2.1.13

KUMPULAN CERPEN RELIGI




1. ASHSHABUL KAHFI
                                                             Cerpen Maulana Syamsuri
Engkong Oei adalah tetangga baru Buya Rosyid. Ia menghuni rumah yang sudah berbulan-bulan kosong. Engkong Oei sudah tua, sudah berumur hampir tujuh puluh, rambutnya sudah putih semua, wajahnya sudah penuh keriput dan tiap pagi sarapannya adalah koran pagi berbahasa China . Tiap pagi, ketika membaca koran,selalu ditemani anjingnya yang amat setia dan duduk di sisi kakinya.
            Biasanya, siapapun yang menghuni rumah kontrakan tetangganya, Buya Rosyid tidak perduli, tua muda,janda  banyak anak atau pikun sekalipun. Tapi sekali ini, bertetangga dengan Enkong Oei benar-benar membuat Buya Rosyid dan keluarganya harus selalu mengeluh . Tiap hari Buya Rosyid mencium bau hio yang dibakar dan asapnya mengepul ke langit, aroma yang tidak enak menyengat rongga hidung.  Tapi Buya Rosyid tidak mampu melarang agar Engkong Oei tidak membakar hio karena kepercayaannya memang begitu, karena manusia di negeri ini diberi kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing. Buya Rosyid tetap menjunjung tinggi kebebasan kerukunan umat beragama.           
Hanya satu hal yang sukar untuk diajak toleransi, yakni anjing yang dimiliki lelaki China itu. Engkong Oei  menjadikan anjingnya sebagai petugas jaga yang tiap hari berada di ruang depan rumahnya dan menyalak setiap ada tamu yang datang. Buya Rosyid merasa sholatnya terganggu karena suara anjing itu.
Pagi-pagi benar,ketika fajar baru terbit, ketika azan subuh berkumandang dari puncak menara masjid, Engkong Oei sudah bangun dan membuka pintu depan rumahnya. Anjingnya yang galak itu menyalak dengan suara yang kuat seperti membenci orang-orang muslim yang berjalan kaki menuju masjid. Suara anjing itu membuat orang-orang muslim yang berjalan kaki menuju masjid marah dan melempar anjing itu dengan batu. Tapi tidak pernah sekalipun lemparan batu itu mengenai sang anjing karena binatang itu memang pintar mengelak dan bersembunyi di balik pagar.
Ketika sholat maghrib juga begitu. Pulang dari masjid, Buya Rasyid selalu disambut binatang haram itu dengan suara yang keras.
“Binatang lu!. Laknat!,” Buya Rosyid menyumpah.
Ketika musim hujan tiba, Buya Rosyid tidak dapat pergi ke masjid karena flu dan batuk. Ia melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan anak-istri dan cucunya. Ketika Buya Rosyid melantunkan surah Ar Rahman di rekaat pertama dan kedua , terdengar suara anjing milik Engkong Oei menyalak lagi dan menyebabkan Buya Rosyid tidak khusuk dalam sholatnya. Buya Rosyid tidak mampu mengendalikan amarah dalam dadanya. Seperti sebuah gunung berapi yang meletus, selesai sholat maghrib Buya Rosyid langsung bangkit.
“Buya tidak zikir?,” sapa anaknya yang bungsu.
“Buya harus mendatangi tetangga itu!”
“Tetangga yang mana?”
“Engkong Oei!”
“Kenapa dengan lelaki China itu?”
“Dia harus membunuh anjing keparat itu. Sholat kita terganggu karena anjing itu. Engong Oei harus membunuh anjing itu, atau aku yang akan membunuhnya!.” kata Buya Rosyid dengan nada marah dan geram.
“Bersabarlah,Buya. Anjing itu memang kesayangan Engkong Oei!”
“Tapi sholat kita tidak khusuk. Engkong Oei harus menghormati kita yang sedang beribadah. Bukankah kita juga menghormati Engkong Oei ketika beribadah?. Kita membiarkan Engkong Oei membakar hio dan baunya menusuk hidung.”
            Biasanya kalau  sholat maghrib di rumah,  Buya Rosyid zikir dan doanya amat panjang, tapi kali ini baru saja sholat, Buya Rosyid langsung bangkit dan mendatangi Engkong Oei . Sorban masih berada di kepala Buya Rosyid.
            “Jangan bicara kasar dengan tetangga,” pinta istri Buya Rosyid yang masih mengenakan mukena dan masih bersimpuh di atas sajadah serta melanjutkan  zikir.
            “Aku tidak akan kasar!”
            “Bicaralah baik-baik dengan tetangga!,” pinta sang istri lagi.
            Buya Rosyid melangkah keluar tanpa menoleh lagi,tanpa bicara lagi.. Wajahnya tampak tegang ketika ia menemui Engkong Oei. 
            “Tuan Oei, tolong anda amankan anjing itu. Binatang itu sangat mengganggu kami!,” ujar Buya Rosyid dengan wajah tegang karena marah.
            “Tapi anjing itu dalam rumah saya, tidak pernah mengganggu orang lain. Anjing itu tidak pernah menggigit orang!”
            Kata-kata itu hanya menuyulut amarah Buya Rosyid yang selama ini adalah seorang lelaki yang sabar dan taat beribadah.
            “Anjing itu menyalak dan ribut tiap saya sedang sholat. Anjing itu sangat mengganggu kami sekeluarga. Tertibkan dia!”
            “Apakah saya harus membunuhnya?. Tidak mungkin. Saya sangat menyayangi anjing itu dan saya sudah memeliharanya lebih dari lima tahun. Anjing itu sudah seperti saudara saya. Kemanapun saya pergi dia pasti ikut. Kalau nanti saja mati,dia akan menunggu di atas kubur saya!”
            Engkong Oei memang amat sayang kepada anjingnya dan hewan itupun sangat setia kepada tuannya. Kemanapun Engkong pergi, hewan itu pasti mengikut dari belakang.  Tiap pagi, ketika lelaki China itu bersepeda atau berjalan kaki, anjing itu tetap mengawalnya dari belakang. Kalau Engkong Oei sedang duduk santai menikmati teh hangat dan sepotong bakpao, anjing tu pasti naik ke pangkuannya  dan lelaki China itu mengelus-elus tubuh hewan berkaki empat itu. Dan anjing itu memang pintar, bisa menggiring bola, bisa menaikkan kaki depannya dan bisa memutar-mutar tubuhnya. Diperintahkan mengambil kaca mata juga bisa.
            “Ingat,Tuan Oei. Lebih dari  sepuluh tahun  saya tinggal di rumah ini tidak pernah ada yang menganggu kami kecuali anjing itu!,”
            “Apakah saya harus membunuh anjing kesayangan saya?,
            “Kalau Tuan Oei tidak bisa mengamankan  , saya yang akan mengamankannya.!”
            Darah Buya Rosyid mendidih dan mengancam akan membunuh anjing itu.
            “Silahkan bunuh anjing saya, tapi tuan akan  berurusan dengan polisi!”
            Hari-hari seterusnya, anjing itu tetap saja menyalak bila ada tamu yang datang. Bahkan ketika Buya Rosyid kedatangan tamu, anjing itu juga menyalak.  Tamu Buya Rosyid ketakutan, hingga anak umur 6 tahun yang dibawa sang tamu  menjerit-jerit.
            “Akan kubunuh dia!. Akan kuhabisi dia!,”  teriak Buya Rosyid.
Buya Rosyid segera berjalan ke gudang dan  meraih tombak. Buya Rosyid benar-benar ingin membunuh binatang  berkaki empat  itu. Tapi istri dan anak-anaknya menghalangi dan mengimbau agar Buya Rosyid istigfar.
            “Sabarlah,Buya!. Sabar!. Lebih baik istigfar. Serahkan semua kepada Allah!,” ujar anak dan istrinya.
            Buya Rosyid meletakkan kembali tombak  dari tangannya. Ia mengusap dada dan berkali-kali mengucap istigfar, tapi masih saja ada ancaman tercetus dari celah bibirnya.
            “Besok akan kuberi racun tikus anjing itu. Biar mati!. Biar mampus!”
            Buya Rosyid akhirnya menyiapkan sebungkus racun tikus yang paling ampuh. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, kapan Engkong Oei tidur, Buya Rosyid akan melemparkan tulang sapi yang sudah dilumuri racun tikus. Tapi lagi-lagi anak dan istrinya mencegah.
            “Jangan berbuat zolim meskipun terhadap binatang!.” Anak dan istri Buya Rosyid berusaha meredam angkara murka dalam dada lelaki itu.
            “Buya harus ingat, Allah juga sayang pada seekor anjing. Lupakah Buya, anjing juga disebut dalam Qur,an?. Tiga ratus sembilan tahun seekor anjing menemani pemuda-pemuda yang dikejar raja Zolim.”. Itulah kata-kata yang melembutkan hati Buya Rosyid.
                                                            ***
            AYAT Al Qur’an yang terjalin dalam surat Al Kahfi amat menyejukkan hati Buya Rosyid maskipun pada awalnya amarah amat memuncak  disaat ia akan berangkat ke tanah Suci untuk melakukan ibadah umrah. Ibadah haji sudah dilaksanakan Buya Rosyid tiga tahun lalu. .  Kaum kerabat berkumpul di rumah itu untuk melepas keberangkatannya. Anjing itu tidak henti-hentinya menyalak. Tuhan seperti mengirim segumpal salju untuk menyejukkan hati Buya Rosyid yang  sedang dibakar angkara murka terhadap anjing milik tetangganya.
            Ashshabul Kahfi yang bermakna penghuni gua ,tentang beberapa orang menghuni gua selama 309 tahun bersama seekor anjing dan mereka tidur pulas tanpa makan minum. Bukankah anjing adalah sahabat manusia selama ratusan tahun dalam gua itu, sampai suatu saat Tuhan membangunkan mereka ,manusia dan anjing itu?..
            Kalau ingat tentang anjing dalam ayat itu ,yang menemani pemuda-pemuda beriman, hati Buya Rosyid sejuk seperti salju. Itulah sebabnya ketika Buya Rosyid akan berangkat umrah, ia tidak murka lagi terhadap anjing milik Engkong Oei. Hanya bayang-bayang anjing itu melintas di benaknya ketika melaksanakan sholat di Masjid Nabawi.
            Bayang-bayang tentang anjing milik Engkong Oei itupun muncul lagi ketika Buya Rosyid melakukan tawaf keliling Ka’bah, juga ketika sya’i ,berjalan ulang-alik bukit Marwah-Shafa. Anjing itu seakan melintas di depannya.   Ketika Buya Rosyid kelelahan selesai tawaf lalu meneguk air zam-zam dan membaca doa:
            “Allahumma inni ‘as’aluka ilmaan nafiaan, warrizqan waasiaan wasyifaan miinkulli daai’iwasaqomiim birrahmatika yaa arhammarrohimiin”
           Pada saat itulah, ketika Buya Rosyid meneguk air zam-zam, ia seperti melihat anjing milik tetangganya juga ikut meneguk air zam-zam.  Buya Rasyid  ingin mengusir anjing itu.  Ketika itulah Buya Rosyid seperti mendengar bisikan malaikat:
            “Biarkan anjing itu minum,Buya. Bukankah anjing juga mahluk   dan butuh air?”
            Buya Rosyid hanya melantunkan istigfar dan bayang-bayang anjing itu lenyap.
            Ketika masih di tanah air,ketika masih di rumah, benak Buya Rosyid terlalu disiksa oleh pemikiran tentang anjing milik Engkong Oei dan ingin menghabisinya, ingin membunuhnya dengan tombak dan ingin memberinya racun tikus. Itulah sebabnya ketika di tanah suci, bayang-bayang  anjing itu muncul lagi dan  menggodanya. Ketika Buya Rosyid bersujud di depan Ka,bah, anjing itu seperti ada di sisinya.  Buya Rosyid ingin menyiram sang anjing keparat itu dengan air panas,tapi malaikat   mencegahnya:
            “Biarkan anjing itu tidur dan istirahat. Bukankah di sorga juga ada anjing?”
            Buya Rosyid hanya menghela nafas panjang.
            Godaan tentang anjing itu memang sangat mengganggu ibadahnya di tanah suci. Terlalu sulit untuk menghindari godaan itu. Setelah berkali-kali melantunkan kalimah-kalimah istigfar,  barulah godaan itu lenyap. Ketika tawaf sunat keliling Ka,bah, godaan itu juga hadir lagi. Anjing itu muncul di pelupuk matanya bukan hanya ketika tawaf, tapi juga ketika sa,i, ketika ziarah ke Jabal Nur, ketika mendaki Jabal Tsur, anjing itu juga ikut mendaki bukit itu dengan lincah...
            “Ya,Allah . Ya Robbi, anjing itu sangat menzolimi aku. Usirlah jauh-jauh anjing itu dari dekatku. Biar aku dapat beribadah dengan tenang,”  itulah doa Buya Rosyid ketika ziara di Jabal Rahmah. Padahal di puncak Jabal Rahmah itu dia bermaksud mendoakan agar anaknya yang bungsu segera mendapatkan jodoh,tapi anjing milik Engkong Oei tiba-tiba menyelinap dan berdiri dekat tugu di puncak Jabal Rahmah yang amat ramai dikunjungi penziarah.
                                                ***
            Memang anjing milik Engkong Oei banyak menggodanya di tanah suci, tapi malaikat selalu membimbingnya dan memberinya kemudahan ketika   sholat di  Masjid Nabawi, ketika  tawaf, sa’i, tahalul,  dan berdoa di Multazam di Masjidil Haram. Air matanya menitik ketika Buya Rosyid membaca Al Qur,an di pelataran masjidil Haram yang amat dimuliakan umat Islam seluruh dunia.
            Namun bayang-bayang tentang anjing milik tetangganya senantiasa muncul  lagi dan muncul lagi  di pelupuk matanya. Sebab anjing itu selalu mengusiknya ketika ia beribadah di tanah air.. Tidak hanya Buya Rosyid yang merasa risau dan marah kepada binatang haram itu. Tapi belasan jamaah masjid yang melintas juga marah dan melempar binatang itu dengan batu.
            Tepat di depan Multazam, Buya Rosyid menengadahkan tangannya dan berdoa:
            “Ya Allah,Ya Robbi. Hamba-Mu merasa tidak tenteram dengan kehadiran anjing milik Engkong Oei. Berilah hamba petujuk apa yang harus kulakukan terhadap anjing itu!. Haruskah anjing itu mati di tanganku?”” 
Selesai memanjatkan doa itu, tiba-tiba saja bayang-bayang anjing itu lenyap dari pelupuk matanya.
                                           ***
            PULANG  dari tanah suci, Buya Rosyid melakukan sujud syukur semua ibadahnya telah berlangsung dengan baik dengan bimbingan malaikat. Ketika memasuki halaman rumahnya, anjing milik Engkong Oei tidak lagi menyalak, tidak seperti biasanya kalau melihat kerumunan orang. Rumah Engkong Oei pun tampak sepi-sepi saja.
            “Engkong Oei sudah mati dan dikuburkan di perkuburan dekat vihara Tanjung Morawa,”  ujar cucu Buya Rosyid
            “Lalu bagimana  anijing itu?,”  Buya Rosyid menatap wajah sang cucu.
            “Anjing itu sangat setia kepada tuannya. Lebih  sepuluh hari  anjing itu menunggu di atas kuburnya. Dua tiga kali dibawa pulang ke rumah oleh kerabat Engkong Oei, tapi kembali lagi ke kubur itu mendampingi tuannya. Sampai satu hari anjing itu ditangkap orang dan dibawa entah kemana.”
            Dada Buya Rosyid terasa lapang. Tidak ada lagi beban berat yang menghimpit dadanya. Begitulah anjing, persis anjing yang ada dalam Ashshabul Kahfi. ***
2. KALIMAH-KALIMAN TASBIH
------------------------------------------------------------------------------------------------------------                                                               
                                                                            Cerpen Maulana Syamsuri
Lelaki itu sudah amat tua, .sudah teramat .lemah dan tidak berdaya. Dia tidak lagi    mampu mengangkat kepalanya. Lelaki itu hanya mampu meraba-raba pinggiran sprei untuk mencari debu. Untuk tayamum. Lelaki itu memang sudah amat tua, lemah dan tidak berdaya, tapi telinganya masih mampu mendengar suara azan lalu  dia bertayamum dan sepasang bibir hitam legam itu berkoamt-kamit melafaskan bacaan sholat.
            Seperti halnya ketika itu, ketika azan zuhur baru saja dilantunkan orang dari majid, lelaki itu lagi-lagi meraba-raba ujung sprei tempat tidurnya untuk mencari debu. . Dihari tuanya, dia hanya mampu sholat dalam posisi tidur dan sepasang matanya terpejam. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak lagi sadar, ada sepasang semut lewat di selimutnya. Bahkan dia tidak sadar lagi ketika Fatma, anak bungsunya, perlahan sekali mendekat dan meraih sebilah keris di dadanya.
            Sudah berhari-hari  putri bungsu itu  berusaha menyingkirkan keris itu dari tangan sang ayah.tapi selalu saja dipertahankan oleh pemiliknya. Sang putri bungsu ingin menggantikan sebilah keris itu dengan seuntai tasbih dari tulang unta pemberian tetangga yang baru saja pulang dari Tanah Suci.  Tapi sang ayahanda selalu terbangun setiap ada tangan-tangan yang berusaha merenggut sebilah keris dari tangannya, dari atas dadanya.
“Jangan ambil keris ini. Biarkan keris ini di tanganku, biar tetap didadaku.!,” kata-kata itu selalu terdengar  setiap anak-anaknya berusaha mengambil keris itu
“Kembalikan keris itu ke tanganku!,” pinta lelaki tua itu sekali lagi.
“Sebaiknya ayah tidak lagi menggenggam keris itu. Biarkan aku yang menyimpannya. Ayah harus melupakannya, seperti ayah melupakan burung beo kesayangan ayah yang kini sudah terbang ke alam bebas.” sahut sang putri bungsu .
“Tidak!. Burung beo itu boleh pulang ke hutan, tapi keris itu harus tetap di jari tanganku, harus tetap di dadaku!”
“Bukan keris itu yang selalu berada di tangan ayah, tapi tasbih ini. Ayah lebih baik berzikir dan menghitungnya dengan biji-bji tasbih dari Tanah Suci yang terbuat dari tulang unta!”
Perlahan sekali sang ayah menggelengkan kepala.
“Keris itu lebih berarti dalam hidupku, ketimbang biji-biji tasbih itu!”
“Ayah keliru. Apa artinya sebilah keris?. Keris hanya senjata untuk melawan musuh, yang tidak bisa menjadi alat bantu dalam beramal. Kalau seuntai tasbih ini ada di jari ayah, hitunglah sudah berapa kali ayah bertasbih dan berzikir!,”  imbau sang putri bungsu lagi.
“Sudah bertahun-tahun keris itu ada di tanganku. Sudah amat lama aku menyimpannya  dan dia amat berjasa dalam hidupku. Kalau tidak ada keris itu, sudah lama aku terbunuh di tangan para penjahat yang akan mencuri di rumah ini.Para penjahat itu terbunuh oleh keris itu.”
Meskipun sudah amat tua dan lemah, tetapi lelaki  itu tetap ingat,bahwa sebilah keris itu diwarisi dari kakeknya dan sang kakek menerimanya dari buyutnya. Sebilah keris itu sudah turun menurun diwariskan. Sudah bertahun-tahun lelaki itu merawatnya dengan baik . Tidak pernah ada setitik debupun lekat di keris itu.
Dari nenek moyang  yang mewariskan keris itu secara turun temurun, keris itu diyakini dibuat oleh mpu keturunan bangsawan Mojopahit yang berdarah muslim. Banyak hal-hal yang dipantangkan oleh pemegang keris itu,seperti tidak boleh membawanya ke kakus, tidak boleh berkata-kata jorok, tidak boleh untuk menganiaya orang lain kalau tidak karena mempertahankan diri. Keris itu juga tidak boleh dibawa ke tempat-tempat perzinahan..
Sepasang mata lelaki itu masih terpejam ketika putri bungsunya meletakkan seuntai tasbih di jari tangannya,pengganti keris itu . Tapi pada saat sepasang mata lelaki tua itu terpejam ia tetap menyadari, bahwa yang diberikan kepadanya bukan sebilah keris miliknya, namun seuntai tasbih.
“Sudah saatnya ayah melupakan keris itu. Peganglah biji-biji tasbih ini dan ucapkan zikir atau tasbih.”
Sang puri bungsu membiarkan seuntai tasbih dari tulang unta itu tetap di celah jari jemari lelaki itu.. Dengan ujung jilbabnya  putri bungsu itu menyeka keringat dijidat ayahandanya  dengan kasih sayang. Dia amat cinta kepada ayahandanya. .
 Sang putri bungsu tidak ingin ayahandanya terlalu menderita.bertahan hidup dalam keadaan tidak berdaya, bertahan hidup dalam keadaan seakan tersiksa. Hanya  mampu menggerakkan kelopak mata,atau hanya sepasang bibirnya berkomat-kamit.
Justru ada dugaan buruk dalam hati anak-anaknya, bahwa yang membuat ayahndanya bertahan hidup dalam keadaan sekarat adalah sebilah keris yang selalu tergenggam di jari tangannya. Karena itulah dengan diam-diam anak-anaknya berusaha mengambil keris itu dan menyimpannya, biar ayahandanya dapat menghembuskan nafas terkhir dengan mudah dan tenang.  Jangan berlama-lama.
“Berikan keris itu kepadaku,Fatma!,” pinta lelaki tua itu lagi.
“Tidak usah lagi,ayah. Lebih baik tasbih ini di tangan ayah!”
Lelaki tua itu menggeleng lirih. Tangannya bergerak perlahan seakan memberi isyarat untuk meminta keris itu.
“Anak-anak ayah tidak ingin ayah mengkeramatkan keris itu!,” bisik sang putri bungsu dan masih menyeka keringat di jidat lelaki tua itu. Empat orang anak-anak lelaki tua itu memang sudah sepakat untuk menjauhkan keris itu dari ayahandanya. Sebab di hati keempat anak-anak lelaki itu ada anggapan,bahwa ayahanda mereka telah mengkeramatkan keris itu.. Seakan keris itu mempunyai kekuatan magik. Seolah-olah keris itu sakti. Sekan-akan ada mukzizat pada keris itu.dan membuat diri jadi kebal.
“Mana keris itu?.Mana keris itu!.Berikan kepadaku!,” pinta lelaki itu  tergagap.
“Ayah tidak boleh mengkeramatkan keris itu!,” tukas sang putri sulung
Kata-kata itu membuat  mata lelaki tua itu terbuka perlahan-lahan dan  marah.
“Siapa yang mengkramatkan keris itu?.”
“Ayah!. Karena keris itu selalu di tangan ayah sepanjang waktu di hari tua ayah.
Keris itu membuat ayah menderita terlalu lama.”
            “Kalian menghendaki aku cepat mati. Begitukah?”
            “Kami hanya ingin agar ayah tidak terlalu lama menderita.”
            “Jangan katakan aku berlama-lama menderita. Justru aku merasa  jiwaku tenang menjelang akhir hidupku. Jangan katakan aku mengkeramatgkan keris itu. Jangan katakan karena aku memiliki keris itu lalu menjadi kebal . Demi Tuhan, tidak!”
            “Lalu apa artinya keris itu bagi ayah?. Adakah mukzijat disana?”
            Lelaki tua menggeleng lirih. Sepasang bibirnya bergetar lirih melahirkan sebuah kalamat:
            “Berikan keris itu kepadaku, biar kutunjukkan kepada kalian semua apa yang ada di dalam keris itu. Ayo berikan kepadaku!”, pinta lelakaki tua itu penuh harap.
            Perlahan sekali dan dengan tangan gemetar, sang putri bungsu meletakkan sebilah keris itu  di antara jari jemari tangan ayahandanya. Perlahan sekali lelaki tua itu menghunusnya dan keris itu  berkilau diterpa cahaya.. Dengan mata sayu lelak tua itu mengamati sebilah keris yang kini terhunus di tangannyua. Tidak ada setitikpun debu.
            “Mendekatlah,  semua anak-anakku. Aku akan berwasiat kepada semua anakku.”
            Dua anak lelaki dan dua anak perempuan mendekat dan memperhatikan ayahanda mereka yang menghunus keris berkilau.
            “Pandangalah keris ini baik-baik. Keris ini dibuat tidak sembarangan dan pembuatnya bukan Mpu sembarangan pula. Tataplah keris ini,bacalah kalimat yang tertulis di keris ini.”
            Empat orang putra dan putri dengan seksama memperhatikan keris terhunus di tangan ayahanda mereka. Semua anak-anak itu tercengang ketika membaca ada ukiran aksara dan bahasa Arab yang berisikan kalimah-kalimah tasbih dan zikir di keris itu..
            “Kalimat-kalimat yang terukir ini mengingatkan aku untuk selalu melafaskannya siang dan malam,yakni tasbih dan zikir. Adakah kalimat-kalimah seperti itu tertera pada biji-biji  tasbih?”
            Salah seorang anak lelaki itu meraih untaian tasbih yang terbuat dari tualng unta dan meletakkankannya jauh di atas meja,jauh dari tangan sang ayahanda yang asyik berkomat-kamit membaca kalimat-kalimat zikir yang terukir di keris itu. Dan lelaki itu akhirnya memejamkan mata untuk selamanya. Seperti tidak ada rasa sakit ketika nyawanya berpisah dari jasadnya, karena bibirnya sedang membaca tasbih dan zikir di keris yang terhunus di tangannya.
            Bila jasad itu tidak lagi bernyawa, keris yang terhunus di tangannya jatuh di atas dadanya, tepat di jantungnya.***







  3. JAKARTA
                                                                                                  Cerpen Maulana Syamsuri

            Duri tajam, beling berserakan, kerikil yang amat keras, tahi kucing, racun dan darah serta anjing sakit , itulah yang ada di Jakarta.  Jangan menginjakkan kaki di ibukota kalau hanya mencari madu. Tapi kalau yang dicari  adalah sarang tikus,pasti dalam sekejap akan ditemukan. Seorang lelaki muda berjenggot panjang, berpakaian serba putih, pintar mengaji, piawai memperbaiki alat-alat elektronika, suatu hari ditangkap polisi dengan tuduhan teroris, lalu setelah tubuhnya bonyok dan kehilangan dua gigi atasnya lelaki itu dilepas. Lebih tragis lagi, seorang perempuan muda karyawati sebuah bank, saat mengenderai sepeda motor, tasnya dijambret dan perempuan muda itu terjatuh di atas aspal lalu digilas bus kota. .Dan mati. Itulah warna kehidupan ibukota. Itulah Jakarta yang kelam dan kelabu. Jakarta yang kejam.
            Pengangguran ada dimana-mana, Gepeng ada di setiap perapatan jalan  dan semua adalah tahi kucing yang mengotori Jakarta. Seperti halnya seorang lelaki  yang berasal dari kaki gunung di Jawa Tengah, mengais rezeki di tengah keramaian Jakarta dengan menengadahkan tangannya, mengemis.
            “Kasihan,mbak, saya orang miskin. Saya belum makan, Berilah saya sesuap nasi!,” itulah yang selalu dikatakannya kepada orang-orang yang lewat. Modalnya cuma suara yang memelas dan pakaian compang-camping.  Sehari cuma lima belas ribu rupiah yang jatuh ketangannya.  Hanya cukup untuk makan pagi dan sore dengan lauk yang amat sederhana, tempe atau tahu.
            “Kalau mengemis jangan cuma modal pakaian compang-camping. Putar otak  kamu, biar orang   berduit  merasa kasihan. Ikat kaki kananmu keatas  dan pura-pura cacat, lalu berjalan dengan tongkat. Pasti orang banyak memberimu sedekah!,”  lelaki itu seperti mendengar suara bisikan dari langit, seperti suara malaikat,padahal yang berbisik kepadanya adalah syetan. Sebab malaikat tidak senang melihat manusia meminta-minta. Kalau yang bicara dari langit adalah malaikat pasti yang dikatakannnya adalah tentang kebaikan , pasti yang dikatakannya adalah anjuran untuk giat bekerja karena bekerja adalah ibadah. Tuhan melarang manusia untuk mengemis.
            “Baiklah, besok aku akan mengikat kakiku sehingga tampak seperti berkaki satu, seperti orang cacat”,  sahutnya kepada suara dari langit.
            Lalu ketika hari berikutnya hadir di perapatan jalan,  lelaki itu mengenakan tongkat dan jalannya tertatih-tatih karena kaki kanannya diikat keatas,seperti cacat.
            “Saya orang cacat, Bu. Kaki saya ditabrak mobil mewah yang dikenderai orang kaya!. Saya jadi korban kejamnya kehidupan di Jakarta.”  ujarnya memelas.
            Ibu muda yang berada dalam mobil di depannya  berwajah cemberut dan melontarkan uang dua ribu kepada pengemis itu. Senja hari, setelah matahari terbenam, lelaki peminta-minta itu menghitung lembaran rupiah demi rupiah yang dilontarkan orang ke tangannja. Cuma dua puluh lima ribu . Tidak layak untuk hidup di ibukota meskipun untuk kelas seorang pengemis. Jauh dari batasan upah minimum propinsi.  Dan tiap hari uang yang jatuh ke tangannya cuma sebanyak itu. Tidak pernah lebih,bahkan terkadang berkurang,apalagi kalau hujan turun.
            Sudah berminggu-minggu, sudah berbulan-bulan pengemis itu tidak mengirimkan uang untuk anak bininya di kampung halaman. Ia sendiri tidak tahu, bagaimana keadaan anak istrinya., Yang pasti sang anak sudah lama tidak sekolah karena tidak  mampu membeli buku dan baju seragam.
                                                            ***
             Pengemis yang pura-pura berkaki cacat itu  mendadak lari terbirit-birit ketika satpol pe-pe malakukan razia gepeng. Lelaki itu terpaksa kehilangan tongkatnya. Ia tidak berdaya ketika aparat meringkusnya di sebuah gang sempit, lalu dinaikkan ke dalam truk bersama belasan gelandangan, pengemis dan pengamen serta banci yang melacurkan diri.
            Sang banci tertawa lebar,terkekeh-kekeh  ketika truk itu meluncur ke arah panti rehabilitasi::
            “Hai ,pengemis. Percuma saja pura-pura berkaki satu.. Mampus lu,hari ini dicomot. Rasain,lu!”
            Pengemis itu amat marah mendengar ejekan itu:
            “Tutup mulutmu!. Atau bacotmu akan kusobek!.”
            Sang banci menghampiri pengemis itu dan menepuk pundaknya  dan terdengar suaranya yang khas banci:
            “Tidak usah sedih. Nasib kita sama. Nggak usah takut, hari ini kita dicomot, besok kita kabur!”
            Siapa menyangka, di panti rehabilitasi, pengemis itu mendapat  hikmah yang amat besar?. Ia mendapat petuah bagaimana caranya mengemis agar mendapatkan uang lebih banyak.
            “Sewa seorang bocah, ajak bocah itu mengemis. Cubit bocah itu biar kesakitan dan menangis. Orang pasti kasihan! Belajarlah doa-doa.”
            Pengemis iu manggut-manggut. Esok hari,pagi-pagi benar bersama sang banci ia kabur  dan caranya memang amat mudah. Sang penjaga panti rahibilitasi diberi seuntai kalung yang gemerlap seperti emas murni padahal cuma imitasi.
            “Untuk kabur gampang,hanya teroris yang sulit kabur kalau sudah dicomot aparat!”
            Keduanya tertawa lega.
                                                            ***
           
            Tangis bocah yang digendong lelaki itu melengking ketika bokongnya dicubit ketika sebuah mobil mewah berhenti di perapatan  dan penumpangnya adalah istri pejabat:
            “Berilah anak saya sedekah,Bu. Anak saya sakit!”.
Istri birokrat dalam mobil itu benar-benar kasihan dan hatinya tersentuh melihat seorang pengemis berpakaian compang-camping mengendong anak yang sakit  dan menangis.. Istri birokrat itu membuka dompetnya dan mengulurkan selembar uang duapuluh  ribu. Lumayan, bocah yang disewa sepuluh ribu dari seorang perempuan penjual gorengan itu menghasilkan uang lebih seratus ribu sehari.   Dalam seminggu bocah dalam gendongan pengemis itu mengumpulkan uang lebih dari satu juta. Apalagi pengemis itu melantunkan doa setelah menerima uluran uang:
            “Rabanna taqabbal minna innaka antas samii’ul aliim, watub alaina innaka antat tawaabur rahiim”
            Pintu rezeki memang sedang terbuka lebar bagi pengemis itu. Apalagi pada hari hari berikutnya, dia tidak perlu lagi membayar sewa bocah yang diajaknya mengemis karena sang ibunda sudah meninggal direnggut demam berdarah. Alhamdulillah,tukasnya bersyukur. Bocah ini jadi milikku!.
                                                            ***
            Bocah yang menangis dan doa yang dilantunkan pengemis itu benar-benar menggugah harti amat banyak orang. Sepasang suami istri yang sudah kawin lebih dari lima belas tahun, mencari seorang anak menghampirinya di perapatan jalan. Pasangan suami istri itu sudah keliling Jakarta untuk mendapatkan seorang anak yang berasal dari keluarga yang solih, yang orangtuanya rajin sholat dan patuh pada ‘amar ma’ruf nahi mungkar. Sudah amat banyak bayi dan bocah yang ditemui tapi berasal dari keluarga yang tidak beres, jauh dari agama.
            Pengemis berpakaian compang camping itu seperti mendapatkan rahmat yang amat besar ketika sepasang suami istri itu mengampiri dan mengajaknya makan di restoran lalu mampir di sebuah masjid besar.
            “Lima belas tahun kami menikah, tapi Tuhan belum juga memberikan anugerah keterunan anak. Kami ingin mengambil anak asuh dari keluarga sakinah. Kalau bapak berkenan, biarlah kami mengasuh anak bapak!. Kami akan memberi ganti rugi berapapun yang bapak minta.”  ujar sang suami amat bersungguh-sungguh.
            “Demi Tuhan, saya sangat menyayangi satu-satunya anak saya. Tidak mungkin saya berpisah dengannya. Tidak mungkin saya berikan kepada orang lain.”
            Pasangan suami istri terus mendesak. Pasangan suami isri itu merasa benar-benar telah menemukan pilihan yang tepat, mendapatkan seorang anak dari keluarga sakinah mawaddah war rahmah  meskipun dari keluarga miskin,meskipun dari seorang pengemis.
Tawar menawar itu terjadi lebih dari satu jam di mesjid itu. Pengemis itu mematok uang ganti rugi sepuluh juta. Pengemis itu tidak harus merasa sedih kehilangan bocah itu, karena memang bocah itu bukan anak kandungnya. Dulu ibu yang melahirkannnya adalah  mantan  wanita penghibur di sebuah kafe dan bocah itu lahir  karena hubungan gelap,karena dosanya  dengan seorang  lelaki pemabuk berat. Dan pasangan suami istri yang sudah bertahun-tahun merindukan anak itu tidak menyadari  hanya  mendapatkan pepesan kosong. Di Jakarta amat sulit untuk mendapatkan anak sakinah. Tapi anak-anak haram berserakan di mana-mana, seperti tahi kucing.
            Kebohongan memang banyak terjadi di Jakarta. Amat mudah pengemis itu mendapatkan uang sepuluh juta. . Besok pengemis itu dapat menyewa bayi atau bocah lainnya. Di Jakarta memang banyak ditemukan anjing sakit. Dan tipu daya.***

4. CALON UMAROH                                                                             
                                                                                             Cerpen Maulana Syamsuri
           
SEUNTAI tasbih tidak pernah terlepas dari celah jari tangan Eyang Putri yang sudah sangat sepuh, sudah  delapan puluh. Warga desa yang sebayanya sudah tidak ada lagi. Kerabat dan famili seumurnya semua sudah meninggal dunia. Eyang Juminah yang usianya tujuh puluh tiga sudah 6 tahun silam dipanggil ke akhirat. 
Sekarang hanya Eyang Putri yang masih bertahan hidup. Sepasang bibirnya  hitam legam selalu  kering karena  senantiasa melantunkan zikir dan istighfar. Eyang Putri sudah sangat sepuh, wajahnya penuh keriput, rambutnya putih semua, tubuhnya kurus dan tidak banyak lagi yang dapat dilakukannya selain sholat sholat  dan melantunkan zikir.  Puasa senin kemis tidak pernah ketinggalan dilakukannya. Eyang Putri merasa sangat dekat dengan Tuhan. Eyang Putri memang sudah siap dan rela menyambut datangnya malaikat Azrail untuk mencabut nyawanya
            Eyang Putri sudah sangat sepuh, tapi ia belum pikun, matanya masih sangat jeli dan tidak pernah lupa letak tasbih  setelah ia kembali dari kamar mandi. Berjalanpun belum mengenakan tongkat. Ia belum lupa letak kiblat. Telinganya masih dapat mendengar azan subuh atau maghrib .Kicau burung di ranting pohonpun masih terdengar di telinganya dengan jelas. Hanya jarum yang jatuh tidak terdengarnya lagi.
            Sepasang mata Eyang Putri masih amat jelas melihat sebuah truk berhenti di depan rumahnya dan menurunkan belasan karung beras.
            “Dari mana beras sebanyak itu,Utari?,”Eyang Putri bertanya kepada anaknya .
            “Mas Satrio yang membelinya,”  sahut sang anak perempuan paling bungsu menyebut nama suaminya.. Eyang Putri memiliki enam anak, sembilan  belas cucu,  delapan cicit dan tiga canggah. Sesekali, semua anak cucu, cicit dan menantu berkumpul di rumah itu. Kalau sudah berkumpul, rumah besar itu seperti pasar yang hiruk pikuk.
            “Untuk apa beras sebanyak itu?,”  tanya Eyang Putri lagi.
            “Untuk dibagikan kepada warga desa.”
            “Sejak kapan suamimu jadi pedagang beras?. Setahu Mbok suamimu adalah guru di madrasah, bukan pedagang beras!.”.”
            “Mas Satrio memang bukan pedagang beras, tapi membagikan beras itu kepada warga. Untuk menolong warga yang hidupnya miskin.”
            “Untuk membantu mereka yang hidup miskin boleh-boleh saja,anakku. Tapi jangan ada maksud lain.”
            “Mas Satrio memang punya maksud tertentu. Supaya warga memilih Mas Satrio dalam pemilihan lurah nanti.”
            “Astaga!. Suamimu mau jadi lurah?” sepasang mata Eyang Putri menatap dalam-dalam wajah anak perempuannya yang juga sudah sepuh, sudah setengah abad.
            “Ya!. Mas Satrio pingin jadi lurah.”
            “Sebaiknya tidak usah.  Jangan ada keturunan Mbok yang jadi umaroh. Sebab kalau sudah jadi umaroh, keyakinan Islam dalam dirinya yang pada mulanya lurus akan berbelok arah.”
            “Tapi Mas Satrio akan jadi lurah yang bersih,lurah  yang jujur, yang  akan memperbaiki irigasi di desa kita. Mas Satrio akan berusaha agar pupuk murah, jalan desa diperbaiki dan  rumah warga yang reot akan diperbaiki..”
            “Sebaiknya tidak usah. Lebih baik jadi warga biasa saja Enggak jadi lurah,kita juga bisa makan kenyang dan anakmu bisa sekolah.”
Eyang Putri menghela nafas panjang dan sepasang bibirnya berkomat-kamit melantunkan zikir. Meskipun sudah sangat sepuh, tapi telinga Eyang Putri  masih jelas mendengar suara menantunya mengumbar kata-kata, berkampanye di lapangan terbuka yang menyampaikan program perbaikan desa dengan beribu  janji yang amat manis. Padahal Eyang Putri sejak kecil sudah diajarkan orangtuanya untuk melarang keluarganya  dekat dengan umaroh karena dikhawatirkan ajaran Islam akan bengkok. Dekat dengan umaroh saja tidak boleh ,apalagi memegang amanah sebagai umaroh. Amanah itu terlalu berat.  Dan sekarang, menantunya sendiri mencalonkan jadi lurah, jadi umaroh , jadi birokrat tingkat desa. Eyang Putri tidak menginginkan hal itu.
Dan yang dibagikan menantunya kepada warga desa tidak hanya beras gratis, tapi juga mie instan dan kaos oblong. Eyang Putri tidak pernah memikirkan dari mana menantunya mendapatkan uang yang amat besar untuk biaya kampanye.
                                                ***
MUSIM kemarau sudah berlalu, desa itu tiap hari diguyur hujan lebat dan parit di pinggir jalan tidak mampu menampung air yang tercurah dari langit Udarapun teramat dingin hingga ke sumsum tulang Dan tubuh Eyang Putri menggigil kedinginan meskipun sudah membungkus dirinya dengan selimut tebal. Nafasnya terasa sesak, dadanya seperti dihimphit pohon tumbang.  Eyang Putri merasa dirinya mulai diintai oleh malaikat maut,Azrail.
Itulah sebabnya ketika hujan  yang  amat lebat  sudah reda, Eyang Putri memanggil Utari,putrinya  dan menantu serta semua anak serta cucu-cucunya.
“Eyang sudah sangat tua. Eyang akan memberikan wejangan. Eyang akan memberikan wasiat.”, terdengar suara Eyang Putri parau karena batuk. Di antara batuknya yang panjang, perempuan sepuh itu melanjutkan kata-katanya:
“Eyang  merasa tidak kuat lagi. Sebentar lagi mungkin Eyang  akan meninggalkan kalian semua.”, kata-kata itu tergetar lagi  dari celah bibir perempuan sepuh itu.
“Jangan berkata bagitu .Eyang,”  sahut salah seorang cucunya. .”Kami sangat sedih mendengarnya. Mudah-mudahan Eyang sehat dan panjang umur.”
“Eyang  sudah siap menerima takdir. Dan sebelum Eyang pergi untuk selamanya, ada amanah yang eyang  tinggalkan.”
Perempuan sepuh itu mengeluarkan sebuah dompet yang sudah lusuh dan kumal karena sudah amat lama disimpan. Perempuan sepuh itu membuka isi dompetnya dan mengeluarkan isinya, seuntai kalung emas tiga ratus gram.
“Sebentar lagi Eyang akan meninggal, juallah kalung ini untuk membeli kain kafan, juga untuk biaya fardu kifayah, juga untuk kenduri”
. Amat panjang perempuan sepuh itu meninggalkan amanah, terutama tentang seuntai kalung yang disarankan untuk dijual, untuk sedekah sartana atau geblak, untuk biaya sedekah nelung dina, mitung dina, nyatus hingga mendak pendo dan nyewu.
“Kematian eyang sudah dekat, jual kalung ini!. Banyak biaya untuk pemakaman orang tua yang meninggal. Tapi eyang sudah menyiapkan semua biaya itu.”
Banyak  dan amat banyak amanah Eyang Putri yang disampaikan kepada anak cucu, menantu dan cicitnya. Juga tentang kuburnya, Eyang Putri berharap agar dikembumikan disamping Eyang Kakung yang sudah meninggal sepuluh tahun silam.
“Makam Eyang Kakung sangat bagus tempatnya, di bawah pohon rindang. Eyang juga ingin berada di sisinya,”  ujarnya dengan suara yang masih jelas. Di mata Eyang Putri terbayang makam Eyang Kakung yang diteduhi pohon mahoni. Dan burung-burung selalu berkicau nyaring di rantingnya, seperti melantunkan doa-doa untuk semua jenazah yang terbaring di pemakaman itu. Di sisi  kanan  makam Eyang Kakung adalah makam Ustaz Hamzah, imam masjid di desa itu. Di sisi kiri adalah makam  muallimah Maimunah, guru mengaji. Di sebelahnya lagi terbaring bilal yang selalu melantunkan azan dan meninggal karena kecelakaan bus angkutan. Kalau meninggal nanti,Eyang Putri ingin dikembumikan  di antara orang-orang yang zuhud.
“Insya Allah kami, anak cucu, semua menantu  akan melaksanakan semua amanah itu.”,sahut Utari yang mewakili keluarga besar di rumah itu.  Hampir semua anak, menantu, cucu dan cicit berkumpul di rumah besar itu mendengar amanah yang disampaikan Eyang Putri  Yang tidak tampak hanya Mas Satrio, menantu yang calon lurah karena sedang sibuk membagikan uang kepada warga miskin..
“Mendekatlah,cucuku Singgih,”  panggil Eyang Putri kepada cucunya yang tertua. Sang cucu mendekat dan Eyang Putri melingkarkan  kalung emas itu di leher cucunya.
Besok juallah kalung ini. Berikan infak kepada masjid di desa kita, sebab setiap jumat masjid itu tidak lagi mampu menampung jamaah. “
“Saya akan melaksanakan amanah eyang,”  sahut sang cucu dan memeluk Eyang Putri amat erat. Semua, anak cucu, menantu dan cicit tidak mampu  menahan tangis .
                              ***
ESOK hari, air mata Eyang Putri membasahi pipinya. Tangisnya berderai-derai.  Perempuan sepuh itu amat sedih,sebab kalung yang diberikan kepada cucunya untuk dijual, ternyata sudah disulap. Kalung itu tidak laku satu senpun. Sebab kalung emas tiga ratus gram itu sudah diganti dengan imitasi. Dan yang melakukannya adalah Mas Satrio, sang menantu, untuk biaya calon lurah di desa itu. Sang menantu tidak sempat jadi umaroh , kalah menghadapi pesaingnya yang lugu dan polos.*** 
        


                     



 

 5. Z O L I M
Cerpen Maulana Syamsuri
           
“Keparat!!. Dajjal!. Jahanam!. Bangsat. Monyet terkutuk!!”
            Sumpah serapah itu terlontar dari sepasang bibir lelaki bertubuh jangkung, pemilik kebun coklat yang terletak di pinggir hutan kecil di lereng bukit. Desa yang selalu diguyur hujan itu memang tidak pernah dilanda kemarau panjang. Desa itu adalah desa yang subur dan apa saja yang  ditanam pasti tumbuh subur, juga tanaman coklat milik lelaki bertubuh jangkung itu. Tidak pernah ada hama yang menyerang tanaman itu, tidak ada tikus atau wereng  yang menyerang padi rakyat.
            Yang selalu  mengusik tanaman coklat itu adalah sekelompok monyet yang datang dari hutan kecil di seberang sungai. Padahal sekelompok monyet itu tidak memangsa tanaman padi atau palawija milik para petani. Yang  jadi mangsa sekelompok kera-kera itu adalah tanaman keras seperti coklat, mangga, pisang dan buah-buahan lain.
            Itulah sebabnya lelaki pemilik kebun coklat itu amat marah ketika melihat buah coklat yang sesaat lagi di panen digunduli oleh sekelompok monyet, hingga kulit-kulit coklat itu berserakan di tanah. Itulah sebabnya lelaki pemilik kebun coklat itu melontarkan sumpah serapah terhadap sekelompok kera yang telah menyerang tanaman coklat miliknya. Sekarang monyet-monyet itu adalah musuh yang paling dibenci lelaki itu,padahal seumur hidupnya lelaki bertubuh jangkung itu tidak pernah punya musuh. Sekarang dalam hidupnya, di depan hidungnya ,ada sekelompok  monyet yang mengusik ketenteraman hidupnya. Sebab tanaman coklat seluas lebih dari lima hektar itu adalah satu-satunya sumber kehidupan keluarganya.
            “Mudah-mudahan perangkap ini akan membuat binatang-binatang itu menjadi kapok!”, cetusnya ketika memasang beberapa perangkap di pinggiran kebunnya. “Monyet-monyet terkutuk itu akan kubakar hidup-hidup!. Biar tahu diri. Biar jera!. Kebunku akan aman dari serangan monyet-monyet itu”  Lelaki bertubuh jangkung itu berkata-kata sendiri . Tanpa sadar istrinya sudah berada di sisinya untuk mengantar kopi hangat  dan mendengar semua kata-katanya.
            “Jangan!. Jangan bakar monyet-monyet itu!,” sang  istri mencegah.
            “Kenapa?. Kenapa tidak boleh dibakar?,” lelaki pemilik kebun coklat itu memandang sang istri yang mengenakan topi lebar dan rambutnya yang hitam legam itu tersembunyi dibalik topi lebarnya.
            “Kasihan kalau monyet-monyet itu dibakar, sebab mereka juga sesama mahluk seperti kita. Mereka juga ciptaan Tuhan!”
            “Apa peduliku?. Monyet –monyet itu sama sekali tidak tahu diri.  Lihatlah berapa banyak buah coklat yang sudah dihabisi oleh binatang terkutuk  itu?”
            Lelaki itu menunjuk ke arah kulit-kulit buah coklat yang berserakan di tanah.
            “Mereka pantas dibunuh!. Mereka pantas dibakar hidup-hidup!”
            Lelaki bertubuh jangkung itu meneguk kopi hangat dan gorengan yang baru saja diantar sang istri, lalu melanjutkan memasang jerat di beberapa tempat yang selalu dilintasi oleh monyet-monyet itu.
            “Sebentar lagi monyet-monyet itu akan tergantung di perangkap ini dan aku akan segera membuat api unggun untuk membakarnya. Kalau ada orang yang berminat untuk menikmati sate daging kera  silahkan datang ke kebun kita besok pagi!”
                                                ***
            BELASAN perangkap sejak sore itu sudah terpasang di sepanjang batas kebun coklat milik lelaki bertubuh jangkung itu. Malam itu, ia  akan tidur nyenyak sampai besok pagi, sampai lewat fajar terbit. Padahal selama beberapa minggu mataya hampir tidak pernah terpejam karena harus menghalau  kera-kera itu. Tapi monyet-monyet itu memang binatang yang tidak pernah mengenal takut, sesaat dihalau dengan berbagai teriakan keras,bahkan seperti petir , sesaat kemudian datang lagi dan datang lagi.
            “Mampuslah kamu,wahai keparat!,” gerutu lelaki itu ketika ia bangun pagi dan melihat seekor monyet tergantung masuk perangkapnya. Monyet yang malang itu lalu dibakar hidup-hidup tanpa belas kasihan. Bau tidak enak menyengat rongga hidung hingga ke seberang sungai,hingga ke hutan kecil tempat bermukimnya monyet-monyet itu. Semua kera di hutan itu sedih. Semua menangis 
            Malam demi malam terus berlalu, jerat yang terpasang tetap saja tidak  lagi membuahkan hasil. Binatang berkaki empat itu memang amat licik dan menghindari perangkap yang terpasang di kebun itu. Lagi-lagi,tiap malam, pohon demi pohon  coklat itu tetap saja digunduli oleh binatang berkaki empat itu. Dan lelaki itu semakin kesal dan murka.
            “Aku tidak putus asa. Aku belum kehabisan akal untuk menghabisi monyet-monyet keparat itu!” ujarnya seorang diri. “Aku harus membeli senapan.”
            “Lalu menembaki monyet-monyet itu?”, sela sang istri yang selalu di sisinya.
            “Ya!. Biar monyet-monyet  terkutuk itu mati ditembus peluru!”
            “Berapa peluru untuk menghabisi monyet yang tiap hari makin banyak?” sang istri menatap wajah lelaki  itu  yang terus menemus cemberut. Dan sombong.
            “Hari ini akan kubeli senapan dan seratus butir peluru! Besok seratus lagi!”
            Tekad untuk menghabisi monyet-monyet itu memang sudah membaja dalam dada lelaki bertubuh jangkung itu. Angkara murka sedang membara. Ia benar-benar membeli senjata api  dan seratus butir peluru.
            Sayang, seratus peluru yang meletus dari senapannya tidak satupun  membunuh monyet-monyet itu. Yang berserakan di tanah tidak hanya kulit buah coklat,tapi juga selongsong peluru yang jumlahnya tidak kurang dari seratus butir. Monyet-monyet itu memang licik . Monyet-monyet itu lari dengan cara zigzag untuk menghindari peluru.
            “Bangsat!”,teriak lelaki itu amat  kesal dan membanting senapan yang disandangnya.  “Tunggu saja kalian akan kuhabisi semua,akan kubakar hidup-hidup.”
“Aku tidak akan menyerah. Manusia tidak boleh kalah kepada binatang. Monyet itu harus kubunuh!. Monyet itu harus kuhabisi!. Harus kubakar!” tambahnya.
            Sesaat lelaki itu termenung, memikirkan cara paling ampuh untuk membunuh kera-kera itu yang jumlahnya makin banyak. Beberapa saat setelah termenung, ia mendapat akal dan tersenyum.
            “Sesaat lagi monyet-monyet itu akan mampus semua!”
            Dengan sepeda motor tua miliknya, lelaki itu pergi ke pasar. Pulang ia membawa sebuah karung berisi racun tikus buatan China yang paling ampuh..
            “Racun tikus ini akan menghabisi monyet-monyet itu!,” ujarnya bersemangat di depan sang  istri.
            “Bagaimana kalau racun tikus ini gagal lagi?” tanya sang istri.
            “Hutan kecil itu harus dibakar habis. Itulah jalan terakhir! Biar monyet keparat itu habis semua!”
            Yang dibeli lelaki itu dipasar tidak hanya racun tikus,tapi juga buah apel, mangga, pisang raja,manggis hingga buah anggur dan  pier. Buah-buahan itu dicelupkan dalam cairan yang sudah diberi racun tikus kemudian diserakkan di antara  batang-batang pohon coklat.
            “Sedikit saja racun tikus ini masuk mulut monyet itu, mereka akan mampus!,” ujarnya bersemangat dan menyerakkan buah-buahan yang sudah dilumuri racun tikus yang paling ampuh.
            Tubuhnya bermandi keringat ketika menyerakkan buah-buahan itu .
            Tapi binatang berkaki empat itu memang licik. Hidung binatang berkaki empat itu amat tajam dan mencium racun berbahaya. Kera-kera itu tahu ,bahwa buah-buahan yang diserakkan di pinggir kebun coklat itu sudah diberi racun tikus yang mematikan. Monyet-monyet itu menghindar
            “Keparat!,” gerutunya di pagi hari berikutnya, ternyata buah-buahan yang sudah dilumuri racun tikus itu tetap utuh. Tidak satupun yang dimakan monyet-monyet itu. “Dasar monyet celaka!”
            Sumpah serapah kembali terlotar dari bibir lelaki itu.
                                                ***
            MALAM berikutnya,  langit biru yang cerah tiba-tiba berubah menjadi merah karena kebakaran hutan kecil di seberang sungai. Burung-burung beterbangan menyelamatkan diri. Juga,ular kupu-kupu,belalang, kecoa dan semut-semut kecilpun berlari  menjauhi api. Apa lagi ikan-ikan dalam kubangan mati seketika.
            Serombongan monyet melakukan hijrah karena habitat mereka terbakar. Semua mahluk penghuni hutan itu sedih karena habitat mereka dilalap si jago merah. Api berkobat di hutan itu.  Yang bergembira hanya lelaki  sang pemlik kebun coklat. Sejak terbakarnya hutan kecil itu, tidak seekor monyetpun yang mengusik tananan coklat miliknya.  Semua kera-kera itu sudah hijrah ke hutan lain dengan perasaan sedih.
            Lelaki itu menjadi kaya sekarang. Hutan kecil yang terbakar itu dibeli dengan harga murah, lalu dengan mitra orang China, diatas lahan bekas hutan kecil itu dijadikan perluasan kebun coklat miliknya. Lelaki itu menupuk harta sekarang tanpa ada satupun mahluk yang mengusik. Lelaki itu tidak menyadari,betapa amat menyedihkan monyet-monyet penghuni hutan itu karena kehilangan habitatnya. Hewan-hewan itu sudah dizolimi oleh lelaki itu. Lelaki jadi angkuh dan sombong sekarang.
            Lelaki itu semakin kaya dan semakin menumpuk harta. Hingga ia mampu pergi ke Tanah Suci bersama istri dan  anak lelakinya. Ia sudah lupa,bahwa ia telah berbuat zolim terhadap sesama mahluk hidup.  Perbuatan zolim selalu mendapat balasan Tuhan.
            Karena itulah ketika di Terminal International King Abdul Aziz, ketika ia melangkah turun dari pesawat, ia melihat seperti ada puluhan kera menyambut di tangga pesawat. Lelaki itu  berusaha menghindar.
“Kenapa banyak monyet di sini?,” katanya heran dan di matanya tampak monyet-monyet itu ingin menggigitnya.  Lelaki itu mencoba menghindar menyebabkn kakinya terkilir berat  dan  harus dipapah ke rumahsakit. Tidak sekalipun ia  sholat arbain di Masjid Nabawi yang megah itu karena tubuhnya demam. Bahkan ia juga mengalami kesulitan ketika di Masjid  Bir Ali ia harus mengenakan pakaian ihram. Dua lembar pakaian ihram itu seakan ditarik-tarik oleh puluhan  ekor kera yang tampak ganas dan ingin membalas dendam. Monyet-monyet itu ingin menggigitnya.
            Bahkan ketika tawaf keliling ka’bah, puluhan monyet seperti menghalangi langkahnya. Puluhan kera seperti menghadang di depannya. Tujuh kali keliling ka’bah yang dilakukan sejak pagi tidak kunjung selesai hingga azan magrib terdengar. Mulutnya seperti disumbat puluhan monyet sehingga tidak mampu melantunkan doa-doa.
            “Usir monyet-monyet itu!. Usir dia!,” teriak lelaki itu karena langkahnya seperti dihambat oleh belasan ekor monyet. Tubuhnya bermandi peluh.
            “Di sini tidak ada monyet!,” sahut putranya yang ada di sisinya dan membenarkan letak pakaian ihramnya. “Kita sedang tawaf,yang ada di sini adalah ribuan jamaaah. Bukan monyet.”
Hal yang sama juga terjadi saat melakukan ibadah Sa’i, tujuh kali berjalan  ulang-alik  di antara bukit Marwah dan Safa. Lelali itu berteriak-teriak seperti mengusir monyet-monyet itu.. Sampai lelaki itu jadi tontonan ribuan jamaah.
“Pergi kalian monyet keparat!. Bangsat!  Jahanam! Laknat!”
Bahkan ketika tiba saatnya harus wuquf di Arafah,lelaki itu menolak untuk memasuki kemah. Ia melihat tahi monyet terhampar di atas padang pasir dan menjijikkan
“Aku tidak mau tidur di atas kotoran monyet!. Aku tidak mau!!!” teriak lelaki itu berteriak dan meronta-ronta mejauhi kemah yang disediakan untuk melakukan Ibadah wuquf di Padang Arafah. Ia mencium bau tahi monyet yang amat menyengat.
“Astaga, tempat ini namanya Arafah. Kita harus wuquf di sini.” bujuk sang istri.
Tetap saja lelaki itu meronta dan ingin pergi, tetap saja yang tampak  di matanya  di Padang  Arafah adalah kotoran monyet.
“Istigfarlah!.. Istigarlah, agar tidak diganggu syetan,”  bujuk sang istri.
Bibirnya terkunci. Untuk mengucap istigfar saja ia tidak mampu,apalagi mengucap doa-doa. Tidak ada satu kalimat doapun yang dilantunkannya sejak kakinya terjejak di Tanah Suci. Yang ada hanya teriakan –teriakan histeris mengusir monyet.       
Lelaki itu tetap tidak menyadari,bahwa Tuhan membalas perbuatan  terhadap dirinya karena ia telah menzolimi puluhan bahkan ratusan ekor monyet, memasang perangkap., memberi racun tikus, menembaki, hingga membakar hutan tempat habitat hewan-hewan itu.
Balasan itu belum berakhir. Ketika melakukan pelontaran di Jamarat atau tempat pelontaran jumrah, lelaki juga berteriak-teriak:
“Pergi kalian monyet terkutuk. Biarkan aku melontar syetan di sini!.” Lelaki itu bukan membaca doa melontar syetan di depan Jumrah Aqobah, tapi berteriak-teriak mengusir monyet. Padahal yang ada di sekitarnya adalah ribuan jamaah haji yang saling berdesakan dan saling dorong.
Lelaki itu terjatuh dan seakan-akan  dipijak oleh ribuan monyet,padahal yang mengijaknya adalah sesama jamaah dari Jawa Tengah, dari Malaysia, Qatar, Iran, Kuwait dan jamaah dari seluruh dunia. Di Jamarat,  Allah telah memberikan balasan prilakunya di masa lalu, ketika lelaki itu menganiaya ,membakar hidup-hidup sesama mahluk dan membakar habitatnya. Lelaki mati tergeletak di pelataran Jamarat ,amat menyedihkan. Lebih menyedihkan dari nasib monyet-monyet yang pernah dizoliminya di Tanah Air. **





  6. YA HUMAIRAH
                                                                                                 Cerpen Maulana Syamsuri

PEREMPUAN yang sedang mengandung tujuh bulan itu menundukkan wajah,hatinya amat sedih dan airmata mengalir di pipinya, membasahi cadar yang selalu menutupi wajahnya. Perempuan yang sedang hamil tujuh bulan itu bernama Ummi Kalsum, hatinya amat sedih karena suaminya, Fahrurrozi akan pergi jauh, ke seberang laut. Ummi Kalsum sudah memasukkan  pakaian yang akan dibawa suaminya dalam tas dan sejumlah buku-buku tentang jihad.. Juga tentang ilmu kimia.
            “Jangan bersedih, Ya Humairah,” perlahan sekali suara itu terdengar di telinganya, suara suaminya tercinta. Ya, Humairah. Nama itu selalu disebut suaminya meskipun namanya adalah Ummi Kalsum. Ia amat senang suaminya selalu memanggilnya dengan nama itu yang berarti “pipi yang kemerahan”, seperti halnya Rasulullah Muhammad SAW memanggil istrinya tercinta Aisyah.
“Hati saya amat berat melepas kepergian abang ke rantau orang,” sepasang bibir Ummi Kalsum bergetar melahirkan kata-kata itu. Dia mengangkat wajahnya,menatap sepasang mata suaminya yang sesaat lagi akan pergi jauh.
“Mengapa hatimu harus merasa berat kalau kepergianku untuk membela agama kita yang sudah dizolimi orang-orang kafir?,” sepasang suami istri itu bertatapan pandang. Air mata masih mengalir di pipi Ummi Kalsum.  Dia membiarkan jari tangan kanan suaminya menyeka air mata di pipinya setelah menyingkapkan sehelai cadar yang selalu menutupi wajahnya yang cantik dan selalu kemerahan. Ummi Kalsum membiarkan suaminya mencium bibirnya.
“Sebentar lagi anak kita akan lahir, dan abang tidak ada di sisi saya. Setiap istri yang sedang mengandung pasti berharap suaminya ada disisinya ketika melahirkan.”
“Tidak usah khawatir, tidak usah takut. Bacalah selalu surah Yassin, Insya Allah Tuhan akan melindungimu dan anak kita akan lahir dengan mudah.”
Ummi Kalsum tersedu dan sekali lagi ujung jari tangan suaminya menyeka airmatanya.
“Kalau anak kita lahir laki-laki berilah nama Syaiful!,”  pinta suaminya dan menyentuh puncak perut Ummi Kalsum yang membukit seperti nangka masak.
“Syaiful ,artinya pedang?” tanya  Ummi Kalsum.
“Ya,pedang!. Syaiful Jihad, pedang perjuangan!.”
“Nama yang bagus.!” kata Ummi Kalsum lagi.
“Aku ingin anak kita kelak juga memiliki jiwa seperti abinya, menegakkan agama kita agar tidak dizolimi pihak lain. Hari ini Islam sudah dizolimi kaum kafir, tidak hanya di negeri  kita,tetapi di seluruh dunia.”
Wajah Ummi Kalsum menunduk lagi, hatinya semakin sedih. Dia menyadari Fahrurrozi amat sayang kepadanya, tetapi lelaki itu lebih sayang ,lebih cinta kepada agamanya,Islam. Dan saat ini Islam ditindas dimana-mana,karena Islam dianggap penghalang segala kemajuan. Islam dianggap menghambat moderenisasi. Kaum Muslim dianggap sebagai teroris. Karena itu Islam harus ditindas dimana-mana. Kaum kafir sedang berusaha mencegah berkembangnya Islam dengan berbagai cara. Lihatlah di kota-kota besar, hotel-hotel berbintang dibangun orang dimana-mana dan kemaksiatan merajalela  di sana. Hotel-hotel berbintang dijadikan tempat judi, tempat pergaulan bebas lelaki dan perempuan yang bukan isterinya. Disana juga ada bursa narkotika. Bahkan hotel-hotel berbintang dijadikan kaum kafir sebagai pusat menabur benih kebencian terhadap Islam.
Dan pengunjung hotel-hotel bertarap internasioal itu tidak hanya kaum kafir, tetapi juga ummat Islam yang kaya raya, kaum intelektual serta pejabat negeri ini.  Semua yang hadir di sana tidak lagi memiliki budaya malu. Sebagian ummat Islam yang hadir di sana lebih senang menghamburkan uangnya di tempat hiburan daripada membayar zakat,apalagi bersedekah. Hotel dan tempat-tempat hiburan sudah menjadi sumber penularan virus HIV/AIDS. .
Karena itulah, lelaki itu, suami Ummi Kalsum, akan pergi  meninggalkan rumah   untuk membela kesucian Islam. Selama ini di kampung halamannya, Fahrurrozi adalah seorang imam masjid dan tiap jumat dia selalu menyampaikan khtobah agar setiap muslim memperkokoh persatuan dan kesatuan untuk membela Islam. Lelaki itu, Fahrurrozi, dalam khutbahnya selalu menyampaikan pesan tentang setiap muslim memiliki prinsip “Amar ma’ruf nahi mungkar”.
Dulu kampung itu selalu dilanda kekeringan,tetapi sejak kedatangan seorang imam masjid yang selalu menyampaikan dakwah tentang Islam sejati, Allah melimpahkan rahmat kepada penduduk kampung itu. Hujan selalu turun, padi di sawah tumbuh subur, ternak-ternak berkembang biak dan penduduk hidup makmur dan sejahtera. Para petani sudah mampu membeli tv berwarna dan sepeda motor.
Ummi Kalsum melepas kepegian suaminya dengan derai airmata.
“Ingat ,ya Humairah, kalau anak kita lahir laki-laki berilah nama syaiful Jihad. Biar nanti setelah dewasa semangat jihad selalu berkobar dalam dirinya, seperti abinya.
Anak kita harus menegakkan Islam secara kaffah!”  kata-kata itulah yang selalu diingat oleh Ummi Kalsum setiap saat.
                                                 ***
SEPERTI anjuran suaminya tercinta, setap  selesai sholat lima waktu, Ummi Kalsum selalu membaca Qur’an surah Yassin biar mudah melahirkan dan surah Yusuf agar anak yang dilahirkan cantik dan gagah.
Dan pertolongan Allah selalu datang, apalagi di saat suami Ummi Kalsum sedang melaksanakan kewajibannya sebagai ummat  Muslim sejati, membela Islam yang tertindas.
Ummi Kalum melahirkan di sebuah klinik di kampungnya, lalu azanpun dilantunkan oleh salah seorang kerabatnya sebagai menyambut kelahiran anaknya.
            “Alhamdulillah, bayiku lahir  dengan mudah dan sempurna!,” Ummi Kalsum mengucapkan  rasa syukur.
            “Tuhan selalu bersamamu,Kalsum!,”  kata ibu mertuanya dan membelai rambutnya. Terdengar tangisan bayinya yang nyaring seperti memanggil abinya yang sedang berada di seberang laut..
            Burung-burung di ranting pohonpun bernyanyi menyambut kelahiran  bayi mungil yang ditabalkan dengan nama Syaiful Jihad, Pedang Perjuangan.
            Angin yang berhembus lembut menyampaikan kabar tentang kelahiran bayi itu hingga ke kampung seberang, hingga ke kampung di pinggiran pantai, hingga di kampung di kaki gunung. Jiran tetangga dan handai tolan serta kaum kerabat berdatangan dan ikut bersuka cita atas kelahiran itu.
            “Bagus nama anakmu,Kalsum!,”  itulah komentar kaum kerabat dari kampung sebelah timur. “Darimana kau mendapatkan nama seindah itu?”
            “Abinya yang memberi nama itu sebelum berangkat!,” Ummi Kalsum menyahut sejujurnya.
            “Dimana suamimu sekarang?” kerabat lainnya ingin tahu  dan menatap wajah Ummi Kalsum amat dalam.
“Tenaganya sedang dibutuhkan di kota!”  Ummi Kalsum selalu menyahut polos..
            “ Kenapa suamimu harus meninggalkan kampung kita?. Kasihan jamaah masjid Nurul Hidayah di kampung kita kehilangan imam yang zuhud. Jamaah kehilangan seorang  imam yang sangat dicintai khalayak.”
            “Kampung kita menjadi makmur, tidak pernah lagi kekeringan sejak suamimu menjadi imam di masjid Nurul Hidayah karena doanya dikabulkan Tuhan.”
“Semua itu karena doa kita bersama. Saya merelakan kepergiannya karena di kota tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan. Kemungkaran sudah banyak terjadi disana. Maksiat ada dimana-mana. Dosa bertaburan seperti buih di lautan. Ummat semakin jauh dari Tuhan dan itu terjadi dimana-mana. Negeri kita selalu ditimpa bencana karena kemungkaran  itu. ”
            “Mampukah suamimu membasmi kemungkaran itu?. Mampukah  suamimu menyelamatkn warga kota dari lumpur dosa?”
            “Dia tidak sendiri. Tuhan akan selalu ada di sisinya dan melindungi dirinya.”
            Kepergian suami Ummi Kalsum, Fahrurrozi, menyebabkan jamaah masjid merasa kehilangan seorang pemimpin.. Dan para jamaah itu juga bertanya-tanya apa yang dicari oleh Ustaz Fahrurrozi di sebuah kota besar. Kekayaankah?. Kekayaan belum tentu membawa kedamaian dan ketenangan hidup. Padahal kehidupan keluarga Ummi Kalsum dan Fahrurrozi sudah terbilang bahagia. Sawahnya seluas 3 hektar menghasilkan panen yang lumayan. Ternak sapinya tiap tahun berkembang biak.
            Meskipun tidak lagi bermukim di kampung itu, tapi nama Fahrurrozi dan  Ummi Kalsum selalu bersimbah kebaikan. Sepasang nama itu selalu disebut-sebut orang. Sepasang nama itu harum semerbak di pemukiman itu.
            “Apa yang dicari Ustaz Fahrurrozi di kota?” Itulah pertanyaan yang selalu dilontarkan orang.
            Ummi Kalsum tidak perduli kepada pertanyaan itu. Perempuan itu tetap saja sebagai mutiara yang indah, meskipun dalam lumpur, kilaunya tetap tampak, tetap bernama mutiara yang indah. Ummi Kalsum tetap saja sebagai guru mengaji anak-anak di kampung itu.  Perempuan itu tetap saja menjalankan ibadah dengan baik. Meskipun ditinggal suami, dia tetap saja sebagai wanita  soleha. Kanak-kanak yang dididiknya semua sudah hafal dengan 99 nama Tuhan. Asmaul Husnah sudah diamalkan oleh anak-anak penduduk kampung itu. Ummi Kalsum tetap saja menyampaikan amanat ‘amar ma’ruf nahi mungkar
Beruntunglah setiap penduduk kampung itu karena setiap keluarga, dari mulai ayah, ibu dan anak-anaknya hafal benar Asmaul Husna, karena setiap orang yang hafal dengan hal itu akan masuk sorga. Kanak-kanak di kampung itu dengan suara merdu melantunkan Asmaul Husna, seperti halnya mereka menyanyikan  selawat nabi.
                                                     ***
PEREMPUAN yang selalu dipanggil suaminya “Ya Humairah” itu tidak mampu membendung air matanya ketika sore itu ia menerima kabar yang amat menyedihkan. Fahrurrozi,suaminya, tewas di rumah yang dikontraknya bersama dua temannya. Lelaki itu tewas ketika polisi anti teror menembaki rumah itu karena diduga sebagai sarang para teroris. Di rumah itu memang ditemukan bom rakitan, sejumlah buku-buku tentang jihad dan sejumlah dokumen.
Air mata membasahi  pipi seorang isteri yang pipinya selalu kemerahan. Air mata itu membasahi cadar yang selalu menutupi wajahnya.
3 orang teroris mati ditembak polisi!. Itulah berita yang tersiar di media massa. Negeri ini gempar oleh berita itu. Ledakan bom sudah sering terjadi diberbagai tempat, di hotel, di gereja, di  pusat-pusat hiburan atau di kedutaan besar negara asing. Sudah banyak para teroris ditembak mati oleh polisi di negeri ini. Tapi teroris itu muncul lagi dan datang lagi, silih berganti. Sebab api jihad tidak pernah padam.
Ketika jenazah suami Ummi Kalsum dibawa pulang ke kampung halamannya, warga amat mengelu-elukannya, bukan sebagai teroris, tapi sebagai seorang syuhada.
Penduduk kampung itu melakukan sholat gaib di masjid Nurul Hidayah dan mendokan semoga arwah sang syuhada diampuni dosa-dosanya dan ditempatkan di sorga.
“Dia mati sebagai syuhada!. Syuhada!”, kata-kata itulah yang terdengar di kampung itu. Dia mati seperti Umair bin Abi Waqqas yang gugur dalam perang Badr untuk menegakkan agama Allah.***
                                                       
7. TASBIH
                                                                    Cerpen Maulana Syamsuri

            “Astaghfirullaahal azhiim,alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuumu wa atuubu ilaih”,kalimah zikir itu sudah puluhan kali tercetus dari cealah bibir lelaki itu setelah usai melaksanakan sholat dhuha. Tidak hanya puluhan kali, tetapi ratusan kali kalimah zikir itu diucapkannya. Sampai bibirnya yang hitam itu terasa amat kering dan haus,tapi ia terus saja melantunkan kalimah-kalimah itu.
            Biji-biji tasbih selalu berada diujung jari  tangan kanannya, menghitung kalimah yang mengandung makna permohonan ampun atas dosa-dosanya di masa lalu. Dengan hati yang ikhlas lelaki itu mengucapkan  kalimah-kalimah Allah yang hidup dan berdiri sendiri serta bertaubat kepada-Nya.
            Itulah yang dilakukan lelaki itu setiap hari, selalu mendekatkan diri dengan Tuhan. Pulang dari masjid setelah  melaksanakan sholat subuh, ia tidak pernah tidur lagi,  lalu duduk  bersimpuh membaca Qur,an hingga waktu sholat dhuha tiba. Dan surah yang amat disenanginya adalah Ar Rahman yang berjumlah 78 ayat dan maknanya tentang Allah yang pemurah kepada hamba-hambanya dan memberikan banyak sekali nikmat-nikmatNya di dunia dan di akhirat.
            Setelah selesai sholat dhuha dan berzikir, barulah lelaki itu bangkit dari duduknya dan meraih senapan miliknya yang sudah terisi penuh dengan peluru. Meskipun usianya sudah lewat setengah abad, tetapi langkahnya masih tegar menuju tepian hutan. Meskipun umurnya sudah lebih lima puluh  tahun, tapi sepsang matanya masih jelas melihat burung-burung yang terbang di langit. Dan yang selalu dinantinya tiap hari adalah burung elang yang menjadi musuh penduduk kampung karena burung elang adalah pemangsa nomor wahid terhadap anak-anak ayam milik pendudukuk. Lelaki itu amat benci kapada burung elang dan ingin memusnahkannya dari muka bumi.
            Kasihan anak ayam yang baru berumur seminggu disambar elang lalu diterbakangkan menuju hutan dan  tubuh anak ayam itu dicabik-cabik di atas pohon..
            “Inilah mahluk yang kutunggu-tunggu!,” ujarnya seorang diri ketika memandang ke langit biru dan tampak seekor burung elang  baru muncul dari dalam hutan. Sesaat kemudian elang itu menyambar seekor anak ayam.
            SUDAH hampir satu jam lelaki itu berada  di pinggir hutan dengan senapan di tangan. Ia mengintai elang itu dengan mata yang tidak berkedip.. Elang yang amat dinanti itu itu  muncul dan terbang di langit biru yang diteduhi awan putih. Elang itu tampak amat perkasa, sombong dan angkuh. Kuku-kukunya yang tajam mencengkeram seekor anak ayam yang baru disambarnya.
 Lelaki itu membidikkan senapannya ke arah elang itu. Sesaat kemudian elang itu tidak lagi mengepakkan sayapnya dan menungkik ke bawah, lalu terhempas di tanah dan mati. Sebutir peluru bersarang persis di  dadanya. Anak ayam itu terlepas dan terhindar dari maut lalu mencari induknya.
            Lelaki dengan senapan yang masih di tangannya menghampiri elang yang terkapar di tanah  dan dari bibirnya yang hitam legam tercetus kalimat :
            “Aku masih mampu menembak!. Aku masih perkasa!. Aku belum tua!”
            Lelaki itu amat bangga dan mengacungkan senapannya ke atas. Ia bangga sepasang matanya masih sangat jelas mengintai sasaran,padahal burung elang itu sedang terbang tinggi di langit. Matanya belum rabun, padahal sekarang lelaki itu sudah meninggalkan kesatuannya. Lelaki itu tidak pernah lagi mengenakan baju hijau, tidak pernah lagi mengenakan sepatu laras. Ia sudah menanggalkan bintang-bintang jasa di dadanya, ia sudah melepas tanda-tanda pangkat dan atribut kesatuannya .  Sekarang baju hijau,tanda pangkat dan atribut-atribut ketentaraan itu sudah tersimpan dalam sebuah lemari kaca di ruang tamu rumahnya di sebuah kampung yang terletak di lereng bukit.
            Sekarang ia bukan lagi tentara,sekarang ia tidak pernah lagi menembak musuh atau gerombolan pengacau di daerah konlik. Sekarang lelaki itu sudah menjadi rakyat biasa seperti umumnya penduduk di kampung di lereng bukit itu, yang pada umumnya adalah petani yang hidup sederhana.
Sekarang lelaki itu selalu hadir di masjid dan menghadiri majelis taklim. Seuntai tasbih selalu terselip di jari tangannya. Sebelum acara majelis taklim dimulai, dari celah birnya, ia selalu melantunkan kalimah-kalimah tasbih,zikir dan istighfar. Hatinya tidak lagi sekeras baja seperti ketika masih jadi prajurit dulu.
Sekarang hatinya lembut, suka menyantuni fakir miskin, suka bersedekah dan membantu pembangunan masjid atau madrasah. Setiap pengemis yang lewat di depan rumahnya selalu diberi uang. Ia juga amat sayang kepada anak-anak yatim piatu. Pola hidupnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat, setelah jadi rakyat biasa, jauh berbeda dengan ketika ia masih jadi tentara dulu.
Tapi keinginannya untuk menembak selalu saja ada di hatinya. Ia tidak ingin matanya rabun . Ia tidak ingin kehilangan kemampuannya menembak. Karena itulah ia selalu berada di pinggir hutan untuk menembak elang yang sedang terbang, atau tupai yang sedang melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Apalagi ular berbisa yang baru saja memangsa anak ayam,pasti mati ditembak lelaki itu. Sasaran tembakannya memang selalu tepat, tidak satupun yang luput. Tidak satupun peluru melenceng. Ia amat bangga.
            “Aku masih mahir menembak. Aku belum tua!,”  itulah kalimat-kalimat yang selalu terlontar dari celah bibirnya. Dan lelaki itu memang takut menjadi tua. Hari-hari yang terus mengejar baginya amat menakutkan. Padahal dulu, ketika masih dalam kesatuannya ia tidak pernah takut  musuh. Selama hidupnya sudah belasan kali ia diterjunkan di kawasan konflik, ia adalah seorang penembak jitu. Sudah puluhan orang gerakan gerombolan tewas di tangannya dan korbannya selalu terkapar di tanah dengan kepala berlubang ditembus peluru dari senjatanya. Yang amat ia takuti hanya satu,yakni umur!. Umur yang terus bertambah. Ia amat takut masuk liang kubur!.
                                                ***
            SEKELOMPOK orang menghampirinya ketika lelaki bekas tentara itu masih di pinggir hutan, ketika sebuah senapan masih di tangannya ketika ia baru saja menembak seekor burung elang.
            “Assalamu alaikum,” sapa salah seorang dari sekelompok orang yang menghampirinya.
            “Wa alaikum salam!,” sahut lelaki yang masih memegang  senapan itu.
            “Kami ingin berbincang dengan Pak Letnan!,” seorang lelaki bertubuh gempal menghampiri dan mengulurkan tangan. Mereka bersalaman.
            “Berbincang tentang apa?”
            “Tentang kampung  ini.!,” ujar sang tamu lagi setelah mengenalkan dirinya, bahwa ia adalah Lurah di kampung yang terletak di kaki bukit itu. “Kami merasa senang sekali Pak Letnan menjadi warga kampung ini.”
            “Saya juga senang bermukim di sini. Suasananya hijau, sejuk, damai,nyaman dan aman. Beda dengan di asrama yang sesak ,padat dan menyebalkan.”
            “Sejak dulu desa ini aman dan damai, namun akhir-akhir ini ada sedikit gangguan yang sangat meresahkan penduduk” ujar Pak Lurah lagi.
            “Saya siap membantu, karena begitulah kewajiban seorang yang pernah mengabdikan dirinya untuk negara dan bangsa.”
            Lelaki yang pernah menyandang pangkat letnan itu masih sempat menuturkan pengalamannya di kawasan konflik. Ia sudah banyak menembak musuh. Ia sudah banyak menerima anugerah penghargaan sebagai aparat yang sudah banyak memberikan sumbangsih pengabdiannya untuk tanah air dan bangsa. Sebagai tentara ia sudah banyak menumpas musuh yang ingin merongrong  republik ini. Sebagai prajurit ia sudah banyak menumpas pemberontak yang ingin membentuk negara sendiri ,memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia
            “Pak Letnan tidak merasa berdosa telah menyebabkan sesama manusia kehilangan nyawa?,” seorang staf Pak Lurah bertanya dan menatap wajahnya.
            “Saya melakukannya demi tanah air dan bangsa kita. Demi tugas!.  Kalau dibiarkan pengacau itu merajalela , bangsa ini akan menderita dan sulit mencari nafkah. Kalau kawasan konflik tidak segera diamankan, negara ini akan hancur. Dua ratus juta lebih anak bangsa ini akan menderita.”
            “Tidak ada rasa penyesalan di hati Pak Letnan?,” staf Pak Lurah yang lainnya juga bertanya.
            “Jauh di dasar hati saya penyesalan itu ada, lalu untuk menebusnya , saya selalu istighfar. Sekarang, setelah pensiun, saya membangun rumah di kampung ini dan saya membangun ruang sholat di rumah itu. Tiap hari setelah sarapan pagi, saya tetap melaksanakan sholat dhuha dan memohon keampunan sampai bibir saya  terasa amat lelah dan kering melantunkan istighfar.”
            Lelaki pensiunan tentara itu menuturkan,sekarang ia ingin menjadi penduduk kampung yang baik dan membaur dengan masyarakat, ikut bekerja bakti, ikut membangun masjid, ikut menyantuni anak yatim piatu dan banyak lagi kegiatan masyarakat lainnya. Apalagi bila ada penduduk kampung tertimpah muysibah kematian, pasti pensiunan letnan itu hadir di rumah duka dan ikut melaksanakan sholat jenazah serta ikut mengantarnya ke kubur.
            “Warga kampung ini sedang risau karena adanya gangguan,” ujar Pak Lurah kemudian
            “Saya siap membantu kapan saja dan dimana saja!,”sahut lelaki bekas tentara itu
            “Gangguan itu adalah babi-babi hutan yang tiap hari merusak tanaman penduduk. Anjing yang dimiliki penduduk tidak mampu mengusir babi-babi itu.”
            “Lalu kita akan memusnahkannya dengan peluru?,”pensiunan Letnan itu bertanya.
            “Benar!  Pak Letnan adalah seorang penembak jitu. Saya yakin tidak akan ada babi yang lolos dari peluru Pak Letnan.”  Kata Pak Lurah.
            “Saya dapat pastikan tidak ada seekorpun babi itu yang akan lolos. Tangan saya juga sudah gatal untuk meletuskan peluru. Sebentar lagi kampung ini akan aman.”
            “Terima kasih. Penduduk kampung kita akan berterima kasih kalau gangguan itu dapat dilenyapkan .”
            “Saya belum tua. Saya masih enerjik!,” itulah yang selalu dikatakan pensiunan tentara itu kepada siapapun. Lelaki itu tidak ingin dikatakan tua,apalagi lanjut usia.. Ia ingin tetap dianggap sebagai penembak jitu, seperti ketika ia masih di kesatuannya dan mampu menewaskan belasan musuh yang memiliki senjata AK-47.
            “Kita tunggu ketika gelap bulan.!”
            “Saya siap. Biarkan babi-babi itu masuk ke perladangan, lalu penduduk beramai-ramai menghalau agar babi-babi itu keluar  perlandangan dan saya akan memusnahkan semua. Yakinlah tidak satupun yang lolos!”.
            Bagi lelaki bekas tentara itu membunuh babi hutan betapapun banyaknya, adalah pekerjaan yang amat ringan, hanya pekerjaan seujung kuku. Hanya pekerjaan sepele. Jauh lebih berbahaya dan mengerikan  membunuh musuh-musuh yang memiliki senjata mutakhir AK 47. Menghadapi musuh bersenjata penuh dengan risiko, membunuh atau terbunuh. Terkadang musuh-musuh itu tiba-tiba muncul di depan hidung.
            Ia masih ingat benar,  ketika usai sholat jum’at, tiba-tiba muncul dua orang lelaki mengenakan topeng dan memberondong tentara yang baru keluar dari masjid. Tiga tentara tewas di pelataran masjid. Untunglah lelaki itu berlindung di balik jamaah yang baru bubar dari masjid.
            Di kawasan konflik, sulit membedakan mana kawan dan mana lawan. Di warung kopipun musuh selalu ada. Pura-pura minum  kopi dan tubuhnya berselimut sarung, tapi di balik sarung itu ada senjata AK 47.
            Sekarang lelaki bekas tentara berpangkat letnan itu sudah pensiun. Sekarang musuh yang akan dihadapinya bukan di kawasan konflik, bukan musuh bersenjata AK 47,tapi sekelompok babi hutan yang banyak merusak tanaman milik penduduk.
                                                            ***
            MALAM gelap gulita,langit di areal perladangan itu dilapisi mendung tebal. Tidak satupun bintang bergantung di langit. Anginpun berhembus giris. Sekelompok penduduk sedang sembunyi di sebelah selatan perladangan itu dan bersiap-siap menghalau kawanan  babi, sementara lelaki pensiunan tentara itu dengan senjata di tangan menunggu di sebelah utara.
            “Huraaa!. Huraaa!,” teriak sekelompok penduduk mulai menghalau sang babi.
Sesaat kemudian belasan ekor binatang berkaki empat berhamburan keluar perladangan itu. Suara hiruk pikuk memecah kesunyian malam yang kelam. Lelaki itu mulai menembak. Dan lelaki itu memang masih mahir menembak. Ia tetap  masih perkasa. Lelaki itu tetap merasa dirinya belum tua. Liang kuburnya masih amat jauh baginya.
            Tidak satupun peluru dari senjatanya yang sia-sia. Tidak satupun babi yang lolos. Satu demi satu sang babi mati tersungkur di tanah dan mati. Tapi sang babi lebih pintar dari musuh yang berada di kawasan konflik.  Seekor babi hutan bertubuh gemuk dan sedang hamil memisahkan diri dari rombongan.
Lelaki pensiunan  tentara itu masih membidik binatang-binatang itu. Peluru dalam senjatanya habis dan ia berusaha mengisinya dengan peluru baru . Tapi lelaki itu tidak menyadari ketika seekor babi betina yang sedang hamil berlari amat kencang dan menyeruduk lelaki  yang pernah menyandang pangkat letnan itu.
Tiba-tiba saja seperti sebuah tank, babi hutan itu menyerangnya.Lelaki yang sudah banyak  menewaskan musuh-musuh bersenjata mutakhir itu tersungkur di tanah dan dadanya terluka karena diterjang  seekor babi hutan yang sedang hamil.. Ia menghembuskan nafas terakhir dengan memeluk senjatanya. Malam itu maut amat ramah padanya.
Dan sebelum kematian itu terjadi, lelaki itu masih sempat mengeluarkan seuntai tasbih dari kantong bajunya. Dari celah bibirnya ia masih sempat mengucapkan “Astaghfirullah”. Seuntai tasbih tergenggam erat di jari tangannya  .***

Keterangan :
Lurah = Kepala Kampung
AK 47 = Sejenis senjata modern milik pemberontak di daerah konflik (Aceh).
                                              























    8. SERATUS JUTA
                                                                                               Cerpen Maulana Syamsuri

            SETIAP bayi yang lahir ke dunia dari rahim ibunya pasti diiringi dengan tangisan nyaring yang melengking, sebagai tanda bahwa hidup di dunia penuh dengan derai airmata, penuh dengan duri tajam dan beling yang berserakan. Juga penuh dengan siksa dan kezoliman. Seperti itulah yang dialami oleh Siti Rahmah, seorang muslimah yang meninggalkan desa kelahirannya di sebuah desa di Sumatera.
Pada awalnya perempuan kelahiran Sumatera itu memang menikmati manisnya kehidupan di bagian utara Ibukota, di sisi suaminya sebagai  padagang salak Sibuhuan yang rasa manisnya mengimbangi salak pondoh dari Bali.
Salak asal Sibuhuan itu telah  memberikan kehidupan yang layak hingga keluarga itu mampu mengontrak rumah yang terbilang bagus di pinggiran kota. Dan manisnya kehidupan itu makin terasa nikmatnya ketika perempuan itu mulai hamil dan perutnya  dari hari ke hari mulai membesar.
Dan perempuan muda itu tidak menduga manisnya kehidupan itu akan berakhir amat tragis. Pasangan suami istri itu , suatu saat harus merasakan kekejaman dan kezoliman ibu kota. Kereta dorong yang isinya berkarung-karung salak Sibuhuan ditinggal pemiliknya untuk sholat zuhur ketika terdengar suara azan,kereta dorong itu terkena razia pe-ka-el. Uang sepuluh juta untuk disetorkan kepada pengantar salak Sibuhuan itu ikut lenyap dijarah satpol pe-pe tanpa peringatan terlebih dulu.
Pada saat masjid sedang penuh oleh jamaah  itulah terjadi kezoliman yang dilakukan oleh sekelompok aparat yang pada dasarnya melindungi rakyat, tapi hari itu menindas rakyat jelata. Sekelompok aparat Satpol pe-pe melakukan penertiban pe-ka-el  dan kereta dorong berisi belasan karung salak serta uang sepuluh juta diamankan oleh aparat yang berwajah bringas. Uang itu amblas.
Suami perempuan asal Sumatera itu tidak sempat melantunkan tasbih di akhir solatnya ketika mendengar aparat melakukan razia penertiban pe-ka-el.  Lelaki itu masih sempat melihat kereta dorongnya dinaikkan ke atas truk.
“Jangan ambil barang saya. Kembalikan  dagangan saya!,”  lelaki muda itu berteriak-teriak dan berlari mengejar truk penuh barang-barang dagangan yang terjaring razia penertiban. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang menolong,satpol pe-pe itu terus saja   berlalu .  Lelaki pedagang salak itu terus saja berteriak-teriak dan mengejar tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dan tubuh lelaki itu terpental berlumur darah. Lelaki itu mati seketika.  Lelaki itu telah kehilangan gerobaknya, kehilangan belasan karung salak dan uang sepuluh juta.
                                                ***
Telah pergi seorang suami. Sebuah rumah akan roboh bila tiada lagi tiang penyanggah. Seperti itulah yang terjadi atas diri  perempuan asal Sumatera itu, padahal saat itu dia sedang hamil muda. Tidak ada lagi modal, tidak ada lagi yang mencari nafkah. Dan kezoliman aparat itu menyebabkan perempaun asal Sumatera itu mengalami goncangan jiwa yang amat dahsyat. Kandungannya gugur dan untuk membayar biaya rumah sakit dia harus menjual perhiasan. Perempuan  itu tidak punya siapa-sipa lagi  dan juga tidak punya apa-apa.
Perempuan asal Sumatera itu  hanya mampu menangis, seperti dulu ketika ia lahir ke dunia dari rahim ibunya, 
“Dunia memang penuh derai air mata, seperti bayi yang dilahirkan dari rahim ibu,” bujuk tetangganya 
“Dunia memang penuh dengan tangis. Manisnya hidup cuma sekejap. Indahnya dunia hanya sesaat,” sambung jiran lainnya..
“Hanya beberapa saat saja kuntum-kuntum bunga ada di tangan kita lalu terhempas ke tanah yang becek dan jorok,” sambung seorang perempuan berkerudung  hitam , tetangganya.
Kata-kata itu hanya membuat airmatanya semakin berderai seperti hujan lebat.  Hari-hari selanjutnya, baginya amat gelap  dan hitam pekat.
Tidak punya apa-apa  dan tidak punya siapa-siapa lagi di ibukota menyebabkan perubahan harus terjadi pada diri perempuan asal Sumatera itu. Tiap hari ,di panas terik, atau di saat hujan lebat, dia selalu berada di perapatan jalan, menengadahkan tangan.
“Kasihani saya,bu. Saya miskin. Saya tidak punya apa-apa!”,  itulah suara yang selalu terlantun dari celah bibirnya yang hitam legam kepada orang-orang yang sedang lewat. Yang diharapkannya hanya  uluran rupiah.
“Kasihan,Pak. Saya melarat, saya belum makan!,” kadang-kadang kata-kata itu dilantunkan dengan iringan derai air mata  ketika menengadahkan tangan.
Tidak semua perempuan yang sedang lewat membuka dompetnya, tidak semua lelaki mengulurkan uang. Bahkan terkadang yang terlontar adalah kata-kata caci maki yang melukai hati seorang pengemis di pinggir jalan.
“Pemalas,Lu!. Kerja,dong!,’ Ujar seorang perempuan pengendera  mobil bagus  dengan sikap arogan. Cantik perempuan itu, tapi hatinya sombong.  Dan angkuh.
“Masih muda,bisanya cuma ngemis melulu!”
Itulah!. Mengemis tidak selamanya enak. Tidak selamanya menengadahkan tangan lalu turunlah lebaran rupiah demi rupiah dari langit. Dari pagi hingga petang, uang yang jatuh di telapak tangannya terkadang hanya lima belas ribu. Cuma cukup untuk sekali  makan, untuk ongkos angkot ke rumah terkadang tidak ada  dan harus tidur di emperen toko. Kalau ada yang mengulurkan uang  agak  banyak cuma koruptor  untuk mencuci uangnya.
Perempuan asal Sumatera itu masih selalu menitikkan air mata di perapatan jalan ketika panas terik. Derai air  mata itupun mengundang kata-kata yang menyakitkan hati.
“Jangan puara-pura nangis!.Makanya sekolah dan kerja. Jangan cuma jadi pengemis.”  ujar seorang perempuan berjilbab  tapi di hatinya ada beling tajam.
Seorang lelaki berdasi yang duduk dibelakang stir mobil mewah berkata lebih menyakitkan hati  lagi:
“Negeri ini jadi jorok oleh pengemis sepeti kamu. Malu pada negara lain. Negeri ini miskin di mata dunia!.”
Hanya kalimah  istighfar yang lahir dari celah bibir perempuan asal Sumatera itu  dan pipinya basah oleh derai air mata. Ketika air mata masih membasahi pipinya  itulah, seorang lelaki gagah menghampiri  dan menawarkan budi baiknya,setelah mengenalkan dirinya dari sebuah el-es-em.
“Besok tidak usah hadir di persimpangan ini, tidak usah meminta-minta!”  ujar lelaki muda itu.
“Lalu saya harus makan batu?””
“Tidak harus makan batu. Saya akan memberimu uang makan tiga puluh lima ribu dan nasi bungkus.  Tapi kamu harus ikut saya.”
“Saya akan dibawa kemana?. Apa yang bisa  dilakukan  oleh seorang pengemis seperti saya.”
“Gampang. Cuma ikut berbaris!. Cuma membawa spanduk dan bernyanyi.”
“Bernyanyi seperti artis.”
“Bukan seperti artis, tapi meneriakkan yel-yel tentang rakyat miskin. Tentang  korupsi yang sudah merajalela! ”
“Artinya saya jadi pengunjuk rasa?. Saya ikut demonstrasi?”
“Ya, unjuk rasa rakyat yang melarat karena negara ini jadi miskin karena uangnya digarong oleh sekelompok orang berdasi!.”
Perempuan asal Sumatera itu tidak menolak. Sebuah pekerjaan yang mudah. Hanya berbaris, membawa spanduk yang sudah disiapkan, hanya meneriakkan tentang kemiskinan dan memang dia hidup miskin. Dan seorang lelaki pengemis diseberang jalan mendapat uang lebih besar lagi, lima puluh ribu  karena tugasnya memang lebih berat, melemparkan bom molotov ke arah aparat keamanan.
                                    ***
Ratusan orang sudah berkumpul di depan kantor wakil rakyat yang megah. Lelaki perempuan, tua dan muda, jejaka dan perawan,semua  membawa spanduk bertuliskan tuntutan rakyat yang menghendaki agar wakil-wakil rakyat yang menghamburkan uang digantung, agar para pejabat yang melakukan korupsi ditembak mati. Birokrat yang memiskinkan rakyat harus dilenyapkan dari muka bumi. Sarang tikus harus dibrangus biar tidak merajalela.
Nyanyian dan teriakan-teriakan gegap gempita terdengar sejak pagi  di depan gedung wakil rakyat itu dan dengan perlahan ribuan demonstran itu  bergerak maju mendekati pagar berduri. Semua bersemangat,padahal yang  hadir di tempat itu adalah pengemis, pengamen dan gelandangan   yang dikumpulkan dari persimpangan jalan serta sebagian kecil mahasiswa.
Aparat bersenjata lengkap seperti tidak mampu membendung gelombang manusia yang makin banyak jumlahnya, sudah ribuan. Seperti semut. Pagar berduri amat mudah diterobos  dan ribuan orang berusaha mendobrak pagar yang dibangun amat kokoh. Polisi yang menghalau tidak digubris. Mereka terus maju.
Saat itulah aparat mulai  menembakkan gas air mata dan water canon menyemburkan air ke arah demonstran. Ribuan pengunjuk rasa kucar-kacir. Perempuan asal Sumatera itu tidak mampu menahan rasa pedih di matanya karena gas air mata dan akhirnya roboh, pingsan lalu terkulai di tanah. Seketika dunianya gelap gulita.
                                    ***
Ketika membuka matanya, perempuan kelahiran Sumatera itu sudah tebaring di rumah sakit. Di sisinya berdiri seorang lelaki yang mengaku dari sebuah el-es-em yang mengajaknya  ikut dalam aksi unjuk rasa itu . Lelaki itu mengulurkan uang tiga puluh lima dan nasi bungkus.
“Siapa  yang menembakkan gas air mata itu?,” tanya perempuan asal Sumatera itu.
“Brigpol  Halomoan!.”
“Dari Sumatera?”
Lelaki itu mengangguk lirih.
“Astaga,”  gumam perempuan asal Sumatera itu setelah dapat duduk dan tenaganya mulai  kembali pulih.
“Aku tahu betul, siapa Brigpol Halomoan. Dia masuk polisi karena uang, karena uang sogok seratus juta. Saya sedih, orang tuanya  harus mengeluarkan uang seratus juta agar anaknya diterima dengan mudah jadi polisi padahal untuk membunuh rakyat.”
Lelaki yang mengaku dari sebuah el-es-em itu hanya tersenyum. Diapun menyadari ,saat ini untuk jadi aparat adakalanya harus dengan  pelicin sebanyak itu. ***











9. SENJA TELAH DATANG                                                                                                                                                                             Cerpen Maulana Syamsuri
           
Hari-hari terus berlalu menambah umurnya kian merangkak tua, sudah lebih setengah abad, sudah mendekati enam puluh, Rambutnya yang memutih sudah dicat hitam kemerahan, giginya sudah berganti dengan gigi palsu. Seni tari membuat dirinya seperti tidak pernah menua.  Perempuan itu, Ketut Ida Ayu, merasa tetap energik, tetap lincah menggerakkan tangan, mata dan semua anggota tubuhnya dengan lemah gemulai. Pipinya belum tampak dikotori keriput. Tubuhnya belum bongkok.  Matanya juga belum  rabun dan masih jelas nonton  anak-anak didiknya tampil di layar kaca membawakan tari pendet. Telinganya masih jelas mendengar gamelan dan musik khas Bali. Ia masih mampu tiap  hari  hadir di sanggar tari “Sekar Dewata”  dan mendidik belasan dan bahkan puluhan gadis-gadis untuk menjadi penari yang piawai.
            “Inilah istanaku. Inilah duniaku. Di sini aku hidup, disini aku menikmati indahnya dunia dan di sini pula aku ingin mengakhiri hidupku.”  Itulah yang selalu dikatakannya kepada setiap orang yang datang untuk melihat kegiatan yang ada di sanggar tari miliknya.
            Usianya sudah merangkak senja, tapi jari tangannya masih tetap lentik dan lemah gemulai ketika melatih belasan anak-anak didiknya. Gerak matanya masih menawan. Seluruh anggota tubuhnya masih lemah gemulai,seperti pucuk daun kelapa yang melambai-lambai. Ia merasa amat bahagia melihat anak-anak didiknya sudah menjadi penari yang terkadang menjelajah dunia, hingga ke daratan Eropa, hingga ke negeri Paman Sam atau ke negeri China menampilkan berbagai jenis  tari Bali.
Tanpa lelah, perempuan itu, Ketut Ida Ayu memperhatikan belasan anak-anak tunanetra dari sanggar tari “Surya Metu” yang sedang berlatih menarikan Legong Lasem yang mengandung makna Raja Lasem yang ingin menikahi Dewi Rangkesari.
            Setetes demi setetes air mata bergulir di pipi Ketut Ida Ayu, ketika tarian itu usai. Perempuan guru tari itu amat terharu menyaksikan sekelompok anak-anak tunanetra tapi mampu membawakan sebuah tarian klasik.
            Seorang lelaki berdasi lebar,  menghampiri Ketut Ida Ayu dan mengulurkan tangan , berkata polos:
            “Sungguh luar biasa. Mengagumkan. Saya yakin masyarakat Jepang akan terpukau oleh anak-anak binaan ibu bulan depan nanti!,”
            “Terima kasih, saya sudah bekerja keras untuk mereka. Tidak mudah mendidik anak-anak tunanetra untuk menari. Tetapi semua bersemangat. Semua ingin  tampil memukau penonton di negeri sakura nanti.”
            Bulan depan anak-anak tunanetra tiu akan diboyong ke Jepang dan Korea untuk menyertai Festival Tari Tradisional Asia.
            “Hampir semua anak-anak didik saya tidak pernah mengecewakan dalam penampilannya di luar negeri.” Ujar perempuan yang sedang menapaki hari tuanya.
            “Pulau Bali boleh tenggelam oleh gelombang samudera, tapi tari Bali tidak boleh lenyap dari muka bumi” ujarnya lagi. “Tari Bali tidak hanya dikenal di sini, tapi juga harus dikenal  di Jawa, di Sumatera, Jepang  dan juga di Eropa.”
“Saya juga berharap begitu,” sahut lelaki berdasi itu, I Ketut Suwentra, sang manager, yang akan memboyong anak-anak tunanetra itu ke Jepang.
                                                             ***
            SEJAK masih gadis cilik, Ketut Ida Ayu sudah jatuh cinta kepada tari Bali. Seni tari Bali telah merasuk dalam jiwanya, sudah mengalir dalam setiap tetesan darahnya, sudah berlabuh di jantungnya. Tari Pendet adalah sebuah tari yang paling awal dipelajarinya. Perempuan itu amat senang dengan tari ini, karena merupakan tarian untuk menyambut para tamu-tamu negara dan para penarinya menaburkan bunga serta mempesembahkan senyum kepada para tamu. Ia pun amat senang dengan tari Panji Semirang  yang berkisah tentang putri raja bernama Galuh Candrakirana  yang baru saja kematian suami. Putri Galuh menyamar sebagai lelaki dan mengganti namanya menjadi Raden Panji. Betapa amat indah dan mempesona tarian itu.
            Gerak mata, jari tangan yang lentik dan lemah gemulai, semua mempesona ribuan  bahkan tiap insan yang melihatnya. Di antara sekian banyak orang yang terpesona oleh gerakan itu adalah seorang lelaki asal Belanda, Hollman van Pronk. Lelaki Belanda itu tidak hanya terpesona, tapi juga jatuh cinta kepada Ketut Ida Ayu dan akhirnya mereka menikah.
            Suatu saat lelaki Belanda itu mengajak Ketut Ida Ayu mengunjungi negerinya tidak jauh dari Netherland. Siapa menduga, bahwa keahlian dalam bidang tari telah membawa perempuan dari Bali itu akhirnya menginjakkan kakinya di negeri kincir angin?.
            “Semoga kamu kerasan di negeri kelahiranku,” ujar Hollman ketika mereka menikmati makan malam di teras rumah.
            “Aku senang dan bahagia dapat mengunjungi Belanda,” cetus perempuan Bali itu saat menikmati bulan madunya. Ia mengenakan jeket tebal karena Negeri Belanda sedang berada di musim dingin. Salju turun dimana-mana.
“Tapi aku selalu ingat dan setiap orang bangsaku tetap ingat Belanda pernah menjajah negeriku selama lebih dari tiga ratus tahun.”
            “Lupakanlah hal itu. Jangan beranggapan buruk pada  negeriku,  karena semua sudah berakhir. Sekarang Belanda dan Indonesia bersahabat. Semua sudah saling melupakan.”
            Perempuan itu menikmati bulan madu yang amat indah di negeri kincir angin  itu pada musim salju yang dingin. Bulan madunya berlangsung ketika musim salju sedang berlangsung dan dimana-mana salju bagaikan hamparan mutiara putih yang terhempang luas.
            “Aku berharap kamu dapat mengajar anak-anak Belanda dalam hal tari Bali,”
            “Aku sangat bahagia sekali bisa mendidik anak-anak di sini untuk mengerti arti tarian Bali. Mereka akan senang menari Pendet, menari Manukrawa, juga tari Margapati  atau tari Tenun.”
            Lelaki Belanda itu memeluknya amat erat. Meskipun jauh dari tanah air, meskipun jauh di daratan Eropa, tapi di telinga Ketut Ida Ayu seperti selalu terdengar sayup-sayup musik khas Bali.  Seperti halnya musik Gong Luang. Akan halnya lelaki Belanda itu di telinganya selalu terdengar suara lantunan tabuhan musik Gong Kebyar dan gamelan bambu Jegog.
            Belasan anak-anak Belanda amat senang hadir di sebuah rumah yang ditempati Hollman van Pronk dan mereka dengan tekun latihan tari Margapati.  Anggota tubuh anak-anak remaja negeri kincir angin itu lemah gemulai ketika mengawali tarian yang bermakna tentang seorang anak raja yang gagah berani.
            “Margapati ini berasal dari kata mrega yang maknanya adalah binatang dan pati adalah sebuah kematian,” Ida Ayu menuturkan kepada suaminya.
“Aku tahu hal itu. Bukankah hampir lima tahun aku bermukim di kampung halamanmu dan mengenal setiap jengkal tanah di Bali?.”
Ketut Ida Ayu tersenyum ketika lelaki Belanda itu memberinya ciuman yang penuh kasih sayang. Perempuan asal Bali itu benar-benar merasakan kebahagiaan.
“Masih banyak lagi, masih ribuan anak-anak Belanda yang ingin belajar tari Bali.” bisik lelaki itu di telinga Ketut Ida Ayu.
“Aku senang melatih mereka, tapi bagaimana pun anak didikku masih banyak di Bali  dan menantiku. Aku harus pulang.”
“Ida Ayu, tinggallah di sini. Menetaplah di sini.” Pinta Hollman van Pronk penuh harap.”Aku bangga pada setiap orang di sini telah berhasil memboyong seorang penari yang dikagumi dunia.”
“Aku senang di negerimu, tapi bagaimanapun ribuan anak didikku di Bali merindukan diriku. Aku harus pulang, pulang ke Bali bersamamu.”
“Tidak!, Aku berharap kita tetap tinggal di Belanda.”
“Maafkan aku. Aku cinta padamu, aku sayang padamu sebagai suamiku, tapi aku lebih cinta kepada negeriku, kepada ribuan anak-anak Bali yang senantiasa menginginkan kehadiranku.’
Lelaki Belanda itu  menghendaki Ketut Ida Ayu tetap bermukim di Netherland, tapi sebaliknya perempuan Bali itu tetap menginginkan pulang ke kampung halamannya. Masing-masing berkeras hati.
“Terserah padamu kalau tetap berkeinginan pulang, aku tidak dapat menahanmu, tapi aku juga tidak dapat menyertaimu pulang ke Bali. Tenagaku amat dibutuhkan negaraku!.“
“Ya, apapun yang terjadi aku harus pulang.”  Sahut Ida Ayu  dengan suara berat. Rasanya ia tidak mampu berpisah jauh dari suami tercinta”.
“Maafkan  aku,” ujar lelaki Belanda itu dengan nada sedih.
Perpisahan itu tidak terhindarkan lagi. Dengan hati sedih Ketut Ida Ayu pulang ke kampung halamannya. Setetes demi setetes air mata berderai di pipi perempuan itu ketika mereka berpisah di bandara.
“Aku selalu merindukanmu, Ida Ayu.”
“Aku juga!”
Mereka saling berpelukan. Lelaki Belanda itu menghapus air mata yang membasahi pipi perempuan Bali itu.
“Doakan sesekali aku akan datang lagi ke Bali.”
“Itulah yang sangat kuharapkan darimu, datanglah kembali ke Bali”.
Sebuah perpisahan telah terjadi. Ketika duduk di pesawat, di telinga Ketut Ida Ayu seperti terdengar musik Gong Luang, musik melankolis yang selalu diperdengarkan ketika upacara ngaben atau kematian. Ah, betapa amat menyedihkan, perpisahan itu seakan sebuah kematian. Dalam perut pesawat yang akan membawanya pulang ke kampung halaman, air matanya terus berderai. Perpisahan itu telah terjadi, sang suami tetap mencintai negerinya, Netherland, dan Ida Ayu juga mencintai ribuan anak-anak di negerinya.
Selamat tinggal Netherland. Perempuan itu kembali menjejakkan kakinya di kampung halaman.
***
PERPISAHAN itu terjadi belasan tahun silam. Ketut Ida Ayu kembali hadir di sanggar tari Sekar Dewata dan tiap hari mendidik puluhan anak-anak menari. Suaminya tinggal di Netherland, tapi sekarang Ida Ayu tidak sendiri. Dari perkawinannya dengan lelaki Belanda itu telah lahir seorang anak lelaki yang kini sedang remaja. Ida Ayu tidak menyadari ketika ia meninggalkan Netherland, dalam rahimnya mulai bersemi benih-benih bayi. Dan bayi itu lahir dengan iringan air mata, karena sang ayah jauh di negeri Belanda.  Ketut Ida Ayu memberi nama anak yang lahir dari rahimnya, Wayan Pandhita, agar kelak jadi pemuka agama.
Kini setelah belasan tahun berlalu, sanggar tari Sekar Dewata  semakin berkembang. Anak-anak didiknya sudah berhasil meraih sukses dan selalu menjadi duta seni keliling dunia, mulai dari Jepang, Korea, hingga beberapa negara di Eropa.
Terakhir, Ida Ayu melatih belasan anak-anak tunanetra dari sanggar tari Surya Metu yang akan mengikuti Festival seni tradisional di Nagoya Jepang. Anak-anak tunanetra itu tidak hanya tampil di negeri matahari terbit itu, tapi juga di Korea dan Vietnam.
Seperti kejatuhan bintang dari langit, hati Ketut Ida Ayu  amat gembira ketika belasan anak-anak tunanetra yang dilatihnya kembali ke tanah air dengan memboyong segerobak trophy kejuaraan pada Festival Seni Tradisional Asia di Nagoya.
“Kami berharap ibu bisa hadir pada malam syukuran nanti,”  ujar I Ketut Suwentra, sang manager sanggar tari Surya Metu yang memboyong bocah-bocah tunanetra itu ke negeri sakura.
“Ya, saya akan datang!,” sahut Ketut Ida Ayu penuh kegembiraan. Dan perasaan bahagia tumbuh  di hati perempuan yang kini sudah berusia hampir enam puluh tahun itu, ketika  ia hadir di sebuah kenduri syukuran.
Babi guling, ayam betutu dan berbagai jenis kue-kue khas Bali telah terhidang untuk santapan para tamu. Bapak Bupati dan  Pak Camat juga hadir pada acara syukuran itu. Kue Laklak, Kelepon, Jaja Bali dan Bulang juga siap untuk disantap.
Perempuan yang sudah belasan tahun menjadi pelatih tari, Ketut Ida Ayu, juga menikmati hidangan itu  dengan lahap.. Tapi dia tidak menyadari, bahwa babi guling adalah sejenis makanan yang amat berbahaya bagi orang yang sudah memasuki usia senja. Perempuan berusia hampir enam puluh itu tidak menyadari, bahwa hidangan itu mengandung kolestrol yang amat tinggi dan memicu hypertensi.
Hanya beberapa jam setelah kenduri syukuran itu usai, di rumahnya, ketika akan melangkahkan kakinya ke kamar mandi, perempuan itu merasa kepalanya pusing dan kehilangan keseimbangan. Ia tersungkur di lantai kamar mandi dan tangan serta kakinya tidak dapat digerakkan lagi. Wayan Pandhita, satu-satunya anak dari perkawinannya dengan Hollman van Pronk segera melarikannya ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya mengatakan, bahwa sang bunda menderita stroke berat,
Perempuan itu menangis, sedih. Tangannya yang dulu amat lentik, matanya yang dapat bergerak amat mengagumkan itu, sekarang tidak dapat digerakkan lagi. Perempuan itu mengalami kelumpuhan akibat pembuluh darah ke otak mengalami gangguan serius. Kasihan perempuan itu, karirnya sebagai pelatih tari sudah berakhir. Senja telah datang bagi perempuan itu.  Dia harus menyerah pada usia!. Senja tidak terelakkan . Karirnya sebagai pelatih tari kenamaan harus berakhir. Ia tidak berdaya.
Ketika seorang lelaki bule , Hollman van Pronk, mantan suaminya,datang dari Netherland, perempuan itu hanya mampu menitikkan air mata. ***
10. PENGHUNI PANTI
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------                                                       Cerpen Maulana Syamsuri

IA masih berdiri di pinggir perapatan jalan meskipun malam sudah larut, sudah dini hari  dan bulan purnama ditutupi awan tebal. Angin berhembus giris. Ujung gaun pendeknya  dibelai angin malam. Ujung wignya berkibar-kibar. Bintang-bintang amat banyak. Lampu jalan yang terang benderang dikerumuni serangga. Sesekali kelelawar menyambar.
Tiga sepeda motor sedang lewat dan pengenderanyua adalah anak-anak a-be-ge berboncengan, lalu menghampiri dan mengejek:
“Hei,bencong. Mau gue bayar gopek?”
Yang lain menimpali:
“Pulang aja ke rumah, entar lo dicomot satpol pe-pe!”
Sejenak anak-anak muda itu berhenti di sisinya  dan mencium bau sengak.
“Hai,bencong. Buang saja wig lo ke parit!”
“Dasar bencong, badan lo seperti lembu jantan!”
Kata-kata itu membuat sang waria yang sedang menunggu mangsa di pinggir perapatan jalan itu amat marah. Perlahan sekali sang banci membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebilah belati yang mengkilat, lalu mendekati anak-anak berandalan itu.
“Aku ingin merobek perut kalian!. Pergiiii!”, terdengar suara sang banci amat keras, suara khas lelaki dan menghunus belati.  Anak-anak remaja itu lari tunggang langgang dengan sepeda motornya dan tertawa mengakak.
Baru saja berandalan laki-laki pergi, muncul serombongan a-be-ge  perempuan yang memang gemar menggoda bencong di tengah malam. Mereka juga melontarkan ejekan:
“Hai wadam!. Nama lo Kartono atau Kartini?.”
Sekali lagi  dan sekali lagi, sang banci menghunus  pisau di depan anak-anak perempuan berandalan itu dan mengusirnya.
Tiap malam, sang banci hadir di pinggir perapatan jalan menanti datangnya rezeki. Sebab rezeki sang banci selalu datang di tengah malam yang dingin, di malam yang sepi, di malam yang tidak berbintang  dan ketika angin berhembus giris. Dan rezeki itu datang dari lelaki iseng yang butuh kehangatan. Dan ia tidak harus merasa sedih diejek dengan sebutan wadam, atau waria, atau banci. Bahkan bencong. Ia harus menelan pil pahit itu karena demikianlah suratan takdirnya, demikianlah retak tangannya. Ia merasa tidak punya dunia.  Ia tidak harus menyesali nasib, tidak harus menyalahkan bunda mengandung.
            Dan iapun tidak harus berdiri di barisan mana, dibarisan pria atau perempuan. Sebab  itulah, dia tidak pernah menginjakkan kakinya di masjid, sebab di tempat suci itu tidak tersedia jamaah berjenis bencong. Sebab itulah ia tidak  pernah mengaji,sebab ia tidak tahu harus mengenakan mukenah atau celana ketika sholat..
                                                           ***
            SEBUAH mobil kijang tua berhenti. Mobil itu sudah amat tua,sering mogok  dan lampu depan hanya satu yang menyala. Suara mesinnya seperti mobil rongsokan  yang tidak laiak jalan.
            “Ayo naik,Mbak. Temani saya!,”  leleki pengemudi mobil tua itu menyapa ramah. Sang banci naik tanpa pikir dua kali. Di tempat sepi, mobil tua itu berhenti. Sang banci mulai bekerja, memberi kemesraan dan kehangatan kepada lelaki itu, yang kehausan dan tampaknya  lelaki itu adalah pedagang sayur yang akan ke gunung untuk mengambil sayur mayur.. Lebih satu jam sang banci bekerja,  memberi kepuasan kepada lelaki hidung belang itu.
            Usai permainan maha jorok itu, selembar uang lima ribuan diulurkan lelaki itu kepada sang banci. Mahluk yang mengenakan rok pendek itu melototkan mata. Hanya lima ribu, tidak cukup untuk sebungkus nasi.
            “Ayo terima. Saya tidak punya duit!, ” ujar lelaki pengendera mobil tua itu.
            Sang waria amat  marah dan merasa dilecehkan . Ia membuka tasnya, lalu menghunus pisau mengkilat:
            “Jangan main-main. Pisau ini akan merobek perut anda!”
            Lelaki pengenderai mobil tua itu gemetar melihat pisau mengkilat yang terhunus. Lelaki itu membuka dompetnya lalu mengeluarkan seribu rupiah lagi:
            “Aku tidak punya uang lagi.”
            Pemberian itu hanya membuat  mahluk yang mengenakan wig itu semakin marah  dan menempelkan pisau  ke perut lelaki itu.  Lelaki itu membuka dompetnya lagi dan mengeluarkan uang sepuluh ribu. Sang banci tetap menolak dan mulai menekankan pisau  ke perut lelaki itu.
            Lelaki pengendera mobil tua itu menggigil ketakutan,
            “Serahkan dompetmu  atau isi perutmu akan terburai!”
            Tidak sabar menanti lelaki itu memberikan dompetnya, sang banci merebut dompet dari saku lelaki itu dengan paksa.. Lima lembar uang kertas berwarna merah,  dengan kasar. Lelaki pengendera mobil tua itu semakin menggigil ketakutan  dan harus rela kehilangan uangnya setengah juta.
            “Terima kasih!. Aku tidak sempat menusuk perutmu!”
            Waria yang mengenakan rok pendek  itu turun dan bergegas pergi. Malam itu ia mendapatkan penghasilan lima ratus ribu, sebulan sama dengan gaji birokrat yang jujur.
Jangan lecehkan  seorang bencong. Seorang sopir taksi juga pernah  mengalami seperti itu, hanya memberikan sepuluh ribu setelah bermesraan selama hampir dua jam. Hampir saja perut sopir itu ditusuk pisau tajam, dan isi dompetnya berisi setoran satu juta ludes,terkuras habis.
Waria itu tersenyum seorang diri  dan merapikan rok pendeknya serta rambut palsunya. Ia menyemprotkan parfum ke tubuhnya.. Angin malam semakin giris,semakin dingin, tapi ia masih berdiri tidak jauh dari perpatan jalan. Ia menanti mangsa lainnya. Sebuah mobil berhenti, tapi bukan lelaki iseng yng butuh hiburan. Penumpang mobil itu adalah satpol pe-pe yang melakukan razia terhadap gepeng dan juga waria.
Waria  itu segera lari terbirit birit dan mencebur ke dalam parit yang baunya busuk.  Tapi nasibnya memang sedang apes, seekor anjing menyalak dan hampir menggigitnya. Tiga orang aparat menangkap  waria yang baru saja bermandi parfum sengak. Ia meronta-ronta,hingga rambut palsunya  copot dan jatuh dalam parit.
“Lepaskan aku!. Lepaskan aku!,” teriaknya dan meronta.
Percuma saja ia meronta dan berteriak-teriak. Ia digiring ke sebuah truk terbuka bersama belasan gelandangan, pengemis, pengamen dan waria. Di atas truk itu pakaiannya berbau busuk sebab ketika  mencebur dalam parit untuk sembunyi, di sana ada tahi manusia.
DEMI Tuhan, masuk panti rahbilitasi sungguh tidak nyaman,sungguh menyebalkan. Ia diperintahkan untuk membuang muntah kucing, juga membuang bangkai tikus. Apalagi tugas membersihkan tolilet yang baunya amat menyengat.
Di panti itu ia harus mengikuti kursus menjahit, membuat kue dan merangkai bunga. Semua amat menyebablkan. Amat membosankan.
Dan yang membuatnya mau muntah  adalah ceramah  dari seorang ustaz  yang menganjurkan agar menjauhi maksiat, agar  sholat lima waktu dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Waria itu merasa isi perutnya mau keluar.. Ia rindu pulang. Ia rindu rumah. Ia rindu kebebasan. Ia rindu bercumbu dengan sopir truk, atau pedagang gorengan yang butuh belai mesra.  Di panti rehabilitasi itu ia merasa seperti di neraka.
                                    *** 
FAJAR belum terbit ketika ia bersiap-siap untuk kabur. Perlahan sekali ia mengendap-endap dan menghampiri  petugas jaga yang berkali-kali menguap.
“Bantu saja pergi,Pak. Anak saya sedang sakit,”  ujarnya kepada petugas piket di pintu depan. Waria itu membohong, mana ada waria yang punya anak. Dari mana keluarnya anak itu ketika lahir?.
“Tidak!. Tidak bisa. Tidak seorangpun penghuni panti ini meninggalkan tempat.!,”  petugas jaga pintu depan berkata tegas. Wajahnya memang sanger dan bringas.  Berkali-kali waria itu memelas, tapi  lelaki petugas jaga itu tetap saja tidak mencegah, tetap saja wajahnya sanger dan bringas.
Waria itu membuka tasnya  dan mengeluarkan uang lima ratus ribu hasil dari pengendera mobil tua yang melecehkannya. Tetap saja petugas  jaga itu menolak. Tetap saja sanger. Sebuah benda berwana kuning, berkilau, dikeluarkan waria itu dari dalam tas sandangnya. Seuntai kalung bermata indah.
“Demi Tuhan,saya ingin pulang, pak. Tolong saya. Sebagai ucapan terima kasih saya berikan kepada bapak kalung kesayangan saya, empat puluh gram!.” Waria itu memberikan perhiasan itu kepada petugas jaga .  Harga jualnya pasti jutaan. Barulah petugas jaga itu tergiur.
Dan waria itu melenggang keluar kompleks panti.
Dia rela kehilangan kalung emas imitasinya.
“Mampus lo!,” cetusnya dan menikmati alam bebas. ***
11. MAKAM DI BAWAH POHON
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen Maulana Syamsuri
           
“Allaahumma innaa nas aluka ridhoka wal jannata wa na uudzubika min sakhatika wannar”  Doa itu selalu diucapkan oleh Buya Ibrahim sejak masih muda,hingga kini, hingga umurnya sudah lewat setengah abad..  Doa itu diucapkan tidak hanya  di masjid ketika menjadi imam sholat fardhu,atau ketika menjadi khatib sholat jum’at ,tetapi juga  ketika di rumah, ketika menjaga ternak sapinya di padang rumput. Buya Ibrahim tahu benar arti doa itu, yakni permohonan keridhoan Allah   dan sorga-Nya.  Buya  Ibrahim berlindung hanya kepada Allah dari kemurkaan-Nya dan dari api neraka. Lelaki imam masjid itu juga berharap karunia kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat serta memohon Allah memeliharanya dari api neraka.
            Buya Ibrahim memang amat takut dengan api neraka yang teramat panas,juga takut pada hari kiamat.  Lelaki berambut putih itu selalu menyampaikan  taklim di surau terutama tentang  makna  surah Al Qaari’ah  atau tentang hari kiamat yang mengerikan.
            Sejak masih muda belia,  Buya  Ibrahim sudah mengenal prinsip hidup amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itulah ,sepanjang hidupnya, hingga umurnya lewat setengah abad, jalan hidupnya selalu  lurus.  Bila sedang berjalan, dan melihat ada duri atau beling, pastilah dia berhenti dan menyingkirkan duri dan beling itu jauh-jauh..
            Usai sholat  lidahnya selalu  kering karena melantunkan kalimah-kalimah zikir,  tauhid atau tasbih  dan istighfar  Tiada waktunya yang berlalu dengan sia-sia, semua terisi dengan amalan  dan mendekatkan diri kepada Allah. Meskipun sedang menggembalakan sapi-sapinya di padang rumput Buya Ibrahim selalu melaksanakan sholat dhuha.
            Lelaki itu menyadari, usianya sudah enam puluh dua, sudah mendekati usia Rasulullah yang menghembuskan nafas terakhir pada usia 63. Itulah sebabnya ia berwasiat kepada anak-anaknya lelaki dan perempuan.
            “Buya   sudah tua, sudah  uzur. Sewaktu-waktu Allah akan memanggil dan buya sudah ikhlas menyambut datangnya Malaikat Azrail untuk mencabut nyawa buya, “ ujar  Buya Ibrahim di depan putra-putrinya.
            “Jangan berkata seperti itu,Buya. Jauhkan kata-kata tentang kematian. Kami belum ingin kehilangan buya. Jamaah Masjid Al Qubro juga masih selalu berharap kehadiran buya” Zahra, sang putri sulung menyahut dengan nada sedih.
            “Datangnya sebuah kematian tidak dapat ditolak dan tidak dapat dikehendaki. Kalau akhirnya buya menghadap Allah, kuburkan jenazah buya di bawah pohon mahoni yang rindang di sebelah timur makam itu,” pinta lelaki lanjut usia itu.
            “Artinya buya ingin dimakamkan di samping makam Muallim  Soleh?,” tanya Fikri,putranya yang kedua dan menatap wajah ayahandanya.
            “Ya. Buya mengenal Muallim Soleh sudah bertahun-tahun dan amalannya sangat banyak. Bibirnya selalu kering karena melantunkan zikir.”
            “Di bawah pohon mahoni itu juga dimakamkan Ustaz Basyir  dan Al Hafiz Fakhruddin yang hafal Quran sejak umur l5 tahun.”
            “Buya akan merasa tenteram dimakamkan di bawah pohon itu?.,” Ummi Maimunah, istri yang setia juga bertanya.
            “Ya,” Buya  Ibrahim mengangguk lirih. “Makam di bawah pohon itu terasa sejuk dan bersih. Bukankah Mualimah Azizah juga dimakamkan di bawah pohon itu?. Mualimah Azizah bertahun-tahun mengajarkan Quran kepada anak-anak di desa kita dan juga mengajarkan Asmaul Husna. Masyarakat dusun  kita bersyukur, anak-anak tujuh tahun   sudah sangat  hafal 99 nama Tuhan”
            “Kami akan melaksanakan wasiat buya dengan sebaik-baiknya. Kami akan menjaga makam di bawah pohon itu agar tetap bersih dan satu liang lahad untuk buya.”
            “Ingatlah amanah ini baik-baik!”
            Anak dan istri Buya Ibrahim tahu pasti suasana makam di perkuburan itu. Di sebelah timur ada sebatang pohon mahoni yang tinggi dan rindang. Di ranting pohon itu selalu hinggap burung-burung dan berkicau nyaring, seakan doa yang panjang agar para penghuni kubur diampuni dosa-dosanya dan terhindar dari azab .  Kubur di bawah pohon itu terasa sejuk, panas terik matahari seperti tidak pernah menyentuh gundukan tanah di bawah pohon itu. Kubur dibawah pohon itu selalu bersih dan terawat dengan baik. Tidak ada kecoa, tidak ada cacing, tidak semut, tidak ada binatang berbisa seperti  ular atau lipan  yang bersarang di sana. Bahkan rumputpun tidak mau tumbuh di atasnya.
            Itulah sebabnya Buya Ibrahim meninggalkan wasiat, bila  dia meninggal dunia nanti, jenazahnya dimakamkan di bawah pohon itu, sejajar dengan  orang-orang yang zuhud. Siapa yang tidak kenal dengan Al Mukarram  Siddik yang selalu jadi imam dan khatib di masjid-masjid sekitar kampung itu?. Jenazah lelaki yang selalu berpakaian serba putih itu dimakamkan di bawah pohon itu.
            Masih ada lagi orang-orang zuhud dimakamkan di bawah pohon mahoni itu. Tidak hanya Al Hafiz Fakhruddin,tapi ada lagi Muazin Fahrurrozi yang suaranya amat merdu melantunkan azan setiap menjelang sholat fardhu dan ia meninggal karena kecelakaan bus yang ditumpanginya.
            Jenazah seorang lelaki buta juga  dikuburkan dibawah pohon itu,tapi lelaki buta itu bukan seorang pengemis. Justru lelaki buta itu adalah ahli tafsir Al Qur’an. .
            Di bawah pohon itu juga terdapat kubur seorang pria tua yang sangat memahami hadis dan fikih, Kiyai Mansyur.
                                                      ***
            PINTU Rezeki di atas kepala Buya Ibrahim sedang terbuka lebar ketika dua ekor induk sapi betina yang dipeliharanya melahirkan masing-masing dua anak. Bayi-bayi sapi itu cepat besar dan gemuk. Hasil penjualan anak-anak sapi itu cukup untuk biaya menunaikan ibadah haji . Buya Ibrahim amat bersyukur karena pergi menunaikan rukun Islam yang kelima itu sudah amat lama dicita-citakannya.
            Mesikipun Buya Ibrahim adalah imam masjid Al Qubro dan selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar serta tidak pernah melakukan kesalahan,tidak pernah menyakiti hati orang lain, anjuran untuk bertobat itu amat menggugah hatinya. Apalagi dia selalu ingat Nabi Muhammad beristighfar 100 kali setiap hari karena takutnya kepada dosa.
            Itulah sebabnya, sebelum meninggalkankan rumah Buya Ibrahim mengucapkan kalimah tobat berkali-kali  diiringi shalat Istikarah, mohon perlindungan dan keselamatan. Airmatanya mengalir di pipi Buya Ibrahim ketika dia melangkah keluar dari rumah diiringi azan yang berkumandang.
            Allahumma la sahla illa maa ja’altahu sahlan, wa anta taj’alul hazana idza syikta sahlan. Itulah doa yang dilantunkan imam masjid itu ketika ia melangkahkan kaki untuk sebuah perjalanan  reliji yang suci,  yang sangat jauh dan lama serta  untuk memohon kemudahan. 
                                                                     ***
            SELAMA kakinya terjejak di tanah suci, Buya Ibrahim memang mendapat kemudahan dan perlindungan dari Allah,apa lagi setelah ia mengenakan pakaian ihram yang serba putih. Ketika melakukan tawaf tujuh kali keliling Ka’bah Buya Ibrahim melakukannya dengan mudah,padahal jamaah amat banyak , berjubel dan  tidak ada jarak sedikitpun serta saling berdesakan. Apalagi jamaah dari Mesir dan Iran yang bertubuh besar terus mendorong.
            Kerongkongannya terasa sejuk ketika Buya Ibrahim meneguk air zam-zam,amat segar dan nikmat. Sepasang bibirnya bergetar membaca doa:
“Allahumma inni as-luka ‘ilman naafi’an wa rizqan waasi’an wa syifaa an min kulli daa-in wasaqam. Ya Allah kumohon pada-Mu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, rezeki yang luas dan sembuh dari segala macam penyakit.”
            Sa’i, perjalanan ulang alik mulai dari Shafa hingga Marwah juga dilakukan Buya Ibrahim dengan mudah mesikpun berkali-kali harus  berpapasan dengan orang-orang  yang sakit dan harus didorong dengan kursi roda. Ia menyadari,bahwa Sa,i adalah lambang kasih sayang ibu. Selama berada di Makkah dan setiap sholat fardhu, Buya Ibrahim dengan ikhlas melaksanakan sholat jenazah karena banyaknya jamaah yang meninggal dunia. Rekan sekamarnya juga meninggal karena serangan  heat stroke atau penyakit sengatan panas dan seorang lagi meninggal karena Meningitis, yakni radang selaput otak,penyakit spesifik gurun pasir.. Jenazah itu dikebumikan di kuburan Ma’alla dan di kompleks itu terdapat makam  Siti Khadidjah binti Khuwailid, istri Rasulullauh,.
            Tidak satupun rukun dan sunat-sunat haji yang tidak dilakukan oleh lelaki imam masjid itu. Tidak perduli panas terik yang membakar kulit, lelaki itu mendaki Jabal Nur tempat Nabi Muhammad menerima wahyu, padahal bukit itu amat tinggi. Apalagi ketika mendaki Jabal Tsur. Lelaki imam masjid itu tidak menyadari sengatan udara panas selama berhari-hari  dan tidak sempat istirahat menyebabkan tubuhnya mulai  terserang penyakit spesifik kawasan gurun pasir itu.        
Lebih dua juta ummat muslim dari seluruh pelosok dunia melakukan wuquf di Arafah .Udara amat panas dirasakan oleh Buya Ibrahim , namun sepasang bibirnya masih lancar melantunkan kalimah-kalimah zikir,tauhid, tasbih dan  istighfar.  Dengan khusuk dan  tawaduq lelaki tua itu mendengar khutbah wuquf. Buya Ibrahim merasa kepalanya pening karena berhari-hari dibakar teriknya matahari di atas kota Makkah, namun ia tetap memberi kabar bahwa keadannya sehat kepada putra-putri dan istrinya di rumah.
            Meskipun panyakit heat stroke dan meningitis sudah dideritanya, tapi Buya Ibrahim tidak kehilangan semangat untuk melakukan  pelontaran jamrah Aqabah, Ula dan Wusta dan lebih dua juta umat muslim seluruh dunia saling berdesakan  di sana. Buya Ibrahim enggan berobat dan ia yakin Allah akan menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Obatnya hanya doa dan seteguk air zam-zam.
            Kepada anak-anak dan istrinya, buya Ibrahim tetap mengabarkan,bahwa ia  dalam keadaan sehat dan semua prosesi ibadah haji dapat dilaksanakan dengan baik.   Tiap pagi ,ketika Masjid Nabawi masih terkunci, Buya Ibrahim sudah hadir di sana dan berkali-kali menziarahi makam Rasulullah .Langkahnya terasa amat ringan ketika ziarah ke makam Baqi dan ribuan burung merpati bercanda di sana.
            “Amanah buya tetap kami taati. Makam di bawah pohon mahoni itu senantiasa kami jaga kebersihannnya dan tidak satupun jenazah diperkenankan di kubur di bawah pohon itu.  Makam di bawah pohon mahoni itu tetap kami jaga untuk buya nanti”.
            “Alhamudillah!,” sahut buaya Ibrahim lega,padahal tubuhnya semakin lemah. Dan lelah.
                                                         ***
            UDARA terasa amat dingin menusuk ke sumsum tulang ketika Buya Ibrahim tegak di puncak Jabal Uhud. Lelaki itu tampak keletihan dan kehilangan selera makan. Di tempat itu dulu berlangsung peperangan paling dahsyat dalam menegakkan Islam. Di bukit ini terjadi pertempuran yang tidak seimbang, 700 tentara muslim harus menghadapi 3000 kaum musyrik. Di bukit itu puluhan syuhada gugur.dan salah seorang syuhada itu adalah, Hamzah bin Abdul Muthalib,  tewas dan dimakamkan di bukit itu. Buya Ibrahim melakukan sujud di puncak bukit Uhud itu dan sepasang bibirnya masih sempat melantunkan doa-doa untuk para syuhada
            Ketika sujud di Jabal Uhud itulah, Buya Ibrahim kehilangan keseimbangan karena head stroke dan radang selaput otak tidak tertahankan olehnya  Ia tertelungkup mencium tanah ketika baru saja sujud dan menghembuskan nafas yang terakhir.
            “Buya Ibrahim menghembuskan nafas terakhir di Jabal Uhud dan dimakamkan di Makam Baqi. Di makam ini dikuburkan para syuhada dan istri-istri nabi serta kaum kerabatnya,” itulah kabar yang disampaikan rekan-rekan sesama jamaah haji dari Madinah Munawwarah
            Setitik demi setitik air mata mengalir di pipi anak-anak dan istri buya Ibrahim  Semua rela ayahanda mereka menghadap Ilahi ketika berada di  Jabal Uhud,lalu dimakamkan di pemakaman Baqi.
            Dan sebuah makam yang disediakan di bawah pohon mahoni yang dijaga selama berbulan-bulan untuk lelaki  imam masjid itu terpaksa direlakkan untuk dihuni  oleh almarhumah seorang pengemis yang selalu melantunkan doa-doa ketika menerima pemberian sedekah. 
***



















12. MAKAM SANG TERORIS
Cerpen Maulana Syamsuri

            LEBIH  lima lusin selongsong peluru berserakan di atas tanah ,tidak jauh dari sebuah rumah yang penuh lubang-lubang peluru.  Sesaat yang lalu bau mesiu menyesak di rongga hidung. Sesaat lalu suara letusan senjata memekakkan warga pemukiman  yang terletak di gang sempit itu. Sesaat yang lalu belasan polisi memberondong rumah itu dan menewaskan dua lelaki muda yang tubuhnya berlumur darah dan penuh luka tembak. Padahal dua lelaki malang itu tidak bersenjata. Hanya ada buku-buku tentang dakwah dan tabligh di rumah itu. Juga sejumlah buku tentang jihad.
            Hari itu aparat polisi mengklaim dirinya telah sukses membunuh dua teroris yang sudah lama diincar aparat. Polisi telah sukses mengeksekusi dua lelaki yang dianggap teroris tanpa melalui proses pengadilan. Salah satu dari dua jenazah itu adalah lelaki yang mempunyai banyak nama, seperti Abu Daud, , Abu Zubir bin Sulaiman, Fikri bin Usman dan Mohammad Ridho.
            Dua sosok mayat yang tubuhnya penuh lubang peluru itu segera diseret ke markas besar polisi dan keluarga yang mengaku kerabat dua teroris itu tidak satupun yang menangis meskipun di wajah mereka tampak digurati kesedihan.
            “Selamat jalan ,anakku!,” sepasang bibir ibu tua di sisi jenazah itu bergetar lirih. Sebelum menemui jenazah anaknya yang penuh  luka tembak itu, lebih sepuluh jam ibu tua itu diperiksa polisi dan harus menjawab puluhan pertanyaan .
 “Kamu tewas sebagai syuhada,anakku. Hiduplah nyaman di surga.” ujar ibu tua itu di sisi jenazah anak yang dilahirkannya tiga puluh dua tahun lalu.
Seorang perempuan muda tampak menitikkan air mata tapi tidak meratap di sisi jenazah itu.. Perempuan muda itu adalah istri lelaki yang kini menjadi jenazah,ditembak mati karena dituduh teroris. Bibirnya yang tipis melantunkan sebaris ayat:
“Yaa. Ayyuhannafsul muthmainah irjii ilaa Robbika radhyatamardhiah fadhlulli ibaadi wadhulli jannati!”
Dalam hati perempuan muda itu mengucapkan makna ayat itu, hai jasad yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati  yang pasti lagi diredoinya. Maka masuklah ke dalam jamaah Allah dan masuklah dalam sorga.
“Kakak akan masuk surga. Kakak akan masuk surga!,” itulah yang berkali-kali diucapkan perempuan muda itu di sisi jenazah suaminya.
                                    ***
LELAKI muda itu sudah terbaring kaku, tidak mudah untuk menjenguknya ketika masih terbaring di markas polisi,apalagi untuk membawanya pulang. Izinnya terlalu berliku-liku, seperti menembus langit ketujuh. Semua yang hadir diawasi amat ketat.
“Semua kerabat kita dianggap sebagai penjahat besar,” keluh perempuan tua yang melahirkan lelaki yang tubuhnya robek-robek ditembus peluru. Lelaki  yang mempunyai banyak nama itu sehari-harinya  adalah   teknisi elektronika. Lelaki yang mempunyai banyak nama itu seorang perakit alat-alat listrik yang mahir. Dia adalah  lelaki  pendiam, suka menyendiri, tapi selalu menghadiri majelis-majelis  pengajian. Ia banyak memiliki buku-buku tentang Islam, terutama tentang jihad.   Karena kemahirannya melakukan perbaikan alat-alat eletronika, dia dinggap sebagai perakit bom. Apalagi buku-buku yang dimilikinya banyak tentang dakwah, tabligh dan jihad.
Ketika jenazah itu dibawa pulang juga harus dikawal ketat. Kaum kerabat dan handai tolan sudah banyak yang menanti di rumah itu. Namun diantara yang hadir adalah aparat yang berpakaian preman yang mengawasi orang-orang yang hadir.
“Fikri  sudah terbunuh, tapi  masih ada lagi yang dicari aparat,” cetus salah seorang sahabat yang selalu sama-sama menghadiri majlis taklim. Tampak jelas di wajah sang sahabat rasa kesal karena ada saja aparat yang memandangnya dengan sikap curiga.
“Fikri sudah wafat, tapi seribu Fikri akan bangkit dan berjuang!,” sahut sahabat yang lain. “Api jihad tidak akan pernah padam dari muka bumi selagi kezoliman masih merajalela.”                   
“Kalimah Allahu Akbar,tidak akan lenyap dari muka bumi!,” sambut  yang lain.
“Mereka yang siap sedia untuk mati syahid akan terus hadir di tanah air ini!”
“Bom akan terus meledak dimana-mana selagi kemungkaran belum lenyap dari muka bumi!”
Darah segar masih mengalir dari tubuh lelaki yang penuh luka tembak  itu meskipun sudah dimandikan dan dikafani.
“Lihatlah darah segar masih mengalir dari tubuh Fikri, tandanya darah jihad masih mengalir dalam tubuhnya,” cetus salah seorang sahabat yang berjenggot panjang .
Tandanya lelaki yang mempunyai banyak nama itu adalah seorang yang baik dan bersih dari dosa, ketika jenazahnya akan diusung ke komplek kuburan umum, kerandanya terasa ringan dan banyak lelaki yang berebut untuk mengusungnya.
Pak Soleh, penjaga makam itu, menyambut kedatangan jenazah  sang syuhada hingga ke pintu gerbang makam.
“Ahlan wa sahlan, yaa Syuhada!,” sambut penjaga makam itu dan ikut membuka penutup keranda dan melihat darah masih mengalir dari tubuh jenazah itu.
“Kami sudah menyediakan lahat di tempat yang terbaik,” ujar penjaga makam itu.
“Kami menyediakan pembaringan sang syuhada ini di tempat yang diteduhi pohon mahoni, agar tidak diterpa panas matahari,”
            “Alhamdulillah,”  sahut seorang ibu tua yang telah melahirkan lelaki muda yang mempunyai banyak nama itu.
            Dari ranting pohon mahoni yang daunnya rindang terdengar cericit burung, seperti mengucapkan belasungkawa yang sangat dalam atas terjadinya musyibah itu. Anginpun berhembus lembut, membelai tubuh para pengantar jenazah  itu. Kecoa, semut-semut kecil, serangga dan cacing tanah menjauh dari liang lahat itu untuk menghormati  jenazah seorang syuhada yang  akan dibaringkan di sana.
            Sampai jenazah lelaki itu diturunkan ke liang lahat, aparat berpakaian preman masih saja ikut memperhatikan jenazah itu, juga memperhatikan setiap orang yang mengantar jenazah . Padahal tidak ada setupun pengantar jenazah  yang membawa pistol, tidak satupun ada teroris ada di sana.
            Para sahabat lelaki yang mempunyai banyak nama itu tidak menangis tersedu-sedu melepas jenazah itu ketika akan ditimbun dengan tanah. Dalam hati mereka melantunkan kalimah : “Allahu Akbar!, Allahu Akbar!”.
            Orang  terakhir yang meletakkan timbunan tanah di atas makam itu adalah seorang perempuan tua yang telah melahirkan lelaki yang mempunyai banyak nama itu.
            “Anakku  berbaring dengan tenang di sini.  Besok  makam ini akan harum semerbak, karena anakku  bukan teroris, tapi seorang syuhada!”.  Anginpun masih berhembus lembut ketika semua pengantar jenazah berjalan pulang. Kecoa,semut,serangga dan cacing tanah tetap saja menjauh dari makam itu.
                                                            ***
            SEBUAH keajaiban seperti telah terjadi di pemakaman itu. Aroma harum semerbak tercium dari arah sebuah makam yang terletak di bawah pohon mahoni. Semua orang yang lewat menghentikan langkah dan menziarahi kubur itu. Angin yang berhembus menyebarkan bau harum semerbak di makam itu ke semua penjuru.
            “Makam sang syuhada itu harum semerbak dan ada mukzizat di sana!,” itulah kalimat yang disebarkan orang kemana-mana,dari mulut ke mulut.Komplek Perkuburan  yang selama ini sepi mendadak jadi amat ramai sejak seorang syuhada dikuburkan di sana. Lima buah nama sang syuhada kini banyak disebut orang dimana-mana.
            “Tanah di atas makam itu dapat menyembuhkan berbagai penyakit!,” kalimat itu juga terdengar ke segala penjuru, hingga ke desa seberang, hingga ke desa di lereng bukit, hingga ke desa di pinggiran hutan. Orang yang sakit parah terpanggil untuk ziarah ke sana dan mohon kesembuhan di atas  kubur  itu.
            Orang-orang semakin ramai berziarah dan kubur sang syuhada akhirnya dikeramatkan orang ramai. Banyak yang mengambil tanah dari makam itu untuk menyembuhkan penyakit lumpuh. Yang menderita penyakit busung juga hadir disana dan membawa segumpal tanah dari sana. Bahkan penderita sakit paru-paru juga hadir di sana.Apalagi perawan tua yang mengharapkan jodoh juga datang ke makam itu .
            Orang-orang yang hadir disana tidak hanya ziarah, tidak hanya berobat ,   tapi juga meninggalkan uang  untuk sedekah .  Setiap hari ,sebuah keranjang dari bambu penuh berisi uang.
“Berbahagialah ibu, makam anak ibu harum semerbak. Anak ibu yang dituduh teroris sebenarnya adalah seorang syuhada!,” itulah komentar para penziarah kepada ibu tua itu. Dan ibu tua itu juga bersyukur orang-orang bermurah hati memberikan infak dalam keranjang bambu di sisi makam itu.. Tapi ibu tua itu tidak pernah mengambilnya satu rupiahpun. Semua uang dari infak itu disumbangkan  untuk membangun masjid.
            “Di desa ini sudah berdiri sebuah masjid yang megah, karena anakku wafat sebagai seorang syuhada. Syukur pada-Mu ,Tuhan.” Ibu tua itu bersujud di masjid yang baru selesai  dibangun dari uang sedekah para penziarah makam putranya.
            Setelah masjid di desa itu berdiri, makam itu tidak lagi harum, dan orang-orang yang berziarah dari hari ke hari mulai sepi. Harum semerbak itu tiba-tiba lenyap. Sebab ibu tua itu tidak lagi menyiramkan parfum di atas pusara anaknya. Selama ini,jauh sebelum subuh, ketika makam itu masih sangat sepi dan dingin,ibu tua itu menyiramkan parfum di kubur  itu. Belasan lusin botol bekas parfum ditemukan tidak jauh dari makam itu.,kubur sang syuhada. ***

Catatan: Kumpulan cerpen ini ditulis dalam periode januari 2011 hingga desember 2012


H. Maulana Syamsuri
Alamat Rumah : Jln. Karya Jaya Gg. Eka Mulia 255 Gedung Johor Medan
Hp : 085296520465. Telp : (061) 7868459.


No comments:

Post a Comment