan kuliahku. Lagipula site manajer proyek itu famili ibuku sehingga aku banyak memperoleh kemudahan.”
“Aku ikut senang kuliahmu lancar-lancar saja.”
“Sekarang aku sedang menyusun skripsi dan tidak lama lagi akan menghadapi meja hijau dan kuharap lulus tepat waktu.”
“Aku selalu berdoa untukmu.”
“Aku juga berdoa semoga kamu segera lulus dan bekerja.”
Lelaki itu tersenyum, tapi tatapan matanya masih saja amat dalam dan mengandung sejuta arti.
“Kamu semakin cantik dan anggun setelah menikah dan hamil.”
“Jangan puji lagi aku, Riz.”
“Tidak bolehkah aku memandang wajahmu yang sejak dulu tetap kukagumi dan selalu kurindukan? Andainya aku yang menjadi ayah bayi dalam perutmu, pasti aku adalah orang yang paling berbahagia di dunia ini.”
“Aku sudah menjadi nyonya Anas, Riz. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Ingatlah itu.”
“Wajahmu selalu hadir dalam mimpiku. Akupun masih selalu menyebut namamu.”
“Lupakan tentang aku, Riz. Itulah yang terbaik,” pinta Ainun dan menyeka keringat di keningnya. Sejak hamil Ainun merasa peluh pada dirinya selalu lebih banyak.
“Terlalu sukar untuk melupakannya, Ainun.” Kata-kata itu seperti sebuah keluhan yang amat berat dan panjang. Dan lelaki calon sarjana teknik jurusan sipil itu masih sempat mengatakan tentang kemesraan-kemesraan mereka ketika di tengah danau, ketika duduk-duduk di atas pasir pantai memandang debur ombak. Atau ketika menapaki jalan yang sepi dan sempit di pegunungan dan Ainun selalu berpegangan erat pada lengannya karena takut tergelincir, takut terjatuh ke dalam jurang yang terjal.
“Jangan sebut hal itu lagi, Riz!” pinta Ainun lagi.
“Kamu boleh saja melarangku untuk tidak menyebut namamu lagi. Tapi namamu teramat lekat dibibirku.”
“Ahk, Riz.” Ainun hanya mampu menyebut nama lelaki itu.
“Aku akan benar-benar melupakanmu kalau aku sudah menjadi sarjana dan bekerja lalu bertemu seorang gadis yang segalanya mirip denganmu, barulah hatiku terobati.”
Ainun hanya menunduk. Dia merasa bayinya bergerak lebih keras, seperti member peringatan agar Ainun tidak boleh terlalu lama bersama lelaki itu.
“Aku akan berdoa untukmu semoga apa yang kamu harapkan segera menjadi kenyataan. Lulus, bekerja dan menikah dengan gadis cantik. Jangan lupa mengundang aku kalau kamu menikah nanti. Beritahu aku kalau kamu sudah bekerja nanti.”
Lelaki itu hanya menunduk dan menghela nafas panjang. Kalau ingat kemesraan yang pernah dinikmatinya bersama Ainun dan tiba-tiba saja Ainun meninggalkannya saat lelaki itu terbaring di rumah sakit karena kecelakaan di lereng Gunung Lauser, hatinya terasa perih. Seribu luka menganga ada di relung hatinya. Sempai saat ini rasa pedih itu masih ada. Sampai sekarang luka di relung hatinya belum terbalut, apalagi sembuh.
“Banyak pengalaman yang kuperoleh selama hampir tidak bulan aku riset di desa paling selatan Padang Lawas,” lelaki itu masih sempat mengungkap pengalamannya ketika riset. Selama hampir 3 bulan riset lelaki itu menjelajah desa demi desa, hingga ke Angkola, ke Padang Lawas, Pesisir dan Mandailing. Lelaki itu juga sempat mengunjungi Bagas Godang Penyabungan Tonga.
“Kamu bertemu harimau disana? Harimau sebenarnya atau harimau jadi-jadian?” Tanya Ainun.
“Bukan bertemu harimau!”
“Lalu bertemu ular berbisa?”
Lelaki itu menggeleng.
“Aku pernah tergelincir ketika melewati jembatan kecil yang terbuat dari bambu.”
“Lalu kamu tercebur ke dalam sungai ?”
“Ya! Tapi tahukah kamu mengapa aku sampai tergelincir dan tercebur ke dalam sungai?”
“Kamu melamun?”
“Ya, melamun. Sebab wajahmu tiba-tiba saja hadir di pelupuk mataku.”
“Sudahlah, Riz. Pusatkan pikiranmu pada skripsimu dan kamu harus berpacu dengan waktu. Aku akan sangat gembira kalau mendengar kamu segera lulus, apalagi lulus cum lauda, lalu segera mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan aku pun akan sangat gembira kalau kamu segera menikah.”
Lelaki muda itu hanya menghela nafas panjang. Ingin rasanya dia lebih lama bersama Ainun, tapi tidak mungkin lagi. Sebab Ainun sesaat lagi akan menjadi seorang ibu. Ainun sudah menjadi Nyonya Anas Pardamean yang saat ini sedang bekerja keras untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit miliknya. Lihatlah kebun seluas hampir 25 hektar itu sebentar lagi akan dipanen dan hasilnya pasti belasan juta rupiah.
“Titip salamku untuk ayah, Ainun!,” itulah kata-kata yang diucapkan Rizal sebelum berangkat pergi.
“Ayahku berada di tempat yang jauh sekarang,” sahut Ainun sejujurnya.
“Di tempat jauh ? dimana ?,” lelaki muda itu seperti heran.
“Usahanya bangkrut, ayah terpaksa alih profesi.”
“Sebagai apa?”
“Tidak banyak yang dilakukannya pada saat krisis moneter di negeri kita terus berlangsung. Mau membuka usaha apalagi di era serba terpuruk dan sulit seperti sekarang? Masih untung petani kelapa sawit tidak terkena imbas krisis itu. Mau tidak mau ayahku harus bersandar pada menantu dengan menjadi pengawas di salah satu kebunnya di kawasan Riau.”
“Dan ayahmu kerasn tinggal jauh dari rumah?”
“Justru ayahku mendapat ketenangan hidup disana. Ayah dapat beribadah dengan tenang di tempat yang jauh dan sepi.”
“Aku akan selalu ingat, ayahmu adalah seseorang yang baik.”
“Kamu selalu memuji ayahku.”
“Tentu, karena ayahmu selalu menyambut kedatanganku dengan wajah bersih.”
“Lalu ibuku bagaimana?”
“Dari sikapnya, aku sudah dapat membaca ibumu tidak menyukai diriku.”
Ainun hanya tersenyum ketika lelaki muda itu akhirnya melangkah pergi oleh langkahnya.
***
A
|
ngin malam berhembus giris membawa udara dingin di areal perkebunan kelapa sawit itu. Hampir satu dua bintang yang tampak di langit karena mendung tipis yang menutupi langit. Kawasan perkebunan itu benar-benar sepi. Yang terdengar hanya desau angin mempermainkan daun-daun pohon kelapa sawit ditambah dengan suara j
jangkrik bersahut-sahutan. Sesekali terdengar suara kelelawar menggelepar dan diselingi suar burung hantu. Lolong anjing yang terdengar di kejauhan menambah kesan seolah-olah di kawasan itu akan terjadi sesuatu.
Suara burung hantu dan lolong anjing yang terdengar sayup-sayup di tengah malam yang hening itu membangunkan seorang pengawas kebun yang sedang tidur lelap. Tiba-tiba saja bulu kuduknya berdir, seperti ada sesosok hantu di sekitarnya.
Lelaki itu meraih pedang panjang yang selalu ada di sisi tempat tidurnya. Pedang itu amat tajam. Bila ada harimau menerkam, pasti pedang tajam itu akan menebas batang lehernya. Tapi selama lelaki itu menjadi penghuni kebun, tidak pernah terdengar si raja hutan itu masuk kawasan pemukiman penduduk. Tidak pernah memasuki kawasan kebun.
Sesaat lelaki yang pernah menjadi pengusaha toko mesin-mesin kantor itu memandang sekitarnya. Tidak ada apa-apa. Lelaki itu mengintip dari celah jendela dan di luar tidak ada apa-apa. Hanya daun-daun pohon kelapa sawit yang bergerak-gerak karena dihempaskan angin yang berhembus giris membawa udara dingin.
Lolong anjing itu seperti member tahu ada sesuatu, pikir lelaki setengah baya itu. Suara burung hantu pun masih terdengar. Tidak pernah dirasakannya suasana yang mencekam seperti malam itu, ketika terdengar lolong anjing dikejauhan dan suara burung hantu. Awan pun menutupi bintang-bintang sehingga suasana malam benar-benar kelam dan senyap.
Perlahan sekali lelaki itu membuka pintu pemondokannya. Pedang terhunus sudah tergenggam erat di tangan kanan dan senter ada di tangan kirinya. Pedang terhunus itu siap untuk menebas segala makhluk yang akan mengganggu.
Di pelataran pemondokan yang terletak di tengah kebun kelapa sawit itu, lelaki itu memandang keliling lagi. Tidak tampak apa-apa selain daun-daun pohon kelapa sawit yang terus bergerak dipermainkan angin. Dan lolong anjing di kejauhan terus terdengar sayup-sayup. Malam semakin kelam, semakin gelap. Malam tetap saja sepi dan gelap. Suasana di tengah kebun memang mencekam pada malam hari yang gelap. Rumah-rumah warga terletak saling berjauhan. Pohon-pohon kelapa sawit yang buahnya sesaat lagi dipanen daunnya amat rindang menambah gelap suasana kebun itu.
Meskipun bulu kuduk lelaki itu berdiri, tapi tidak ada rasa takut di hatinya. Sebab dia selalu dekat dengan Tuhan. Sejak kembali dari Tanah Suci, ibadahnya semakin kental. Dia merasa Tuhan selalu ada disisinya dan malaikat pun selalu melindungi dirinya. Di malam kelam itu pun, ketika suara burung hantu terus terdengar, dia merasa malaikat ada disisinya.
Seperti ada sesuatu yang tidak beres! Itulah yang terdetak di hatinya. Nalurinya seperti mendengar bisikan, bahwa ada sesuatu yang terjadi di kebun milik menantunya. Dengan amat hati-hati dan diiringi doa, lelaki itu melangkah menyusuri kebun. Sebentar-sebentar senter di tangan kirinya menyala terang benderang. Dan kelelawar pun menggelepar kaget lalu terbang.
Lelaki itu terus melangkah dan terus melangkah. Sebentar lagi, tidak sampai sepekan lagi, buah kelapa sawit yang amat subur itu akan di panen. Jangan sampai ada yang mencuri buah-buah segar yang sesaat lagi akan menghasilkan berjuta-juta uang.
Dan lelaki itu tetap menyadari, bahwa negeri ini belum aman. Kejahatan selalu terjadi dimana-mana dan terkadang amat sadis, korbannya dilukai atau dibunuh. Perampokan, pencurian. Pemerasan adalah peristiwa sehari-hari di negeri ini. Bahkan membakar rumah warga seperti sudah tidak mengagetkan warga lagi. Sudah lama, sudah bertahun-tahun sejak negeri ini dilandai berbagai krisis, hukum tidak lagi ditegakkan sebagaimana mestinya. Pelanggaran hukum ada dimana-mana.
Di kota, preman merajalela meresahkan masyarakat. Pengedar sabu-sabu sudah sering di dor, tapi dari hari ke hari jumlahnya makin banyak. Di desa aksi pencuri makin marak. Bahkan makin berani.
Lebih dari dua ratus dua puluh juta penduduk negeri ini merasa hidupnya tidak lagi tenteram. Apalagi nyaman. Pemilik mobil sewaktu-waktu dapat kehilangan mobilnya. Nasabah bank yang tewas setelah ditembak penjahat sudah sering terjadi. Kebrutalan semakin menjadi-jadi di negeri tercinta ini. Nyawa manusia seakan tidak berharga lagi, lebih berharga lagi ikan asin. Kejahatan tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di desa-desa terpencil.
Senjata api pun saat ini sudah banyak beredar dimana-mana sehingga orang yang tewas ditembus peluru para penjahat semakin banyak yang berjatuhan. Mencari nafkah pun tidak tenteram, padahal uang amat sulit diperoleh. Berjualan juga tidak aman sebab preman selalu meminta uang dengan paksa.
Yang namanya ninja atau para penjarah kebun kelapa sawit juga selalu beraksi dibeberapa perkebunan. Dan ninja itu pula yang sedang beraksi di tengah malam sepi di sebuah perkebunan di perbatasan Riau itu. Dua truk sudah penuh dengan muatan kelapa sawit hasil jarahan yang dilakukan oleh 6 orang lelaki bertopeng. Dua orang satpam penjaga keamanan di perkebunan itu tidak mampu berkutik lagi setelah mulut keduanya disumbat dan satpam yang malang itu diikat pada pohon.
Ketika itulah senter di tangan kiri Haji Faris menyala ke arah salah seorang satpam yang terikat.
“Masya’ Allah!,” lelaki setengah baya itu kaget setengah mati ketika melihat tubuh Kosim, satpam di kebun itu tidak berdaya dalam keadaan terikat. Kasihan satpam yang malang itu. Tangannya terikat ke belakang dan mulutnya di sumbat. Tubuhnya digerayangi semut merah yang ganas. Bahkan mata dan hidungnya juga digigit semut- semut itu.
Haji Faris segera berlari-lari kearah satpam yang malang itu dan buru-buru memutus tali plastik dengan pedang tajam ditangan kanannya.
“Apa yang terjadi, Kosim?,” Tanya lelaki itu.
“Ninja! Ninja!,” cetus sang satpam yang baru saja tangannya terlepas dari ikatan. Satpam itu menggosok-gosok matanya karena terasa amat perih di gigit semut-semut merah.
“Ninja?,” ulang Haji Faris. Dia tahu apa arti ninja, yakni kelompok penjarah perkebunan kelapa sawit yang nekad, bringas dan selalu melukai korbannya. “Dimana mereka ?”
“Mereka ke utara, Pak. Merek enam orang!” satpam yang malang itu menunjuk ke arah utara.
Lelaki yang pernah menjadi pemilik toko mesin-mesin kantor itu terperangah ketika sorot senter di tangannya di arahkan ke pohon-pohon kelapa sawit. Ya, Tuhan. Pohon-pohon itu sudah gundul karena buahnya sudah dijarah di tengah malam yang sepi itu. Pantas anjing di kejauhan terus melolong. Pantas suara burung hantu terus terdengar di malam kelam itu. Anjing dan burung hantu itu seperti memberi tahu, bahwa 6 orang ninja sedang beraksi menjarah kebun kalapa sawit yang sebentar lagi akan dipanen itu.
“Mana Malik?,” lelaki itu bertanya lagi tentang nasib satpam lainnya di kebun kelapa sawit itu.
“Saya khawatir Malik juga mengalami nasib yang sama seperti saya diikat hingga tidak berkutik!. Saya khawatir mereka melukai Malik karena melawan.”
“Ayo kita cari! Ayo kita kejar!,” ajak lelaki itu.
“Tapi mereka banyak, Pak. Mereka enam orang!”
“Tuhan akan melindungi kita!”
Benar saja dari jarak belasan meter dari tempat itu, seorang lagi satpam bernama Malik terikat pada sebatang pohon dengan mulut tersumbat.
“Ninja, Pak! Ninja!,” ujar Malik dengan tubuh gemetar. “Mereka menjarah kebun kita!”
“Dimana mereka?”
“Mereka beraksi di utara!”
“Mereka tidak dapat dibiarkan. Kebun ini akan habis dijarah mereka!. Mereka harus dicegah. Kalau perlu kepalanya harus dipenggal!,” Haji Faris amat marah. Giginya gemeretuk.
“Kepala mereka harus dipenggal! Mereka tidak boleh menjarah kebun ini. Mereka harus dibunuh!” Pak Haji mengacung-acungkan pedang panjang yang terhunus.
“Tapi kita tidak mampu melawan mereka, Pak!,” ujar Kosim ketakutan. “Mereka banyak. Mereka enam orang!”
“Ayo kita kejar mereka!,” ajak lelaki yang membawa pedang panjang itu.
“Kita akan menghadapi bahaya, Pak!,” satpam yang bernama Malik ketakutan.
“Tuhan akan melindungi kita. Pedang ini akan memenggal kepala mereka satu persatu kalau mereka tidak mau diusir dari kebun ini!”
“Apakah kita mampu mencegah mereka?” satpam yang bernama Malik tampak amat ketakutan dan gemetar. Sebab dia baru saja menjadi korban kebringasan para ninja yang bertopeng itu. Tubuhnya diikat pada pohon kelapa sawit setelah perutnya ditentang dan dagunya mendapat hadiah bogem mentah berkali-kali. Bahkan enam orang ninja itu mengancam akan membunuhnya kalau dia melawan. Malik dan Kosim benar-benar ketakutan.
“Ayo kita usir mereka! Akan kutebas batang leher mereka satu persatu!,” ujar Haji Faris lagi tanpa rasa takut. Sekali lagi dia mengacung-acungkan pedangnya yang terhunus.
“Tapi…tapi…,” Kosim dan Malik masih ketakutan.
“Tidak usah takut. Aku akan melindungi kalian berdua!”
Kedua satpam itu masih tetap saja ragu-ragu.
“Mereka tidak dapat dibiarkan! Mereka tidak boleh menjarah kebun ini. Ayo kita usir mereka! Aku yang akan memisahkan kepala mereka dari badannya! Kebenaran ada di pihak kita kerena itu Tuhan akan melindungi kita. Karena itu kita tidak boleh takut!”
Lelaki setengah baya itu menarikkan tangan kedua satpam itu untuk mengusir ninja yang sedang memuat buah kelapa sawit yang mereka petik di malam yang gelap dan sepi itu. Dua unit Kijang tua sudah hampir penuh dengan buah kelapa sawit yang mereka jarah hampir sepanjang malam. Pohon-pohon kelapa sawit itu gundul sekarang.
“Bismillaahi tawakkaltu ‘ala laahi walaa haula walaa quwata illah billahi,” sekali lagi lelaki itu mengacungkan pedangnya setelah mengucap doa perlindungan dari Tuhan. Dengan doa itu Haji Faris yakin akan memperoleh perlindungan dari Allah. Bahkan syeitan pun akan menyingkir.
Tiga lelaki itu berlari ke arah utara, padahal ninja yang akan mereka hadapi berjumlah 6 orang dan semua bersenjata golok tajam. Bahkan salah seorang dari ninja bertopeng itu membawa senjata panah beracun. Sekali anak panah itu melukai tubuh, dalam waktu sesaat kemudian sang korban akan mati mengenaskan.
“Lihat, itu mereka! Itu ninja!,” ujar Kosim ketika melihat dua mobil Kijang tua yang hampir penuh dengan muatan kelapa sawit hasil jarahan di kebun itu.
“Kurang ajar!,” gerutu Haji Faris amat geram bercampur marah. Benar-benar tidak ada rasa takut di hatinya. “ Mereka harus diberi pelajaran. Mereka harus dicegah! Kepala mereka harus dipenggal. Aku tidak rela mereka menjarah satu biji pun buah kelapa sawit ini!”
Dengan pedang terhunus, Haji Faris segera memberi peringatan:
“Hentikan! Hentikan menjarah kebun ini!”
Dua orang yang memuat buah kelapa sawit yang masih segar itu kaget. Apalagi sorot senter yang amat menyilaukan mata diarahkan tepat ke wajah mereka yang ditutupi dengan topeng hitam.
“Turunkan kembali kelapa sawit itu!,” teriak Haji Faris lantang. “Itu bukan hak kalian!”
Dua orang ninja memandang ke arah Haji Faris. Empat orang ninja lainnya sedang memetik buah kelapa sawit dari pohonnya.
“Hentikan! Atau kepala kalian akan kupenggal?,” teriak Haji Faris lagi. Suaranya menggelegar di malam yang senyap dan gelap.
Sesaat kedua ninja itu saling berpandangan.
“Ayo cepat turunkan kelapa sawit itu!,” teriak Haji Faris lagi. Pedang terhunus sudah siap untuk diayunkan, untuk menebas batang leher ninja itu satu demi satu.
“Kami rakyat miskin! Kami hanya mengambil sebagian!,” sahut salah seorang ninja itu.
“Kamu pikir kebun ini milik nenek moyang kalian? Ha? Seenaknya menjarah kebun milik orang yang dikerjakan dengan susah payah.”
“Kami miskin! Orang kaya tidak pernah menyisihkan uangnya untuk rakyat miskin!,” sahut salah seorang lelaki bertopeng yang biasa disebut ninja.
Suara ninja itu parau memecah kesunyian malam. Lolong anjing di kejauhan masih terus terdengar. Suara burung hantu juga masih tetap kedengaran menambah kelamnya malam.
“Kami butuh makan. Kami lapar. Kami rakyat kecil yang tidak punya apa-apa!,” salah seorang ninja itu berkata lagi.
Saat ini amat banyak orang-orang berkata atas nama rakyat miskin. Sekarang sangat banyak orang berbicara atas nama rakyat kecil yang lapar. Masyarakat sudah amat jemu mendengar orang-orang berbicara atas nama rakyat yang tertindas, atas nama rakyat kecil yang menderita dan miskin. LSM yang berkoak-koak atas nama korban gusuran juga amat banyak. Juga ada yang berteriak-teriak mengatas namakan rakyat sengsara selalu terdengar dimana-mana.
Apalagi elit politik sudah amat sering berbicara atas nama rakyat yang butuh makan dan lapangan pekerjaan.
“Kalian tidak berhak! Kalian tidak berhal!,” teriak Haji Faris lagi. “Turunkan kembali kelapa sawit itu!”
Kedua ninja itu tidak bergeming. Bahkan dari tengah kebun muncul dua orang lagi mengangkut buah segar kelapa sawit untuk dinaikkan dalam Kijang tua yang sudah sarat dengan buah kelapa sawit hasil jarahan.
“Kalian tahu kelapa sawit itu ditanam dengan susah payah? Kalian tahu kebun ini dibangun dengan memeras keringat? Tidak ada orang lain yang berhak. Kalian ninja? Kalian perampok. Kalian maling. Kalian penjahat! Kalian penjarah. Sudah berapa banyak masyarakat yang menjadi korban ninja?,” suara Haji Faris memecah kesunyian malam.
“Ayo pergi! Pergiii!,” suara lelaki itu menggelegar di malam yang sepi. Tapi ninja itu tetap saja tidak bergerak.
“Ayo turunkan kelapa sawit itu dan pergi!”
Kata-kata itu tetap saja tidak membuat ninja itu bergeming. Lelaki bertopeng itu tetap saja melakuka aksinya. Tidak perduli dalam keremangan malam di depan mereka tampak lelaki itu menghunuskan pedang tajam yang mengkilat.
Tanpa rasa takut lelaki setengah baya yang pernah menjadi pengusaha mesing-mesin kantor itu maju selangkah demi selangkah. Lelaki itu sudah amat dekat dengan para penjarah yang memang benar-benar nekad dan bringas itu. Setelah amat dekat, lelaki itu segera mengayunkan pedang terhunus di tangannya. Lelaki itu benar-benar nekad untuk memenggal kepala para penjarah itu.
Tapi bagaikan kilat sang penjarah itu mengelak. Pedang terhunus itu mendesing karena hanya mengenai angin. Justru ninja itu menghunus golok tajam.
“Mundur, Pak! Mundur!,” salah seorang satpam yang baru saja diikat di pohon itu memberi peringatan. Tapi Haji Faris tetap saja tidak gentar. Sekali lagi dia mengayunkan pedang terhunus di tangannya. Sekali ini pedang itu memang tidak meleset, namun ninja yang terkena tidak tepat pada batang lehernya. Pedang itu hanya mengenai pundak kemudian darah segar mengucur. Sang ninja segera roboh di samping mobil tua itu dan tubuhnya terbentur pada tumpukan kelapa sawit yang akan dinaikkan dalam mobil tua itu. Sekali lagi pedang panjang di tangan lelaki itu terayun amat keras ke arah ninja lainnya,tapi sang ninja tampak terlatih dan amat sigap menangkis dengan golok di tangannya.
Pertarungan sengit segera terjadi di tengah kebun kelapa sawit yang sepi dan gelap itu. Berkali-kali Haji Faris mengayunkan pedang terhunus di tangan kanannya, tapi selalu di tangkis dengan golok di tangan para ninja itu. Mereka benar-benar mampu membela diri. Para ninja itu seperti terlatih. Bahkan gaya mereka mengelakkan pedang tajam itu bagaikan aparat yang memang benar-benar terlatih.
Sekali lagi dan sekali lagi Haji Faris mengayunkan pedang terhunus di tangannya. Tapi sebelum sempat pedang itu melukai ninja-ninja itu, tiba-tiba saja Haji Faris roboh dan tubuhnya terhempas dekat tumpukan buah kelapa sawit yang baru saja dipetik oleh para penjarah itu. Sebuah anak panah beracun tertancap di punggung lelaki itu. Dan lelaki itu tidak berdaya lagi.
Angin malam berhembus giris. Lolong anjing dang suara burung hantu terus terdengar di malam yang sepi dan amat gelap itu. Tidak banyak darah mengucur dari punggung lelaki itu yang terkena anak panah beracun. Tapi racun itu segera masuk ke dalam darah, masuk ke dalam jantung, masuk ke dalam paru-paru dan ginjalnya.
Panah beracun itulah yang membuat lelaki setengah umur itu tidak berdaya lagi. Dia roboh mencium tanah.
“Pak Haji! Pak Haji terluka?,” satpam bernama Kosim mengguncang tubuh Haji Faris yang tertelungkup. Namun Haji Faris tidak mampu menyahut lagi.
“Astaga. Pak Haji sudah meninggal,” gumam satpam bernama Malik yang membuka kelopak mata lelaki itu tidak berkedip lagi. Nadinya juga tidak berdenyut lagi.
Lima orang ninja segera naik ke atas Kijang tua itu setelah mengusung teman mereka yang terluka. Hanya beberapa saat setelah panah beracun itu tertancap di punggung lelaki yang pernah menjual mesin tik Olivetti, Royal, Remington dan mesin stensil Gestetner itu akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di bawah pohon kelapa sawit.
Yang menyaksikan lelaki itu menghembuskan nafas terakhir hanya dua orang satpam yang telah memberinya peringatan berkali-kali agar Haji Faris tidak terlalu nekad mengusir para penjarah kelapa sawit itu. Sudah amat banyak korban-korban seperti itu terjadi. Kasihan lelaki itu. Dia telah pergi untuk selamanya di tempat yang sepi dan gelap.
Ratap tangis terdengar amat mengharukan ketika jenazah lelaki itu diusung untuk dikebumikan di kompleks pemakaman umum Sungai Mati. Pada saat jenazah itu di sholatkan di Masjid Ubudiyah orang-orang yang ikut melaksanakan sholat amat banyak, hingga melimpah ke halaman masjid. Itulah tandanya Haji Faris adalah warga yang baik semasa hidupnya.
Dan salah seorang yang ikut melaksanakan sholat jenazah di masjid itu adalah seorang lelaki muda yang baru saja lulus dari Fakultas Tekni jurusan Sipil. Dan lelaki muda itu adalah Rizal yang dulu selalu mengajak Ainun ke pinggir laut dan menyaksikan ombak berdebur, memandang elang yang menyambar dari tengah laut. Ainun sudah amat sering merebahkan kepalanya di dada lelaki itu.
Lelaki muda itu tampak amat sedih. Meskipun dia adalah seorang lelaki yang berhati tegar, tapi pada saat seorang lelaki yang pernah menjadi pemilik toko mesin-mesin kantor itu meninggal, dia amat sedih dan tidak mampu membendung air mata. Sebab dia merasa lelaki setengah baya itu amat baik kepadanya. Tiap kehadirannya selalu disambut dengan wajah manis. Terkadang Rizal diajak bicara tentang perjuangan Rasul dalam menegakkan Islam dan tantangannya amat banyak.diludahi musuhnya Rasuk juga pernah. Dia lempar dengan batu juga sudah sering terjadi.
Betapa beda dengan Bu Azizah yang tampak jelas di wajahnya sikap tidak menghendaki kehadirannya.
“Aku merasa takut kehilangan, Ainun!,” itulah ucapan lelaki itu ketika menyampaikan ucapan dukacitanya yang amat dalam kepada Ainun yang perutnya tampak seperti nangka masak karena kehamilannya. “Ayahmu tampak baik kepadaku dan kepada siapa saja.”
“Takdir Tuhan telah terjadi,” sahut Ainun dengan mata basah.
“Andainya ayahmu tidak berada di tempat jauh mungkin tragedy ini tidak pernah terjadi.”
Ainun tidak mampu berkata apa-apa.
“Ayahmu tidak inin berpangku tangan setelah tokonya bangkrut diterpa kemajuan teknologi. Ayahmu pernah berkata kepadaku untuk membuka usaha warung sembako,” ujar lelaki itu lagi.
“Ya! Dan akulah yang paling keras mencegahnya!,” sahut Ainun masih dengan mata basah.
“Kenapa kamu mencegahnya? Bukankah usaha warung sembako adalah halal?”
“Tidak selayaknya ayahku membuka usaha seperti itu. Hanya menyebabkan ayah kehilanfan martabat. Ayah pernah memiliki usaha mesin-mesin kantor dan usaha itu pernah mencapai puncaknya. Langganan dari berbagai instansi pemerintah amat banyak. Lalu bagaimana pandangan orang kalau ayahku membuka usaha warung sembako? Aku tidak ingin melihat ayah kehilangan martabat.”
“Seharusnya kamu membuang pikiran semacam itu jauh-jauh,” lelaki muda itu menatap sepasang mata Ainun yang masih basah karena derai air matanya. Dulu Rizal selalu menatap sepasang mata itu amat dalam. Dulu Rizal selalu membelai rambutnya, selalu mendekap tubuh Ainun amat erat, hingga Ainun merasa tubuhnya remuk. Dulu Ainun amat senang diajak menyaksikan jamuan laut dan melihat sang pawing mempersembahkan kepala kambing jantang kepada penguasa laut bernama Mambang Laut.
“Ayahku lebih layak menjadi pengawasa kebun kelapa sawit milik suamiku. Tanpa ada seseorang yang dapat dipercaya untuk mengawasi kebun itu, pasti akan hancur.”
“Lalu ayahmu bagaikan seorang manajer di kebun yang sepi dan jauh itu?”
“Ya, katakanlah sebagai manajer. Apa salah ayahku menjadi orang kepercayaan menantunya sendiri? Bang Dame juga amat senang ayah mengawasi kebun itu sepenuhnya.”
“Tapi akhirnya sekelompok ninja telah menyebabkan kematian itu harus terjadi. Kamu telah kehilangan seorang ayah. Tidak hanya kamu, tapi juga aku. Sebab ayahmu adalah seorang lelaki yang baik.”
Sesaat Ainun menunduk. Air matanya berdari lagi. Kepergian seorang ayah terlalu memukul jiwanya. Apalagi kematian sang ayah secara tidak wajar. Sang ayah tewas ketika mempertahankan kebenaran. Sang ayah tewas ketika mengusir sekelompok ninja yang memang sudah amat sering menjarah perkebunan kelapa sawit, tidak hanya milik swasta, tapi juga milik pemerintah padahal kebun itu dikawal aparat.
“Ayahmu pasti akan ikut bergembira kalau mendengar aku sudah menyelesaikan kuliahku, bahkan sekarang aku sedang menunggu hasil testing untuk bekerja di sebuah be-u-em-en,” terdengar lagi suara lelaki muda itu.
“Aku ikut senang mendengarnya, Rizal. Semoga Tuhan memperkenankan kamu cepat mendapatkan pekerjaan dan juga jabatan. Biasanya sarjana teknik cepat menduduki jabatan penting dan kesempatan mengikuti sekolah ke luar negeri selalu terbuka lebar.”
Pada saat jenazah itu diusung, lelaki muda itu juga ikut mengusungnya. Keranda jenazah itu terasa ringan, tandanya yang meninggal itu tidak memiliki dosa. Bahkan pada saat jenazah itu diturunkan ke liang lahat, Rizal juga ikut menurunkannya. Tidak perduli cenala jinsnya berlumpur dan kotor karena kompleks pemakaman itu baru saja diguyur hujan lebat.
***
J
|
enazah lelaki itu sudah dikebumikan di kompleks pemakaman umum Sungai Mati. Seorang isteri yang amat setia telah kehilangan suaminya, padahal sang suami senantiasa membimbingnya pada saat menunaikan ibadah haji dulu, apalagi pada saat tawaf, sai dan ketika melempar 3 jamrah yang amat penuh dengan tantangan. Kematian pun sering terjadi di tempat itu.
Dua orang puteri, Ainun dan Fadilah telah kehilangan seorang ayah. Dan seorang menantu telah kehilangan sang mertua yang telah diberi kepercayaan penuh untuk menjadi pengawas dan sekaligus menjadi manajer perkebunan kelapa sawit yang baru dibelinya.
Dan kepergian sang mertua yang tidak akan pernah kembali itu amat banyak menyisakan berbagai ungkapan orang.
“Andainya Haji Faris membuka usaha sembako pasti kematian tidak akan menimpanya,” ujar ucapan salah seorang kerabat dekat.
“Mungkin kebun itu yang membawa sial,” ungkap famili yang lain.
“Boleh jadi kebun itu tidak serasi bagi Bang Dame,” sahut anak-anak muda yang masih kerabat dari almarhum.
“Atau Bang Dame yang menjadi penyebabnya. Lihat saja nanti, apakah ada korban-korban berikutnya. Bila memang ada korban lainnya, berarti kebun itu yang membawa sial, atau Bang Dame sendiri yang pembawaannya memang panas atau tuah badan Bang Dame yang kurang baik.”
Gunjingan itu memang selalu terdengar dimana-mana. Tapi Ainun segera membantah.
“Semua itu tidak benar. Kematian ayah semata-mata karena takdir Tuhan. Aksi ninja memang selalu terjadi dimana-mana. Sudah amat banyak perkebunan yang dijarah ninja-ninja itu. Bahkan sudah sering terjadi tindakan brutal para penjarah itu menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Tidak ada hubungannya dengan tuah badan. Tidak ada kaitannya dengan pembawaan Bang Dame yang panas. Semua karena Allah semata.”
Meskipun dengan perut besar, tapi Ainun selalu dengan lantang menangkis dugaan miring tentang kebun yang baru dibeli suaminya. Ainun tidak ingin mendengar ucapan orang bahwa tuah badan suaminya yang kurang baik, sehingga sang ayah meninggal di kebun miliknya.
***
S
|
eorang ayah telah pergi ke tempat yang teramat jauh. Seorang suami telah pergi untuk selamanya. Dan kematian itu menyebabkan seorang isteri harus selalu termenung dan air mata masih selalu berderai meskipun kematian itu terjadi sudah berminggu-minggu berlalu, bahkan sudah lebih tiga bulan. Ranting pohon kemboja yang ditancapkan orang diatas gundukan tanah pusara lelaki itu sudah tumbuh.
Dan pusara itu selalu bersih, karena Bu Azizah masih selalu menziarahinya dan disisi pusara itu pula Bu Azizah selalu membacakan ayat-ayat Qur’an. Air matanya selalu menitik membasahi gundukan tanah pusara itu setiap dia usai membaca ayat-ayat suci lalu diiringi doa yang panjang.
Bu Azizah tidak memperkenankan sehelai rumput pun tumbuh di atas pusara itu. Pusara itu benar-benar bersih. Tidak ada seekor pun kecoa. Bahkan semut yang paling kecil pun tidak ada diatas pusara itu. Apalagi binatang berbisa seperti lipan atau kala jengking. Bahkan semut hitam yang berjalan beriring-iring selalu menghindar dan lewat di pusara orang lain.
Bila diatas pusara itu selalu ada tebaran kembang-kembang aneka warna dan aromanya harum, pastilah yang menebarkannya adalah seorang isteri yang setia, Bu Hajjah Azizah.
Dan di rumah pun Bu Azizah selalu melantunkan ayat-ayat Qur’an. Doanya selalu panjang. Bahkan Bu Azizah terkesan enggan keluar dari kamarnya. Andainya duduk di ruang keluarga, perempuan berkaca mata putih itu selalu termenung. Nonton tv baginya sama sekali tidak menarik perhatiannya. Makan pun hanya sedikit. Apalagi ke pasar untuk berbelanja sayur, dia sama sekali enggan. Meskipun puteri bungsunya sengaja memasak anyang pakis masakan kegemarannya, hanya sedikit Bu Azizah menikmatinya.
“Ibu tidak boleh murung terus!,” Ainun yang perutnya semakin besar itu selalu memperhatikan keadaan sang ibu.
“Ibu masih selalu terkenang kepada ayah!”
“Mendoakan ayah boleh-boleh saja, tapi ibu tidak boleh larut dalam kesedihan.” Terdengar suara Ainun mengusap pundak ibunya dengan perasaan amat iba.
“Ayahmu seakan tidak pernah pergi dari rumah ini,” ucap sang ibu lagi. “Ayahmu seakan tetap ada disisi ibu.”
“Ibu harus merelakan kepergian ayah.”
Bu Azizah termenung lagi.
“Ibu harus mencari kesibukan sendiri, biar terhindar dari kesedihan yang berlarut-larut. Kalau ibu terlalu memikirkan kepergian ayah, ibu akan jatuh sakit.”
“Rasanya ibu enggan untuk berbuat apa saja.”
“Ibu masih selalu menghadiri majlis ta’lim, bukan?”
“Ya. Itulah yang terkadang menghibur hati ibu.”
Ainun masih mengusap pundak ibunya dengan kasih saying bercampur perasaan kasihan. Dia bersyukur ibunya masih selalu menghadiri ceramah yang disampaikan Al Ustaz Hafid Yazid, tapi saying majlis ta’lim itu hanya sekali dalam seminggu, hanya pada hari jum’at sore. Lalu hari-hari selanjutnya sang ibu kembali selalu termenung dan murung, kembali menitikkan air mata.
“Ada pesan penting dari Bang Dame,” sang puteri yang sedang hamil itu menyebut nama suaminya.
“Apa pesannya?” perlahan sekali sang ibu menatap anaknya yang kini hidup mapan disisi seorang lelaki yang memiliki kebun kelapa sawit.
“Ibu tidak boleh murung terus menerus. Ibu tidak boleh larut dalam kesedihan. Ibu harus berbuat sesuatu.”
Sang ibu hanya menghela nafas panjang dan meremas jari-jemari tangannya sendiri.
“Bang Dame juga berpesan ada sesuatu yang harus ibu lakukan untuk menyingkirkan kesedihan di hati ibu.” Lagi-lagi Ainun yang perutnya besar seperti karung beras itu menyebut nama suaminya.
“Agar ibu selalu berzikir dan dekat dengan Tuhan, begitukah? Kalau memang itu pesannya, ibu sudah melakukannya. Lihat tasbih ini selalu dekat di jari tangan ibu. Setelah ayah tidak ada, tasbih ini seakan menjadi teman ibu tiap saat, siang malam dan juga ketika tidur,” sang ibu mengangkat tangannya dan menunjukkan seuntai tasbih di tangannya yang dulu dibelinya ketika pulang dari tawaf sunat di Masjidil Haram.
Ainun masih sempat memperhatiakn seuntai tasbih di jari tangan ibunya. Astaga, biji-biji tasbih itu ternyata basah karena ditetesi air mata.
“Tasbih ini basah, Bu. Basah karena air mata ibu.” Cetus Ainun dengan perasaan semakin sedih dan iba.
Sang ibu tidak mampu menyahut.
“Bang Dame sangat sedih kalau mendengar ibu masih selalu menangis. Tidak hanya bersedih, tapi justru merasa sangat berdosa, seakan kematian ayah penyebabnya adalah Bang Dame. Ada penyesalan yang amat besar di hati Bang Dame, seolah-olah Bang Dame adalah penyebab kepergian ayah. Dia amat menyesal. Dia merasa amat berdosa. Itulah sebabnya ribuan kali Bang Dame mengucapkan istighfar. Bang Dame tidak henti-hentinya memohon ampun andainya memang dia yang menyebabkan kematian ayah. Bang Dame ingin bebas dari perasaan berdosa itu,” terdengar lagi suara Ainun dan tangannya masih di pundak ibunya.
“Tidak Ainun! Tidak! Suamimu tidak berdosa. Ayahmu meninggal bukan karena suamimu, tapi memang karena takdir. Tuhan sudah menentukan ayahmu menghembuskan nafas terakhir bukan di rumah ini dan tidak disisi ibu.”
“Ibu berkata sungguh-sungguh? Ibu tidak merasa bahwa ayah meninggal bukan karena Bang Dame?”
“Demi Tuhan tidak! Demi Allah tidak ada perasaan seperti itu dihati ibu. Suamimu tidak berdosa.”
“Oh, syukurlah!,” Ainun memeluk ibundanya.
“Katakan kepada suamimu, ibu benar-benar ikhlas ayahmu menghadap Allah. Suamimu seorang lelaki yang baik, anakku. Kau tidak salah pilih.”
“Ada tawaran Bang Dame untuk ibu dan Ainun yakin ibu pasti akan menerimanya denga gembir.” Ainun menatap wajah ibunya. Sejak sang ayah meninggal sepasang mata ibunya yang selama ini selalu tampak bening, kini terlihat cekung dan kehilangan sinar.
“Suamimu menawarkan apa kepada ibu?”
“Umroh! Perjalanan umroh selalu diinginkan banyak orang yang merasa selalu dekat dengan Allah. Ibu tidak ingin lagi menjejakkan kaki di Madinah dan sholat di Masjid Nabawi? Ibu tidak ingin sekali lagi hadir di Masjidil Haram dan melakukan tawaf serta sholat di sana? Ibu pasti ingin sekali lagi hadir di Arafah dan mendaki Jabal Rahmah kemudian berdoa untuk Fadilah disana. Bukankah ibu selalu berkata, bahwa doa di Jabal Rahmah sangat makbul untuk jodoh anak. Dengan doa ibu disana, Fadilah akan mendapatkan jodoh orang yang baik dan hidupnya mapan.”
Sang ibu tidak memberi reaksi. Bahkab Bu Azizah sesaat termenung mendengar tawaran itu.
“Umroh adalah perjalanan yang penuh ritual dn ibadah. Ibu pasti menginginkannya. Bersiaplah untuk berangkat umroh, Bu. Bang Dame sudah menyediakan biaya untuk itu.”
“Terima kasih atas kebaikan hati suamimu, Ainun.” Hanya itu yang diucapkan sang ibu lalu kembali termenung.
“Kalau begitu bersiaplah ibu berangkat bulan depan. Bang Dame yang akan mengatur keberangkatan ibu. Isnya Allah bulan depan ibu sudah dapat berangkat. Bang Dame sengaja memilik biro perjalanan dan bimbingan manasik haji yang terbaik.”
“Tidak usah bulan depan, Ainun,” perlahan sekali Bu Azizah mengangkat wajahnya dan menatap wajah puterinya.
“Kenapa tidak usah bulan depan? Apa lagi yang ditunggu?”
“Bukankah waktunya kamu melahirkan sudah dekat? Ibu tidak akan sampai hati meninggalkanmu melahirkan tanpa didampingi ibu. Ibu ingin membuat ramuan selusuh untukmu. Keluarga Melayu selalu tidak sepenuhnya menyerahkan proses melahirkan anak pada dokter ahli, tapi masih diperlukan bantuan lain.”
“Bantuan lain dalam bentuk apa?,” Ainun menatap amat dalam wajah ibunya.
“Ada cara-cara tradisional yang selalu dilakukan keluarga Melayu pada saat akan melahirkan dan kebiasaan itu tidak boleh ditinggalkan sampai kapan pun. Sebab kebiasaan itu juga mengandung nilai dan doa yang amat tinggi. Ibu harus membuatkan ramuan selusuh agar persalinanmu lancer dan mudah.”
“Terima kasih, Bu. Tapi seminggu setelah bayi Ainun lahir, ibu boleh langsung berangkat umroh!,” ujar Ainun lagi.
“Tidak harus buru-buru, Anakku.”
“Kenapa? Ainun bisa merawat bayi sendiri nanti. Ainun tidak ingin keberangkatan ibu menunaikan ibadah umroh tertunda.”
“Tidak, Ainun!”
“Kenapa?”
“Ibu merasa tidak mampu…” tiba-tiba wajah Bu Azizah tertunduk lagi. Mendadak wajahnya berubah jadi amat muram.
“Kenapa tidak mampu, Bu? Bukankah melaksanakan umroh tidak seberat ibadah haji? Ibu sudah pernah tawaf, sai, wuquf di Arafah dan melontarkan jamrah. Kenapa untuk umroh ibu merasa tidak sanggup? Bukankah tidak ada wuquf, tidak ada melontar jamrah yang tantangannya adalah maut?”
Pertanyaan itu hanya menyebabkan wajah Bu Azizah semakin murung dan tiba-tiba air matanya berderai. Hatinya mendadak amat sedih dan dia tidak mampu membendung air mata.
“Ibu tidak sanggup. Demi Tuhan ibu tidak sanggup…” suara perempuan berkaca mata putih kelahiran Serdang Bedagei itu terbata-bata. Ainun amata heran dan segera mengguncang lengan ibundanya dengan perlahan.
“Kenapa tidak sanggup, Bu? Fisik ibu masih segar. Tubuh ibu masih segar dan ibu tidak mempunyai penyakit apapun. Ibu segar bugar dan usia pun belum terlalu tua untuk pergi umroh. Lagipula kabarnya Bu Jamilah juga akan berangkat umroh. Ibu dapat pergi bersamanya.”
Bu Azizah tetap menggeleng dan sukar baginya untuk berkata-kata. Air matanya masih berderai.
“Kabarnya Bu Jamilah pergi umroh sampai ke Palestina sampai ke Baitul Maqdis. Tidakkah ibu ingin menjejakkan kaki di Masjidil Aqsa yang dulu adalah milik umat Islam sedunia dan kini dikuasai Yahudi? Berjuta-juta umat ingin melaksanakan sholat di masjid yang dulu pernah menjadi kiblat setiap umat Islam. Umat Islam sedunia pasti ingin hadir di tempat suci itu. Tapi kenapa ibu merasa tidak mampu?”
“Terlalu sukar, anakku. Terlalu sulit untuk mengatakannya.”
“Kenapa sukar? Apa yang sulit, Bu?” sekali lagi dengan perlahan Ainun mengguncang lengan ibundanya.
Dengan air mata berderai, sepasang bibir Bu Azizah bergetar mengungkap isi hatinya.
“Terus terang, dulu ibu menginjakkan kaki di Tanah Suci bersama ayahmu. Karena bimbingan ayahmu ibu dengan lancer melakukan tawaf dan dengan mudah pula melakukan sa’i. Ayahmu yang memegang tangan ibu erat-erat sehingga ibu tidak sempat terhempas di atas batu-batuan pada saat kaki ibu tergelincir di Jabal Uhud. Ayahmu pula yang melindungi ibu pada saat melontar jamrah, padahal lebih dua juta umat berjejal di sana dan setiap saat seseorang dapat saja mati terpijak-pijak jamaah berkulit hitam dan tubuh seperti raksasa itu. Namun sekarang, ayahmu sudah tidak ada. Siapa lagi yang akan menjaga ibu disana? Siapa lagi yang akan melindungi ibu dan menolong pada saat ibu mengalami kesulitan? Sungguh tidak ada. Ibu tidak sanggup pergi sendiri…”
“Tapi Tuhan akan melindungi ibu. Malaikat pun akan turut menjaga ibu. Percayalah, ibu akan selamat dan kepergian ibu akan mendapatkan ridho Allah.”
“Demi Tuhan, ibu tidak sanggup. Ibu khawatir kepergian ibu untuk umroh seorang diri akan menyebabkan ibu akan selalu terkenang kepada almarhum ayahmu. Ketika menjejakkan kaki di Madinah, pasti ibu akan terkenang ayahmu. Ketika memasuki Masjidil Haram dan di depan ka’bah pasti ibu akan terkenang kembali pada ayahmu. Ibu akan sangat merindukan ayahmu padahal dia sudah pergi sangat jauh dan tidak mungkin hadir disisi ibu. Ibu tidak sanggup kalau kenangan itu terlalu menyiksa batin ibu. Ibu akan jatuh sakit nanti. Ibu akan meninggal disana nanti…”
“Oh,ibu,” Ainun segera memeluk ibundanya. Dia juga tidak mampu membendung tangis dan air matanya berderai-derai seperti hujan yang amat lebat.
“Bang Dame sangat ingin ibu pergi melaksanakan umroh agar ibu dapat beribadah dengan tenang. Mungkin dengan pergi umroh, ibu akan memperoleh kesejukan. Mungkin dengan pergi umroh ibu akan mendapatkan ketenangan jiwa. Mungkin dengan pergi ke Tanah Suci ibu akan mendapatkan ketentraman dan mampu melupakan almarhum ayah. Tapi justru sebaliknya.”
“Ibu terlalu mencintai ayahmu, Ainun. Ayahmu terlalu baik kepada ibu dan kepad siapa saja. Meskipun akhirnya usaha ayahmu bangkrut, dia masih saja selalu baik kepada orang lain.” Perempuan berkaca mata putih itu menyeka air mata di pipinya.
“Semua anak-anak ibu juga sangat mencintai ayah,” sahut Ainun.
“Masih terlalu sukar bagi ibu untuk melupakannya. Ibu merasa seolah-olah ayahmu tetap hidup dan ada di tengah-tengah kita.”
“Ainun hanya berharap suatu saat ibu berkenan pergi umroh, mumpung Bang Dame mampu membiayai hingga ke Baitul Maqdis atau hingga ke Mesir.”
“Suatu saat nanti, ibu akan memenuhi anjuran suamimu,” Bu Azizah sekali lagi menyeka air mata di pipinya.
“Kalau mungkin setelah Ainun melahirkan dan Ainun akan menemani ibu berangkat. Ainun juga ingin umroh.”
“Ya, suatu saat nanti.”
Ibu dan anak itu saling berpelukan erat. Betapa mereka amat mencintai seorang lelaki bernama Haji Faris yang berarti penunggang kuda yang perkasa. Dan di penumpang kuda yang perkasa itu telah terbaring dengan tenteram di kompleks pemakaman umum Sungai Mati.
Lelaki itu tidak sempat meminang cucunya yang lahir dari rahim puteri sulungnya Ainun. Seorang bayi perempuan yang mungil dan secantik ibunya.
***
K
|
elahiran bayi perempuan itu berlangsung amat mudah, tidak hanya karena seorang gonekolog senantiasa ada disisinya, tapi juga karena air selusuh yang diberikan sang ibu kepadanya diiringi mantera-mantera. Air selusuh dan mantera-mantera dipercaya memiliki kekuatan magis yang ampuh. Lihatlah Ainun dengan mudah melahirkan bayinya, tanpa alat bantu yang disebut vacuum, tanpa alat penyedot, apalagi yang disebut bedah caecar sangat jauh sekali.
Kelahiran itu berjalan amat mulus dan selama kehamilannya, Ainun rajin mendatangi dr. Gunawan, seorang ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Ainun tidak harus merasa cemas saat dia dibaringkan di ruang partus. Ainun tidak perlu cemas karena sang bunda sudah menyiapkan air selusuh serta membacakan mantera-mantera. Dan yang membuatnya sama sekali tidak cemas adalah hasil ultrasonografi atau lebih dikenal dengan pemeriksaan USG. Letak bayinya benar-benar normal, letak kepala janin sudah berada di bawah, sudah mendekati jalan lahir. Ainun benar-benar dalam keadaan enjoy saat melahirkan. Dia merasa malaikat ada disisinya dan menjaganya. Bayi mungil itu benar-benar lahir dengan mudah dan sehat.
Seperti umumnya keluarga Melayu, bayi perempuan yang dilahirkan ke dunia haruslah disambut dengan Qomat. Dan yang melantunkan qomat itu adalah ayahnya sendiri, Anas Pardamean dan suaranya memang merdu bergema di rumah sakit Permata Bunda.
Meskipun seorang ayah yang selama ini amat terpandang dalam kerabatnya yelah pergi menghadap Tuhan, tapi masih ada seorang ibu yang masih tetap memahami kebiasaan puak Melayu dalam menyambut kelahiran seorang bayi, apalagi bayi itu adalah cucunya yang pertama. Bu Azizah sudah menyediakan sebuah talam, diatasnya sudah ada madu dan cincin emas tanpa mata. Acara “membelah” atau membuka mulut bayi pun segera dilakukan. Dengan perantaraan cincin emas, madu dipoleskan ke mulut sang bayi yang baru lahir.
Hal itu dilakukan dengan harapan agar sang bayi bila sudah dewasa nanti yang selalu tergetar di bibirnya adalah kata-kata semanis madu dan enak didengar. Sementara sebentuk cincin emas melambangkan agar kata-kata yang diucapkan sang bayi bila sudah dewasa kelak adalah kata yang amat berharga.
Sebelum hari keempat puluh setelah bayi itu lahir ke dunia, tamu-tamu amat banyak memenuhi sebuah rumah bertingkat yang terletak tidak jauh dari asrama haji itu. Bersamaan dengan matahari yang naik, dari rumah itu terdengar suara barzanzi dan marhaba dilantunkan orang. Begitulah keluarga dari rumpun Melayu menyambut kelahiran sang bayi.
Seekor kambing berukuran besar disembelih sebagai aqiqah lalu sebelum namanya ditabalkan dan rambutnya dipotong, berganti-ganti belasan kaum bapak melantunkan barzanzi yang diiringi dengan marhaba.
Sesaat Bu Azizah tertegun ketika seluruh hadirin berdiri lalu secara berganti-ganti melakukan pengguntingan rambut si bayi kemudian potongan rambut itu dimasukkan ke dalam kelapa kuning yang sudah dilubangi dan diukir.
“Marhaban yaa marhaban yaa marhaban. Marhaban jaddal husaini marhaban.”
“Selamat datang, wahai selamat datang bagi Atuk dua Husain,” sebagai seorang perempuan muslimah, Bu Azizah tahu benar makna baik demi baikt yang dilantunkan orang dalam marhaban. Betapa amat indah makna kata demi kata dalam alunan marhaban itu, penuh bernada puitis.
“Yaa habiib salaam ‘alaika. Shalawaatullah ‘alaika. Asyraqal badru ‘alaina. Fakhtafat minhul buduuru.” Itulah yang dibaca oleh seorang lelaki yang memang piawai dalam hal pembacaan barzanzi dan marhaba. Lalu Bu Azizah berkata-kata dalam hati mengartikan bacaan itu:
“Terbitlah bulan purnama diatas kami, maka menjadi pudarlah bintang-bintang karenanya.”
“Mitsla husnik maa ra-ainaa. Qaththu yaa wajhas suruuri. Anta syamsun antra badrun. Anta nuurun fauqa nuuri. Anta iksiiruw wagghaali. Anta mishbaahush shuduuri,” kalimat-kalimat dalam bahasa arab itu dilantunkan amat indah.
“Kami tidak pernah melihat ketampanan sepertimu, wahai wajah kegembiraan. Engkau bagaikan matahari, engkau bagaikan bulan purnama. Engkau cahaya diatas cahaya. Engkau logam yang menjadi emas dan mahal. Engkau pelita dada,” lagi-lagi orang-orang yang mengerti menterjemahkan bacaan itu, seperti halnya Bu Azizah.
Bu Azizah merasa bait-bait marhaba yang penuh nada puitis itu meresap dalam rongga dadanya. Meresap ke dalam aliran darahnya dan meresap hingga ke sel-sel darahnya, hingga ke jantungnya. Apalagi bait berikutnya:
“Haudhukash shaaafil mubarrad. Wirdunaa yauman nusyuuri.”
Tidak hanya Bu Azizah sendiri, tapi orang lain pun mengartikan bacaan itu:
“Telagamu yang jernih dan sejuk, tempat kedatangan kami pada hari kebangkitan.”
Barzanzi dan marhaba selalu didendangkan orang pada upacara perkawinan, khitanan, peringatan maulid Nabi, melepas atau menyambut haji. Juga menyambut kelahiran bayi. Tiap orang yang mengerti artinya, pastilah akan terlena dan hanyut dalam keindahan bait-bait rangkaian kata-kata yang bernilai puitis.
Lihatlah sang bayi yang baru dilahirkan itu juga tidur dengan lelap diatas buaian yang dihiasi amat indah ketika marhaba dilantunkan orang. Bayi itu juga seakan sedang menikmati puisi yang memuji kebesaran Allah dan kerasulan Muhammad.
Tidak hanya bayi itu yang terlena. Makciknya yang saat ini sedang kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan wajahnya secantik Ainun juga ikut terlena mendengar kumandang alunan marhaba. Hari itu Fadilah tampak anggun mengenakan kebaya khas Melayu.
Tandanya tangan Fadilah selalu dingin, bila bayi yang baru dilahirkan kakaknya menangis lalu setelah digendong Fadilah, bayi itu akan segera diam dan tidur pulas. Fadilah amat menyayangi kemanakannya yang saat itu sedang ditabalkan namanya dan daging kambing aqiqah yang dimasak kari serta gulai putih itu disantap orang amat nikmat dan lezat rasanya.
“Ingat, Fadilah. Kamu juga harus mendapatkan jodoh seperti kakakmu yang hidup mapan!,” ucapan salah seorang saudara sepupu almarhum ayahnya menyebabkan Fadilah tersenyum.
“Kamu juga cantik seperti kakakmu, itu artinya kamu akan mendapatkan jodoh seorang yang lumayan hidupnya!” sambung kerabat lainnya. Dan kata-kata itu diucapkan dengan nada sungguh-sungguh.
“Kalau memang sudah ada jodoh, kuliahmu tidak tamat juga tidak apa-apa. Yang penting kamu mendapatkan jodoh seorang sarjaa, pengusaha atau pejabat di sebuah instansi pemerintah.”
“Saya masih ingin kuliah. Ingin jadi sarjana dulu baru mengabdi kepada masyarakat. Soal jodoh tidak usah buru-buru!,” sahut Fadilah dan bila dia tertawa lesung pipit selalu menghiasi pipinya yang kemerahan.
“Akh,sarjana sudah amat banyak, Dila. Sarjana sudah seperti jamur tumbuh di musim hujan dan yang menganggur juga amat banyak. Yang penting ketemu jodoh orang yang mapan,” saudara sepupu ayahnya masih terus menggoda.
Dila menggeleng lirih.
“Saya punya cita-cita. Saya ingin menjadi peneliti, saya ingin mengabdi diri dalam kemanusiaan. Berbagai gejolak dan gesekan sosial telah terjadi di negeri kita sehingga negeri kita tercinta ini menjadi tambah porak poranda. Anak-anak jalanan juga semakin banyak. Siapa perduli kepada anak-anak bangsa kelas gurem itu?”
“Terlalu muluk-muluk cita-cita itu, Dila.”
Apapun yang dikatakan kerabat dekat, terutama tentang jodoh, Dila selalu tidak perduli. Sebab cita-citanya amat mulia. Meskipun kuliahnya masih di semester 6, tapi Dila amat perduli pada keadaan masyarakat negeri ini. Banyak kepincangan telah terjadi di negeri ini. Bakar membakar rumah sudah sering terjadi dimana-mana. Tawuran antar siswa, preman yang menyebabkan warga tidak lagi nyaman mencari nafkah dan penjahat yang beraksi dimana-mana selalu menjadi pemikirannya. Apalagi tentang penyakit masyarakat. Pencurian dan kejahatan semakin merajalela. Kemiskinan dan kebodohan tetap saja melekat pada masyarakat negeri ini.
Perjudian juga berkembang tanpa ada kepedulian aparat untuk menindak. Apalagi pemerkosaan sering terdengar hampir tiap hari. Pelecehan terhadap perempuan jangan ditanya lagi. Semua semakin menjadi-jadi. Pekerja seksual komersial semakin marak. Lebih menyedihkan lagi semakin banyak anak-anak dibawah umur bekerja sebagai buruh industri. Lebih parah lagi pengedar dan pengguna narkoba dari hari kehari terus bertambah jumlahnya.
Penjahat yang didor aparat sudah banyak, tapi jumlahnya justru semakin banyak. Begitu juga dengan pengguna dan pengedar narkoba. Semua itu butuh perhatian serius, tidak hanya mencari akar rumput penyebabnya tapi juga mengatasi solusinya.
Dila ingin menjadi peneliti dan mencari akar rumput sebab-sebab terjadinya berbagai semua gesekan sosial itu. Tidak hanya mencari akar rumput penyebabnya, tapi juga solusi penyelesaian dan meredam semua itu. Sebagai seorang mahasiswi dan sebagai perempuan, Dila tidak rela kaumnya selalu dilecehkan lawan jenisnya, tidak hanya dikalangan masyarakat berpendidikan rendah, tapi juga terjadi di kalangan menengah keatas dan penyandang gelar sarjana. Pelecehan terhadap perempuan juga terjadi di kalangan intelektual. Dila amat sedih bila ingat hal itu.
Itulah sebabnya Dila selalu belajar sungguh-sungguh dan menjadi kutu buku. Padahal di kampus banyak mahasiswa gagah yang selalu mengajaknya pulang bersama lalu mampir ke restoran. Seperti halnya Faisal, kakak kelasnya yang selalu hadir di kampus dengan mengendarai Suzuki Katana selalu mengajaknya pulang bersama, tapi Dila tetap menolak.
“Panas amat terik, Dila. Ayo kuantar!,” ajak Faisal tidak pernah bosan menawarkan jasa-jasa baiknya.
“Terima kasih, Faisal. Aku lebih senang naik sudako!,” Fadilah menolak halus. “ Lagi pula ada Susanti yang menemani.”
“Kulitmu akan terbakar matahari nanti,” ujar lelaki itu lagi.
“Terima kasih!”
“Aku ingin mengajakmu melihat lomba sampan di Pantai Cermin sore ini!,” lelaki itu tetap berusaha mengajak.
“Besok saja, Faisal.”
“Sungguh?”
“Sungguh!”
“Janji?”
Dila mengangguk. Diatas mobilnya, lelaki gagah itu masih mengiringi Dila berjalan kaki bersama sahabatnya menuju Simpang Sumber Nongko untuk naik angkot. Tas sandangnya padat dengan buku dan diktat. Ada diktat tentang Sistem Politik Indonesia, ada lagi diktat Sistem Budaya Indonesia, lalu ada pula buku yang cukup tebal tentang Sejarah Perjuangan Bangsa dan Metode Penelitian Sosial. Buku Sosiologi Perkotaan yang setebal bantal itu juga ikut memenuhi tasnya. Tapi meskipun tas sandangnya penuh buku dan diktat, sebagai seorang perempuan, lipstik, sisir, bedak, dan parfum juga ada dalam tasnya.
“Ya, janji?”
“Bagaimana kalau bohong?”
“Lihat saja besok!”
Lelaki yang berasal dari keluarga mapan dan ayahnya pejabat di PLN itu tampak kecewa. Dan esok harinya, ketika jam kuliah ANTROPOLOGI berakhir, Fadilah buru-buru keluar dari ruang kuliah dan sengaja menghindari untuk tidak bertemu dengan Faisal. Fadilah tidak melewati arah Sumber Nongko, tapi lewat Jalan Universitas dan untunglah bertemu Belinda yang muncul dari belakang di atas vesvanya. Hari itu Faisal kecewa lagi.
“Bukankah hari ini kamu sudah berjanji akan pulang bersama Faisal?” terdengar suara Belind dari atas vesvanya.
“Ogah!” hanya sepotong kata Fadilah menyahut.
“Kenapa? Bukankah Faisal seorang lelaki yang baik dan penuh pengertian? Jangan lepaskan kesempatan emas, Dila!,” terdengar lagi suara sahabatnya.
“Aku belum ingin akrab dengan siapapun. Aku tidak ingin kuliahku berantakan!”
“Kamu arogan, Dila. Andainya Faisal mendekati aku, pasti aku tidak akan menghindar!”
“Boleh saja kamu mendekatinya, Belinda.”
“Tidak mungkin. Aku juga punya harga diri!”
Fadilah duduk di belakang Belinda dan vesvanya itu meluncur di jalan raya yang amat ramai.
Tidak hanya Faisal yang berusaha mendekati Fadilah. Haris yang kuliah di Fakultas Teknik semester akhir juga selalu berusaha mengajak Fadilah pulang dengan mengendarai motor besarnya, Harley Davidson. Tapi Dila juga selalu menolak. Apalagi terhadap Lukman, calon sarjana hukum itu, Dila juga selalu menghindar.
Dila benar-benar belum ingin pacaran meskipun lelaki muda yang selalu ingin berada di dekatnya amat gagah dan tampaknya dari keturunan keluarga mampu. Fadilah benar-benar belum ingin akrab dengan siapapun. Gadis yang sebentar lagi menjadi sarjana di bidang sosial itu tetap hanya milik ibunya yang berdarah Melayu.
Itulah sebabnya sahabatnya di kampus lebih banyak sesama gadis. Pulang naik sudako juga dengan sesama perempuan. Fadilah belum ingin akrab dengan seseorang, betapun lelaki itu selalu baik kepadanya.
Pulang dari kampus tidak pernah mampir kemana-mana, tapi langsung pulang kerumah. Dan dirumah pun Dila lebih sering mengurung diri di kamar atau di ruang belajar menghadapi diktat dan buku-buku. Fadilah adalah kutu buku yang selalu berjam-jam duduk di depan meja belajarnya, malah terkadang sampai tertidur. Lalu beranjak setelah lewat tengah malam dan ibunya membangunkannya.
Itulah sebabnya ketika berlangsung ujian, untuk mata kuliah Ekologi Sosial & Lingkungan Hidup, Fadilah mendapat nilai A. apalagi untuk ujian mata kuliah Kesehatan Masyarakat serta lembaga-lembaga masyarakat, Fadilah melalapnya dengan mudah. Jangan Tanya soal nilai ujian Analisa Kelompok Kecil, pasti Fadilah mendapat nilai yang terbaik.
Namun meski gadis berdarah Melayu itu tahan berjam-jam menghadapi diktat dan menjadi kutu buku, tapi dia tetap selalu memperhatikan dirinya. Fadilah selalu mengecat kukunya, selalu mengenakan masker di wajahnya dan bibirnya yang tipis dan merekah itu selalu dipolesi lipstik yang warnanya amat serasi baginya. Fadilah juga selalu hadir di kampus dengan pakaian rapi, rambut dipangkas mengikuti mode yang sedang ngetrend. Itulah sebabnya gadis berdarah Melayu itu selalu tampak anggun dan cantik. Apalagi kalau menghadiri undangan, pasti dirinya selalu menjadi perhatian orang. Kalau diminta famili mengadakan pesta perkawinan pasti Fadilah diminta untuk menerima tamu-tamu.
Meskipun Fadilah adalah seorang yang amat tekun belajar, tapi terhadap anak-anak dia selalu akrab. Fadilah sangat menyayangi anak-anak. Dia amat senang kalau melihat beberapa bocah anak tetangga bermain dan bernyanyi “Tong Along-Along” atau “Ram-Ram Pisang”.
Meskipun Fadilah adalah mahasiswi yang hampir menyelesaikan studinya dan sesaat algi akan menjadi seorang intelektual, tapi dia tetap saja amat senang mendengar kanak-kanak menyanyikan lagu-lagu tradisional Melayu, seperti Dodoi Si Dodoi, Pok Amai-Amai, Angkai Periuk dan Ikan Ketek.
Apalagi terhadap permainan kanak-kanak khas Melayu seperti Main Rimbang, Engklek dan Injit-Injit Semut atau main Cina Buta, Fadilah tetap saja senang melihatnya. Bahkan kalau Fadilah pulang ke rumah atoknya di Serdang Bedagai main Congkak. Sayang, anak-anak warga kota besar amat jarang memainkan mainan tradisional itu. Kemajuan teknologi tinggi menyebabkan anak-anak lebih sering senang bermain di depan layar kaca yang disebut Video Game, Play Station atau bermain di Time Zone. Padahal permainan di pasar swalayan itu membiasakan anak hidup boros dan tidak efektif.
Terhadap seorang balita yang dilahirkan dari rahim kakaknya, Ainun gadis berdarah Melayu itu teramat sayang. Bila balita itu demam pasti rewel dan cenggeng. Tapi bila sudah diatas pangkuannya atau dalam gendongannya, pasti anak kakaknya langsung diam dan tertidur lelap. Tangannya benar-benar dingin.
Itu sebabnya kalau si kecil, Maya, sakit pilek atau diare, pasti Fadilah dipanggil kakaknya atau Bang Dame sendiri yang menjemputnya. Bahkan Bang Dame juga selalu menjemputnya di kampus ketika si kecil itu demam dan gelisah terus. Tapi dalam gendongan Fadilah si kecil itu benar-benar diam dan tertidur lelap.
Itulah sebabnya Bang Dame juga amat sayang kepada Fadilah. Kalau Fadilah mengenakan pakaian bagus-bagus, pasti bahannya adalah pemberian Bang Dame. Juga sepatunya.
“Ganti kosmetikmu dengan merk lain yang terbaik, Dila. Biar kamu tampil lebih cantik dan anggun!,” itulah anjuran Bang Dame ketika Fadilah diajak ke Pasar Swalayan bersama sang kakak.
“Terima kasih. Dila merasa kosmetik milik saya sudah cukup sesuai!” sahut Dila.
“Kamu harus tampil beda, Dila. Harus lebih anggun!,” sang abang ipar tetap menganjurkan agar Fadilah menukar lipstik, bedak dan kosmetik lainnya dengan merk yang terbaik dan mahal. Fadilah amat berterima kasih.
Bersama sang kakak, Bang Dame juga sering mengajak Fadilah makan malam di rumah makan Wong Solo.
“Belajar tekun boleh-boleh saja, Dila. Tapi refresing juga perlu. Kamu akan jadi botak kalau belajar terlalu serius,” ujar Bang Dame ketika mengajaknya makan di Kentucky.
“Dila ingin kuliah segera selesai,” sahut Fadilah dan mengunyah ayam goreng.
“Boleh saja bertekad begitu, tapi menikmati udara segar di luar dan enjoy juga perlu.”
Dila hanya tersenyum. Tanpa diajak Bang Dame dan kakaknya, mungkin Fadilah lebih sering mengurung diri di rumah. Bersyukurlah Fadilah, bahwa suami kakaknya amat penuh perhatian kepadanya. Tidak hanya baju yang bagus-bagus atau sepatu berhak tinggi pemberian suami kakaknya, tapi Bang Dame juga memberinya jam tangan berlapis emas yang berharga mahal.
Dan jam tnagan yang berlapis emas yang sekarang melingkar di pergelangan tangan Fadilah dibeli oleh suami kakaknya ketika berkunjung ke Singapura.
“Wah, Dila mendapat oleh-oleh istimewa hari ini,” cetusnya ketika menerima jam tangan berlapis emas itu.
“Tentu! Bukankah karena kamu, Maya dapat berjalan? Kamu yang selalu melatihnya berjalan. Kalau Maya sudah dapat berkata-kata juga karena kamu, Dila,” ujar Bang Dame.
Si kecil Maya memang cepat pintar berjalan. Si kecil itu sudah dapat berlari mengejar mainannya. Dan yang melatihnya bukan Ainun yang melahirkannya, tapi Fadilah. Si kecil itu memang amat lekat dengan makciknya, amat manja kepada adik ibunya.
Bila si kecil Maya sudah dapat berkata-kata menyebut “meong” yang selalu melatihnya juga Fadilah yang terkadang selalu berhari-hari di rumah besar berlantai dua yang terletak tidak jauh dari Asrama Haji. Meskipun Dila tinggal bersama ibunya, tapi terkadang dua atau tiga malam dia berada di rumah kakaknya. Suasana rumah besar itu rasanya amat teduh dan sejuk. Lukisan dinding yang terpajang di ruang tamu bukanlah tentang wanita Bali atau perempuan Yogya yang dadanya terbuka, tapi lukisan seseorang musafir di tengah padang pasir yang terik dan berjalan diantara pohon-pohon kurma.
Sebuah lukisan lagi yang terpajang adalah tentang candi-candi di Muara Takus di tepi Sungai Kampar, Riau. Sebagai keluarga yang masih tetap mempertahankan jati dirinya sebagai seorang Melayu, pemilik rumah itu tahu benar bahwa kerajaan Melayu kuno bermula di Muara Takus.
Kalender yang tergantung di dinding rumah tidak satu lembar pun yang bergambar bintang film atau bintang sinetron yang selalu kawin cerai atau rumah tangganya penuh dengan gosip dan perselingkuhan. Kalender di rumah itu bergambar lukisan tentang Masjidil Haram yang dipenuhi dua juta jamaah pada musim haji atau Masjid Nabawi di Madinah Munawwarah. Keduanya adalah masjid terbesar dan termegah di dunia. Kaligrafi juga terpajang di dinding ruang tamu. Ornamen Melayu juga ikut mewarnai rumah berlantai dua itu.
Suasana Islami yang mewarnai rumah besar itu benar-benar menyebabkan setiap yang hadir disana selalu merasa sejuk, teduh dan nyaman. Sampai Fadilah terkadang berhari-hari tinggal di rumah itu kalau libur.
Fadilah yang mengajar kemanakannya memanggil kucing hingga si kecil itu menyebut “ meeoooong”. Si kecil itu juga sudah pintar menyebut “uuulaaan” bila memandang bulan purnama di langit. Masih banyak lagi kata-kata yang sudah dapat disebut si kecil itu. Fadilah memang amat senang dan amat sayang kepada balita.
“Kapan kamu tamat?,” terkadang Bang Dame bertanya kepada Fadilah saat gadis berdarah Melayu itu bermain bersama si kecil Maya.
“Semester depan saya mulai menyusun skripsi,” Dila berkata dengan menunduk dan dia tidak menyadari Bang Dame menatap wajahnya amat dalam.
“Mudah-mudahan kamu lulus secepatnya!,” ujar Bang Dame yang selalu penuh perhatian kepadanya.
“Dila juga berharap begitu. Dila juga bosan terlalu lama di kampus. Kalau boleh jangan sampai botak.”
“Lalu bekerja setelah lulus, begitukah?”
“Dila ingin menjadi peneliti. Negeri kita semakin porak-poranda karena berbagai penyakit masyarakat dan seakan tidak ada yang perduli.”
“Kamu harus menyadari, yang namanya peneliti di negeri kita belum dapat menjadi andalan untuk hidup. Pemerintah juga tidak menyediakan dana yang memadai untuk membiayai badan-badan peneliti. Bagaimana para sarjana yang jadi peneliti akan hidup layak?”
“Dila sudah siap menghadapi hal-hal yang terburuk. Apapun yang terjadi dan bagaimanapun kehidupan seseorang peneliti sekaligus sebagai pekerja sosial, Dila tidak akan menyesal.”
“Cita-citamu teramat mulia, Dila.”
Lelaki itu tampak amat kagum pada tekad adik isterinya yang wajahnya cantik dan matanya selalu tampak bening, teduh dan jernih seperti air telaga. Sebagaimana ungkapan rasa kagumnya terhadap seorang adik yang amat akrab dengan anaknya, lelaki itu memberikan sebuah sepeda motor.
Lelaki yang sedang meniti karir sebagai pengusaha perkebunan dan lebih senang dipanggil dengan Bang Dame itu juga menyadari bahwa pada semester akhir Fadilah akan lebih sibuk lagi. Pasti Fadilah akan selau mondar-mandir ke kampus, ke perpustakaan atau tempat lain untuk mencari bahan-bahan skripsinya. Sampai-sampai ke penjara.
“Semua berharap kamu cepat menjadi sarjana, Dila. Semoga sepeda motor ini banyak memberikan kemudahan bagimu,” itulah ucapan Bang Dame ketika memberikan hadiah itu. “Kami menyadari pada semester akhir, kamu akan selalu mendatangi Lembaga Pemasyarakatan, mendatangi kantor el-es-em, bahkan juga kompleks prostitusi seperti Kawasan Nibung Raya.”
“Juga mendatangi kantor penyalur tenaga kerja ke luar negeri dan terkadang harus hadir saat berlangsung demo-demo yang dilakukan berbagai elemen masyarakat.” Sahut Fadilah yang sudah beberapa kali hadir di tengah para demonstran yang berteriak-teriak menyampaikan orasinya dan membawa berbagai poster. Bahkan diapun pernah hadir di tengah-tengah demonstran yang tampak bringas dan anarkis sehingga bentrok dengan aparat. Hampir saja kepala Fadilah terkena lemparan batu sebesar tinju karena aparat dan demonstran saling lempar batu pada bentrokan itu. Semua itu merupakan bahan yang amat berharga bagi seorang mahasiswa jurusan sosial.
“Kamu pasti butuh sepeda motor.”
“Ya, kendaraan ini amat besar manfaatnya bagi saya.”
“Sejak saat ini kamu tidak perlu lagi berdesakan dalam sudako.”
“Terima kasih, terima kasih,” ucap Fadilah dan ingin rasanya dia mengucapkan terima kasih seribu kali karena kebaikan Bang Dame yang amat peduli.
“Kami mendukung cita-citamu yang amat mulia. Kami juga berharap kamu tidak akan menghadapi batu sandungan yang akan menyebabkan kamu terhempas,” Bang Dame berkata lagi.
“Ya, saya akan selalu berusaha menghindari berbagai perintang. Saya akan menjauhi meskipun rintangan itu hanya sebesar kerikil kecil.”
“Teruslah belajar tekun. Katakan kepada kakakmu atau kepada abang kalau menghadapi kesulitan!,” itulah pesan terakhir Bang Dame sebelum berangkat ke Thailand untuk menjalani kerja sama.
Puluhan hektar kebun kelapa sawit miliknya sebentar lagi akan dipanen. Negeri gajah itu diharapkan dapat menjadi pembeli CPO dalam jumlah besar.
“Mudah-mudahan Tuhan melindungi saya dari segala kesulitan meskipun hanya sekecil butiran pasir.”
Sejak itu pulang atau pergi ke kampus Fadilah tidak lagi berdesak-desakan dalam sudako. Tidak perlu menunggu angkot terlalu lama karena pada jam kuliah terakhir, ratusan mahasiswa antri menunggu sudako yang kosong. Kawasan Padang Bulan tampak seperti pasar malam karena banyaknya mahasiswa menunggu angkutan yang lewat.
Bila di ruang kuliah Fakultas Ilmu Sosial itu ada seorang mahasiswi yang tampak anggun dan cantik, itulah Fadilah. Dia tidak pernah lagi berdesakan dalam sudako, tidak lagi berjalan kaki yang cukup jauh dari simpang kampusnya ke fakultasnya.
Dan para mahasiswa yang selalu ingin mendekatinya semakin banyak. Yang selalu ingin memandang wajahnya lebih lama tidak hanya Faisal dan Lukman, tapi ada lagi Iwan, Gangga dan Wawan. Tapi Fadilah tetap tidak perduli, tetap tidak pernah memberi harapan kepada mereka. Kemana-mana tetap saja sendiri. Dirinya tetap saja belum menjadi milik siapapun.
Bahkan ketika Fadilah merencanakan kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan, terutama LP khusus wanita untuk mendapatkan bahan-bahan skripsinya. Wawan ingin menemani, Lukman juga begitu. Banyak data yang harus diperolehnya, terutama jumlah penghuni sel khusus perempuan serta sebab-sebab kaum Hawa menjadi penghuni kerangkeng besi itu.
Syaiful lain lagi, lelaki gagah itu menawarkan jasa baiknya ketika Fadilah bermaksud berkunjung ke Kawasan Nibung Raya dan disana terdapat banyak karaoke, diskotik, hotel-hotel dan wisma pijat yang sebenarnya menjadi tempat praktek prostitusi tidak resmi. Orang-orang kantoran yang membawa pasangan gelapnya untuk menikmati kehangatan juga banyak di hotel-hotel di kawasan itu. Staf dari berbagai instansi pemerintah juga banyak yang membawa pasangan ke kawasan itu, padahal mereka menghamburkan uangnya hasil dari korupsi. Hotel-hotel itu jadi sarana para lelaki hidung belang melampiaskan nafsunya.
“Aku tidak rela kamu hadir sendirian di Kawasan Nibung Raya, Dila,” ujar Syaiful di sisi Fadilah yang sudah mendapatkan surat dari fakultasnya untuk melakukan kunjungan ke kawasan itu.
“Kenapa tidak rela?” Fadilah memandang wajah lelaki itu.
“Kawasan itu rawan!”
“Banyak penjahat maksudmu?”
“Ya! Jambret, todong, maling dan penjahat lainnya banyak disana. Pencuri sepeda motor juga amat banyak. Yang namanya penjahat kambuhan disanalah gudangnya.”
“Rasanya aku akan aman-aman saja disana!”
“Kamu seorang perempuan, Dila. Cantik pula.”
“Apa bedanya perempuan dan laki-laki?”
“Tentu beda! Apalagi kamu cantik!”
“Aku tidak akan membawa perhiasan apapun. Aku tidak membawa uang banyak. Apa yang mau mereka ambil dariku? Apa yang mau dirampok mereka? Harta apa yang mau mereka todong dariku?”
“Mereka tidak hanya menodong atau menjambret, tapi…”
“Tapi apa? Teruskan!” Fadilah menatap lelaki itu amat tajam.
“Ayo teruskan kata-katamu.”
“Mereka akan tergiur padamu, Dila. Aku benar-benar cemas. Aku benar-benar tidak rela melihat kamu berjalan sendirian di tempat angker itu.”
“Tidak ada tempat angker, Syaiful. Apalagi aku akan hadir disana dengan pakaian biasa-biasa saja, dengan penampilan sederhana. Kalau aku hadir di tempat itu dengan pakaian menyolok dan penampilan merangsang, pasti kau tidak akan selamat. Mereka tidak akan berbuat macam-macam kalau aku tampil sederhana.tuhan juga akan melindungiku.”
“Aku tetap saja khawatir, Dila. Ayolah, aku yang akan menemani kamu.” Lelaki ganteng yang duitnya selalu tebal itu tidak bosan-bosannya menawarkan jasa baiknya kepada Fadilah.
“Terima kasih. Mudah-mudahan aku akan selamat. Aku akan bertemu dengan dua atau tiga orang pekerja seksual di sana. Aku akan bertemu pengusaha tempat hiburan dan kalau perlu mendatangi beberapa hotel yang selalu dijadikan tempat orang-orang kantoran membawa pasangannya. Aku berharap dapat mengorek keterangan mengapa mereka sampai berbuat sejauh itu. Penyakit masyarakat sudah amat parah di kawasan itu.”
“Semua akan lebih mudah kalau aku menemani kam,” desak Syaiful lagi. “Aku yang akan menemani kamu masuk kamar-kamar hotel dan didalamnya ada pasangan manusia yang bukan suami isteri.”
“Tidak usah!” Dila tetap menolah dengan halus.
“Siapa yang akan melindungimu kalau terjadi sesuatu?,” tatapan lelaki itu masih saja teramat dalam, penuh sejuta arti.
“Mudah-mudahan aku tidak akan mengalami gangguan apa-apa.”
“Hatimu terlalu keras, Fadilah,” keluh lelaki itu.
“Hmmm” Fadilah hanya bergumam.
“Kapan hatimu akan menjadi lembut dan lunak? Kapan hatimu akan terbuka?” tatapan mata lelaki itu semakin dalam, semakin penuh arti. Tapi pintu hati Fadilah tetap saja tertutup, tidak hanya terhadap Syaiful tapi terhadap semua cowok. Sebab Fadilah memang belum ingin berpacaran. Dia tetap bertekad menamatkan kuliahnya lebih awal kemudian menjadi peneliti atau sebagai pekerja sosial. Soal cinta nanti dulu. Untuk apa buru-buru mengobral cinta?
Lelaki itu tampak kecewa berat. Dan Fadilah memang tidak mengalami gangguan apapun di kawasan Nibung Raya yang terkenal dengan tempat hiburannya dan tempat pasangan manusia bukan suami isteri terbang ke bulan.
Kehadiran Fadilah di kawasan tempat hiburan itu memang mendapatkan bahan-bahan yang amat berharga. Sebab virus penyakit masyarakat sudah amat parah berjangkit di kawasan itu. Di kawasan itu Fadilah bertemu dengan pecandu ekstasi. Di kawasan itu pula Fadilah bertemu dengan seorang ibu rumah tangga yang masih muda tapi tidur bersama lelaki yang bukan suaminya di sebuah hotel. Dan lelaki yang membawanya ke hotel itu adalah orang kantoran di sebuah instansi pemerintah. Kejahatan orang kantor itu jadi berlipat ganda, menilep uang rakyat dan terbang ke bulan bersama perempuan yang bukan isterinya.
Hari berikutnya, ketika Fadilah baru saja menjejakkan kakinya dihalaman gedung fakultasnya yang berlantai dua yang megah itu, Syaiful segera menyerbunya.
“Bagaimana hasilnya, Dila? Adakah seseorang yang mencolekmu disana? Adakah hidung belang yang menguntitmu? Adakah yang menarikkan tanganmu untuk masuh ke kamar hotel?” lelaki yang selalu mencuri pandang itu menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
“No! aku aman-aman saja disana!” Fadilah menyahut polos.
“Sungguh tidak ada seorang pun yang menganggumu?”
“Demi Tuhan, tidak!”
“Syukurlah, aku selalu cemas.”
“Kenapa harus mencemaskan diriku? Aku bukan kanak-kanak lagi. Aku tahu menjaga diriku.”
“Kamu cantik, Dila. Dan aku selau memperhatikan dirimu. Seorang gadis secantik kamu pasti akan jadi pusat perhatian penjahat disana, apalagi para hidung belang. Aku selalu takut pada lelaki iseng yang akan berbuat jahat terhadapmu.”
Dila hanya tersenyum. Lelaki itu masih memperhatikan dirinya amat dalam.
“Bagaimana hasilnya? Hotel mana saja yang kamu masuki? Tempat hiburan mana saja yang kamu datangi? Siapa saja yang kamu temui disana? Kesulitan apa saja yang kamu temui?” ujar lelaki muda yang amat senang memandang sepasang bibir Fadilah yang merekah itu menghujani Fadilah dengan pertanyaan.
“Terlalu panjang untuk diceritakan!”
“Tidak bolehkah aku tahu?”
“Kamu boleh membaca sendiri cacatanku!”
Tanpa diminta Fadilah memberikan sebuah buku yang hampir penuh dengan cacatan sebagai hasil risetnya di kawasan Nibung Raya yang rawan dengan berbagai pejahatan, tempat beroperasinya transaksi narkoba, tempat para pekerja seksual komersial menerima tamunya dan juga tempat penjahat merencanakan operasinya. Juga tempat pegawai pemerintah membawa pasangan yang bukan isterinya.
Mata lelaki muda itu membelalak ketika membaca catatan awal yang ditulis Fadilah.
“Kamu bertemu dengan seorang kakek yang berusia enam puluh tiga tahun masuk kamar hotel bersama seorang perempuan belasan tahun?,” Tanya lelaki itu tercengang.
“Ya! Cacatan itu bukan bohong-bohongan, tapi adalah kenyataan yang kutemui di lapangan.
Lelaki muda yang tampan dan berasal dari keluarga kaya itu membaca catatan Fadilah berikutnya.
“Kamu bertemu dengan mahasiswi disana?”
“Ya! Cantik mahasiswi itu dan diktat Sejarah Kesusastraan Britania dan Linguistics Historis masih ada di tangannya ketika dia masuh bersama seorang lelaki setengah umur berpakaian safari.” Ujar Fadilah sejujurnya.
“Ya, Tuhan. Sungguh keterlaluan. Kalau begitu lelaki berpakaian safari yang menggandengnya adalah pejabat di sebuah instansi pemerintah.”
“Kamu benar sekali! Lelaki tipe begitu tidak satu dua tapi banyak. Kepada keluarganya di rumah dia mengatakan ada rapat penting, tapi ternyata bersama rumput muda.”
“Ya, ampun! Pejabat macam apakah seperti itu?”
“Yang pasti mentalnya bobrok.”
“Pasti dia mencoleng uang Negara!”
“Yang pasti uang rakyat dibobol dengan cara halus.”
“Semoga dia disambar petir. Semoga pejabat seperti itu cepat mati dan masuk neraka. Atau perilakunya membobol uang Negara terbongkar oleh be-pe-ka dan masuk bui. Biar dia meringkuk dalam sel. Biar anak isterinya kelaparan.”
“Ya, semoga yang namanya pemeriksa tetap konsisten menjalankan misinya menyelamatkan uang Negara. Biar Negara ini selamat dari porak-poranda. Biar uang rakyat tidak menjadi santapan segelintir koruptor yang sukar dibasmi.”
Lelaki gagah teman Fadilah itu masih membalik-balikkan halaman catatan selama berada di kawasan Nibung Raya. Lagi-lagi lelaki muda itu menemukan catatan tentang mahasiswa yang mangkal di tempat paling rawan itu.
“Mereka benar-benar mahasiswi?”
“Benar!”
“Atau hanya gayanya seperti mahasiswi biar kelihatan keren?”
“Justru aku mengenal mereka dan rumahnya juga aku tahu. Diktat Dokkai, Yyoki, Kaiwa, Nihon Jijyo dan Kaji ada di tangannya ketika dia masuk ke kamar hotel.”
“Kalau begitu dia adalah mahasiswi fakultas sastra Jepang?’
“Ya! Dan lelaki yang menggandengnya juga tampaknya adalah lelaki asing, seperti orang Jepang.”
“Bukan main! Hebat hasil kunjunganmu, Fadilah. Kau pantas mendapat acungan jempol. Dosenmu pasti angkat topi kepadamu.”
Fadilah hanya tersenyum. Dia bersyukur hasil risetnya banyak memperoleh bahan penting.
“Aku tudak hanya sekedar melakukan wawancara terhadapt mahasiswi sastra Jepang itu. Tapi juga banyak bertanya latar belakang mengapa dia sampai melakukan hal-hal yang terlarang bersama lelaki asing itu.”
“Lalu bagaimana hasil interviewmu?”
“Mahasiswi itu cuma butuh duit. Cuma butuh uang kuliah dan membeli buku, sebab aku juga tahu keadaan rumahnya dan kehidupan orang tuanya yang sederhana sebagai pe-en-es golongan dua.”
“Aku jadi sangat kagum kepadamu. Lalu siapa lelaki asing yang menggandengnya?”
“Lelaki itu berkebangsaan Jepang dan bekerja sebagai konsultan yang mengawasi bantaun negaranya. Orang Jepang pasti tidak relah bantuan negerinya ditilep oleh para pejabat pemerintah kita yang mentalnya seperti tikus atau lebih mirip dengan maling berdasi.”
“Mahasiswi sastra Jepang itu pasti mendapat tip yang lumayan,” lelaki muda itu menduga-duga.
“Dia mengaku yang diharapkan tidak hanya uang, tapi lebih dari itu.”
“Apa lagi? Rumah? Mobil?”
“No! dia tidak pernah menyebut rumah dan mobil.”
“Lalu apa yang diharapkannya?”
“Hanya bantuan moral dari lelaki Jepang itu. Dia ingin setelah kuliahnya tamat bisa bekerja di perusahaan Jepang, sebab sarjana saat ini sulit mendapatkan lowongan kerja yang layak. Dia juga berharap lelaki Jepang itu dapat membawanya ke negeri sakura dan bekerja disana.”
Aku jadi amat terharu mendengarnya.”
Lelaki muda itu membalik-balik halaman berikutnya catatan milik Fadilah. Sesaat Syaiful tertegun membaca cacatan tentang remaja yang sedang enjoy di ruang diskotik dan semua berpasangan.
Usia mereka masih dibawah tujuh belas tahun.
“Mereka tentu tenggelam dalam nikmatnya shabu-shabu bersama pasangannya!”
“Dugaanmu benar. Pokoknya di kawasan itu sudah lengkap dengan berbagai penyakit masyarakat, mulai dari penodong, copet, prostitusi, pecandu ekstasi dan sejenisnya sampai mahasiswi menjajakan diri, pejabat di kantor pemerintah menggandeng pasangan gelapnya hingga sang kakek yang doyan rumput muda. Semua lengkap disana, tinggal bagaimana para pemerhati, dan juga instansi terkait untuk mengatasi penyakit masyarakat agar tidak semakin merajalela.”
“Aku benar-benar kagum kepadamu, Dila. Kamu pasti mendapatkan nilai bagus dan pujian dari dosenmu.”
“Mudah-mudahan begitu. Aku berharap observasi yang penuh dengan tantangan itu tidak sia-sia.”
“Nilaimu pasti bagus!” sekali lagi lelaki itu mengacungkan jempol tangan kanannya sebagai ungkapan rasa kagumnya.
“Ibumu pasti bahagia sekali kalau kamu lulus dengan criteria Cum lauda. Aku yakin kamu akan mendapatkan itu.”
“Doakan aku.”
“Tentu! Kamu adalah sahabatku yang selalu hadir dalam mimpiku hampir tiap malam.”
Fadilah hanya tersenyum. Gadis itu terlihat amat cantik bila seulas senyum menghiasai bibirnya. Cantik dan anggun. Sebentar lagi gadis cantik itu akan meninggalkan kampusnya karena dia telah berhasil meraih ijazah sarjana jurusan ilmu sosial.
***
B
|
eribu-ribu makhluk kampus yang namanya mahasiswa pastilah berharap lulus dengan penilaian cum lauda sebagai penilaian tertinggi hingga akhir kuliahnya. Dan itu pula yang telah diperoleh seorang gadis berdarah Melayu itu.
Ibunya tampak bahagia sekali ketika hadir di barisan paling depan gedung auditorium bersama lebih dari tujuh ratus orang tua para wisudawan. Ada cairan bening mengalir dipipinya. Sang ibu menangis karena terharu puterinya telah berhasil menyelesaikan studinya hampir lima tahun padahal ayahnya sudah tidak ada. Tiba-tiba saja sang ibu teringat kembali kepada suami yang sudah lebih awal menghadap Tuhan dan dimakamkan di kompleks pemakaman Sungai Mati.
Andainya sang suami masih hidup pastilah dia juga akan sangat bahagia hadir ditempat yang paling terhormat itu. Selama hampir lima tahun, suasana seperti itulah yang amat dinantikan, puterinta diwisuda.
“Ibu sangat bersyukur kamu mendapatkan nilai terbaik, anakku!,” cetusnya ketika prosesi pelantikan para sarjana itu usai. Sang ibu memeluk puterinya yang amat erat dan derai air mata masih tampak di pipinya yang mulai keriput karena usia yang terus merambat.
“Semua ini adalah rahmat Allah, Ibu,” sahut Fadilah yang juga tidak mampu membendung air mata.
“Andainya….andainya ayahmu masih hidup, pasti dia juga akan bahagia pada hari ini…” ucap sang ibu lagi ketika menyeka air mata di pipinya.
“Rasanya arwah ayah ada di sekitar kita, menyaksikan Dila disini.”
“Ibu juga ingin begitu.”
Meskipun sudah lebih tiga tahun sang ayah pergi untuk selamanya, tapi semua anggota keluarga itu masih selalu terkenang. Terkenang kepada kebaikannya, terkenakang kepada kasih sayangnya terhadap keluarga dan juga terkenang saat-saat kematiannya di tengah kebun kelapa sawit milik Bang Dame.
“Kalau Dila lulus dengan mendapatkan predikat cum lauda, tidak hanya karena Dila selalu belajar tekun, tapi karena ada uluran tangan orang lain.” Ujar Dila lagi masih tetap dalam kerumunan para wisudawan lainnya di halaman gedung megah itu dan masing-masing wisudawan foto bersama ayah bundanya.
“Orang lain siapa?,” sang ibu menatap puterinya dan air mata sudah tidak mengalir lagi.
“Bang Dame!”
“Tentu, Dila. Jangan sebut Bang Dame sebagai orang lain. Dia adalah suami kakakmu. Dia adalah abang iparmu. Sama sekali bukan orang lain seperti katamu. Sepantasnya Bang Dame banyak membantu dalam semua hal. Ibu juga tidak tahu bagaimana nasib kita andainya kakakmu kawin dengan orang lain. Uluran tangannya amat banyak kita rasakan. Entah bagaimana nasib kita kalau tidak ada bantuan Bang Dame.”
“Semoga Allah melimpahkan rahmat baginya dan usahanya semakin berkembang.”
“Doa ibu juga selalu seperti itu.”
“Doa ibu di Jabal Rahmah benar-benar didengar dan dikabulkan Tuhan.”
“Ya! Sebentar lagi ibu juga akan menjejakkan kaki di sana.”
“Lalu mendoakan Dila di Jabal Rahmah?”
“Tentu! Sebab tidak ada lagi keragu-raguan di hati ibu untuk pergi umroh. Kamu sudah menjadi sarjana, dan cucu ibu sudah dapat berlari dan pintar bicara. Semua sudah mandiri.”
“Andainya ibu pergi umroh semua itu karena uluran tangan Bang Dame. Begitu, bukan?”
“Ya! Uluran tangannya terhadap keluarga kita tidak terhitung lagi. Tidak kepalang tanggung. Tidak semua menantu begitu.”
“Terutama terhadap Dila.”
Sejenak gadis berlesung pipit itu ingat dan menghitung-hitung uluran tangan abang iparnya yang amat banyak, mulai dari pakaian bagus berharga mahal yang dibeli di Hatyai, Thailand, jam tangan berlapis emas yang dibawa dari Singapura. Juga sepeda motor.
Dan sekarang Bang Dame harus menyediakan dana yang cukup besar untuk mertuanya berangkat umroh. Tidak hanya sekedar umroh biasa melaksanakan semua rukun dan wajib umroh di tanah suci, tapi sampai ke Baitul Maqdis dan melaksanakan sholat di Masjidil Aqsha. Sungguh perjalanan yang penuh dengan ritual, sungguh merupakan perjalanan panjang yang suci dan penuh kesan.
Semua yang akan dibawa Bu Azizah juga serba baru, mulai dari pakaian ihram, tas besar, payung, sepatu, baju panas dan banyak lagi. Hingga sejumlah obat juga dibawa. Bersama Bu Wardhati yang memiliki usaha took tekstil di kawasan petisah. Sejak suaminya meninggal akibat asma yang dideritanya, usaha itu dikendalikan Bu Hajjah Wardhati dan usaha itu justru semakin berkembang pesat. Itulah rezeki yang benar-benar halal dan datang dari Allah. Hidupnya penuh dengan rahmat dan keberkatan.
Dulu Bu Azizah selalu ragu-ragu untuk berangkat umroh karena puteri sulungnya sedang hamil berat. Juga karena Fadilah masih kuliah. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah kenangan terhadap sang suamiyang baru meninggal. Dulu Bu Azizah selalu khawatir tiba-tiba saja kenangan itu amat menyiksa batinnya karena ketika menunaikan ibadah haji dulu sang suami selalu membimbingnya, bahkan melindungi dirinya ketika melakukan pelemparan Jamrah agar tidak terjatuh dan terpijak-pijak oleh jamaah dari Afrika yang tubuhnya mirip raksasa itu.
Sekarang Bu Azizah tidak lagi larut dalam kesedihan. Apalagi dia memang berusaha keras untuk tidak terlalu larut dalam duka. Bu Azizah selalu ikut berbagai kegiatan mulai dari menghadiri majlis ta’lim, ikut sholat tasbih ke luar kota, sampai kegiatan sosial seperti menjadi panitia MTQ dan tidak ketinggalan ikut mendirikan Taman Kanak-Kanak dan Taman Pendidikan Al-Qur’an. Murid-murid TK/TPA yang jumlahnya cukup banyak itu benar-benar membuat Bu Azizah tidak lagi selalu termenung-menung dan terkenang almarhum suaminya.
“Andainya Dila sudah bekerja, mungkin Dila dapat menyertai ibunya umroh. Siapa yang tidak ingin menjejakkan kaki di halaman Masjidil Aqsha dan Baitul Maqdis? Pasti pahalanya amat besar. Pasti perjalanannya yang sungguh kenangan indah.”
“Mudah-mudahan suatu saat langkahmu juga akan sampai kesana, Dila. Ibu akan berdoa di Multazam agar semua anak ibu hidup mapan dan mendapat jodoh orang yang baik,” ucapan sang ibu terdengar amat sungguh-sungguh dan menyejukkan hati.
“Jangan lupa doakan tanah air kita, Bu. Biar negeri kita bangkit dari krisis, agar tidak lagi dalam keadaan terpuruk. Kalau negeri ini tidak dalam keadaan porak poranda, pasti yang namanya peneliti atau pekerja di bidang sosial akan mendapatkan penghasilan yang layak. Doakan agar Negara kita memiliki pemimpin jujur.”
“Insya Allah ibu akan mendoakan semuanya.”
Meskipun wajahnya sudah digurati keriput karena usianya, perempuan dari rumpun Melayu itu tampak wajahnya cerah dan bersemangat menjelang pergi umroh. Tubuhnya benar-benar dalam keadaan sehat, benar-benar dalam keadaan prima. Tekanan darahnya tetap saja normal, tidak ada hyperkolesterol atau kelebihan asam urat. Tidak ada gejala asma atau sembelit. Tidak ada DM.
Selama berbulan-bulan, bahkan terbilang tahun, Bu Azizah hampir tidak pernah meminta bantuan dokter. Sebagai seorang perempuan yang masih menjunjung tinggi jati diri Melayu, dia tahu obat-obat tradisional.
Bagaikan seorang pawang yang benar-benar piawai, perempuan berkaca mata putih itu mengetahui persis sistem pengobatan tradisional masyarakat Melayu dan didalamnya terkandung aspek materi, kepercayaan lama dan keterkaitannya dengan agama Islam dan pengetahuan tentang tubuh manusia.
Aspek materi adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan yang mengandung zat dan unsur farmasi yang mengandung obat. Disamping menggunakan obat penyembuh yang terdiri dari tumbuhan dan hewan juga didukung oleh kekuatan magik, serapah dan mantera serta doa-doa permohonan kepada Allah.
Kalau menderita sesak nafas dan juga tidak kunjung sembuh meskipun sudah berkali-kali ke dokter, dapat diobati secara tradisional dengan hati lembu, kapur sirih, hati kalong dibakar serta telur laba-laba. Bahkan bayi dalam kandungan yang letaknya melintang atau sungsang dapat disempurnakan dengan cara tradisional Melayu.
“Dimanapun berada, orang Melayu bila jatuh sakit tidak harus mutlak hanya ke dokter, tapi berusaha penyembuhannya dengan cara tradisional!,” begitu Bu Azizah selalu berkata kepada dua orang puteri dan kemanakannya.
Bu Azizah juga tahu cara mengobati bila ada anggota tubuh yang bengkak karena benturan, cukup diobati dengan jahe, kapur sirih, arah putih, atau asam cuka. Bahkan sakit kuning atau empedu membengkak dapat disembuhkan dengan cara meminum air bekas rebusan bunga sudu-sudu, daun kumis kucing dan akar bambu kuning.
Apalagi bila balita menderita demam, obatnya paling mudah, yakni dengan cara menggunakan daun bunga raya yang diremas-remas hingga keluar lendirnya lalu dipoleskan pada kening, leher, dada dan punggung balita yang sedang sakit. Tentu semua itu dilakukan dengan diiringi mantera dan doa.
Bu Azizah amat bersyukur pada usia setengah baya, kondisi tubuhnya benar-benar sehat dan prima. Karena itu ketika akan berangkat umroh, tidak banyak obat-obatan yang dibawanya.
“Rasanya ibu cukup sehat dan tidak perlu suntikan vaksin Meningitis,” ujar Bu Azizah.
“Harus, Bu! Bukankah sudah menjadi ketentuan pemerintah Kerajaan Arab Saudi setiap yang melaksanakan ibadah haji atau umroh harus diberi suntikan vaksin itu agar tidak mudah tertular virus radang selaput otak? Ibu juga akan terhindar dari heat stroke yang cukup berbahaya,” sahut Fadilah.
Sesaat perempuan yang sesat lagi akan terbang ke Jeddah, Madinah, Makkah dan Arafah itu termenung.
“Ada lagi yang tidak boleh dianggap remeh,” ujar Fadilah.
“Apa itu?,” sang ibu menatap puterinya.
“Dulu ketika ibu berangkat ke Mekkah, ibu membawa masker. Sekarang ibu juga harus membawanya untuk menghindari menghirup udara teramat panas, debu dan serpihan pasir.”
“Ya!”
Ibu dan anak itu terpaksa kembali ke toko yang memang banyak menjual berbagai perlengkapan haji dan umroh, seperti pakaian ihram, baju koko, sepatu khusus untuk dipakai saat pelontaran jamrah, koper, tas paspor, kaus kaki, busana muslimah, payung, alat semprot air dan banyak lagi. Mau tak mau atas desakannya puterinya yang baru saja menjadi sarjana sosial, Bu Azizah terpaksa mendatangi dokter untuk mendapatkan suntikan vaksin anti radang selaput otak.
***
S
|
ungguh tidak pernah ada yang menduga, bahwa perjalanan suci hingga ke Baitul Maqdis itu tidak diperkenankan Tuhan. Sia-sia saja Bu Azizah sudah membeli alat semprot air, koper, payung, suntikan vaksin anti radang selaput otak dan masker.
Hanya seminggu sebelum B Azizah berangkat umroh, takdir Tuhan harus terjadi pada keluarga itu. Ainun, puteri sulungnya terjatuh dari tangga ketika turun dari lantai dua rumahnya yang terletak tidak jauh dari Asrama Haji. Ainun segera dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“Ibu harus segera ke rumah sakit!,” itulah permintaan menantu Bu Azizah melalui telepon.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Bu Azizah dan tiba-tiba saja tubuhnya gemetar. Kabar itu benar-benar mengejutkan.
“Ainun masih belum sadar!”
“Apakah dia mengalami gegar otak?”
“Tidak! Lukanya tidak parah, hanya lecet karena dia terjatuh bukan dari lantai atas hanya dari anak tangga paling bawah.”
“Lalu kenapa sampai pingsan?”
“Itulah yang sedang dalam pemeriksaan dokter. Diduga ada penyakit lain yang menyebabkan Ainun pingsan.”
“Ibu akan segera datang!”
Tidak harus banyak berdandan, tidak harus memoleskan lipstik di bibir, Bu Azizah hanya menyambar jilbab untuk menutupi rambutnya lalu naik taksi. Jantungnya berdebar keras. Kasihan Ainun, hanya karena kakinya terpeleset di tangga dan jatuh, lalu menyebabkan dia pingsan.
Memang selama ini Bu Azizah selalu mendengar keluhan puterinya yang menikah dengan Bang Dame, bahwa pinggangnya selalu terasa nyeri dan amat sakit. Perutnya mual, pening kepala dan ingin muntah. Bu Azizah menduga puterinya mulai hamil lagi. Tapi planotest tetap tidak ada tanda-tanda positif. Maya masih berusia tiga tahun itu dan selalu diajak bermain oleh Fadilah belum saatnya punya adik lagi.
Perawat baru saja mengambil darah untuk diperiksa di labolatorium ketika Bu Azizah sampai di rumah sakit itu. Sepasang mata Ainun masih terpejam dan wajahnya tampak pucat. Tubuhnya lemah seperti tidak berdaya. Tapi dalam keadaan tidak berdaya dan wajahnya pucat, kecantikannya masih tetap tampak. Ainun tetap tampak anggun meski pun sedang merasakan sakit.
“Apa yang terjadi atas dirimu, anakku?,” sapa Bu Azizah ketika mengusap rambutnya dan tanpa sadar ada cairan bening bergulir di pipinya.
Sepasang mata Ainun masih tetap terpejam. Ibu seorang anak itu tetap saja dalam keadaan pingsan, tapi dia merasa dirinya jauh dari tempat yang amat tinggi, diatas awan. Dari tempat yang amat tinggi itulah Ainun seperti melihat banyak orang sedang memainkan Tarian Lukah atau Jambang Lukah Menari.
Ainun melihat seorang pawang memasang pakaian wanita sejenis kebaya panjang dan berselendang pada sebuah bubu atau lukah yang dikenal sebagai alat penangkap ikan. Satu lukah lagi diberi pakaian laki-laki, berbaju tulak belanga dan berkain sarung. Setelah kedua bubu atau lukah itu diberi pakaian lalu ditaburi bunga, disiram dengan air tepung tawar dan diasapi dengan kemenyan yang dibakar. Aromahharum bunga-bunga aneka jenis serta bau asap kemenyan tercium hingga ke langit, hingga burung-burung pun berhenti mengepakkan sayapnya dan menyaksikan pertunjukkan yang penuh magik dan mistik itu. Sang pawang pun membaca mantera mengundang roh halus dan jembalang untuk merasuki lukah.
Mantera-mantera yang dibacakan sang pawang pada awalnya memang perlahan, lembut dan enak didengar karena mengandung nilai puitis yang amat menggugah hati. Kebanyakan pawang adalah pembaca syair-syair yang baik. Tapi makin lama suara sang pawang tidak lagi perlahan, namun suaranya makin keras, melengking tinggi, lantang, terkesan melontarkan emosionalnya, penuh nada kemarahan, bahkan terdengar oleh Ainun seperti halilintar yang mengguncang bumi. Apalagi suara gendang yang ditabuh terdengar menggelegar. Sang pawang tidak hanya membaca mantera tapi juga memukul-mukulkan belahan bambu yang berjumlah 5 bilah itu ke lantai, memukul bumi untuk membangunkan dan memanggil-manggil roh halus yang bermukim di dasar bumi kemudian masuk ke dalam lukah yang sudah diberi pakaian elok itu.
Ainun amat takut karena roh atau jembalang yang dipanggil benar-benar datang dan kedua lukah itu menari-nari dengan sendirinya. Kedua lukah itu sekarang tidak hanya sekedar bubu biasa, tapi sudah berisi roh halus. Tapi gerakan kedua lukah itu tidak hanya sekedar menari namun mengejar Ainun hingga ketakutan yang luar biasa. Kedua jambang lukah menari itu berperilaku tidak terkendali, memukul-mukul, menerjang bahkan mencekik.
Tentu saja Ainun memekik-mekik meminta pertolongan tapi tidak seorang pun yang hadir memberinya pertolongan karena semua terjadi di bawah alam sadarnya.
“Ibu datang, anakku! Ibu datang untukmu. Kamu harus segera sehat,” bisik sang ibu di telinga puterinya yang terbaring.
Perlahan-lahan sepasang mata Ainun terbuka dan memandang keliling ruangan rumah sakit itu. Usapan tangan sang ibu seolah adalah obat ampuh sehingga Ainun cepat sadar dari pingsannya.
“Ainun. Kamu mengenal ibu?”
Perempuan yang terbaring lemah itu mengangguk lirih dan sepasang bibirnya bergetar lirih.
“I…bu…”
“Kenapa kamu, anakku?”
“Sakit, Bu.”
“Dimana yang kamu rasakan sakit, anakku?,” perempuan berkaca mata putih itu memandang puterinya yang masih amat lemah.
“Disini, Bu. Di bagian pinggang dan bawah perut. Rasanya tidak tertahan…”
Bu Azizah menyentuh perut puterinya.
“Dokter sudah memeriksa amat teliti, juga darahmu. Mudah-mudahan penyakit yang kamu derita segera diketahui dan diberi pengobatan yang tepat. Yakinlah, kamu segera sembuh dan pulang.”
“Saya tidak ingin pulang, Bu. Saya ingin tetap disini,” suara itu pelan diucapkan Ainun, tapi sang ibu mendengarnya dengan jelas.
“Kenapa kamu tidak ingin pulang? Kenapa ingin tetap berada disini?”
“Saya merasakan sakit yang amat luar biasa, tidak tertahan. Kalau saya pingsan bukan karena terjatuh dari tangga tapi karena sakit yang luar biasa…”
“Ibu mengerti!”
“Jangan tinggalkan saya, Bu. Jangan tinggalkan saya,” pinta Ainun yang terbaring lemah.
“Ibu akan tetap disini.”
“Saya ingin ibu, Bang Dame, Maya dan Dila selalu ada disini menjaga saya,” pinta Ainun lagi dengan nada sedih.
“Ya, kami akan selalu ada disisimu.”
“Ainun selalu merasa takut…”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Perasaan saya selalu berada di tempat yang teramat jauh. Jauh sekali hingga ke pinggir laut, lalu ada makhluk penghuni laut yang berpakaian serta putih merenggutkan diri saya dan membawa saya ke tengah laut yang amat dalam. Di tempat yang paling dalam itulah saya ditenggelamkan…”
“Singkirkan jauh-jauh pikiran yang bukan-bukan, Ainun. Kuatkan semangatmu. Dokter akan merawatmu dengan baik dan kamu akan segera sembuh.”
“Tapi saya sangat takut, Bu. Laut itu teramat dalam dan ombak pun sangat besar. Di tengah laut itu amat banyak makhluk-makhluk laut yang amat mengerikan.”
“Kamu sedang tidak enak badan, Ainun. Pada saat seseorang sedang sakit, berbagai bayang-bayang akan datang.”
“Saya khawatir…..”
“Tenangkan dirimu, kuatkan semangatmu. Kamu akan sembuh. Tidurlah dengan tenang.”
Perlahan sekali Bu Azizah mengusap rambut puterinya yang terbaring lemah, lalu mengecup keningnya. Sesaat Bu Azizah tertegun ketika pada nafas puterinya tercium bau pipis. Terasa bau urine amat menyegnat rongga hidung.
Sebagai seorang ibu yang sudah hampir setengah abad menjalani kehidupan diatas dunia dengan berbagai liku-liku dan sudah amat banyak duri dan kerikil yang dilalui, Bu Azizah tahu bahwa bila seseorang sedang sakit dan dari nafasnya tercium bau pipis atau urine diduga si sakit menderita gagal ginjal.
Sesaat Bu Azizah memperhatikan tubuh puterinya yang terbaring tanpa daya. Tidak ada anggota tubuh yang bengkak atau sembab. Biasanya kelainan gagal ginjal akan diiringi dengan bengkak pada kaki atau di bawah kelopak mata. Tapi perempuan itu pun menyadari, bahwa penyakit gagal ginjal terdiri dari bermacam-macam. Dulu ketika Bu Azizah pulang dari menunaikan ibadah haji, salah seorang suami sahabatnya meninggal karena direnggut batu ginjal.
Lalu salah seorang kerabat dekatnya juga menemui ajal karena infeksi ginjal. Bahkan sahabat suaminya sendiri juga ada yang menemui kematian karena radang ginjal. Bahkan tumor ginjal yang membawa maut juga sering di dengar perempuan itu.
“Semoga kamu tidak menderita penyakit yang amat berat, anakku. Semoga penyakit yang kamu derita dapat segera disembuhkan dokter,” Bu Azizah berkata-kata sendiri.
“Tidurlah, anakku. Tidurlah yang nyenyak. Mimpilah yang indah,” bisik Bu Azizah ketika mencium kening puterinya.
Ketika sholat, doa perempuan berkaca mata putih itu teramat panjang. Dia memohon kesembuhan bagi puterinya. Dia berharap dokter segera dapat menemukan penyakit yang diderita puterinya kemudian memberinya obat yang tepat dan segera sembuh. Saat ini peralatan kedokteran sudah amat canggih. Sudah banyak rumah sakit dengan peralatan serba mutakhir. Penderita penyakit batu ginjal tidak perlu lagi berobat ke luar negeri. Juga penyakit lain. Bahkan berbagai penderita kanker dapat disembuh tuntas.
Salah seorang rekan sejawat Bu Azizah yang selalu hadir di majlis ta’lim sudah cukup parah menderita kanker serviks tanpa harus ke Singapura atau rumah sakit lain di luar negeri dapat menjalani operasi disini dan sekarang sehat dan tegar.
“Ya, Allah hindarkanlah anakku dari penyakit yang berat. Turunkanlah mukzizatmu agar Ainun segera sembuh dan pulang.” Doa itu berkali-kali tergetar dari celah bibir Bu Azizah.
Dan apa yang diduga Bu Azizah ternyata benar. Semua anggota keluarga yang hadir di ruang VIP itu saling berpandangan ketika dokter yang merawat Ainun berkata kepada Anas Pardamean.
“Isteri anda menderita gagal ginjal kronik,” ujar dokter yang merawat Ainun.
“Gagal ginjal?,” ulang lelaki yang gemar disapa Bang Dame itu.
“Ya! Untuk penyembuhannya membutuhkan perawatan yang serius,” ujar dokter itu lagi didampingi seorang suster dan di tangannya masih ada kartu status lengkap dengan hasil pemeriksaan darah dan urine di labolatorium.
“Kenapa isteri saya sampai menderita gagal ginjal, dokter?,” lelaki yang gemar disapa Bang Dame itu seperti tidak puas dengan keterangan dokter itu.
“Berbagai hal dapat menyebabkan seseorang menderita gagal ginjal, diantaranya adalah akibat penderita terlalu lama mengkonsumsi berbagai obat-obatan seperti antibiotik, anti radang, obat-obat penghilang rasa sakit dan banyak lagi. Infeksi pada saluran kemih juga termasuk salah satu penyebab utama kerusakan ginjal, disamping adanya penyakit lain seperti diabetes mellitus,” panjang lebar dokter yang ramah itu memberikan kejelasan.
Sesaat lelaki yang dilahirkan di Sidempuan itu menekur. Dia menyadari, bahwa di kamarnya terdapat berbagai jenis obat, mulai dari penghilang rasa sakit, obat jerawat, obat penenang. Sakit gigi sedikit saja sang isteri menenggak obat. Jerawat yang tumbuh cuma sebiji kacang hijau, lalu Ainun ke dokter penyakit kulit dan lagi-lagi menenggak obat. Apalagi akhir-akhir ini sang isteri mengeluh kepalanya sebelah sering pening lalu menelan obat. Berbagai jenis obat yang ditelan Ainun tidak seluruhnya diserap oleh darah, tapi bersisa menjadi rawan yang amat berbahaya dalam ginjalnya.
Bu Azizah segera berbisik kepad menantunya.
“Ketika Ainun masih kuliah dan menderita typus, dokter memberinya cukup banyak antibiotik. Mungkin itulaah salah satu penyebab Ainun harus menderita gagal ginjal.”
“Ya. Ainun juga banyak mengkonsumsi berbagai jenis obat akhir-akhir ini. Dia tidak menyadari bahwa obat adalah racun.”
Sesaat semua anggota keluarga di ruang VIP rumah sakit itu tertegun. Yang ada di benak mereka adalah bayangan dan dugaan, bahwa gagal ginjal adalah penyakit yang mengerikan. Sama dengan wanita menderita kanker leher rahim, atau pria menderita kanker prostat atau diabetes mellitus yang tidak kunjung sembuh.
Di ranting pohon mahoni yang tumbuh di halaman rumah sakit itu biasanya burung-burung selalu berkicau nyaring dan induk burung melatih anaknya terbang dari satu ranting ke ranting yang lain. Tapi ketika seorang ibu muda hadir di rumah sakit iut dalam keadaan tidak berdaya, burung-burung tidak lagi berkicau. Unggas itu seperti ikut merasakan betapa sakitnya derita ibu muda itu.
Lihatlah, seekor nyamuk pun tidak ada yang mendekat. Semua menjauh. Itu tandanya seorang ibu muda yang terbaring di ruang VIP itu adalah seseorang yang amat disayangi oleh semua keluarga dan hadai tolan.
“Apakah gagal ginjal itu dapat segera disembuhkan, dokter?,” Bu Azizah menatap dokter yang masih muda itu.
“Tergantung sudah seberapa jauh kerusakan ginjal itu.”
“Semoga gagal ginjal itu belum terlalu parah,” gumam Bu Azizah dengan nada sedih.
“Saya juga berharap begitu, sehingga tidak terlalu sulit untuk penyembuhannya.”
Sekali lagi dalam hati Bu Azizah berdoa semoga Tuhan menurunkan mukzizatnya, puterinya akan segera sembuh dan pulang. Tapi ucapan dokter berikutnya membuat perempuan yang telah kehilangan suaminya itu merasakan seperti tembakan senapan yang tepat mengenai dadanya, tepat mengenai jantungnya.
“Anak ibu harus menjalani dialisis!”
“Maksud dokter?,” amat tajam tatapan Bu Azizah kepada dokter itu karena sama sekali tidak mengerti istilah kedokteran itu.
“Anak ibu membutuhkan cuci darah!,” dokter itu berkata lagi.
“Ya, Allah.”
Batin Bu Azizah merasa amat terpukul. Sesaat dia menekur. Mengapa Ainun sampai menderita gagal ginjal, padahal dari sejak atoknya dan neneknya dulu tidak pernah seorang pun yang pernah mengalami penyakit serius. Tidak pernah ada famili yang menderita kanker koroner, tidak pernah ada kerabat yang menderita hepatitis, tidak ada yang bertahun-tahun menderita stroke dan yang perempuan tidak seorang pun yang pernah menderita kanker serviks atau tumor payudara. Semua karabat dan famili dalam keadaan sehat. Mulai dari Atok, Entu, hingga Wak Ulong, Uteh, Andak dan Ucu semuanya sehat dan hidup layak. Tidak pernah ada keluarga yang menderita sakit sawan babi, apalagi penyakit gila. Bahkan yang matanyan juling tidak pernah ada sama sekali.
Apalagi ketika kawasan pemukiman itu dilanda demam berdarah tidak ada satu pun anggota keluarga yang tertular penyakit itu. Semua itu karena polah hidup yang teratur dan nafkah keluarga yang dibawa pulang juga harta yang bersih, bukan dari hasil korupsi, bukan dari menipu dan merugikan orang lain. Keluarga itu adalah keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Serasa tubuh perempuan berkaca mata putih itu kehilangan tenaga. Dia hampir roboh. Mendengar ucapan dokter itu tentang cuci darah sungguh amat menakutkan. Tidak hanya biayanya yang mahal,tapi hingga kapan puterinya mampu menjalani cuci darah?
“Akan seringkali cuci darah itu, dokter?,” menantu Bu Azizah yang sejak tadi tertegun, juga menatap wajah dokter itu.
“Dua atau tiga kali dalam seminggu,” dokter itu menyahut sejujurnya agar keluarga pasien maklum. Cuci darah tidak terelakkan karena fungsi ginjal sudah mendekati kelumpuhan.
“Ibu tidak usaha khawatir, saat ini alat-alat kedokteran sudah amat canggih. Cuci darah bagi pasien penderita gagal ginjal adalah sudah hal biasa. Sudah amat banyak, sudaha ribuan pasien menderita gagal ginjal dapat bertahan hidup lebih lama,” ujar dokter itu seperti menghibur keluarga pasien yang tampak cemas.
“Terima kasih, dokter. Semoga anak saya dapat sembuh,” ujar Bu Azizah.
“Ibu dan keluarga yang lain boleh membantu dengan doa,” dokter itu memberi saran. Tampaknya dokter itu adalah seorang muslim yang taat pada agamanya.
“Ya, kami akan mendoakannya siang dan malam,” sahut Bu Azizah.
Segenap anggota keluarga itu akhirnya benar-benar pasrah. Biarlah Ainun harus menjalani cuci darah karena itulah yang terbaik menurut anjuran dokter, daripada dilakukan pencangkokan ginjal.
Andainya harus menjalani transfalasi ginjal, siapa pula yang bersedia menjadi donor dan rela memberikan salah satu ginjalnya? Andainya hal itu yang menjadi pilihan, dokter pun pasti akan menganjurkan sang donor adalah keluarga sekandung dengan pertimbangan faktor antigen atau sifat jaringan yang lebih sesuai sehingga terhindar dari reaksi penolakan tubuh si penderita gagal ginjal. Siapa lagi saudara sekandung kalau bukan Fadilah, sang adik? Sebab keluarga itu adalah keluarga kecil. Bu Azizah hanya pernah melahirkan dua orang anak yang keduanya adalah puteri, Ainun dan Fadilah. Kasihan kalau sang adik yang masih amat muda dan masa depannya masih panjang itu harus memberikan salah satu ginjalnya kepada sang kakak kandungnya.
Lalu andainya donor itu dari seorang yang sudah meninggal, akan sampai hatikah semua keluarga Ainun menerima cangkokan ginjal dari seseorang yang sudah menjadi mayat untuk dilekatkan pada tubuhnya? Pasti Ainun merasa hidupnya tidak tenteram lagi karena organ tubuh orang yang sudah meninggal melekat pada dirinya. Sungguh tidak dapat diterima.
Lama Bu Azizah menekur. Tanpa terasa setetes demi setetes cairan bening bergilur di pipinya yang mulai keriput. Sang menantu Bang Dame, juga menekur. Ada kesedihan yang amat dalam mengganjal di relung dada mereka. Apalagi dalam hati sang adik, Fadilah seperti ada duri menusuk. Amat perih. Di pipi gadis yang baru saja meraih sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial itu juga mengalir butir-butir air mata yang bening.
Gadis cantik itu tidak mampu membendung tangis melihat kakaknya terbaring lemah, apalagi harus menjalani dialisis atau cuci darah dua atau tiga kali dalam seminggu. Kakaknya akan tersiksa sekali. Betapa amat menderitanya sang kakak yang selalu baik hati. Rasanya dia ingin ikut merasakan derita kakaknya, biar penyakit yang diderita kakaknya berkurang.
Sama halnya dengan jantung, fungsi ginjal amat penting dalam tubuh manusia. Cuma bedanya fungsi jantung memompa darah ke seluruh tubuh dan detaknya dapat dirasakan disebelah kiri dada. Dan ginjal berfungsi lebih penting lagi karena memilah darah agar jantung dalam darah, sisa pembakaran dan sisa obat-obatan dibuang keluar tubuh lewat saluran kemih. Ginjal yang besarnya hanya seperti telapak tangan persis seperti pabrik limbah dan membuangnya keluar tubuh. Itulah kencing atau air seni.
Bila sepasang ginjal dalam diri seseorang mengalami gangguan, pastilah dapat berakibat fatal. Dapat mengakibatkan kematian. Dan itulah yang sekarang dialami oleh perempuan berdarah Melayu, Ainun.
***
S
|
emua keluarga tidak sampai hati melihat sang kakak terbaring di rumah sakit dan dari pergelangan tangannya dimasukkan selang untk mengambil darahnya. Cairan merah segar namun penuh sampah, racun, sisa obat-obatan, sisa pembakaran yang dikeluarkan melalui selang dari pembuluh nadi dialirkan ke dialisat atau mesin pencuci darah. Lalu setelah darah itu benar-benar bersih kembali dimasukkan ke dalam tubuh Ainun lewat pembuluh darah balik.
Semua tidak tega, tidak sanggup menyaksikan bagaimana sang kakak terbaring hampir 4 jam selama proses pencucian darah itu berlangsung. Tapi itulah cara yang terbaik untuk pengobatan bagi pasien penderita gagal ginjal.
Sang kakak memang dapat bertahan hidup lama, namun dalam seminggu paling tidak dua kali harus hadir kembali terbaring di rumah sakit dan dari pergelangan tangan atau kakinya dimasukkan selang untuk menyedot darahnya dan mengembalikannya setelah darahnya benar-benar dicuci dan dibersihkan dari segala racun dan sisa pembakaran. Biayanya tidak tanggung-tanggung. Uang segudang akan tekuras habis. Bagaimana kalau seseorang yang hidupnya amat sederhana dan tidak mampu cuci darah? Pastilah akan segera meninggal karena ginjalnya tidak berfungsi lagi.
“Bagaimana rasanya ketika cuci darah itu, kak?,” sang adik yang mulai aktif dalam kegiatan peduli anak jalanan itu bertanya kepada sang kakak yang berjalan lemah meninggalkan rumah sakit.
“Rasanya hidupku penuh dengan penderitaan. Tidak ada lagi kegembiraan.”
“Semua mengerti perasaan kakak dan semua berdoa untuk kakak,” Fadilah berkata lagi.
“Rasanya malaikat pencabut nyawa sudah ada di rambutku. Hanya tinggal sesaat lagi akan merenggut nyawaku. Mungkin malam nanti, mungkin besok….”
“Jangan berkata yang bukan-bukan. Kakak harus memiliki semangat yang kuat dan tegar. Bukankah dokter sudah berkata sudah amat banyak penderita gagal ginjal yang menjalani cuci darah dapat hidup lebih lama ?”
“Kakak sudah rela….”
“Rela bagaimana?” Fadilah menatap wajah kakaknya dengan perasaan penuh iba yang amat dalam.
“Rela kalau malam nanti atau esok pagi aku harus pergi jauh dan meninggalkan orang-orang yang amat kucintai dan kusayangi…”
“Hentikan berkata begitu, kak!,” pinta Fadilah dengan wajah amat sedih.
Sang kakak hanya menghela nafas panjang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Meskipun sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit, tapi dua hari kemudian perempuan itu harus kembali ke rumah sakit. Kembali selang-selang plastik menguras darah dari tubuhnya lalu memompakannya kembali ke dalam tubuhnya setelah dicuci oleh mesin alat kedokteran yang namanya dialisat yang amat canggih itu.
Seminggu dua kali sang kakak harus kembali ke rumah sakit untuk menjalani hal yang sama. Dan yang mengantarnya selalu berganti-ganti. Hari ini adalah suami tercinta yang juga amat sedih karena penyakit yang dialami isterinya. Lalu esok hari yang mengantar adalah adiknya, padahal Fadilah harus selalu berada di lapangan setelah gadis itu menjadi aktivis sebuah LSM peduli anak bangsa.
Kali berikutnya berganti yang mengantar adalah sang ibu, padahal Bu Azizah sudah bersiap-siap untuk berangkat umroh dan semua perlengkapan sudah tersedia. Apa boleh buat, demi sang anak sulung yang sedang menderita sakit yang cukup serius, Bu Azizah rela menunda keberangkatannya.
Bu Azizah tidak harus menyesal bila harus menunda keberangkatannya ke tanah suci untuk melaksanakan umroh padahal perjalanan itu direncanakan amat panjang, hingga ke Baitul Maqdis dan sholat di Masjidil Aqsha yang amat dirindukan berjuta-juta umat Islam di seluruh pelosok dunia.
Sebagai seorang perempuan yang masih teguh menjaga jati dirinya sebagai Melayu, Bu Azizah masih sempat percaya ada cara lain atau alternatif penyembuhan. Diam-diam perempuan berkaca mata putih itu mengajak puteri sulungnya ke kawasan Langkat, lalu setelah melewati Tanjung Pura membelok ke kanan, lalu menelusuri jalan yang tidak beraspal sepanjang pinggiran Sungai Wampu yang airnya mengalir ke Selat Malaka.
Suasana dan aroma Melayu amat terasa di kawasan itu. Rumah-rumah berkolong atau rumah panggung seperti umumnya rumah orang Melayu Pesisir tampak di kiri kanan jalan. Memang demikianlah dahulu kebiasaan orang Melayu membangun rumah, selalu memanjang berbanjar mengikuti alur jalan dan sungai.
Orang Melayu pasti tahu mengapa pada waktu dulu membangun rumah berkolong atau rumah panggung dan bertiang tinggi. Sebab penghuni rumah pada zaman itu merasa rumah bertiang tinggi untuk menghindari banjir, untuk menghindari kelembaban, juga menjaga diri dari serangan binatang buas, tempat menyimpan alat-alat kerja. Fungsi rumah berpanggung juga untuk terowongan udara dan berbagai tempat kerja darurat. Rumah-rumah itu biasanya dilengkapi dengan ruang serambi, selasar, anjungan dan selang.
Kolong rumah dalam kehidupan masyarakat Melayu mempunyai fungsi sendiri, yakni untuk tempat menyimpan hasil sawah, seperti padi, palawija dan tempat menambatkan hewan piaraan seperti kambing ,sapi dan kerbau.
Dalam rumah panggung itu juga terlihat ornamen khas Melayu, terkadang ada ukiran kayu pada dinding rumah yang melukiskan keindahan bermotif bunga, tumbuhan atau buah-buahan. Sebab semua ornamen yang bermotif binatang dan manusia sungguh merupakan tabu atau pantang. Hampir tidak ada anggota masyarakat Melayu memajang ornamen dengan motig binatang seperti harimau, kuda atau rusa, apalagi bermotif manusia betapapun cantiknya manusia itu. Ukiran atau lukisan dengan motif hewan dan manusia dipercaya orang Melayu dulu akan meminta nyawa dari si pengukirnya. Dan agama juga mengajarkan begitu.
Itulah sebabnya yang selalu terlihat di rumah-rumah panggung di sepanjang pinggiran Sungai Wampu itu adalah ukiran kayu bermotif pucuk rebung atau kiambang bertaut atau bermotif awan semayang, awan boyan atau lebah bergantung.
Perempuan berkaca mata putih itu tampak mampir di sebuah rumah panggung yang sudah tua dan penhuninya lebih tua lagi, yakni Nenek Zainab. Warga sekitar mengenal perempuan tua itu sebagai seorang pawang dan sekaligus sebagai “orang pintar” yang usianya lebih 90 tahun. Wajahnya penuh dengan keriput, giginya hanya tinggal beberapa buah, rambutnya penuh uban, namun selalu ditutupi dengan selendang putih. Bibirnya hitam legam karena sang dukun adalah seorang pemakan sirih. Bu Azizah dan Ainun disilahkan duduk diatas tikar pandan, di ruang serambi rumah tua berpanggung itu.
“Cucuku pernah pergi ke pinggir laut?,” Tanya sang perempuan tua yang dikenal warga sebagai orang pintar setelah Bu Azizah menceritakan maksud kedatangannya bersama puterinya. Orang-orang dari berbagai kota selalu hadir disana untuk meminta bantuannya.
Yang menderita tumor ganas sembuh total tanpa operasi atas bantuan sang pawang. Yang meminta bantuannya untuk mengembalikan suami yang menikah lagi juga berhasil. Memang yang paling banyak datang ke rumah itu adalah orang-orang yang rumah tangganya bermasalah. Lalu orang-orang yang meminta bantuan untuk naik pangkat di kantornya menduduki urutan nomor dua. Saat ini berbagai perkantoran, terutama di instansi pemerintah, dukun selalu berperan.
“Ya, pernah,” puteri Bu Azizah yang menderita gagal ginjal itu mengangguk lirih.
“Laut utara atau selatan? Timur atau barat?,” sang dukun menatap amat dalam.
“Pantai selatan!,” Ainun menyahut sejujurnya, karena bersama suaminya dia memang pernah mengunjungi pantai Labuhan Batu, sebuah kawasan pariwisata yang terletak di Jawa Barat dan puluhan hotel berderet-deret sepanjang pantai yang indah itu. Turis dari mancanegara juga banyak disana.
“Ombak di pantai selatan biasanya sangat besar,” tutur sang dukun lagi.
“Ya, sebesar rumah!”
“Semakin besar ombak, semakin banyak makhluk penunggu laut disana. Ada kalanya penunggu laut itu marah kepada seseorang apalagi terhadap pendatang yang bermaksud jahat atau pendatang dalam keadaan kotor. Apalagi tidak pernah dilakukan jamuan laut sehingga Mambang laut selalu murka.”
“Saya memang sedang halangan bulanan, saya memang sedang tidak diperkenankan sholat ketika hadir di pantai itu.” Ainun menyahut sejujurnya.
“Nah, disitulah letak sebabnya. Makhluk laut itu sangat marah karena kedatangan seseorang dalam keadaan berhalangan. Apalagi kedatangan itu tidak permisi atau tidak mengucap salam terlebih dahulu. Makhluk-makhluk laut itu sangat marah bila perempuan sedang dalam halangan bulanan mandi-mandi di laut mereka. Pastilah laut itu dikotori darah.”
Sesaat perempuan yang sudah berkali-kali melakukan dialisis atau cuci darah itu termenung. Dia memang lupa mengucap salam dan langsung mencebur ke laut. Lalu seenaknya berenang-renang sepuas hatinya, padahal darah bulanan sedang amat deras mengucur dan berbaur dengan air laut. Pastilah jembalang laut sangat marah, lautnya dikotori darah haid seorang perempuan.
Bahkan ketika dalam deburan ombak pantai selatan itu berkali-kali Ainun menyebut nama Nyai Roro Kidul, padahal bagi warga sepanjang pantai di Jawa Barat itu, sangat tabu menyebut nama itu. Orang harus menyebutnya “Kanjeng Ratu”.
Tidak hanya itu. Tidak hanya sembarangan mencebur ke laut dan berenang-renang pada saat sedang haid, tapi Ainun juga mengunjungi “Gua Kelelawar” yang terletak tidak jauh dari pantai selatan itu. Ratusan ribu, bahkan jutaan kelelawar bersarang di gua itu dan disana pun selalu ada orang bertapa untuk mencapai maksud tertentu.
Tiap sore, menjelang azan magrib berkumandang dan ketika langit berwarna merah seiring dengan tenggelamnya matahari, terdengar gemuruh hewan-hewan itu keluar dari gua itu dan pulang esok pagi saat fajar mulai terbit. Ratusan ribu bahkan jutaan kelelawar itu melanglang buana mencari makanannya.
“Tempat itu sangat angker dan tempat bermukim segala roh jahat, hantu dan jin,” tambah sang dukun.
“Tempat itu memang menyeramkan dan orang sering bertapa disana,” sahut Ainun sejujurnya.
“Nah, cucuku hadir di tempat angker itu dalam keadaan sedang haid. Cucuku tahu, bahwa perempuan berhalangan bulanan tidak boleh masuk masjid, tidak boleh membaca Qur’an dan tidak boleh sholat. Bahkan perempuan yang sedang berhalangan bulanan kalau membuat tape pasti rasanya asem.”
“Saya menyesal, demi Tuhan, saya sangat menyesal.”
“Cucuku pasti pernah mendengar perkataan tersapa atau keteguran yang tidak lain adalah gangguan makhluk halus penghuni laut itu. Penghuni laut itu menempel dalam dirimu dan itulah yang harus diusir jauh-jauh. Mungkin yang menempel dalam dirimu adalah Mambang Jeruju atau Datuk Panglima Hitam atau Katimanah!”
“Bantulah saya. Saya ingin sembuh dari penyakit saya.”
“Nenek akan membantu, tapi tetaplah berdoa memohon kepada Allah.”
Perempuan berusia lanjut yang sudah puluhan tahun menghuni rumah panggung itu membuat ramuan.
“Ramuan ini amat sulit diperoleh,” ujar perempuan lanjut usia penghuni rumah panggung itu.
“Saya berjanji untuk mengganti segala biaya untuk mendapatkan ramuan itu,” ujar Bu Azizah.
“Ramuan ini terdiri dari kencur dan jariangau dan bunga-bunga tujuh macam,” ujar sang dukun yang sudah amat populer itu.
“Kalau sekedar itu mudah diperoleh,” sahut Ainun yang tubuhnya selalu dalam keadaan lemah sejak jatuh sakit dan berkali-kali menjalani cuci darah.
“Ya, kalau sekedar itu memang mudah diperoleh. Tapi untuk mendapatkan air dari tujuh muara dan tujuh macam jeruk dari tujuh tempat yang berbeda tidak mudah.”
“Kami memahaminya.”
“Nah, bersiap-siaplah untuk mandi dengan ramuan itu biar makhluk halus yang jahat da menempel itu menyingkir jauh-jauh, bukan dibunuh. Sebab Tuhan melarang kita membunuh sesame makhluk.”
Sesaat Ainun yang merasakan dirinya belum sembuh benar meskipun sudah berkali-kali melakukan cuci darah menekur. Tapi dia memang siap untuk dimandikan. Perempuan cantik beranak satu itu merasa lebih baik dimandikan oleh sang dukun daripada harus menjalani transpalasi ginjal atau pencakokan ginjal yang berasal dari mayat sebagai alternatif penyembuhan selain cuci darah.
Sore itu, menjelang magrib, Ainun harus rela ketika sekujur tubuhnya disembur dengan ramuan yang dibuat oleh sang dukun. Bahkan bagian wajahnya juga ikut disembur berkali-kali. Untunglah sang dukun adalah seorang yang selalu mengkonsumsi sirih sehingga semburannya tidak berbau air liur yang tidak sedap.
Dengan mata melotot sang pawang membaca mantera-mantera. Beda dengan sorot mata manusia biasa, sorot mata seorang dukun meskipun sudah tua tapi tampak seperti mengandung sinar yang amat tajam, seperti sinar laser. Ainun tidak mampu menatapnya karena sorot mata itu makan lama terasa makin panas di tubuhnya, seperti mengandung api yang berkobar.
Apalagi suaranya, meskipun perempuan yang selalu memakan sirih itu sudah lanjut usia, tetapi ketika membaca mantera, suaranya menggelegar dan bernaung di ruang rumah itu, seakan bergaung hingga ke hutan belantara, hingga ke lereng gunung, bernaung hingga ke langit ketujuh.
Sebagai orang Melayu pesisir, sang dukun yang tinggal di rumah berkolong itu mempercayai, bahka makhluk halus atau roh jahat selalu ada diatas pohon besar, di gunung, di sungai, dalam gua dan di laut. Sebelum menyeburkan ramuan ke tubuh Ainun, perempuan penghuni rumah panggung itu membaca mantera-mantera dan Ainun bersama ibunya mendengar setiap kata yang diucapkannya :
“Assalamu alaikum, anak cucu hantu pemburu.
Yang dalam rimba sekampung
Yang duduk di ceruh banir
Yang bersandar di pinang burung
Yang berteduh di bawah tukas
Yang berbulukan daun resam
Yang bertilamkan daun lirik
Yang berbuat di medan jelawai
Tali buaya semambu tunggal
Kurnia Tengku Sultan Berumbingan
Yang diam di Pagaryuyung
Rumah bertiang terus jelatang
Rumah berbendul bayang-bayang
Bertaburan batang purut-purut
Yang berbulu roma sungsang
Yang menaruh jala lalat
Yang bergendang kulit tuma
Janganlah engkau mungkir setia padaku!
Matilah engkau ditimpa daulat empat penjuru dalam
Mati ditimpa malaikat di empat puluh empat!
Mati ditimpa tiang Ka’bah
Mati disula Besi Kawi
Mati dipanah Halilintar
Mati disambar kilat senja
Mati ditimpa Qur’an tiga puluh jus
Mati ditimpa Kalimah”
Dengan sudut matanya Ainun masih sempat melihat wajah sang dukun yang bersemangat dan suaranya menggelegar. Wajah yang tampak bukan lagi wajah sang dukun, begitu juga dengan suaranya adalah suara orang lain. Seperti ada arwah orang lain yang menyusup dalam jasad dukun itu. Seperti ada jelmaan roh orang lain masuk ke dalam jasad perempuan itu.
Tubuh Ainun berkeringat, tapi di telinga ibunya justru mantera yang dibaca mengandung nilai puitis yang enak didengar.
Sebelum azan magrib, di rumah berkolong itu Ainun dimandikan oleh perempuan berusia lanjut itu. Ainun dan ibunya berharap cara pengobatan alternatif itu akan membawa kesembuhan.
Memang setelah kehadirannya di rumah panggung itu, Ainun merasa dirinya lebih segar. Tapi pada perjalanan pulang jalan yang berlubang-lubang dan keriting membuat tubuhnya dalam mobil terbanting-banting, padahal kesehatannya belum pulih benar.
Apalagi selama berkali-kali menjalani cuci darah, efek sampingnya tidak terhindarkan, seperti menurunnya tekanan darah, terjadinya pendarahan, gangguan keseimbangan antara air dan garam dalam tubuh, infeksi dan lebih parah lagi pecahnya sel-sel darah merah. Hal itu pula yang akhirnya terjadi pada diri perempuan yang berasal dari rumpun Melayu itu.
Tekanan darah yang menurun drastis membuat kondisi tubuhnya amat lemah apalagi diiringi dengan berlangsungnya sel darah merah yang pecah. Ainun benar-benar kehilangan daya tahan tubuhnya. Dia terkulai lemah, lalu tidak sadarkan diri pada saat diantar kerumah sakit.
Takdir memang harus terjadi pada salah seorang keluarga rumpun Melayu itu. Menjelang azan subuh, ketika angin pagi berhembus giris, ketika malam masih kelam dan senyap, ketika suara jangkrik masih terdengar, ketika embun pagi masih melekat di kaca jendela dan daun-daun pepohonan, ketika anak-anak burung masih lelap di ketiak induknya, seorang ibu beranak satu itu telah pergi untuk selamanya. Tandanya Tuhan dan malaikat masih sayang kepadanya, perlahan sekali Izrail merenggut nyawanya. Perlahan sekali perempuan itu menghembuskan nafas terakhir, tidak sempat meronta-ronta menahan sakit ketika nyawanya terlepas dari jasadnya. Ibu beranak satu itu seakan tidak merasakan sakit sedikit pun saat nyawanya dicabut malaikat.
Kematiannya bukan karena mantera-mantera dan ramuan khusus yang disemburkan pada dirinya tidak ampuh, tapi karena gagal ginjal merupakan penyakit khas yang amat sulit disembuhkan. Dan yang pasti takdir Tuhan memang harus berlaku kepada umat-Nya. Ratap tangis yang amat mengharukan segera terdengar bersama azan subuh yang berkumandang.
Suami tercinta, ibunda tersayang, adik dan anak yang amat dikasihi serta kaum kerabat menangis tersedu. Dan seorang lelaki gagah yang baru saja mendapatkan pekerjaan di sebuah be-u-em-en yang bergerak di bidang pembangunan jalan dan jembatan juga ikut menitikkan air mata. Dan lelaki itu adalah Rizal yang dulu selalu mengajak almarhumah duduk-duduk di pantai dan menyaksikan upacara jamuan laut, namun perkawinan almarhumah dengan lelaki asal Sidempuan itu telah memisahkan mereka.
“Terlalu cepat kamu pergi, Ainun. Aku menyesali perkawinanmu dengan Bang Dame. Aku amat menyesali kamu meninggalkan aku amat tiba-tiba dan kamu menikah dengan orang lain. Andainya kamu menunggu aki selesai kuliah dan bekerja, pasti kamu tidak terlalu cepat meninggal….” Lelaki muda yang dulu akrab dengan almarhumah itu berkata-kata sendiri menyilang jenazah ibu beranak satu itu disholatkan di masjid Namiro.
Ratap tangis pun terdengar lagi ketika jenazah itu diusung untuk dikebumikan di pemakaman umum Sungai Mati, persis disisi ayahnya yang telah berpulang lebih dulu. Dua pusara itu saling berdampingan. Keduanya diteduhi pohon kamboja.
Kedua pusara itu pun selalu bersih karena orang-orang yang sangat mencintainya selalu hadir di tempat itu untuk ziarah dan membaca doa-doa. Itu sebabnya diatas gundukan tanah kedua pusara itu selalu ada bunga-bunga segar dan harum air bunga tawar selalu tercium disana. Bahkan semut hitam atau rayap dan kecoa enggan merayap diatas kedua pusara itu. Pusara itu benar-benar bersih. Dan selalu harum. Juga teduh.
***
T
|
elah pergi seorang kakak untuk selamanya. Fadilah selalu termenung-menung mengenang kematian kakaknya karena sudah amat banyak dia menerima uluran tangan dan kebaikannya. Gadis penyandang sarjana sosial yang ingin mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat itu pun masih termenung ketika lebih dari tiga puluh anak-anak jalanan hadir di depan pintu rumahnya.
Secara bersamaan tiga puluh anak-anak yang biasa mangkal di persimpangan jalan itu mengucap salam dan memanggil-manggil nama Fadilah.
“Kakak! Kakak saying!,” mereka terus memanggil-manggil dengan nada memelas dan simpati.
Fadilah keluar dari kamar dan menemui bocah-bocah itu. Ada yang membawa gitar, mandolin, seruling, maracas atau alat music lainnya. Anak perempuan dan laki-laki bergabung disana dan mereka adalah bocah-bocah pengamen yang selalu mangkal di persimpangan jalan di berbagai tempat.
Fadilah memang selalu menemui mereka, selalu mengamati bocah-bocah itu memetik gitar sambil bernyanyi kemudian mengharapkan belas kasih uluran tangan dari penumpang sudako atau pemilik mobil pribadi.
Dari hari ke hari bocah-bocah yang statusnya masih pengamen itu makin marak, makin banyak jumlahnya. Tingkah anak-anak itu juga macam-macam. Ada yang menerima pemberian orang meski pun cepek dan mengucapkan terima kasih. Dan tidak diberi uang juga wajah mereka tidak cemberut. Tapi yang mengeluarkan kata-kata yang tidak enak juga ada, bila usai menyanyi lalu tidak mendapatkan apa-apa. Malah yang melempar atau menggores badan mobil juga ada.
Fadilah sudah merangkul bocah-bocah itu. Jauh dia dasar hati Fadilah yang paling dalam, dia ingin membina anak-anak itu agar memiliki masa depan yang layak. Tidak selamanya anak-anak itu hanya sebagai pengamen sepanjang hidupnya. Tidak harus sepanjang hidupnya anak-anak itu hanya bernyanyi lalu mengharapkan belas kasih dan uluran tangan. Mereka harus punya karir, mereka harus hidup layak dan terhormat. Bocah-bocah itu harus punya masa depan.
Siang dan malam Fadilah memikirkan mereka. Fadilah ingin membangun semacam pendidikan dan pelatihan. Biar mereka terdidik dan memiliki keterampilan. Biar mereka jadi mekanik di bengkel mobil atau di bengkel sepeda motor yang saat ini jumlahnya amat banyak, apalagi sepeda motor China yang harganya murah dan sistem kredit amat gampang.
Tapi untuk membuka balai pendidikan dan pelatihan tidak mudah. Harus ada gedung, harus ada asrama, harus ada sarana, harus ada peralatan dan yang lebih perlu lagi adalah tenaga instruktur. Dari mana mendapatkan gedung dan dari mana pula uang untuk membeli tanah? Tapi dukungan masyarakat memang sudah tampak. Sudah ada yang ingin menyumbangkan 3 unit mesin jahit. Sudah ada yang bersedia membantu dua unit mesin las meskipun tidak baru, tapi masih bagus untuk latihan kerja. Bahkan yang bersedia menyumbangkan alat-alat pertukangan seperti mesin gergaji, ketam, bor dan lain-lain sudah ada, sehingga setelah tamat pendidikan nanti anak-anak itu dapat membuka usaha meubel atau membuat kusen, pintu dan jendela.
Yang masih menyenak di benak gadis alumni fakultas ilmu sosial itu hanya tanah dan gedung. Justru itulah yang amat mahal. Saat ini mana ada tanah yang murah. Membangun gedung juga membutuhkan puluhan dan mungkin lebih dari seratus juta.
Sudah cukup lama Fadilah ingin bertemu Walikota untuk meminta bantuannya mendapatkan sebidang tanah. Fadilah sudah mengumpulkan para pengamen itu untuk menghadap Walikota. Dia yakin Bapak Walikota akan membantu, sebab maraknya pengamen di persimpangan jalan ini membawa efek yang sangat buruk bagi perkembangan kota yang sedang menuju metropolitan.
Pengamen yang jumlahnya amat banyak di persimpangan jalan itu pasti menjadikan pemandangan amat buruk. Pasti Bapak Walikota merasa malu kalau ada tamu dari mancanegara, apalagi pejabat melihat banyaknya pengamen pasti menganggap warga kota ini lebih banyak yang hidup miskin dan menganggur. Apa artinya lampu-lampu warna-warni yang serba gemerlap dan taman indah di sana-sini, tapi di setiap persimpangan para pengamen semakin marak?
Kehadiran para pengamen itu di berbagai persimpangan jalan ibarat borok yang menjijikkan. Sampah yang berserakan amat mudah dibersihkan, tapi untuk menyingkirkan para pengamen itu akan jauh lebih sulit.
Lebih sebulan Fadilah tidak menemui anak-anak jalanan itu. Sekarang, setelah kematian kakaknya, Fadilah hanya termenung-menung di rumahnya. Lebih tiga puluh anak-anak jalanan itu mendatangi rumah Fadilah kemudian mengajaknya menghadap Walikota.
“Ayo, Kak! Tunggu apalagi? Pak Wali pasti akan menerima kita dengan senang!,” ujar salah seorang anak perempuan yang selalu mengamen di persimpangan jalan Juanda dan Imam Bonjol.
Gadis yang perduli anak bangsai itu sesaat tertegun. Seorang anak lainnya segera maju dan berkata dengan ketus:
“Jangan takut kepada Pak Walikota. Kami akan bicara!.”
Fadilah tersenyum. Dia membelai dengan kasih sayang seorang bocah perempuan berumur 9 tahun yang tidak punya ayah bunda lagi dan selalu mengamen di jalan Sisingamangaraja.
“Ayo! Kita berangkat!” seru Fadilah.
“Horeeee! Kita akan diberi makan oleh Pak Walikota hari ini!,” teriak anak-anak itu amat bersemangat.
“Kita juga akan diberi uang oleh Pak Walikota!,” sambut anak-anak yang lain.
“Seminggu kita tidak mengamen nanti!,” balas lainnya.
“Mungkin Pak Walikota akan mengajak kita ke rumahnya dan bertemu dengan anak-anaknya!,” sambung bocah lainnya.
Tidak kurang dari 3 sudako yang sengaja di carter mengangkut tiga puluh anak-anak berstatus pengamen jalanan itu menuju kantor Walikota. Sepanjang jalan anak-anak itu bernyanyi bersama-sama, lalu terdengar lagu Halo-Halo Bandung, lalu disambung dengan Kuche-kuche Tahe dan dilanjutkan dengan Cucak Rowo. Supir sudako itu tampak amat gembira dan ikut menyanyi.
Tidak kurang tiga puluh anak-anak yang biasanya tiap hari mengamen di persimpangan jalan tampak gembira karena mereka akan bertemu Bapak Walikota. Mereka akan menghadap Pak Wali seadanya, pakaian kumal, bersandal jepit atau sepatu usang. Bahkan tubuh mereka tampak dekil dan baunya bukan main. Tapi seperti itulah adanya anak-anak kelas bawah. pengamen. Begitulah keseharian anak-anak pengamen. Bagitulah adanya anak-anak dari keluarga gembel. Gigi mereka tampak kuning karena hamper tidak pernah tersentuh oleh sikat gigi dan odol.
Biar Pak Walikota melihat mereka secara alami. Biar Pak Walikota melihat sebagian besr dari jumlah anak-anak kotanya, masih hidup di bawah garis kemiskinan, berpakaian dekil, kumuh dan bau tidak enak. Yang tubuhnya kurus karena kurang gizi juga sangat banyak. Apalagi yang badannya penuh kudis tidak terhitung.
Fadilah dan bocah-bocah berpakaian dekil itu berharap Pak Walikota tidak hanya memikirkan lampu-lampu yang gemerlap atau taman-taman indah, tapi juga memikirkan bagaimana mengangkat nasib anak-anak jalanan itu.
Tandanya apa yang dilakukan Fadilah mendapat dukungan semua pihak, ketiga supir sudako yang di carter tidak meminta bayaran. Sebab mereka amat simpati kepada niat baik dan gagasan Fadilah untuk membangun balai pendidikan dan pelatihan untuk bocah jalanan. Apalagi anak supir sudako itu juga ada yang jadi pengamen, sebab penghasilan mengemudi sudako saat ini jauh merosot sehingga anaknya mengamen sore hari setelah pulang sekolah. Mengaiz rezeki pada saat ini memang benar-benar sulit.
Negeri ini belum bangkit sepenuhnya dari keterpurukan. Republik ini belum sembuh benar dari penyakit krisis yang amat kronis. Warga kota yang menganggur semakin banyak. Uang sangat sulit dicari sementara harga terus menjulang tinggi. Apalagi di bidang hukum, tetap saja belum ditegakkan dengan sebenarnya.
Halaman kantor Walikota penuh dengan berbagai jenis kendaraan dari berbagai dinas dan instansi. Hampir tidak ada celah sedikit pun untuk parkir. Apalagi untuk parkir 3 buah sudako yang sudah penuh dengan anak-anak jalanan. Bapak Walikota sedang memimpin rapar kordinasi. Berbagai upaya sedang dilakukan dan ditempuh untuk mengembangkan kota ke arah metropolitan. Itulah sebabnya untuk bertemu dengan Walikota amat sulit.
“Hari ini bapak Walikota tidak dapat menerima tamu, itulah ucapan salah seorang yang bertugas di bagian protokoler. Fadilah mendesak untuk dapat bertemu Pak Walikota.
“Kapan kami dapat diterima? Besok?,” Fadilah mendesak.
“Besok Pak Walikota menerima kunjungan delegasi dagang dari China.”
“Lusa mungkin bisa!”
“Dalam minggu-minggu ini Pak Wali tidak mempunyai waktu luang untuk menerima tamu.”
Fadilah tampak amat kecewa, juga tiga puluh anak-anak yang dibawanya. Bahkan sebagian anak-anak jalanan itu yang selama berbulan-bulan telah ditempah oleh kehidupan yang keras di persimpangan jalan bertekad untuk menerobos masuk ke ruang rapat. Tapi Fadilah masih mampu mencegah anak-anak itu.
“Kita harus bersabar. Yakinlah minggu depan kita akan diterima Pak Wali!.”
“Kita anak bangsa, kak Dila. Kita juga berhak untuk bertemu dengan Pak Wali!,” anak-anak itu mendesak.
“Benar! Kalian adalah anak bangsa, seperti juga anak-anak Pak Wali. Tapi kita harus maklum dengan kesibukan Bapak Walikota.”
“Apakah karena kita anak-anak yang berasal dari keluarga kelas bawah Pak Wali enggan menerima kita? Apakah karena kita berasal dari keluarga gembel kita ditolak untuk bertemu?,” anak-anak itu tetap saja mengajukan protes.
“Bukan! Bukan karena itu! Dengar baik-baik. Kita sudah sering membaca di surat kabar tentang kemajuan kota kita.
Lihat saja taman-taman yang indah menghiasi wajah kota kita. Lihat saja lampu-lampu sepanjang jalan menjadikan kota kita terang benderang. Lihat saja sampah-sampah hampir tidak terlihat lagi karena Pak Wali amat peduli sehingga kita kita tampak bersih.” Fadilah terpaksa memberi pengertian kapada anak-anak jalanan itu.
“Apakah Pak Wali akan perduli kepada anak-anak seperti kami yang tiap hari berada di persimpangan jalan untuk mengamen? Apakah Pak Wali akan perduli kepada para pengemis?”
“Ya!”
“Kapan?”
“Suatu saat nanti!”
Dan tiga puluh anak-anak yang statusnya sebagai pengamen di persimpangan jalan itu masih belum puas dengan jawaban itu.
“Apakah Pak Wali akan perduli kepada murid-murid es-de yang tidak mampu membeli seragam sekolah?”
Dan yang bertanya tentang hal-hal lainnya juga ada:
“Apakah Pak Wali akan membantu murid-murid es-de yang tidak mampu membeli buku-buku pelajaran?”
“Tentu saja semua itu sudah dipikirkan Pak Walikota. Lihat saja mengurus ka-te-pe saat ini gratis. Lihat saja sekarang semua warga kota yang sakit dan berobat ke Puskesmas juga tidak dipungut bayaran. Suatu saat anak-anak es-de juga dapat buku pelajaran gratis, juga pakaian seragam. Ajudan Pak Wali pasti sudah memikirkan hal itu.”
Anak-anak itu belum juga puas. Sementara di ruang siding Pak Walikota sedang memimpin rapat kordinasi, tiga puluh anak-anak jalanan itu terus saja bertanya tentang sikap walikota mereka.
“Apakah Pak Wali juga akan perduli kepada preman yang meresahkan masyarakat? Apakah Pak Wali juga akan perduli kepada rakyat kecil yang tidak tenteram karena banyaknya maling dan penjahat? Apakah Pak Wali mau menangkap penjambret dan penodong?”
Fadilah yang memimpin delegasi ke kantor Walikota itu tersenyum. Pertanyaan anak-anak itu sudah terlalu meluas. Sebab anak-anak itu tahu persis keadaan sekita tempat tinggal mereka. Kalau ad seorang warga yang membangun rumah pasti didatangi sekelompok preman yang meminta duit dengan dalih uang keamanan. Apalagi bila ada warga yang membeli kulkas atau pesawat tv, pasti supir mobil yang membawa barang elektronik itu menjadi korban pemerasan pemuda setempat. Kalau ada warga yang pindah, pada saat barang-barang diangkut, supir truk yang membawa barang-barang itu juga tidak luput dari pengompasan.
“Urusan preman dan penjahat bukan wewenang Pak Wali. Ada instansi lain yang mengurusi masalah keamanan. Mudah-mudahan Pak Polisi akan perduli terhadap keamanan di kota kita. Percayalah penodong dan pencuri akan dimasukkan ke dalam penjara.”
Sebagai seorang gadis yang bertahun-tahun mendapatkan pendidikan tentang ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan, Fadilah tahu apa yang harus dia lakukan. Seperti halnya dia menghadap Pak Wali dengan memboyong sejumlah anak-anak pengamen agar mendapatkan bantuan lahan untuk gedung pendidikan dan pelatihan.
Fadilah mampu menenteramkan anak-anak itu untuk tidak memaksakan diri menerobos masuh ke ruang rapat.
“Kita harus sabar, wahi adik-adik!.”
“Sabar sampai kapan?,” lebih tiga puluh anak-anak jalanan itu serentak bertanya.
“Pak Wali sudah program dan jadwal kerja. Kita akan diberi kabar, kapan Pak Wali akan menerima kita.”
Fadilah memang mampu mengajak anak-anak itu pulang. Anak-anak itu tampak kecewa, apalagi hari amat terik. Tubuh mereka yang dekil bermandi keringat. Semua merasa haus. Syukurlah pada saat anak-anak itu akan melangkah pulang ada seseorang yang perduli dan membagikan aqua. Anak-anak itu menenggak air mineral itu dengan lahap. Bersyukurlah masih ada orang-orang yang tergugah hatinya terhadap anak-anak, apalagi anak-anak seperti para pengamen yang masa depannya buram dan goyah.
Tiga puluh anak-anak jalanan itu berbaris rapi keluar dari halaman kantor Walikota. Namun, sebelum semua naik ke atas sudako yang sengaja menunggu mereka jauh dari halaman kantor itu, sebuah mobil Rocky sedang lewat.
Tiba-tiba saja mobil Rocky itu berhenti. Pengemudi mobil itu seorang lelaki gagah tiba-tiba saja menginjak rem dan memandang ke arah Fadilah yang membawa rombongan bocah-bocah itu. Dan pengemudi mobil itu adalah Anas Pardamen yang selama berhari-hari selalu murung dan termenung karena kematian isterinya yang direnggut gagal ginjal.
Lelaki itu segera melompat turun dari mobilnya dan menghampiri Fadilah.
“Dila!,” nama itu segera tercetus dari bibir lelaki itu.
“Bang Dame!”
“Ngapain kamu disini bersama anak-anak itu?,” Tanya lelaki gagah yang sejak mahasiswa dulu lebih senang di panggil Bang Dame.
“Saya mau bertemu Pak Wali!,” sahut Dila polos. Panas terika menyebabkan ada peluh di jidatnya. Meskipun berlepuh tapi kecantikannya tetap terlihat. Fadilah tetap tampak anggun.
“Bersama anak-anak dekil itu?”
“Tentu saja bersama mereka!”
“Untuk apa membawa mereka?”
“Tentu saja untuk masa depan mereka?”
“Masa depan? Masa depan macam apa?” Bang Dame amat dalam menatap wajah adik almarhumah isterinya. Lebih tiga puluh anak segera berkerumun mengitari Bang Dame dan Fadilah. Yang sudah naik ke atas sudako juga melompat turun.
“Kasihan anak-anak ini…”
“Kasihan boleh saja, tapi….”
“Mereka butuh keperdulian.”
“Lalu?”
“Tiap hari keberadaan anak-anak pengamen semakin marak. Disetiap persimpangan jalan pasti ada anak-anak yang bernyanyi dan menengadahkan tangan. Adakah yang perduli dan memikirkan masa depan mereka?”
“Bukan kamu yang harus mengurusi mereka, Dila!”
“Tapi saya perduli.”
“Lalu bagaimana?”
“Saya memikirkan mereka.”
“Abang merasa bukan urusan kamu, Dila. Masih banyak orang-orang kaya, masih banyak orang yang duitnya melimpah dan mereka yang harus memberikan uang kepada anak-anak dekil itu.”
“Tidak hanya uang, Bang Dame. Kalau diberi uang mungkin dalam sesaat uang itu akan habis lalu besok hadir lagi di persimpangan jalan.”
“Lalu maunya apa? Mau diberi pekerjaan? Sampai dimana kemampuan anak-anak dekil itu? Siapa yang mau menerima mereka? Pabrik mana yang mau menjadikan mereka sebagai buruh? Lagi pula ada ketentuan anak-anak dilarang dijadikan pekerja.”
“Itulah! Itulah yang terpikirkan oleh Dila. Mereka harus dididik. Mereka harus diberi pelatihan agar memiliki keterampilan. Kalau sudah memiliki keterampilan psati ada peluang kerja bagi mereka.”
“Pelatihan? Pendidikan? Instansi yang menangani masalah pendidikan dan pelatihan sudah ada, Dila. Dana a-pe-be-de juga sudah tersedia untuk itu. Untuk apa kamu repot-repot memikirkan anak-anak dekil itu!”
“Apa salahnya saya berbuat sesuatu untuk mereka? Mereka juga anak bangsa, sama dengan Maya, puteri Bang Dame. Sama dengan putera Pak Kapolda. Sama dengan anak Pak Walikota atau Gubernur. Kalau anak Bupati atau Sekda belajar dan sekolah, kenapa anak–anak jalanan itu tidak?”
“Mampukah kamu berbuat sesuatu untuk mereka?” lagi-lagi Bang Dame menatap dalam-dalam wajah Fadilah yang berkeringat.
“Saya akan mencoba! Dan saya merasa mampu!”
“Lalu ngapain mau bertemu Pak Walikota?” Bang Dame masih menatap wajah adik almarhumah isterinya. Lelaki itu menyadari, wajah sang adik cantik dan anggun.
“Untuk pendidikan anak-anak pengamen itu diperlukan balai pendidikan dan pelatihan.”
“Lalu?”
“Tentu saja membutuhkan gedung dan sarana.”
“Lalu?”
“Saya yakin Pak Wali akan sangat perduli terhadap masa depan anak-anak warga kotanya yang hidup melarat dan butuh masa depan.”
“Saya yakin Pak Wali akan mampu memberikan sebidang tanah untuk lahan pembangunan gedung balau latihan itu. Biarlah di pinggiran Sungai Babura. Biarlah di pinggiran Sungai Deli. Justru di kawasan pinggiran sungai itu tampak indah dan hijau. Yang penting ada sebidang tanah.”
Lelaki yang biasanya di panggil Bang Dame itu termenung sesaat. Jauh di dasar hatinya dia merasa kagum akan keperdulian adik isterinya terhadap anak-anak dekil itu. Kenapa seorang adik yang tidak memiliki daya apapun selain selembar ijazah dari fakultas ilmu sosil amat perduli terhadap anak-anak kelas bawah itu? Kenapa orang-orang kaya sebagai konglomerat yang hartanya melimpah tidak pernah perduli terhadap anak bangsa yang melarat? Kenapa pejabat pemerintah sama sekali tidak perduli kepada anak-anak gembel itu? Kenapa pemerintah terkesan kurang perduli?
Kenapa isteri-isteri pejabat itu tidak mau perduli kepada anak-anak gurem itu?
Jawabnya pastilah karena hati mereka adalah batu cadas. Hati mereka adalah besi baja yang berkarat. Hati mereka ibarat segumpal sampah. Sebab mereka lebih memikirkan diri sendiri. Sementara hati Fadilah adalah sutera yang amat lembut dan bersih.
Tiba-tiba saja hati lelaki gagah yang baru kematian isterinya tercinta itu tergugah. Dan tatapan matanya terhadap sang adik yang wajahnya cantik itu tetap saja dalam.
“Kamu benar-benar ingin sebidang tanah?”
“Tentu!”
“Kamu yakin kalau sudah ada sebidang tanah lalu ada tindak lanjutnya membangun balai pelatihan dan pendidikan untuk anak-anak itu?”
“Ya! Saya akan berusaha sungguh-sungguh!”
“Nah, tidak usah lagi menemui Bapak Walikota. Saat ini Pak Wali sangat ekstra sibuk karena sedang membangun kota ke arah metropolitan.”
“Apa artinya sebuah kota metropolitan kalau anak-anak pengamen di simpang jalan semakin banyak? Apa artinya sebuah kota metropolitan kalau di sepanjang jalan tampak pengemis berpakaian compang camping? Keindahan kota akan ternodai kalau masih banyak pengamen yang terkadang menggores dinding mobil mewah. Bahkan bisa saja suatu saat mobil Pak Wali yang digores mereka. Bisakah kota ini menjadi metropolitan kalau disana-sini ada borok yang menjijikkan?”
“Biar saja Pak Wali dengan segala kesibukannya. Tidak usah lagi ke kantor itu.”
“Lalu saya dan anak-anak itu harus bagaimana? Kemana Dila dan anak-anak itu meminta bantuan sebidang tanah?”
“Kalau sekedar sebidang tanah Isnya Allah ada!”
“Siapa yang mau memberi sebidang tanah itu? Apakah kepala be-pe-en?,” Fadilah menatap wajah Bang Dame. Lelaki kelahiran Sidempuan itu tampak gagh dan kekar.
“Bukan! Bukan kepala be-pe-en!”
“Lalu kepala pe-el-en?”
Bang Dame menggeleng.
“Kepala perindustrian?”
Lagi-lagi Bang Dame menggelengkan kepalanya.
“Dari Depsos?”
“Mana pernah terjadi dalam sejarah Depsos memberikan sebidang tanah. Bantuan untuk korban bencana banjir bandang atau gempa bumi dan pengungsi terkadang sangat terlambat. Malah bantuan yang tidak utuh juga pernah terjadi.”
“Mungkinkah yang memberi sumbangan tanah itu adalah kepala Direktorat Pajak?”
“Bukan!”
“Kalau begitu darimana sebidang tanah itu?,” Dila masih memandang wajah Bang Dame. Kumisnya selalu dicukur rapi membuat lelaki itu semakin gagah, keren dan berwibawa.
“Yang memberikan tanah itu adalah seseorang yang merasa kagum atas segala keperdulianmu terhadap anak-anak dekil itu.”
“Siapa? Siapa dia? Bolehkah Dila dan anak-anak ini bertemu dengan seseorang yang hatinya amat mulia itu?”
“Tentu saja boleh!”
“Siapa dan dimana?”
“Ada disini!”
“Disini?,” ulang Fadilah. “Dimana?”
“Ya!”
“Disini? Dimana?,” ulang Fadilah.
“Tepat di depan kamu berdiri, Dila!.”
“Bang Damekah? Bang Damekah yang memberikan sebidang tanah untuk balai latihan itu?”
Lelaki itu menangguk dan tersenyum. Fadilah juga tersenyum. Dadanya merasa plong dan sejuk, padahal matahari amat terik, seperti membakar ubun-ubun.
Tiba-tiba saja lebih tiga puluh anak-anak yang statusnya sebagai pengamen itu mengangkat tinjunya tinggi-tinggi dan serentak mereka berteriak memberikan semangat:
“Hidup Bang Dame!”
“Hidup Bang Dame!”
“Hidup kak Dila!”
“Hidup kak Fadilah!”
Meskipun dibakar panasnya matahari, dan wajah-wajah mereka berpeluh serta bau badan mereka semakin tidak sedap, tapi mereka tampak ceria dan bersemangat.
“Terus terang, letak tanah itu tidak dalam kota. Sebab tanah dalam kota harganya selangit, apalagi untuk real estate, pasti harganya tidak terjangkau.” Terdengar lagi suara Bang Dame.
“Dimana letak tanah itu?” lagi-lagi Fadilah menatap wajah Bang Dame yang amat simpatik itu.
“Tidak terlalu jauh. Di kawasan Kecamatan Namo Rambe.”
“Wah, Namo Rambe tidak jauh dari Gedung Johor, tidak jauh dari Polonia. Kawasan itu cukup baik dan sekitarnya masih hijau.”
“Kalau kamu mau melihatnya, ayo kita sama-sama lihat lokasinya. Anak-anak dekil itu juga boleh ikut.”
“Tentu saja kami ikut kemanapun kak Dila pergi!,” lebih tiga puluh anak-anak jalanan itu menyahut serentak. Dan sekali lagi mereka mengacungkan tinjunya.
“Hidup Bang Dame!”
“Hidup Bang Dame!”
“Hidup kak Dila!”
Lebih dari tiga puluh anak-anak jalanan itu segera menyerbut naik ke dalam tiga buah sudako. Bocah-bocah berpakaian dekil dan bau badannya tidak enak itu tampak sangat gembira dan bersemangat diajak melihat-lihat sebidang tanah yang akan dijadikan lahan untuk gedung Balai Diklat.
Sepanjang jalan menuju Namo Rambe, mereka bernyanyi-nyanyi. Lagu Kuche-Khuce Tahe dan Cucak Rowo kembali terdengar sepanjang jalan yang dinyanyikan oleh tiga puluh orang bocah dengan tingkahnya yang lucu.
Mobil Rocky berwarna biru itu berhenti di depan sebuah lahan tidur yang cukup luas. Tiga buah sudako juga berhenti dan lebih tiga puluh anak segera menghambur keluar.
“Inilah lahan itu, Dila!,” ucap Bang Dame saat berdiri di depan lahan kosong di tepi jalan raya Deli Tua- Pancur Batu, di kawasan Deli Serdang.
“Lokasinya cukup bagus. Tidak jauh dari Gedung Johor!,” sahut Dila. “Hanya dua atau tiga kilometer dari rumah Al Ustaz H. Hidayatullah atau Ustaz H. Thamrin Hamzah. Pada saat peletakan batu pertama pembangunan balai latihan itu nantu akan diadakan kenduri selamatan, kedua Ustaz terkemuka itu pasti datang untuk membacakan doa selamat.”
“Tanah kosong ini terpaksa dijual oleh pemiliknya yang berdomisili di Jakarta karena usahanya disana bangkrut. Harganya benar-benar murah karena pemiliknya dalam keadaan terdesak dan perlu dana segar. Kreditnya dari Bank sudah jatuh tempo dan harus segera dibayar,” Bang Dame menuturkan riwayat tanah kosong itu.
“Bang Dame beruntung membelinya. Apakah Bang Dame akan membuka kebun kelapa sawit disini?” ujar Fadilah menatap wajah lelaki yang pernah menjadi kakak iparnya.
“Tidak!”
“Atau lahan ini akan jadi kebun tebu?”
“Tidak!”
“Kakao?”
“Juga tidak!”
“Atau dijadikan lokasi pabrik minyak nabati?”
Bang Dame tetap saja menggeleng.
“Lalu mau ditanami apa? Mau dijadikan apa lahan kosong ini. Atau Bang Dame mau membangun perumahan di sini?”
“Rencananya akan dijadikan kebung pisang barangan.”
“Cuma pisang barangan? Dan seluas ini?” Fadilah mencibir, tapi pandangannya tidak lepas dari wajah lelaki gagah kelahiran Sidempuan itu. Sudah berbulan-bulan lelaki itu menyendiri sejak isterinya meninggal akibat gagal gingjal. Sudah berbulan-bulan lelaki itu merasakan kesedihan di hatinya.
“Kenapa? Kenapa kalau tanah ini ditanami dengan pisang barangan? Jangan anggap sepele kepada pisang barangan. Singapura, Malaysia dan Thailand sudah siap untuk membelinya dalam jumlah besar. Pisang barangan adalah komoditi ekspor andalan, seperti halnya sayur mayor dari Karo.”
“Hammi,” Fadilah bergumama lirih. “Bang Dame selalu jeli melihat peluang.”
“Di Jakarta, Bandung, Bogor, dan sekitarnya pisang barangan tidak dapat tumbuh, tapi jangan heran kalau pisang barangan akhir-akhir ini banjir disana. Yang mengirimkannya ke seluruh Jawa adalah orang Batak!”
“Orang Batak memang selalu jempol dalam berdagang.”
“Nah, sebentar lagi lahan tidur ini akan penuh dengna tanaman pisang barangan. Namun satu atau dua hektar terpaksa dikecualikan untuk balai latihan yang kamu rencanakan.”
“Terima kasih, Bang Dame. Tempat ini amat cocok untuk balai latihan. Udaranya masih sejuk dan hijau!”
“Ayo kita melihat-lihat kesana!”
Fadilah tidak harus menolak ketika lelaki itu menyentuh ujung jarinya kemudian membimbingnya memasuki areal tanah kosong itu. Ada beberapa pohon durian yang mulai berbuah, ada pohon jeruk nipis, ada beberapa batang pohon mangga, ada lagi pohon kelapa yang sudah amat tinggi dan buahnya lebat.
Jambu kelutuk juga ada dan tumbuhnya tidak teratur. Sisanya adalah tanah kosong yang di tumbuhi ilalang dan rumput-rumput liar. Rumput berduri juga tumbuh di lahan tidur itu. Sebagian besar lahan berduri itu ditumbuhi belukar.
Beberapa orang anak-anak pengamen itu segera memanjat pohon jambu biji dan seperti monyet hitam mereka segera memakan buah jambu biji itu diatas pohon. Tidak ada yang mencegah. Sepuasnya mereka makan jambu biji di lahan itu.
Dua orang anak segera memanjat pohon mangga padahal pohon itu belum berbuah. Dua orang bocah itu memanjatnya bukan untuk mengambil buah mangga, tapi karena melihat sepasang anak burung ditinggal induknya. Kasihan anak burung ini mencericit karena ketakutan melihat sekelompok manusia ada dibawahnya.
“Hai, Lokot!,” Fadilah segerah berteriak.”Ngapain kamu manjat pohon itu?”
“Mengambil anak burung, kak Dila!,” anak-anak itu menyahut polos.
“Jangan!,” Fadilah mencegah. “Jangan ganggua anak burung itu!.”
“Tapi anak burung itu bagus!”
“Biarkan anak burung itu di ranting pohon. Kasihan kalau induknya pulang anaknya sudah tidak ada!”
Dua orang bocah yang memanjat pohon mangga itu akhirnya turun.
“Lebih baik kamu memanjat pohon jambu dan makan buahnya sampai muntah.”
Bocah-bocah itu tidak membantah. Fadilah berjalan lagi dan jari tangannya masih disentuh lelaki disisinya. Ada getar-getar halus didadanya. Ada gerakan aneh di dasr jantungnya ketika tangannya dibimbing oleh lelaki itu, padahal ketika kakaknya masih hidup dulu lelaki itu berstatus sebagai abang ipar.
“Nah, disini sebaiknya balai latihan itu dibangun!,” lelaki itu berhenti melangkah ketika sampai di bagian utara lahan kosong itu. Lahan itu tampak rata dan hanya ditumbuhi rumput-rumput liar.
“Menghadap kemana sebaiknya bangunan Diklat itu?”
“Rasanya lebih baik menghadap ke matahari terbit.”
“Sebaiknya memang begitu.”
“Nah, disebelah sana bangunan tambahan untuk asrama anak-anak yang ikut Diklat.” Lelaki gagah kelahiran Sidempuan itu menunjuk ke arah selatan.
“Tempatnya bagus!,” ujar Fadilah memberi komentar.
“Sebaiknya pohon mangga itu jangan ditebang. Biar asrama itu terkesan teduh dan sejuk.”
“Saran yang bagus.”
“Lapangan olahraga juga harus ada, setidak-tidaknya lapangan voli. Itu yang paling mudah dan murah biayanya.”
“Ya, anak-anak itu memang butuh olahraga. Juga kesenian.”
“Mereka boleh saja main gitar. Bukankah harga gitar tidak mahal?”
Amat banyak lelaki kelahiran Sidempuan itu memberikan saran kepada Fadilah di depan tiga puluh anak-anak jalanan yang mengikuti setiap gerak langkah mereka. Ada saran tentang letak kamar mandi dan pembuangan limbah yang perlu diperhatikan.
“Pipa distribusi air PAM belum sampai disini. Kebutuhan air dapat diperoleh dari sumur. Untuk mendapatkan sumber air tidak sulit disini dan biaya membuat sumur juga tidak terlalu mahal.”
“Terima kasih, Bang Dame sudah amat banyak memberikan saran yang amat berharga.”
“Abang kagum pada rencanamu, Dila. Abang jadi ikut memikirkan bagaimana agar semua rencana itu menjadi kenyataan dan anak-anak dekil itu dapat memiliki keterampilan lalu dapat bekerja dengan layak.”
“Terima kasih.”
“Abang akan mencoba menghubungi Asosiasi pengusaha perkebunan kelapa sawit agar menyisihkan sebagian keuntungannya untuk rencana menyelamatkan anak bangsa ini.”
“Terima kasih sekali lagi.”
“Mudah-mudahan Asosiasi eksportir minyak kelapa sawit juga mau menyisihkan keuntungannya dua atau pertiga persen.”
“Wah, saya harus ribuan kali mengucapkan terima kasih kepada Bang Dame.” Fadilah berkata dengan diiringi seulas senyum yang menghiasi bibirnya. Gadis itu tampak semakin cantik dan anggun ketika tersenyum. Dan lelaki disisinya juga merasakan getar-getar halus di dadanya melihat senyum itu. Rasanya dia tidak pernah puas untuk tetap menatap wajah Fadilah. Lelaki itu juga ingin menatap sepasang mata gadis itu yang tampak teduh dan seperti ada air telaga yang jernihnya amat jernih pada sepasang mata yang indah itu.
Meskipun matahari amat terik dan wajah Fadilah berpeluh, tapi tetap saja kelihatan cantik dan anggun.
“Kalau perlu di bagian barat sana dibangun sebuah mushola, biar anak-anak yang ikut diklat dapat melaksanakan sholat dan warga sekitar tempat ini juga dapat merasakan manfaatnya.” Itulah saran lelaki itu yang terakhir.
“Tentu! Anak-anak itu perlu mendapatkan binaan rohani.”
Lelaki itu merasa lelah menyelusuri lahan kosong itu. Langkahnya terhenti ketika sampai pada pohon duku yang daunnya amat rimbun. Lelaki itu mengajak duduk.
“Kamu tampak lelah, Fadilah. Istirahatlah sejenak menikmati angin segar disini!”
Fadilah juga berhenti melangkah dan duduk diatas sebatang kayu bekas pohon duku lainnya yang tumbang dan kering. Lelaki yang pernah menjadi abang iparnya juga duduk disisinya. Sepasang burung di ranting pohon memandang mereka amat lama.
Di ranting pohon lainnya terdengar kicau burung yang nyaring bersahut-sahutan. Angin pun berhembus lembut, membelai daun-daun pohon, membelai rambut Fadilah dan ujung-ujungnya menyentuh muka lelaki disisinya. Tapi lelaki itu tidak menepiskan ujung rambut Fadilah. Lelaki itu tetap membiarkan belasan helai ujung rambut gadis itu melekat di wajahnya.
Lelaki itu ingin duduk lebih lama di sisi gadis itu, di bawah pohon rindang dan angin pun berhembus lembut. Lebih tiga puluh anak-anak yang statusnya pengamen itu berlari-lari, bermain sepuasnya di padang rumput di tengah lahan kosong itu. Yang menangkap belalang juga ada. Juga mengejar kupu-kupu yang sayapnya warna-warni dan indah. Anak-anak perempuan yang tampak bermain injit-injit semut dan Fadilah amat senang melihatnya.
Anak-anak itu juga merasakan lembutnya angin dan juga merasakan lembutnya hati seorang gadis yang tidak lama lagi akan mendirikan balai pelatihan dan pendidikan agar mereka mendapatkan keterampilan khusus. Mereka akan terhindar dari nasib buruk. Mereka tidak akan jadi gelandangan. Mereka akan memiliki masa depan. Mereka tidak akan berdiri di bumi yang goyah.
Terima kasih, kak Fadilah. Hatimu selembut angin yang berhembus sepoi di ladang ini.
***
P
|
embangunan balai latihan itu belum dimulai, bahkan sehelai rumput pun belum tercabut dari lahan yang terletak di Namo Rambe itu, tapi sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari Sungai Deli itu tampak sudah dipenuhi berbagai alat-alat mesin untuk sarana belajar. Sudah ada tiga unit masin jahit, dua unit mesin genset lengkap dengan mesin lasnya, bahkan sebuah mobil kijang tua untuk praktikum nanti sudah ada disamping rumah itu. Alat-alat pertukangan juga sudah terlihat di rumah itu.
Semua itu adalah sumbangan masyarakat yang perduli terhadap anak bangsa kelas teri. Betapa beda dengan sikap para pejabat di kantor pemerintahan yang terkesan tidak perduli. Atau sangat lamban dan tidak mau tahu.
Tapi Fadilah sudah bertekad, ada atau tidak ada bantuan dari pemerintah, balai latihan itu harus segera berdiri. Bukankah sudah ada lahan yang cukup luas pemberian Bang Dame?
Pada peletakan batu pertama, masyarakat sekitar kawasan itu diundang. Mereka hadir dengan wajah cerah, tandanya kehadiran balai latihan itu mendapat dukungan sepenuhnya dari warga. Acara itu juga diiringi dengan doa agar Tuhan menridhoi usaha kemanusiaan itu.
“Ingat, Fadilah. Kita adalah warga Melayu ada hal-hal diluar kenyataan yang harus kita percaya. Lokasi balai latihan masih dikelilingi semak belukar. Siapa tahu ada makhluk halus disana, siapa tahu ular berbisa masih banyak.” Terdengar suara ibu dua hari sebelum acara peletakan batu pertama dilakukan.
“Tapi kita sengaja mengundang Ustaz dan pemuka masyarakat untuk bersama-sama memanjatkan doa.” Sahut Fadilah.
“Peran seorang pawing juga perlu, anakku,” sang ibu berkata lembut. “ Ular pasti masih banyak disana dan berkeliaran. Bagaimana nanti kalau ada siswa yang digigit ular berbisa dan mati?”
“Terserah ibu!”
Itulah sebabnya ketika acara peletakan batu pertama gedung balai latihan itu dilaksanakan, puluhan warga hadir dan juga tokoh masyarakat. Sebelum makan siang bersama, acara pembacaan doa dilaksanakan. Kemudian seorang lelaki tua yang dikenal sebagai seorang pawang segera melaksanakan tugasnya. Sang pawang segera menghadap ke timur, barat, utara dan ke segala penjuru lalu terdengar suaranya menggelegar membacakan mantera. Sang pawang memohon agar binatang seperti singa, harimau, babi, bahkan ular berbisa menjauh. Buaya yang ada disungai juga diusir jau-jauh agar tidak naik ke darat dan tidak mengusik anak-anak yang sedang belajar di balai latihan itu.
Fadilah mendengar kata demi kata mantera yang dilantunkan sang pawang dengan nada yang menggugah hati:
“Hari, si gempar alam.
Gegap gempita
Jarum besi akan rumahku
Jarum tembaga akan rumahku
Ular berbisa akan janggutku
Buaya akan tongkat mulutku
Harimau menderam dipengriku
Gajah menderit bunyi suaraku
Suaraku seperti bunyi halilintar
Bibir terkatub, gigi terkunci
Jikalau bergerak bumi dengan langit
Bergeraklah hati engkau
Hendak marah atau hendak membinasakan aku”
Baru saja acara peletakan batu pertama iut usai, sebuah mobil bak terbuka memasuki kawasan itu dengan membawa kerangka besi dan bak air dari bahan fiber berukuran cukup besar. Seorang lelaki mengenakan helm proyek yang duduk di sisi supir mobil itu segera turun dan menghampiri Fadilah.
“Assalamu alaikum, Dila,” lelaki itu memberi salam tandanya dia adalah seorang muslim. Dila menyambut salam itu, tapi hatinya bertanya-tanya. Siapa lelaki ini? Pikirnya. Aku seperti mengenalnya, bahkan suaranya selalu terdengar di telinga, tapi kapan dan dimana? Siapa? Sesaat Dila memikir-mikir.
“Kamu tidak mengenalku lagi, Dila?,” sapa lelaki itu lagi.
“Maaf, saya lupa dimana dan kapan kita pernah bertemu,” sahut Dila.
Lelaki itu segera membuka helm proyek putih yang menutupi kepalaya dan kaca mata hitamnya.
“Kamu pasti masih mengenalku!”
“Astaga! Bang Rizal!,” sebuah nama segera tercetus dari celah bibirnya yang tipis. Dila segera ingat siapa tamunya, seorang lelaki yang dulu selalu hadir di rumahnya dan mengajak kakaknya ke pantai atau ke gunung. Lelaki itu dan kakaknya sudah amat akrab dulu, hingga akhirnya sang kakak menikah dengan Bang Dame.
“Kemana saja selama ini?”
“Setelah kakakmu menikah, aku terbawa langkahku jauh sekali.”
“Tidak usah lagi sebut nama kakak yang sudah beristirahat dengan tenang.”
“Tapi aku masih selalu mengenangnya, Dila.”
Fadilah menunduk dan sesaat menekuri bumi, sepasang kakinya menginjak rumput-rumput halus karena belum sehelai pun rumput yang dicabut untuk pembangunan balai latihan itu. Rasanya Fadilah tidak mampu untuk menatap pandangan lelaki itu yang terasa amat dalam dan penuh arti, menembus hingga ke rongga dadanya, menembus hingga ke jantungnya.
“Perkawinan kakakmu membuat aku harus belajar tekun dan mengejar ketinggalanku, sampai akhirnya kuliahku selesasi tepat waktu dan syukur aku segera mendapat pekerjaan pada sebuah perusahaan kontraktor yang membidangi jalan dan jembatan,” tutur lelaki itu dan masih menatap wajah Fadilah.
“Saya ikut gembira mendengarnya,” hanya itu yang mampu diucapkan Fadilah di depan lelaki itu. Perlahan Dila mengangkat wajahnya.
“Aku kagum kepada gagasanmu untuk mendirikan balai latihan dan pendidikan bagi anak-anak pengamen.”
“Hati saya tergugah untuk mengangkat nasib anak-anak jalanan itu. Kalau tidak ada yang perduli, ribuan, bahkan mungkin jutaan anak-anak jalanan itu tetap saja tidak punya masa depan.”
“Aku juga ikut perduli, Dila. Semoga kamu tidak menolak kalau aku menyumbangkan sebuah menara air disini.”
“Terima kasih, Bang Rizal. Tentu saja menara air sangat dibutuhkan di balai ini.”
Fadilah tersenyum. Lelaki itu amat senang memandang wajah bundar telur yang dihiasi seulas senyum indah dan manis.
“Bolehkah aku melihat-lihat sekitar lokasi balai ini?” pinta lelaki itu.
“Tentu saja! Saya akan menemani Bang Rizal melihat-lihat balai ini.”
“Aku senang sekali dapat sampai disini, apalagi bertemu kamu.”
Dila hanya tersenyum lagi.
“Ayo!,” ajak Dila kepada lelaki itu yang masih saja menatap wajahnya.
Lelaki itu berjalan ke arah barat dan Fadilah mengiringi disisinya. Dulu lelaki itu sangat mencintai Ainun dan selalu mengajaknya bersampan hingga ke tengah laut dan membiarkan diri mereka berdua dipermainkan ombak. Lelaki itu juga pernah mengajaknya menyaksikan jamuan laut dan melihat seorang pawang membacakan mantera-mantera dengan menyebut Mambang Tali Arus, Panglima Merah dan Mambang-Mambang lainnya lalu menyembelih seekor kambing hitam untuk persembahan kepada penguasa laut itu.
Tapi siapa menduga bahwa kemesraan itu tidak berlangsung lama? Ainun segera menikah dengan Anas Pardamean, lelaki kelahiran Sidempuan yang memiliki perkebunan yang diwarisi dari ayahnya.
Lelaki itu memperhatiakan patok-patok yang sudah ditancapkan diatas lahan itu. Ada patok-patok yang membatasi letak bangunan induk, adalagi yang membatasi ruang belajar dan asrama.
“Rencananya juga ada bangunan mushola?,” lelaki itu bertanya dan lagi-lagi menatap wajah Fadilah. Lagi-lagi Fadilah tidak mampu memandang wajah lelaki itu karena tatapannya terlalu dalam dan penuh arti.
“Tentu! Biar selama anak-anak itu mendapat bekal keterampilan di balai ini, mereka juga mendapatkan siraman rohani.”
“Lalu setelah mereka mendapatkan pekerjaan dan hidup layak mereka tetap menjadi manusia yang selalu dekat dengan Tuhan, begitukah?”
“Ya, begitulah keinginan saya kalau diperkenankan Tuhan.”
“Itulah yang sangat kukagumi pada dirimu. Cita-citamu teramat mulia.”
Fadilah hanya menunduk dan tersenyum lagi. Lagi-lagi lelaki itu memandang wajah bundar telur itu saat seulas senyum menghiasi bibirnya.
“Kapan rencananya mushola itu akan di bangun?,” lelaki itu masih menatapnya amat dalam.
“Ahk, Bang Rizal. Dananya masih jauh diatas langit,” Fadilah seperti mengeluh panjang.
“Kuharap kamu tidak menolak, kalau aku yang akan membangun mushola itu.”
“Terima kasih. Terima kasih, Bang Rizal. Rasanya pada hari ini saya menerima hujan rahmat dari yang diatas. Tuhan meridhoi usaha saya. Banyak yang perduli pada gagasan saya.”
“Terus terang, aku sangat mencintai kakakmu. Beribu duri terasa menusuk rongga hati dan dadaku pada saat mendengar kakakmu tiba-tiba menikah dengan Anas,” tutur lelaki itu.
“Kami selalu memanggilnya Bang Dame!,” sela Fadilah.
“Bahkan pecahan beling terasa menggores dinding hatiku. Sampai aku hampir kehilangan semangat belajar. Enggan membaca buku, enggan hadir di kampus. Sebab kami sudah amat akrab. Tiap rekan di kampus mentertawakan diriku sebagai pahlawan yang lumpuh. Aku malu hadir di kampus. Aku bertekad untuk bekerja di sebuah kapal berbendera asing biar tidak lagi pernah melihat wajah kakakmu….”
“Maafkan kakak saya,” sela Fadilah lagi dan merasa amat iba pada lelaki disisinya.
“Tapi syukurlah, pada malam-malam yang sepi dan dingin aku berbicara dengan Tuhan melalui sholat tahajjud. Tuhan melarangku untuk menjadi pelaut dan melarang aku jauh dari tanah air. Tuhan menyuruh aku dekat dengannya dan itulah sebabnya aku selalu hadir di masjid.”
“Dan akhirnya Bang Rizal mendapatkan hidayah Tuhan, bukan? Bang Rizal selalu dekat dengan Tuhan, bukan? Sampai akhirnya Bang Rizal menyelesaikan kuliah lalu segera bekerja.”
“Hampir saja aku kehilangan masa depan. Sekarang aku sudah bekerja, sudah berdiri di tempat yang tegar dan kukuh. Namun aku sudah terlanjur berjanji akan membangun sebuah sarana ibadah. Selama berbulan-bulan aku menyisihkan sebagian dari gajiku untuk membangun sarana ibadah itu dan aku pun tidak tahu dimana aku harus membangunnya. Namun kini rasanya aku mendapat petunjuk dari malaikat, di sinilah aku akan membangunnya.”
“Terima kasih, Bang Rizal!,” ucap Fadilah.
Awan di langit berarak-arak dan seakan berhenti tepat di bawah matahari, seperti melindungi kedua manusia itu dari panas terik yang membakar. Burung-burung di ranting pohon pun berkicau nyaring seperti menyanyikan lagu tentang kemesraan. Dan angin pun berhembus lembut.
Dua orang tukang segera memasang menara air di bagian belakang bangunan induk balai latihan itu. Tidak jauh dari bangunan asrama. Besok akan segera datang bahan-bahan bangunan seperti batu bata, semen, pasir, kerikil dan genteng. Mungkin bangunan sarana ibadah itu akan lebih dulu selesai dari bangunan lainnya. Itulah tandanya seorang lelaki yang pernah akrab dengan Ainun dulu selalu dekat dengan Tuhannya.
***
S
|
eperti terkena mukzizat, Fadilah tidak mampu menolak ketika Rizal mengajak ke arah gunung untuk melihat proyek pembuatan jalan dan pembangunan jembatan yang terletak tidak jauh dari perbatasan Kabupaten Karo dan Deli Serdang. Proyek itu masih dikelilingi hutan belantara yang amat lebat.
Dari jauh terdengar gemuruh alat berat excavator menggali tanah seperti tangan raksasa mengeruk isi bumi. Burung-burung pun segera menggelepar karena takut dan terbang jauh. Puluhan kera hitam dari ranting pohon yang tinggi menyaksikan alat berat itu menggali tanah dan bebatuan. Kera-kera itu berhenti berayun-ayun menyaksikan puluhan pekerja yang sedang membuka jalan dan membangun jembatan. Mereka juga menebang pepohonan, padahal pepohonan adalah sarana bermain sekaligus tempat habitat bagi satwa-satwa hutan itu.
Seekor induk kera yang masih menyususi anaknya juga termangu-mangu seakan bersedih hati. Akankah habitat mereka tergusur? Sebab sudah amat banyak bangunan yang didirikan manusia seperti vila, pabrik, industri, lapangan golf menyebabkan satwa penghuni hutan tergusur dan kehilangan habitat mereka. Mereka menangis dan tidak tahu dimana lagi harus bermukim.
Puluhan ekor burung juga memandang sedih alat-alat berat itu bekerja. Burung-burung berbagai jenis itu juga merasa was-was, bahwa mereka akan kehilangan tempat tinggalnya. Entah dimana lagi burung-burung itu akan membuat sangkar dan menetaskan telur-telurnya.
Dalam mobil proyek itu tubuh Fadilah seperti terbanting-banting karena jalan yang baru dibuka belum diaspal. Badan mobil itu dikotori lumpur yang melekat.
“Jalan ini dibangun sepanjang dua puluh kilometer,” ujar Rizal yang mengemudikan mobil proyek itu.
“Hebat proyek Bang Rizal!,” cetus Fadilah.
“Disebelah sana sedang dibangun jembatan.”
“Adakah penduduk diseberang sana?”
“Karena itulah dibangun jalan beraspal dan jembatan biat desa di seberang yang merupakan lumbung sayur mayur tidak terisolir.”
“Lalu terbuka peluang sayur mayur itu di ekspor?”
“Ya! Bukankah hal itu akan menjaring devisa? Sejak diberlakukannya sistem otonomi, daerah-daerah berpacu mengejar pendapatan daerahnya. Dari mana uang pemerintah daerah untuk menggaji guru dan pegawai Pemda kalau tidak menggali sumber-sumber yang potensial?”
“Dan raja-raja kecil juga muncul di daerah, bukan?”
“Tentu saja!”
“Lalu siapa yang akan mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan daerah?”
“Semua pasti sudah dipikirkan pemerintah. Yang membobol uang rakyat biar masuk penjara.”
Mobil itu terus terguncang karena jalan yang belum diaspal. Lalu dekat jembatan yang sedang dibangun, mobil proyek yang ber-lumpur tebal itu berhenti.
“Kita menelusuri sungai dengan jalan kaki karena belum dapat dilalui kendaraan.”
Fadilah tampak ragu-ragu ketika diajak turun dari mobil dan disekitarnya adalah hutan belantara.
“Ayo!,” ajak Rizal.
Fadilah masih ragu-ragu untuk menginjakkan kakinya di proyek yang berada di tengah hutan itu.
“Tidak usah ragu-ragu, tidak ada harimau yang ganas disini.”
Perasaan ragu-ragu itu mendadak lenyap dari rongga hatinya ketika lelaki itu mengulurkan tangan kemudian mengajaknya turun.
Ada getar-getar halus di rongga dadanya ketika jari tangannya disentuh dan dibimbing berjalan mengitari hutan belantara itu.
“Ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di kawasan hutan ini, aku terkenang kepada almarhum ayahmu,” terdengar suara lelaki itu.
“Apa hubungannya ayah Dila dengan hutan belantara ini?,” Fadilah menatap wajah lelaki itu.
Ayahmu adalah orang tua yang baik dan petuah-petuahnya amat banyak. Ayahmu seakan tahu akan bagaimana nasibku. Bagaikan seorang peramal, ayahmu tahu akan banyak kesulitan yang kuhadapi untuk meraih cita-cita dan karirku, namun suatu ketika akan mampu mencapai titik kebahagiaan.”
“Dan ucapan ayah ternyata benar, bukan? Bang Rizal selesai kuliah dan hidup mapan meskipun amat banyak batu kerikil serta rintangan di tengah perjalanan itu.”
“Ayahmu tahu benar aku bakal bekerja di proyek dan akan selalu keluar masuk hutan. Ayahmu yang mengatakan, bahwa hutan tidak boleh sembarangan dirambah, kecuali untuk kebutuhan yang sangat penting bagi kesejahteraan umat manusia, seperti untuk perladangan, pembuatan dusun atau rumah dan penebangan pohon hanya untuk perahu atau untuk alat musik serta ramuan obat.”
“Sejauh itu ayah selalu berkata kepada Bang Rizal,” cetus Fadilah masih melangkah disisi lelaki gagah itu. “Itu tandanya almarhum senang pada pribadi Bang Rizal.”
“Itulah yang amat menyejukkan hatiku meskipun sikap ibumu bertolak belakang.”
“Hmmm,” Fadilah hanya bergumam sambil tersenyum dan kakinya menghindari akan pohon yang melintang.
“Aku ingat benar pepatah adat yang dikatakan ayahmu tentang hutan.”
“Apa katanya?”
Persis seperti seorang deklamator yang baik, lelaki itu membacakan sebuah pepatah adat Melayu tentang hutan:
“Kalau binasa hutan yang lebat, rusah lembaga hilanglah adat,” lanjut lelaki itu lagi. ”Ayahmu juga yang memberi nasihat agar tidak sembarangan merusak rantau dan sungai.”
“Apa pula pesannya?”
Lagi-lagi sebagai pembaca puisi terbaik, lelaki yang kini karirnya mapan itu melantunkan pepatah adat Serdang:
“Sehelai akar puntung,
Sebingkah tanah terbalik,
Sebatang kayu rebah,
Negeri yang empunya,
Pinang nan gaya,
Nyiur yang saka,
Jerat yang panjang,
Nenek moyang kami yang empunya”
Lelaki yang kini menangani proyek besar itu juga menuturkan tentang larangan-larangan yang diutarakan almarhum Haji Faris. Dilarang merusak dan menebang pohon Tualang karena selalu menjadi sarang lebah yang madu dan lilinnya untuk kesejahteraan manusia. Juga larangan menebang pohon-pohon tinggi karena untuk menjadi petunjuk arah atau pedoman penduduk.
Apalagi kalau menebang pohon dekat kuburan keramat paling dipantangkan. Bahkan menebang kayu besar utntuk bahan perumahan atau sampan ada persyaratan tertentu. Dan semua itu benar-benar dipatuhi lelaki itu selama menangani proyek pembuatan jalan dan pembangunan jembatan di kawasan hutan itu. Karena petunjuk Haji Faris itulah proyek besar itu lancer dan amat, tidak ada bala, tidak ada buruh yang cedera.
Fadilah masih berjalan disisi lelaki itu yang tetap memegang ujung jarinya. Masih saja dia merasakan getar-getar halus di rongga hatinya. Kicau burung amat nyaring menyambut kedatangannya bersama seorang lelaki yang memang sudah amat sering hadir di kawasan itu untuk mengawasi pekerja proyek jalan dan jembatan. Belasan monyet-monyet hitam yang bergantungan di cabang pohon juga melirik sepasang manusia itu. Kemana gerangan mereka berjalan di bantaran sungai yang sepi?
Bagaikan tangan raksasa alat berat excavator itu terus menggali tanah dan bebatuan dari perut bumi. Pekerja proyek yang puluhan banyaknya seakan berpacu dengan waktu agar proyek itu dapat selesai sebelum musim hujan turun. Apalagi pemimpin proyek itu yang sedang berjalan dengan seorang gadis menyelusuri bantaran sungai itu juga mengerahkan segala daya dan upaya agar proyek itu cepat rampung kemudian petani sayur di kecamatan seberang dapat mengekspor sayur mereka ke Singapura dan Kuala Lumpur.
“Untuk apa kita harus berjalan sepanjang pinggiran sungai?,” terdengar suara Fadilah ketika angin gunung berhembus membawa udara sejuk. Kicau burung masih terus terdengar. Anak-anak rambut Fadilah berkibar dibelai angin gunung.
“Tentu saja untuk menunjukkan kepadamu, bahwa alam pegunungan selalu indah dan udara pun sejuh,” cetus lelaki disisinya.
“Saya memang menyenangi keindahan, juga kesejukan.”
“Tidak keliru kalau aku mengajakmu kemari, bukan?”
“Hmmm,” Fadilah hanya bergumam.
“Disini udara masih benar-benar bersih. Sungai pun airnya bersih, belum dikotori limbah rumah sakit, hotel dan industri.”
Lelaki itu berhenti melangkah dan mengajak duduk diatas batu besar di pinggiran sungai. Air sungai yang mengalir tampak jernih dan ikan-ikan bermain disana.
“Tempat ini sepi, tidak ada siapa-siapa. Yang terdengar hanya kicau burung, derai air sungai dan suara angin yang berhembus.”
Fadilah memandang kejauhan dan yang tampak adalah bukit-bukit hijau. Di langit awan putih berarak-arak ke arah selatan. Sesekali burung-burung terbang berpasangan.
“Aku mengajakmu kemari tidak hanya untuk melihat proyek yang sedang kutangani, tidak hanya untuk mengajakmu melihat keindahan alam dan udara yang sejuk atau melihat burung-burung terbang.”
“Lalu untuk apa lagi?”
“Untuk mengatakan kepadamu, bahwa ronga didadaku pernah tergores beling tajam.”
“Hmmm,” Fadilah mengerti makna kata-kata itu.
“Juga untuk mengatakan kepadamu, bahwa relung hatiku pernah tertusuk duri dan teramat perih.”
“Karena perkawinan Kaka Ainun dengan Bang Dame, bukan?”
“Ya!”
“Sekali lagi saya mohon maaf. Berikan maaf kepada Kak Ainun yang sekarang sudah berbaring dengan tenteram di pusaranya.”
“Sudah lama aku memaafkannya, Dila. Hanya sesekali terkenang masa lalu.”
“Sebaiknya lupakan masa lalu itu, betapapun amat indah.”
Lelaki itu menghela nafas panjang dan menatap kejauhan. Yang tampak adalah bukit-bukit hijau. Sepasang burung sedang terbang berpasangan. Sepasang kupu-kupu yang juga terbang di depan lelaki itu. Gemericik air sungai terus terdengar.
“Sudah waktunya Bang Rizal melupakan semuanya. Bukankah karir Bang Rizal sudah mapan? Untuk menemukan jodoh tidak sulit. Mau notaris pasti ada. Mau memilih dokter gigi, pasti banyak yang mau. Mau karyawati bank, pasti banyak yang mau menerima ulurang tangan Bang Rizal. Mau gadis secantik bidadari pasti Bang Rizal mudah mendapatkannya,” ucap Fadilah.
“Tidak semudah itu, Dila!”
“Kenapa?”
“Ada hal-hal yang mengganjal hatiku.”
“Apa lagi yang mengganjal? Seorang lelaki yang menyandang gelar insinyur dan hidupnya sudah mapan, pasti menjadi idaman gadis-gadis cantik.”
“Hingga detik ini aku belum mampu melupakan kakakmu. Wajahnya selalu lekat di dasar hatiku.”
Seekor burung pelatuk yang sedang melubangi batang pohon untuk sarangnya mendadak berhenti ketika lelaki itu mengucapkan kata-kata itu. Padahal burung pelatuk itu ingin buru-buru menyiapkan lubang untuk sarangnya, untuk tempatnya bertelur lalu menetaslah anak-anak burung pelatuk yang mungil. Sepasang kupu-kupu yang sedang hinggap di kuntum bunga liar di depan mereka juga tertegun. Semuat ikut bersedih dan menundukkan wajah.
Di hati lelaki itu pernah ada luka, jantungnya pernah tergores beling tajam. Dadanya pernah diterpa kesedihan yang amat dalam.
Ada tusukan beribu duri dalam relung hatinya.
Kasihan lelaki itu. Padahal sekarang hidupnya mapan. Lelaki itu sudah menemukan tempat tegak yang kukuh dan tidak pernah goyah. Lelaki yang sudah hidup mapan seperti itulah yang kini menjadi idaman gadis-gadis cantik.
“Dila mengerti perasaan Bang Rizal,” bisik Fadilah perlahan.
“Dila memahami kesedihan di hati Bang Rizal.”
Tiba-tiba saja Fadilah merasa ada getaran halus di rongga dadanya ketika perlahan sekali lelaki disisinya menyentuh ujung jari-jari tangannya yang lentik dan meremasnya.
“Dila….” Lelaki itu menyebut nama itu amat pelan.
“Hmmm,” Fadilah hanya mampu bergumam. Lirih.
“Hari ini luka itu seakan mendadak sembuh, pada saat kamu disisiku. Kakakmu seakan hadir kembali disini, disisiku. Orang yang sangat kucintai seakan hidup kembali untuk membalut luka…”
“Kenapa Bang Rizal berkata begitu?,” perlahan sekali Fadilah menatap wajah lelaki itu yang pernah menjadi pacar almarhumah kakaknya, bahkan sudah amat akrab.
“Karena kamu mirip dengan kakakmu. Karena hatimu juga selembut hati kakakmu, selembut sutera yang paling halus. Karena aku menyadari, belum ada siapapun di hatimu…”
“Ya, belum ada siapa pun,” sahut Fadilah lirih.
Getar-getar halus dalam rongga dadanya semakin terasa ketika lelaki yang kini menangani pembangunan jalan dan jembatan di Kabupaten Karo itu semakin erat menggenggam jari tangannya.
“Aku berharap hatimu terbuka…” bisik lelaki itu.
Fadilah tidak mampu menyahut. Tidak ada kata-kata yang mampu tergetar dari celah bibirnya yang tipis. Sebab dia merasa kasihan kepada lelaki yang pernah merasakan luka di hatinya. Sebab Fadilah merasa iba lelaki itu pernah merasakan kesedihan yang amat dalam di rongga dadanya.
“Kamu mau membuka pintu hatimu?”
“Fadilah tetap saja tidak mampu berkata-kata. Tetap saja merasakan getar-getar halus di rongga dadanya.
“Kamu dengar, Dila?”
Dila hanya mengangguk lirih.
“Kamu mau membuka pintu hatimu dan aku hadir di sana?”
Dila hanya mampu mengangguk lirih. Perlahan sekali lelaki itu memeluk tubuh Dila amat erat. Tandanya Dila benar-benar menerima kehadiran lelaki itu dihatinya, dia tidak menepiskan tangan lelaki itu. Fadilah benar-benar pasrah.
Lelaki itu membelai rambutnya, lelaki itu membelai tubuhnya. Amat lama. Bila Dila menunduk, lelaki itu menyentuh ujung dagunya agar Dila mengangkat wajahnya karena lelaki itu amat ingin menatap sepasang matanya yang teduh dan jernih seperti air telaga. Lelaki itu ingin memandang sepasang bibirnya yang tipis dan merekah. Perlahan sekali lelaki itu mengecupnya penuh kasih sayang.
Burung pelatuk yang sedang membuat lubang di dahan kayu untuk sarangnya tersenyum. Angin pun berhembus lembut membelai sepasang manusia yang sedang duduk di bawah pohon rindang di pinggir sungai itu. Awan putih yang sedang berarak-arah di langit tiba-tiba berhenti menyaksikan sepasang anak manusia mengikat janji di tempat sepi itu.
***
S
|
ebuah mobil Panther merah hati baru saja meninggalkan rumah bercat krim yang terletak tidak jauh dari Sungai Deli itu, ketika Fadilah pulang. Diatas meja masih terlihat gelas-gelas kosong dan sisa kue-kue. Sesaat langkah Fadilah terhenti dan tertegun di ruang tamu.
“Seperti baru saja ada tamu-tamu terhormat!,” cetus Fadilah di depan ibunya.
“Ya, tamu istimewa!”
“Siapa tamu istimewa yang datang ke rumah kita?”
“Rombongan dari Sidempuan.”
“Dari Sidempuan? Siapa mereka?”
“Siapa lagi kalau bukan keluarga dekat Bang Dame?”
“Keluarga dekat Bang Dame?,” ulang Fadilah dna menatap dalam-dalam wajah ibundanya dengan sikap heran.
“Ada amang tobang, inang tobang, ada ompung, juga tulang tobang. Inang bujing juga ikut dalam rombongan itu.”
“Seperti ada keperluan keluarga yang amat penting.”
“Ya, sangat penting.”
“Penting bagaimana? Mengapa harus ke rumah kita?,” lagi-lagi Fadilah menatap wajah ibundanya amat dalam.
“Yang namanya ompung dan amang tobang amat kasihan melihat keadaan cucunya setelah kakakmu meninggal. Sikap keluarga lainnya juga begitu. Sejak kakakmu tidak ada, Bang Dame sering melamun. Perubahan sangat besar telah terjadi pada dirinya. Pihak ompung dan amang tobang khawatir cucu mereka melakukan hal-hal yang tidak terpuji kalau terlalu lama larut dalam kesedihan. Kemana lagi perginya seorang suami yang terlalu lama sendiri kalau tidak mendatangi tempat-tempat hiburan?,” ujar sang bunda.
“Sesekali menyanyi di karaoke adalah hal yang wajar, Bu. Yang ada di karaoke cuma nyanyi, Bu.”
“Tapi pihak ompung dan amang tobang serta saudara-saudara lainnya, terutama tulang dan amang tua, merasa khawatir iman seorang lelaki yang terlalu lama tanpa pendamping akan runtuh, lalu terseret kepada hal-hal yang buruk. Bagaimana kalau Bang Dame minum-minum hingga mabuk? Bagaimana kalau ada perempuan penghibur yang menggodanya? Dia akan terseret dalam dosa yang amat besar. Dia akan lupa pulang, lupa kepada anaknya. Uangnya juga akan terkuras oleh perempuan penghibur itu.”
Fadilah menekur sesaat.
“Itulah sebabnya keluarga dari Sidempuan itu sengaja datang ke rumah kita.”
“Untuk apa?”
“Mereka ingin Bang Dame tidak terlalu lama menduda, tidak terlalu lama sendiri.”
“Lalu bagaimana?,” Fadilah menatap wajah ibundanya.
“Harus ada seseorang yang dapat mendampinginya.”
“Bang Dame harus menikah lagi, begitukah?”
“Ya!”
“Sudahkah Bang Dame menemukan pilihan yang sesuai?”
“Sudah!”
“Mungkin pilihan Bang Dame adalah seorang dokter gigi?”
Bu Azizah menggeleng. “Mungkin seorang notaris?”
“Bukan!”
“Lawyer?”
Lagi-lagi Bu Azizah menggeleng.
“Mungkin pilihan Bang Dame jatuh kepada dosen atu guru.”
Sang bunda tetap saja menggeleng.
“Pilihannya adalah kamu, Dila.” cetus sang bunda.
“Dila? Saya?,” Fadilah menunjuk dadanya sendiri. Dia kaget.
“Iya! Semua keluarga besar dari Sidempuan itu sangat menganjurkan agar cucu mereka menikah lagi bukan dengan orang lain, tapi denganmu, Dila. Apalagi yang namanya inang bujing dan ompung serta amang tua, sangat menginginkan ganti tikar. Itulah yang terbaik. Kamu tahu apa maknanya ganti tikar, bukan?”
“Ganti tikar?,” dua kata itu tergetar dari celah bibir Fadilah yang tipis.
“Orang Melayu juga sering melakukan itu, Dila. Juga orang Mandailing. Setelah isteri meninggal, lalu mengawini adiknya. Dalam suku-suku lain kebiasaan ganti tikar juga sering dilakukan orang. Suku Jawa, Sunda, Minang atau Kalimantan, ganti tikar adalah pilihan terbaik karena menjaga keutuhan keluarga,” sang bunda mencoba memberi pengertian kepada puterinya.
“Dan ibu setuju?”
“Tentu! Karena ganti tikar memang pilihan yang terbaik. Bukankah kamu sudah sangat mengenal pribadi Bang Dame? Bukankah Maya juga sangat dekat dan manja kepadamu?”
“Sebenarnya….sebenarnya Dila belum ingin buru-buru menikah, Bu. Sebab cita-cita Dila untuk mendirikan balai pelatihan untuk anak-anak jalanan belum terwujud.” Fadilah berkata lirih. Fadilah segera ingat Rizal. Baru saja dia rebah di dada lelaki itu dan Rizal membelai rambutnya, memeluk tubuhnya amat erat. Baru saja Rizal membisikkan kata-kata indah bernada puitis bahwa luka didadanya terbalut karena kehadiran Fadilah. Baru saja Rizal mengatakan, bahwa dia akan merajut masa depan bersama dalam sebuah pernikahan. Baru saja Fadilah menganggukkan kepalanya tandanya dia ingin mendampingi Rizal sebagai isteri. Bukankah Rizal sudah hidup mapan?
Fadilah sudah menetapkan hatinya, untuk menikah dengan Rizal. Tidak ada pilihan lain.
Kini, ketika Fadilah menjejakkan kakinya di rumah, bundanya sudah mengambil keputusan dengan keluarga yang sengaja datang dari Sidempuan, bahwa Bu Azizah juga sepakat kalau Fadilah harus menggantikan kakaknya disisi Anas Pardamean. Semua sepakat jalan yang terbaik menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga adalah dengan ganti tikar, atau sang adik menggantikan almarhum kakaknya. Sistem perkawinan ganti tikar sudah sering dilakukan orang dimana-mana.
Lama Fadilah termenung. Dia tampak bingung dan merasa dirinya tegak di sebuah persimpangan yang amat banyak. Dila tidak tahu kemana harus melangkah. Dia tidak tahu ke arah mana harus memilih.
“Ingat, Dila. Alamarhumah kakakmu sangat bahagia di sisi Bang Dame. Rumah dan kendaraan sudah ada. Semua serba cukup. Keluarga kita juga banyak menerima ulurang tangannya. Semua itu jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kamu yang harus memiliki semua itu, Fadilah. Kamu yang harus melanjutkan kebahagiaan yang pernah dinikmati almarhumah kakakmu. Kita akan merasa sangat sedih kalau semua yang ada dimiliki orang lain andainya Bang Dame kawin dengan orang lain. Kita juga akan banyak kehilangan, Dila. Kepada siapa lagi kita akan menyandarkan nasib kalau akhirnya Bang Dame kawin dengan orang lain? Akan bagaimana nasib kita tanpa sandaran? Ingatlah itu.”
Panjang lebar, Bu Azizah berusaha memberi pengertian kepad puterinya untuk menggantikan posisi alamrhumah kakaknya disisi Bang Dame. Berkali-kali sang bunda mengimbau agar jangan sampai semua harta yang ada dimiliki orang lain kalau Fadilah harus menolak ganti tikar itu. Bu Azizah benar-benar amat takut harta benda itu dimiliki orang lain. Lebih takut lagi Bu Azizah akan kehilangan seseorang yang selalu mengulurkan tangan. Tanpa bantuan menantunya, mungkin dapurnya tidak lagi berasap.
Bu Azizah juga takut cucunya, Maya akan mendapatkan ibu tiri yang kejam dan zalim, seperti dalam dongeng-dongeng.
Itulah sebabnya Bu Azizah berupaya menggugah hati puterinya untuk menggantikan kakaknya disisi Bang Dame. Ganti tikar memang adalah merupakan pilihan yang terbaik. Apalagi dasar pertimbangannya adalah anak yang sudah amat dekat dan manja dengan Fadilah. Juga atas dasar pertimbangan keutuhan keluarga. Juga pertimbangan harta yang banyak itu jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Apalagi semua pihak keluarga memang sangat setuju dan tidak ada pilihan lain kecuali “ganti tikar”. Istilah itu memang sudah amat populer di tengah masyarakat semua suku di negeri ini.
***
M
|
aafkan Dila, Bang Rizal. Maafkan saya. Berkali-kali Fadilah berkata-kata dalam hatinya ketika pernikahannya dengan Bang Dame berlangsung. Keluarga dari pihak Bang Dame memang menghendaki pernikahan itu segera dilangsungkan. Sebab keluarga besar dari Sidempuan itu benar-benar tidak ingin Anas Pardamean terlalu lama menyendiri lalu terseret kepada hal-hal yang tidak terpuji.
Fadilah benar-benar tidak mampu menolak imbauan para keluarga untuk menggantikan posisi kakaknya disisi Bang Dame, padahal cita-citanya untuk mendirikan sebuah balai latihan belum sepenuhnya terwujud. Padahal baru saja dia rebah di dada Rizal dan lelaki itu memeluknya amat erat dan mereka akan menikah.
Akan halnya balai itu yang baru tampak hanya pondasi gedung, tapi Bang Dame sudah berjanji untuk mendukung sepenuhnya pembangunan balai latihan itu. Bang Dame sudah menghubungi asosiasi eksportir CPO dan hasilnya mendapatkan sumbangan 150 zak semen. Yang menyumbang 15.000 batu bata juga sudah ada. Sumbangan besi beton dan kerikil juga sudah diturunkan di lokasi itu. Ribuan keping genteng berwarna biru juga menumpuk di tempat itu.
Maafkan Dila, Bang Rizal. Maafkan saya. Berkali-kali kata itu diucapkan Dila dalam hatinya. Dia berharap permohonan maaf itu di dengar awan yang berarak atau di dengar angin yang berhembus untuk disampaikan kepada Rizal karena Fadilah pernah rebah di dada lelaki itu dan membiarkan tubuhnya remuk dalam pelukannya.
Bahkan ketika diatas ranjang pengantin yang dihiasi amat indah, kata-kata itu masih diucapkannya dalam hati. Sampai dia benar-benar lalai dan lupa membaca doa bila sepasang suami isteri akan bergaul intim.
“Bismillaahii, Allaahumma jannibnaasy syaithaana wa jannibisy syaithaana razaqtanaa,” doa itu pendek, tapi sepasang pengantin itu benar-benar telah melalaikannya. Tiap pasangan suami isteri yang lalai membaca doa itu pastilah syeitan hadir di tengah-tengah mereka saat melakukan hubungan suami isteri. Kelak di kemudian hari, bila hubungan intim itu membuahkan keturunan, sang janin akan sungsang dan sukar dilahirkan, atau setelah lahir sang anak menjadi anak durhaka atau sukar di didik. Bahkan juga dapat menyebabkan membawa kematian sang ibu saat melahirkan. Dan syeitan benar-benar hadir di malam pengantin itu.
Ganti tikar memang solusi terbaik bagi seorang lelaki yang sudah kematian isterinya kemudian menikahi adi almarhumah isterinya. Tidak terlalu banyak persoalan. Tidak harus khawatir anak yang ditinggalkan menerima kehadiran ibu tiri yang kejam dan zalim. Si anak yang ditinggalkan ibunya seperti tidak sempat kehilangan kasih sayang. Si anak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari makciknya sendiri.
Dan yang lebih utama lagi, harta dan kekayaan tidak sempat jatuh ke tangan orang lain. Begitu juga dengan perhatian, bantuan dan uluran tangan. Bu Azizah tidak sempat kehilangan uluran tangan dan santunan menantunya. Perempuan kelahiran Serdan Bedagei itu tidak sempat kehilangan tempat bersandar yang kukuh. Dapurnya akan terus berasap.
Si kecil Maya tetap dapat bermanja-manja terhadap makciknya. Balita itu tampak senang dan seperti tidak pernah kehilangan ibundanya ketika diajak berenang dan berjam-jam bersimbah air bersama Fadilah.
Ketika diajak ke taman margasatwa si kecil itu ketakutan melihat gajah yang mendekat, lalu berlindung di bawah ketiak Fadilah tanpa merasa canggung.
“Minggu depan kita diundang Namboru Taing,” ujar Bang Dame ketika pulang dari kantornya.
“Ada acara apa?”
“Anaknya menikah dengan seorang karyawan Telkom. Kabarnya pestanya akan meriah.”
“Lalu kita harus memberi kado apa?”
“Terserah!”
“Bagaimana kalau kompor gas?”
“Boleh juga!”
Bila saatnya hadir di rumah Namboru Taing, tidak ada kesulitan berkomunikasi dengan keluarga. Fadilah cepat akrab dengan semua keluarga Bang Dame karena dia memang sudah mengenal keluarga itu sejak kakaknya masih hidup dulu. Itulah segi positifnya perkawinan ganti tikar. Tidak ada hambatan lagi dalam hubungan kekeluargaan. Semua lancar. Hubungan persaudaraan tidak sempat terputus. Fadilah memang sudah mengenal dekat hampir semua keluarga Bang Dame, mulai dari angkang atau abang, nantulang tobang, anggi, amang uda, hingga ompung yang sudah amat tua itu.
Fadilah tidak heran lagi mendengar istilah kekerabatan Daliha Na Tolu di kalangan keluarga Bang Dame yang terdiri dari kahanggi, anak boru dan mora.
Tanpa penjelasan dari Bang Dame, Fadilah sudah tahu apa fungsi dan kedudukan “mora” dalam kekerabatan Mandailing, bahwa mora adalah pihak yang paling dihormati. Mora adalah mata ni ari so gakgahon, yakni matahari yang tidak boleh ditentang. Suhut harus somba Marmora dan dianggap sebagai sumber berkat, tua dan pasu-pasu.
Ibu baru manapula yang mau bermain boneka bersama anak tirinya berjam-jam duduk di lantan kalau bukan adik ipar sendiri yang menggantikan kaka di sisi suami? Itulah Fadilah. Dan itulah segi positif dari perkawinan ganti tikar. Perkawinan ganti tikar memang paling efektif untuk menjaga keutuhan persaudaraan.
Lihatlah burung-burung gereja yang bermain di halaman rumah besar itu, sesekali memandang ke arah rumah besar bercat krim itu dan melihat penghuninya dalam suasana damai penuh kebahagiaan.
Burung-burung itu tersenyum kalau melirik ke arah rumah berlantai dua itu dan tampak rambut Fadilah basah karena sering-sering mandi keramas tandanya malam tadi menikmati saat-saat yang paling indah dan hangat bersama suami.
Ibu tiri mana pula yang mau mendongeng setiap malam sebelum balita itu tertidur lelap dengan memeluk boneka? Itulah Fadilah dan dia benar-benar pintar mendongeng tentang mitos Mambang Si Gao yang bertutur tentang kesaktian bangsawan di pesisir Batubara. Juga tentang mitos Si Peros yang berkisah tentang seekor harimau sakti penunggu istana Bahran di Kota Pinang. Fadilah juga pernah bercerita tentang mitos Puteri Tanah Datar yang berkisah tentang kesaktian seorang puteri raja yang memerintah amat adil di Kerajaan Lima Laras, Tanjung Tiram. Apalagi legenda Pulau Simardan dan Perahu Si Kantan, sudah lebih dua kali diceritakan kepada si kecil Maya, tapi bocak itu seperti tidak pernah puas. Kemarin malam Fadilah juga bertutur tentang kisah Datuk Hamparan Perak.
Pernah hampir satu jam Fadilah menuturkan Jibau Malang yang merupakan cerita rakyat Pantai Cermin. Jibau Malang adalah seorang penegak kebenaran dalam melawan Datuk Orang Kaya Muda sebagai tokoh antagonis yang arogan dan penuh keangkuhan. Namun watak antagonis ini sebagai pralambang gugahan terhadap masyarakat luas untuk menerima kekalahan pada setiap perselisihan atau pertarungan.
Andainya Maya sudah dewasa pasti dia akan banyak bertanya tentang sekitar Mahkota Kesultanan Deli Serdang. Namun sebagai seorang sarjana sosial, Fadilah juga menyiapkan jawabannya. Suatu saat Fadilah akan bercerita panjang lebar tentang Tuanku Umar Kejeruan Junjungan sebagai Sultan Serdang yang pertama hingga Tuanku Sultan Ainan Johan Alamshah sebagai Sultan Serdang yang kedua dan permaisurinya adalah Tuanku Puan Sri Alam, Puteri Raja Perbaungan.
Namun yang paling menarik bagi si kecil Maya, adalah dongeng tentang Puteri Hijau.
“Cantikkah sang puteri itu?,” Tanya si kecil itu sambil memeluk boneka menjelang tidur.
“Tentu saja cantik. Mada ada gadis berdarah Melayu yang tidak cantik. Mana ada gadis Melayu mukanya buruk. Kulitnya putih dan mulus, matanya jeli dan jernih seperti air telaga,” sahut Fadilah memberi komentar. “ Apa lagi rambutnya tergerai-gerai, lehernya jenjang dan alisnya seperti semut-semut kecil beriring.”
“Pintar menari?” Tanya si kecil itu lagi lebih jauh.
“Tentu saja pintar karena jari tangannya lentik, lembut dan halus.”
“Tari apa?”
“Serampang dua belas dan Tanjung Katung!”
“Apakah Puteri Hijau pintar menyanyi?”
“Pasti! Gadis-gadis Melayu suaranya selalu merdu.”
“Lagu apa?,” sang balita semakin banyak ingin tahu tentang tokoh Puteri Hijau.
“Banyak! Lagu Senandung, Kuala Deli, Makan Sirih dan Burung Putih.”
Tanpa terasa bosan, meskipun Fadilah sudah amat mengantuk dan berkali-kali menguap, tapi masih saja dia melanjutkan dongengnya terutama tentang sosok Puteri Hijau.
“Lagu dan tarian Melayu banyak disenangi orang, karena lembut dan menggugah hati. Gerak lenggang lenggok dan lemah gemulai para penari serta diiringi lagu-lagu yang mendayu menyebabkan orang hanyut dalam hayalan dan keindahan, seakan di pelupuk matanya tampak perahu nelayan dibuai ombak di tengah laut dan angin pun berhembus kencang serta burung- burung elang mengitari nelayan itu.”
Fadilah masih terus melanjutkan dongengnya padahal si kecil itu sudah tertidur pulas memeluk bonekanya. Dua atau tiga boneka selalu menjadi temannya tidur. Dongeng itu amat melekat di hati si kecil itu dan membawanya pada mimpi-mimpi indah.
Meskipun Fadilah selalu sibuk mencari dana pembangunan balai latihan bagi anak-anak pengamen itu, serta menjalin kerja sama dengan berbagai LSM, tapi langkahnya selalu ringan. Bila ada famili yang dirawat di rumah sakit, pasti dia selalu paling awal menjenguk dengan membawa buh-buahan seperti jeruk manis dan apel. Tidak hanya buah-buahan segar, bila famili yang dirawat dari keluarga kurang mampu, dia pasti mengulurkan uang bantuan.
Seperti halnya ketika Ompung Suhut yang bermukim di Sipirok, tidak jauh dari Hotel Torsi Bohi di rawat di rumah sakit, Fadilah tanpa ragu-ragu memberikan uang dua juta. Sebab keluarga Ompung Suhut yang menderita kanker usus itu memang hidupnya tidak mampu.
“Andainya si Dame kawin lagi dengan orang lain, belum tentu kami mendapat bantuan seperti ini!,” Fadilah hanya tersenyum mendengar pujian itu.
“Syukurlah si Dame mendapatkan pengganti isterinya bukan orang lain, sehingga hubungan baik antara kerabat tetap akrab dan saling membantu!”
Meskipun amat jauh, meskipun harus menempuh ratusan kilometer, bila ada kerabat dekat yang meninggal langkah Fadilah pasti terbawa kesana. Seperti halnya ketika nantulang tobang meninggal di Penyabungan, Fadilah juga hadir di tengah sanak famili yang sudah berkumpul di rumah duka.
“Kalau Dame menikah dengan orang lain, entah bagaimana nasib cucuku di tangan ibu tirinya!,” ujar salah seorang inang tua yang sengaja menemuinya dan memeluknya.
Lagi-lagi Fadilah mendapat pujian da ri kerabat pihak suaminya yang masih bermukim di Penyabungan, Sidempuan, Sipirok, Gunung Tua, Muara Soma dan di Pidoli Dolok.
“Saya akan mengasuh Maya baik-baik!,” hanya itu yang diucapkan Fadilah seadanya.
Semua menyambutnya ramah. Semua menilai, bahwa perkawinan ganti tikar adalah yang terbaik. Di kalangan kerabat yang berbicara tentang harta juga ada.
“Kalau Dame kawin dengan orang lain, entah bagaimana dengan rumah dan harta bendanya. Jangan-jangan berantakan dan habis!,” ujar salah seorang kerabat, nantulang tobang.
Fadilah hanya tersenyum lagi. Dia tidak merasa canggung berkumpul di antara sekian banyak kerabat di rumah duka. Ompung yang sudah tua dan bengkok itu juga hadir disana. Fadilah juga ikut melaksanakan sholat jenazah diantara kaum kerabat lainnya.
Perkawinan ganti tikar itu memang tidak banyak membawa persoalan dalam berkeluarga dan berkerabat. Justru yang amat terasa adalah kebaikan. Juga keharmonisan dalam rumah tangga. Tidak ada yang berkata miring tentang perkawinan ganti tikar itu. Toh, si anak balita yang ditinggalkan ibunya seperti mendapatkan kembali kasih sayang. Bukankah semua harta benda tidak jatuh ke tangan orang lain. Toh, Bu Azizah tidak kehilangan ulurang tangan dan bantuan dari menantunya. Dapurnya tetap bias berasap seperti biasanya. Anas Pardamean tetap saja menjadi menantunya. Perempuan kelahiran Serdang Bedagei itu tetap saja memiliki tempat bersandar yang kukuh.
Tidak ada yang berkata macam-macam tentang perkawinan ganti tikar itu. Tidak ada yang kehilangan kebahagiaan. Tidak ada yang kehilangan harga diri. Kalau pun Fadilah sebagai seorang gadis menikah dengan seorang duda, adalah karena duda itu adalah suami almarhumah kakakya sendiri. Tidak ada yang berkata miring. Tidak ada yang merasa iri.
Cuma ada seseorang yang merasa amat terpukul karena perkawinan ganti tikar itu. Seseorang itu adalah Rizal, yang kini hidupnya sudah mapan dan berharap Fadilah menjadi pendampingnya. Padahal lelaki itu pernah membelai rambut Fadilah, pernah memeluk tubuh gadis itu amat erat dan mengecup bibirnya. Lelaki itu pun sudah berikrar akan meminang Fadilah dengan adat Melayu lengkap dengan tepak sirih. Bahkan seseorang yang pintar melantunkan pantun-pantun sudah tersedia yang diundangnya dari Tanjung Pura.
Tapi siapa menduga sekali lagi beling tajam menggores rongga dadanya? Siapa menyangka, sekali lagi duri-duri tajam menusuk relung hatinya? Dulu, ketika dia masih di fakultas teknik, Ainun mendadak meninggalkannya karena pernikahannya dengan lelaki kelahiran Sidempuan itu. Sekarang, ketika Rizal mulai akrab dengan Fadilah, sekali lagi orang lain merenggutnya. Dan orang lain itu lagi-lagi lelaki yang selalu di panggil dengan nama Bang Dame.
Sekali lagi relung hati Rizal terluka. Sekali lagi ada kepedihan dalam rongga dada Rizal. Lelaki itu seperti tidak mampu merasakan kepedihan itu. Lelaki muda itu seperti tidak mampu merasakan luka di relung hatinya.
Itulah sebabnya, meskipun proyek pembangunan jalan dan jembatan di Kabupaten Karo itu belum rampung, lelaki itu memohon untuk dimutasikan. Tidak perduli ke pedalaman Kalimantan. Seakan lelaki itu ingin membawa luka itu ke tempat yang teramat jauh, ke suatu tempat yang pasti dia tidak akan bertemu dengan Fadilah lagi. Dan lelaki itu juga tidak tahu pasti, apakah tempat yang teramat jauh itu akan menemukan kedamaian, kesejukan dan keindahan. Lelaki itu juga tidak tahu pasti, apakah di tempat yang teramat jauh itu luka di hatinya akan tersembuhkan.
***
B
|
angunan balai latihan khusus untuk anak-anak jalanan itu belum rampung, tapi orang-orang yang amat perduli dan memberikan bantuan selalu saja ada. Ada pengusaha yang menyumbangkan cat serta keramik. Yang menyumbangkan satu unit komputer juga ada. Dari hari ke hari Fadilah semakin sibuk.
Sebentar lagi, lebih dari tiga puluh anak-anak yang selama ini statusnya sebagai pengamen tidak akan pernah lagi tampak di persimpangan jalan. Mereka akan segera mengikuti pelatihan dan mendapatkan pendidikan berbagai keterampilan mulai dari menjahit bagi anak-anak perempuan, montir otomotif bagi anak laki-laki dan juga keterampilan mengelas. Pelatihan khusus pertukangan kayu untuk membuat kusen, pintu dan meubel juga ada di pelatihan itu.
Anak-anak jalanan itu tidak sempat kehilangan masa depannya. Mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak serta hidup terhormat. Siapa lagi yang perduli membina mereka kalau bukan seorang jebolan fakultas ilmu sosial bernama Fadilah yang kini menjadi Nyonya Anas Pardamean atau Bang Dame?
Siapa yang tidak merasa terharu bila ada ibu-ibu pedangang kecil di pasar tradisional Deli Tua menyisihkan sedikit uang hasil jualannya dan membeli kompor gas lengkap dengan tabungnya untuk kebutuhan balai latihan itu? Fadilah benar-benar terharu, sementara ibu-ibu isteri pejabat di Pemko atau Pemprov hatinya tetap saja tertutup. Dan beku. Yang hatinya seperti besi berkarat juga banyak.
Namun baru saja acara penyerahan kompor gas itu usai, Fadilah merasa kepalanya pening dan perutnya mual. Tiba-tiba saja Fadilah muntah dan tidak mampu berdiri. Fadilah hampir pingsan. Nyut-nyut di kepalanya seperti tidak tertahankan. Berkali-kali isi perutnya berhamburan keluar. Belasan pekerja yang sedang merampungkan bangunan balai latihan itu segera mengantarnya ke klinik terdekat dan untunglah ada dokter jaga ada disana.
“Anda dalam kelelahan!,” itulah keterangan dokter yang merawatnya di klinik terdekat tidak jauh dari Pekan Deli Tua. “Istirahatlah dulu dengan tenang!”
Fadilah hanya menghela nafas panjang. Suntikan yang diberikan dokter itu membuat kepalanya tidak lagi merasa nyut-nyut.
“Anda sudah menikah?,” Tanya dokter itu dan steteskop selalu tergantung di lehernya.
“Ya. Saya sudah menikah.”
“Anda sedang hamil?” dokter itu menyapanya.
“Tidak….eee…entahlah, dokter,” Fadilah tampak ragu-ragu.
“Wah, aneh. Seorang wanita bersuami seharusnya tahu dengan pasti apakah sedang hamil atau tidak. Anda terlalu larut dalam kesibukan.”
“Ya, saya memang terlalu sibuk akhir-akhir ini, hingga saya lupa pada diri saya sebagai perempuan dan sebagai seorang isteri.”
Fadilah tersipu malu ketika dokter itu banyak bertanya tentang siklus menstruasinya.
“Ya, saya baru ingat, bahwa saya telah terlambat…”
“Nah, anda tidak menderita penyakit apa-apa. Anda dalam keadaan hamil,” tukas dokter itu setelah memberi tahu tentang hasil pemeriksaan planotest memang hasilnya positif.
“Terima kasih, dokter!”
Sesaat Fadilah menunduk dan menekur. Aku hamil. Bayi Bang Dame ada dalam rahimku. Maya akan punya adik yang akan lahir dari rahimku. Aku akan segera menjadi seorang ibu. Lalu setelah aku menjadi seorang ibu, akan dapatkah aku mengangkat masa depan anak-anak jalanan itu? Fadilah berkata-kata sendiri.
Fadilah hanya mengangguk ketika dokter memberikan saran untuk sementara waktu dia lebih banyak beristirahat untuk menghindari kandungan itu jatuh atau keguguran.
***
K
|
etika langit berwarna merah karena matahari akan tenggelam dan ketika burung-burung terbang menuju sarangnya setelah melanglang buana, Fadilah menyambut suaminya pulang.
“Dila punya hadiah istimewa untuk Bang Dame,” sambut Fadilah di depan suaminya.
“Hadiah istimewa? Irex?,” Bang Dame menyebut jenis obat khusus untuk lelaki agar tetap perkasa di medan pertempuran.
“Bukan? Bukan Irex? Untuk apa Irex kalau Bang Dame sudah sangat perkasa dan penembak jitu?”
“Lalu apa? Reket tenis?”
“Juga bukan!”
“Lalu apa?”
Fadilah tidak segera menyahut, Fadilah hanya mengusap perutnya diiringi seulas senyum di bibirnya.
“Apa maksudmu, Dila?” lelaki itu menatapnya.
“Hadiah untuk abang ada disini! Ada dalam perut Dila!,” sekali lagi Fadilah mengusap perutnya, tepat di bagian pusatnya.
Dia yakin Bang Dame akan mengerti isyarat itu.
“Hamil? Begitukah?”
“Iya! Bang Dame adalah suami perkasaa. Bang Dame adalah penembak jitu.!”
“Oh, Dila. Kita bahagia sekali,” Fadilah mendapat hadiah kecupan di keningnya. Dua kali. Bahkan sebagai luapan kebahagiaan lelaki itu segera menggendong Fadilah ke kamar dan membaringkannya di atas ranjang lalu Bang Dame mengecupnya amat lama.
“Maya akan segera punya adik,” bisik Fadilah kemudian.
“Semoga adiknya seorang bayi laki-laki,” sahut Bang Dame.
“Biar jadi jenderal?”
“Biar jadi dokter. Biar kalau ada anggota keluarga yang sakit segera dapat terdeteksi dan mudah penyembuhannya. Jangan sampai terulang lagi seperti kakakmu. Sudah terlalu lama dan kronis baru ketahuan penyakit yang diderita amat berbahaya.”
“Hmmm,” Fadilah hanya bergumam dan gumam itu pun hanya sesaat karena tidak mampu berpaling ketika Banga Dame mengecup bibirnya sekali lagi.
Lelaki itu tampak amat bahagia meski pun sesaat yang lalu benaknya benar-benar penuh benang kusut. Sesaat yang lalu lelaki itu benar-benar pening kepala karena puluhan warga tiba-tiba saja menyerbu lahan kosong yang terletak di Deli Serdang yang mulai di Tanami kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit yang sudah mulai tinggi diatas tanah ditebas habis.
Puluhan warga menggarap lahan perkebunan itu dan mengklaim bahwa mereka masih punya hak atas tanah itu. Puluhan warga memasang patok-patok dan mendirikan bangunan darurat. Warga yang tampak bringas itu tidak perduli ketika diberi penjelasan, bahwa kebun itu dibeli dengan syah.
Warga penggarap itu tetap saja bertahan meskipun sudah dihimbau untuk meninggalkan lahan itu. Bahkan polisi yang segera diminta bantuannya juga tidak mampu mengusir mereka. Apalagi di belakang para penggarap itu berdiri LSM yang memberi angin. Para penggarap itu semakin kukuh bertahan.
Apa boleh buat lelaki yang selalu dipanggil dengan nama Bang Dame itu akhirnya mengundang seorang pengacara menghadapi gugatan warga. Semua itu pasti menghendaki biaya yang cukup besar. Meminta bantuan pengacara saat ini biayanya setinggi langit.
Jarah menjarah saat ini memang amat banyak terjadi dimana-mana. Juga dengan menggarap tanah. Apalagi yang namanya tanah yang berbau pemerintah, selalu jadi sasaran penggarap liar. Apalagi ada yang memberi komando. Kehadiran berbagai LSM terkadang membuat banyak orang pening kepala.
Itulah yang membuat kepala lelaki itu terasa amat pening. Tapi nyut-nyut di kepalanya mendadak lenyap ketika tiba di rumah Fadilah memberinya hadiah paling istimewa. Bukan Irex, bukan reket tenis, tapi calon bayi yang masih dalam rahim sang isteri.
“Hati-hati menjaga kandungan itu,” Bang Dame selalu memberi nasihat. “Untuk sementara istirahatlah di rumah, sampai kandungan itu benar-benar kuat.”
“Tapi balai latihan itu tidak dapat ditinggalkanm lagi pula sudah hampir rampung pembangunannya.”
“Ingat, kelelahan adalah salah satu penyebab terjadinya keguguran pada ibu mengandung.”
“Mudah-mudahan bayi kita kuat dalam perut saya.”
“Yang terbaik adalah mengurangi volume kegiatan. Jangan terlalu mengejar target. Tidak usaha khawatir balai latihan itu terbengkalai. Yakinlah anak-anak jalanan itu akan segera mendapat pelatihan dan mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak.”
“Sungguh saya tidak sabar melihat anak-anak jalanan itu benar-benar meninggalkan tempat mereka mangkal di persimpangan. Saya tidak sabar melihat anak-anak jalanan itu mulai merintis masa depannya.”
“Banyak orang akan merasa kagum kalau cita-cita yang amat mulia itu terwujud nanti!”
Dan Fadilah tidak ingin kehamilannya akan merintangi langkahnya. Padahal masih amat banyak yang harus dilakukannya. Kebutuhan akan instruktur pasti tidak terelakkan. Siapa pula yang berkenan meluangkan waktu untuk menjadi instruktur terhadap anak-anak bertubuh dekil itu?
Lalu kalau anak-anak bertubuh dekil itu masuk asrama pasti butuh juru masak, butuh beras, butuh lauk pauk dan banyak lagi. Untuk mendapatkan juru masak pasti tidak terlalu sukar. Tapi untuk dana rutin biaya dapur pasti butuh donator. Itulah yang harus dicari oleh Fadilah. Dan itulah yang amat melelahkan bagi seorang perempuan yang sedang mengandung.
Kesibukan dan kelelahan itulah yang sebenarnya dapat membawa malapetaka terhadap seorang calon ibu. Pada minggu-minggu pertama usia kandungannya Fadilah memang mengurangi kegiatannya, tapi minggu-minggu berikutnya justru kesibukan itu mencapai puncaknya. Padahal setiap perempuan hamil, apalagi hamil bayi pertama, diharuskan untuk selalu memeriksakan diri ke dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Justru itulah yang telah dilalaikan perempuan pekerja sosial itu.
Sampai Fadilah tidak merasa, bahwa usia kehamilannya sudah lebih dari 30 minggu dan kepala janinnya sudah terletak di bawah. Ya, Tuhan. Perempuan yang tidak mengenal lelah itu benar-benar tidak menyadari, bahwa plasenta atau uri juga ternyata ada dibawah, padahal keadaan seperti itu dapat menutupi jalan sang bayi lahir ke dunia.
Setelah perut Fadilah seperti nangka masak, barulah menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada kandungannya.
“And terlambat memeriksakan kandungan anda,” ujar Dr. Lukman, seorang ginekolog yang berpengalaman yang memeriksa kandungannya.
“Tapi bayi saya sehat, bukan?,” Fadilah menatap dokter itu.
“Ya, namun perlu diketahui, bahwa plasenta menutupi jalan lahir sehingga tidak ada jalan lain lagi, kelahirannya harus operasi caecar.”
“Operasi caecar?,” ulang Fadilah amat kaget.
“Ya!,” dokter itu mengangguk. “Tidak usah khawatir, peralatan kedokteran saat ini sudah amat canggih terutama untuk persalinan.”
Sesaat Fadilah termenung dan menundukkan wajah. Seperti ada kengerian di depan pelupuk matanya. Seperti ada momok hitam yang amat menakutkan. Dan Bang Dame yang mendampinginya segera mengusap pundaknya, memberinya semangat.
Tidak usah cemas, Dila. Semua akan berjalan dengan baik. Operasi bukan suatu hal yang sangat menakutkan saat ini, apalagi yang namanya bedah caecar. Sudah beribu-ribu bayi lahir ke dunia melalui operasi dan ibu serta bayinya selamat.”
Fadilah menunduk lagi. Momok hitam yang menakutkan itu masih ada di depan pelupuk matanya. Sekali lagi Bang Dame mengusap pundaknya dan berkata lagi:
“Ingat anak perempuan amang uda yang tinggal di Padang Bolak?
Suaminya hanya guru es-el-te-pe dan tinggal di kota kecil, tapi ketika melahirkan dengan cara bedah caecar semua berjalan lancar dan sehat. Malah sekarang anak amang uda itu hamil lagi.”
“Aneh, tiba-tiba saja Dila merasa khawatir,” suara Dila lirih.
“Tidak perlu khawatir, sudah amat banyak ibu mengandung terpaksa menjalani operasi, tapi selamat.”
Fadilah hanya menghela nafas panjang. Dia merasakan gerakan bayi dalam perutnya yang tampak seperti karung beras. Fadilah selalu meraih tangan Bang Dame dan meletakkan tepat diatas perutnya dan lelaki itu merasakan gerakan sang bayi.
“Anak kita pasti akan jadi kapten sepak bola nanti!,” Bang Dame selalu berkata begitu setiap meletakkan tangannya di puncak perut Fadilah yang tampak seperti nangka masak.
“Kenapa begitu?”
“Karena gerakannya sangat kuat dan keras.”
Fadilah selalu tersenyum penuh kebahagiaan ketika mendengar kata-kata itu, bahwa anaknya bakal menjadi pemain sepak bola. Fadilah amat senang kalau tangan suaminya terletak di puncak perutnya dan ikut merasakan gerakan bayinya. Setiap calon ibu pasti merasakan hal yang sama.
Tapi sekarang, ketika dokter mengatakan, bahwa plasenta menutupi jalan lahir sang bayi dan harus ditempuh operasi Caesar, tiba-tiba Fadilah merasa cemas.
Untunglah Bang Dame selalu memberinya semangat. Padahal lelaki itu sedang menghadapi hal-hal yang pelik dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pemilik kebun kelapa sawit yang diwarisi dari ayahnya. Salah satu areal kebunnya yang baru ditanami kelapa sawit digarap ratusan warga.
Lelaki itu memang telah melakukan kekeliruan yang fatal ketika membeli kebun itu. Lelaki itu kurang jeli memandang ke belakang asal usul tanah yang semula tampak seperti lahan tidur. Anas Pardamean membeli lahan tidur itu dengan harga lebih murah, tapi dia tidak menyadari, bahwa lahan tidur itu sebelumnya adalah milik puluhan warga yang dibeli secara kolektif oleh seseorang. Dari seseorang itulah Bang Dame membelinya dan ternyara ganti rugi terhadap warga belum tuntas.
Sekarang warga menggarap kembali lahan perkebunan itu dan lelaki itu benar-benar kewalahan menghadapi mereka yang merasa tetap memiliki kebun itu. Aparat sendiri tidak mampu mencegah para penggarap itu.
Bahkan ketika lelaki itu melakukan peninjauan langsung, dia menemui tanaman yang baru setinggi satu meter dibabat habis oleh para penggarap itu. Seenak perutnya para penggarap liar itu memusnahkan ribuan tanaman baru. Lelaki yang berusaha menjernihkan persoalan itu justru disambut dengan cangkol, disambut dengan parang terhunus. Bang Dame disambut dengan demo dan orasi yang berapi-api.
Bahkan lelaki itu mendengar para penggarap itu berteriak-teriak.
“Jangan biarkan tuan tanah merampas tanah rakyat!”
“Ini tanah kita!”
“Ini tanah rakyat kecil!”
“Ini tanah kami!”
“Usir tuan tanah dari tempat ini!”
“Jangan biarkan tuan tanah merajalela menguasai tanah milik rakyat miskin!”
“Tuan tanah membuat kita miskin!”
“Tanah ini sumber hidup kami!”
“Usir tuan tanah yang rakus dari kawasan ini!”
Teriakan-teriakan para penggarap itu tampak bringas. Teriakan-teriakan berikutnya menyebabkan lelaki itu menggigil ketakutan.
“Itu mobilnya! Bakar! Bakar!”
Untunglah lelaki itu segera meninggalkan lokasi kebun miliknya yang sedang dalam sengketa dengan warga sekitar. Terlambat beberapa menit saja, pasti mobilnya akan jadi abu. Seperti itulah gambaran masyarakat di negeri ini. Terlalu mudah bertindak anarkis, padahal persoalannya sedang berada di pengadilan negeri. Masyarakat terlalu mudah untuk berbuat brutal.
Bakar membakar seolah-olah sudah menjadi budaya bangsa ini. Padahal sejak dulu warga negeri ini amat terkenal sebagai bangsa yang lemah lembut, ramah, selalu tersenyum dan saling menghormati. Tetapi kenyataannya, dalam dada masyarakat negeri ini seperti ada bom Molotov yang sewaktu-waktu meledak dan terbakar.
Itulah sebabnya di wajah lelaki kelahiran Sidempuan itu tampak seperti penuh benang kusut karena persoalan yang sedang dihadapinya. Siapa yang tidak kesal kalau ratusan, bahkan ribuan batang tanaman muda ditebas dan dimusnahkan? Dengan ribuan tanaman baru, membutuhkan dana yang amat besar.
Lelaki kelahiran Sidempuan itu tidak dapat tidur nyenyak. Makanan yang paling lezat pun terasa amat sulit untuk ditelan, seperti menelan duri. Padahal seharusnya dia sedang menanti saat-saat penuh kebahagiaan karena sesaat lagi akan lahir bayinya yang kedua dari rahim Fadilah, pengganti isterinya yang telah menghadap Khalik. Jantungnya gemuruh,berdebar-debar seperti mesin pabrik.
***
B
|
ila jantung lelaki itu amat gemuruh, bukan karena isterinya tercinta sudah berada di ruang operasi, tapi karena ratusan warga menggarap kebunnya. Tidak ada suara berisik di ruang operasi itu. Tidak ada suara apa-apa. Bahkan tim dokter amat berhati-hati meletakkan peralatannya sehingga tidak ada suara apapun.
Dokter ahli bedah, ginekolog dan seorang lagi ahli anastesia, sudah berada di ruang operasi itu. Sesaat lagi bedah caecar itu akan segera dimulai terhadap seorang calon ibu yang menggantikan kakaknya.
Banyak famili yang sengaja ingin menunggu proses kelahiran melalui bedah caecar itu. Inang Bujing yang kebetulan datang dari Padang Bolak, tampak hadir di ruang tunggu. Bu Azizah juga terlihat disana dan tampak menekur. Bu Azizah diam, tapi hatinya tidak pernah diam. Sepasang bibirnya berkomat-kamit melantunkan doa agar puterinya terhindar dari kesulitan saat menjalani bedah caecar itu.
“Doakan saya, bu,” itulah pinta Fadilah sebelim memasuki ruang operasi ketika mencium tangan Bu Azizah.
“Doakan keselamatan saya, Inang!,” Fadilah juga mencium tangan adik ibu suaminya, perempuan asal Padang Bolak itu biasa disapa dengan Inang Bujing.
“Tuhan melindungimu, anakku. Malaikat ada disisimu,” Bu Azizah mencium kening puterinya.
“Kuatkan semangatmu.”
Rasa was-was tetap saja menggurati rongga hati Fadilah menjelang operasi caecar itu dilakukan dokter. Fadilah meminta doa kepada siapa saja.
“Doakan saya, Bang Dame!,” pintanya memelas.
“Tentu saja!,” sahut lelaki kelahiran Sidempuan yang selalu ada disisinya sejak Fadilah merasa adanya tanda-tanda untuk melahirkan. Lelaki itu memberi ciuman di kening Fadilah dan kening itu terasa amat dingin.
“Doakan saya, Mak Long,” pintanya kepada saudara dari pihak ibunya.
“Tidak usaha khawatir, Dila!,” semua orang memberinya semangat.
“Doakan saya, Mak Su!”
“Kuatkan semangatmu, Dila. Tuhan akan melindungimu. Lagipula yang akan melakukan operasi terhadapmu adalah dokter-dokter ahli yang sudah cukup pengalaman.”
Bahkan kepada kedua suster yang akan membantu dokter melakukan tugasnya, Fadilah juga berkata:
“Doakan saya suster. Tolong doakan saya!”
Kedua suster itu tersenyum manis. Tidak ada suara apa-apa lagi ketika tubuh Fadilah yang dibaringkan di atas kereta dorong didorong memasuki ruang bedah.
Ruang bedah itu tetap saja sunyi. Tetap saja tidak ada suara apa-apa. Para dokter tetap saja amat berhati-hati meletakkan alat-alat kedokterannya agar tidak menimbulkan denting suara. Dan suara lengking tangis bayi tetap saja belum terdengar. Padahal itulah yang sangat diharapkan oleh para kerabat yang sengaja menunggu di luar ruang bedah. Dan kerabat di ruang tunggu semua berdoa untuk keselamatan Fadilah.
Hanya sesaat setelah cairan disuntikkan oleh dokter ahli anastesia dan menjalar dalam pembuluh daranya, hingga ke jantung dan hingga ke otaknya, Fadilah merasa dirinya melayang-layang di tempat yang jauh dan entah dimana.
Fadilah tetap terbaring di ruang bedah, namun dirinya seakan terbawa angin ke tempat yang jauh, hingga ke pinggir hutan, hingga ke pinggir jurang. Fadilah melihat seperti ada keramaian, seperti ada pesta kawin yang meriah. Tapi mengapa dalam pesta perkawinan itu orang-orang semua memegang senjata seperti kapak, golok, dan tombak? Yang memegang cambuk juga ada dan tiba-tiba saja Fadilah amat ketakutan ketika seseorang yang memegang cemeti itu menghampiri dirinya kemudian berusaha mencambuknya.
Kenapa dalam pesta perkawinan ynag amat meriah tidak tampak pengantin yang mengenakan pakaian adat Melayu Padang Bedagei, bersanggul rapi dan mengenakan mahkota serta umbai?
Angin pun berhembus amat kencang, seperti badai dahsyat yang meluruhkan daun-daun pohon dan ranting-rantingnya patah.
Tampaknya seperti ada pesta yang amat meriah, tapi kenapa tidak terdengar lagu-lagu Tanjung Katung atau Makan Sirih? Tampaknya ada sebuah pesta perkawinan yang meriah, tapi kenapa tidak ada pantun-pantun yang dilantunkan orang? Kenapa tidak terdengar barzanzi dan marhaba? Kenapa tidak ada orang mengenakan kebaya? Kenapa semua berpakaian hitam?
Justru yang terdengar adalah suara hingar binger seperti genderang perang sedang ditabuh orang banyak.
“Kemarilah, Bang Dame! Kemari, temani saya!,” dari atas bukit Fadilah memanggil-manggil suaminya. “Tolong saya. Tolong saya!”
“Temani saya, Inang!,” Fadilah memanggil Inang Bujing, saudara dari pihak ibu suaminya. Fadilah memanggil-manggil semuanya padahal dia sedang berbaring di ruang operasi dan cairan suntikan anastesia baru saja mengalir dalam darahnya. Sesaat lagi operasi caecar itu akan segera dilakukan oleh dokter.
Tim dokter sudah memegang alat-alat kedokterannya, tapi Fadilah tetap saja tubuhnya melayang-layang di tempat yang teramat jauh, hingga ke puncak gunung dan di bawahnya adalah jurang yang teramat terjal dan dasarnya batu cadas yang amat keras.
Di jurang itu terlihat seperti amat banyak burung-burung berbulu hitam, cakarnya tajam, paruhnya tajam kemudian berkali-kali terbang rendah menyambar mangsanya, mencabik-cabik bangkai. Suaranya gemuruh, sungguh amat memekakkan telinga dan mengerikan. Di lembah itu burung pemangsa bangkai sedang berpesta pora.
Tetap saja Fadilah seperti didatangi seseorang yang memegang cambuk dan lelaki itu siap melecut dirinya. Dila berlari-lari menghindar, tapi lelaki dengan cambuk ditangannya itu terus saja mengejar. Begitulah Dila seseorang dalam kecemasan. Selalu dikejar-kejar ketakutan, padahal saat itu Fadilah sedang terbaring di ruang operasi.
Lelaki dengan cambuk di tangan itu tetap saja mengejarnya hingga Fadilah menyingkir di pinggir jurang, tapi kakinya terpeleset hingga tubuhnya terjerumus ke dalam jurang terjal. Ribuan burung-burung berbulu hitam, berparuh panjang dan kakinya yang tajam itu siap menyambutnya.
Tidak ada suara apa-apa lagi. Tidak ada yang bergerak. Dan detak-detak jantung Fadilah juga tidak mampu terdeteksi lagi. Sepasang matanya terkatub perlahan-lahan.
Alat-alat kedokteran sudah amat canggih, tapi takdir Tuhan masih diatas segalanya. Tidak ada yang mampu menunda kematian. Tidak ada yang mampu menepis kedatangan malaikat Izrail untuk mencabut nyawa dari jasad seseorang. Kesibukan Fadilah selama mengandung menyebabkan dia amat melalaikan kandungannya, juga melalaikan dirinya. Padahal sebagai calon ibu, dia harus senantiasa konsultasi dengan dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Padahal setiap wanita hamil justru mengurangi konsumsi garam dan itulah yang sama sekali dilalaikan oleh Fadilah. Hingga menjelang kelahiran bayinya, Fadilah menderita eklampsia yang amat berbahaya.
Fadilah tidak pernah menyadari, bahwa pada malam pertama perkawinannya dengan Bang Dame keduanya lupa membaca doa bersenggama, sehingga sperma yang menyatu dengan ovum dalam rahim Fadilah disusupi syeitan, sehingga setelah menjadi janin membawa bencana.
Ratap tangis yang amat mengharukan segera terdengar di rumah sakit itu, ketika salah seorang tim dokter itu memberi tahu bahwa oprasi caecar itu tidak berhasil menyelamatkan Fadilah.
Semua kerabat seperti tidak percaya, bahwa operasi caecar itu telah merenggut nyawa Fadilah. Semua famili tidak percaya, Fadilah meninggal dalam usia yang amat muda. Semua kerabat tidak percaya Fadilah akhirnya menyusul kakaknya pergi jauh menghadap Tuhan.
“Kematian boleh saja terjadi, tapi jangan tumpang tindih. Ainun meninggal lalu Fadilah menggantikan kakaknya, namun dia harus menghadapi kematian pula!,” ujar salah seorang kerabat dari suaminya dan tidak mampu membendung air mata.
Matahari pun redup ketika kematian itu telah terjadi atas diri seorang perempuan yang menggantikan kakaknya disisi suaminya. Langit pun menjadi kelam. Segenap alam dan isinya seperti ikut bersedih karena kematian yang beruntun. Burung-burung pun berhenti berkicau di ranting pohon dan menundukkan kepala. Angin pun berhenti berhembus, sehingga semua daun-daun pepohonan diam, tiada gerak sama sekali.
Semua menyesali nasib malang yang menimpa seorang perempuan yang amat perduli terhadap anak-anak bangsa yang melarat. Apalagi anak-anak yang melarat yang selalu mengamen di persimpangan jalan, benar-benar tidak rela terhadap kematian itu.
Semua merasa amat sedih. Semua tidak mampu membendung air mata. Dan yang paling merasakan kesedihan itu, yang paling banyak berurai air mata tentu saja perempuan yang telah melahirkan Fadilah, yakni Bu Azizah.
Pertama kali Bu Azizah mendengar kabar bahwa jiwa puterinya tidak dapat diselamatkan, tubuhnya langsung terkulai lemah. Perempuan itu pingsan. Lalu setelah sadar, perempuan itu pingsan lagi. Dua kematian amat memukul jiwanya. Dua kematian puterinya amat memukul batinnya. Dan dua kematian itu justru disisi suaminya yang sama, Anas Pardamean. Itulah resiko perkawinan ganti tikar. Nasib malang yang menimpa sang kakak, juga dapat terjadi pada diri adiknya.
Bu Azizah tidak mampu menghadapi kenyataan paling buruk dalam hidupnya. Kematian kedua puterinya lebih memukul batinnya ketimbang kematian suaminya dulu dan kematian itupun terjadi masih terkait dengan menantunya. Kenapa hal seperti itu harus terjadi?
Seakan sang menantu adalah pembawa tragedi.
***
K
|
ematian itu benar-benar mengejutkan semua orang. Apalagi kaum kerabat meskipun tinggal di pelosok dan terpencil, seperti di Penyabungan, Padang Bolak, di balik bukit-bukit disekitar Sipirok, di Muara Soma, atau di balik hutan disekitar Gunung Tua, semua tidak yakin kematian itu telah terjadi terhadap saudara mereka.
Semua tahu ketika Fadilah menikah dengan Anas Pardamean menggantikan kakaknya yang meninggal, dalam keadaan sehat. Teramat muda Fadilah menemui kematiannya untuk menyusul kakaknya.
“Seperti ada sesuatu yang tidak beres,” cetus salah seorang kerabat yang menurut partuturon disapa dengan ompung suhut.
“Ya, seperti tuah badan si Dame yang tidak bagus!,” dari pihak ompung mora juga memberi reaksi.
“Isterinya yang pertama meninggal lalu berganti dengan adiknya, tapi kematian juga terjadi. Itu artinya badan si Dame sudah kehilangan Tondi!,” sambung amang tobang yang sangat paham dengan adat istiadat daerah leluhurnya.
“Ada sifat panas dalam diri si Dame sehingga setiap perempuan yang ada disisinya merasakan seperti dalam kancah penuh air mendidih yang merenggut nyawanya,” seorang lelaki berjanggut putih dan panjang yang biasa disapa sebagai amang tua ikut berbicara.
“Tuah badan si Dame yang membawa sial,” cetus seorang perempuan yang sedang mengunyah sirih dan dalam partuturon dipanggil inang tua.
Namun yang lebih mengharukan adalah ucapan amang boru yang berkata-kata dengan air mata berderai dipipinya.
“Kita dapat membayangkan kesedihan yang dialami besan kita yang telah kehilangan segala-galanya atas kematian dua anaknya. Puterinya meninggal disisi si Dame, lalu ganti tikar, sekali lagi kematian menimpa puterinya. Tidakkah itu sangat memukul jiwanya? Dua kematian yang berturutan itu tentu saja sangat memukul batinnya. Sekarang besan kita telah kehilangan segala-galanya karena hanya memiliki dua anak. Entah kepada siapa lagi besan kita menggantungkan nasibnya. Pada hari tuanya, entah di bumi mana dia akan berpijak.”
“Kasihan. Takdir telah membuatnya banyak kehilangan,” sambut salah seorang yang juga tidak mampu menahan tangis.
“Yang terjadi adalah takdir. Dua kali si Dame kematian isterinya dan kedua-duanya bersaudara kandung. Itu adalah kehendak Allah semata. Tapi kita tidak dapat terlepas dari adat. Kita tetap menjaga si Dame telah kehilangan Tondi.”
“Ya, kita hanya melihat jasad kasar si Dame dalam keadaan utuh, kukuh dan sehat. Tapi sebenarnya badan kasarnya itu telah ditinggalkan Tondi yang sekarang entah dimana,” seorang ompung juga memberi komentar.
“Artinya kita harus memanggil Tondi agar kembali melekar pada badan kasar si Dame, biar tidak lagi terjadi hal yang menyedihkan? Itu artinya kita harus menyembelik kerbau?”
“Ya, kita harus segera melaksanakan pengupa-upa untuk memanggil kembali Tondi ke badan si Dame.”
Kerabat itu segera mufakat untuk segera melakukan penyembelihan kerbau sebagai salah satu unsur pengupa-upa.
“Horas, Tondi Madingin, Pir Tondi Matogu,” kata-kata itu diucapkan oleh seorang lelaki tua berjenggot putih dan panjang ketika melakukan penyembelihan kerbau.
Kata-kata itu mengandung makna agar Tondi bersemayam kembali dengan mantap dalam diri seseorang dan tentu saja dalam jasad Anas Pardamean yang telah dua kali kehilangan isteri dan keduanya adalah kakak beradik. Tondi itupun harus dijemput kembali melekat pada jasad, menyatu dalam badan, kukuh, keras dan tidak terpisahkan lagi agar si pemilik jasad hidup tenteram, bahagia dan tidak lagi mengalami nasib sial atau kematian-kematian.
Upa-upa memang sudah amat lama terkenal dan selalu dilakukan oleh masyarakat Tapanuli Selatan. Upa-upa yang akan memanggil “Tondi” untuk kembali ke jasad. Sebab dalam kepercayaan masyarakat Mandailing, dalam kehidupannya setiap orang memiliki tiga unsur, yakni badan atau batang tubuh, kemudian jiwa atau roh, dan satu lagi adalah Tondi. Tondi adalah sesuatu abstrak yang mengisi dan selalu menjaga dan sekaligus menuntun badan serta jiwa dengan tuah sehingga berwibawa dan memiliki marwah.
Masyarakat kawasan itu mempercayai bahwa seseorang yang telah ditinggalkan oleh Tondi, dia akan selalu mengalami ketidakseimbangan dalam perjalanan hidupnya, selalu mengalami nasib sial atau dirinya seakan melayang-layang tiada arah. Seseorang yang telah kehilangan Tondi setiap saat dapat diterpa marabahaya, bahkan juga kematian dirinya sendiri dan kerabatnya paling dekat.
Penyembelihan kerbau sudah dilakukan dan bahan-bahan utama dalam upa-upa nanti sudah disiapkan semua seperti ayam, telur, garam, nasi putih, air putih, ikan, udang, daun ubi, bahkan ulos batak tenunan Sipirok juga sudah tersedia untuk menjadi penutup semua bahan upa-upa yang tersusun dalam induri atau tampi segi empat.
Semua itu untuk memanggil Tondi agar kembali melekat pada badan Dame, supaya terhindar dari nasib sial. Tapi orang-orang tetap saja membicarakan tentang kematian itu. Dua kakak beradik telah meninggal di sisi Bang Dame. Sanak famili tidak henti-hentinya membicarakan hal itu.
Dulu segenap kerabat mendukung perkawinan ganti tikar itu karena merupakan pilihan yang terbaik demi menjaga keutuhan persaudaraan dan kekerabatan serta harta benda dan kekayaan tidak jatuh ke tangan orang lain.
“Semua famili memberi restu perkawinan ganti itkar itu,” terdengar suara salah seorang kerabat yang masih beranak satu.
“Ya, tidak ada yang tidak setuju, padahal dari segi keburukannya juga banyak,”sambung salah seorang perempuan yang sedang hamil.
“Lihat, kalau tuah badan suami memang kurang baik, kakak beradik itu akan mengalami nasib yang sama,” seorang ibu beranak empat asal Muara Soma juga ikut berbicara mengenang kematian Fadilah.
“Dari segi penyakit juga sebenarnya perlu menjadi bahan pertimbangan agar perkawinan ganti tikar tidak membawa resiko. Kalau seorang suami kematian isterinya yang sakit karena kanker serviks dan kelak sang suami menikah lagi dengan perempuan lain, pasti isterinya yang kedua juga akan tertular kanker leher rahim yang mengerikan itu,” ujar salah seorang lelaki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Bang Dame.” Begitu juga dengan penyakit lain, apalagi penyakit yang berkaitan dengan seksual.”
“Untuk ganti tikar boleh-boleh saja demi memelihara hubungan kekeluargaan agar tetap harmonis. Tapi sejarah dan latar belakang perjalanan hidup sang suami harus tetap menjadi pertimbangan. Kematian Fadilah yang menyusul kakaknya harus menjadi pelajaran yang mahal, sebab tidak selamanya ganti tikar membawa keharmonisan, tetapi membawa musibah beruntun,” sambung famili yang lain.
Kata-kata itu membuat sebagian besar kerabat Bang Dame tertegun. Amat banyak yang menundukkan kepala karena kesedihan yang amat mendalam akibat kematian itu.
***
S
|
elama tiga malam,rumah besra yang terletak tidak jauh dari Asrama Haji itu dipenuhi kaum kerabat dan jiran tetangga untuk melaksanakan takziah dan membacakan ayat-ayat suci serta doa-doa. Meskipun sudah tiga malam, tapi banyak kerabat yang masih selalu menitikkan air mata.
Seperti halnya Bu Azizah yang telah kehilangan dua puterinya disisi menantunya. Bahkan jauh sebelumnya, suaminya tercinta juga meninggal di tengah perkebunan sang menantu. Orang–orang yang amat dicintai Bu Azizah kini sudah meninggalkannya, kini sudah terbaring di kompleks pemakaman umum. Tiga pusara itu tampak berjejer dan saling berdampingan. Diatas ketiga pusara itu terlihat bunga-bunga segar yang di taburkan para peziarah.
Dan air mata Bu Azizah juga masih berderai ketika di rumah besar itu sedang dilaksanakan pembacaan ayat-ayat suci kaliamt mulia dan doa-doa. Sulit baginya untuk membendung air mata. Sebab Bu Azizah telah kehilangan suami dan kedua puterinya tercinta.
“Sekarang saya tidak punya siapa-siapa. Dan saya pun tidak punya apa-apa!,” itulah ucapan yang selalu terdengar dari celah bibirnya diantara derai air matanya.
“Ibu masih banyak memiliki saudara dan kerabat, Bu!,”seorang kerabat berusaha menghiburnya.
“Ibu merasa berdiri di tempat yang paling rapuh sekarang,” rintihnya lagi.
“Jangan berkata begitu, Bu. Tuhan selalu ada disisi ibu. Tuhan akan melindungi ibu,” salah seorang kerabat menantunya mengusap pundaknya.
“Rasanya ibu tidak lagi mampu berdiri. Kepada siapa lagi ibu akan bersandar….?”
“Masih banyak famili untuk tempat bersandar, Bu. Kuatkan semangat ibu.”
Acara pembacaan ayat-ayat Al Qur’an dan doa baru saja usai dan para tamu belum bubar ketika di luar terdengar deru kendaraan. Sebuah bus besar Sipirok, Dolok berhenti tepat di depan rumah itu.
Puluhan orang kaum kerabat dari Tapanuli Selatan yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora terlihat dalam rombongan besar itu. Dari pihak Harjaon dan Panusunan Bulung juga tampak dalam rombongan itu. Dan mereka datang ke rumah itu tidak dengan tangan hampa.
Rombongan keluarga besar itu hadir di rumah itu dengan membawa induri atau tampi empat segi berukuran besar, berisi kepala kerbau yang sudah dimasak dan perlengkapan upa-upa lainnya. Sehelai ulos batak tenunan Sipirol menutupi isi tampi empat segi itu. Semua yang hadir memandang sajian itu yang diletakkan di tengah ruangan rumah besar itu.
Semua tertegun ketika seorang pengetua rombongan besar itu segera membacakan pasu-pasu atau seperti doa dan nasihat kepada Bang Dame yang duduk bersila di tengah-tengah ruangan rumah.
Tampi segi empat berisi kepala kerbau dan perlengkapan pengupa-upa lainnya itu pun diangkat, lalu diputar-putar diatas kepala Bang Dame sesekali dengan gerakan keatas dan kebawa berkali-kali diiringi suara lantang:
“Turuuuuuuuuuuuuuuuuuuppaaa-uuuuuuuuppaaaaa!”
“Turuuuuuuuuuuuuuuuuuu ma Tondiiiiiii!,” hadiran menyahut serentak dan penuh semangat. Dan upacara itu memang acara sakral menjemput semangat.
“Turuuuuuuuuuuuuuuuuuuppaaa-uuuuuuuuppaaaaa!,” terdengar lagi suara pengetua adat ketika mengayunkan tampi segi empat berisi kepala kerbau dan kelengkapannya diatas kepala Bang Dame.
“Turuuuuuuuuuuuuuuuuuu ma Tondiiiiiii!,”sekali lagi terdengar suara seluruh yang hadir di rumah itu menyahut amat semarak.
“Turuuuuuuuuuuuuuuuuuuppaaa-uuuuuuuuppaaaaa!”
“Turuuuuuuuuuuuuuuuuuu ma Tondiiiiiii!,” tiga kali ucapan itu dilantunkan amat bersemangat mengiringi tampi segi empat berisi kepala kerbau yang dilayangkan diatas kepala Bang Dame.
Segenap kerabat yang terdiri dari kahanggi, anak boru, mora dan Harajoan serta Panusunan Bulung menyambut ucapan pengetua adat dengan serempak hingga suaranya bergaung ke langit.
Sebuah mujizat seakan tiba-tiba menghampiri Bang Dame yang telah dua kali kehilangan isterinya dan keduanya adalah kakak beradik. Tiba-tiba saja seperti ada kekuatan gaib yang merasuk ke dalam dirinya, ke dalam jiwanya. Selama ini lelaki itu merasa dirinya kehilangan keseimbangan dan melayang-layang sehingga dua kali mengalami kematian isteri tercinta.
Sekarang dia menyadari, bahwa dirinya telah ditinggalkan Tondi atau salah satu unsur manusia menurut kepercayaan masyarakat Tapanuli selain jasad dan roh. Tondi telah melayang-layang meninggalkannya teramat jauh hingga ke balik hutan belantara, hingga keseberang lautan, hingga ke balik gunung, bahkan hingga ke ujung langit. Sehingga kematian-kematian pun terjadi pada kerabatnya paling dekat yakni Ainun dan Fadilah.
Malam itu, setelah kaum kerabat melakukan pengupa-upa atas dirinya, setelah dibacakan pasu-pasu, lelaki itu mendapatkan kembali Tondi melekat pada dirinya. Untuk yang akan datang lelaki itu tidak akan mengalami nasib sial lagi, tidak akan kehilangan lagi, dan keluarga dekatnya tidak akan mengalami kematian lagi.
Akan halnya Bu Azizah tetap saja termangu-mangu ketika pengupa-upa itu dilakukan pengetua adat. Andainya sejak dulu, sejak kematian puterinya yang pertama pengupa-upa dilakukan orang, mungkin Fadilah akan terhindar dari kematian.
“Andainya Fadilah tidak menggantikan kakaknya, andainya Fadilah menikah dengan orang lain pasti dia masih tetap hidup dan berbahagia….” Bu Azizah berkata-kata sendiri diiringi derai air mata.
Hatinya tetap saja dililit kesedihan yang amat dalam. Sebab perempuan itu tidak memiliki siapa-siapa lagi dan tidak memiliki apa-apa. Perempuan itu merasa berdiri di bumi yang goyah, diatas tanah yang dibasahi air mata.
No comments:
Post a Comment