SUJUD DI JABAL
UHUD
Novel reliji
Maulana Syamsuri
P
|
ersahabatan dua
bocah itu sudah amat lama terjalin, sudah bertahun-tahun, seperti sebuah istana
yang amat kukuh, yang tidak akan roboh diterpa badai, yang tidak akan pernah
runtuh diterpa angin kencang. Persahabatan yang amat kukuh itu tidak akan roboh
oleh goncangan gempa.
Persahabatan dua bocah yang masih amat belia itu, Iqbal kelaslima es-de dan Laila, seorang gadis cilik
tunanetra, adik kelasnya, amat kukuh seperti sebuah ikatan yang tidak akan
pernah terpisahkan. Menyusuri sepanjang pantai menuju sekolah selalu berdua dan
Laila, meskipun sepasang matanya tidak dapat melihat, tapi kakinya tidak akan
pernah tersandung akar atau batang kayu
bakau yang berserakan di sepanjang pantai itu. Laila, gadis cilik yang
mengalami kebutaan itu, amat hafal suasana pantai tempat pemukimannya, karena
matanya tidak dapat melihat, tapi hatinya terang benderang. Laila melihat dunia
dengan hatinya.
Persahabatan dua bocah yang masih amat belia itu, Iqbal kelas
Tiap hari,, seperti biasanya, pulang sekolah,sepasang bocah itu menyusuri
pantai. Sepanjang jalan, menuju rumah, dari celah bibir keduanya selalu
terlantun kalimah-kalimah sholawat badar. Suara Laila terdengar amat merdu
keika dia melantunkan Yaa Nabi Salam
‘Alaika, lalu Iqbal menyambutnya melantunkan Yaa Rabbi bil mustofa Yaa
Rasullullah salamun ‘alaik
Burung elang yang sedang terbang di langit berhenti mengintai ikan ketika
mendengar suara kedua bocah itu melantunkan Lil Abi wal Ummi yang terdengar di
antara debur ombak. Burung elang yang
sedang terbang tinggi tiba-tiba merendah agar bisa mendengar lagu-lagu Islami
itu lebih jelas. Burung elang itu seakan membuka telinganya lebar-lebar. Angin
yang berhembus kencangpun mereda, berhembus
sepoi ketika kedua bocah itu melantunkan lagu Yaa Thoyibah
Itulah sebabnya, setiap anak
nelayan, setiap anak Melayu, sudah sangat hafal Asmaul Husna,karena selalu
didendangkan setiap hari dengan irama
yang amat merdu dan indah didengar. Jangan jadi anak nelayan, jangan jadi anak
Melayu kalau tidak hafal 99 nama Tuhan, mulai dari Allah, Ar Rahman, hingga Ash
Shabuuru yang maknanya adalah yang maha
sabar
Langkah Laila yang masih
menyandang tas sekolah itu terhenti ketika sayup-sayup mendengar suara meminta
tolong di antara debur ombak.
“Seperti ada suara minta tolong,” cetus Laila. Ia memang seorang gadis
tunanetra,tapi Tuhan memberinya indera pendengaran yang lebih tajam.
“Aku hanya mendengar suara elang dan ombak yang berdebur,” sahut Iqbal
yang ikut menghentikan langkahnya.
“Dengarlah baik-baik. Kamu akan mendengar suara itu, suara meminta
tolong!”
Iqbal membuka rongga telinganya
lebar-lebar. Sayup-sayup dia memang mendengar suara teriakan orang.
“Tolong!. Toloooong!,” suara itu terdengar lagi, amat jauh. Hanya
sayup-sayup.
“Ya, aku mendengarnya.”
“Dari arah utara!” cetus Laila lagi.
“Ya, aku melihat ada seorang gadis berdiri dan di sisinya ada lelaki
terbaring. Ayo kita kesana!”
Iqbal meraih tangan Laila dan
mereka berlari-lari menyusuri pantai, mendekati seseorang yang berteriak-teriak
meminta tolong, sementara seorang lagi terbaring lemah di atas pasir.
Dengan nafas terengah-engah Iqbal dan Laila menghampiri seorang gadis
yang tampak kebingungan.
“Kakak meminta tolong?. Apa yang terjadi? Boleh kami berdua
membantu?”. Iqbal menyapa ramah, karena setiap anak Melayu
selalu ramah kepada tamu, setiap orang yang datang ke pantai itu adalah tamu
yang harus dihormati dan selalu disambut dengan senyum Kini di depan Iqbal dan Laila ada seoang
gadis remaja yang sedang berkunjung ke pantai itu untuk melihat keindahan laut
luas dan perahu-perahu nelayan berlayar pulang..
“Saya memang membutuhkan bantuan,” cetus gadis yang masih tampak
kebingungan itu. Di sisinya seorang lelaki muda terbaring di atas pasir dalam
keadaan lemah.
“Bantuan apa yang dapat kami berikan untuk kakak?,” Iqbal menatap wajah
gadis berwajah cantik di depannya.
“Teman saya digigit ular, dalam waktu sesaat saja teman saya pingsan.”
“Ular bakau yang sangat berbisa mematuk kaki teman kakak,” sahut Iqbal
lagi. “Kalau terlambat memberi pertolongan, teman kakak memang bisa meninggal
di pantai ini.”
“Bantu saja mencari dokter. Tolong kami ke dokter. Saya tidak ingin teman
saya meninggal di sini.” pinta gadis
pengunjung pantai itu penuh harap.
“Dokter tidak ada di pantai ini!,” cetus Iqbal sejujurnya. Dokter memang
tidak ada di pantai itu. Dokter hanya ada di Puskesmas dan letaknya jauh dari
pantai itu, jauh di pasar ,10 km dari pinggir laut itu
“Dokter sangat jauh dari pantai ini.” .
“Kalau demikian teman saya akan mati. Tolong antar kami ke dokter, kita
naik mobil!”
Gadis itu dan temannya yang kini dalam keadaan sekarat memang datang ke
desa itu dengan mengenderai mobil bagus. Gadis itu dan sahabatnya memang
berasal dari keluarga mampu di kota .
Gadis itu dan sahabatnya sedang duduk-duduk tidak jauh dari pohon bakau menikmati
indahnya pantai yang terletak di pinggar Selat Malaka ketika tiba-tiba seekor ular bakau sebesar
induk jari mematuk kaki kanan sahabat gadis itu.
“Kalau hanya gigitan ular berbisa, bisa disembuhkan tanpa bantuan
dokter.”
“Pawang ularkah yang mampu menyembuhkannya?” gadis pengunjung pantai itu menatap
dalam-dalam wajah Iqbal dan Laila berganti-ganti.
“Tidak perlu pawang!”
“Lalu siapa yang dapat membantu menyembuhkan sahabat saya?”
“Cukup kami berdua!. Anak nelayan selalu diajarkan oleh orang tuanya untuk menawarkan bisa ular.”
“Kalu begitu, tolong saya!. Tolong kami!. Kami akan memberi hadiah apapun
yang adik-adik pinta asal sahabat saya dapat sembuh dan kami bisa pulang.”
“Kami tidak mengharapkan balas jasa. Kami adalah anak-anak nelayan, kami
adalah putra-putri dari rumpun Melayu yang selalu diajarkan untuk memberikan
bantuan kepada sesama, apalagi terhadap pengunjung pantai ini!.”
“Bantulah saya. Bantulah saya. Saya tidak ingin kehilangan sahabat saya
karena direnggut bisa ular.”
Tiba-tiba saja gadis cantik pengunjung pantai itu, bersimpuh dan bersujud
di depan kaki Iqbal dan Laila berganti-ganti.
“Tolong selamatkan nyawa sahabat saya,” pinta gadis yang sudah sejak dua
jam lalu duduk-duduk di pinggir laut menyaksikan elang laut dan nelayan
mengayuh sampannya menunju pulang.
“Setiap anak nelayan,setiap anak Melayu, tidak akan membiarkan tamu
pantai ini mati terkapar. Kami akan membantu,sampai sembuh!,” itulah janji
Iqbal dan duduk bersila di sisi kanan lelaki yang terbaring dalam keadaan
pingsan.
“Terima kasih. Terima kasih!,” ucap gadis pengunjung pantai itu penuh
harap Tidak habis-habisnya gadis remaja yang cantik itu mengucapkan terima
kasih,padahal lelaki sahabatnya masih tetap pingsan karena bisa ular bakau
sudah merasuk ke dalam semua sendi dan aliran darah lelaki itu..
Di antara debur ombak, di antara kulik elang yang terbang mencari
mangsanya, di antara derai-derai daun nyiur yang melambai-lambai, terdengar
suara Iqbal melantunkan ayat-ayat kalimah mulia. Laila, meskipun seorang gadis tunanetra, tapi dia juga
diajarkan untuk menawarkan bisa ular dan binatang melata lainnya.
Dengan suara lirih , di antara debur ombak Laila membaca surah Al Baqarah ayat 255 dan
259 diiringi dengan surah Ar-Ra’a ayat 31. Iqbal juga melantunkan surah Thoha ayat 105 dan
surah Yaasin ayat 9. Lalu kaki kanan lelaki muda yang dipatuk ular
bakau itu ditutup dengan daun-daun bakau
yang sudah busuk kemudian ditimbun dengan pasir.
Tidak sia-sia ayah dan bunda Iqbal serta Laila mengajarkan pengobatan
bisa ular bakau. Orang tua mereka memang amat rajin mengikuti majlis taklim di
desa mereka di pinggir selat Malaka itu. Mereka mengikuti ahli pengobatan
Islamy yang dituturkan oleh Imam Akhmad Asy-Syarajy dalam kitab Al Fawaaid Fish
Shilati wal ‘Awaa-id.
***
H
|
anya beberapa
menit setelah kedua bocah bersahabat itu melantunkan ayat-ayat kalimah mulia,
kemudian membalut bekas gigitan ular itu dengan daun-daun busuk lalu
menimbunnya dengan pasir kering, lelaki muda yag pingsan itu membuka mata. Lelaki muda itu
memandang keliling, memandang awan putih yang berarak-arak di langit serta
puncak nyiur yang melambai-lambai dan burung elang yang terbang berpasangan,
lalu memandang tiga insan di depannya.
“Di mana aku?,” terdengar suara lelaki muda itu dan masih terbaring di
atas pasir.
“Di pinggir laut, di tepian Selat Malaka!,” yang menyahut adalah Laila.
“Apa yang terjadi?”
“Kamu digigit ular hingga pingsan dan hampir mati,namun dua adik ini
menyelamatkan nyama kamu”.
“Seperti sebuah keajaiban!,” suara lelaki muda yang terbaring itu
terdengar dan berusaha untuk duduk.
“Oh,Faisal. Kamu sudah benar-benar sembuh dari bisa ular yang sangat
berbahaya.”
Tiba-tiba saja gadis remaja itu memeluk kekasihnya yang baru sadar dari
pingsan.
“Kalau tidak ada kedua adik-adik ini, pastilah bisa ular itu sudah
merenggut nyawamu.”
“Terima kasih,adik!,” lelaki gagah yang dipanggil Faisal itu memeluk
Iqbal.
“Panggil saya Iqbal.”
“Terima kasih,Iqbal. Aku tidak tahu balasan jasa apa yang pantas
kuberikan kepadamu.”
“Yang menyembuhkan tidak hanya saya, tapi sahabat saya,Laila. Dia tidak
bisa melihat.”
Laila mendapat hadiah pelukan dan dekapan hangat dari gadis remaja
pengunjung pantai itu.
“Dimana rumah kamu?.”
“Di sebelah utara pantai ini.”
Iqbal menunjuk ke arah utara, ke sebuah rumah yang amat sederhana,
berdinding tepas dan beratap rumbia serta berlantai tanah. Tidak ada pesawat tv
berwarna di rumah itu. Tidak ada kursi mewah, tidak ada kulkas, tidak ada kipas
angin,padahal ketika siang hari udara di pantai itu amat panas.. Yang ada di
rumah itu hanya kursi kayu yang sudah tua dan reot.
“Besok kami akan datang bersama ayah ibu kami, untuk mengucapkan terima
kasih dan oleh-oleh!,” cetus Amaliah, gadis pengunjung pantai yang wajahnya
cantik.
“Pagi kami sekolah, datanglah sore hari, sebelum orang tua kami pergi
melaut.”
Sepasang remaja pengunjung pantai itu memeluk dua bocah bersahabat itu
lalu mohon diri. Mereka berjalan santai, seperti tidak pernah terjadi sesuatu
yang amat fatal. Gigitan ular bakau amat berbisa dan sudah amat banyak
merenggut nyawa orang-orang yang sudah mengotori laut.
Tiap tahun di pantai itu diadakan upacara bersih desa dan jamu laut,
untuk membersihkan pantai dan laut dari dosa dan dari semua kotoran serta
nista.
***
A
|
zan maghrib
terdengar dari puncak menara masjid di desa pantai itu. Iqbal berdiri menghadap
kiblat dan ibunya berdiri di belakangnya. Maskipun Iqbal masih dikelas V, tapi
sebagai anak lelaki, dia harus menjadi imam ketika sholat berjamaah di
rumahnya,bersama ibunya. Ayahnya sedang melaut untuk menangkap ikan tanpa
peduli angin laut yang amat dingin dan berhembus kencang. Ayahnya
pulang esok subuh dan para juragan ikan sudah menunggu di pelabuhan
ikan.
Bagi setiap nelayan, angin kencang dan ombak laut adalah sahabat yang
paling setia.
Suara bocah itu terdengar amat merdu ketika membaca Surah Ar Rahman
kemudian pada akhir sholatnya berdoa
untuk keselamatan ayahnya di tengah laut. Iqbal juga mendoakan agar ayahnya
mendapat tangkapan ikan yang banyak. Tapi nasib nelayan tidak pernah berubah
dari tahun ke tahun. Nelayan tetap hidup miskin. Nelayan tidak pernah mampu
membangun rumah bagus berlantai keramik. Nelayan tidak mampu memiliki tv
berwarna. Kalaupun ada yang memiliki sepeda motor atau tv warna pasti dibeli
dengan cara kredit yang bunganya mencekik leher.
Mana ada anak nelayan yang duduk diperguruan tinggi. Amat jarang anak
nelayan yang mampu mendidik anaknya hingga es-el-a. Satu dua anak nelayan duduk
di i-a-i-en , itupun karena mendapat bea siswa.
Doa yang dilantunkan amat panjang, namun sebelum doa itu berakhir,
terdengar deru mobil di depan rumahnya. Iqbal dan ibunya amat terkejut, tiga
orang yang turun dari mobil di depan rumahnya tampak seperti orang terhormat
dan kaya. Namun perasaan terkejut itu mendatak hilang setelah Iqbal mengenal
salah satu dari tamunya yang turun dari mobil itu. Dan tamu yang dikenalnya
adalah Bang Faisal, seorang remaja yang digigit ular berbisa hingga hampir mati
dan Iqbal bersama Laila telah berhasil menyelamatkan nyawa remaja itu. Bang
Faisal datang bersama Bu Hartati,ibundanya dan seorang lagi ayahandanya.
Tamunya mengucapkan salam. Ibu Iqbal menyilahkan masuk dan duduk di kursi
reot. Sesaat tamu yang baru turun dari mobil itu prihatin. Seperti umumnya
rumah nelayan yang hidup miskin, rumah itu belum dialiri listrik, sebab biaya
pemasangan listrik saat ini amat mahal. Tidak ada keringanan, tidak ada tarif
istimewa untuk keluarga miskin,apalagi untuk keluarga nelayan. Rumah itu hanya
diterangi oleh lampu minyak tanah yang sinarnya remang-remang. Nyamukpun tidak
terlihat.
“Kami datang untuk mengucapkan terima kasih karena anak kami telah
selamat dari kematian.” Terdengar suara tamunya setelah memperkenalkan
diri Tamunya menyebut nama Faisal Wicaksono, putra mereka.
“Saat ini Faisal sedang kuliah di Fakultas Pertanian. . Kami ingin anak
kami cepat jadi sarjana. Andainya anak kami tewas karena bisa ular, kami pasti
kehilangan dia sementara biaya sudah amat banyak untuk kuliahnya. Andainya anak
kami meninggal karena gigitan ular, kami tidak punya siapa-siapa lagi karena
Faisal satu-satunya anak kami.”
“Syukurlah putra bapak terhindar dari kematian.,” sahut ibu yang
melahirkan Iqbal.
“Sudah sepantasnya kami menyampaikn tanda terima kasih, karena nyawa
tidak ternilai harganya,” sambung Bu Hartati lagi.
“Namun tanda terima kasih itu tidak sembarangan kami berikan. Kami datng
untuk bertanya, apakah ibu dan Iqbal dirumah ini butuh tv berwarna atau sepeda
motor.” Suami Bu Hartati melanjutkan.
“Anak saya menolong dengan hati ikhlas.”
“Tidak usah enggan menyebutkan apa yang dibutuhkan dirumah ini. Sebab
kami melihat keadaan yang serba sederhana di rumah ini.”
Memang keluarga yang baru turun dari mobil itu melihat suasana yang amat
sederhana. Tamu yang baru datang dari kota
itu menyadari, bahwa kehidupan nelayan pada umumnya miskin dan melarat.
“Kami tidak butuh benda-benda itu”, sahut ibu Iqbal menolak sejujurnya
“Atau tanda terima kasih itu belum memadai?. Apakah ibu ingin membangun
rumah ini agar lebih layak?,” sahut Bu
Hartati lagi dengan logat Jawa yang masih medok.
“Juga tidak!”
“Lalu apa yang pantas kami berikan?”
“Tidak ada!. Kami tidak mambutuhkan apapun dari setiap orang yang telah
mendapat pertolongan dari anak-anak kami ketika berada di laut.”
Tiga orang tamu yang datang dari kota
itu tertegun. Betapa polosnya hati
setiap nelayan,tidak mengharapkan balas jasa,tidak mengharapkan apapun. Iqbal
termenung. Sesaat dalam benaknya muncul wajah sahbatnya,Laila, yang sejak lahir
dalam keadaan buta. Laila yang sudah kehilangan ayahandanya karena direnggut
tsunami membutuhkan pengobatan mata agar dapat melihat dunia.
Betapa amat kasihan keadaan Laila. Lahir ke dunia dalam keadaan buta
total. Baginya dunia gelap gulita. Menempuh pendidikanpun harus dirumah sekolah
khusus anak-anak tunanetra . Mana ada sekolah tunanetra di desa, di pinggir
laut. Yang ada di pantai itu hanya gedung sekolah yang sudah tua dan
bangku-bangkupun sudah reot. Hampir tidak ada rehabilitasi gedung sekolah di
desa pantai itu.
Syukurlah Pak Camat menyumbangkan buku-buku dalam huruf braille sehingga gadis buta itu tetap dapat belajar
di desanya. Dan buku-buku dalam haruf braille itu disesuaikan dengan kurikulum
sekolah. Yang menjadi kendala hanya sang guru-guru yang tidak dapat membaca
aksara braille.
“Permintaan saya hanya satu,” terdengar suara Iqbal setelah termenung
beberapa saat, setelah di benaknya muncul wajah sahabatnya,Laila.
“Saya menolong Bang Faisal dari
bisa ular itu tidak seorang diri.”, ujar Iqbal sejujurnya.
“Kami tahu seorang gadis cilik juga ikut menolong memberikan pengobatan
tradisional.”
“Ya, dia adalah Laila, seorang gadis buta.”
“Buta?”, ulang tamunya tidak percaya.
“Ya!. Dia gadis tunanetra. Baginya dunia ini seluruhnya gelap, tapi dia
dapat bersekolah seperti biasa karena ada pihak-pihak yang memberi bantuan.”
Iqbal menyebut bantuan Pak Camat berupa buku-buku dalam huruf braille
sesuai buku-buku yang dipelajari di sekolah.
“Apakah Laila dapat belajar dengan normal?,” tamunya ingin tahu.
“Ya, sangat normal. Bahkan Laila adalah juara pertama tidak hanya di
kelas, tapi di sekolah.”
“Sungguh luar biasa!,” gumam sang tamu. “Bagaimana kalau ujian?”
“Ujian dilakukan secara khusus dan lisan. Hasilnya tetap seratus untuk
Laila!”
“Sungguh luar biasa!. Kami ingin sekali bertemu dengan Laila dan orang
tuanya!.”
“Ayahnya sudah tidak ada!,”
“Meninggal karena sakit?”
Iqbal menggeleng lirih. Suaranya juga lirih karena dia menahan keharuan
dalam dadanya, dalam hatinya.
“Ayahnya direnggut gelombang laut.” Suara iqbal masih lirih.
“Gelombang laut?. Bukankah laut adalah sahabat setiap nelayan?. Tidak
pernah terdengar ada nelayan yang mati tenggelam di tengah laut.” Bantah sang tamu keheranan.
“Bukan gelombang biasa, bukan ombak biasa!”
“Lalu ombak besar seperti apa?”
sang tamu menatap wajah bocah lelaki itu amat dalam, seperti mencari
rahasia yang amat mendalam di dasar mata bocah lelaki itu.
Dengan didahului hela nafas panjang, Iqbal berkata lirih,hanya sepenggal
kata yang mampu diucapkan, tapi
mengandung makna yang amat luas.
“Tsunami!”
“Kasihan!”
“Nah, Laila lahir dalam keadaan buta dan ibunya adalah seorang janda. Dia
butuh penyembuhan. Laila butuh berobat
tapi ibunya amat miskin. Laila amat ingin melihat dunia. Laila butuh bantuan
dokter mata agar dapat melihat seperti orang-orang normal.”
Iqbal ingin memohon kepada tamunya yang tampak seperti keluarga kaya.
Lihatlah mobilnya bagus. Lihatlah pakaian ayah dan ibu Faisal. Lihatlah kalung
emasnya. Lihatlah gelangnya.
Arloji tangan
yang melingkar dipergelangan ayahanda Faisal pasti berharga jutaan. Lihatlah
mereka mampu membiaya putra mereka di univesitas paling favorit.
Iqbal ingin memohon agar keluarga
itu berkenan membantu,bukan berbentuk materi, bukan berbentuk uang. Yang
dibutuhkan Laila adalah uluran tangan. Yang diharapkan Laila pasti perawatan
dan pengobatan di rumah sakit. Dan sebelum Iqbal mengungkapkan permohonannya,
sang tamu sudah mendahului:
“Kami ingin berkunjung ke rumah
Laila dan bertemu dengan ibunya. Kami
akan membawanya ke rumah sakit mata yang terkenal di Medan.”
“Terima kasih. Itulah yang saya
harapkan dan itulah yang sangat diharapkan Laila dan ibunya. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa Laila dan
ibunya. Juga doa saya sebagai sahabatnya.”
Tanpa menunggu lama, Iqbal mengantar
sang tamu ke rumah Laila yang tidak jauh
dari rumah reot dan hampir runtuh itu.
***
D
|
i atas tikar
pandan yang sudah lapuk dan robek di sana sini,
keluarga kaya yang datang dari kota
itu duduk bersila. Setitik demi setitik airmata mengalir di pipi perempuan
setengah baya bernama Subang,yang melahirkan Laila ke dunia bukan dari rahimnya
tapi dari operasi kaesar.
“Angin kencang dan ombak laut adalah
sahabat semua keluarga nelayan dari mulai suami hingga anak-anaknya. Di tengah
laut para lelaki nelayan menangkap ikan. Laut yang amat elok telah menjadi
sumber kehidupan bagi kami keluarga nelayan meskipun harus dengan menderita dan
serba kekurangan.” Perempuan bernama
Subang itu mulai menuturkan masa lalunya yang pahit sebagai istri nelayan yang
hidup miskin.
Subang adalah sebuah nama yang selalu diberikan oleh orang tua suku
Melayu kepada putrinya. Dan nama itu serasi di tubuh perempuan itu sejak lahir
dari rahim ibunya. Kelahiran bayi perempuan itu hanya disambut dengan lantunan Iqomah, tanpa
aqiqah. Mana ada nelayan miskin yang sanggup membeli seekor kambing untuk
disembelih sebagai aqiqah, lalu setelah sepekan rambutnya digunting dan nama
Subang ditabalkan oleh Lobe Sulaiman, imam masjid di pinggir laut itu.
“Saya menikah dengan seorang nelayan
bernama Kolok dan saya tahu menikah dengan
seorang nelayan harus siap untuk hidup miskin,” lanjut Subang menuturkan
nasibnya.
“Namun berbahagia bukan?,” sela tamunya.
“Ya,saya bahagia meskipun sebelum
azan maghrib terdengar suami saya sudah melaut dan pulang esok subuh dan
menjual ikan-ikan hasil dari laut kepada juragan ikan di tangkahan.”
“Kami bisa merasakan betapa pahit
hidup sebagai nelayan yang harus hidup sederhana. Yang kaya hanya juragan yang
membeli ikan segar dari nelayan lalu menjualnya dengan harga mahal kepada
masyarakat.” sela tamunya lagi.
“Semua juragan di pantai ini hidup
senang, rumah bagus, punya sepeda motor dan anak kuliah di kota .
Selain juragan adalah lagi orang yang hidup kaya di pantai ini,” lanjut perempuan bernama Subang itu.
“Siapa orang kaya itu?. Camat atau
Bupati?,” tamunya menatap wajah Subang
dengan perasaan iba.
“Camat dan Bupati mana mungkin
tinggal di desa nelayan yang baunya amis
dan warganya miskin semua.”
“Lalu siapa orang kaya itu?”
“Rentenir!”
“Kenapa masih ada rentenir sementara
ada bank yang selalu memberi kemudahan dalam mendapatkan kredit.”
“Bank dan rentenir sama saja.
Sama-sama uang yang dipinjam berbunga tinggi. Namun terkadang kehadiran
rentenir di desa nelayan ini adakalanya sesekali diperlukan. Ada nelayan yang sakit atau mengawinkan anak
dan perlu biaya pasti butuh bantuan rentenir.”
Tamu-tamu yang terhormat itu
senyum-senyum. Kehidupan para nelayan memang selalu terlilit hutang, kepada
bank atau kepada rentenir. Apalagi nelayan juga butuh biaya untuk melaut.
Nelayan butuh be-be-em untuk menjalankan mesin perahu. Masih amat banyak
nelayan yang tidak punya perahu.
“Tiap tahun di pantai ini diadakan
pesta jamu laut dengan upacara meriah dan doa-doa agar yang namanya hantu dan
jembalang laut menjauh. Juga agar bala dan bencana menjauh dari nelayan. Juga
permohonan agar nelayan dapat menangkap ikan lebih banyak.”
“Bukankah doa itu selalu dikabulkan
Tuhan?. Bukankah nelayan tidak pernah pulang dengan tangan hampa?,” sang tamu menyela lagi.
“Tidak selamanya Tuhan mengabulkan
doa-doa itu. Dari waktu ke waktu kehidupan nelayan semakin sulit. Sangat sulit
untuk mendapat penghasilan yang lumayan karena kapal-kapal besar dibiarkan
menangkap ikan yang seharusnya menjadi lahan nelayan kecil.”
“Kami ikut prihatin dengan keadaan
itu!,” cetus sang tamu lagi dengan nada sedih.
“Lanjutkan kisah tadi,” pinta sang
tamu ingin tahu lebih jauh tentang nasib yang dialami oleh perempuan bernama
Subang.
“Itulah! Bencana suatu saat datang
sangat mendadak. Laut yang menjadi sumber kehidupan bagi semua
nelayan,tiba-tiba murka. Ombak laut yang bagi semua keluarga nelayan adalah
nyanyian merdu sepanjang masa, hari itu murka seperti gunung berapi meletus. Di
tengah malam yang dingin, desa kami diguncang gempa keras lalu terdengar
seperti ledakan bom. Ledakan yang terdengar amat keras itu ternyata adalah laut
yang benar-benar marah, yakni tsunami!”
“ Banyakkah korban ketika tsunami
terjadi?”
“Sungguh sangat banyak Semua disapu
gelombang yang benar-benar murka. Tidak hanya rumah nelayan, tapi juga surau,
kantor kepala desa, rumah sekolah, semua luluh lantak disapu gelombang laut.”
Perempuan bernama Subang itu
menuturkan tentang tragedi yang dialami di malam yang amat mengerikan itu.
***
M
|
alam itu, ketika
sepi sedang mencekam kawasan pemukiman nelayan itu, ketika udara dingin dan
hujan rintik-rintik, Subang sedang mengusap perutnya sendiri yang sedang
membukit seperti karung beras. Sulit baginya untuk memejamkan mata karena bayi
dalam rahimnya bergerak lebih keras, seperti bermain bola.
Lama Subang mengusap puncak perutnya
yang tampak seperti nagka masak.
“Jangan lasak ,ya sayang. Tidurlah
dengan tenang, ibu sangat lelah malam ini!,” ujarnya kepada bayi dalam
kandungannya di tengah malam itu dan mengelus perutnya sendiri.
Tapi bayi dalam rahimnya tetap saja
bergerak lasak. Seperti sangat gelisah. Suara yang terdengar tidak hanya debur
ombak, tidak hanya desau angin yang mempermainkan daun-daun pepohonan.
Terdengar suara burung hantu. Bulu roma perempuan hamil itu berdiri. Suara
jengkrik tidak lagi bernyanyi merdu seperti biasanya. Suara jengkrik seperti
melengking tinggi,seperti sedang dalam
kegelisahan.
Cecak yang biasanya bermain di
dinding rumah, malam itu berlari kencang tidak tentu arah. Desau angin juga
semakin kencang. Semua seperti amat marah dan gelisah. Semua mengerikan. Burung
pipit, elang, burung gereja, burung ruak-ruak juga terbangun dari tidurnya dan
mendadak terbang jauh sambil mengepakkan sayapnya kuat-kuat dan mencericit
seperti memberi peringatan, bahwa sesuatu akan terjadi. Semua mahluk di pantai
itu gelisah.
Perempuan hamil itu semakin tidak dapat memejamkan mata. Apalagi di
dinding tampak semut-semut kecil berlari beriring-iring tidak tentu arah. Kecoa
juga ikut gelisah. Semua, di malam sepi seperti sedang dalam suasana cemas dan
ketakutan Perempuan hamil itu berusaha mencari Qur’an. Hanya dengan membaca
Qur’an dia akan mendapatkan ketenangan. Hanya dengan melantunkan kalam-kalam
Ilahy dia akan mampu mengusir kegelisahan. Tapi gerakan bayinya yang amat keras
menyebabkan dia tidak mampu berjalan beberapa langkah untuk meraih kitab suci
Al Qur’an..
Perempuan yang sedang hamil itu
mengucapkan istighfar berkali-kali. Bayi dalam perutnya terus saja bergerak
lasak. Pada saat itulah terasa bumi bergerak amat keras.
“Gempa!. Gempaaaa!!!,” jiran
tetangga berteriak-teriak dan berhamburan keluar rumah.
Bumi yang diguncang gempa terus
berlangsung menyebabkan perempuan hamil itu berusaha untuk bangkit, tapi
kandungannya yang sudah berusia sembilan bulan menyebabkan dia tidak dapat langsung
berlari keluar rumah.
Pada saat itulah,ketika gempa mulai
reda, tiba-tiba terdengar suara menggelegar diiringi yang air amat deras masuk
ke dalam rumah melalui celah dinding. Air yang masuk terasa amat deras, lebih
deras dari sungai yang mengalir dari puncak gunung menuju laut. Pintu-pintu
rumah dan jendela-jendela jebol ditabrak
air yang menerjang.
Tiba-tiba saja rumah yang dihuni
perempuan hamil itu roboh. Reruntuhan rumah itu menimpa perempuan hamil itu,
menimpa kepala dan perutnya yang sedang membukit seperti karung beras. Terasa
amat sakit.
“Tolong!. Tolooong!!,” perempuan
hamil itu berteriak. Tapi teriakan minta tolong juga terdengar dari rumah-rumah
tetangga. Air memang sedang mengamuk. Gelombang laut sedang naik ke darat
dengan ketinggian lebih dari setinggi rumah dan mengamuk jauh ke darat, hingga
sejauh lebih dari 10 km. Itulah tsunami!.
Air laut naik hingga jauh ke darat hampir setinggi pohon mangga atau
pohon rambutan dengan kecepatan yang amat tinggi. Air laut yang sedang marah menumbangkan rumah, menghanyutkan
ternak dan semua yang ada di bumi di sekitar pantai itu. Puluhan sapi dan
kambing terbawa arus ke tengah laut. Juga reruntuhan rumah, bangunan, bahkan
mobil tua juga ikut tersapu arus air. Tidak hanya sapi dan ternak lainnya yang
disapu oleh gelombang laut, tapi juga manusia!. Puluhan, bahkan ratusan manusia
di sekitar pantai itu terbawa arus deras
ke tengah laut. Perempuan yang sedang hamil itu tidak mampu menahan sakit di
kepalanya yang berdarah. Bagian perutnya juga lebih sakit dan rahimnya
mengeluarkan darah. Perempuan itu pingsan! .
Esok pagi,ketika fajar terbit, tidak ada suara azan subuh yang setiap
pagi membangunkan umat untuk melakukan sholat. Tidak ada lagi manusia, karena
seorang lelaki muda yang selalu menjadi muazin di masjid di desa itu ikut
disapu ombak bersama bangunan masjid. Tidak ada lagi rumah. Tidak ada lagi
masjid. Tidak ada lagi gedung sekolah. Semua disapu air.
Esok pagi, ketika air sudah surut
dan kembali ke laut, di sepanjang pantai bergelimpangan puluhan mayat lelaki
dan perempuan, tua muda dan juga balita.Bahkan ada mayat yang tersangkut di
pohon mangga.
Hari itu sebagian besar warga
penghuni desa di pinggir laut yang terletak di Selat Malaka itu sudah menjadi
mayat. Hanya mukjizat Tuhan saja yang menyebabkan sebagian kecil manusia
penghuni desa itu selamat dari angkara murka air laut.
Hari itu banyak perempuan kehilangan suami atau sebaliknya. Ayah bunda
kehilangan anak-anak dan anggota keluarganya. Tangis yang amat mengharukan
terdengar di mana-mana. Tsunami telah banyak meminta korban jiwa dan harta
benda.
Mukjizat Tuhan pula yang telah
menyelamatkan perempuan hamil sembilan bulan bernama Subang. Perempuan malang itu hanya mengalami
luka-luka di kepala dan pendarahan pada bagian rahim. Perempuan hamil itu sadar
setelah dirinya terbaring di rumah sakit di Kecamatan. Perempuan itu dengan
tangan lemah berusaha mengusap perutnya. Dia amat heran. Perutnya yang membukit
seperti nangka masak sudah rata.
“Bayi ibu sudah lahir,” terdengar
suara seorang perawat di rumah sakit itu.
“Sudah lahir?,” Perempuan itu
keheranan. “Tapi saya tidak merasakan apa-apa.”
“Ibu kehabisan tenaga. Ibu sudah
sangat lemah, dokter terpaksa melakukan bedah kaesar.” ujar perawat lagi.
“Oh,Tuhan. Setinggi-tinggi syukur
untuk-Mu!,” desisnya lirih. Dari bibirnya masih sempat terlantun Surah Fatihah.
“Siapa yang sudah berbaik hati
menolong saya?,” perempuan bernama Subang itu ingin tahu.
“Orang-orang yang selamat dari
bencana tsunami di desa ibu. Para nelayan mengantar ibu ke rumah sakit ini.”
Sekali lagi dan sekali lagi
perempuan yang kini sudah menjadi ibu itu bersyukur kepada Ilahy.
Tsunami yang merenggut ratusan nyawa
sudah terjadi di desa nelayan di pinggir Selat Malaka itu. Tapi sebuah
keajaiban di desa itu juga sudah terjadi. Perempuan hamil itu tertimpa
reruntuhan rumah lalu lima
orang menyelamatkan dirinya dan mengantarnya ke rumah sakit.
Kemana lagi perempuan malang itu harus pulang?.
Subang tidak lagi memiliki rumah karena sudah rata dengan tanah disapu ombak
laut yang murka. Dia terpaksa harus menginap di tenda-tenda penampungan bersama
bayinya, bersama puluhan keluarga yang selamat. Air mata mengalir lagi di
pipinya.
Di mana suamiku?. Dimana ayah
anakku?. Dimana Kolok berada?. Tidak seorangpun yang tahu keberadaan suami
perempuan malang
itu.
***
A
|
ir mata berderai
amat deras di pipinya seperti hujan lebat yang tercurah dari langit ketika
tragedi yang amat menyedihkan dan mengerikan itu diceritakan kepada Bu Hartati
dan suami serta putranya.
“Bagaimana nasib suami ibu
akhirnya?,” sang tamu dari kota ingin tahu.
“Tsunami yang menelan banyak korban
di desa ini juga merenggut ayah anak saya. Oh,Tuhan….” Perempuan malang itu tidak mampu
lagi berkata-kata. Dia menutup mukanya dengan telapak tangan. Semua terdiam.
Yang terdengar hanya sedu sedan perempuan malang
itu.
“Ayah anak saya hilang di tengah
laut bersama puluhan nelayan lainnya. Oh, beginilah nasib nelayan yang malang .”
“Kami datang untuk memberi bantuan
kepada ibu!,” ujar sang tamu dari kota
itu .
Di antara isak tangisnya perempuan malang itu menuturkan,
bahwa bantuan dari berbagai pihak terus mengalir. Ada dari pemerintah,el-es-em, ada bantuan
dari partai politik yang bermuatan
kampanye ,ada dari pengusaha, dari tokoh-tokoh masyarakat dan dunia juga ikut
memberikan bantuan.
Tidak hanya bantuan dana, tapi juga relawan yang membawa kantong-kantong
mayat untuk membawa mayat-mayat yang ditemukan.
Bantuan dari berbagai negara di belahan bumi ini terus mengalir. Perempuan
yang baru saja menjalani operasi kaesar itu juga mendapatkan bantuan rumah yang
layak huni.
“Kesedihan hati saya datang tumpang
tindih. Ayah anak saya hilang di tengah laut dan bayi saya lahir tidak sempurna,
matanya dalam keadaan tidak dapat melihat. Anak saya buta hingga dia
duduk di kelas empat es-de,” tuturnya di
antara isak tangisnya yang panjang, di antara derai air matanya.
“Kami sudah mendengar, Laila adalah
seorang gadis tunanetra, tapi juara satu di kelas dan di sekolahnya,” cetus Bu
Hartati lagi. “Sungguh prestasi yang luar
biasa.”
Perempuan
malang itu
terisak lagi. Tiga orang tamu yang
datang dengan mengenderai mobil bagus itu saling berbisik-bisik, seperti sedang
merundingkan sesuatu.
“Ibu!,” terdengar suara sang tamu,
ibunda dari Faisal dan mengusap pundak ibunda Laila. “Kami sepakat untuk
membawa Laila ke kota
untuk berobat.”
“Tapi…tapi…,” perempuan malang itu tidak mampu
melanjutkan kata-katanya.
“Laila perlu penyembuhan dan
pengobatan. Mungkin pula Laila harus menjalani operasi mata. Yang dapat
melakukannya hanya dokter ahli. Perkenankan kami membawa Laila ke kota ,” sang tamu meminta.
Lama perempuan malang itu berpikir dan menimbang-nimbang.
Untuk berobat ke kota ,
pasti butuh dana besar dan waktu yang lama. Perempuan itu merasa tidak sanggup
untuk berpisah dengan putri tunggalnya apa lagi putrinya dalam keadaan buta.
“Kasihan Laila, dunianya gelap
gulita. Pertolongan dokter mungkin dapat membuatnya melihat dunia!,” tegas sang
tamu lagi. “Kami akan menganggapnya sebagai anak sendiri, sebagai adik Faisal.”
Tidak ada pertimbangan lain.
Perempuan yang bernasib malang itu tidak dapat
mencegah putri tunggalnya untuk dibawa ke kota .
***
S
|
aat-saat yang
sangat mengharukan sudah hampir tiba,ketika Laila akan dibawa kekota oleh sebuah
keluarga yang hidup mapan itu. Tapi Laila tidak segera berkemas-kemas, gadis
cilik tunanetra itu tetap saja duduk di atas tikar pandan yang sudah tua dan
robek-robek. Laila tetap saja menekur.
“Ayo,Laila!. Bersiaplah untuk
berangkat. Ibu akan mengemasi pakaian yang akan kamu bawa.” ujar ibunya.
Laila tetap menekur,bahkan air
matanya berderai. Laila tampak amat sedih.
“Ayo,Laila. Kenapa harus menangis.
Sebentar lagi kamu akan melihat dunia!” desak ibunya dan menyentuh tangannya.
“Tidak,bunda!. Laila tidak akan
meninggalkan desa ini.”
“Kenapa?. Jangan sia-siakan
keluarga yang sudah berbaik hati!” desak
bundanya lagi.
Laila menggeleng lirih.
“Kenapa?. Bukankah kamu ingin
melihat keindahan yang ada di muka bumi ini?. Bukankah kamu ingin matamu
sembuh?”
“Saya sangat mencintai desa
ini!,”sahutnya lirih dan tetap saja menundukkan wajah, menekuri tikar pandan
yang didudukinya.
“Artinya kamu menghendaki duniamu
tetap gelap gulita?”
“Laila akan ke kota , tapi tidak sendiri!,” cetus Laila dan
mengangkat wajah menatap bundanya
“Artinya bunda harus menemanimu?.
Begitukah?”
Dan yang menjawab kata-kata itu
adalah keluarga kaya yang datang dari kota .
“Ibu juga boleh ikut kalau memang
itu yang diinginkan Laila.”
“Bagaimana Laila?”
“Bukan harus bunda yang menemani
Laila!”
“Lalu siapa lagi?. Ayahandamu sudah
tidak ada!”
Lama Laila menekur. Airmatanya
berderai lagi dan membasahi pipinya yang kemerahan.
“Ayo katakan!. Siapa yang kamu
inginkan untuk menemanimu”.
Laila tetap menekur. Setelah berkali-kali
didesak oleh bundanya dan keluarga kaya yang datang dari kota ,barulah dari celah bibirnya terucap
sebuah kalimat pendek:
“Sahabat saya!”
“Maksudmu Iqbal yang harus
menyertaimu?”
Laila mengangguk lirih. Bocah lelaki yang masih duduk di kelas V es-de
itu kaget oleh jawaban Laila. Jantungnya berdebar keras.
“Kalau memang seperti itu, terserah
padamu. Ayo bersiap-siap berangkat.” kata sang tamu tanpa tawar menawar lagi.
Laila dan sahabatnya tersenyum
cerah. Dalam mobil sepasang bocah yang sudah bertahun-tahun menjalin
persahabatan itu duduk berdampingan ketika mereka berangkat meninggalkan desa
yang pernah porak poranda dihantam tsunami yang amat dahsyat.
***
D
|
UNIA yang gelap
gulita itulah milik Laila sejak dia lahir ke dunia. Dan hitam pekat. Tapi pada
hari itu wajahnya tampak ceria karena sesaat lagi gadis cilik tunanetra itu
akan dapat melihat. Betapa gadis kelas IV es-de itu amat bersyukur. Andainya
kepergian itu tanpa sahabatnya, tanpa Iqbal mungkin perjalanan itu akan penuh
dengan derai air mata.
“Apa yang kamu lihat di sebelah
kiri,Iqbal?,” terdengar suara gadis cilik itu ketika desa nelayan itu sudah
tertinggal jauh.
“Sawah ladang yang sangat elok!,”
sahut lelaki muda belia di sisinya. Iqbal memang sedang menikmati pemandangan
indah, memandang kejauhan. Dan yang tampak adalah sawah yang terhempang luas..
“Hijaukah?”
“Kuning!. Sesaat lagi musim panen
akan tiba.”
“Tampakkah pak tani mengusir
burung?”
“Ya!. Pasti indah sekali,”
cetus Laila dan terkagum-kagum oleh keindahan padahal
yang terlihat di matanya hanya kegelapan. Laila hanya melihat dengan hatinya.
Mobil itu terus meluncur dan sedang menyeberangi sebuah jembatan panjang.
“Apa yang terlihat,Iqbal?”
“Sungai!”
“Artinya kita sedang berada di atas jembatan?”
“Ya. Airnya keruh dan jorok.”
“Kenapa keruh?. Tidak seperti laut?.
Tidak biru seperti laut kita?”
“Sungai beda dengan laut!. Di hulu pasti sungai ini jernih dan bening
serta banyak ikannya. Tapi pencemaran sungai ada di mana-mana. Pabrik, rumah
sakit dan hotel membuang limbah sembarangan menyebabkan air sungai tercemar dan
ikan-ikan mati.”
“Tampakkah sampan di sungai itu?”
“Ya, ada beberapa buah sampan,tapi bukan sampan nelayan yang mencari
ikan.”
“Lalu mereka mencari apa?”
“Mereka adalah penambang pasir.”
“Untuk apa pasir itu?”
“Tentu saja untuk membangun perumahan di kota . Juga untuk membangun hotel, rumah-rumah mewah ,toko-toko dan perkantoran. Juga untuk membangun markas
kepolisian dan penjara.”
“Penghuni penjara pasti banyak!,”
cetus Laila.
“Ya!. Kejahatan sudah merajalela dimana-mana karena untuk mendapatkan
rezeki yang halal sangat sulit. Kota
semakin luas, tapi peluang rezeki makin sempit.”
Laila hanya bergumam lirih. Terbayang di pelupuk matanya kehidupan di kota yang serba semrawut, penuh carut marut dan persaingan yang tidak sehat, saling
sikut-menyikut dan warga kota yang bringas. Kelembutan sudah semakin
menipis di kota .
Sepanjang jalan Iqbal memandang ke
kanan dan kiri jalan. Sepanjang jalan bocah yang masih amat muda belia itu
menikmati pemandangan indah, memandang
sawah yang menguning,memandang sapi-sapi yang sedang memakan rumput,
melihat petani menghalau burung dan banyak lagi.
Sepanjang jalan Laila banyak
bertanya apa yang dilihat sahabatnya di kiri kanan jalan. Dunianya memang gelap
gulita, tapi gadis cilik itu melihat keindahan dunia dengan mata hatinya. Dan
mobil itu terus meluncur di jalan raya lintas Sumatera yang amat ramai oleh
berbagai kenderaan, bis jarak jauh, truk bermuatan sembako, sepeda motor, truk
penuh buah kelapa sawit. Hampir tidak pernah tampak truk bermuatan hasil
pertanian, seperti bawang, pisang,ubi kayu atau sayur mayur.
Tiba-tiba Laila merasakan mobil yang
membawanya ke kota
berjalan lamban.
“Kenapa lamban,Iqbal?,” Laila bertanya kepada sahabatnya yang duduk
di sisinya. Baginya Iqbal adalah tempat
bertanya tentang segalanya.
“Di depan ada iring-iringan orang
mengusung jenazah!,” sahut Iqbal sejujurnya.
“Artinya ada kematian di desa ini?.”
“Ya!”
“Kenapa ada kematian?”
“Kematian adalah peristiwa biasa di muka bumi,seperti di desa kita. Di
mana-mana ada kematian karena berbagai sebab.”
“Karena penyakit?”
“Ya, penyakit adalah penyebab utama
kematian bagi penduduk desa. Sebab warga desa umumnya miskin dan tidak punya
uang untuk berobat sampai akhirnya kematian itu terjadi.”
“Pasti penyebab lain masih banyak.”
“Tentu saja. Kecelakaan juga
penyebab kematian.”
“Apakah ada maling yang mati
dihakimi penduduk.”
“Peristiwa seperti itu juga sudah
sering terjadi dimana-mana. Yang belum
pernah terjadi adalah koruptor yang mati ditembak. Belum pernah terdengar
korupto babak belur dipukuli rakyat atau digantung.”
Kedua bocah cilik itu dilahirkan dan
dibesarkan di desa, tapi mereka memiliki wawasan yang luas. Mereka mengerti
makna kematian. Mereka tahu tentang korupsi dari koran-koran bekas. Mana ada
keluarga nelayan yang sanggup membeli surat
kabar. Bila mereka selalu membaca surat
kabar tentu saja koran bekas, pembungkus ikan asin atau pembungkus bawang. Dari
koran-koran bekas itu mereka tahu tentang korupsi yang banyak terjadi di negeri
ini. Padahal koran itu sudah berusia
seminggu, bahkan sebulan atau setahun.
Dari
koran pembungkus garam itu kedua bocah itu selalu membaca tentang
tawuran antar warga di berbagai tempat di negeri ini. Dari koran yang sudah
berumur lebih sebulan itu pula kedua bocah itu membaca berita tentang warga
miskin dan pengangguran yang jumlahnya jutaan jiwa.
Dari koran yang sudah sangat jorok
itu pula Laila dan Iqbal membaca berita tentang biaya pendidikan yang amat
mahal di negeri ini. Dari mana lagi kedua bocah itu mengetahui tentang busung lapar yang banyak
ditemui di negeri ini kalau tidak dari koran bekas. Iqbal membacanya dan Laila mendengarnya. Kelaparan memang
masih terjadi di mana-mana di negeri yang elok dan kaya ini. Yang belum pernah
dibacanya hanya koruptor yang dibakar hidup-hidup.
Dari koran bekas itulah Laila dan
Iqbal membaca berita tentang penggusuran rumah dan lahan serta terjadi
kericuhan. Sengketa tanah dan lahan ada di mana-mana. Kedua bocah itu juga tahu
pejabat negara dan wakil-wakil rakyat menghamburkan duit rakyat ke luar negeri.
Namun belum sekalipun kedua bocah
itu menemukan berita di koran bekas itu tentang koruptor yang dihukum mati.
Padahal hampir tiap hari surat
kabar memberitakan tentang maling-maling berdasi di negeri tercinta ini. Gambar
tikus yang melukiskan pencoleng duit negara selalu tertera di berbagai koran
bekas. Mencuri duit rakyat yang namanya korupsi banyak terjadi di negeri ini
dan tidak ada habis-habisnya. Satu tertangkap hari ini, besok akan muncul
koruptor baru. Rasa malu sudah tidak ada
lagi di negeri ini. Selagi pelaku korupsi belum ada yang dihukum mati, gambar
tikus tetap saja selalu menghiasi halaman surat
kabar.
“Kalau dokter sudah menyembuhkan
matamu,apa saja yang akan kamu lakukan?,” tanya Iqbal kepada sahabat di
sisinya.
“Yang pasti aku akan sangat
bersyukur kepada Tuhan, aku bisa melihat keindahan dunia.” Sahut Laila penuh
harap.
“Lalu apa lagi?”
“Kalau aku bisa melihat nanti,
sepanjang hari aku akan selalu berada di
sekolah.”
“Untuk apa?”
“Bukankah di sekolah kita sudah ada komputer. Isi dunia bisa kita
temui di komputer di sekolah kita.”
“Hebat kamu,Laila. Lalu setelah itu
apa lagi?”
“Aku akan selalu membaca Qur’an. Aku
ingin ikut musyabaqah, biar jadi juara!”
“Mudah-mudahan dokter mampu
menyembuhkan matamu dan melihat dunia.”
“Selama ini aku merasa diriku adalah
orang yang paling malang
di muka bumi ini. Hidupku gelap gulita. Aku bersyukur punya seorang sahabat
yang baik seperti kamu yang bisa
menuntunku dalam banyak hal. Kamu adalah sahabatku yang paling baik sehingga
sekian tahun aku berjalan di muka bumi dalam kegelapan, tapi tidak sekalipun
aku tersandung batu atau terpijak duri.”
“Aku senang bersamamu. Apakah kamu
akan tetap menganggapku sebagai sahabat kalau dokter sudah menyembuhkan
matamu?”
“Dalam keadaan bagaimanapun kamu
tetap sahabatku yang paling baik.”
“Terima kasih,Laila.”
Mobil itu terus meluncur. Desa di
pinggir laut yang terletak di Selat Malaka itu semakin jauh tertinggal. Mobil
itu sudah mendekati kota .
Tidak tampak lagi sawah ladang, tidak tampak lagi sapi-sapi yang memakan
rumput. Tidak tampak lagi padi yang terhempang luas dan menguning serta petani
yang mengusir burung.
Di kiri kanan jalan yang tampak
adalah gedung-gedung dan pertokoan. Ada toko sembako, ada toko alat-alat
elektronik, toko komputer, ada show room yang menjual sepeda motor, ada toko
emas dan banyak lagi.
Show room mobil juga ada yang
memajang mobil-mobil mewah dan berharga mahal. Kalau berjalan di kota , sepertinya tidak ada
lagi kemiskinan. Bank-bank ramai didatangi nasabah untuk menyimpan uang atau
mengajukan kredit. Rumah bertingkat dan bagus-bagus berderet-deret. Seperti
tidak ada lagi rumah reot. Tidak ada lagi warga yang tidak makan. Kota seakan dipenuhi
orang kaya. Kota
hanya milik orang yang hidupnya mampu.
Iqbal tertegun ketika mobil yang
dinaikinya melewati jalan raya di depan sebuah universitas.
“Apa yang tampak di depan
matamu,Iqbal?,” tanya Laila lagi serius.
“Sebuah universitas!,” sahut Iqbal.
“Pasti mahasiswanya sangat banyak.”
“Banyak sekali!”
“Pasti yang kuliah di sana hanya anak-anak orang
kaya!”
“Tentu. Mana mungkin anak nelayan
seperti kita bisa masuk perguruan tinggi.”
“Entah kapan nasib nelayan akan
berubah.” Laila menghela nafas panjang penuh berisi keluhan panjang.
Mobil itu terus meluncur di tengah kota . Yang tampak di kiri
kanan jalan adalah rumah-rumah gedung megah. Ada rumah pejabat, ada rumah mewah milik
pengusaha sukses dan banyak lagi.
Iqbal tertegun ketika melihat sebuah
rumah besar, halamannya luas tapi pintu dan semua jendela-jendela tertutup,
bahkan halaman sudah ditumbuhi rumput dan ilalang. Pasti ularpun sudah
bersarang disana.
“Kamu melihat apa,Iqbal?,” Laila
ingin tahu.
“Sebuah rumah besar tapi pintu dan
jendela-jendela tertutup serta halaman sudah ditumbuhi rumput dan ilalang.”
“Kalau demikian pasti rumah itu
sudah ditinggalkan pemiliknya.”
“Ada yang aneh pada rumah itu!.”
“Kenapa aneh?”
“Ada papan pengumuman di depan rumah itu.”
“Apa isi pengumuman itu?. Rumah
besar itu mau dijual?”
“Bukan dijual. Tapi rumah itu dalam
proses penyitaan oleh negara.”
“Kalau begitu pemiliknya sedang
tersangkut kasus hukum.”
“Kukira pemiliknya adalah pelaku
korupsi yang sedang menjalani proses
pengadilan.”
“Akh, kenapa tidak ditembak mati
saja?”
“Belum saatnya koruptor di tembak
mati, tapi nanti dua puluh atau lima
puluh tahun lagi.”
Itulah bocah. Meskipun masih bocah,
meskipun tinggal di kawasan pantai yang baunya amis dan miskin, tapi
wawasan mereka amat luas.
***
M
|
obil itu
memasuki halaman sebuah rumah besar berlantai dua dan halamannya amat luas. Di
halaman tampak ditumbuhi berbagai jenis bunga dan tanaman hias. Taman dihiasi air mancur dan patung seorang perempuan yang sedang
memegang kendi. Dari kendi itu mengucur
air yang jernih. Di bawah air mancur itu tampak ikan hias berbagai jenis.
Keluarga kaya memang selalu begitu,
halamannya selalu luas yang dihiasi berbagi jenis bunga dan air mancur. Lampu-lampu
tamanpun terang benderang dan serangga mengerumuni lampu-lampu itu.
“Selamat datang di rumah kami.”
terdengar suara Bu Hartati ketika turun dari mobil itu.
“Kami berharap kalian berdua akan
kerasan tinggal di sini,” suami Bu Hartati menambahi.
“Terima kasih. Rasanya sangat
menyenangkan!.”
“Tinggallah di sini selama satu atau
dua minggu.”, pinta Bu Hartati lagi.
“Kami selalu rindu rumah kami. Kami
selalu rindu debur ombak,” yang menyahut adalah Laila.
Bu Hartati menuntun Laila amat
hati-hati memasuki ruang depan rumah
itu.
Langkah Iqbal tertegun ketika di
ruang depan rumah besar itu terpajang seperangkat gamelan Jawa. Disamping
gamelan dipajang bedug berukuran besar. Di dinding rumah terlihat lukisan
bernuansa Islami. Ada
lukisan seorang penunggang unta di tengah gurun pasir, diantara pohon-pohon
kurma. Juga ada foto Jabal Nur dan Masjid Jin. Musola juga ada di tengah rumah
itu.
“Keluarga ini kelihatannya keluarga yang taat beribadah,” bisik Iqbal kepada sahabatnya.
“Syukurlah. Keluarga yang taat pada agama biasanya selalu menolong orang
lain.” sahut sahabatnya.
“Ibu berasal dari Jawa?.” tanya
Iqbal setelah memandang seperangkat gamelan dan bedug besar di ruang depan
“Ya!. Pada awalnya kami menjejakkan
kaki di sini sebagai pedagang bakso. Kami harus bekerja keras membangun
kehidupan. Saingan mencari nafkah amat keras di Sumatera. Bertahun-tahun kami
membuka warung bakso, akhirnya kami
harus memilih haluan lain. Dengan susah payah kami menanam kelapa sawit pohon demi pohon dilahan yang sempit.
Di Sumatera ternyata Tuhan membuka pintu rezeki kepada kami. Pohon demi pohon
kelapa sawit itu terus bertambah.” Bu Hartati menuturkan pengalamannya ketika
duduk di ruang depan rumah besar itu.
Bu Hartati juga mengungkap perjalanan hidupnya yang amat panjang. Rezeki
awal memang dari membuka warung bakso, tapi keluarga asal Solo itu melihat
peluang yang amat cerah, yakni berkebun kelapa sawit..
“Terus terang, kelapa sawit adalah primadona perekonomian di negeri ini,”
tambah suami Bu Hartati yang bertubuh jangkung itu. Kumis lelaki itu tampak
rapi, juga pakaiannya.
Laila dan Iqbal tertegun mendengar penuturan keluarga Bu Hartati yang
amat baik hati itu. Laila dan sahabatnya ingat dirinya sendiri dan ibunya di
rumah. Dari hari ke hari hingga berganti tahun, nasib nelayan tetap tidak
pernah berubah. Iqbal merasa amat sedih. Iqbal pernah membaca koran bekas,
bahwa jumlah nelayan di negeri ini berjumlah lebih dari 7 juta orang.
Lebih seperempat dari jumlah itu
terbilang miskin dari seluruh warga miskin di negeri ini. Itu artinya kelompok
miskin yang terbesar negeri ini adalah dari kelompok nelayan. Betapa amat
menyedihkan.
Panjang lebar Bu Hartati menceritakan tentang perjuangan dan perjalanan
hidupnya. Juga tentang Faisal, putra tunggalnya.
“Faisal adalah anak tunggal kami. Ibu menjalani operasi pengangkatan
rahim karena adanya indikasi tumor mulut rahim,” tutur Bu Hartati.
Perempuan kelahiran Solo itu juga menuturkan,bahwa meskipun sudah
bertahun-tahun bermukim di Sumatera, tetapi budaya dan pola hidup Jawa masih melekat dalam diri
keluarganya. Namun yang berbau syirik dan beraroma Hindu sudah lama
ditinggalkan keluarga itu.
“Bang Faisal pasti mahasiswa pintar dan prestasinya bagus,” sahut Iqbal.
“Lumayan. Sekarang sedang kuliah di semester enam. Tidak lama lagi akan
lulus sebagai insinyur pertanian. Kami tidak ingin Faisal buru-buru pacaran,
tapi seorang temannya kuliah selalu berusaha mendekati dan mereka selalu berdua
makan bakso atau nonton konser tanpa setahu ibu. Sampai suatu saat diam-diam
mereka pergi ke pantai dan digigit ular berbisa. Syukurlah ada ananda berdua
yang mampu menawarkan bisa ular”
Laila hanya tersenyum.
“Kami ingin Faisal segera lulus dan menggantikan ayahnya mengurus kebun.
Di tangannya pasti kebun yang kami miliki akan lebih baik”
Perempuan yang berasal dari Surakata dan sangat gemar kesenian Jawa itu
sempat menuturkan kebun kelapa sawit miliknya seluas lebih dari 1.000 hektar
dan sedang merencanakan untuk menambah luas kebun itu 400 hektar
lagi dan izinnya sedang dalam
pengurusan.
Wah!. Wah! Kebun sawit seluas
1.000 hektar pastilah setiap bulan mendatangkan rupiah segudang banyaknya.
Kata-kata itulah yang tergetar dalam hati Laila dan Iqbal bersamaan. Beda
dengan penghasilan nelayan yang sangat minim.
“Kamar untuk ananda berdua sudah tersedia di kamar tengah,” ujar Bu Hartati lagi.
“Maaf,Bu,” Laila menyela ucapan itu.
“Kenapa?. Mau memilih kamar depan?. Boleh-boleh saja!”
“Bukan memilih kamar depan. Tapi bunda kami selalu mengajarkan tentang
adat istiadat Melayu. Anak perempuan dan lelaki harus dipisahkan.”
Bu Hartati tersenyum.
“Ibu sangat senang mendengarnya. Ada
yang ibu lalaikan. Ibu amat mengagumi budaya dan adat istiadat Melayu yang
sangat tinggi nilainya”
Dua bocah yang selama ini hanya tidur diatas tikar pandan, malam itu mereka
tidur di atas kasur yang lembut dan dialasi sprei indah. Tapi Laila tidak
segera memejamkan mata. Di atas kasur yang lembut sepasang bibirnya melantunkan
kalimah-kalimah barjanzi yang mengandung syair-syair indah. Setiap anak
nelayan, setiap putra-putri Melayu pasti senang melantunkan syair-syair itu:
“Wa lamm atamma min hamlihi syahroni ala masyhuril aqwa lil marwiyah”
Perlahan sekali syair itu terlantun dari celah bibir Laila diiringi
bait-bait berikutnya, dilanjutkan dengan syair:
“Wa lamma kamula lahu saw arba’una sannatan ‘ala aufaqil aqwali lizawil
alimiya”
Syair itu terdengar sayup-sayup amat merdu hingga ke kamar Bu Hartati dan
suaminya. Esok hari ,menjelang fajar terbit, kedua bocah yang dilahirkan di
Selat Malaka itu bangun lebih awal dan menghadap kiblat untuk sholat subuh.
“Amat merdu syair-syair berbahasa Arab yang kamu lantunkan,Laila,”. Bu Hartati menyapa tamunya amat ramah.
“Syair itu adalah rangkaian barjanzi,Bu. Anak-anak nelayan sejak kecil
sudah mahir melantunkan berjanzi. Ibu-ibu yang sedang menina bobokkan bayinya
juga dengan syair itu.”, Laila menjelaskan. Bahwa barjanzi adalah syair yang
berkisah tentang kehidupan Rasul Muhammad SAW. Kehidupannya harus jadi contoh dan teladan bagi ummat muslim.
“Ibu amat senang mendengarnya.”
Laila hanya tersenyum.
***
M
|
obil
berderet-deret di halaman parkir rumah sakit mata yang terletak di sebuah jalan
yang ramai. Laila dipapah memasuki halaman rumah sakit dan duduk di ruang
tunggu bersama belasan orang yang menderita berbagai jenis penyakit mata. Ada seorang bocah lelaki
yang matanya terluka ketika jatuh dan mainan senapan yang berada ditangannya
melukai matanya. Ada
tiga mahasiswa yang matanya mengalami gangguan karena gas air mata yang
ditembakkan aparat ketika terjadi demo yang dilakukan ratusan mahasiswa. Juga
tampak beberapa orang tua yang menderita katarak menanti giliran untuk
menjalani operasi. Remaja yang matanya luka
karena lemparan batu ketika berlangsung tawuran antar pelajar juga
dirawat di rumah sakit itu. Ibu-ibu yang
menderita glukoma juga ada.
Iqbal duduk di sisi Laila yang tampak pucat.
“Pegang tanganku,Iqbal!,” pinta Laila kepada sahabat di sisinya.
“Tanganmu terasa amat dingin dan gemetar,” cetus sang sahabat yang selalu
berada di sisinya tidak hanya di laut, tidak hanya ketika pulang dari sekolah,
tapi juga ketika berada di rumah sakit mata.
“Aku takut,Iqbal,” bisik Laila lirih.
“Tidak usah takut. Kuatkan semangatmu. Aku selalu berada di sisimu. Bu
Hartati juga ada di sini, mendampingimu.”
“Kalau tidak ada kamu, mungkin aku akan pingsan di sini.”
“Tidak usah takut. Tidak usah khawatir, saat ini ilmu kedokteran sudah
sangat maju, yang sakit parah juga dapat disembuhkan.” Iqbal memberikan
dukungan moral kepada sahabatnya.
“Kalau aku masuk kamar operasi nanti, aku berharap kamu ada di sisiku.
Pegang tanganku kuat-kuat!,” kata-kata Laila penuh harap.
“Tidak mungkin aku ikut masuk kamar operasi. Yang ada di kamar operasi
hanya ahli bedah mata, ahli anastesi. Tidak usah takut, Tuhan bersamamu. Aku
hanya berdoa. Mudah-mudahan operasi tidak berlangsung lama.”
Laila menunduk. Iqbal tetap menggenggam jari tangan Laila amat erat.
***
H
|
anya beberapa
detik setelah dokter ahli anastesi memberikan suntikan bius, Laila merasa
dirinya amat ringan dan terbang tinggi bersama awan yang berarak-arak di langit
biru. Tubuhnya seperti kapas yang terbawa angin menyeberangi sawah ladang,
menyeberangi sungai dan gunung serta lembah. Laila merasa terbawa angin ke
suatu tempat yang sangat jauh, hingga di sebuah padang rumput yang amat luas di pinggir
hutan.
Suntikan dokter ahli anastesi itu menyebabkan Laila seperti bermimpi berada di padang rumput yang luas dan angin membelai
rambutnya.
Dalam mimpinya ketika berada di padang
rumput hijau yang amat luas itulah Laila seperti melihat ada seekor srigala
yang pintar bicara seperti manusia. Di padang
rumput itu, sang srigala terdengar berdialog dengan Tuhan:
“Ya,Tuhan. Aku sedang lapar!,” cetus srigala yang tampak ganas tapi
memiliki hati lembut.
“Sebentar lagi makananmu akan datang. Bersabarlah!,” terdengar sebuah suara dari langit biru.
“Tubuhku gemetar karena lapar,” cetus srigala lagi. “Berikan kepadaku satu ekor domba saja!.”
“Akan datang seratus ekor domba,tangkaplah semua. Makanlah seratus ekor
domba itu, biar perutmu kenyang!,” suara dari langit itu terdengar lagi.
“Tidak!. Aku tidak butuh domba seratus ekor. Aku hanya butuh satu ekor
saja!”
“Makanlah seratus ekor domba itu!
Habiskan semua. Bukankah kamu
adalah srigala yang seharusnya lebih rakus dari manusia?. Kalau manusia diberi
rezeki sepuluh juta menuntut seratus juta lagi. Kalau manusia pasti menghendaki
kekayaan untuk dirinya, untuk
istri,anak-anak dan kerabatnya”
“Tidak!. Aku hanya butuh satu ekor saja!”
Dialog itu terus terdengar. Berkali-kali
suara dari langit mendesak agar
srigala itu memangsa seratus domba yang sebentar lagi akan lewat di padang rumput itu. Tapi
binatang buas yang selalu memangsa domba itu tetap bertahan,hanya membutuhkan
satu ekor domba saja.
Sesaat kemudian dari tengah hutan, seratus ekor domba berbulu tebal lewat
di padang
rumput yang luas itu.
“Ya,Tuhan. Aku mohon izin akan kutangkap seekor saja, bukan seratus!”,
pinta binatang buas pemangsa itu.
“Seratus ekor kamu tangkap juga boleh!,” sahut suara dari langit.
Seratus ekor domba berbulu lebat itupun lewat di depan sang srigala.
Hebat, pemangsa yang amat buas itu memang sangat jujur. Hanya memangsa satu ekor domba saja. Tidak lebih!.
Hanya satu ekor domba yang dilahapnya. Sembilan puluh sembilan ekor domba
lainnya selamat dan lewat dengan bernyanyi-nyanyi, bergerombol melewati padang rumput.
Itulah binatang. Ganas dan pemangsa, tapi hatinya lembut dan jujur.
Srigala itu diberi kesempatan untuk memangsa seratus ekor domba,tapi yang
dimangsanya hanya satu ekor saja. Tidak lebih dari satu!. Tidak seperti manusia
yang rakus. Dan tamak.
“Kamu sangat jujur ,wahai srigala!,” cetus Laila dalam mimpinya akibat pengaruh suntikan bius.
Setelah kenyang melahap daging domba, srigala itupun tidur amat nyenyak.
“Hatimu amat mulia,wahai srigala!”
Dan Lailapun masih tidur pulas akibat obat bius dalam dirinya menjelang dilakukannya operasi pada matanya.
***
T
|
ubuh Laila masih
seringan kapas yang diterbangkan angin hingga ke mana-mana, hingga ke langit
yang tinggi dan mobil-mobil mewah amat
banyak melintas di jalan raya yang padat dan ramai. Debu beterbangan mengotori
langit,menyesakkan nafas jutaan orang. Bumi memang sudah amat padat dengan
manusia. Padat dengan kenderaan.
Angin seperti berhenti berhembus di atas sebuah gedung bertingkat tinggi.
Laila seperti sedang berada di sebuah ruangan
yang udaranya sejuk karena pendingin udara. Laila seperti melihat
seorang pe-en-es golongan tiga sedang menerima seorang tamu dengan membawa
segepok uang. Sang pe-en-es berdialog dengan tamunya:
“Saya sudah menghitung, perusahaan anda harus membayar tiga milyar!,”
ujar sang pe-en-es di depan tamunya yang ternyata adalah seorang kurir wajib
pajak.
“Saya mohon keringanan,Pak,” sang tamu mengiba. “Tolonglah saya.
Perusahaan kami akan oleng kalau harus membayar pajak begitu
tinggi. Tolonglah saya. Tolonglah perusaahan
kami. Ratusan karyawan harus diselamatkan.”
Di depan sang pe-en-es yang
mengenakan dasi itu, tamu dari sebuah perusahaan besar itu terus meminta
bantuan dan pertolongan agar pajak yang dipatok tidak terlalu tinggi.
“Tidak bisa!,” sahut sang pe-en-es. “Saya hanya melaksanakan tugas
negara. Pajak anda adalah untuk membangun negara. Kalau semua wajib pajak
meminta keringanan, negara ini akan tetap kumuh,akan bangkrut dan gagal. Rakyat
miskin perlu pembangunn. Jalan-jalan dan jembatan perlu diperbaiki. Jutaan
pe-en-es perlu gaji. Dari mana semua biaya negara kalau tidak dari pajak?.” Sang pe-en-es menuturkan tugasnya yang mulia
untuk memakmurkan masyarakat dan negara.
“Saya mohon pengertian bapak. Saya yakin keluarga bapak butuh
kesejahteraan. Anak bapak perlu pakaian bagus dan uang sekolah. Saya mohon keringanan,” sang tamu terus meminta belas kasihan. “Saya membawa uang untuk bapak.”
Dalam gedung bertingkat itulah terjadi tawar menawar soal pemasukan uang
negara. Yang seharusnya diterima oleh
negara sebanyak tiga milyar rupiah, tapi
masuk kas hanya satu milyar. Sang pe-en-es menerima sejumlah uang sebagai ucapan
terima kasih.
Laila melihat dengan jelas sang
pe-en-es menerima sejumlah uang dalam kardus. Tentu jumlahnya jutaan
rupiah. Uang sebanyak itu adalah untuk
dirinya sendiri, bukan untuk negara.
Dan sang pe-en-es belum puas dengan segepok uang yang diberikan
tamunya. Beda dengan srigala di padang rumput yang hanya
butuh seekor domba untuk perutnya sendiri. Sementara sang pe-en-es masih tetap
butuh uang. Uang untuk isterinya, untuk anaknya, untuk kerabatnya. Sang
pe-en-es masih butuh uang untuk mertuanya, untuk membangun rumah, untuk membeli
mobil mewah. Dia tetap saja butuh uang dari tamu-tamunya.
“Lihatlah tingkah manusia itu,Laila. Tamak dan rakus!,” terdengar suara dari langit di telinga Laila
yang belum sadar dari pengaruh bius. “Manusia lebih tamak dari srigala. Manusia
lebih rakus dari binatang. Manusia lebih busuk dari hewan. Kalau srigala
mencari makan untuk dirinya sendiri, tapi manusia mencari uang untuk membeli
mobil, rumah mewah dan untuk kerabatnya. Juga untuk disimpan di bank di
luar negeri.“
Obat bius yang disuntikkan dokter
ahli anastesi menyebabkan Laila seperti melayang- layang. Malaikat di langit
seperti ingin menunjukkan kepada Laila,bahwa kehidupan dikota sudah diwarnai
dengan kebusukan, tamak dan jorok. Malaikat di langit seperti ingin menunjukkan
kepada Laila, bahwa manusia lebih rakus dari srigala. Lebih jahat. Malaikat di
langit seperti ingin menjunjukkan, bahwa manusia sudah tidak punya rasa malu
lagi. Menumpuk kekayaan dan akhirnya harus meringkuk dalam penjara.
Dan yang menumpuk kekayaan seperti itu, tidak hanya pejebat pelayanan
pajak, tapi juga gubernur, bupati, kepala daerah dan juga anggota de-pe-er.
Semua ingin kaya. Semua ingin mobil dan
rumah mewah. Semua ingin membahagiakan
istrinya, juga anak dan kerabatnya. Semua mencuci uang dari hasil
kejahatan. Ramai-ramai mereka membobol
uang negara.
Menit-menit terus berlalu. Laila belum juga sadar dari pengaruh suntikan
dokter ahli anastesi. Di ruangan lain,
di gedung yang tinggi, Laila juga melihat orang berdasi menyerahkan sejumlah
uang sebagai balas jasa. Ketika itulah, ketika pemberian uang sebagai balas
jasa itu sedang berlangsung, tiba-tiba
muncul petugas ka-pe-ka.
Pemberian dan penerimaan uang suap itu tertangkap tangan. Keduanya
diborgol dan digiring untuk dijebloskan dalam bui. Barang buktipun disita.
“Itulah yang banyak terjadi di negeri ini,Laila!,” suara itu terdengar dari langit.
“Penjara sudah penuh bukan oleh srigala yang memangsa domba. Tidak ada
hewan yang masuk bui. Yang ada hanyalah manusia-manusia yang punya jabatan
seperti gubernur, walikota, bupati dan anggota de-pe-er.”
Laila hanya menghela nafas panjang dan berat. Kebusukan sudah merajalela
dimana-mana di negeri yang elok ini. Penjara sudah penuh dengan penjahat
berdasi. Bui sudah penuh dengan tikus. Negeri ini sudah diambang kehancuran
karena tikus-tikus jahat itu.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, bahwa penghuni penjara tidak hanya
lelaki berdasi, tapi juga perempuan. Perempuan di negeri ini juga sudah tidak
punya harga diri. Tidak punya malu. Tidak punya
rasa takut.
***
S
|
udah cukup lama
Laila tidak sadar ketika tangan-tangan
para dokter bekerja untuk mengetahui dan mengobati pada matanya. Dokter sudah
mengambil cairan dari mata gadis cilik itu. Dokter juga sudah mengupas kornea
matanya. Hasilnya harus diperiksa di
laboratorium
“Banyak sekali yang kulihat, Iqbal!” suara Laila lirih ketika dia
dipindahkan dari ruang operasi ke ruangan perawatan biasa.
“Apa saja yang kamu lihat?,” sahabatnya ingin tahu.
“Banyak!. Ada
domba yang jujur dan berhati mulia. Tapi lebih banyak manusia yang lebih jahat
dari binatang.”
Dunia di depan gadis cilik yang malang itu tetap saja
gelap gulita. Gelap dimana-mana,padahal dokter ahli penyakit mata di rumah
sakit itu sudah bekerja sangat maksimal. Semua sudah dilakukan, mulai dari
membersihkan kornea mata, hingga
pemeriksaan sistem getah bening . Para dokter yang sudah amat banyak mendapatkan
pengalaman itu gagal untuk menolong Laila
untuk dapat melihat seperti layaknya manusia normal. Laila tetap saja
sebagai gadis buta.
“Kami sudah bekerja maksimal sesuai
dengan sumpah kedokteran. Kami sudah banyak berbuat, tapi Tuhan jua yang
menentukan, bahwa kami tidak dapat menyembuhkan anak ibu!,” kata ketua tim yang
menangani kasus sepasang mata Laila kepada Bu Hartati yang membawanya ke rumah
sakit itu..
“Apa yang terjadi atas diri anak
saya?. Penyakit apa yang diderita anak angkat saya,dokter,” dengan perasaan
amat sedih Bu Hartati bertanya pada dokter di depannya.
“Kami menemukan sesuatu pada bola
mata anak ibu ,” sahut dokter ahli mata di rumah sakit itu.
“Apa yang ada di mata anak saya?”
“Dari hasil pemeriksaan menyeluruh,
ditemukan sejenis kanker mata pada anak ibu,”
Seperti disambar petir di siang
bolong yang amat cerah, keterangan dokter itu amat mengejukan Bu Hartati. Setitik demi setitik air mata
mengalir di pipi Laila. Sahbatnya hanya mampu menunduk sedih.
“Ditemukan primitiv
neuroectodermal tumour pada sepasang mata anak ibu,” dokter itu
berkata sejujurnya.
“Artinya penyakit mata anak saya
tidak dapat disembuhkan lagi?” Bu
Hartati menatap wajah dokter yang sudah memiliki jam terbang amat banyak dan berkali-kali mengkuti seminar tentang
penyakit mata ditingkat antarbangsa, hingga ke Jerman, Belanda dan negeri Paman
Sam.
“Ditemukan sejenis Ewing Sarcoma,
sejenis sistem getah bening yang sudah menahun pada stadium tiga. Kami
perkirakan penyakit itu sudah ada sejak anak ibu masih dalam kandungan,”
Bu Hartati tidak mampu menahan
derai air mata mendengar ucapan itu. Sia-sia saja Laila sudah menginap di
rumah sakit spesialis mata itu selama hampir
seminggu. Pengobatan secara
kemotrapi sudah dilakukan,tapi sepasang mata itu tetap saja tidak dapat melihat
dengan normal. Dunia di depan Laila tetap saja gelap gulita.
“Kami ingin pulang ke desa,Bu!,”
cetus Laila menyeka air mata di pipinya.
“Tinggallah di rumah ibu beberapa
hari lagi!,” Bu Hartati yang hatinya lembut berusaha mencegah dan
menghibur.
“Kami sudah rindu desa
kami,Bu,” sahut Iqbal. “Kami sudah sangat
rindu pada debur ombak, rindu pada pantai, rindu pada pasir putih yang
terhempang luas dan rindu pada laut.”
“Kalau memang demikian, ibu akan
mengantar kalian pulang esok hari.”
sahut Bu Hartati.
“Terima kasih. Kami sudah sangat
banyak menerima kebaikan ibu. Pada saat ini sulit mendapatkan kebaikan seperti
dari ibu.”
“Sebenarnya ibu ingin kalian berdua
lebih lama di rumah ibu. Siapa tahu ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit
mata Laila”
“Terima kasih,Bu . Keterangan dokter
sudah jelas mengatakan, bahwa Laila tetap saja tidak dapat melihat.”
“Sesekali nanti ibu akan datang ke
desa kalian untuk melihat laut dan membeli ikan-ikan segar yang dibawa oleh
nelayan pulang dari tengah laut.” ujar
Bu Hartati lagi.
“Laut kami selalu terbuka terhadap
siapa saja. Datanglah pada saat ada upacara jamu laut nanti. Ibu akan melihat
bagaimana ramainya upacara itu untuk memohon keselamatan bagi semua nelayan.”
Masih sempat Iqbal bertutur tentang
upacara jamu laut yang dilakukan setiap tahun di tepi pantai. Setiap warga
nelayan, setiap warga Melayu pasti tahu apa makna upacara jamu laut.
***
S
|
epasang elang
terbang rendah ketika kedua bocah itu pulang ke desa kelahirannya di pinggir
Selat Malaka. Nyiur yang tumbuh di
sepanjang pantai melambai-lambai seperti mengucapkan selamat datang ke desa
tercinta. Desau angin seperti mengutarakan kegembiraan hati semua penghuni desa
pantai itu.
“Pulanglah,wahai anak nelayan.
Pulanglah ke desa. Pasir putih yang terhempang luas sangat merindukanmu. Laut
juga merindukan kalian berdua. Pulanglah. Pulanglah. Jangan tinggalkan desa
yang amat elok ini.”
Sepasang elang yang terbang rendah
itu seperti ingin mendekat, seperti memperdengarkan senandung puak Melayu yang
amat enak didengar:
Putek
pauh jang delima batu
Anak
sembilang nak di tapak tangan
Sungguh
jauh nak beribu batu
Ilang
di mato di ati jangan
Kalaulah
gugur…gugur kepoyang
Jatoh
ke bumi tobang melayang
Jatoh
ke bumi tobang melayang
Tidor
anakku tidorlah sayang
Agar
omakmu bisa ke ladang
Biar
ayahmu bisa ke laut
Kalaulah
gugur nak gugurlah nangko
Usah
diitimpoh nai oi..ai ranteng paoh…
Kalau
nak tidor nak tidorlah mato
Jangan
dicinto …ayah di tengah laut…
Senandung itu
terasa amat indah di dengar. Rasanya
Iqbal dan sahabatnya seperti terayun-ayun di tengah samudera sambil melantunkan
salawat badar atau barjanzi.
Mobil itu sudah memasuki kawasan
pedesaan yang dihuni oleh ratusan nelayan. Bau amis sudah tercium di rongga
hidung.
Mobil yang
mengantar Laila dan sahabatnya meluncur perlahan. Anak-anak nelayan menyambut
kepulangan Laila dan Iqbal dengan luapan kegembiraan. Semua mengucapkan selamat
datang.
Dua bocah penghuni pantai itu
sengaja diantar dengan mobil dan di bagasi belakang tampak belasan kardus
berisi mie instan, kecap, bawang, sambal dalam botol, minyak goreng .gula
pasir, gula aren dan banyak lagi. Semua itu adalah oleh-oleh dari Bu Hartati
sebagai luapan terima kasih. Dan Bu
Hartati berharap dengan oleh-oleh itu Bunda Subang, ibunda yang melahirkan
Laila ke dunia, dapat membuka usaha warung sembako. Dua amplop berisi uang juga
diberikan Bu Hartati untuk modal membuka warung sembako. Satu amplop untuk
Bunda yang melahirkan Laila dan satu lagi amplop untuk Iqbal, untuk biaya
pemasangan listrik di rumahnya yang selama ini hanya diterangi lampu minyak
tanah bila malam hari.
Hanya beberapa puluh meter sebelum
Laila tiba di rumahnya, dia melihat sekelompok anak sedang bermain. Iqbal juga
melihat belasan anak sedang membuat orang-orangan seperti pengusir burung
diladang lalu diberi pakaian perempuan. Mereka sedang memainkan Lukah Menari.
Seorang pawang membacakan mantera:
Tahasih,
tahasih
Mak
Si Banding siat lukah
Jumpa
bemban sikutari
Kalau
nak nengok lukah menari
Nak
nengok kaya Allah
Ke
ceti kambing keceti
Ke
tasik ke gumba jangan
Ingat-ingat
dalam hati
Kataku
tadi lupa jangan
Ke
kebun kita ke kebun
Jangan
dibeli mangkok kerang
Berhimpun
kita ke balai Datuk
Mak
si Banding gila seorang
Hilir
lorah, mudik lorah
Siku
bemban sikutari
Kalau
ada di permudah
Nak menengok lukah menari
Bait mantera itu
diakhiri dengan ucapan penuh semangat:
“Jangan kau beri malu,bangkitlah
menari. Bangkitlah dia”
Seperti sebuah keajaiban,
orang-orangan berbentuk seperti pengusir burung di ladang itu dapat bergerak
menari. Itulah Lukah Menari. Semua bocah penghuni pantai itu amat bergembira.
Itulah kegembiraan anak nelayan. Tidak ada video game. Tidak ada mainan
elektronik. Tidak ada ha-pe. Semuanya masih amat tradisional.
Seperti halnya Laila dan Iqbal,
anak-anak nelayan sudah diajarkan oleh orang tuanya tentang berbagai
mantera,seperti mantera memanggil angin, mantera jamu sawah dan jamu bendang,
mantera menjeput semangat,mantera mengambil lebah hingga mantera untuk
mengobati sakit polong.
***
H
|
adir di sekolah
dengan wajah cerah amat ceria, itulah Laila dan sahabatnya, Iqbal. Di kelasnya
masing- masing , bocah yang baru pulang
dari kota
itu menjadi pusat perhatian rekan-rekan sesama siswa, sebab Laila hadir di
sekolah dengan tas baru, pakaian seragam
dan sepatu baru. Semua adalah hadiah
dari Bu Hartati yang amat baik hati.
Ketika jam pelajaran usai, Laila
menghambur keluar kelas dan sahabatnya
sudah menunggu di halaman. Mereka berjalan berdampingan menyusuri hamparan
pasir yang luas. Kaki mereka meninggalkan jejak di atas pasir.
Angin spoi berhembus lembut,
membelai rambut Laila yang tergerai. Elang laut terbang rendah mengintai
mangsanya. Laila berhenti melangkah.
“Kenapa berhenti?,” Iqbal bertanya.
“Kita duduk dulu di atas pasir.”
“Untuk apa?”
“Aku ingin membuat istana dari pasir.
Bukankah rumah kita hanya gubuk?. Kita hanya mampu membangun istana dari pasir. Entah kapan
nasib nelayan akan berubah dan kita bisa
membangun rumah seperti rumah Bu Hartati di kota .”
“Berdoalah, mungkin mukjizat Tuhan
akan turun. Kalau semua anak nelayan berdoa, Tuhan akan mengabulkannya. Jangan
ada anak nelayan yang mengotori pantai ini!”
Laila meletakkan tas sekolahnya di
atas pasir yang sudah kering. Sahabatnya mulai mengumpulkan pasir dan mereka
bersama-sama membangun sebuah istana dari pasir. Beberapa saat kemudian mulai
berdiri sebuah istana palsu.
“Kita sudah berhasil membangun
sebuah istana.” terdengar suara Iqbal di antara debur ombak laut yang
membentur pantai dan laut sedang surut sehingga tampak hamparan pasir putih yang terhempang amat luas.
“Andainya aku dapat melihat, tentu
dapat menikmati keindahan istana yang kita bangun bersama,” suara Laila seperti sebuah keluhan.
“Siapa yang memberi nama istana yang
sudah kita bangun bersama?,” tanya
sahabat Laila dan menatap istana dari
pasir di pantai yang luas itu.
“Aku!”
“Aku!
“Aku!. Aku yang memberinya
nama!.” Mereka saling berebut untuk
memberi nama istana dari pasir itu. Akhirnya Iqbal menyerah.
“Apa namanya?”
“Istana Kuta Galuh!”
“Sebuah nama hayalan?”
“Bukan!. Ibuku pernah bercerita, di
Perbaungan pernah ada istana kesultanan, yakni
Istana Kuta Galuh. Ibuku selalu
bercerita ketika menjelang tidur. Ibuku selalu bertutur tentang beberapa kesultanan
Melayu.”
“Salah satunya Istana Kuta Galuh?”
“Ya!.”
“Siapa raja yang berkuasa di sana ?”, Iqbal ingin tahu.
“Kata ibuku yang berkuasa adalah
Tuanku Sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah. Beliau sangat perkasa dan
bijaksana dalam menjalankan pemerintahan.”
“Kamu ingat, kapan Sultan itu hidup?”
“Seribu delapan ratus enam puluh
enam hingga sembilan belas empat enam.”
“Hebat kamu,. Kamu ingat semua
penuturan ibumu.”
“Kata ibuku, setiap anak Melayu harus tahu, satu atau dua
orang sultan-sultan Melayu yang berjaya
memerintah daerah Melayu.”
“Kamu tahu siapa lagi yang pernah
jadi sultan di Tanah Melayu itu dan berhasil membangun negeri?”
“Tentu saja aku tahu!”
Seperti seorang guru yang sedang
berdiri di depan kelas, Laila menyebut beberapa sultan yang pernah berkuasa di
kerajaan Melayu yang tersebar di Sumatera Timur. Laila menyebut nama Tuanku
Sultan Ainan Johan Alamsyah.
Laila menyebut masa hidup sultan
pemegang tahta kesultanan Serdang tahun 1762 hingga 1817. Laila juga menyebut
sultan Serdang ke III, yakni Tuanku
Sultan Thaf Sinar Basarsyah.
“Ibumu hebat,Laila. Kamu juga hebat. Kamu bisa jadi ahli
sejarah!,” cetus Iqbal penuh rasa kagum.
“Anak-anak Melayu adalah anak-anak
yang pintar dan cerdas. Andainya kehidupan nelayan memadai, pasti anak-anaknya
jadi orang hebat. Pasti ada yang jadi ahli sejarah. Pasti banyak yang jadi ahli
hukum, insinyur pertanian, insinyur mesin. Kalau kehidupan nelayan sangat lumayan,pasti anak
nelayan, pasti anak-anak Melayu sudah banyak yang jadi dokter dan memberikan
pengobatan kepada keluarga nelayan di
pantai agar hidup sehat dan tidak ada
anak nelayan yang buta seperti aku.”
“Sudahlah,Laila, Jangan sesali
nasib.”
Di antara debur ombak yang membentur
pantai, di antara angin spoi yang mempermainkan pucuk pohon nyiur, Laila
berkata tentang istana kesultanan Kuta Galuh di Perbaungan.
“Istana di Kuta Galuh terdiri dari
enam tingkat,” ujar Laila lagi meneruskan cerita ibundanya ketika menjelang
tidur.
“Kalau begitu istana itu sangat
megah!,” Iqbal kagum.
“Tentu!. Tingkat satu dan dua adalah
ruangan sultan menerima tamu terhormat. Tingkat ketiga untuk tempat menyimpan
benda-benda bersejarah regali-regalia serta alat-alat kebesaran dan pakaian para raja Melayu. Tingkat kelima
merupakan tempat keluarga raja bersantai-santai. Di bagian belakang terdapat
ruangan khusus untuk permaisuri.”
“Di istana itu juga ada taman?.”
Iqbal ingin tahu.
“Tentu saja. Sultan juga senang
keindahan,makanya di halaman istana ada taman yang disebut Taman Sari. Di taman
itu tumbuh berbagai bunga yang warna-warni berbagai jenis.Anggrek, mawar,
melati ada di sana
dan harum semerbak.”
“Alangkah indahnya istana itu!.,”
Iqbal terkagum-kagum dan di matanya terbayang sebuah istana yang indah. Dan
megah.
“Ada lagi hal-hal yang istimewa di istana Kuta
Galuh itu?”
“Ada !”
“Apa?”
“Pada malam-malam tertentu diadakan hiburan untuk rakyat,. Sultan
memiliki alat-alat kesenian yang sangat terkenal di kalangan masyarakat
Melayu.”
“Pasti kesenian Makyong dan
Mendu!,” cetus Iqbal yang sudah dapat menduga apa yang ada dalam
benak sahabatnya. Makyong adalah cagar budaya suku Melayu yang tidak akan
hilang ditelan jaman.
Iqbal pernah mendengar sekelumit
tentang kesenian Makyong. Iqbal pernah
mendengar Makyong selalu membawa lakon-laon Dewa Indra, Anak Raja Panah, Gading
Bertimang dan banyak lagi. Sebagian puak
Melayu beranggapan, bahwa kesenian tradisional Makyong berasal budaya Hindu
Jawa.
Alat-alat kesenian Makyong tersimpan
di istana itu,seperti rebab tunggal, gendang panjang, dua telawak atau gong,
serunai, dua telempong, sepasang kesi, gong ceper dan ceracap dari bambu.
“Rakyat pasti sejahtera di kawasan
itu,” cetus Iqbal membayangkan kehidupan di masa lalu.
“Begitulah kata ibuku. Rakyat
makmur, panen raya menghasilkan padi yang melimpah. Pihak kraton membangun
masjid dan rumah dimana-mana agar warganya menjadi warga yang baik serta tidak
bodoh. Sultan sangat disegani dan dicintai rakyatnya.”
Tidak pernah ada demontrasi, tidak
pernah ada kerusuhan, tidak pernah ada pejabat kesultanan yang melakukan
korupsi. Tidak ada yang menyebut negara gagal dan pemimpin zolim.
“Sultan mengangkat
pembantu-pembantunya dari kalangan orang pintar
dan jujur,”
“Hmmm,” Iqbal bergumam penuh kagum.
Di benaknya masih terbayang kehidupan masa lalu dijaman kesultanan yang
dipimpin Tuanku Sultan Sulaiman Syahriful Alamsyah.
Meskipun masih bocah yang duduk di kelas IV, tapi Laila ingat
benar kesultanan yang disebut bundanya
memiliki hubungan baik dengan
kraton Kuta Galuh, seperti kesultanan Lima Laras Batubara, Kesultanan Bedagei,
Percut, Senembah, Patumbak, Serbajadi, Denai, Pantai Cermin serta Bandar
Labuhan dan banyak lagi.
“Sekarang kraton Kuta Galuh sudah
tidak ada lagi. Warga Melayu terkadang merindukan kehidupan yang makmur
sejahtera seperti masa lalu,” cetus Laila kemudian. “Harga sandang pangan murah dan melimpah.
Tidak ada busung lapar.”
“Kedamaian dan sejahtera yang
menyeluruh memang itulah yang diinginkan semua rakyat kita. Entah kapan keadaan
seperti itu akan kembali lagi.”
Tiba-tiba saja ombak besar
menghempas hingga menyentuh kaki kedua bocah itu, hingga meruntuhkan istana Kuta
Galuh dari pasir yang dibangun kedua
bocah cilik yang saling bersahabat itu.
Sepasang bocah itu berjalan pulang
ketika air pasang mulai naik.
Laila menemui bundanya sedang melayani pembeli. Bantuan Bu Hartati memang
amat besar untuk keluargnya. Bundanya kini membuka warung sembako. Pembeli
mulai banyak. Kecap, mie instan, gula dan cabai adalah jualan yang paling
laris. Kini kehidupan Laila dan bundanya mulai membaik.
Betapa amat nikmat pulang sekolah,
di rumah sudah tersedia masakan bunda
tercinta, gulai kepah. Akan halnya Iqbal juga menikmati masakan khas Melayu,
anyang pakis dan pindang ikan kembung. Setiap perempuan suku Melayu memang
selalu pintar memasak hidangan khas Melayu. Jangan jadi orang Melayu kalau tidak bisa memasak
lauk ayam masak putih. Jangan jadi perempuan Melayu kalau tidak bisa membuat
bubur pedas atau gulai lemak labu dan cendawan kukuran. Nasi Ulam Deli serta
panggang ikan jurung adalah lauk paling istimewa bagi keluarga Melayu. Juga
roti jala dan kue rasidah.
Kedua bocah yang saling bersahabat
itu bersyukur dilahirkan dalam puak Melayu yang memiliki budaya tinggi,meskipun
mereka amat sederhana dan terbilang miskin. Tapi nasib yang dialami keluarga
Laila mulai berubah sejak bundanya membuka
usaha warung sembako yang merupakan uluran tangan Bu Hartati.
***
S
|
ampai kapanpun
Laila tetap ingat nasihat Bunda Subang, ibunda yang telah melahirkannya ke
dunia, bahwa Rasulullah bersabda, bahwa dunia yang terang benderang penuh
dengan perhiasan. Dan perhiasan yang paling indah adalah istri soleha. Karena
itulah, meskipun dia dilahirkan sebagai gadis yang tidak dapat melihat karena
buta, Laila ingin menjadi seorang istri soleha. Karena itulah , dirumahnya,
Laila tidak hanya belajar memasak gulai
asam podeh, tidak hanya belajar membuat asinan asam glugur, tapi dia
juga belajar membaca Al Qur’an.
Laila ingin jadi seorang qoriah.
Kalau dia dapat membaca surah Ar Rahman dengan baik, siapa lagi yang
mengajarnya kalau bukan Bunda Subang?. Perempuan Melayu meskipun dalam keadaan buta harus pintar membaca Al
Qur’an. Dari siapa Laila tahu kalau Qur’an adalah sebuah mukjizat kalau bukan
dari Bunda Subang, ibunda yang melahirkannya?.
Laila sudah mampu menghafal belasan
surah, di antaranya Ar Rahman, juga surat-surat pendek seperti Adh Dhuha, juga
Al Qari’ah yang berarti hari kiamat. Apalagi surah Al Lail sebab surah itulah
yang diajarkan pertama kalinya oleh bunda Subang. Surah yang sering dibaca
bundanya menyebabkan ketika bayinya lahir kedunia diberi nama
Nur Laila yang berarti sinar di
malam hari..
Di rumah Laila belajar membaca Al
Qur’an dengan bundanya, tapi diluar
rumah dia belajar yang sama dari sahabatnya, Iqbal di atas perahu. Sepasang
sahabat itu tidak hanya bermain pasir di pantai, tidak hanya menikmati belaian
angin, tapi juga belajar membaca Al Qur’an. Kalau Laila fasih membaca surah Al
A’laa yang maknanya paling tinggi,siapa lagi yang mengajarnya kalau bukan
sahabat kentalnya,Iqbal?.
Berhari-hari di antara debur ombak,
Iqbal yang selalu membawa Qur’an berukuran saku, membacanya, diikuti Laila
hingga benar-benar fasih.
Seperti hari itu, sepasang sahabat
itu mengayuh sampan hingga ke tengah, juga untuk belajar membaca surah Yassin
yang jumlahnya 83 ayat. Iqbal mengangkat pendayung sampannya.
“Kenapa berhenti,Iqbal?,” terdengar
suara Laila di antara debur ombak.
“Kita sudah jauh di tengah. Sudah
sepi. Yang terdengar hanya suara ombak.”
“Aku mendengar suara elang.”
“Ya, ada sepasang elang terbang di
atas kita.”
“Sendirikah elang itu?”
“Tidak!. Elang itu bersama pasangannya
mengintai mangsa.”
“Alangkah indahnya dunia elang,
dapat terbang tinggi dan dapat melihat seluruh isi dunia.”
“Kita juga berbahagia,Laila.
Bukankah kamu dapat menghafal ayat-ayat
Qur’an meskipun kamu tidak dapat melihat?”
“Karena ada kamu ,Iqbal. Kamu yang
banyak mengajarku.”
“Aku juga mendukung kalau kamu ingin
jadi seorang qoriah, siapa tahu setelah dewasa nanti dan ikut em-te-qyu
hadiahnya adalah pergi beribadah ke tanah suci. Siapa tahu ada mukjizat di sana
dan kamu dapat melihat dengan sempurna.”
“Amien!”
Iqbal membuka Qur’an berukuran saku
yang selalu dibawanya ke pantai. Lelaki remaja belia itu mulai membaca ayat ke
39 dari surah Yaasin dan Laila mengikutinya:
“Walqamara qaddarnaahu manaazila
hatta aada kal’urjuunil qadiem. Lasysyamsu yanbaghie lahaa antudrikal qamara
walallailu saabiqunnahaar, wakullun fie falaqin yasbahuun.”
Tidak perlu mengulang-ulang ayat
itu, langsung tersimpan dalam kepala Laila dan dapat membacanya dengan lancar.
Juga ayat berikutnya:
“Wa-aayaatuni lahum anna hamalnaa
dzurriyyatahum fil-fulkil-masyhuun”
“Hebat kamu,Laila. Ayat-ayat itu
mudah melekat di kepalamu.”
Laila hanya tersenyum.
“Mudah-mudahan setelah kamu dewasa
jadi pemenang em-te-qyu dan hadiahnya tiket ke tanah suci lalu berdoa di sana dan mukjizat diturunkan
Tuhan kepadamu, pulang ke pantai ini setelah dapat melihat.”
“Amien!’, Laila hanya mengaminkan
dan penuh harap.
Ada rasa kagum yang menggunung dalam
hati Iqbal terhadap Laila. Belum seminggu
seluruh ayat surah Yaasin sudah lekat di kepala gadis malang itu.
“Kamu memang memiliki kelebihan yang
luar biasa!,” gumam Iqbal. Begitulah anugerah Tuhan, Laila memang tidak dapat
melihat,tapi pendengarannya amat tajam. Juga daya ingatnya. Juga pula pikirnya.
Laila adalah seorang gadis paling pintar di sekolahnya,padahal dia gadis
tunanetra.
Bundanya selalu bertutur kepadanya,
kelak kalau sudah menikah dan hamil harus rajin membaca Qur’an, terutama surah
Yusuf, agar anak yang dilahirkan kelak adalah bayi yang cantik. Juga surah
Maryam untuk mendapatkan anak yang soleh. Surah Lukman juga harus dibaca untuk
mendapatkan anak yang bijak serta surah Yaasin agar sang calon ibu mendapat
kemudahan ketika melahirkan.
Bagi Laila kata-kata bundanya adalah
petuah yang akan selalu diingatnya sepanjang hidup. Petuah bagi gadis
Melayu adalah permata indah yang harus
disimpan dalam hati.
***
P
|
erubahan sudah
terjadi di desa pantai itu seiring berjalannya waktu, sejalan dengan geraknya
matahari dari ufuk timur hingga
tenggelam di belahan barat dan esok terbit lagi. Laila sudah tumbuh sebagai
gadis yang cantik. Pipinya kemerahan, apalagi setelah gadis itu duduk di
sekolah lanjutan. Kawan-kawannya makin banyak ,seperti Alang, Ngah. Uteh, Andak
dan banyak lagi. Tapi baginya kawan yang paling setia dan seiring jalan tetap
saja Iqbal. Dan Laila tetap saja seorang
gadis yang paling pintar di sekolahnya. Wawasannya semakin luas,apalagi setelah
di rumahnya sudah ada tv berwarna meskipun berukuran kecil, meskipun Laila
tidak dapat melihat gambarnya. Yang dinikmati Laila hanya suaranya.
Dari mana uang bunda Subang untuk
dapat membeli sebuah pesawat tv kalau bukan dari warung sembako yang dibukanya
atas imbauan Bu Hartati?. Dari suara yang didengar lewat tv, Laila tahu keadaan
dunia, tentang perang yang terus berkecamuk di Timur Tengah, tentang banjir di
tanah air, tentang jumlah rakyat miskin di negeri ini yang semakin berkurang.
Sekarang Laila bukan lagi anak
nelayan yang hidup miskin. Sekarang
Laila adalah seorang gadis yang lumayan hidupnya. Warung sembako yang
dibuka bundanya di desa itu maju sangat
pesat.
Siapa pula tamu yang sering datang
ke desa di pinggir laut itu, kalau bukan Bu Hartati?. Perempuan kelahiran Solo
itu amat senang melihat pipi Laila yang kemerahan. Perempuan kelahiran Jawa
Tengah itu selalu datang ke desa itu
tidak pernah dengan tangan hampa. Istri
pemilik kebun yang luasnya lebih dari 1.000 hektar itu selalu membawa buku-buku
berhuruf braille sehingga Laila semakin
mengenal dunia. Bagi Laila, buku adalah
jendela untuk melihat dunia. Laila sekarang tahu pemimpin-pemimpin dunia
seperti Hitler, Yasser Arafat, Gandhi, pujangga Jawa yang sangat termasyhur
Ronggowarsito dan juga penyair nusantara
ternama Hamzah Fansuri yang hidup di abad 17 dan abad itu penuh dengan
monunmental karya besar orang Melayu.
Dan hadiah dari perempuan asal Solo itu yang tidak ternilai
harganya adalah sebuah Al Qur’an yang ditulis dalam haruf braille. Hati Laila berbunga-bunga menerima hadiah
itu.
“Terima kasih,Bu. Terima kasih. Saya akan selalu membacanya, tiap malam. Saya
akan jadi juara em-te-qyu nanti,” cetus
Laila dan berkali-kali mencium tangan Bu Hartati.
“Ibu memberikan hadiah ini
sebagai tanda bersyukur. Usaha bapak
semakin berkembang ,” ujar istri pemilik perkebunan kelapa sawit itu.
“Saya ikut bersyukur,Bu,” sahut
Laila dan ada air mata mengalir di pipinya yang kemerahan.
“Faisal,putra ibu , sudah diwisuda
menjadi insinyur pertanian. Tahun ini bapak akan menambah luas kebunnya dan Faisal akan memegang kendali di sana .”
“Pintu rezeki sedang terbuka untuk keluarga
ibu,” cetus Laila lagi. “Mudah-mudahan Bang Faisal menjadi orang yang sukses,
tidak sia-sia menimba ilmu di perguruan tinggi.”
Perempuan asal Solo itu memang selalu mendampingi suaminya ke areal
perkebunan yang terletak jauh di pedalaman, ratusan kilometer dari rumahnya .
Usaha perkebunannya terus berkembang ,
itu artinya akan menyerap belasan buruh. Itu artinya mengurangi
pengangguran di negeri ini. Itu artinya ikut menyumbang negara berupa pajak.
Suami Bu Hartati adalah seorang
pemilik perkebunan yang memahami manajemen , memahami bahwa saat ini luas lahan
perkebunan kelapa sawit di tanah air
mencapai 7 juta ha . Kelapa sawit hingga
saat ini masih merupakan primadona
ekspor.
Seorang pendatang dari seberang laut
yang sukses di tanah Sumatera, itulah Bu Hartati dan suaminya. Tidak sia-sia Bu
Hartati dan suaminya berangkat ke tanah
suci menunaikan ibadah haji. Pulang dari Makkah suami Bu Hartati membangun
sebuah masjid di tengah perkebunan itu. Tiap waktu sholat fardhu, masjid itu
selalu dipenuhi dengan jamaah yang
sebagian besar adalah warga Jawa. Bukankah di Sumatera penduduk yang terbesar
jumlahnya adalah warga Jawa?. Sebab jaman penjajah Belanda dulu, ratusan ribu
warga Jawa diboyong Belanda ke Sumatera
sebagai buruh kontrak yang dipekerjakan di berbagai perkebunan.
Sekarang buruh kontrak itu beranak
pinak yang jumlahnya jutaan jiwa,melebihi jumlah puak Melayu, Batak,
Mandailing, Aceh dan Minang.
Sebagian besar keturunan Jawa
kontrak itu masih tetap memegang teguh adat istiadat Jawa. Wayang masih tetap
digemari oleh karyawan perkebunan.
Kuda lumping masih selalu dimainkan orang dimana-mana. Upacara sakral bersih
desa masih selalu dilakukan di kampung-kampung. Kesenian Jawa seperti ketoprak dan ludruk masih digemari
orang.
Perempuan keturunan buruh kontrak
yang sedang hamil pada usia 7 bulan kehamilannya masih tetap melaksanakn
tingkeban. Plasenta atau ari-ari bayi masih tetap ditanam, lalu selama 40 hari
tiap malam diterangi lampu minyak tanah. Dan bayi-bayi yang sudah berumur 7 x 35
hari oleh orang tuanya dilakukan upacara turun tanah. Upacara turun tanah
ditandai dengan sesaji nasi tumpeng,
jenang, jajan pasar, juwadah, bunga-bunga, sangkar ayam, padi, beras kuning dan
uang serta perhiasan. Itulah budaya Jawa.
Keturunan Jawa masih tetap ingat
nama Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga,ulama besar yang menyampaikan dakwanya
lewat seni budaya. Banyak keluarga Jawa di Sumatera yang melantunkan Tembang
Macapat menyambut bayi lahir ke dunia..
Banyak masyarakat Jawa sudah puluhan
tahun menetap di Sumatera,tetapi mereka masih tetap menghormati leluhurnya.
Mereka tidak pernah lalai melakukan sedekah ngeblak atau sertana,yakni kenduri
pada seseorang meninggal dunia. Juga sedekah nelung dina,yakni kenduri malam
ketiga setelah seseorang meninggal yang diiringi sedekah mitung dina, sedekah
matang puluh dina, hingga sedekah mendak pisan, mendak pindo serta sedekah
nyewu atau sedekah nguwis-nguwisi.
***
P
|
intu rezeki
sedang terbuka lebar-lebar di depan keluarga yang berasal dari Solo itu. Perkebunan
kelapa sawit milik keluarga itu semakin berkembang karena dikelola oleh
tangan-tangan yang dingin. Suami Bu
Hartati menggandeng mitra kerjanya yang
profesional dan memahami manejemen perkebunan.
Suami Bu Hartati tidak harus merasa lelah keluar masuk laboratorium dan
penelitian kelapa sawit. Bila ada tanaman yang daunnya kering, lelaki itu
segera membawa sebongkah tanah di bawah pohon yang daunnya layu untuk diteliti. Dari laboratorium dan penelitian itu didapat
pupuk yang sesuai sehingga pohon kelapa
sawit benar-benar sehat dan menghasilkan buah segar yang maksimal.
Kalau usaha perkebunan itu
berkembang pesat, karena kerja keras pemiliknya, karena pengelolaannya yang
tidak mengenal lelah. Dan juga karena
doa-doa pemiliknya.
Bila keluarga
asal Jawa Tengah itu kini hidup mapan di Sumatera, bukan karena mereka telah
menempuh jalur pesugihan yang banyak dilakukan orang. Seperti halnya yang
dilakukan oleh Mas Kuntoro, yang awalnya adalah pengusaha tahu tempe
kecil-kecilan di pinggir kota . Namun sekarang usaha tempe-tahu milik Mas
Kuntoro yang berasal dari Wonogiri itu melejit seperti satelit. Lelaki asal desa Tirtomulyo itu sekarang kaya
raya, rumahnya lebih dari tiga dan semuanya mewah, mobilnya bagus, karnyawannya
lebih dua puluh lima
orang. Tapi sayangnya tidak punya
anak.Setiap istrinya hamil dan melahirkan, bayinya pasti meninggal. Bahkan
untuk menghindari kematian bayinya,lelaki kelahiran Tirtomulya Wonogiri itu
memilih rumah sakit besar bertaraf internasional di Singapura untuk persalinan istrinya.. Tapi tetap saja
bayi yang dilahirkan istrinya meninggal dunia.
Akhirnya orang-orang terdekatnya
mengetahui apa yang terjadi. Keluarga kaya itu ternyata punya ilmu pesugihan.
Tiap tahun pengusaha tempe
tahu itu pulang ke kampung halamannya ke Wonogiri dan melakukan ritual sesaji
untuk persembahan ,berupa kembang telon, minyak wangi dan secawan darah ayam
cemani. Dulu ketika mendapatkan pesugihan itu, pengusaha tahu tempe itu harus puasa tiga hari dan menanda tangani kontrak dengan syarat
setiap anak yang dilahirkan akan mati dan jadi persembahan untuk eyang penghuni
pohon besar di desa itu. Semua
anak-anaknya jadi tumbal.
Tentang mitos pesugihan itu semua
diceritakan oleh Bu Hartati kepada anak nelayan itu, Laila dan Iqbal
ketika perempuan kelahiran Solo itu menyaksikan acara Jamu Laut di pinggir
laut.
“Meskipun kami sudah bertahun-tahun
menghirup udara Sumatera, tapi keadaan di Pulau Jawa kami selalu tahu,” ujar Bu Hartati polos.
“Banyakkah tempat-tempat mencari
pesugihan di Jawa?,” Laila amat tertarik
pada legenda pesugihan itu.
“Banyak!. Sangat banyak
masyarakat Jawa yang percaya pada mitos itu. Dan tidak jarang
orang-orang yang mencari pesugihan di Watudodol
Banyuwangi, menjadi pengusaha sukses. Juga ke Pantai Selatan atau ke Gunung Kawi.” Bu Hartati
mengungkapkan kepercayaan masyarakat Jawa
yang masih sangat percaya pada mitos pesugihan.
Perempuan kelahiran Solo itu juga
menyebut beberapa tempat yang selalu
dikunjungi oleh mereka yang ingin
cepat-cepat kaya. Makam keramat, goa di pinggir laut, sendang, pohon besar dan
laut terkadang dipercaya dapat memberikan pesugihan. Seperti Gunung
Kemukus Sumber Lawang Sragen, Pantai
Slamaran Pekalongan, Pemandian Kera
Mendit di Malang dan banyak lagi adalah
tempat yang dipercaya menjadi tempat
mendapatkan pesugihan.
“Kami mengelola kebun itu dengan jerih payah, tidak
mengenal lelah dan kerja keras. Demi
Allah, bukan karena pesugihan. Kalau kebun itu mendatangkan rezeki lumayan,
bukan karena pesugihan tapi karena dikelola dengan tangan dingin dan menejemen
yang baik!,” tutur perempuan asal Solo
itu lagi kepada Laila anak nelayan itu . Suaminya adalah sosok lelaki yang ulet
bekerja, hampir tidak mengenal istirahat.
Lelaki Jawa adalah sosok pekerja
keras yang tidak mengenal lelah. Peluhnya bercucuran membasahi bumi Sumatera
pada awal pembukaan kebun kelapa sawit miliknya. Lelaki Jawa itu terjun sendiri ke tengah
kebun ketika perkebunan kelapa sawit baru saja dibangun. Lelaki itu
menyingsingkan lengan untuk memangkas
daun kelapa sawit yang tumbuh menumpuk. Juga memotong bunga-bunga jantan. Lelaki Jawa itu pula yang
giat melakukan penyerbukan buatan. Hama sekecil apapun, seperti hama tungau yang menyerang daun segera
disingkirkan. Tiap hari lelaki Jawa itu bermandi peluh di tengah kebunnya.
Lelaki Jawa itu tidak menginginkan kaya mendadak dengan bantuan pesugihan.
“Ibu senang warisan budaya Melayu
yang Islamy,” ujar Bu Hartati kemudian usai menuturkan mitos tentang
pesugihan . Perempuan kelahiran Solo itu dan dua anak nelayan keturunan Melayu,
Laila dan Iqbal selalu tukar menukar informasi tentang adat budaya daerahnya masing-masing.
“Begitulah adat Melayu,Bu. Tidak
lekang oleh perkembangan jaman.” Sahut
Laila.
“Ibu sendiri sudah jauh meninggalkan
adat budaya Jawa yang berbau Hindu sejak
ibu dan bapak melaksanakan ibadah haji yang pertama dulu.”
“Ya,
saya melihat keluarga ibu sudah beraroma Islamy, seperti halnya
orang-orang Melayu.”
Perempuan asal Solo itu mengunyah
asinan betik yang dibuat Laila sendiri. Tiap perempuan Melayu harus pintar
membuat asinan betik dan asam glugur.
Laila mendapat pujian dari tamunya.
“Salah satu yang ibu tinggalkan adalah upacara ruwatan
terhadap anak. Seperti halnya putra ibu, Faisal, adalah anak tunggal. Warisan
nenek moyang mengajarkan agar terhadap
anak tunggal harus dilakukan upacara ruwatan.”
“Ada unsur agama Hindukah pada acara
itu?,” Laila ingin tahu.
“Ya, sangat sarat dengan pengaruh
Hindu. Karena itulah bagi ibu yang sudah mengikuti banyak sekali majlis taklim,
upacara itu ibu abaikan. Sengaja ibu tinggalkan.”
Perempuan yang berasal dari Solo
yang kini selalu menutup rambutnya dengan jilbab itu menuturkan, bahwa selain
anak tunggal, anak yang lahir pada saat matahari terbit atau terbenam harus
dilakukan ruwatan. Juga anak yang lahir ketika ibunya sedang dalam perjalanan
jauh. Anak kembar juga harus begitu. Harus mengadakan pertujukan wayang dan
berbagai saji-sajian.
“Bagaimana kalau upacara sakral itu
diabaikan,?” Laila ingin tahu.
“Menurut kepercayaan orang tua jaman
dulu, anak tunggal yang tidak diiringi ruwatan akan dimangsa oleh Batara kala.”
“Apakah Batara Kala adalah seorang
raksasa?,” tentu saja Laila ingin tahu.
“Batara artinya dewa dan Kala
maknanya waktu. Batara Kala adalah dewa waktu yang memangsa anak-anak yang dilahirkan tunggal, lahir
kembar, atau lahir menjelang terbit dan tenggelamnya matahari.”
Laila mendengar dengan tekun
penuturan tamunya yang berasal dari Solo. Bahwa Batara Kala adalah mahluk seperti raksasa, hidungnya
panjang dan besar, matanya melotot serta giginya sebesar kampak, perutnya
buncit. Sebentar saja mahluk raksasa itu mengunyah tubuh anak-anak seperti anak
tunggal atau anak kembar.
“Karena itulah dulu orang Jawa
sangat takut anaknya dimangsa Batara Kala sehingga melakukan upacara
ritual yang disebut ruwatan.”, lanjut perempuan yang berasal dari Solo itu. Perempuan itupun menuturkan, para orangtua
yang memiliki anak tunggal harus melakukan ritual ruwatan dengan mengadakan
pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala dan dilanjutkan dengan lakon
Bima Suci.
“Saji-sajian juga dilakukan orang,
agar Batara Kala itu memakan sajian itu sebagai pengganti sang anak
tunggal biar selamat.”
Sebagai orang Jawa yang masih banyak
memiliki kerabat di Magelang, Yogya dan Solo, perempuan itu tahu benar apa yang
harus disajikan untuk Batara Kala yang terdiri dari 36 jenis. Sajian itu berupa
pisang raja, kelapa muda, 4 ikat padi, dua ekor ayam betina dan jantan,kayu
bakar, benang, tikar, ketupat, minyak
wangi, nasi gurih, 7 tumpeng, jenang ,jajan pasar, rujak legi,kain batik dan
banyak lagi.
“Semua sesaji itu untuk sang dewa?”
“Ya!. Sesaji itulah pengganti anak
tunggal yang akan dimakan oleh sang dewa.”
“ Kalau tidak dilakukan upacara ritual itu,apakah Batara Kala itu akan marah?”
“Tentu saja marah dan setiap saat dia terbang diangkasa dan
akan menangkap anak yang lahir tunggal atau kembar.”
“Kasihan kalau anak tunggal akan
dimangsa oleh raksasa itu. Begitulah
nasib anak tunggal atau yang dilahirkan menjelang matahari terbit atau
terbenam.”
“Bang Faisal adalah anak tunggal.
Apakah ibu juga melakukan ritual itu?,”
Laila menatap wajah sang tamu.
Bu Hartati menggeleng.
“Ibu sudah meninggalkan kepercayaan
yang berbau sirik. Ritual ruwatan adalah kepercayaan orang Hindu namun sangat
dipercaya oleh masyarakat Jawa. Dan ibu memang tidak melakukannya.”
“Ibu tidak takut Bang Faisal akan
dimangsa Batara Kala?”
“Mudah-mudahan Tuhan melindunginya.
Dan Faisal ternyata sehat dan kini sudah jadi sarjana pertanian karena
lindungan Tuhan.”
Perempuan kelahiran Solo
yang setiap hari menutup rambutnya dengan jilbab itu masih sempat
mengutarakan sebuah doa yang selalu dilantukannya setiap akhir sholat:
“Robbana hablanaa min azwazinaa wa
zuriatinaa qurotaa aqyuun waja alnaa lil
mutaqinaa immama”
“Setiap orang Melayu juga
mengamalkan doa itu.”
Laila juga mengatakan ,.bahwa
masyarakat Melayu juga percaya pada hal-hal mistik dan gaib, terutama pada
jaman animisme dulu. Di kampung-kampung
banyak dukun yang dapat mengobnati orang sakit dan mampu mengusir mahluk jahat yang
terkadang menjelma jadi ayam putih, harimau, buaya dan mahluk lain. Dulu puak
Melayu percaya ,bahwa di pohon besar, di sungai,bahkan di sawah atau di ladang
ada mahluk halus yang menunggu dan selalu mengganggu manusia.
Laila ke kamarnya dan mencari selembar kertas yang warnanya
sudah kumuh. Di depan perempuan asal Solo
itu Laila membaca sebuah mantera yang tertera dalam kertas yang sudah
kumuh itu:
“O, Datuk,lupalah kami memuja engkau
O,Datuk,
datang rupanya penyakit engkau bawa
O,Datuk,
pergilah dari sini,kembali ke rimba
Semuanya
telah ada kami simpan untuk bekal di jaln
Inilah
periok inilah beras
Bara api beserta ayam
O,Datuk,
tinggalkan kami dengan aman”
Perempuan kelahiran Solo itu
senyum-senyum ketika Laila mebaca matera yang tidak pernah diamalkan oleh ayah
bundanya,kecuali nenek moyangnya dulu.
Imam-imam masjid dan muballigh serta muallim yang selalu memberikan tausyiah
sudah mampu mengikis faham animisme itu.
Sehelai kertas lainnya juga dibacakan oleh Laila, sebuah mantera untuk
mengusir hantu :
“Aku
tahu mulamu jadi
Benih
api menyala
Jangan
lai kau sakiti manusia
Bila
engkau ingkar
Engkau
akan dibakar
Kuhukum
engkau
Atas
nama yang Maha Besar”
“Bagus arti mantera pengusir hantu
itu,Laila.” Perempuan berjilbab wana
hijau itu kagum.
“Tapi kami tidak pernah
mengamalkannya, seperti halnya ibu. Lobe
Ismail, seorang muallim melarang setiap muslim untuk mengamalkannya. Bu Hartati
berasal dari suku Jawa, dan sudah
bertahun-tahun hidup dan mapan di Sumatera,tapi prinsip hidup masyarakat Jawa
yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam
masih melekat dalam keluarganya.
Keluarga itu tetap merasa ,bahwa orang Jawa harus memiliki sifat
rumangsan. Setiap orang Jawa dimanapun berada harus tetap aja dumeh. Tiap orang
Jawa harus memiliki sifat tipa sliro dan mawas diri. Tiap orang Jawa harus
berbudi luhur. Juga memahami serat Wulang Reh. Harus ngelmu begja, harus
memiliki sikap perwira. Tidak hanya itu, manusia Jawa harus memiliki sifat
kamunangsan.
Namun yang berbau sakral Hindu sudah
ditinggalkan oleh keluarga muslimah dari Solo itu, seperti halnya mengadakan
pertunjukkan wayang dengan lakon Murwakala dan Bima Sakti serta berbagai
saji-sajian agar putra tunggalnya tidak menjadi mangsa Batara Kala.
Keluarga itu hanya berdoa, hanya
pasrah kepada Yang Maha Esa dan kepada-Nya pula meminta perlindungan.
Perlindungan itupun diperoleh Bu Hartati. Putranya tetap segar bugar
hingga dewasa, hingga lulus sebagai
sarjana pertanian. Putra keluarga kelahiran Solo itu tetap sehat, tidak lagi
menjadi mangsa Batara Kala. Bagi keluarga itu, Batara Kala hanya faham pengaruh
Hindu yang harus ditinggalkan.
Bocah yang jadi intaian Batara Kala
itu kini sudah dewasa, kini sudah jadi sarjana pertanian yang sesaat lagi akan
membuka lahan baru untuk perluasan perkebunan kelapa sawit milik ayahandanya.
Lelaki muda yang kini menyandang
gelar sarjana pertanian itu kini mengenakan dasi lebar berwarna coklat tua,
mengenakan helm proyek sedang berdiri di atas lahan seluar lebih 400 hektar bersama petugas Badan Pertanahan
Nasional dan pejabat dari pihak kantor Bupati. Hari itu sedang dilakukan
pengukuran tanah seluas ratusan hektar
untuk pengalihan hak milik dari masyarakat.
Semua berjalan lancar,apa lagi
lelaki muda itu, Faisal, , adalah
seorang pemurah hatinya. Lelaki muda itu membagikan amplop berisi uang agar
semua segera selesai, agar surat izin usaha segera diterbitkan. Uang membuat semua mulus tanpa hambatan.
Seperti tidak mengenal lelah, lelaki
muda itu mondar-mandir ke kantor notaris, ke be-pe-en dan ke kantor bupati
serta instani terkait untuk mendapatkan es-ha-u serta sertifikat hak milik.
“Minggu depan, Insya Allah
sertifikat tanah ini sudah terbit!,” ujar pejabat be-pe-en.
“Terima kasih, saya menunggu.”
“Surat ijin usaha juga tidak lama
lagi akan terbit pula,” ujar pejabat
dari kantor bupati.
“Terima kasih. Terima kasih.”
Lelaki muda itu berjabatan tangan
erat dengan para pejabat terkait di tengah lahan yang akan dialihkan
kepada lelaki muda itu.
“Mudah-mudahan tidak ada silang
sengkata atas tanah ini,” itulah harapan lelaki muda yang baru saja menyandang
gelar sarjana pertanian.
“Yang penting uang ganti ruginya
lancar!”
“Beres! Sudah saya sediakan secukupnya.”
Tidak ada silang sengketa, tidak ada
permasalahan. Uang ganti rugi sudah
diberikan lewat pejabat kantor bupati yang akan diteruskan kepada pemilik lahan
sebelumnya.
Lelaki muda itu tetap saja segar
bugar di tengah lahan. Tidak ada bencana yang mengintai. Tidak ada Batara Kala
yang akan memangsanya karena sejak kelahirannya sebagai anak tunggal tidak
pernah diadakan ritual ruwatan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jawa
sejak turun menurun. Padahal menurut petuah para oang tua yang berdarah Jawa,
Batara Kala bisa saja menjelama menjadi harimau yang ganas dan setiap saat dapat
menerkam dan memangsa sang anak tunggal. Tapi Faisal tetap saja segar bugar dan
terhindar dari segala bencana.
Lelaki muda itu bersyukur,
sertifikat hak milik serta ijin usaha segera terbit dan kini sudah di
tangannya. Asli surat-surat itu disimpan
dalam safety box di sebuah bank. Lelaki muda itu hanya memegang foto copy
surat-surat berharga itu.
Belasan buruh sudah disiapkan untuk
memulai membuka lahan baru pengembangan perkebunan kelapa sawit yang mencapai luas lebih 400 hektar.
***
L
|
ahan seluas
lebih 400 ha itu dipenuhi semak belukar. Tanaman yang ada pohon turi, kelapa,
durian, ilalang, pohon pisang , bangka, beringin, rambung merah dan banyak
lagi. Tidak ada rumah penduduk di lahan yang baru dibebaskan itu . Penghuninya
hanya musang, ular berbisa, tikus, lipan, babi hutan dan burung-burung. Juga
semut, nyamuk dan lalat.
Belasan orang buruh membersihkan
lahan itu, menebang setiap pohon. Tiga hari para buruh membersihkan lahan itu
barulah tampak terang benderang. Kasihan
burung-burung yang bersarang di ranting pohon di lahan itu terpaksa terbang
jauh karena habitatnya diporak perandakan manusia untuk perkebunan kelapa
sawit. Hewan musang juga pergi jauh entah kemana.
Lelaki muda itu, Faisal,
memperhatikan setiap buruh yang bekerja keras. Ilmu yang ditimbanya dari
fakultan pertanian benar-benar diterapkan dalam pengembangan kebun kelapa sawit
yang dimiliki ayahandanya.
Tanah berbukit adalah tempat yang sangat
baik untuk tanaman kelapa sawit untuk menghasilkan buah yang maksimal.
Keadaan tanah harus benar-benar diperhatikan amat teliti. Harus dihindari tanah
yang mengandung bebatuan. Karena itulah belasan buruh harus bekerja keras
seperti mengejar waktu karena pada awal musim hujan bibit-bibit kelapa sawit harus
sudah ditanam. Ribuan bibit sudah tersedia.
Tanah untuk tanaman kelapa sawit harus
memiliki pH 4-6 dan yang terbaik tanah latasol, ultisol dan aluvial serta tanah
gambut dan semua itu sudah dilakukan
survai yang matang . Berbagai jenis pupuk juga sudah disediakan seperti pupuk
macro, urea, MOP/KCI, borax, Kieseite dan berbagai peralatan.
Sudah terbayang di pelupuk mata lelaki muda itu hasil panen kelapa sawit
yang melimpah dan diangkut dengan truk untuk dijadikan ekstaksi crude palm oil
atau yang populer disebut CPO..
Yang amat sulit adalah di sekitar
tanah pebukitan yang harus dibuat teras melingkari bukit dan lubang harus
berjarak 1,5 meter dari sisi lereng bukit. Drainase juga harus dibangun di
areal itu untuk menjaga kelebihan air. Bibit kelapa sawit akan mati atau kerdil
di tanah yang kelebihan air.
Lelaki muda yang baru lulus dari perguruan tinggi
itu memberi petunjuk amat serius kepada para buruh yang sedang membangun parit
agar air hujan mengalir dan tidak mengendap di atas tanah yang sudah ditanami
dengan bibit kepala sawit.
Tiga hari barulah lahan itu tampak
sudah selesai dibersihkan dan tinggal memasang ancang-ancang penentuan titik tanam kemudian membuat lubang dengan
ukuran tertentu. Konservasi atau pengawetan tanah amat penting untuk areal
perkebunan.
Penanaman kacang-kacanganpun dimulai
untuk menghindari gulma atau tanaman liar yang mengganggu. Hari sudah sore
ketika lubang-lubang untuk menanam bibit kelapa sawit selesai dilakukan.
Lubang-lubang tanam itu digali 50x40 cm sedalam 40 cm.
Lelaki itu merasa amat puas karena
semua berlangsung sesuai dengan rencana. Penanaman bibit kelapa sawit harus
sejajar dengan musim hujan.
“Bagaimana,anakku?.” tanya Bu
Hartati kepada putranya yang baru tiba dari areal kebun yang baru dibuka.
“Beres,Bu. Tapi cukup melelahkan!”
“Yang harus kamu sadari keadaan di
lapangan jauh beda dengan teori yang dipelajari di kampus!,” sahut ayahandanya.
“Mudah-mudahan di tanganmu, kebun itu jauh lebih berhasil”
“Tentu saja, karena yang mengelola adalah seorang sarjana pada
bidangnya.” Anak muda itu merasa bangga dengan ijazahnya.
“Musim hujan sudah mulai tiba,
saatnya penanaman segera dimulai!”, cetus ayahandanya lagi yang sudah
bertahun-tahun menangani kebun kelapa sawit.
“Saya akan bekerja keras!,”
“Ayah dan ibundamu bangga kamu jadi
sarjana pertanian, tidak sia-sia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.”
“Artinya saya sudah boleh
menikah?,” Faisal menatap wajah
ibundanya.
“Kalau memang itu yang kamu
inginkan, tentu saja boleh. Gadis mana yang kamu pilih. Jawa seperti ayah
bundamu, Melayu seperti adik-adik Iqbal dan Laila, Mandailing atau Minang.?”
“Mandailing!” sahut Faisal.
“Kenapa tidak Melayu?,”
“Sepertinya sama saja Melayu dan
Mandailing, sama-sama umat muslimah,bukan?”
Di mata lelaki muda itu sudah
terbayang suasana bahagia ketika dia bersanding dengan seorang gadis yang
menyandang marga Boru Nasution.
Cantik gadis yang menyandang Boru
Nasution itu. Bayang-bayang wajah gadis
itu lekat di benak lelaki muda itu ketika berada di areal tanah yang baru saja
dibersihkan dari semak belukar. Lubang-lubang untuk menanam juga sudah rampung.
Hujanpun turun rintik-rintik dan tidak
lama lagi matahari akan terbenam.
Ketika itulah, ketika hujan turun
rintik-rintik, ketika matahari akan terbenam, dari arah timur muncul sekelompok
orang. Sesaat lelaki muda itu tertegun. Sekelompok orang yang datang dari arah timur itu
membawa berbagai poster dan spanduk.
Seperti ada demo!,pikir lelaki muda
itu sejenak dan iring-iringan manusia itu semakin dekat. Kenapa demo pada sore
hari?,pikirnya lagi. Siapa yang akan jadi sasaran unjuk rasa sore ini?. Makin dekat dan makin dekat, makin tampak
wajah-wajah beringas. Mereka seperti orang yang lapar. Makin jelas pula spanduk
dan poster yang dibawa iring-iringan sekelompok manusia itu.
Poster itu membuat bulu roma lelaki
muda itu bergidik :
“Jangan ambil tanah kami!”
“Jangan rampas tanah kami!”
“Tinggalkan lahan ini kalau ingin
selamat!”
“Kembalikan tanah kami!”
“Kami rakyat miskin. Kami tidak
ingin kehilangan tanah walaupun sejengkal”
“Kembalilah ke kota ,wahai Tuan
Tanah!”
Tubuh lelaki muda itu gemetar. Tapi
dia tidak gentar, karena lelaki muda itu berada di pihak yang benar. Lelaki muda itu tidak merampas tanah dari
orang lain dengan sembarangan. Lelaki
muda itu sudah mengantongi surat ganti rugi dan hak kepemilikan atas lahan itu
sudah diterbitkan oleh be-pe-en. Juga surat ijin usaha membangun perkebunan
kelapa sawit sudah ada di tangan lelaki muda itu. Kenapa harus gentar?. Semua
prosedur memperoleh kepemilikan tanah sudah ada di tangannya.
Di kampusnya lelaki itu belajar tentang tata kelola tanaman, tentang musim, tentang
gulma . tapi di ruang kuliah tidak pernah dipelahari ilmu tentang menghadapi
para demonstran yang datang dengan wajah bringas. Marah dan lapar.
Para pendemo semakin dekat. Ada yang
mengatas namakan rakyat miskin. Ada yang mengataskan namakan rakyat pembela
keadilan. Sebagian lagi adalah lembaga swdaya masyarakat yang menjadi dalang
dalam demo itu. Di mana-mana, el-es-em selalu jadi motor penggerak demonstrasi.
Tidak jarang el-es-em jadi provokator.
Sebagian kecil para peserta demo itu
seenaknya mendirikan tenda-tenda darurat
dari plastik dan tiang bambu serta tali plastik untuk pengikat. Mengapa mereka
nekad mendirikan tenda di lahan milikku yang syah?. Pertanyaan itu tumbuh di
benak lelaki muda yang baru saja lulus
dari fakultas pertanian.
“Kami ingin bertemu dengan pembeli
lahan ini!,” cetus salah seorang peserta demo.
“Ya, saya sendiri!,” sahut lelaki muda itu.
“Kami atas nama pemilik asli lahan
ini berharap anda meninggalkan lahan ini
kurang dari 6 jam.” Seorang utusan
pendemo berkata lantang dan wajahnya tampak bringas.
“Aturan dari siapa seperti itu?,”
sahut lelaki muda itu tanpa gentar.
“Aturan kami pemilik lahan ini yang
syah!”
“Kami sudah membeli lahan ini. Kami
memiliki sertifikat!”
“Bohooong!,” sahut ratusan pendemo
itu.
“Surat itu palsu!” teriak sebagian orang lagi. Semua tampak
bringas.
“Tidak mungkin palsu. Anda semua
dapat mengeceknya ke kantor be-pe-en!”
“Palsuuuu!. Palsuuuu!,” teriak
ratusan para peserta demo.
“Tinggalkan areal tanah ini!
Segera!. Tanah ini milik rakyat banyak. Jangan rampas hak kami!”
Lelaki muda itu tetap pada
pendiriannnya. Lelaki muda itu tidak bergeser setapakpun dari tempatnya
berdiri.
“Lahan ini sudah menjadi milik
kami!. Bukan kami yang harus meninggalkan lahan ini, tapi kalian semua!”
“Kalau anda tidak mau meninggalkan
areal tanah ini, kami tidak dapat bertanggung jawab keselamatan jiwa
anda!,” salah seorang dari el-es-em
berteriak penuh kesombongan.
“Kami akan mempertahankan tanah ini
karena sudah milik kami. Kalian yang harus pergiiii!”
Lelaki itu sangat bersemangat. Dia
tetap berdiri di tempatnya tegak, tidak mundur sedikitpun.
Lelaki muda yang merasa memiliki
lahan sekitar 400 hektar itu membuka map dan membagikan foto copy surat
kepemilikan lahan yang diterbitkan oleh be-pe-en kepada orang yang mengaku
pimpinan demo itu.
Tapi hanya sesaat surat itu dibaca
kemudian dengan wajah tegang pimpinan itu berteriak:
“Ini palsu!. Palsuuuu!”
Foto copy surat itu justru menambah
berang para pendemo dan surat itu segera
dirobek-robek dan dipijak-pijak.
“Usir Tuan Tanah yang rakus!” seseorang berteriak dari arah belakang.
“Jangan rampas tanah kami!”
Para pendemo tampak marah ketika
terjadi pelemparan batu dan mengenai
kepala seorang pendemo. Semua memang sudah diatur, ada seseorang yang melakukan
provokasi sehingga suasana menjadi panas.
“Pukul saja dia! Pukuuul!,”
teriak seseorang. Para pendemo semakin brutal. Seseorang maju mendekati
lelaki muda itu dan melakukan pemukulan. Kericuhan tidak terhindarkan. Lelaki
muda itu tidak sempat memanggil polisi hingga nasibnya malang. Puluhan orang
menyerbu secara serentak dengan membawa alat pemukul, balok, pentungan dan parang.
Kasihan lelaki muda itu terkapar di
tanah dengan tubuh penuh luka dan lahan itu dimerahi darah . Buruh-buruh yang
sedang membuat parit di lahan itu tidak mampu berbuat apa-apa selain membawa
tubuh yang terkapar itu ke rumah sakit. Jiwa lelaki muda itu tidak tertolong.
Meraunglah sang bunda ketika
mendengar anak tunggalnya menjadi korban amuk massa yang merasa dirugikan, yang
merasa haknya atas tanah dirampas secara sewenang-wenang.
“Kenapa sampai terjadi seperti
ini,anakku?,” perempuan asal Solo yang sukses meraih rezeki di tanah Sumatera
itu meratap.
Air matanya berderai-derai seperti hujan lebat di sisi tubuh putra
tunggalnya.
Seorang anak kesayangan telah pergi
jauh. Seorang anak tunggal sudah meninggal dalam keadaan mengenaskan. Sanak dan
kerabat yang datang dari Jawa ikut bersedih, tapi semua justru melontarkan
kesalahan kepada Bu Hartati.
“Kamu tahu apa yang terjadi atas
diri anakmu,Hartati?,” ujar kerabat yang datang dari Solo.
“Aksi anarchi memang selalu terjadi
dimana-mana,” sahut perempuan asal Solo itu diantara isak tangisnya.
“Bukan!. Bukan aksi anarchi, tapi
karena kelalaianmu!”
“Kelalaian apa yang saya lakukan?,”
Bu Hartati membela diri.
“Yang terjadi adalah kutukan sang
maha dewa. Yang terjadi adalah kemarahan Batara Kala. Bukankah sejak awal para
orang-orang tua, para sesepuh sudah menganjurkan kepadamu agar melakukan
ruwatan karena anakmu adalah anak
tunggal yang selalu diintai oleh Batara Kala?. Kalau ada sekelompok orang mengamuk dan menganiaya
anakmu, itulah adalah jelmaan Batara Kala yang menempel dalam diri manusia!”
Kata-kata itu hanya membuat
perempuan asal Solo itu termenung dan air matanya tetap mengalir dipipinya.
Kesedihan tidak tertahankan olehnya. Perempuan itu ingat kata-kata nasihat para
sesepuh kerabatnya agar dia melakukan upacara sakral berupa ruwatan dengan mengadakan pertunjukan wayang dengan
lakon Murwakala dan Bima Suci serta
menyediakan sesaji untuk para dewa.
Tapi Bu Hartati menganggp ruwatan
dan sesaji itu hanyalah perbuatan syirik yang menduakan Tuhan. Bu Hartati yang sudah selalu menghadiri
majlis taklim dan sudah menunaikan ibadah haji tidak percaya pada petuah-petuah
para sesepuh keluarga.
“Itulah yang membuat Batara Kala
sangat murka dan menjelma dalam diri orang-orang yang datang dengan tameng
demonstrasi mengatas namakan petani!.”
ujar sesepuh kerabat yang datang dari
Solo.
Bu Hartati hanya menunduk dan air
mata masih mengalir dipipinya.
“Lihat keluarga Sundari. Lihat
keluarga Mas Prapto. Lihat keluarga lainnya. Ada yang anaknya lahir menjelang matahari
terbenam, ada yang lahir kembar, semua melakukan ruwatan dan anak-anak mereka semua selamat. Tidak ada
satupun yang dimangsa Batara Kala. Anak-anak itu aman-aman saja dan segar
bugar. Masuk hutan juga tidak usah takut diterkam harimau, karena Sang Batara
Kala sudah diberi sesaji. Yang jadi Abri
juga tidak pernah ditembak musuh. Yang
jadi mahasiswa juga selamat ketika demo!”
Kata-kata itu membuat hati Bu
Haratati semakin sedih. Di Sumatera dia menjejakkan kaki. Di Sumatera dia
bersama suaminya meraih sukses sebagai pengusaha bakso, kemudian beralih menjadi pemilik perkebunan.
Di Sumatera pula air matanya menitik karena anaknya mati direnggut aksi
anarchi. Tanah Sumatera dibasahi oleh airmata perempuan kelahiran Pulau
Jawa. Itulah perjalanan hidup!.
Putra tunggalnya, Faisal Wicaksono
sudah pergi untuk selamanya. Perempuan kelahiran Solo itu tetap meyakini
kepergian putranya bukan karena dimangsa oleh Batara Kala, tapi karena takdir yang maha kuasa.
Ya,Tuhan. Ya Robby. Apakah Batara
Kala itu benar-benar ada?. Apakah dewa raksasa itu benar-benar murka kepadaku
karena permintaannya kami abaikan?. Apakah aku berdosa. Namun aku merasa
berada dipihak yang benar. Aku mohon
perlindungan-MU. Perempuan itu
bermunajat kepada Tuhan dan mohon kesejukan hati.
Meskipun sudah bertahun-tahun
menjejakkan kakinya di Sumatera dan hidup mapan, meskipun sudah berbaur dengan berbagai suku
yang ada di Sumetera, sperti Melayu, Mandailing dan Minang, tapi Bu Hartati dan
suaminya masih tetap memahami pola hidup masyarakat Jawa. Perempuan kelahiran
Solo itu masih tetap mengerti bahasa Ngoko atau Krama Inggil.
***
K
|
esedihan masih
menggurati hati perempuan asal Solo itu, apalagi ketika suaminya
harus memenuhi panggilan pihak kepolisian karena peristiwa berdarah
yang merenggut nyawa. Yang dipanggil polisi tidak hanya suami Bu Hartati
, tapi juga pejabat dari be-pe-en, pejabat kantor bupati
dan instansi terkait lainnya .. Juga seorang lainnya yang biasanya
disebut cukong tanah di kawasan itu.
Polisi menemukan banyak kejanggalan
dalam hal terbitnya sertifikat lahan seluas 400 hektar itu. Terbitnya surat
ijin usaha membuka lahan juga ditengarai banyak mengandung hal-hal fiktif.
Polisi menemukan kesalahan prosedur
dalam menerbitkan serti fikat dan ijin
usaha itu.
Polisi juga menemukan perbuatan
melawan hukum. Dalam
penyelidikannya Polisi menemukan indikasi penyuapan. Tentu saja warga desa di
sekitar lahan itu sangat marah karena ganti rugi yang tidak layak. Mereka hanya
menerima ganti rugi lima puluh ribu permeter sementara lelaki muda itu
membayarnya dengan harga tiga ratus ribu
rupiah.
Tidak kurang dari 4 orang terpaksa ditangkap dengan tuduhan menerima
suap. Seperti itulah yang banyak terjadi di negeri yang elok ini. Perbuatan
kotor sudah sering terjadi dimana-mana, di setiap kantor pemerintahan dan
pelayanan publik.
Korupsi dan suap sudah merajalela
dimana-mana. Pelakunya tidak punya rasa
malu. Pelakunya tidak punya rasa jerah. Hari ini terjadi penangkapan terhadap
pelaku korupsi atau suap, tapi esok terjadi lagi dan terjadi lagi. Tidak ada
rasa takut akan masuk penjara. Perbuatan
memperkaya diri sendiri telah terjadi di semua daerah. Birokrat sudah menjadi
sarang tikus yang jorok.
Kasihan rakyat semakin miskin karena
pajak-pajak yang dikutip dari berbagai restribusi digarong oleh para birokrat
yang sudah menjadi tikus. Sulit dicari pejabat yang jujur di negeri ini.
Berhari-hari, bahkan
berminggu-minggu kesedihan menggurati dasar hati perempuan asal Pulau Jawa
itu. Hatinya tidak pernah tenteram
sekarang. Perempuan itu selalu gelisah dan
termenung. Makanan sukar untuk ditelan. Terasa seperti ada duri dalam
makanan itu. Semuanya tidak enak. Tidurpun tidak pernah nyenyak,bahkan sulit
untuk memejamkan mata.
Bayang-bayang wajah putranya selalu muncul
ketika dia sedang makan, atau ketika mandi, ketika duduk-duduk atau ketika
menjelang tidur. Terbayang saat Faisal masih kuliah dan disenangi oleh
kawan-kawan kuliahnya. Faisal memang seorang anak remaja yang pintar bergaul.
Terbayang di pelupuk mata perempuan
asal Solo itu ketika putranya menikmati
indahnya pantai Selat Malaka dan digigit ular berbisa hingga hampir menemui kematian. Untunglah ada anak
nelayan bernama Iqbal dan Laila yang
menawarkan bisa ular yang sudah sampai ke jantung.
Sekarang anak lelaki yang gagah itu
sudah pergi jauh dan tidak akan kembali lagi. Rumah besar itu terasa sepi dan
lengang tanpa Faisal. Meskipun rumah itu penuh dengan benda-benda berharga, tapi tanpa Faisal,
rumah besar itu terasa seperti lengang dan kosong. Tidak ada siapa-siapa. Yang
tinggal Hanya Bu Hartati dan suaminya serta seorang pembantu. Yang ada hanya sepasang kucing anggora yang
berbulu lebat dan indah. Tapi sepasang kucing itu tidak mampu menghibur
perempuan itu.
Semuanya serba salah bagi perempuan
kelahiran Solo itu sekarang. Makan tidak enak, duduk gelisah, tidur mata tidak
mau terpejam. Bahkan ketika makan terasa
seperti Faisal di sisinya dan mereka makan bersama. Perempuan itu akhirnya
jatuh sakit. Perutnya selalu rasa perih. Kepalanya sering-sering pusing. Kemana
lagi meminta pertolongan kalau tidak ke dokter?.
Tapi dokter tidak menemukan penyakit
pada diri perempuan itu. Semua dinyatakan sehat dan tidak ada gangguan apa-apa.
Yang ada hanyalah tekanan jiwa karena tewasnya putra tunggalnya. Apalagi
kematian putra tunggalnya tidak wajar. Yang dideritanya hanya traumatik dan
stres berat.
Hanya dalam waktu beberapa minggu
setelah kematian Faisal tubuhnya susut lima kilo. Semua pakaian serba longgar
dan terkesan gombrong. Perempuan itu setiap hari lebih senang di rumah
mengurung diri. Yang lebih sering adalah hadir di pemakaman umum Sei
Batugingging untuk menjiarahi kubur
putranya. Ke makam itu Bu Hartati membawa kembang-kembang segar dan menyiram
gundukan tanah itu dengan air mawar sehingga kubur itu selalu beraroma wangi.
Di atas kubur itu air mata Bu Hartati selalu menitik. Membasahi
gundukan tanah pusara putranya. Dan
kubur itu selalu bersih karena amat sering diziarahi. Tidak ada kecoa yang perkuburan itu. Tidak ada tikus dan semut.
***
B
|
elasan kali
perempuan asal Jawa Tengah itu ke dokter ahli, tapi tetap saja dirasakannya ada
yang sakit dalam tubuhnya. Di tengah malam sepi,ketika suaminya sedang tidur
pulas, dia selalu berkata-kata sendri. Dia selalu mendengar suara putranya di
tempat yang jauh dan memanggilnya.
“Datanglah kemari,ibu. Aku dalam
kesulitan!.” Suara itu terdengar lagi di malam sepi.
“Ibu datang,anakku. Ibu datang
bersama bapakmu!”,sahutnya dan membangunkan sang suami yang tidur nyenyak di
sisinya.
“Faisal dalam kesulitan,Pak. Anak kita membutuhkn pertolongan kita. Ayo
kita kesana!.”
“Ya,Rabbi. Ibu selalu saja mimpi
yang tidak-tidak. Anak kita sudah istirahat dengan tenang. Ibu harus
istighfar.”
Sepasang bibir Bu Hartati bergetar
mengucapkan kalimah-kalimah istighfar dan berusaha untuk memejamkan mata, tapi
suara anaknya terdengar lagi dan
lagi-lagi membangunkan suaminya.
“Solatlah tahajud. Mintalah
ketenangan jiwa dari Allah,” saran suaminya dengan penuh rasa iba.
Bu Hartati turun dari tempat
tidurnya dan berwudhuk, lalu menghadap kiblat. Di tengah malam yang dingin,
ketika burung-burungpun sedang tidur lelap, Bu Hartati melantunkan istighfar
dan bersujud. Perempuan itu mohon ketenangan, barulah dia dapat memejamkan
mata.
Kabar tentang Bu Hartati yang
sakit-sakitan akhirnya sampai kepada kerabat di Solo.
“Kalau tidak ada dokter di Medan
yang sanggup mengobati pulangkah ke Solo.
Pengobatan alternatif banyak di sini. Mbah Dirjo juga masih hidup di lereng Gunung
Merapi. Mudah-mudahan dapat menyembuhkan penyakitmu,” imbau Mbak Utami penuh
harap.
Imbauan itu tidak menggugah hati Bu
Hartati. Dia tidak ingin berobat ke Solo atau Yogya, apalagi berobat ke dukun
di kaki Gunung Merapi. Perempuan itu
tetap saja tidak mau berobat dengan cara
syirik. Dia memilih konsultasi dengan seorang psikiater
“Kematian anak ibu sangat memukul
jiwa ibu. Pasrahkan kepada Yang Maha Esa. Ibu tidak sakit. Hanya menderita
beban batin yang sangat berat. Usahakanlah mencari kesibukan.” Itulah saran psikiater.
Kesibukan apa lagi yang dapat
dilakukan oleh seorang perempuan yang
hidup mapan seperti Bu Hartati?. Tiap
pagi sekarang perempuan itu berada di halaman dan mencabut rumput-rumput liar
yang tumbuh di sela-sela tanaman bunga anggrek.
Tiap hari perempuan asal Pulau Jawa itu menghadapi puluhan pot bunga yang
berisi berbagai jenis bunga, mulai dari anggerek, tulip anthurium, anglaonema,
adendum, caladium dan banyak lagi. Terkadang tangannya yag mulus itu dikotori
tanah dan pupuk.. Bu Hartati masuk rumah setelah matahari tinggi dan tubuhnya bermandi peluh.
Tanaman bunga di halaman sangat bersih sekarang dan subur. Tapi bayang-bayang putra
tunggalnya jusru muncul di antara pot-pot bunga itu. Dia seperti melihat
Faisal datang dari jauh dengan membawa
pot bunga.
“Ini bunga plumeria atau Kamboja Hawai, indah sekali,Bu.” Bu Hartati
seperti mendengar suara anaknya. Tentu saja perempuan itu menyambut anaknya,
namun sesaat kemudian bayang-bayang itu lenyap.
”Ya,Allah. Kenapa sangat sulit bagiku untuk melupakan anakku?, ” keluh
perempuan itu panjang.
Masih lumayan godaan itu berupa datangnya Faisal membawa berbagai jenis
bunga. Yang amat mengerikan adalah bayang-bayang tentang sekelompok orang yang datang ke
halaman rumahnya dan mengobrak-abrik tanaman bunga ping peacock atau bunga brokoli yang sudah tumbuh subur dan daunnya hijau.
“Jangan!. Jangan ganggu
bunga-bunga itu. Jangan hancurkan keindahan itu!”, teriak Bu Hartati.
“Ibu berkata dengan siapa?,” tanya
suaminya yang keheranan melihat tingkah isterinya.
“Sekelompok orang itu membuat huru-hara dan merusak tanaman bunga kita!,”
“Ibu terlalu lelah. Istirahatlah dulu!”, ujar suaminya dan turun ke
halaman lalu memapah isterinya duduk di gazebo yang memang dibangun cantik
dekat teras rumah.
“Tampaknya ibu tidak serasi mengurus taman bunga!,” cetus suaminya.
“Aneh. Bunga-bunga itu tumbuh
subur dan cantik di tanganku, tapi kenapa bayang-bayang anak kita selalu muncul
di antara bunga-bunga anggrek atau
anyelir?”
“Mulai besok tidak usah lagi ibu mengurus bunga. Kita beli saja akuarium
besar.”
“Lalu ikan apa yang akan kita beli untuk pengisi akuarium itu?”
“Sebaiknya ikan arwana. Cantik dan lincah.”
“Arwana?. Wah , harganya sangat mahal.”
“Yang penting ibu bisa enjoi di
depan ikan-ikan arwana itu.”
“Oke!”
Perempuan asal Solo yang kini hidup mapan dan kaya di Sumatera itu tampak senang ketika diajak pusat akuarium
khusus arwana. Komplek itu ramai dikunjungi oleh pecinta ikan. Bu Hartati
memilih ikan arwana merah yang sedang ngetren.
Bu Hartati membawa akuarium
berukuran besar dan di dalamnya ada ikan-ikan arwana merah yang berharga mahal.
“Sekarang tugas ibu menjaga dan merawat arwana ini. Jangan sampai airnya
kotor dan merusak pandangan. Mudah-mudahan dengan adanya ikan arwana ini hati
ibu bisa tenteram.”
“Saya senang merawatnya,” Bu
Hartati tersenyum.
Perempuan Jawa itu memang tidak suka nonton tv, tidak suka membaca
majalah. Dari pada nonton hiburan dilayar kaca lebih baik membuat lemper. Itulah sebabnya sekarang perempuan asal Jawa itu sehari-harian berada di depan
akuarium menyaksikan tiga pasang arwana berenang ke sana kemari dengan gayanya yang indah. Ikan-ikan
yang amat mahal itu riang di dalam air.
Rasanya perempuan Jawa itu ikut berenang bersama ikan arwana merah itu. Wajah
putranya yang tewas mengenaskan para demonstran anarchi sudah terlupakan.
Tapi peristiwa mengerikan di lahan yang baru dibebaskan itu kembali
menyiksa batinnya . Yang tampak di dalam akuarium itu tidak hanya
arwana merah, tapi sekelompok orang yang
membawa kapak, linggis dan parang. Wajah-wajah yang bermunculan di dalam
akuarium itu tampak bringas dan mengerikan. Bahkan mereka berteriak histeris:
“Palsu! Palsuuu. Sertifikat itu
palsu!”
“Ada korupsi dalam ganti rugi yang kami terima!,” teriak para demonstrasi
yang sedang marah itu.
“Usir dia. Pukul saja!”
Ya Tuhan, betapa amat mengerikan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh
sejumlah petani pemilik lahan.
Suami perempuan Jawa itu heran dan
kasihan. Kembali lagi istrinya disiksa traumatik dan stres berat karena
kematian putra tunggalnya.
“Anakku mati bukan karena dimakan Batara Kala. Tidak ada Batara Kala di
bumi ini,” ujar perempuan Jawa itu bila
ingat ucapan-ucapan kerabatnya dari Solo yang mengatakan, bahwa putra
tunggalnya yang mati karena dimangsa Batara Kala akibat Bu Hartati melalaikan
ruwatan. Ucapan kaum kerabat yang masih
percaya kepada hal-hal gaib lebih sering menyiksa batinnya.
“Kamu hidup terlalu modern,Hartati.
Kamu anggap sepele pertunjukkan wayang sampai akhirnya anak tunggalmu
dimangsa Batara Kala.”
Berkali-kali Perempuan asal Pulau Jawa yang sudah hidup mapan dan taat
pada Islam itu menyangkal, bahwa anaknya bukan mati karena aksi kekerasan yang
dilakukan sejumlah pengunjuk rasa,tapi dimangsa Batara Kala.
Suami Bu Hartati merasa iba dan sedih.
“Sebaiknya ibu konsultasi lagi ke
psikiater!,” bujuk suaminya lembut.
“Apakah saya sudah menjadi
gila,Pak?,” Bu Hartati menolak.
“Saran psikiater sangat baik buat
ibu. Setidak-tidaknya menolong ibu agar melupakan perisiwa yang menimpa anak kita.”
Setelah berkali-kali pengusaha
perkebunan kelapa sawit itu membujuk
istrinya agar mau konsultasi dengan psikiater, barulah sang istri lembut
hatinya.
“Ibu kesepian di rumah kalau yang
ada hanya kucing anggora dan ikan arwana
yang tidak dapat berbicara seperti manusia. Ibu butuh seseorang yang
dapat diajak bercanda.”
Mengurus bunga
di halaman dan ikan-ikan arwana yang bermain di akuarium tidak mampu menyembuhkan traumatik dalam diri
perempuan itu. Tetap saja di depan matanya selalu muncul bayang-bayang wajah putra
tunggalnya. Di halaman terkadang bayang-bayang wajah putranya muncul di air mancur.
Di depan akuarium, terkadang yang
tampak adalah wajah Faisal yang sedang
adu argumentasi dengan sekelompok orang-orang berwajah bringas seperti
kelaparan.
Di depan sang psikiater, perempuan Jawa itu termenung
sesaat.
“Ibu butuh seseorang!,” kata
psikiater itu setelah lama berdialog dengan Bu Hartati. “Tentu seseorang yang dapat diajak ngobrol.”
“Untuk melahirkan lagi sudah tidak
mungkin. Dokter sudah mengangkat rahim saya karena tumor ganas di mulut rahim
saya.”
“Tidak harus anak yang lahir dari
rahim ibu!”
“Artinya saya harus mengambil anak
angkat.”
“Ya, boleh saja anak dari kalangan
kerabat, boleh juga anak dari orang lain.”
Sesaat perempuan Jawa itu termenung. Dia ingat kerabatnya di Solo juga menyarankan
seperti itu. Mereka menawarkan anak-anak dari kalangan kerabat di Yogya dan
Solo untuk menjadi anak angkat keluarga Bu Hartati. Tapi Bu Hartati tidak menanggapinya dengan
serius.
Sekarang ketika di depan
psikiater dia dianjurkan untuk mengambil
anak angkat agar tidak kesepian ,agar tidak selalu disiksa bayang-bayang
almarhum putranya. Satu-satunya obat traumatik dalam jiwanya adalah dengan
mengambil anak angkat.
“Baiklah. Saya akan berusaha mencari
anak angkat.”
Sehari dua hari
perempuan Jawa itu termenung dan
memikir-mikir. Siapa yang dapat menggantikan peran Faisal dalam hidupku?,”
pikirnya. Keluarga kerabat dari Solokah?. Rasanya berat dan tidak sefaham.
Sebab keluarga itu masih terlalu kental dengan kebiasaan pola hidup Jawa.
Mendirikan dan merehab rumah harus
menurut hitungan weton atau kelahiran. Mau pesta apa lagi. Perempuan yang sudah
lama hidup mapan di Sumatera itu tidak bisa lagi hidup dengan prinsip orang
Jawa “sugih tanpa bandha” yang maknanya
kaya tanpa benda. Juga “nglurug tanpa bala”
yang maknanya menantang perang tanpa balatentara. Juga “menang tanpa
ngasorake” yang berarti menang tanpa
merendahkan mempermalukan orang lain.
Perempuan yang sudah belasan tahun
meninggalkan pulau Jawa itu tidak bisa lagi percaya tentang perhitungn
waktu atau Wuku yang berkaitan dengan
tabiat manusia. Seperti wuku Sinta yang
dinaungi Dewa Batara Yamadipati dan bermakna manusia bersifat cemburu tapi selalu tampil cantik,gembira dan
kelihatan muda. Juga Wuku Landep yang
dinaungi Dewa Batara Mahadewa. Atau Wuku
Kurantil yang dinaungi Dewa
Batara Langsur.
Amat lama perempuan yang kini hidup
senang dan memiliki rumah mewah itu termenung-menung memikirkan anak siapa yang
baik untuk dijadikan anak angkat. Dari pulau Jawakah. Dari Sumaterakah?. Atau
anak jalanan yang butuh perlindungan?. Atau dari rumah sakit memungut bayi yang
baru lahir yang orangtuanya tidak mampu?
***
P
|
erempuan yang
berasal dari Solo itu terpaksa keluar masuk rumah sakit untuk mencari seorang
bayi yang ibundanya hidup tidak mampu. Di Rumah Sakit Haji perempuan itu dipertemukan dengan
seorang ibu yang baru saja melahirkan.
“Ambillah anak saya,Bu. Saya rela.
Saya ikhlas,” ibu yang baru melahirkan
itu mengiba.
Perempuan Jawa itu memperhatikan
bayi mungil yang baru lahir. Cantik bayi itu
dan tangisnya melengking. Rasanya
bayi itu amat cocok untuk dijadikan anak angkat.
“Saya butuh uang,Bu. Suami saya
sakit dan butuh perobatan dan saya tidak punya uang.”
Perempuan itu melakukan tawar
menawar tentang ganti rugi bayi mungil itu. Pada saat itulah ,seseorang
perempuan tua mendatanginya dan berkata.
“Ibu seorang muslimah yang taat.
Jangan ambil bayi itu!.” ujar seseorang
perempuan yang mendatanginya.
“Kenapa?”
“Perempuan itu berbohong.”
“Bohong bagaimana?”
“Dua kali dia melahirkan, dua kali akibat hubugan gelap. Sampai sekarang
tidak jelas keberadaan suaminya. Dua
kali melahirkan bayi, dua kali karena perbuatan dosa. Bayi itu bayi haram!.”
Perempuan suku Jawa itu tercenung.
Tentu saja dia tidak ingin mengasuh seorang bayi haram. Tentu saja dia tidak
ingin memiliki anak yang lahir karena perbuatan dosa. Ibu bayi itu seorang
perempuan cantik dan bekerja di tempat hiburan malam. Dosa bergelimangan di tempat hiburan
malam. Hiburan malam adalah tempat
menghamburkan uang. Dan juga dosa.
Tuhan sepertinya memberi petunjuk
agar Bu Hartati tidak sembarangan mengambil anak angkat.
Seperti ada petunjuk kepada Bu Hartati untuk menyinggahi
rumah sakit Malahayati. Di rumah sakit
itu dia bertemu dengan perempuan yang melahirkan bayi kedua.
“Sebenarnya saya tidak sampai hati melepas bayi saya
untuk diasuh orang lain,” ujar perempuan
yang sudah dua kali melahirkan itu. “Sebab bayi ini adalah darah
daging saya. Tapi keadaan hidup yang
teramat susah menyebabkan saya harus
rela anak saya diasuh orang lain. ”
“Dimana suami ibu?”
“Suami saya seorang te-ka-i yang
bekerja di Quwait. Pada awalnya hubungan komunikasi dengan suami saya berlangsung
lancar. Namun sebuah kerusuhan terjadi
di tambang minyak di sana dan suami saya
tewas.”
Ibu yang baru melahirkan itu masih
sempat menunjukkan foto-foto suaminya di sebuah pertambangan minyak di Quwait.
Kasihan, cetus
Bu Hartati dalam hati. Cantik bayi itu.
Mungil dan lincah. Kasihan,ayahnya terbunuh ketika tejadi perkelahian antar
buruh kilang minyak asal Indonesia itu dengan buruh yang berasal dari
Bangladesh. Suaminya meninggal di negeri
orang ketika mencari nafkah. Begitulah
kehidupan, terkadang mencari nafkah harus di negeri orang. Dan tantagannya
adalah kematian atau setidak-tidaknya penderitaan.
Berbagai masalah terjadi pada
te-ka-i di negeri orang. Lebih parah
lagi peristiwa yang dialami te-ka-we.
Ada yang diperkosa majikan, ada yang dianiaya , ada pula yang tewas
karena ulah majikan. Yang pulang dengan tubuh cacat juga banyak. Namun,
meskipun banyak masalah yang terjadi
para perempuan terus saja berjubel ingin bekerja di luar negeri. Semua
karena tekanan hidup. Semua karena sejengkal perut.
Perempuan Jawa itu tidak segera
membawa bayi mungil itu pulang ke rumahnya.
Perempuan itu harus menyelidiki
dari jiran tetangga ibu yang
baru melahirkan. Perempuan Jawa itu puas ketika jiran tetangga itu mengatakan
,bahwa ibu yang baru melahirkan itu adalah ibu yang baik, solihah dan suaminya
benar-benar tewas akibat perkelahian dengan buruh yang berasal dai Bangladesh
di Quwait.
Bu Hartati membawa bayi mungil itu
pulang. Dia menciumnya dengan kasih sayang
seperti dia menyayangi putra tunggalnya yang tewas akibat unjuk rasa
anarchi di lahan perkebunan.
“Jadilah anak ibu yang baik,anakku,”
terdengar suara bu Hartati meni,smh bayi mungil itu dan memberinya susu kaleng.
Di rumah yang besar dan megah itu
terdengar suara azan di siang bolong. Suami Bu Hartati menganggap bayi itu
seperti bayi yang lahir dari rahimnya sendiri.
Karena itulah kehadirannya di rumah itu dikumandangkan azan seperti yang
dilakukan keluarga muslim yang menyambut kelahiran bayi lelaki. Di rumah itu,
bayi itu dianggap sebagai anak sendiri, dianggap lahir dari rahim Bu Hartati.
“Kuberi namamu Hanafi,anakku. Sebuah nama seorang ulama besar, seorang imam
yang fahamnya banyak dianut umat Islam sedunia dan juga seorang mujtahid.”
Seperti anak sendiri pula, kehadiran
bayi lelaki harus disambut dengan upacara kenduri penabalan nama dan
pengguntingan rambut. Terdengar barjanzi dan marhaban dilantunkan orang pada
acara kenduri aqikah yang meriah.
Hanafi!. Nama yang bagus. Itulah
kesan dan ucapan para tamu yang menikmati hidangan aqikah dua ekor kambing yang
diolah amat lezat oleh keluarga yang datang dari Solo.. Kerabat dari Jawa itu tidak dapat berbuat
banyak bila pilihan Bu Hartati jatuh pada seorang bayi yang ayahandanya
meninggal di negeri orang.
“Semoga jadi anak yang baik dan solih,” itulah harapan semua tamu yang hadir.
“Semoga jadi sarjana seperti Faisal.”
“Amien!,” sahut Bu Hartati dengan wajah cerah.
Kehadiran bayi lelaki itu memang menjadi
obat paling mujarab untuk mengusir penyakit traumatik dalam jiwa perempun Jawa
itu. Tidak pernah lagi Bu Hartati berteriak-teriak sendiri karena
ketakutan didatangi para pengunjuk rasa yang membawa pentungan, parang dan tombak.
Perempuan jawa itu tidak pernah lagi
mengeluh karena di tengah malam yang sepi dan dingin harus bangun
mengganti popok si kecil karena pipis dan memberinya susu botol.
“Tidurlah ,anakku. Tidurlah
sayang.” ujarnya dan mencium pipi mungil
itu. Ketika bangun pagi wajah
perempuan Jawa itu tampak amat cerah. Tidak ada lagi benang kusut di
wajahnya. Tidak ada lagi ketakukan.
Di tengah malam sepi, selalu
terdengar suara perempuan Jawa melantunkan tembang Tombo Ati, sebuah tembang
religi yang disenangi oleh masyarakat
berdarah Jawa dan juga masyarakat muslim
lainnya di negeri ini.
“Tombo ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Qr’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh
kumpulono
Kaping papat kudu weteng inkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo iso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani.”
Tembang itu seakan meresap dalam dada sang bocah sehingga tertidur
pulas. Tembang yang bagus itu seakan
meresap hingga ke seluruh aliran darah bocah itu, hingga ke ubun-ubunnya dan
jantungnya. Bayi itu tidur pulas hingga pagi.
“Kamu mau jadi apa setelah dewasa
nanti,anakku?. Mau jadi dokter? Mau jadi
sarjana hukum untuk membela kebenaran?. Atau mau jadi insinyur biar mampu
membuat pesawat terbang?.”
Bu Hartati selalu berkata-kata
dengan bayi mungil itu.
“Kamu harus jadi orang pintar. Yang
penting jangan jadi sarjana pertanian, tidak usah jadi pengusaha perkebunan.
Jangan sampai peristiwa yang menipah Faisal berulang atas dirimu, anakku. “
Peristiwa tewasnya putra tunggal Bu
Hartati memang amat mengerikan. Perempuan Jawa itu sudah sepakat dengan
suaminya untuk tidak membuka lahan baru, mereka sepakat cukuplah memiliki kebun
seluas 1.000 hektar. Hasilnya sudah cukup lumayan. Cukup untuk hidup mapan.
Cukup untuk membiayai ibadah haji tiga atau empat kali lagi meskipun ke tanah
suci menggunakan fasilitas o-en-ha plus.
Jangan hidup ini jadi rakus dan
tamak. Jangan menumpuk uang dan harta. Jangan diperbudak oleh uang. Jangan jadi manusia ubud dunia. Itulah tekad Bu
Hartati dan suaminya.
Bayi mungil itu cepat besar. Dua
tahun usianya, bocah itu amat lincah bermain. Pada umur dua tahun mainan yang
diberikan ibu angkatnya sudah sangat banyak, mulai dari robot, mobil
tanker, tank tempur, pesawat heli dan
banyak lagi. Juga senapan mesin. Terkadang ibu angkatnya ikut bermain pesawat
heli, sementara bocah lelaki itu bermain tank yang moncong meriamnya dapat
berputar-putar dan sirenenya meraung-raung.
“Ayo tembak,Bu. Tembak!,” ujar bocah
dua tahun itu dengan logat yang lucu.
“Dooor!. Dooor!,” sang ibu angkat
menirukan suara tembakan dari moncong senapan mesin dari pesawat heli yang
diangkat ke udara.
Bocah cilik dan sang ibu angkat itu
amat asyik bermain. Bu Hartati benar-benar sembuh dari penyakit traumatik yang
menghantui jiwanya selama ini. Perempuan Jawa itu benar-benar lupa pada tragedi
kematian putranya yang tewas dikeroyok pendemo yang anarchi.
***
K
|
etika itulah,
ketika bocah dua tahun itu sedang bermain dan bercanda dengan ibu angkatnya,
terdengar sebuah taksi memasuki halaman rumah besar itu. Dua orang penumpangnya
yang tampak seperti suami istri turun dan mengucapkan salam.
Sesaat perempuan Jawa itu berpikir,
siapa tamu yang datang?. Tapi sesaat kemudian segera ingat benar, bahwa tamu
perempuan yang datang adalah ibu yang melahirkan Hanafi ke dunia di rumah sakit
Malahayati.
“Maafkan saya,Bu.” ujar tamunya setelah memperkenalkan lelaki di
sisinya sebagai suaminya. “Saya datang
untuk meminta anak saya kembali.”
Kata-kata itu amat mengejutkan
perempuan Jawa itu. Bu Hartati kaget seperti disambar petir. Dia sudah teramat menyayangi bocah
itu,sebagai anaknya sendiri, sebagai darah dagingnya sendiri. Tiba-tiba,
sekarang ibu bocah itu akan mengambilnya kembali.
“Saya akan mengembalikan uang yang
sudah ibu berikan kepada saya dulu!”
“Rasanya tidak mungkin. Bocah itu
sudah sangat lekat di hati saya. Tidak mungkin lagi saya berpisah dengannya.”
“Tapi suami saya sangat menginginkan
anak itu kembali kepada saya.”
“Tidak mungkin. Saya tidak dapat
memberikannya.”
“Tolonglah saya,Bu. Izinkan saya
mengambil kembali anak yang saya lahirkan. Dia anak saya. Saya yang
melahirkannya. Sekarang saya tidak punya siapa-siapa lagi..” Sang tamu memelas.
“Bukankah anak ibu masih ada satu lagi?,” sahut Bu Hartati berusaha mempertahankan bocah yang sudah
diasuhnya dengan kasih sayang dan cintanya
selama lebih dua tahun.
“Anak saya yang pertama meninggal karena ditabrak sepeda motor di depan
rumah saya.”
Sang tamu menangis tersedu-sedu ketika menceritakan tentang anaknya yang
pertama yang tewas karena ditabrak sepeda motor. Bu Hartati tetap mempertahankan
bocah itu..
“Maaf saya tidak dapat memberikannya. Saya tidak dapat berpisah dengan
anak ini.” Perempuan kelahiran Solo itu
memeluk Hanafi erat-erat.
“Tolong saya,Bu. Bantu saya. Suami saya sangat menginginkan anak itu
kembali kepada kami.”
“Bukankah ibu tidak punya suami lagi?. Bukankah ibu pernah berkata suami
ibu tewas ketika bekerja di Quwait?”
Dengan diiringi derai air mata
sang tamu menuturkan suaminya yang pernah bekerja di sebuah pertambangan
minyak di Quwait dan terlibat
perkelahian dengan buruh dari
Bangladesh.
“Bagaimana suami anda dapat kembali karena sudah meninggal di
sana?,” Bu Hartati keheranan.
“Suami saya memang pernah terlibat perkelahian di kilang minyak di
Quwait…” Sang tamu tidak mampu bercerita
tentang tragedi yang dialami suaminya selama bekerja sebagai te-ka-i di negeri
Arab tersebut.
Bu Hartati membiarkan seorang lelaki yang menyertai tamunya ke rumah
besar itu berkata-kata:
“Saya bekerja di tengah gurun pasir di bagian pengeboran minyak. Sepuluh
orang bekerja di sana, satu dari Indonesia, tiga dari Afrika dan enam dari
Bangladesh.,” lelaki suami tamunya mulai
bertutur tentang kisah sedih yang
dialaminya di negeri orang.
“Bagaimana awalnya kerusuhan itu terjadi?,” Perempuan Jawa itu ingin tahu.
“Salah seorang buruh dari Bangladesh itu kehilangn uangnya. Dia menuduh
saya sebagai pencuri uangnya.”
“Bagaimana dia bisa menuduh anda sebagai pencuri uangnya?”
“Itulah!. Indonesia di luar negeri dianggap sarang penjahat. Semua orang
negeri kita dianggap sebagai maling karena pemberitaan di berbagai media yang
menyiarkan banyak sekali kasus korupsi di negeri kita.”
Dengan sejujurnya lelaki yang baru pulang dari Quwait itu menuturkan,
bahwa dimanapun berada, orang selalu mengatakan,bahwa negara ini adalah negeri
sarang penyamun. Para gubernur terlibat kasus korupsi. Kepala daerah banyak
yang menjadi maling berdasi. Anggota de-pe-er di kursi terhormat menjadi tikus.
Bekas menteri juga banyak yang terlibat kasus korupsi.
Menggelapkan duit rakyat sudah merata di mana-mana, hingga ke
daerah-daerah sehingga timbul anggapan di luar negeri semua warga negara
Indonesia adalah maling. Maling. Jahat. Koruptor. Pencuri. Tikus. Penjahat
besar!. Itulah kesan orang luar negeri terhadap rakyat Indonesia. Padahal yang melakukan kejahatan itu hanya
sekelompok orang. Hanya pejabat. Hanya birokrat!. Tapi yang jadi korban anggapan miring adalah
semua warga negeri ini.
“Karena itulah saya juga dianggap maling oleh buruh dari Bangladesh,
padahal saya tidak melakukan.. Saya
marah dan terjadi pertengkaran yang akhirnya menjadi perkelahian. Harga diri saya seperti diinjak-injak oleh
buruh dari Bangladesh itu. Tentu saja saya tidak terima. Saya memukul kepalanya
dengan besi dan tidak menyadari, bahwa
orang Bangladesh ada enam orang sementara saya hanya sendiri. Saya diserang
dengan besi hingga tidak berdaya. Saya pingsan.”
“Jadi anda tidak meninggal?” sela
Bu Hartati.
“Saya hanya pingsan, tapi kabar yang sampai di keluarga saya di tanah
air, bahwa saya meninggal.”
“Lalu bagaimana yang terjadi sebenarnya?,” Perempuan Jawa itu ingin tahu.
“Saya hanya pingsan dan tidak berdaya. Tubuh saya dibuang di tengah
padang pasir yang sunyi dalam keadaan penuh luka-luka dan tidak berdaya.”
Lelaki itu menujukkan bekas luka ditubuhnya. Lelaki itu menuturkan lagi,
selama 3 jam dia terbaring di tengah gurun pasir yang terik dan gersang. Angin
gurun yang berhembus membawa pasir gurun dan tubuh yang luka itu ditutupi pasir
gurun.
“Untunglah ada lima orang mahasiswa Indonesia yang sedang mengadakan
penelitian kehidupan di padang pasir. Mereka mengenderai unta menelusuri gurun
pasir dan menemukan tubuh saya tertimbun pasir gurun.”
“Dari mana mahasiswa itu?”
“Mereka mahasiswa Indonesia dari Universitas Islam Al Azhar. Merekalah
yang membawa saya ke rumah sakit.”
Perempuan Jawa itu ikut merasa sedih mendengar penuturan itu. Sebuah
mukjizat telah terjadi dan menyelamatkan tubuh yang malang
itu. Andainya tidak ada mahasiswa yang sedang mengenderai unta untuk melakukan
penelitian dipastikan lelaki itu sudah mati karena luka-luka yang dideritanya
dan karena panas terik di tengah gurun
pasir.
“Berbulan-bulan saya dirawat di rumah sakit karena saya mengalami gegar
otak. Setelah saya dinyatakan sehat saya
diijinkan keluar dari rumah sakit. Saya
trauma melihat orang-orang Bangladesh itu. Saya tidak ingin bekerja lagi di perminyakan.” kata lelaki itu lagi.
“Lalu bekerja di mana?”
“Saya bekerja di rumah sakit tempat saya dirawat, sampai suatu saat saya
pulang ke tanah air.” Dan lelaki itu
mengatakan di rumah sakit itu dia dipercaya menangani bidang kelistrikan, lift,
alat pendingin udara dan dapur.
Perempuan Jawa itu menghela nafas panjang. Betapa menyedihkan nasib orang
Indonesia. Karena tingginya angka
korupsi di negeri yang elok ini berakibat semua
we-en-i dianggap jahat. Karena banyaknya maling berdasi dipemerintahan,
seluruh rakyat Indonesia menjadi korban anggapan buruk. Semua dianggap
pencuri.
Alangkah sedihnya nasib anak bangsa ini. Semua dianggap tikus karena
prilaku birokratnya. Akankah sampai kiamat negeri ini jadi sarang maling?.
Akankah sampai kiamat semua anak bangsa ini dianggap jahat?. Sesaat perempuan
Jawa itu menekur.
Ketika Bu Hartati sedang menekur itulah tamunya berkata lagi:
“Hanya keajaibanlah yang menyelamatkan suami saya,”.
“Saya ikut sedih.”
“Selama ini saya menganggap suami saya sudah menemui kematiannya di
negeri orang. Tapi Tuhan masih melindunginya. Saya masih beruntung tidak sempat
menjadi janda.”
Bu Hartati menekur. Dia menyadari tamunya datang untuk meminta kembali anak yang dilahirkannya
dan sudah lebih dua tahun diasuh Bu Hartati dengan kasih sayang dan dianggap
sebagai anak kandungnya sendiri. Sanggupkah aku melepaskan bocah ini kembali
kepangkuan ibunda yang melahirkannya. Rasanya aku tidak sanggup. Lama perempuan
Jawa itu menekur.
“Saya mohon bantuan ibu. Saya mohon kesediaan hati ibu. Saya mohon
kelembutan ibu. Perkenankan saya mengambil kembali anak saya yang sudah lama
dalam asuhan ibu.”
“Saya sudah terlalu mencintai anak itu. Dia adalah buah hati saya
meskipun bukan saya yang melahirkannya. Rasanya saya tidak sanggup untuk
melepasnya dari tangan saya,” perempuan
Jawa itu menuturkan isi hatinya.
“Tolonglah saya,Bu. Bantu saya!.”
Sang tamu mengiba dengan suara rendah.
“Mungkin saya akan pingsan kalau Hanafi pergi dari sisi saya. Mungkin
saya akan mati berdiri kalau tidak ada Hanafi ” Perempuan Jawa itu menyebut
nama bocah itu.
“Izinkan saya membawa Hanafi ke rumah saya kembali.” tamunya tetap mengharap penuh rasa iba.
“Kalau Hanafi meninggalkan saya esok atau lusa saya akan jauh sakit karena dia sudah mendarah daging dalam
diri saya. Hari-hari berikutnya mungkin
saya akan mati. Saya akan mati. Saya
akan mati,” katanya berulang-ulang
dengan nada sedih.
“Mudah-mudahan ibu panjang umur. Ibu boleh datang ke rumah saya setiap
saat untuk menjenguk Hanafi.Ibu boleh menciumnya, ibu boleh menggendongnya.”
Perempuan Jawa itu tidak mampu membendung air mata. Dia tersedu. Hatinya amat hancur, Hanafi akan
meninggalkannya. Perempuan suku Jawa itu amat sedih karena kehilangan putra
tunggalnya, kemudian seorang bocah yang sudah lekat di hatinya kini direnggut
,kembali ke pangkuan ibu kandungnya.
***
A
|
ir mata berderai
di pipi perempuan Jawa itu ketika bocah hampir 3 tahun itu digendong ibu kandungnya. Air mata di pipinya seperti hujan lebat yang
tercurah dari langit. Lama dia mencium bocah itu, hingga rambutnya basah oleh
derai air matanya.
“Selamat jalan ,anakku. Selamat
jalan, Hanafi.” ucapnya dan mencium bocah balita itu untuk terakhir kalinya.
Berhari-hari dadanya terasa perih. Bahkan beminggu-minggu kesedihan
menggurati hatinya. Selama ini, sepanjang hari dia hanya bercanda dengan si
kecil itu sehingga bunga-bunga di halaman rumahnya tidak tersentuh oleh
tangannya yang mulus. Rumpun bunga dolores yang cantik dan warna-warni itu
tampak layu karena berhari-hari tidak disiram. Juga rumpun tanaman legasi dan aurora Siam juga layu karena tidak dipupuk. Nasib anggrek juga
kehilangan keindahannya karena pemiliknya lalai. Juga nasib anyelir tampak
terkulai. Semua bunga jenis aglaonema tampak menyedihkan.
Sudah amat lama perempuan Jawa itu tidak menyentuh bunga-bunga nan elok
itu. Apalagi ikan arwana merah dalam
akuarium yang berharga mahal itu tampak
kurus dan geraknya dalam air tampak lesu dan tidak gairah. Bahkan arwana merah
itu hampir mati.
Air mata perempuan Jawa itu berderai lagi ketika menyiram bunga-bunga
itu. Dua kali perempuan itu mengalami kesedihan. Dua kali dia mengalami
kehancuran. Yang pertama ketika putra tunggalnya tewas mengenaskan ketika
menghadapi demonstran. Lalu kesedihan itu datang lagi ketika seorang anak asuh yang sudah
sangat lekat di hatinya diambil kembali oleh ibu kandungnya.
Perempuan itu hanya mampu menangis. Air matanya menitik di rumpun bunga
anggrek. Di depan akuarium pun air matanya
masih menitik. Dua ekor arwana merah berhenti bermain dan menatap wajah
perempuan itu.
“Mengapa sedih,wahai ibunda?. Mengapa menangis ,wahai ibu?,” ikan arwana merah itu menyapa dalam bahasa
ikan.
“Hapuslah air mata bunda,” ujar ikan arwana merah itu. Namun air mata perempuan Jawa itu terus saja mengalir.
Stres dan traumatik kembali menyiksa batinnya,bahkan semakin berat.
Karena selama hidupnya,selama menjejakkan kakinya di bumi Sumatera dua kali
kehilangan. Anak tunggalnya tewas mengenaskan, kemudian anak angkat yang mulai
disayanginya diambil kembali ke pangkuan bundanya.
Kini perempuan Jawa itu kembali selalu termenung, selalu digoda
ketakutan. Kadang-kadang ketika memangkas tanaman bonzai di halaman rumahnya,
tiba-tiba muncul seseorang yang merampas bunga kesayangannya. Juga ketika
memberi makan ikan arwana merah di akuarium itu tiba-tiba dari dalam air muncul
wajah-wajah bringas yang membawa pentungan.
Tiba-tiba saja tubuh Bu Hartati menggigil ketakutan.
“Pergi!. Pergiiii. Jangan ganggu aku!,” teriaknya.
Tentu saja sang suami heran lalu segera menghampiri dan menyentuh
pundaknya.
“Siapa lagi yang menggoda ibu?.”
“Orang-orang bringas itu datang lagi membawa pentungan. Bantu saja saya
mengusirnya. Tembak mereka. Tembak mereka yang membawa pentungan ke rumah
kita!.” Tubuh perempuan itu bermandi peluh dingin. Perempuan Jawa itu tahu suaminya memiliki
senapan buru untuk mengusir babi hutan di kebun.
“Tidak ada siapa-siapa yang masuk rumah kita. Di sini aman!”
Tetap saja Bu Hartati mengatakan,bahwa ada seseorang yang datang membawa
pentungan dan wajahnya tampak bringas.Mereka tampak seperti orang-orang yang lapar.
“Kita perlu mencari seorang anak lagi, seperti Hanafi. Biar ibu tidak
berpikir yang bukan-bukan. Biar ibu tenteram.”
“Siapa lagi yang akan kita ambil untuk jadi anak angkat?. Setahun dua
tahun akan diambil lagi oleh ibu
kandungnya. Sia-sia saja kita mengasuh dan menyayanginya.” Bu Hartati tidak
acuh. Hanafi yang kembali ke pangkuan ibu kandungnya amat memukul jiwanya.
“Ada seorang anak yang tidak akan dijeput ibu kandungnya setelah tinggal
di rumah kita,” cetus suaminya.
“Siapa anak itu?. Bisakah kita menyayangi dia?”
“Bisa!”
“Masih bayikah anak itu?”
“Tidak. Kita tidak perlu repot mengganti popoknya. Kita tidak perlu
ngantuk karena membuat susu botolnya.”
“Kalau begitu bocah itu sudah besar!”
“Ya,sudah dewasa.”
“Siapa dia?” Bu Hartati ingin
tahu. Tatapan matanya tajam.
“Anak nelayan yang sekarang sudah
dewasa.”
Di benak Bu Hartati mendadak muncul dua wajah anak nelayan, Iqbal dan
Laila.”
“Lailakah?.”
“Bukan!. Laila tidak bisa meninggalkan ibunya yang janda. Lagi pula usaha
sembako miliknya di desa itu sudah sangat berkembang. Hidup mereka lumayan
sekarang, jauh lebih baik dari kehidupan nelayan di desa pantai itu.”.
Sepasang bibir perempuan Jawa itu bergetar menyebut sebuah nama yang amat
lekat di hatinya:
“Iqbal!”
“Benar!. Iqbal hampir tamat es-em-a. Apa salahnya Iqbal tinggal bersama
kita di rumah ini. Kita dapat membiayai kuliahnya. Iqbal dapat menjadi
pengganti anak kita, Faisal dan sekali gus Hanafi.”
“Rasanya pilihan yang tepat.”
“Apa lagi Iqbal adalah siswa yang berprestasi di sekolahnya. Iqbal akan
mudah masuk perguruan tinggi.”
“Apakah Iqbal memang bercita-cita untuk masuk perguruan tinggi?”
“Diam-diam bapak sudah selalu menghubunginya. Iqbal pingin
jadi dokter,terutama dokter mata untuk dapat mengobati sahabatnya, Laila.”
Perempuan Jawa itu manggut-manggut dan menatap suaminya.
“Kapan kita akan membawanya ke rumah kita,” Bu Hartati seperti tidak
sabar.
“Iqbal sudah oke. Tinggal dia ingin pamit.”
“Pamit dari ibunya?”
“Bukan dari ibunya, tapi pamit dari sahabatnya,Laila.”
Persahabatan mereka amat akrab, persahabatan yang sudah bertahun-tahun
terjalin. Persahabatan yang amat kukuh dan tidak akan rapuh oleh angin kencang
atau gempa dahsyat. Persahabatan itu tidak akan hancur kecuali oleh kematian.
***
P
|
ipi yang
kemerahan itu basah oleh derai airmata. Seperti ada anak sungai kecil yang
airnya deras di pipi gadis berdarah
nelayan itu. Hatinya hancur berkeping-keping seperti cermin yang terhempas di
atas batu cadas. Dadanya terasa remuk,
seperti tertimpa sebatang pohon nyiur. Laila amat sedih ketika Iqbal pamit
untuk tinggal di rumah bu Hartati di kawasan elite Setia Budi. Belum pernah
Laila merasakan kesedihan seperti saat itu, seperti pada saat sahabatnya akan
meninggalkanya.
Mereka berdua duduk di atas pasir putih yang terhempang amat luas. Mereka melihat elang yang terbang berpasangan dan terbang rendah. Mereka
melihat buih ombak yang bergulung-gulung membentur bibir pantai. Mereka
menyaksikan perahu nelayan menuju laut lepas dan baru esok akan pulang.
Burung elang saja tidak ingin berpisah dari pasangannya,apalagi manusia.
Sepasang anak manusia itu bukan lagi bocah ingusan, tapi sudah menjadi
gadis remaja dan jejaka. Mereka sudah
mengantongi ijazah es-em-a dan keduanya mendapat hadiah dari kepala sekolah
karena paling berprestasi.
Belum pernah perpisahan itu terjadi. Sulit bagi Laila untuk membendung
air matanya. Lama Laila menangis dan
tersedu.
“Aku tidak sanggup untuk berpisah,Iqbal,”
suara itu terdengar diantara debur ombak.
“Kuatkan hatimu,Laila,” bujuk Iqbal.
“Aku tidak kuat,Iqbal. Hatiku rapuh. Hatiku hancur.” Laila tersedu lagi. “Siapa lagi yang akan menjadi sahabatku
setelah kamu pergi.”
“Masih banyak anak-anak nelayan yang
akan berbuat baik kepadamu. Masih ada Uteh, Alang dan banyak lagi.” Iqbal
menyebut sejumlah nama sahabatnya sesama anak nelayan yang kini sudah menjai
dewasa. Semua anak nelayan, bahkan beberapa orang sahabatnya sudah ada yang
ikut melaut mencari nafkah. Mau jadi apa
lagi kalau tidak jadi nelayan?. Tidak ada kehidupan lain di desa pantai yang terletak di Selat Malaka itu.
“Sulit untuk mendapakan sahabat seperti kamu.”
“Aku akan selalu pulang kemari. Aku akan selalu menemuimu. Jangan merasa
kamu sudah kehilangan aku,” bujuk Iqbal
lagi dan menggenggam jari tangan
sahabatnya erat-erat. Iqbal mengecup jari-jemari sahabatnya yang
lentik.
“Mungkin aku akan jatuh sakit
setelah kamu jauh dariku. Atau hidupku yang gelap tidak akan punya arti lagi.”
“Jangan berkata begitu,Laila.
Lepaskan aku pergi dengan rela. Izinkan aku pergi untuk merobah nasib. Aku akan tetap jadi nelayan seperti
kawan-kawan kita lainnya kalau aku tidak pergi dari desa ini. Cuma jadi nelayan, itulah kehidupan yang ada
di desa kita. Cuma sebagai nelayan dan
miskin.”
“Aku takut setelah kamu meninggalkan
aku, hidupku akan semakin gelap, hampa dan tidak punya arti apa-apa. Aku akan
menghadapi hari-hariku dengan derai air
mata.” Kata-kata itu diucapkan Laila
dengan iringan derai airmata yang semakin deras.
“Yakinlah persahabatan kita yang
sudah terjalin bertahun-tahun tidak akan hancur. Kita akan selalu berhubungan,
kita akan selalu berkata-kata tentang kerinduan. Bu Hartati sudah berjanji akan
memberiku sebuah telepon genggam yang bagus
dan untukmu juga, sehingga kita dapat saling berkata-kata.”
“Kita tidak akan pernah lagi-lagi
duduk-duduk di atas pasir seperti ini.”
“Kenapa tidak?. Aku akan selalu
pulang ke pantai ini. Bu Hartati sudah berjanji untuk mengizinkan aku sesekali
pulang kemari “
Laila berusaha menyeka air mata di pipinya yang kemerahan.. Dia
membiarkan jari-jari tangannya tetap
digenggam amat erat oleh sahabatnya.
“Jangan menangis terus, Laila. Ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu.Dengarlah!”:
Gadis berdarah nelayan itu
berusaha menahan isaknya dan mengangkat wajah memandang ke arah
sahabatnya,padahal dia hanya memandang dengan mata hatinya.
“Apa yang ingin kamu katakan kepadaku?
Sebuah janjikah bahwa kamu tidak akan melupakan aku?. Bahwa kamu akan
selalu pulang menemuiku?”
“Tidak hanya itu!”
“Lalu tentang apa lagi?”
“Aku akan tinggal di rumah Bu Hartati
dengan sebuah iktikad yang sangat mulia,Laila.”
“Mulia bagaimana?”
“Kamu harus ingat,bahwa kehidupan di desa ini hanya sebagai nelayan.
Kalau aku tetap di desa ini paling-paling hanya jadi nelayan dan hidup miskin. Aku igin merubah nasibku ke arah kehidupan
yang lebih baik.”
Laila hanya menghela nafas panjang.
“Apakah di rumah besar itu kamu akan jadi pelayan?. Apakah dirumah besar itu kamu akan jadi satpam?. Untuk apa kita
berpisah lama dan jauh kalau kamu hanya jadi satpam.”
“Tidak. Kita sudah tahu kebaikan hati Bu Hartati dan suaminya. Putra
tunggalnya tewas mengenaskan. Di rumah besar itu tidak ada siapa-siapa lagi kecuali Bu Hartati dan suaminya serta
sepasang kucing anggora.”
“Kamu akan dijadikan anak angkat menggantikan putra tunggalnya?. “
“Ya!.”
“Mudah-mudahan semua berlangsung baik-baik saja. Semoga di rumah itu kamu
tidak menjadi satpam.”
“Aku akan diberi kesempatan kuliah
seperti almarhum anaknya. Aku akan kuliah di Fakultas Kedokteran. Aku
harus jadi dokter untuk mengobati matamu.
Aku bersumpah, harus jadi dokter dan harus mampu membuatmu sembuh dan
dapat melihat dunia seperti manusia normal lainnya.Aku bersumpah, demi Allah.
Aku harus jadi
dokter dan mengobatimu. Kamu harus dapat
melihat dunia. Kamu harus sembuh apapun yang terjadi di antara kita!.” Itulah tekad yang dijanjikan Iqbal di depan
sahabatnya disaksikan oleh ombak laut dan elang serta awan putih yang
berarak-arak.
“Terima kasih,Iqbal. Kamu adalah
sahabatku yang paling baik.” Sahut Laila
dan tiba-tiba saja rebah di dada Iqbal yang tegar.
Ketika itulah, ketika Laila rebah di
dada Iqbal, lelaki muda itu membelai rambutnya
dan membelai pundaknya dengan kasih sayang.
“Apapun akan kulakukan
untukmu,Laila Kalau perlu setelah aku tinggal di Medan nanti akan
kucari seseorang yang bersedia
meyumbangikan matanya untukmu.” Iqbal
berkata sungguh-sungguh.
“Adakah seseorang yang mau jadi
donor mata?. Adakah manusia yang dirinya normal
lalu mendonorkan matanya? Kukira
tidak ada, sebab dunianya akan menjadi
gelap seperti yang kuderita selama ini.”
“Aku yakin ada!”
“Kalau tidak ada bagaimana?”
“Kalau tidak ada, sebuah mataku akan
kuberikan kepadamu. Biarlah aku jadi dokter
yang hanya memiliki sebelah mata.”
“Oh,Iqbal. Hatimu amat mulia.” Laila masih tetap rebah di dada sahabatnya.
Amat lama. Masih saja Iqbal membelai
rambut Laila.
“Aku sudah memikirkannya dalam-dalam, kalau aku menolak permintaan Bu Hartati
dan suaminya, itu artinya aku akan tetap jadi nelayan miskin yang tidak dapat
berbuat apa-apa untukmu.”
“Aku selalu berdoa untukmu,Iqbal.
Tapi izinkan aku menyebut namamu kalau aku rindu padamu.” Pinta Laila masih rebah di dada sahabatnya.
“Tentu saja!. Aku juga akan selalu menyebut namamu. Aku akan
selalu merindukanmu tiap saat.”
Ombak berdebur hingga ke pantai. Air laut sudah menyentuh bibir
pantai dan kaki sepasang sahabat
itu dibasahi air laut. Mereka masih
bertahan duduk di tepi laut itu.
***
K
|
asihan gadis
tunanetra itu. Hatinya hancur berkeping-keping. Dadanya terasa remuk. Gadis
malang itu merasa tidak punya siapa-siapa lagi, ayahanda direnggut laut yang
marah,tsunami, sahabat telah pergi. Miliknya sekarang hanya sepi dan kehampaan.
Miliknya hanya rindu pada sahabat.
Kalau rindu pada sahabatnya amat menyenak dalam dadanya, gadis itu
berjalan ke arah laut. Gadis itu memandang laut lepas,padahal yang tampak
adalah kegelapan. Tapi gadis buta itu memandang laut dengan matahatinya.
Di tepi laut yang terletak di Selat Malaka itu, air mata gadis itu selalu
mengalir. Akankah Iqbal sesekali pulang ke pantai ini?. Akankah aku akan
kehilangan untuk selamanya?. Gadis itu
selalu bertanya kepada laut yang berdebur di depannya. Kepada siapa lagi gadis itu mengadukan
kesedihan hatinya kalau tidak kepada laut yang tiap hari berdebur?.
“Mengapa bersedih ,wahai gadis cantik. Mengapa menangis di tepi laut
ini,sayang?.” Burung laut selalu terbang
rendah dan menyapanya. Angin yang
berhembus mempermainkan pucuk pohon
nyiur juga seperti bernyanyi untuknya.
“Jangan bersedih. Jangan berduka. Sahabatmu pergi untuk masa depanmu agar
tidak selamanya engkau dalam kegelapan,”
“Gembirakan hatimu. Pandanglah ke depan.
Kamu akan melihat masa depan yang cerah bersama sahabatmu,bukan kegelapan.”
Perlahan gadis tunanetra itu menyeka air mata di pipinya yang kemerahan.
Andainya dia tidak mendengar suara elang laut, andainya angin yang berhembus tidak menyapanya, mungkin gadis itu
akan jatuh sakit karena tidak mampu menahankan rasa kehilangan pada dirinya.
Terkadang berjam-jam gadis tunanetra itu berada di tepi laut dan membiarkan kakinya basah terendam air
laut. Pada debur ombak laut gadis itu kirim salam kerinduan untuk sahabatnya.
“Sebut namaku,Iqbal . Sebut
namaku!,” kalimat itulah yang selalu dikatakan gadis itu kepada debur
ombak atau kepada elang laut yang
terbang rendah. Awan putih yang berarak di langit biru seperti berbisik
kepadanya agar hatinya tidak terlalu dilanda kehancuran.
“Sahabatmu memiliki hati mulia,Laila. Sahabatmu sedang berada di kampus
menimba ilmu. Sahabatmu akan menjadi dokter yang baik. Sahabatmu sedang mencari seseorang yang mau
menyumbangkan matanya. Tapi di dunia mana ada seseorang yang mau
memberikan matanya?. Mata adalah organ
tubuh yang paling penting dan disayangi. Gelandangan paling miskipun pasti akan mempertahankan
sepasang matanya. Biarlah miskin tapi tetap dapat melihat dunia yang
indah”, Awan yang berarak di langit biru
seperti menghiburnya.
Gadis tunanetra itu masih menatap laut dengan mata basah dan mendengar suara lagi:
“Yakinlah, sahabatmu akan berbuat yang terbaik untukmu. Sahabatmu sedang
berusaha agar kamu dapat melihat.”
Memang lelaki itu sudah bersumpah akan berbuat yang terbaik untuk
sahabatnya. Iqbal rela meninggalkan desanya, rela meninggalkan sahabatnya
yang selalu menangis. Lelaki itu tiap
hari hadir di kampus mengepit buku-buku dan diktat kuliah.
Lelaki muda itu adalah anak nelayan miskin di desanya, tapi kini dia
hadir di kampus yang megah ,yang diteduhi pepohonan. Iqbal berasal dari
keluarga miskin di pinggir laut,tapi
tiap hari hadir di kampus bersama anak-anak berprestasi lainnya. Lelaki muda itu tidak merasa
canggung hadir di kampus di antara
sekian ribu mahasiswa lainnya.
Tiap hari lelaki asal desa pantai itu melewati gerbang kampus dan di sana
terpajang tulisan besar, selamat datang
putra -putri Indonesia terbaik.
Memanglah lelaki keturunan nelayan miskin itu adalah salah satu diantara sekian
ribu anak manusia yang pintar.
Terkadang ketika dia sedang dibangku kuliah dan membuka lembaran diktat, terbayang wajah
Laila yang duduk sendiri di pinggir laut. Sahabat Laila di pantai itu hanya elang
laut sekarang.
Di rumah besar itu, Iqbal tidak dianggap orang lain, tapi sebagai anak
sendiri. Perempuan asal Solo itu tidak
pernah lagi termenung-menung. Tidak pernah lagi muncul bayang-bayang orang
berwajah bringas membawa pentungan dan parang sambil berteriak-teriak histeris.
Dan bunga-bunga aneka jenis dan warna di halaman rumah besar itu semakin
subur seperti ikut gembira menyambut kehadiran seorang anak nelayan di rumah
besar itu Hampir tiap hari Iqbal ikut
merawat bunga-bunga itu. Ikut mencabut rumput atau memberi pupuk pada bunga anggrek
yang kurang subur.
“Wah, ibu bisa ikut festival bunga nanti!,” cetus lelki muda itu di depan Bu Hartati.
“Nanti, suatu saat ibu akan ikut festival.” Perempuan Jawa itu tersenyum..
Dan perempuan itu tidak pernah lagi membersihkan air akuarium yang sudah
kotor. Tentu saja yang membersihkannya adalah Iqbal. Sesekali kalau sedang membersihkan air akuarium dan suara gemercik air lelaki muda itu
termenung. Gemercik air mengingatkan dia kepada ombak. Lelaki muda itu bila memandang air di akuarim lalu ingat
laut, lalu ingat sahabatnya di desa.
“Kamu sedang menyebut namaku,Laila?.”, katanya seorang diri di depan
akuarium di depan ikan arwana merah yang indah.”Pantas hatiku bergetar. Aku
juga selalu menyebut namamu. Aku
baik-baik saja di sini. Keluarga Bu Hartati sangat baik kepadaku. Jangan anggap aku dijadikan satpam di sini.”
Lama lelaki muda itu menatap empat pasang ikan arwana merah yang bermain
amat lincah di air. Semua membuat lelaki muda itu terkenang suasana di desanya ketika bermain air di
laut.
“Aku rindu pulang,Laila. Aku rindu pantai, aku rindu debur ombak. Aku
rindu padamu dan kita bermain air serta
mendirikan sebuah istana dari pasir yang kita sebut sebagai kraton Sultan Sulaiman
Syahrul Alamsyah di Kuta Galuh Perbaungan.”
“Tunggulah, aku akan pulang suatu saat nanti. Kuliahku belum libur, lagi
pula aku harus belajar tekun biar segera
jadi dokter dan mengobati matamu biar bisa melihat dunia.”
Lelaki muda itu berkata-kata sendiri dengan ikan arwana yang bermain di
air. Lelaki muda itu tidak menyadari ibu angkatnya sudah berdiri di sisinya dan
memperhatikan dirinya.
“Apa yang kamu renungkan ,anakku?,”
suara ibu angkatnya mengagetkan lelaki itu.
“Akh, tidak ada apa-apa,Bu.” Sahut
lelaki muda itu gugup.
“Kedengarannya kamu sedang berkata-kata sendiri.”
“Saya sedang bercerita dengan arwana ini,bu!”
“Cerita tentang apa?” Perempuan Jawa itu menatapnya dalam-dalam.
“Tentu saja cerita tentang laut. Bukankah rumah saya di pinggir laut dan
saya senang bercanda dengan ombak. Saya juga mengatakan ,bahwa di laut amat
banyak ikan yang menjadi sumber nafkah semua nelayan”
“Kamu ada-ada saja. Jangan dulu rindu pulang. Tinggallah di rumah
ini seperti anak kandung ibu!. Kamu
harus segera jadi dokter.”
Kata-kata itu terdengar amat sejuk
di hati lelaki muda itu. Lelaki itu memang rindu laut, rindu sahabatnya.
“Seperti ada yang kurang di rumah ini,Bu,” terdengar suara lelaki muda itu.
“Apa yang kurang? Ikan arwana itu sudah cukup jadi hiburan buat ibu,”
“Ada lagi yang lebih mempesona!”
“Apa itu?”
“Ikan low han. Suasana rumah ini akan lebih indah dengan adanya ikan-ikan
low han disamping arwana yang sudah
ada.”
“Kamu benar,anakku. Besok temani ibu mencari low han yang sehat dan
lincah.” Perempuan Jawa itu tersenyum.
Perempuan Jawa itu amat senang
Iqbal banyak mengajukan usul dan pendapat. Pemikiran Iqbal selalu
bernas dan positif.. Bila di halaman
yang luas itu sudah ada bonsai santigi
yang berasal dari Lihukan, tentu saja yang menyarankan adalah Iqbal.
Sekarangpun perempuan itu menginginkan low han untuk menghiasi akuariumnya.
Wajah perempuan Jawa itu tidak pernah lagi murung. Sepanjang hari wajahnya
selalu ceria,apalagi kalau sudah bercanda
dengan Iqbal.
Sebagai seorang anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan, di tepi
pantai yang terletak di Selat Malaka, tentu saja Iqbal amat senang dengan
berbagai jenis ikan, apalagi seperti arwana merah dan low han. Sebab ketika masih bocah, dengan
tangan kosong Iqbal dapat menangkap ikan dari dasar laut. Tidak ada anak
nelayan yang tidak dapat menangkap ikan dengan tangan kosong di tengah laut.
Sekarangpun, di rumah besar itu ,
Iqbal setiap hari menghadapi akuarium berisi ikan low han dan arwana merah.
Tanpa lelah, pulang kuliah, sambil membawa diktat dan buku-buku, lelaki muda
itu harus mampir ke pusat penjualan akuarium. Iqbal membeli pelet, cacing
beku dan filter, pump dan frazen blood.
Dari pusat penjualan ikan hias itulah lelaki itu mendapatkan informasi tentang
seminar tentang manfaat ikan hias dan
kaitannya dengan kehidupan manusia.
Siapa yang tidak tertarik untuk
menghadiri seminar itu karena dengan memelihara ikan hias dapat memperpanjang
umur?. Terhindar dari stres dan beban pikiran yang beret.
Perempuan Jawa itu justru
merasa sangat gembira ketika Iqbal
mengajaknya untuk menghadiri seminar itu. Pesertanya amat banyak, dari berbagai
kota, dari berbagai kalangan. Ada nenek-nenek tua merasa awet muda karena
selalu menyaksikan arwana beratraksi dalam air. Ada sepasang pengantin baru
ingin jadi pengusaha ikan hias. Seminar itu diminati banyak orang. Dan yang
paling menguntungkan adalah oleh-oleh yang dibawa pulang tentang perawatan ikan
hias, tentang menjaga ikan-ikan itu dari jamur dan penyakit. Juga tentang tata
letak akuarium di ruang rumah agar serasi dan enak di pandang.
Satu lagi hal yang paling penting
adalah tentang kabar akan diadakan Arwana Contest. Tentu saja perempuan Jawa itu ingin jadi peserta
kontes yang sangat bergengsi itu. Siapa lagi yang menuntunnya kalau bukan anak
nelayan itu?. Iqbal!.
Lelaki muda yang lahir di tepi Selat Malaka itu seperti amat memahami
bahasa ikan, dia sangat mengerti keinginan mahluk dalam air itu, juga tentang
keluhan-keluhan bila ikan-ikan itu sakit. Itulah sebabnya arwana merah dalam
perawatan Iqbal tumbuh sehat dan lincah. Itulah sebabnya perempuan Jawa itu
memenangkan Arwana Contest dan mendapatkan sebuah tropy berbentuk ikan arwana
berlapis emas. Bu Hartati merasa amat bahagia sekali. Rasanya dia memiliki
dunia.
Dian-diam Iqbal memperhatikan Bu Hartati yang sedang merawat bunga
anacanda yang cantik dan dari celah bibirnya tergetar tembang Jawa yang merdu:
Ana kidung rumekso ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabe
jin setan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawa ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna
Sumsumingsun Fatimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Daya sarira tunggal
Iqbal memberikan aplaus dengan tepuk tangan dan mengacungkan jempol kanannya
sehingga perempuan asal Solo itu menoleh
padanya. Mereka saling senyum dan Iqbal
berkata ketus:
“Hebat suara ibu!. Sungguh merdu. Pasti maknanya bagus!”
“Tentu bagus!. Karena tembang itu diciptakan oleh Sunan Kali Jaga.”
Bu Hartati mengatakan,bahwa Sunan Kalijaga adalah ulama besar di Pulau
Jawa yang banyak menggubah banyak sekali tembang yang bermuatan dakwah. Iqbal
terkagum-kagum,apalagi ketika perempuan asal Solo itu mengungkapkan makna
tembang Jawa itu.
Ada nyanyian di tengah malam, yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala
petaka jin dan setanpun tidak mau . Segala jenis sihir tidak berani. Apalagiu
perbuatan guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku.
Segala bahaya akan lenyap.
“Lanjutan tembang itu bermakna, bahwa sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Faimah sebagai
kekuatan badanku. Nanti Nabi Ayub ada dalam ususku. Nabi Nuh dalam jantungku.
Nabi Yunus dalam otakku. Mataku adalah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam
lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah
semua rasul , yang menjadi satu badan.”
“Tembang itu amat panjang, ibu
menyanyikannya hanya beberapa bait saja.”
“Saya benar-benar kagum.Bu.”
Sekali lagi Iqbal mengacungkan
jempol kanannya. Bu Hartati amat senang mendengar pujian itu dari seorang
lelaki muda yang kini di sisinya seperti anak kandungnya sendiri, seperti
almarhum Faisal Wicaksono.
Perempuan Jawa itu tidak pernah lagi pening kepala,tidak pernah mual pada
perutnya. Perempuan itu sembuh dari stres berat. Traumatik yang amat parah pada
dirinya benar-benar sembuh. Tidurnya
amat nyenyak dan mimpinya selalu indah,mimpi mendaki gunung yang amat tinggi
atau memetik sebuah bintang di langit
biru. Perempuan itu tidak pernah lagi
pergi ke dokter,apalagi konsultasi dengan psikiater. Kebahagiaan dan
ketenteraman hati sudah kembali pada dirinya. Semua itu karena kehadiran Iqbal
di rumah besar itu.
“Anugerah ini karena kamu,anakku,”
cetus perempuan itu seusai menerima anugerah yang amat bergengsi itu.
Iqbal bersyukur mendapat pujian.
Turun dari lantai dua gedung perkuliahan, telepon genggam di sakunya
berdering. Jantungnya berdebar keras
ketika mengetahu dari desa kelahirannya, dari sahabatnya,Laila.
“Kamu masih di kampus,Iqbal?,” tanya
Laila dari jauh..
“Ya, aku sedang berjalan pulang. Aku rindu pada desa kita,Laila.”
“Kalau rindu pulanglah!,” imbau sahabatnya. Jelas terdengar debur ombak
di telepon genggam lelaki itu. Karena Laila sedang berada di tepi laut. Biar sahabatnya mendengar debur ombak, biar
mendengar suara elang, biar kerinduan terhadap laut tumbuh di hati lelaki
itu.
“Kuliahku belum libur. Bukankah kamu ingin aku segera jadi dokter
kemudian mengobati matamu biar dapat melihat indahnya dunia?.”
“Ada sesuatu yang istimewa di desa kita, pulanglah segera!,” imbau Laila
dari tepi laut.
“Ada apa di desa kita?”
“Kamu lihat sendiri nanti,
aku tidak bisa mengatakannya.
Yang pasti kamu akan senang melihatnya.
Benar-benar istimewa dan belum pernah terjadi di desa kita.”
Lelaki asal desa nelayan itu bertanya-tanya dalam hatinya, ada apa
gerangan di desaku?. Haruskah aku pulang?
“Pulanglah walaupun hanya satu atau
dua menit. Kamu akan rugi besar, kamu akan menyesal kalau tidak
pulang!,” imbau Laila penuh harap.
Sesaat lelaki berdarah nelayan itu
memikir-mikir. Dan Laila terus mengimbau:
“Kukira hal yang istimewa ini cuma sekali dalam sepuluh tahun.”
Tanda tanya dalam hati lelaki berdarah nelayan itu semakin besar.
Rindunya pada pantai ,rindunya pada ombak, rindu pada lambaian nyiur di
sepanjang pantai makin besar tumbuh dalam dadanya, apalagi kerinduan pada
sahabatnya. Lelaki itu ingin memandang
puas-puas pipi sahabatnya yang kemerahan
dan mereka akan berjalan menapaki pasir putih yang terbentang luas. Mereka akan berjalan berdua seperti masa kanak-kanak dulu, betapa amat
menyenangkan membangun istana dari pasir di pantai yang elok itu.
Lelaki muda itu rindu pada jari-jemari sahabatnya yang lentik dan ingin
meremas-remasnya. Lelaki itu ingin menyeka air mata sahabatnya bila menangis.
Lelaki itu ingin Laila merebahkan
kepala ke dadanya dan dia akan membelai
rambutnya.
Lelaki yang kini tiap hari hadir di kampus itu rindu suasana laut, rindu membakar ikan di atas pasir.
Rindu ketika Laila menyalakan api dan sahabatnya menangkap ikan dengan tangan
kosong. Betapa nikmat makan ikan bakar berdua di tepi laut.
“Aneh, ikan tidak terasa asin meskipun hidupnya di air asin,” Iqbal ingat
kata-kata sahabatnya ketika membakar ikan di atas pasir.
“Itulah kekuasaan Tuhan. Kalau semua ikan rasanya asin karena hidupnya di
air asin, siapa lagi yang mau makan ikan?. Orang tidak akan butuh ikan dan
nelayanpun tidak punya rezeki dari laut.”
“Betapa besar kekuasaan Tuhan.”
“Tentu saja!. Kalau takdir Tuhan
terjadi bumi berhenti berputar,apa yang akan terjadi?. Pasti tidak ada
ombak,pasti ikan tidak akan hidup.”
“Apa yang terjadi kalau Tuhan menghentikan bumi berputar, pasti anginpun
tidak berhembus,pasti nyiur tidak melambai-lambai.”
Dari kampus lelaki itu langsung ke stasiun kereta api karena tidak ingin
diantar oleh ibu angkatnya. Di gerbong kereta api lelaki itu bergabung dengan
nenek-nenek tua yang pulang kekampung halaman bersama cucunya. Di atas gerbong
kereta api itu dia berbaur dengan kuli-kuli bangunan yang pakaiannya kotor dan
kumuh,pulang dari proyek. Lelaki itu juga berbaur dengan pedagang asongan dan
pengemis buta.
Kasihan pengemis buta itu.
Lelaki itu ingat Laila yang juga
bernasib sama. Syukurlah Laila tidak terlalu malang nasibnya. Warung sembako
yang dimodali Bu Hartati terus berkembang. Kebutaan tidak menyeret hidupnya
jadi pengemis di jalanan atau jadi seorang tukang pijat. Laila adalah gadis
dewasa yang sudah matang menjalani kehidupan. Hanya hari-harinya yang gelap
karena lahir dalam keadaan buta.
Kuliah belum libur, tapi lelaki itu memaksakan diri untuk pulang karena
imbauan sahabatnya, karena ada hal-hal istimewa di desanya. Diktat untuk mata kuliah Neoplasma dan
Degeneratif dan buku tentang Radiologi yang setebal bantal dibawanya naik
kereta api.. Di atas gerbong kereta api yang mengantarnya ke desa kelahirannya,
Iqbal membaca diktat itu.
Lelaki berdarah nelayan itu terheran-heran ketika tiba di kampung
halamannya. Dari kejauhan tampak desa nelayan itu sudah disulap seperti sebuah
desa yang makmur. Banyak gabah-gabah
berjejer sepanjang jalan desa, juga umbul-umbul warna warni menghiasi desa itu.
Apalagi iklan berbagai jenis barang terpajang sepanjang jalan, mulai dari iklan
makanan, sepeda motor, hingga alat-alat eletronika, obat-obatan ,tidak
ketinggalan iklan rokok. Semua menyebabkan desa itu tampak meriah.
Di gerbang masuk pedesaan itu
tampak spanduk berukuran besar bertuliskan “Selamat Datang Bapak Gubernur dan Bupati.”. “Selamat Datang
Kafilah MTQ”.
Barulah lelaki itu menyadari,
bahwa desanya mendapat kehormatan menjadi tuan rumah em-te-qyu tingkat
propinsi. Desanya sedang mengadakan perhelatan besar.. Mana sahabatku?. Mana
Laila?, itulah yang terpikir ketika lelaki itu sampai di desa kelahirannya.
Selama ini desa itu sepi-sepi saja dan yang tampak adalah rumah-rumah
sederhana yang dihuni para nelayan. Tapi sore itu yang dilihat lelaki itu
adalah sebuah desa yang telah dihiasi. Desa miskin itu sudah disulap. Maklum
Bapak Gubernur dan Bupati serta sejumlah
Camat akan datang. Maklum kafilah em-te-qyu dari belasan kabupaten dan puluhan
dari kecamatan akan hadir sebagai peserta. Puluhan qori dan qoriah akan berlaga
menunjukkan kebolehannya. Akankah sahabatku ikut dalam lomba membaca Qur’an
ini?, pikirnya.
“Akhirnya kamu pulang,Iqbal!,” cetus Laila menyambut hangat kepulangan
sahabatnya.
“Aku belum libur. Aku pulang hanya
sebentar!,” sahut lelaki muda itu.
“Yang penting pulang melihat desa
kita berhias diri.”
“Tampaknya sangat meriah!”
“Ya,meriah. Doakan aku jadi juara!,” pinta gadis tunanetra itu penuh harap.
“Kamu ikut?. Kamu sudah siap?. Pesaing sangat banyak dan sudah latihan
berbulan-bulan.”
“Aku sudah siap bertanding. Bukankah aku sudah latihan sejak kecil?.
Bukankah jasamu juga amat besar mengajariku?.”
“Aku akan mendoakanmu.”
Sejak siang hingga sore hingga dua hari kedepan desa itu benar-benar
dalam kemeriahan. Lebih meriah daripada acara Jamu Laut yang selalu digelar di
pantai itu. Pada saat-saat tertentu nelayan dan keluarga berkumpul di pantai
itu menyaksikan Jamu Laut. Upacara itu sarat dengan saji-sajian seperti beras
putih,beras kuning, beras hitam, bertih, bunga rampai satu talam, limau purut,
kemenyan, gambar-gambar ikan dari timah, kain lima warna setalam kue dan
kambing jantan berkulit hitam.
Beda dengan keramaian yang terjadi dalam acara em-te-qyu, tidak ada
sesaji. Yang terlihat pada acara itu adalah tenda berukuran besar, kursi-kursi
untuk tamu terhormat, mimbar tilawah dan kaligrafi bertuliskan ayat-ayat Qur’an yang amat indah.
“Kapan kamu jadi dokter,Iqbal?,”
Laila memandang wajah sahabatnya dengan mata hatinya.
“Masih lama lagi!”
Kata-kata itu membuat Laila menunduk. Sedih.
“Kamu belum menemukan seseorang yang mau mendonorkan matanya?” tanya Laila penuh harap.
“Tentu saja belum. Sangat sulit untuk mencari seseorang yang mau
menyumbangkan matanya.”
Di depan Laila lelaki itu bertutur tentang kawan-kawannya sesama
mahasiswa banyak memiliki kerabat yang
tersebar di seluruh pelosok, bahkan yang
berada di luar negeri juga ada. Tapi tidak satupun yang menemukan ada manusia
yang mau jadi donor mata. Manusia tidak mau kehilangan penglihatannya. Dunia
akan jadi gelap gulita kalau manusia kehilangan matanya. Sepasang mata adalah organ tubuh yang tidak
ternilai harganya.
Amat banyak orang menjadi donor darah, tapi tidak ada satupun yang
bersedia mendonorkan matanya.
Sesaat sepasang sahabat itu berada di tepi laut. Laila menunduk. Iqbal
amat kasihan dan menatap wajah sahabatnya.
“Aku rela memberikan sebelah mataku untukmu. Maukah kamu memiliki mata
kananku?. Maukah kamu menerima sebelah mataku?, ” terdengar suara Iqbal.
Laila hanya menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak?”
“Bagaimana kamu akan belajar tekun kalau hanya memiliki sebelah mata?”
“Demi kamu tidak apa-apa, biar kita sependeritaan. Biar aku ikut
merasakan sebagian dari penderitaanmu.”
“Tidak,Iqbal. Biarlah aku tetap
tidak bisa melihat. Biarlah kutunggu sampai kamu jadi dokter.”
Iqbal menarikkan tubuh Laila ke dadanya
dan lelaki itu mendekapnya erat sekali.
***
B
|
erjanzi dan
marhaban menyambut kehadiran Gubernur dan istrinya serta bupati juga disertai
istri. Semua mengenakan busana muslimah.
Semua nelayan yang hadir di acara itu juga mengenakan baju koko yang bersih dan
rapi. Semua istri dan anak-anak nelayan hadir pada acara itu mengenakan pakaian
rapi padahal setiap hari para nelayan mengenakan pakaian yang berbau
keringat dan kumal.
Tidak ada satupun hadirin yang merokok, tidak ada yang berkata-kata
ketika acara lomba membaca Qur’an itu dimulai. Sunyi dan senyap. Yang terdengar hanya lantunan ayat-ayat
kalimah mulia.
Sepasang bibir Iqbal berkomat-kamit membaca doa semoga Laila memenangkan
kejuaraan itu. Lelaki muda itu menahan
nafas ketika nomor peserta yang dimiliki Laila dipanggil dan Laila dipapah naik ke mimbar tilawah.
Ada rasa haru yang amat besar ketika suara Laila terdengar melantunkan
surah Yaasin. Lelaki itu ingat benar di
atas perahu ia membacakan ayat-ayat itu dan Laila mengikutinya dengan tekun.
Dua hari dua malam desa itu gemerlapan disinari cahaya lampu warna-warni.
Tidak pernah terjadi sebelumnya ada keramaian yang demikian meriah di desa
nelayan itu. Desa itu telah mendapat kehormatan amat besar.
Puluhan peserta satu demi satu naik ke mimbar dan melantunkan
kebolehannya membaca Al Qur’an. Ya,Tuhan. Rahmat kepada sahabatnya di malam terakhir acara
itu. Dewan juri yang terdiri dari berbagai unsur menetapkan Laila sebagai
peserta untuk kelompok tunanetra.
Syukur pada-Mu ,Tuhan. Sahabatku menjadi juara. Syukur pada-Mu, Ya Rabbi, sahabatku menjadi
pembaca terbaik. Iqbal adalah seorang lelaki, tapi pada saat nama
sahabatnya disebut sebagai juara, air mata keharuan mengalir di pipinya.
Dengan derai air mata di pipi
Laila melakukan sujud syukur dan memuji kebesaran Tuhan. Laila menerima
sebuah tropy. Dan hadiah paling
istimewa, sebuah perahu!. Ada seorang pengusaha besar yang memahami keadaan
Laila. Acara itu dilaksanakan di pinggir laut dan peserta sebagian besar adalah
keluarga nelayan yang hidup miskin.
Pengusaha kaya itu ingin mengangkat
kehidupan nelayan, itulah sebabnya memberikan perahu sebagai hadiah kepada sang
juara.
Dan yang diterima Laila tidak hanya tropy dan perahu, tapi ciuman di
kening dari sahabatnya.
“Aku kagum padamu,Laila,”
terdengar ucapan sahabatnya ketika memberikan ciuman di kening.
“Semua karena jasa-jasamu. Bukankah kamu yang mengajarku menghafal surah
Yaasin di atas perahu?. Jasamu amat besar,Iqbal.”
“Tinggal selangkah lagi, menuju juara nusantara.”
“Semoga aku bisa ikut, bisa meraih juara itu.”
“Aku akan mendoakanmu terus.”
“Syukurlah kamu bisa pulang dan
memberiku dorongan moril. Andainya
kamu tidak pulang, pasti aku akan
kehilangan semangat.”
“Ya, aku bahagia bisa pulang dan dapat melihatmu jadi juara.”. Dan lelaki
itu mengatakan, bahwa dia pulang ke desa itu meskipun harus membawa diktat dan
buku-buku kuliah. Lelaki itu jadi kutu buku sekarang. Tidak terlepas dari
buku dan diktat kuliah. Rasanya bagi
lelaki itu tidak ada waktu untuk bersantai-santai. Waktunya hanya untuk belajar
dan belajar.
Keinginannya untuk segera jadi
dokter dan mengobati mata sahabatnya amat menggebu dalam dirinya. Untuk jadi
dokter masih lama lagi, apalagi untuk predikat dokter mata, masih sangat jauh.
Tapi ketika usai jam kuliah, lelaki itu selalu bertandang ke bagian klinik mata
dan membaca buku-buku tentang penyakit mata yang banyak diderita anak-anak bangsa
ini.
Masih lumayan kalau yang diderita anak negeri ini hanya sejenis penyakit ringan seperti bintilan dan belekan atau mata merah
dan gatal. Masih sangat banyak jenis-jenis penyakit mata di negeri ini. Iqbal
sudah membacanya di kampus.
“Buthalmus adalah sejenis penyakit
mata bawaan sejak lahir,” ujar
Iqbal sebelum meninggalkan desa itu
untuk kembali ke rumah Bu Hartati dan
kembali kuliah.
“Penyakit itukah yang kuderita?”
“Bukan!. Kalau cuma penyakit sejenis itu gampang disembuhkan.”
Laila menunduk di depan sahabatnya.
“Bu Hartati pernah membawamu berobat ke dokter ahli mata dan memberimu
vonis yang ada di matamu adalah Ewing’s sarcoma, sejenis tumor. Aku tidak
meyakini hal itu.”
“Artinya ada kesalahan diagnosa?”
“Mungkin saja. Aku masih punya keyakinan, matamu dapat disembuhkan dengan
ilmu kedokteran yang dari hari ke hari semakin canggih.”
“Rasanya aku ingin segera melihat.”
“Bersabarlah dan terus berdoa. Dan
akupun akan terus berusaha dan belajar. Suatu saat kamu akan bisa melihat,
tentu saja dengan pertolongan Tuhan.”
“Terima kasih, sahabatku. Orang yang paling berjasa dalam hidupku adalah
kamu,Iqbal.”
Lama sepasang sahabat itu bicara tentang kebesaran Tuhan dan tentang berjenis-jenis penyakit mata yang banyak diderita oleh rakyat negeri ini.
“Yang amat berbahaya adalah Endoftalmitis, sejenis penyakit mata yang dapat menyebabkan
kebutaan.” Ujar lelaki yang sedang menimba ilmu di kedokteran itu lagi. “Tidak jarang terjadi seseorang menderita Gonoblesnorhoe,”
“Penyakit apa itu? Kedengarannya
seperti penyakit aneh.” Laila ingin
tahu.
“Penyakit yang ditularkan ibunya ketika bayi dalam rahim karena ibunya
menderita penyakit kelamin.”
“Alangkah mengerikan. Apakah aku menderita penyakit itu?”
“Tentu saja tidak!. Hanya perempuan nakal,hanya perempuan jahat yang
menularkan penyakit itu kepada anaknya.
Mana ada perempuan keluarga nelayan yang nakal.”
Lelaki yang masih menimba ilmu di bidang kedokteran itu juga berkata
lagi:
“Saat ini banyak petani di negeri kita yang menderita Keratitis yang disebakan jamur, kuman dan bakteri.”
“Hebat pengetahuanmu sekarang,Iqbal,”
Laila kagum. “Cepatlah jadi dokter.”
“Aku juga tidak sabar untuk jadi dokter dan menyembuhkan matamu.”
Laila hanya menghela nafas panjang. Laila dilahirkan sebagai gadis
tunanetra, tapi nasibnya tidak terlalu malang. Laila tidak sempat jadi gadis
peminta-minta, tidak sempat jadi pengemis atau jadi pemijat. Betapa dia amat
bersyukur dapat meraih juara membaca Qur’an tingkat propinsi. Namanya cepat
menanjak.
Pada hari-hari besar Islam,
seperti peringatan Maulid Nabi atau
satu Muharram , Laila selalu diundang
orang. Laila selalu dijeput mobil mewah untuk menjadi qoriah di berbagai
perkebunan, bahkan juga kantor-kantor be-u-em-en. Honornya lumayan.
Laila adalah gadis tunanetra, tapi rahmat Tuhan turun dari langit. Di
lehernya melingkar seuntai kalung emas dengan mainan delima merah, Di tangannya
melingkar sebentuk gelang emas lima belas gram. Siapa gadis dari keluarga
nelayan yang mampu membeli perhiasan seperti itu kalau bukan,Laila, gadis buta
itu?.
Kehidupan nelayan dengan segala kemiskinannya terus bergulir di desa itu. Anak-anak nelayan cuma tamat
es-de, lalu ikut ayahnya ke laut
menangkap ikan. Masih bersyukur kalau nelayan dan keluarganya hidup sehat. Bila jatuh sakit, nelayan tidak punya
uang untuk berobat. Syukurlah demam berdarah tidak pernah berjangkit di desa
itu.
Namun hidup miskinlah yang menyebabkan banyak nelayan yang hidup kurang
sehat. Bila Laila hidupnya gelap gulita karena kebutaan yang dideritanya sejak
lahir, masih ada lagi, bahkan masih banyan keluarga nelayan yang menderita
penyakit mata.
Keadaan hidup yang kurang bersih menyebabkan banyak ditulari penyakit
yang disebut “Ablasis” dan cepat menular kepada orang lain.
“Wak Andak sekarang tidak dapat membaca Qur’an karena matanya kabur,
padahal awalnya hanya menderita sakit gigi,”
ujarnya melalui telepon genggam kepada sahabat yang sedang duduk di bangku kuliah.
“Itu disebut Iridosiklitis,
penyakit mata yang disebabkan dari kuman-kuman penyakit gigi,” sahut sahabatnya
dari seberang. “Kita memaklumi warga nelayan tidak mampu membeli pasta gigi
yang berkualitas yang mampu menalar
kuman-kuman penyakit gigi.”
Melalui telepn genggam yang dimiliki , Laila banyak bercerita tentang
desanya yang belum juga mengalami kemajuan berarti.. Berbagai penyakit melanda
beberapa warga desa itu.
“Istri Alang meninggal dunia
karena menderita muntah mencret,”
lagi-lagi gadis tunanetra itu memberi kabar kepada sahabatnya di kota.
“Aku ikut sedih. Begitulah keadaan di desa kita. Kemiskinan masih melilit
kehidupan para nelayan sehingga kebersihan tidak terjaga. Diare disebabkan hidup kurang bersih.”
Sekecil apapun yang terjadi di desa nelayan itu, Iqbal pasti tahu dari
sahabatnya. Apalagi tentang sahabat
mereka Delima yang menikah dengan Mahmud, seorang pemilik ternak dari desa
seberang.
Juga kabar tentang Halimah yang melahirkan anak kembar,tapi seorang
bayinya meninggal dan seorang lagi
selamat namun dalam kondisi kurang sehat dan kurang berat badan.
Gadis yang tidak dapat melihat itu akan merasa sangat sedih kalau dalam
sehari tidak dapat berkomunikasi dengan sahabatnya,padahal yang ingin
dikatakannyua hanya jarum yang jatuh. Atau tentang belalang yang mati lalu
diusung oleh barisan semut. Laila merasa
dadanya plong kalau sudah mendengar suara sahabatnya.
Gadis desa itu merasakan hatinya berbunga-bunga ketika sahabatnya
mengatakan, bahwa ujian mata
kuliah Hematologi dan Sistem Linfatik mendapat nilai A. Juga mendapat
nilai yang sama untuk ujian mata kuliah Uropoetika.
“Hebat kamu ,wahai sahabatku. Aku yakin kamu akan jadi dokter pada
waktunya,” itulah yang dikatakan dari pinggir laut.
“Bukan tepat waktu, justru aku ingin lulus sebelum waktunya.”
“Aku hanya dapat berdoa untukmu,Iqbal”
“Meskipun banyak tugas-tugas kuliah, tapi aku masih selalu menyebut
namamu.”
“Aku juga begitu.”
Kalau sudah berbicara dengan sahabatnya meskipun hanya lewat telepon
genggam, rasanya Iqbal berada di desanya yang aman. Tidak ada maling di desa
nelayan itu. Tidak pernah ada tawuran. Tidak pernah ada pertengkaran dengan
sesama tetangga. Warga desa itu miskin, tapi warganya hidup tenteram.
Tolong menolong sesama warga masih amat
kental di sana. Kalau ada warga yang meninggal selalu terlihat iring-iringan
yang panjang warga mengantar jenazah ke kubur.
Tidak ada warga yang mau mencubit tetangganya. Semua merasa bersaudara
dan saling menjaga perasaan. Kalau ada
warga yang kehilangan sebuah jarum pasti cepat ditemukan.
Lelaki asal keluarga nelayan itu senang menerima kabar tentang desanya dari sahabatnya. Dan lelaki
itupun mengabarkan tentang keadaan
dirinya yang tinggal pada keluarga Bu Hartati yang suaminya adalah pengusaha
perkebunan. Lelaki itu tidak hanya
mengabarkan, bahwa ujian mata kuliah
Forensik membuat kepalanya pening. Lelaki itu juga mengabarkan ketika melangkah
menuju kampus dan melihat ada beling tajam pastilah disingkirkannya. Sebiji
kerikilpun di depannya juga dibuang jauh-jauh.
“Ada seorang gadis bernama Fauziah yang selalu mengajakku makan
bakso,” ujar lelaki itu kepada
sahabatnya. “Gadis itu mahasiswi Fakultas Hukum” tukas Iqbal sejujurnya.
“Cantikkah gadis itu?,” tanya
Laila dari desanya dengan perasaan perih dan pedih.
“Ya, cantik. Fauziah selalu mengajakku pulang bersama, tapi aku menolak.
Aku selalu ingat sahabatku di desa.”
“Hatiku hancur berkeping-keping mendengarnya,Iqbal. Atau kamu ingin
sahabatmu sakit karena hatinya tergores beling tajam?”
“Demi Allah , aku tidak ingin menyakiti hatimu.”
“Jangan berkhianat,Iqbal. Jangan berpikir yang bukan-bukan dan belajar tekun, biar kamu cepat jadi
dokter.”
“Tentu saja!”.
Ungkapan tentang gadis yang mengajaknya makan bakso dan pulang bersama
amat menyakitkan hati Laila. Dadanya seperti teriris sembilu. Hatinya
bagai tertusuk duri. Karena itulah Laila berharap Iqbal jangan main mata dengan
gadis lain. Karena itulah Laila berharap agar Iqbal selalu menyebut namanya
meskipun di malam yang sepi dan dingin.
“Sedikit demi sedikit perubahan telah terjadi di desa kita,” ujar Laila
pada suatu saat.
“Perubahan apa?,” Iqbal ingin
tahu.
“Kawan-kawan kita sudah tidak lagi mencintai laut. Nuraini sudah jadi
te-ka-we di Malaysia. Habibah juga begitu. Zuraida ke Arab Saudi,” tutur Laila.
“Mereka berusaha mencari rezeki di negeri orang,padahal banyak te-ka-we
mengalami bencana di negeri orang.”
Sahut Iqbal dari seberang. “Kalau kehidupan nelayan sudah makmur pasti
tidak ada yang mau meninggalkan desa kita.”
“Jamil dan Mahmud juga sudah tidak ada di desa kita.”
“Kemana mereka?”
“Mereka jadi buruh bangunan di
kota!,” ujar Laila dengan nada sedih.
“Yang jadi buruh angkat di pelabuhan juga ada.”
“Biarlah mereka tidak lagi mencintai laut kita, demi sejengkal perut.”
Kabar tentang perubahan itu juga membuat lelaki itu merasa amat sedih.
Iqbal menyadari kehidupan nelayan dari hari kehari semakin sulit. Negeri ini
adalah negeri kepulauan dan laut yang amat luas.hampir tiga juta km2. Laut yang
amat luas itu seharusnya menjadi lahan mencari ikan yang menyenangkan.
Namun kenyataannya yang terjadi amat
pahit.
Dari hari ke hari ada saja nelayan yang meninggalkan perahunya dan
bekerja di bidang lain. Dari jumlah 7 juta nelayan kini tinggal 2,2 juta orang.
Dan lebih menyedihkan lagi para nelayan itu tidak memiliki kapal sendiri.
Padahal perahu adalah sarana paling utama untuk nelayan. Sama dengan petani,bagaimana petani akan
hidup makmur kalau tidak memiliki sawah
dan ladang sendiri serta tidak memiliki cangkul. Mahalnya harga be-be-em,
bahkan terkadang langka, menyebabkan nelayan harus meninggalkan laut. Mereka
merasa nasibnya akan lebih baik jadi kuli bangunan di kota, atau jadi penjual
es keliling dengan menaiki sepeda.
Biarlah para nelayan itu berarlih pada pekerjaan lain. Tapi sebagai
manusia keturunan nelayan pasti tidak akan pernah melupakan alat-alat penangkap
ikan, mereka tidak akan pernah lupa yang namanya perahu atau sampan. Nelayan
dimanapun berada, mereka tidak akan pernah lupa yang namanya jaring yang
panjangnya sampai lebih dari 200 meter yang dilengkapi dengan mata jaring 2
inchi. Nelayan tidak akan pernah lupa
pada alat penangkap ikan yang namanya belat, belatjang, tangkul, ambai,
tuamang, bubu dan rawal.
Seperti halnya dengan Bang Syafii yang kini menjadi penjual kerang rebus
di Pasar Simpang Lemon, masih tetap ingat peran Pawang Laut yang amat penting
untuk mengusir jin laut, jembalang dan mahluk halus lainnya. Ketika anak gadisnya menderita demam tinggi, Bang
Syafii tidak membawa sang anak ke Puskesmas, tidak membawanya ke dokter, tapi
meminta bantuan sang pawang laut. Dan sembuh.
“Wahai nelayan meskipun pergi jauh,
jangan lupakan ombak laut, jangan lupakan nyiur yang melambai-lambai di
pantai.” Kata-kata itu diucapkan Iqbal,padahal dia baru saja selesai mengikuti
ujian mata kuliah Anastesialogi.
Anak-anak nelayan bukanlah mahluk pemalas. Anak-anak Melayu bukanlah kelompok manusia
yang lebih senang tidur-tiduran. Hanya keadaan yang menyebabkan nelayan
berpenghasilan sangat minim dan menyebabkan mereka miskin.
“Kapan pemerintah membangun
tambang emas di pantai,Iqbal?. Kalau ada tambang emas di tepi laut, pasti anak-anak nelayan bekerja di sana.”
“Mana mungkin!. Kandungan emas
hampir tidak ada di pantai. Yang ada
adalah kandungan minyak dan gas,” sahut Iqbal dari seberang.
“Lalu kapan pemerintah akan membangun tambang minyak di pinggiran
laut?” tanya Laila terkenang nasib
nelayan yang amat menyedihkan.
“Nanti, setelah semua koruptor
ditembak mati. Tunggu saja negeri ini bersih dari koruptor dan maling berdasi,
barulah pemerintah punya duit untuk membangun kilang minyak di pantai.”
Laila hanya menghela nafas panjang dan berat mendengar ucapan itu dari
sahabatnya di seberang.
***
B
|
agaikan
menggendong bulan purnama dan membawanya pulang kemudian meletakkannya di kamar, itulah yang dirasakan
gadis tunanetra itu ketika mendapat kesempatan untuk terbang jauh ke bagian
timur nusantara ini. Sebelum berangkat gadis itu sujud di atas sajadah memohon
kemudahan serta pertolongn Allah untuk mengikuti em-te-qyu tingkat nasional
utusan propinsi yang berlangsung di Manado.
Gadis tunanetra itu tidak pernah merasakan acara semeriah itu, karena
dihadiri para menteri , pejabat tinggi negara dan perwakilan negara asing.
Laila tidak merasa canggung harus bertanding menghadapi pesaing qoriah dari
propinsi lain, gudangnya qori dan qoriah berpengalaman.
Tidak ada seujung kukupun rasa
gentar,apalagi dari jauh sahabatnya memberikan semangat.
“Kuatkan hatimu,Laila. Tuhan akan selalu berada di sisimu dan memberimu
kemudahan,” itulah ucapan sahabatnya lewat telepon genggam, padahal sahabatnya
sedang mengikuti kuliah Kardiologi. “Teruslah berdoa!”
“Rival-rivalku sangat berat,Iqbal. Mampukah aku mengungguli mereka?,”
“Insya Allah. Tidak ada yang harus dikhawatirkan. Bukankah kamu sudah
berlatih sejak masih kecil?. Tidak sia-sia kamu belajar dariku sejak huruf alif
di atas perahu.” Sahabatnya memberikan
dorongan dan semangat.
“Mudah-mudahan doamu dikabulkan Tuhan!”
“Tidak hanya aku yang mendoakanmu, tapi seluruh warga desa kita. Seluruh
nelayan yang tiap hari melaut pasti mendoakanmu. Sesama keluarga nelayan pasti
akan saling mendoakan.”
“Amien!”
Laila adalah satu-satunya anak nelayan yang ikut pada lomba membaca Al
Qur’an tingkat nasional itu. Laila berasal dari keluarga miskin, tapi
malam itu, kehadirannya di atas mimbar tilawah mempesona semua hadirin,
mempesona semua dewan juri. Juga mempesona istri menteri. Laila terlihat sebagai perempuan paling cantik di antara
sekian banyak peserta . Seperti
primadona. Pipinya tetap kemerahan. Jilbabnya berwarna biru, seperti warna laut
tempatnya bermukim. Tidak ada yang
menyangka,bahwa Laila adalah seoang
gadis yang tidak bisa melihat. Tidak ada yang menduga,bahwa Laila adalah gadis
tunanetra.
“Ingat ,Laila. Burung-burung yang sedang terbang di pantai kita, juga
ikut mendoakanmu. Percayalah kamu akan sukses!,” lanjut sahabatnya.
“Ingat, pohon nyiur yang melambai-lambai juga akan ikut memohon agar
warga desa kita bisa memboyong kejuaraan.”
“Terima kasih,Iqbal.”
“Aku bernazar, kalau kamu jadi juara, aku akan puasa dua hari, tandanya
bersyukur.”
“Aku terharu mendengarnya.”
Gadis itu merasa bersyukur dan beruntung belajar membaca Al Qur’an sejak
masih kecil di atas perahu bersama sahabatnya. Al Qur’an memang memiliki
mukjizat yang amat besar. Cintanya kepada kalimah-kalimah mulia telah
mengangkat dirinya sebagai gadis terhormat, hingga akhirnya langkahnya
terbawa ke bagian timur nusantara
ini.
Suaranya mempersona semua orang yang hadir. Semua merasa terharu. Bahkan
istri seorang menteri yang mendampingi suaminya tidak mampu menahan rasa haru
ketika Laila dipapah ke mimbar tilawah dan duduk bersimpuh. Istri sang mentri
bangkit dari kursinya ketika Laila turun dari mimbar tilawah dan memberinya
ciuman.
“Ibu terharu,anakku. Ibu senang melihamu. Semoga ananda jadi
pemenang.” ujar istri bapak menteri itu.
“Terima kasih,Bu.”
Rahmat Tuhan benar-benar turun kepada seorang gadis berdarah nelayan itu.
Laila benar-benar menggendong bulan dilangit dan membawanya pulang. Laila juara terbaik!. Hadiahnya tidak hanya
tropy, tapi tiket o-en-ha.
Laila bersyukur mencium lantai. Di kejauhan, sahabatnya juga bersujud di
lantai kampusnya yang megah. Doanya tidak sia-sia. Berbahagialah dua anak nelayan itu. Iqbal
bisa belajar di kedokteran dan tinggal di rumah seorang pengusaha perkebunan
dan sahabatnya menjuarai em-te-qyu dan
mendapatkan hadiah ke tanah suci.
Di pantai itu elang berhenti terbang
dan ikut gembira, seorang warga desa itu meraih prestasi yang tidak
ternilai. Nyiurpun melambai-lambai menyanyikan lagu syukur setinggi-tingginya,
ada anak nelayan yang mengukir sejarah
dengan tinta emas.
Tidak harus menunggu esok hari, sahabat Laila segera memasuki ruang
dosen dan menemui Pak Ridwan,
seorang staf pengajar ilmu kardiologi
berasal di Tanjung Pura. Pak Ridwan sudah dua kali menunaikan ibadah haji. Yang
terakhir pengajar ilmu kardiologi
berdarah Melayu itu membawa kakak kandungnya operasi mata di Arab Saudi.
Lelaki Melayu yang sudah berambut putih itu menduga kehadiran seorang
mahasiswanya bermasalah dalam hal nilai ujian.
“Saya ingin mendapatkan informasi tentang rumah sakit di Madinah,” ucap
Iqbal di depan lelaki Melayu itu.
“Siapa yang sakit?”
Iqbal segera menuturkan tentang Laila yang mengalami kebutaan sejak
lahir dan menjadi juara em-te-qyu
tingkat nasional dan mendapat hadiah o-en-ha.
“Langkah terbaik kalau melaksanakan ibadah haji dan berkesempatan
berobat. Madinah adalah kota suci ,Rumah sakit di sana mengandung mukjizat
disamping dokter yang berpengalaman. Bawalah ke sana, insya Allah Tuhan
menurunkan mukjizat dan sahabatmu dapat melihat.”
“Informasi dari bapak sangat besar manfaatnya bagi saya dan sahabat
saya.”
Dosen berdarah Melayu itu memang rendah hati dan memberikan informasi tentang hal-hal yang
diketahuinya di Madinah ,terutama
tentang rumah sakit yang ada kota suci itu.
“Pelayanan umum sangat menyenangkan di kota suci itu, tidak seperti di
negeri kita yang amburadul dan sangat buruk.
Tidak ada kesulitan apapun bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
tidak saja masyarakat lokal penduduk Madinah, tapi juga bagi pendatang
,terutama jamaah haji yang tiap tahunnya
berjumlah jutaan orang”.
“Dan semua harus menginap di Madinah. Mungkin di antara jutaan orang dari
seluruh dunia yang melakukan ibadah di Masjid Nabawi ada yang mengalami
gangguan kesehatan,” anak muda itu memberikan komentar.
“Karena itulah pemerintah Arab
Saudi membangun rumah sakit bertaraf internasional dengan berbagai
fasilitas dan dokter ahli yang jumlahnya ratusan orang.”
Iqbal merenung mendengar ucapan itu
dan membiarkan dosennya melanjutkan kata-katanya:
“Di seluruh dunia, tidak ada yang menandingi pelayanan rumah sakit di
Madinah.” Ahli kardiologi itu berkata polos dan selanjutnya berkata, bahwa
rumah sakit jiwapun terdapat di Madinah. Apalagi rumah sakit khusus jantung dan
penyakit dalam. Juga rumah sakit mata.
Ratusan ribu jamaah haji yang mengalami gangguan kesehatan memanfaatkan
layanan rumah sakit di kota suci itu.
“Rumah sakit Raja Fahd memiliki gedung megah dan tenaga dokter ratusan banyaknya, ditambah
tenaga medis lainnya seperti perawat,teknisi, apoteker dan karyawan terlatih.”
Lelaki Melayu itu juga mengatakan, bahwa rumah sakit swasta juga ada.
Rumah sakit swasta terbesar dan pertama didirikan di Madinah Munawwarah adalah
Rumah Sakit Az-Zahra yang dapat menampung ribuan pasien dengan berbagai
keluhan. Rumah sakit ini terletak di pinggir kota Madinah dekat perkebunan
kurma dan dibangun oleh Dr.Muhammad bin Badi bin Abdul Aziz, diresmikan bulan
Sya’ban 1399 hijrah.
“Anda dapat mengantarkan sahabat anda ke Rumah sakit Raja Fahd atau rumah sakit swasta Az-Zahra. Keduanya
merupakan rumah sakit terbaik di Arab Saudi,bahkan terbaik di dunia” ujar lelaki Melayu yang sudah belasan tahun
menjadi tenaga pengajar di kedokteran.
Sesaat lelaki berdarah nelayan itu memikir-mikir dan menimbang-nimbang. Iqbal tahu persis,bangsa Arab sudah sejak ratusan tahun silam mengenal ilmu
kedokteran yang tidak kalah mutunya dengan bangsa Eropa. Iqbal ingat benar nama Ibu Syina, bapak
kedokteran bangsa Arab yang terkenal. Ibnu Syina,nama itu berkali-kali disebut
Iqbal.
“Kalau untuk berobat mata sebaiknya pilih saja Rumah Sakit Az-Zahra yang
memiliki belasan dokter mata yang sudah berpengalaman bertahun-tahun. Lagi pula
di rumah sakit itu saya memiliki sahabat
yang berasal dari Belanda dan sudah
belasan tahun memeluk Islam.
Lelaki Melayu staf pengajar
kardiologi itu menyebut nama Prof. Dr.Van Hollman Mansyur, seorang ahli mata lulusan Leiden.
“Temuilah dokter itu, di tangannya seperti ada mukjizat yang dapat
menyembuhkan mata yang buta bertahun-tahun,”
itulah imbauan lelaki Melayu itu.
“Saya akan membawa sahabat saya pada dokter itu.”, sahut Iqbal tanpa
ragu-ragu lagi.
Lelaki berambut putih dan berdasi lebar itu juga mengatakan, bahwa Rumah
Sakit Az-Zahra dibangun sebagai wujud ikut memberikan andil pelayanan kesehatan
tidak hanya kepada warga lokal penduduk Madinah Munawwarah, tapi juga kepada penduduk di luar kota itu,
bahkan bagi penduduk dunia yang datang untuk menunaikan ibadah haji.
Rumah sakit itu sudah amat terkenal di dunia karena tangan-tangan dingin para dokter
spesialis yang berpengalaman dan
didukung peralatan yang canggih dan mutakhir. Disamping fasilitas pelayanan
juga dilengkapi dengan potensi sinar x,sinar suara, komputer, analisa medis,
penelitian darah, pathologi & hormon,
khusus ginjal buatan , bedah,
te-ha-te, pemasangan lensa mata oleh ahlinya, electrocardiography bahkan
pengobatan kanker
“Sangat tepat kalau mengobati mata di rumah sakit Az-Zahra karena dokter
yang berpengalaman dalam pemasangan lensa mata. Dan yang membuat rumah sakit
ini lebih dikenal adalah mukjizat yang
selalu lekat pada tangan-tangan dokter
di sana. Silahkan datang ke rumah sakit itu dan mudah-mudahan
mendapatkan mukjizat itu,” imbau lelaki berdarah Melayu itu lagi. “Kakak saya
yang menderita glukoma juga sembuh di rumah sakit itu.”
“Mudah-mudahan sahabat saja mendapatkan mukjizat itu,” sahut
lelaki muda itu penuh keyakinan.
***
D
|
i depannya
diktat radiologi sedang terbuka, tetapi lelaki itu lama termenung-menung. Laila
mendapatkan tiket o-en-ha, rasanya
lelaki muda itu ingin menyertainya selama di tanah suci dan mengantarnya
ke Rumah Sakit Az-Zahra untuk mengobati mata sahabatnya dan mendapatkan
mukjizat dari tangan Prof.Dr. Van Hottman Mansyur.
Maukah Bu Hartati membiayaiku ke tanah suci?. Terbukakah hatinya, sementera biaya on-en-ha amat tinggi. Uang
tabungan yang dikumpulkan oleh lelaki
itu masih jauh dari mencukupi.Apa yang harus kulakukan?. Siapa yang akan
menuntun Laila ke Masjid Nabawi, siapa yang akan menuntun sahabatku ziarah ke
jabal Uhud atau Pemakaman Baqi?. Siapa
yang akan menuntunnya ketika Tawaf keliling
Ka’bah dan Sa’i?.
Siapa pula yang akan mengantar sahabatku ke Rumah Sakit Az-Zahra menemui
Prof.Dr. Van Hottman Mansyur. Haruskah
Laila berjalan sendiri
kemana-mana sementara dia tidak dapat melihat?. Wajah Laila semakin lekat di
mata lelaki muda itu
Kasihan Laila. Kasihan sehabatku.
Itulah yang ada dibenaknya, ketika belajar dan ketika makan atau dimana saja. Sepanjang
hari lelaki muda itu senantiasa termenung, pikirannya
menjalar ke desanya di tepi Selat Malaka.
“Aku ingin menolongmu sedaya mampuku,Laila. Aku akan menolongmu!.” Itulah tekad Iqbal.
“Kamu akan menolong siapa,anakku?,” suara itu amat mengagetkan lelaki muda itu. Suara seorang perempuan dan di sisinya sudah berdiri Bu Hartati,
perempuan Jawa,ibu angkatnya.
“Kamu ingin menolong sahabatmu,anakku?. Kamu ingin menolong Laila?,” Perempuan Jawa itu dapat menduga apa yang ada di benak anak angkatnya.
“Ya, tapi saya tidak berdaya!,” singkat lelaki muda itu menyahut dan
menunduk, menekuri diktat radiologi di depannya.
“Kenapa tidak berdaya?. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Pasrahkan kepadanya. Kenapa ananda lupa surah
Al Mukminun dan dalam surah itu Tuhan
berjanji akan mengabulkan doa-doa ummatnya?”
“Saya sudah berdoa,Bu.”
“Ibu ingin membantumu. Apa yang kamu inginkan .anakku?.”
‘Saya ingin menuntun Laila Tawaf,
Sa’i dan semua proses ibadah
haji.”
“Artinya kamu ingin ke tanah suci?”
perempuan Jawa itu menatap dalam-dalam anak angkat yang sudah dianggap
sebagai anak sendiri seperti yang lahir dari rahimnya.
Lelaki muda itu menganggauk lirih.
“Ibu akan membantumu. Pergilah dampingi sahabatmu selama berada di tanah
suci.
“Terima kasih, oh ibu.” Lelaki muda itu mencium tangan ibu angkatnya yang
teramat baik hati.
Dan tidak harus menunggu lama, menit itu juga lelaki muda itu menghubungi sahabatnya yang
sedang berada di pinggir laut.
“Kita akan bertemu di Madinah,Laila. Sebelum berangkat ke Makkah kita
akan ke Rumah Sakit Az-Zahra.
Mudah-mudahan kita akan mendapat mukjizat di sana.”
“Terima kasih,Iqbal. Semua ini karena kebesaran Tuhan. Semua adalah
rahmat.”
Ada cairan bening mengalir di pipi Laila dan tangis itu adalah tangis
keharuan. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa
seorang gadis yang lahir dari keluarga nelayan miskin akan melakukan
perjalanan ritual yang jauh. Tidak pernah terpikirkan di benak keluarga nelayan
yang dulu hidup miskin, sesaat lagi akan meraih mukjizat di tanah suci dan
melaksanakan ibadah rukun Islam yang kelima.
Ribuan
calon jamaah haji sudah menjejakkan kaki
di kota suci Madinah Munawwarah. Salah
seorang jamaah itu adalah gadis
tunanetra berasal dari desa nelayan di tepi Selat Malaka. Turun dari pesawat dia dipapah seorang
perempuan setengah baya . Kasihan
gadis itu tidak sempat melihat
suasana kota suci yang sudah memadati Madinah.
“Bersyukurlah, kita sudah tiba di
Madinah.” cetus Iqbal ketika menyambut kedatangan sahabatnya.
“Aku merasakan kebesaran Tuhan di
sini.”
“Aku ingin mengantarmu ke rumah
sakit sebelum solat arbain.”
“Terserah padamu.Di sini kamu adalah
penguasa dan anggap aku seorang hamba yang harus ikut perintahmu.”
Lelaki muda itu tersenyum. Pada saat
teman-teman rombongan Laila melaksanakan sholat arbain di masjid Nabawi, Laila
sengaja memisahkan diri, untuk mengobati sepasang matanya bersama sahabatnya..
Sebuah taksi mengantar sepasang anak nelayan itu ke rumah sakit Az-Zahra yang
terletak di antara daerah pertanian dengan kebun-kebun kurma . Jalan yang mulus
tanpa hambatan membuat sepasang anak
nelayan itu menempuh jarak 2 km dari Madinah hanya beberapa menit saja.
“Kita sudah sampai,” ujar lelaki muda itu ketika taksi
memasaki kompleks rumah sakit. Lelaki
muda itu tertegun melihat bangunan rumah sakit yang amat megah dan halamannya
amat luas. Deretan mobil tampak parkir di halaman. Tiap hari ratusan pasien
datang tidak hanya dari Madinah, tapi juga dari segala penjuru dunia. Dokter
ahli berbagai penyakit 24 jam siap menanti pasien dengan layanan senyum ramah
dan doa.
Rumah Sakit Az-Zahra adalah rumah
sakit terbesar dan terlengkap milik swasta di negara-negara Arab, lengkap dengan
fasilitas untuk menangani penyakit wanita, penyakit kulit dan kelamin
,dilengkapi sinar violet,peralatan sinar pendek, unit saluran kemih, unit
operasi tanpa bius khusus pasien lanjut
usia, unit gawat darurat dan pernafasan buatan.
Unit penanganan kanker juga ada di rumah sakit ini. Penderita kanker yang divonis mati oleh
dokter di tanah air, di rumah sakit ini mendapatkan mukjizat dan sembuh. Seorang ibu dari Pakistan yang menderita
kanker payu dara juga dapat sembuh di rumah sakit ini. Juga kanker serviks yang
penderitanya seorang ibu dari India dan hampir putus asa kembali sehat .
Mukjizat seperti itulah yang
diharapkan oleh Iqbal untuk sahabatnya yang sudah divonis tidak dapat
disembuhkan seumur hidup oleh dokter di tanah air..
Ratusan kamar untuk rawat inap siap menampung pasien-pasien dari segala penjuru dunia.
“Akan adakah mukjizat untukku di rumah sakit ini?,” tanya Laila ragu-ragu dan berpegang erat-erat
pada jari tangan sahabatnya.
“Yakinlah usaha dan doa kita tidak sia-sia!,”
Lelaki muda itu memapah sahabatnya
memasuki ruang perawatan khusus mata. Ribuan orang penderita penyakit glukoma
dan katarak berhasil disembuhkan di rumah sakit ini..
“Aku takut,Iqbal!,” suara Laila terdengar pelan dan jantungnya
berdebar keras.
“Aku akan selalu berada di sisimu.
Tidak ada yang harus ditakutkan. Tuhan bersamamu,sahabatku.”
“Kalau aku mati antar jenazahku ke
desa kita, antar aku ke rumahku dan kuharap kau ikut menyolatkan
jenazahku,”
“Jangan cengeng, Laila . Setiap anak
nelayan harus berani menghadapi semua kemungkinan. Operasi penyembuhan mata
adalah hal yang kecil,apalagi ditangani oleh dokter ahli yang sangat
berpengalaman.”
Dan
lelaki muda itu menyebut nama Prof.Dr,Van Hottman berdarah Belanda yang sudah belasan tahun menjadi muslim dan
mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan di kawasan kota suci Madinah.
“Mudah-mudahan tangan dokter itu
dingin,” suara Laila masih lirih dan rasa khawatir masih menggurati hatinya.
“Setiap anak nelayan sudah terlatih
menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan hidup. Anak nelayan harus memiliki
sifat pemberani.”
“Aku beruntung mempunyai sahabat
seperti kamu,Iqbal. Kalau aku tidak bersahabat denganmu, aku akan tetap sebagai
anak nelayan miskin dan sangat menderita karena aku dilahirkan dalam keadaan
buta.”
“Aku rela berbuat apa saja untukmu.
Bukankah aku pernah berkata padamu, aku rela memberikan satu mataku untukmu?.
Biar kau dapat melihat dunia, biar aku ikut merasakan penderitaanmu. Tapi
sekarang kita berada di sebuah kota Suci dan di rumah sakit bertaraf
internasional. Yakinlah kamu akan sembuh dan dapat melihat.”
Laila hanya menghela nafas panjang
dan duduk di ruang tunggu. Dr.Van Hottman sedang menangani operasi katarak
terhadap pasien dari Afrika Selatan.
“Dampingi aku ,Iqbal!,” itulah pintanya berkali-kali. Sahabatnya
hanya mengangguk lirih.
Di ruang operasi, Laila merasakan
sepasang tangan Dr.Van Hoffman lembut
dan dingin. Suntikan bius membuat Laila memejamkan mata kemudian dirinya seakan-akan melayang jauh. Gadis
berasal dari desa nelayan itu seperti
diajak malaikat perempuan mengunjungi Masjid Quba yang ramai dikunjungi
orang sedunia dan banyak mengandung sejarah.
Malaikat perempuan itu memapah Laila
ke Masjid Al Jum’ah dan malaikat
perempuan itu pula yang membimbingnya dan berkata:
“Di sinilah Nabi SAW pertama kali
melaksanakan sholat jum’at setelah hijrah ke Madinah”
“Terima kasih.” sahut Laila dalam
pengaruh suntikan bius.
Lama pengaruh bius itu meresap dalam
tubuh Laila dan malaikat perempuan itu
membawanya ke Masjid Qiblatain, juga ke Masjid Al Fath, Masjid Umar bin
Khatab. Banyak lagi masjid yang
dikunjungi Laila bersama malaikat perempuan itu ,sampai ke Masjid Bani
Sa’dah,Masjid As-Suqya hingga Masjid Asy-Syajaroh.
Syukur pada-Mu Ya Rabbi, sepasang
bibir Laila bergetar ketika dalam
keadaan tidak sadar ada malaikat perempuan membawanya melihat
kebun-kebun kurma di kawasan Syyid As-Syuhada.
Dalam perjalanan dengan malaikat
perempuan itu Laila masih sempat
merasakan sejuknya sumur-sumur tua yang ada di sekitar Madinah. Kota Madinah
dikelililingi oleh gurun pasir yang kering kerontang, tapi sumur-sumur cukup
banyak di sekitarnya. Warga Arab tidak takut mati kehausan karena ada
sumur Ain Zarqa yang airnya biru, juga sumur Al-Uyun. Gadis
tunanetra itu juga diajak melihat areal pertanian yang membudidayakan buah
langka seperti delima, khukh, jeruk, semangka dan sayur mayur di kawasan Al-Abbasiyyah.
Dalam lawatan itu Laila juga diajak melihat gedung Universitas Madinah Munawwarah dan ribuan mahasiswa sedang menimba ilmu tentang Islam, bahasa
Arab, sejarah, biografi,astronomi, matematika, logika, filsafat, hakum
waris dan berbagai disiplin ilmu
lainnya.
Perpustakaan Syaikhul Islam ‘Arif
Hikmat juga disinggahi oleh anak nelayan
yang sedang terlena oleh obat bius. Ribuan buku ada di sana. Hati anak nelayan
itu berbunga-bunga ketika malaikat perempuan itu mengajaknya singgah di Taman
terbesar Al Munakha,taman Bab Asy-Syami. Juga singgah di bundaran Al-Anbaryyah yang penuh aneka bunga dan air
mancur menyebabkan udara di sekitar taman-taman itu sejuk.
Tidak terlalu lama operasi yang
dilakukan oleh Dr.Van Hoffman terhadap sepasang mata yang dimiliki gadis
berdarah nelayan itu.
Ketika sadar dari pengaruh suntikan
ahli anastesia, Laila masih merasakan dunianya tetap gelap.
“Belum!. Anda belum dapat melihat
ketika ini. Tapi esok atau lusa sedikit
demi sedikit anda dapat melihat dengan sempurna,” ujar dokter kelahiran Belanda
lulusan Leiden itu.
“Terima kasih,dokter!”
“Anda perlu olahraga untuk
melancarkan peredaran darah di sekitar mata anda. Pergilah ke Jabal Uhud dan
mendaki bukit itu. Mudah-mudahan langkah anda mendaki bukit itu dapat memacu otot dan pembuluh darah hingga
anda dapat melihat cahaya.”
Dunia di depan Laila masih gelap,
tapi dia yakin keterangan dokter, bahwa
esok atau lusa pandangannya akan terang benderang.
“Antar aku ke Jabal Uhud!,” pinta
gadis berdarah nelayan itu kepada sahabat
yang tetap setia menunggunya
menjalani operasi mata.
“Oke. Aku siap untuk mengantamu
kemana saja!.”
Lelaki muda itu membimbing
sahabatnya keluar rumah sakit.
Pasien rumah
sakit itu datang silih berganti ,terdiri dari berbagai suku bangsa di bumi ini.
***
J
|
abal Uhud adalah
sebuah deretan bukit sepanjang hampir 10 km yang terbentang dari arah timur ke
barat, terletak 5 km dari kota suci Madinah. Bukit batu itu berwarna
kemerahan dan hujan amat jarang turun di
bukit itu.
Penziarah amat banyak karena setiap
musim haji pasti jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia akan berziarah ke
bukit itu. Jabal Uhud tidak pernah sepi
karena di luar musim haji, Madinah dikunjungi banyak orang yang melakukan
ibadah umroh.
Hari masih pagi, tapi bukit-bukit
kemerahan itu sudah ramai didatangi penziarah.
“Di bukit ini dulu paman Rasulullah,
Sayidina Hamzah, tewas sebagai syuhada,”
lelaki muda itu berkata ketika mulai melangkah mendaki bukit itu.
“Seluruh ummat Islam pasti tahu
benar bagaimana dahsyatnya Perang Uhud yang amat mengerikan dalam menegakkan
Islam. Ummat Islam tahu benar ,bahwa Sayidina Hamzah adalah seorang pejuang yang gagah berani.”
“Berhati-hatilah melangkah,Laila.”
Sejarah mencatat kisah perang Uhud
yang merupakan lanjutan dari Perang Badr Al Qubro. Sayidina Hamzah adalah seorang prajurit yang
sangat ditakuti dan tidak ada musuh yang
berani mendekat kalau lelaki itu sudah di atas untanya. Hanya seorang lelaki bernama Jubair bin Muth’am yang berani mendekat karena saudaranya telah terbunuh di tangan Sayidina
Hamzah.
Lelaki keturunan Quraisy itu
bersembunyi di balik batu besar mengintai kapan saatnya Sayidina Hamzah lewat.
Pada saat Sayidina muncul di atas punggung untanya, Jubair bin Muat’am
melontarkan tombaknya dan tepat di dada
Sayidina Hamzah yang tersungkur berlumur darah dan akhirnya tewas.
Seorang syuhada sudah tewas pada babak pertama pertempuran Uhud, tapi pada
peperangan itu tentera muslimin meraih kemenangan.
“Aku ingin bersujud di tempat
terjadinya Sayidina Hamzah terkena tombak musuh,” ujar Laila terengah-engah apalagi amat sulit baginya sebagai gadis tunanetra
untuk mendaki bukit bebatuan yang
memanjang itu.
“Aku akan menemanimu, aku juga akan
ikut sujud di tempat itu,” lelaki muda
itu tetap memegang tangan sahabatnya agar tidak tersandung batu, agar tidak tergelicir ke bawah bukit itu.
Amat berhati-hati Laila melangkah, menapaki batu-batuan berwarna merah yang amat padat dan keras.
“Pegang aku erat-erat,Iqbal!,” pinta gadis buta itu. Bukit itu berwarna merah, tapi di mata gadis
itu tampak hitam pekat karena penglihatannya memang tidak berfungsi.
“Aku tidak akan membiarkan dirimu
tergelincir,Laila. Kalau kamu terjatuh, aku akan ikut terhempas.”
Sesaat sepasang manusia yang berasal
dari kawasan pantai yang terletak di
tepian Selat Malaka itu berhenti melangkah dan nafas keduanya ngos-ngosan.
“Kita sudah sampai, di sini Sayidina
Hamzah terbunuh terkena lemparan tombak musuh. Di sini kita sujud.”
Dua manusia itu membungkuk sejenak
lalu melakukan sujud. Hanya sedetik tangan Laila terlepas, langsung tubuh itu
berguling-guling ke bawah bukit.
“Iqbal!. Aku jatuh!. Aku jatuh!. Tolong aku!,” teriak Laila
“Laila!”
Lelaki itu mengejar tapi tidak mampu
meraih tangan sahabatnya. Tubuh gadis
itu dikotori debu dan tangannya berdarah setelah tergulung-gulung ke dasar
bukit . Tidak perduli bahaya yang mengancam
Iqbal segera mengejar Laila yang
terbaring kesakitan.
“Laila!. Laila!,” berkali-kali Iqbal menyebut nama itu. “Kenapa
kamu sampai terjatuh?”
Laila tidak mampu menyahut. Lama
Laila merasakan sakit karena terguling-guling hingga ke kaki bukit berwarna
kemerahan itu. Lama dia merasakan perih di tangannya yang terluka.
Tapi sebuah mukjizat telah terjadi!.
Pada saat itu, pada ketika dua
manusia itu sujud di Jabal Uhud, pada saat
tubuh Laila terhempas di atas bebatuan, kekuasan Tuhan telah terjadi. Tiba-tiba saja Laila
melihat alam di sekitarnya terang benderang.
“Ya, Allah. Inilah mukjizat
itu!,” gumamnya. Laila dapat
melihat. “Aku dapat melihat,Iqbal.
Mataku sembuh! Di depanku terang menderang.”
“Syukurlah!”
Di atas bukit itu, ditempat tewasnya
Sayidina Hamzah sepasang sahabat itu berpelukan. Bila sekali lagi mereka sujud
di Jabal Uhud itu, tandanya sebagai sujud syukur. Laila benar-benar dapat
melihat dunia. Dunia di depannya terang benderang!.
“Syukur pada-Mu ,Rabbi. Syukur
pada-Mu ,Ya Allah,” berkali-kali kalimat itu
terdengar dari celah bibir Laila.
Lelaki di sisinya tersenyum. Lama
lelaki berdarah nelayan itu membiarkan sahabatnya menatapnya dalam-dalam dan
lama..
“Kenapa,Laila?. Kenapa kamu
menatapku amat lama. Adakah sesuatu yang aneh pada diriku?,”
Tiba-tiba saja Laila mendekap tubuh sahabatnya.
“Oh,Iqbal. Inilah pertama kalinya
aku melihat diri sahabatku dengan jelas. Selama ini yang kupandang adalah
kegelapan, juga dirimu terlihat gelap. Namun sekarang aku sudah melihat dengan
jelas dirimu yang sebenarnya dalam keadaan terang benderang. Kamu adalah lelaki gagah!. Kamu adalah lelaki satria. Kamu
perkasa,sahabatku.”
“Aku merasa biasa-biasa
saja.Syukurlah kamu sudah melihat diriku
yang sebenarnya.”
“Aku kagum,Iqbal. Aku senang bisa
melihat sepasang matamu, hidungmu, keningmu dan semuanya. Aku senang melihat kumismu. Kamu lelaki gagah!”
“Tuhan bersama kita,Laila.
Bertahun-tahun kita berusaha dan berdoa agar kamu dapat melihat. Alhamdulillah,
hari ini, di Jabal Uhud mukijizat itu datang.”
“Oh,Tuhan. Betapa indah alam
ciptaan-Mu!,” Laila memandang keliling
Jabal Uhud. Berkali-kali perempuan
berdarah nelayan itu memuji kebesaran-Nya. Lama Laila memandang sekitar Jabal
Uhud yang dipenuhi penziarah.
Iqbal tidak menolak ketika
sahabatnya mendaki kembali Jabal Uhud hingga ke puncaknya. Dari puncak bukit
berwarna merah itu kedua manusia yang dilahirkan di desa yang amat miskin itu
memandang kejauhan. Tampak kota Madinah sedang dipadati oleh jamaah haji dari
seluruh pelosok dunia.
Dua anak manusia yang sudah sangat
lama menjalin persahabatan itu mengenang sejarah masa lalu bukit yang kini
dibawah telapak kakinya. Di Jabal Uhud itu perang paling dahysat telah terjadi.
Di Jabal Uhud itu para syuhada berguguran satu demi satu . Di bukit itu pula
Rasulullah SAW terluka.
***
H
|
ARI sudah siang
ketika dua anak manusia dari keluarga
miskin itu meninggalkan bukit yang amat bersejarah itu.
Sepanjang jalan pulang dari Jabal Uhud, sepasang manusia yang saling bersahabat
itu melihat deretan toko-toko dan gedung-gedung megah serta apartemen. Di sana
juga ada toko komputer, ada toko mobil,
ada toko telefon genggam, bank dan
juga ada toko perhiasan. Restoran
juga banyak di pinggir jalan-jalan kota
itu.
Kesibukan tampak di kantor
Walikota dan kantor instansi pemerintah tetap buka melayani kepentingan publik.
Wajah-wajah ceria tampak menyambut kedatangan masyarakat yang ingin berurusan
dengan kantor instansi terkait.
“Tidak ada urusan yang dipersulit di
sini. Beda dengan layanan publik di negeri kita,” cetus Iqbal ketika melewati kantor imigrasi.
“Negeri kita memang bobrok dalam hal
pelayanan. Semua urusan pasti menguras isi dompet.”
Sepasang sahabat itu menyadari
hampir semua urusan dengan instansi di tanah air tidak pernah ada kemudahan.
Pegawai di setiap instansi melimpah tapi
urusan lamban. Lihatlah betapa banyak kasus tanah yang menumpuk di Badan
Pertanahan Nasional sehingga selalu menimbulkan konflik. Lihalah di Kejaksaan
Agung ribuan perkara juga menumpuk. Tidak
jarang orang yang terlibat kasus hukum menjadi korban pemerasan para
oknum ,seperti kejaksaan, kehakiman, kepolisian dan oknum pengacara juga doyan
duit rakyat.
Sepasang mata Laila yang kini sudah sembuh dan terang
benderang seperti tidak berkedip memperhatikan deretan pertokoan dan apartemen
sepanjang jalan.
“Tidak pernah tampak pegawai
perempuan di sini!,” cetus Laila ketika
mereka melewati pertokoan.
“Wanita tidak boleh tampil di depan
umum di negeri ini!,” sahut Iqbal.
“Di negeri ini juga berlaku larangan
wanita mengenderai mobil.”
Laila hanya manggut-manggut. Pantas yang
tampak di pertokoan hanya pelayan lelaki
yang melayani pembeli . Bahkan di toko kosmetik dan sandang yang melayani juga
kaum pria. Wanita lebih banyak berada di rumah.
Di kota itu mereka melintasi jalan layang
dan kereta api terlihat menarik gerbong penuh penumpang di Sulthanah.
Madinah dikelilingi gurun pasir gersang, tapi di kota ini tampak banyak taman
dan air mancur. Di antara gurun pasir, terlihat banyak tanaman dan pepohonan
yang rindang.
Iqbal mengantar sahabatnya ke
Hotel Andalus, untuk bergabung dengan
rombongannya setelah berpisah dua hari karena
Laila harus berobat ke Rumah Sakit Az-Zahra,hingga Tuhan menurunkan
mukjizat dan Laila benar-benar dapat
melihat dengan terang benderang. Sementara Iqbal menempati hotel lain yang
terletak tidak jauh dari Al Andalus.
Hotel itu terletak hanya beberapa
puluh meter dari Masjid Nabawi. Ratusan jamaah yang tergabung dalam satu
kelompok terbang itu terheran-heran
melihat Laila sudah dapat melihat. Gadis itu tidak perlu dipapah
lagi. Laila mendapat pelukan dan ciuman
dari kawan-kawan perempuan sesama jamaah.
Sebuah prosesi paling sakralpun
dimulai. Hari itu pertama kali Laila
memasuki Masjid Nabawi yang amat megah.
Sahabatnya, Iqbal menantinya di
pintu masjid itu dan berpisah lagi pada
waktu sholat subuh karena kelompok perempuan dan lelaki harus dipisahkan. Laila
memasuki pintu An Nisa dan masjid paling megah itu sudah dipadati jamaah.
Laila terkagum-kagum melihat masjid yang maha luas itu dengan tata
cahaya yang terang benderang ,tidak ada bandingannya di dunia. Sepasang mata
yang baru dapat melihat itu memperhatikan
keliling masjid. Atap masjid
dapat membuka dan menutup sendiri.
Dengan derai air mata keharuan gadis
asal desa nelayan itu melangkahkan kakinya melewati pilar demi pilar yang
menyanggah bangunan masjid itu. Di awali dari
pilar Al-Mukhallaqah yang menyebarkan aroma harum,lalu pilar Aas-Sayyidinah Aisyah dan 6 tiang
lainnya.
Di Raudah, sebuah tempat berukuran 22 meter yang letaknya antara makam Rasululllah dan
mimbar, Laila berdoa. Di tempat ini doa ummat akan
dikabulkan Tuhan.
“Ya, Rabbi. Ampuni ayahandaku yang
direnggutkan Tsunami. Limpahkan rahmat kepada ibundaku, dan juga Bu Hartati
yang amat baik hati serta suaminya. Kukuhkan persahabatan kami, aku dan Iqbal.”
Jauh di dasar hatinya, Laila
berharap persahabatannya dengan Iqbal yang sudah terjalin bertahun-tahun, sejak
mereka masih bocah akan berlangsung
abadi, hingga akhir hayat.
Airmata Laila menitik lagi ketika
melangkahkan kakinya ke arah makam Rasulullah SAW dan sahabatnya, Abu Bakar Assiddiq dan Umar Ibun
Khattab r.a. Di makam inipun Laila melantunkan doa.
Tidak jauh dari makam iu Iqbal sudah menunggu.
“Air matamu masih bersisa, Laila.
Hapuslah,” terdengar suara lelaki
sahabatnya. Jutaan jamaah, setiap ziarah
di depan makam itu pasti menitikkan air mata.
“Ayo kita ke makam Baqi,” ajak sahabatnya.
“Tentu saja aku amat senang ziarah
ke sana.”
Air mata mengalir di pipi Laila,
tapi gadis itu terlihat semakin cantik dan pipinya kemerahan. Dengan
berbimbingan tangan mereka menuju arah Timur, menuju makam Baqi. Dari kejauhan sudah terlihat ribuan
burung-burung merpati terbang di atas makam itu
dan ribuan lainnya bermain di sekitar makam.
“Makam ini sudah berusia ribuan
tahun,sejak jaman jahiliah. Jamaah haji yang wafat juga dimakamkan di
sini.” ujar lelaki muda itu ketika
memasuki gerbang makam Baqi.
“Di makam ini dikuburkan tidak
kurang dari sepuluh ribu sahabat nabi,” tambah lelaki itu lagi.
“Tentunya kamu banyak membaca
riwayat tentang makam ini. Ceritakan kepadaku siapa saja yang dimakamkan di
sini.”
“Orang pertama dari kalangan sahabat
Nabi dari golongan Anshor yang
dimakamkan di sini adalah As’ad bin Zararah dan dari kalangan muhajirin adalah
Utsman bin Madh’un.”
“Juga istri-istri Nabi?”
“Ya. Aku menemukan nama-nama dalam
sejarah istri Nabi yang dimakamkan di sini, yakni Aisyah, Saudah, Hafsah,
Zainab, Ummu Slmah, Juwairiyyah, Ummu Hubaibah
dan Shofiyyah.”
“Kamu hafal benar nama-nama itu!,”
Laila kagum.
Sepasang sahabat itu berpegangan
tangan ketika mengelilingi makam Baqi
dan burung-burung merpati tidak takut berada di dekat mereka. Seakan burung-burung merpati itu ingin menjalin persahabatan
dengan mereka.
“Alangkah damainya sesama merpati,Iqbal,”
cetus Laila manja di sisi sahabatnya
ketika mereka memperhatikan ribuan merpati di pelataran makam itu.
“Damai dan mesra. Seperti
persahabatan kita,’ sahut Iqbal. Laila
hanya tersenyum.
***
L
|
abbaika Allahumma
Labbaika, Laa syarika laka labbaika, Innal hamda wan nikmata laka wal mulk, laa
syariika laka. Kalimah talbiyah itu
berkumandang sepanjang perjalanan
menuju Makkah. Jalanan amat mulus
dan di atas bis tidak terasa
guncangan sedikitpun. Perjalanan itu amat khidmad dan suci.
Beda kelompok terbang dan beda
bimbingan perjalanan haji menyebabkan beda penginapan bagi sepasang sahabat
yang berasal dari kawasan pantai di pinggir Selat Malaka itu. Tapi perbedaan
itu tidak menyebabkan mereka berdua sulit untuk bertemu. Syukur Laila menempati
penginapan di Hotel Affandi, sementara sahabatnya jauh di kawasan Ma’la.
Namun keduanya bertemu di depan
pintu Babussalam. Keduanya memasuki Masjidil Haram yang amat dimuliakan jutaan ummat muslim di
seluruh jagad raya ini.
Masjidil Haram yang amat luas itu
dipadati jamaah yang melakukan tawaf tujuh kali keliling Ka’bah. Jamaah
berjejal oleh orang-orang yang bertubuh
besar seperti dari Nigeria dan
negara-negara lain di Afrika. Semua keliling Ka’bah dengan melantunkan doa-doa.
Orang-orang yang bertubuh besar dan
hitam legam itu bagi Laila amat menakutkan. Laila takut terpijak-pijak atau
ditabrak oleh mereka yang bertubuh
besar.
“Pegang tanganku,Iqbal!,”
pintanya kepada lelaki di sisinya ketika
mereka memulai keliling Ka’bah.
“Tentu saja aku tidak ingin kamu
terseret oleh mereka!.”
Iqbal melantunkan doa tawaf putaran pertama, dan Laila mengikutinya
dengan perlahan. Andainya tidak ada mukjizat di Jabal Uhud, tentu Laila dalam
kegelapan di masjid itu. Kini setelah matanya terang benderang, Laila dapat
melihat barisan jamaah dari Turki yang mengenakan jas dan rapi. Juga barisan
jamaah dari China, Irak, India, Pakistan, Malaysia dan banyak lagi.
Cuaca sedang panas terik, tapi
ketika ribuan orang sedang melakukan keliling Ka’bah tidak merasakan panas itu.
Seperti ada keajaiban di sana, ribuan orang berkumpul tapi tidak ada orang yang
bermandi keringat, padahal keliling Ka’bah cukup melelahkan dan berdesakan.
Sampai akhir putaran yang ketujuh,
Laila tetap berpegang pada tangan sahabatnya. Sampai akhir keliling Ka’bah
Iqbal melantunkan doa-doa dan sepasang bibir Laila berkomat-kamit mengikutinya.
Lima jenazah sudah dibaringkan di
masjid itu menjelang sholat magrib.
“Tiap menjelang sholat ada saja
jamaah yang meninggal,’ cetus Laila di depan Multazam ,tegak untuk
melakasanakan sholat maghrib. Puluhan ribu orang melaksanakan solat jenazah di
masjid itu.
“Berbahagialah mereka yang
meninggal di sini karena dimata Allah dinilai sebagai mati syahid,”
Sepasang manusia yang saling bersahabat itu sudah selesai melakukan
tawaf, tapi masih puluhan ribu memadati pelataran masjid melakukan keliling
Ka’bah.
“Lindungi aku di Maqam Ibrahim!,” pinta Laila usai mengelilingi Ka’bah
ketujuh kalinya. Untuk sholat dua rakaat di Maqam Ibrahim memang tidak mudah
karena ribuan jamaah yang terus melakukan tawaf. Tapi Iqbal harus melindungi
sahabatnya agar di ditempat itu tidak
diterjang oleh jamaah dari Irak atau India yang melangkah sembarangan.
Hampir saja kepala Laila terpinjak oleh jamaah dari Bangladesh
ketika sujud, tapi Laila tetap saja
khusuk. Langkah jamaah bertubuh hitam legam itu tidak menghalanginya untuk
membaca surah Al Kafirun dan Al Ikhlas. Juga ketika Laila melakukan sholat di
Hijir Ismail. Silih berganti, Laila berusaha menghempangkan tangannya untuk
melindungi Iqbal yang sholat di tempat itu. Sama halnya dengan Laila,
kepala sahabatnya juga seenaknya
dilangkahi oleh jamaan bertubuh besar.
“Ayo kita minum air zam-zam!,” ajar lelaki muda itu dan membimbing tangan
sahabatnya dan melangkah ke arah telaga zam-zam.
Seteguk air zam-zam melewati kerongkongan Laila dan terasa amat segar.
Sepasang bibirnya melantunkan doa,
memohon keredhaan Allah untuk ilmu pengetahuan yang amat bermanfaat,
rezeki yang luas dan terhindar dari berbagai penyakit.
“Ya,Rabbi. Aku anak nelayan, aku pernah hidup miskin. Berilah aku
kemampuan untuk memberikan ilmu untuk anak-anak nelayan yang masih dalam
kebodohan dan kemiskinan,” itulah doa
Laila.
Jauh di dasar hatinya, ada
cit-cita yang amat luhur. Laila berjanji dalam hatinya, andainya Tuhan
menyembuhkan matanya, dia akan mengajarkan ilmu kepada anak-anak penghuni
pulau-pulau di sekitar Selat Malaka.
“Mudah-mudahan doamu terkabul,Laila,”
terdengar suara lelaki di sisinya seusai meneguk air zam-zam yang terasa
amat segar. “Tapi kamu harus ingat, untuk mencapai pulau-pulau itu harus naik
perahu sementara kamu adalah perempuan yang langkahnya sangat terbatas.”
“Percuma saja aku jadi anak nelayan kalau tidak berani menantang ombak.
Percuma saja aku jadi anak nelayan kalau takut membelah ombak laut. Meskipun
pulau itu terletak diujung langit aku akan kesana. Di pulau-pulau itu masih banyak anak nelayan
yang hidupnya yang sangat terbelakang dan tidak bersekolah.”
“Semoga cita-citamu yang amat mulia itu menjadi kenyataan,”
Lelak muda itu ingat beberapa pulau kecil di Indonesia dan tidak
semuanya terbelakang, sepertgi
Kepulauan Mentawai , Nias dan banyak
lagi. Pembangunan sudah sampai ke pulau itu. Sekolah sudah banyak di sana,
Puskesmas juga ada. Kehidupan
masyarakatnya sudah terbilang layak.
Akan halnya di pulau-pulau kecil di selat Malaka yang penduduknya hanya
seratus atau seratus lima puluh jiwa, kehidupannya amat memprihatinkan.
Anak-anak usia sekolah harus menyeberang laut untuk mendapatkan pendidikan.
Puluhan anak-anak tiap hari harus naik perahu untuk menimba ilmu. Karena itulah
Laila ingin mengabdikan dirinya untuk kanak-kanak warga pulau-pulau kecil
itu. Laila ingin ikut serta mencerdaskan
anak-anak nelayan yang semuanya adalah
anak bangsa.
Lelaki muda itu membimbing sahabatnya ke bukit Shafa untuk memulai ritual
Sa’i, berjalan ulang alik bukit Shafa-Marwah.
“Kamu lelah,Laila,” lelaki itu
menatap sahabatnya.
Laila menggeleng dan menyahut:
“Di tanah suci ini aku merasa tidak pernah lelah. Hauspun tidak. Bukankah
kita sudah meneguk air zam-zam yang melapangkan dada kita dan menepis
kelelahan?”
Tanpa bimbingan sahabatnya , Laila
mendaki bukit Shafa untuk memulai ibadah Sa’i. Sepasang bibirnya bergetar
mengucapkan doa.
“Hati semua perempuan akan merasa sedih kalau ingat penderitaan Siti
Hajar yang ditinggalkan Nabi Ibrahim berjalan mondar-mandir di padang pasir
yang tandus untuk mencari seteguk air untuk putranya yang masih balita.” Ujar
Laila mengenang kisah tentang
seorang perempuan berhati baja, istri Ibrahim yang saat itu sedang
berada jauh di negeri Syam.
Tidak ada seorangppun di tengah padang pasir yang gersang, amat panas dan
kering yang dapat memberinya seteguk air.
“Kamu juga perempuan berhati baja seperti
Siti Hajar. Bukankah tekadmu amat
keras untuk mendidik anak-anak di pulau kecil di sekitar desa kita?,” sahut sahabatnya. “Terlalu berat untuk
seorang perempuan,Laila.”
“Tapi aku akan tabah seperti ibunya Ismail yang berjalan tujuh kali
antara Shafa dan Marwah hanya untuk mencari seteguk air. Sa’i yang kita laksanakan saat ini merupakan
gambaran kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.”
Perjalanan Sa’i itupun dimulai
dengan langkah kanan. Ribuan orang, selesai tawaf menikmati sejuknya air
zam-zam lalu melaksanakan ibadah Sa’i. Jamaah yang sedang sakit atau manula dan
uzur melaksanakan ibadah itu dengan kereta dorong.
Panas terik seperti membakar tubuh ketika dua manusia muda yang saling
bersahabat itu hadir di Padang Arafah
yang dikelilingi gurun tandus. Hampir tiga juta ummat berkumpul di tempat itu
yang merupakan rukun haji.
“Di tempat ini hampir tiga juta mengharapkan penghapusan dosa,” terdengar suara lelaki muda itu ketika
memasuki kemah di Padang Arafah yang amat luas.
“Ya, tidak ada dosa yang tidak diampuni di sini,” sahut Laila yang juga
memahami ilmu tentang ibadah haji.
Hampir tiga juga ummat berkumpul dan bersujud di Padang Arafah yang amat
luas. Kemuliaan Islam amat jelas di
tempat ini, karena hampir tiga juta orang keberadaannya sama, tidur hanya
beralaskan sehelai tikar. Semua merasakan panasnya matahari. Semua merasakan
gersangnya gurun pasir yang amat luas.
Orang yang bertubuh kekar dan
orang-orang yang uzur atau dalam keadaan sakit juga harus hadir di Arafah.
Bedanya orang-orang yang sudah berumur lanjut atau sakit hadir di Arafah di
atas mobil ambulans.
Laila tidak harus mengeluh bila merasakan teriknya matahari. Baginya
adalah hal yang biasa merasakan matahari yang membakar tubuh, karena setiap
anak nelayan selalu berada di pinggir laut. Udara di pantai selalu terik.
Di padang Arafah yang amat luas itu, Laila berpasrah diri. Akan halnya di
tenda lain sahabatnya juga bermunajat kepada Allah. Di tempat yang
berbeda, dua anak manusia yang berasal dari kelurga nelayan miskin itu
berpasrah diri.
“Ampuni dosa-dosa kami ,Ya Allah. Ampuni dosa ayah bunda kami.
Perkenankan para nelayan mendapatkan limpahan rahmat-Mu. Perkenankan kami para
nelayan mendapatkan perbaikan nasib. Jangan biarkan selamanya hidup
menderita.”, itulah doa Laila dan air matanya mengalir membentuk sungai kecil
di pipinya.
Di tempat lain, di atas
sajadah, sepasang bibir Iqbal
senantiasa bergetar mengucapkan doa untuk kerabatnya, juga untuk Bu Hartati
yang sudah banyak mengulurkan tangan, hingga menjeputnya ke desa dan
mengakuinya sebagai anak kandung sendiri.
Di Padang Arafah ini tiga juta manusia melepaskan kekayaan dan harta
bendanya. Di tempat ini berjuta manusia merasa dirinya sama dan sejajar. Tidak
ada yang membedakan si kaya dan si miskin, tidak ada yang membedakan Pak Camat
dengan pedagang kaki lima.Tidak ada beda antara bupati dan pengangkat sampah.
Tidak ada beda antara seorang perwira
polisi dengan penjual bakso. Pejabat penting di sebuah be-u-em-n juga
tidak ada bedanya dengan satpam. Semua sama di mata Allah. Semua memohon keampunan di tempat ini. Semua merasa sangat dekat dengan Allah.
Semua jamaah, pengusaha kaya dan pembuat tempe tahu singgah di muzdalifah
dan bermalam di sana serta mencari batu-batu kerikil untuk melontar jamrah
Aqoba, Wustha dan Ula.
“Bersiap-siaplah melontar syetan, wahai anak nelayan!,” kata-kata itu seperti terdengar dari langit.
“Bukankah sekarang sudah sangat banyak syetan bermukim di laut?. Banyak
kapal-kapal asing dengan ratusan anak kapalnya mencuri ikan di lautmu. Banyak
perahu bermesin membawa narkoba dari kapal yang berlabuh di tengah laut. Banyak
orang yang sudah mengotori laut. Mereka
itu adalah syetan. Lemparlah karena syetan itu melekat di jamrah Aqoba. Lempar
iblis yang menempel di jamrah Wustha. Lempar
iblis yang bersembunyi di balik jamrah Ula.”
Di tengah malam yang gelap, Laila
dan Iqbal bertemu lagi meskipun bis yang membawa mereka dari Arafah berbeda.
Mereka selalu dapat bertemu karena
terjalin dalam sebuah persahabatan. Keduanya hati-hati sekali memungut
satu demi satu bau-batu kecil untuk melontar
iblis-iblis itu.
Sepasang anak nelayan yang sudah bertahun-tahun bersahabat itu menempati tenda yang berbeda di Mina,
tidak jauh dari tempat pelontaran jamrah. Tapi mereka selalu bertemu dan
berkumpul pada satu titik. Seperti
halnya di pintu masuk areal jamrah,
sepasang sahabat itu bertemu lagi. Sejak sebelum fajar merekah, keduanya
sudah hadir di pintu masuk untuk
mengejar waktu afdol.
“Kalau terlambat melontar, sesudah zhuhur
pahalanya beda. Kita harus
mengejar yang terbaik.” Ujar
lelaki di sisi Laila.
Gadis itu hanya berdiam diri. Tiga juta
ummat berkumpul pada satu titik, untuk melontar jamrah Aqobah, untuk
menghindari waktu ikhtiar, untuk mengejar waktu afdol kedua sahabat itu sudah
siap-siap sejak usai sholat subuh. Pada
saat itu jutaan jamaah saling berdesakan dan saling dorong.
Ada rasa cemas dan takut di hati
Laila karena kerumunan manusia di depannya. Seperti tidak ada celah sedikitpun.
Sayup-sayup rongga telinga gadis itu mendengar suara lembut dari langit.
“Apa yang kamu takutkan , wahai
anak nelayan?. Di lautmu ratusan dan ribuan ikan tiap hari berkerumun, tapi
tidak ada satupun yang mati!. Di tempat ini ribuan, bahkan jutaan orang juga berkerumun, namun tidak ada yang mati. Semua
dijaga Allah, wahai anak nelayan!”
“Lemparkan jauh-jauh rasa takutmu!.
Buang jauh-jauh rasa khawatirmu!”
Akan halnya Iqbal juga seperti mendengar bisikan dari langit:
“Jaga sahabatmu baik-baik, wahai anak nelayan. Lindungi dia, bimbing dia
jangan sampai terjatuh!,”
Ketika dua sahabat itu bersiap-siap untuk melangkah masuk, seorang
perempuan tua menghampiri. Perempuan tua itu sudah keriput, sudah bongkok, tapi
bicaranya masih jelas.
“Tolong saya,Nak. Bantu saya!,”
perempuan tua itu mengiba dan penuh harap kepada Laila..
“Apa yang dapat kami lakukan untuk ibu?,”
sahut Laila merasa kasihan.
“Saya sudah tua, saya sudah uzur, saya tidak berdaya. Tolong lontarkan
batu-batu ini kearah iblis-iblis itu!”
Perempuan tua itu menyerahkan sejumlah bebatuan kecil kepada Laila:
“Saya tidak berdaya lagi untuk melempar syetan-syetan itu!”
“Insya Allah saya akan melemparkan untuk ibu,” sahut Laila . Dan perempuan tua
itu menyebut namanya:
“Jamilah!. Saya bersama anak saya dari Asahan. Namun saya harus
kehilangan, karena anak saya menderita
penyakit demam tinggi ketika di Arafah. Sekarang saya terpaksa berjalan
sendiri.”.
Perempuan tua itu menangis ketika
menceritakan tentang penderitaan putranya
ketika wuquf di Arafah. Berjalan sempoyongan, putranya tidak
henti-hentinya mengeluh kepalanya sangat pusing,nyeri dan bicara ngawur tanpa sadar serta panas tubuhnya mencapai 40 derjat. Dokter kloter tidak mampu
mengobati.
Sepasang anak nelayan itu merasa hatinya tergugah. Sepasang anak nelayan itu merasa amat iba
kepada perempuan tua yang kematian anaknya yang menjadi mahramnya dan baru saja
direnggut Head Stroke, penyakit khas
negeri padang pasir.
Sesama rumpun Melayu, pikir kedua sahabat itu. Mungkin di Asahan ,perempuan tua itu juga
tinggal di sekitar perkampungan nelayan. Terimalah permohonannya.
Perempuan tua asal Asahan itu membuka tas yang berisi paspor dan dokumen
dirinya lalu mengeluarkan sejumlah uang
kepada Laila:
“Inilah sekedar upah!”
“Tidak usah,Bu,” Laila menolak.
“Kami tidak membutuhkan uang. Kami tidak menerima upah. Kami akan membantu ibu
dengan hati ikhlas. Kami berdua adalah anak nelayan, kami berasal dari keluarga
miskin. Selama ini kami banyak menerima
bantuan ,kami banyak menerima pertolongan dari orang lain. Kami ingin membantu ibu sebagai wujud balas jasa kami kepada orang-orang yang
berhati mulia yang sudah banyak sekali mengulurkan tangan kepada kami.”
Laila dan sahabatnya ingat perempuan Jawa, Bu Hartati dan suaminya, yang sudah amat banyak membantu mereka.
‘Terima kasih!. Terima kasih, ananda!,” perempuan tua itu berkali-kali mengucapkan
terima kasih. Di tanah suci kebaikan
selalu saja ada. Pertolongan selalu saja muncul di kala jamaah mengalami
kesusahan.
Iqbal menyentuh tangan sahabatnya dan menyerbu masuk ke arah tiang besar
bernama Aqobah dan iblis bersarang di sana.
“Pegang tanganku erat-erat,Laila!. Jangan lepaskan tanganku.”
Saling dorong tidak terelakkan, tapi Tuhan memberi kemudahan bagi kedua
anak keturunan nelayan itu. Satu demi
satu batu yang dibawanya dari Muzdalifah
di lontarkan ke arah Aqobah dan iblis bersarang di sana.
“Berikan batu dari ibu tua itu, biar aku yang melontarkan atas nama
dirinya!,” pinta Iqbal kepada sahabatnya.
“Tidak!. Biar aku yang melontar!,” Laila bertahan. “Biar aku yang melontar untuk dirinya. Bukankah aku
baru saja mendapat mukjizat dari Tuhan
hingga aku sembuh dari kebutaan?”
“Tapi aku sudah sangat banyak menerima kebaikan dari Bu Hartati, biar aku
yang melontarkan untuk ibu tua itu.”
Kedua sahabat itu saling berebut ingin melontarkan batu kecil itu
untuk perempuan tua itu. Masing-masing
ingin berbuat kebaikan untuk orang lain. Itulah anak nelayan, amat senang
berbuat baik untuk orang lain.
“Baiklah, Laila. Hari ini kamu yang menang, kamu yang melontar jamrah untuk ibu tua itu. Tapi esok, aku yang
melontar Wustha dan Ula.”
“Ya, kita berbagi dalam kebaikan!.”
Satu demi satu dari tangan Laila
terlontar batu-batu kecil ke arah tiang Aqobah, hingga tujuh batu dan
semua tepat sasaran, tidak satupun yang melenceng.
Tuhan memberi banyak sekali kemudahan dan perlindungan kepada dua anak
manusia yang dilahirkan di tepi laut itu. Semua prosesi pelontaran jamrah amat
mulus, padahal jutaan manusia dari
berbagai penjuru dunia saling dorong dan saling berdesakan.Di tahun-tahun silam
banyak korban berjatuhan di tempat ini. Jatuh
ketika saling dorong lalu terpijak-pijak jamaah lain hingga tewas.
Sepasang anak berdarah nelayan itu meneguk air zam-zam setelah melakukan
pelontaran jamrah dan tahalul atau
memotong beberapa helai rambut.
Langkah sepasang anak nelayan itu terasa ringan ketika berjalan pulang ke
kemah dan berpegangan tangan. Di depan terowongan panjang, manusia amat padat.
Tapi tidak ada seorangpun jamaah yang takut, karena terowongan saat ini tidak
menyeramkan seperti dulu, ketika korban-korban berjatuhan. Saat ini terowongan
sudah dibangun dua jalur, jalur pergi dan pulang. Dalam terowongan itu
keadaannya tidak gelap dan tidak panas
karena dilengkapi dengan lampu-lampu terang benderang serta pendingin udara.
Jutaan orang yang melewati terowongan
itu merasa nyaman.
“Tunggu,anakku!. Tunggu ,Laila. Tunggu,Iqbal!.” terdengar suara memanggil dekat pintu masuk terowongn. Langkah kedua
sahabat itu berhenti karena berulang-ulang
suara panggilan itu terdengar.
Bu Jamilah, perempuan tua yang meminta batuan melontar jamrah itu
ternyata menunggu di pintu terowongan.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ananda berdua. ,”
terdengar suara perempuan tua itu.
“Saya ingin menuturkan tentang anak saya
yang meninggal pada saat wuquf di Arafah. Rasanya ada yang mengganjal di hati
saya sebelum saya ceritakan keadaan anak saya.”.
“Kami akan mendengarnya dengan senang hati!,” Laila dan sahabatnya berhenti di depan terowongan dan mendengar
setiap kata yang diucapkan perempuan tua
itu:
“Pada awalnya anak saya adalah adalah nelayan yang tiap hari
melaut,” perempuan tua itu mulai
menuturkan tentang putranya.
“Kami juga anak nelayan. Ayah kami juga tiap hari berada di tengah
laut.” Laila menyela.
“Allah memberi anak saya kemurahan rezeki dan lautpun ditinggalkan,”
“Anak ibu kemudian berdagang di kota?,”
Laila ingin tahu.
“Tidak!. Anak saya jadi juragan ikan. Tiap hari anak saya berada di
pelabuhan ikan dan menanti setiap nelayan. Itulah!. Itulah yang saya kesalkan.
Anak saya membeli ikan dari nelayan dengan harga murah dan menjualnya dengan
harga mahal di berbagai kota. Allah mungkin murka kepadanya karena telah
menzolimi para nelayan yang sudah bekerja keras sepanjang hari menjaring ikan
di laut. Harga ikan yang dibeli dari para nelayan itu tidak sewajarnya.”
“Kami memahami hal itu. Di desa kami
yang namanya juragan ikan hidupnya kaya raya.”
“Tuhan tidak meredoi anak saya jadi
juragan ikan dan pada saat saya dan anak saya menunaikan ibadah haji, Tuhan
membalasnya dengan penyakit ketika berada di tanah suci.”
“Tapi anak ibu sempat melaksanakan tawaf
dan sa’i,bukan?”
“Ketika melaksanakan tawaf pada
putaran kelima, anak saya mulai merasakan pusing dan hampir tidak mampu melaksanakan hingga
putaran ketujuh. Saya menganjurkan
kepadanya untuk minum air zam-zam karena
kita semua percaya, air zam-zam adalah obat segala penyakit yang sangat
mujarab. Setelah meneguk air zam-zam, anak saya tidak lagi merasakan
pusing dan demam tinggi .Air zam-zam
yang diteguknya menambah kekuatan dirinya dan
sehat kembali, hingga kami berdua
dapat melaksanakan sa’i. Pada saat itulah ,pada saat kami berjalan dari bukit
Marwah ke Shafa, mendadak panas tubuhnya
kembali datang dan kepalanya amat pening. Dia mulai mengigau lagi. Anak saya
tidak mampu bertahan.”
“ Ditempat sa’i anak ibu pingsan dan
jatuh?. Begitukah?,” Laila menatap wajah perempuan tua yang sudah keriput itu..
“Ya, anak saya terkapar di antara ribuan orang yang sedang menjalankan ibadah sa’i. Lagi-lagi air zam-zam dapat memulihkan kekuatan dirinya.”
“Ya, anak saya terkapar di antara ribuan orang yang sedang menjalankan ibadah sa’i. Lagi-lagi air zam-zam dapat memulihkan kekuatan dirinya.”
“Air zam-zam memang memiliki
mukjizat untuk menyembuhkan berbagai
penyakit,” Laila memberikan
komentar.
“Namun ketika Wuquf anak saya harus
berada di Arafah diatas mobil ambulans. Tubuhnya sangat lemah.”
“Anak ibu sempat bermunajah kepada
Allah di Arafah?”
“Itulah yang sangat saya syukuri.
Anak saya sempat memohon ampun atas segala dosanya,meskipun dengan suara yang
sangat lirih dalam ambulans. “
Perempuan tua itu menuturkan
bagaimana putranya mencari nafkah, membeli ikan yang diperoleh para nelayan
dari tengah laut dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi. Tanpa
disadari, anak lelaki ibu tua itu telah menzolimi para nelayan setiap harinya.
Dosanya bertumpuk-tumpuk, seperti tumpukan sampah.
“Syukurlah. Anak ibu sudah mendapat
pengampunan,karena tidak ada dosa yang tidak diampuni di Arafah. Anak ibu bebas
dari dosa dan tidak seorangpun nelayan
dendam padanya. Anak ibu bersih dari
dosa.”, Iqbal memberi komentar.
“Saya merelakannya. Saya tidak mampu
membendung air mata ketika jenazahnya disolatkan oleh ribuan orang .”
“Dan anak ibu dimakamkan di Ma’la?”
“Tidak!. Anak saya dimakamkan di
Surayya.”
“Semua itu adalah takdir Tuhan,Bu.”
“Ya. Saya ikhlas. Saya benar-benar
rela.”
“Anak ibu sudah beristirahat dengan
tenang.” Itulah kata-kata terakhir yang
diucapkan Laila kepada perempuan tua di depan terowongan menuju pulang. Mereka
berjalan bersama. Pertemuan di tempat pelontaran jamrah itu menjadikan mereka kerabat dekat. Dan bersama
pula mereka kembali ke Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf ifadah dan
wada’. Selamat tinggal Makkah, Selamat tinggal Ka’bah. Selamat tinggal
Multazam,
Laila dan sahabatnya naik ke dalam
bis yang akan mengantarnya ke Bandara. Selamat menuju tanah air,wahai anak
nelayan. Selamat menuju desamu. Salam
untuk lautmu.
***
T
|
idak banyak
oleh-oleh yang dibawanya pulang. Hanya beberapa untai tasbih untuk tetangganya
yang sudah tua dan selalu hadir di masjid. Laila juga membawa pulang beberapa
helai jilbab untuk Kak Zainab,
tetangganya yang paling dekat. Kurma juga dibawanya untuk para tetangga yang
semua menyambut kepulangannya.
Ombak laut yang berdebur menghempas di pantai juga seperti
berkata-kata mengucapkan selamat kembali ke desa tercinta.
“Kamu beruntung bisa menjejakkan
kaki di tanah suci. Kami bangga ada
warga desa ini yang bisa menjejakkan kakinya di depan Ka’bah dan Wuquf. Dirimu seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibu, bersih
dari segala dosa.”
Nyiur yang melambai-lambai juga ikut
menyambut kehadirannya dan berkata:
“Berbahagialah kamu,Laila. Ganjaran
bagi haji mabrur adalah sorga. Kamu beruntung,Laila.”:
Elang yang biasanya terbang
berpasangan di tengah laut, tapi hari
itu menghampiri rumah Laila dan
bernyanyi:
“Kami sudah merelakan
kepegianmu,Laila. Andainya tidak kembali kemari, kami sungguh rela dan ikhlas.
Bukankah mati di tanah suci adalah mati syahid?.”
Dan angin yang berhembus juga
menyambut kepulangannya dengan pesan:
“Setelah menyandang gelar hajjah,
banyak yang harus kamu lakukan, wahai anak nelayan. Kamu harus rendah hati,
kamu harus mengabdikan diri untuk masyarakat sekitarmu, kamu harus tetap
mencintai lautmu. Kamu harus peduli terhadap apa yang ada di sekitarmu,peduli
terhadap anak-anak nelayan yang membutuhkan sentuhan tanganmu dan juga
perhatianmu.”
Laila mendengar pesan itu. Perempuan yang berdarah nelayan itu memandang
laut lepas. Dulu Laila memandang laut lepas dan yang tampak hanya kegelapan.
Sebagai gadis tunanetra ,yang tampak di depannya hanya hitam pekat dan gelap.
Tapi sekarang,setelah Laila mendapatkan mukjizat di Jabal Uhud, laut di
depannya tampak terang benderang. Indah dan mempesona.
“Oh,Tuhan. Betapa indah lautku.
Betapa elok ciptan-Mu.”
Lama Laila memandang ombak yang berdebur, memandang awan yang
berarak, memandang perahu nelayan berderet-deret menuju laut. Betapa elok
hamparan pasir putih yang terbentang amat luas.
Jauh di tengah terlihat banyak pulau-pulau bagaikan permata. Laila ingat ketika naik perahu dan
menjejakkan kakinya di Pulau Berhala yang tidak jauh dari desa kelahirannya.
Dari kejauhan pulau itu tampak
seperti gumpalan emas yang amat elok disinari matahari pagi. Laila tidak
melihat, tapi Laila mendengar suara
orang.
“Siapa mereka,Iqbal?, “ tanya Laila dulu,ketika masih bocah,ketika masih
dalam keadaan buta.
“Mereka adalah wisatawan yang
mengagumi pulau ini.”
“Apa yang mereka lakukan di pulau
ini?”
“Banyak!. Banyak keindahan yang
mereka nikmati. Bukit-bukitnya yang hijau, pepohonan dan yang lebih istimewa lagi mereka mengintip
penyu bertelur.”
“Ingin rasanya aku ingin ikut melihat penyu-penyu itu
bertelur.”
“Nanti, setelah sepasang matamu
sembuh,setelah matamu dapat melihat.”
“Kapankah aku bisa dapat melihat
seperti umumnya orang-orang normal?”
“Berdoalah, mukjizat Tuhan akan
datang kepadamu.” Iqbal berkata dengan
nada iba. Iqbal selalu merasa sedih bila
ingat sahabatnya sebagai gadis buta. Ingin rasanya lelaki itu ikut merasakan
penderitaan sahabatnya.
Mukjizat itu sudah datang. Mukjizat
itu sudah dirasakan Laila dan dunianya
terang benderang sekarang. Ingin rasanya Laila menjejakkan kakinya kembali ke
Pulau berhala yang tampak seperti gumpalan emas.
Tidak hanya Pulau Berhala yang elok,
masih ada selusin lagi pulau-pulau yang berjejer di Selat Malaka yang letaknya
tidak jauh dari desa kelahirannya.
Dan yang terpikir di benak Laila
tidak hanya eloknya pulau-pulau itu,
tapi masyarakat yang menghuni sebagian dari pulau-pulau itu. Seperti halnya sebuah pulau yang
terletak di timur pulau Berhala, ada sebuah pulau yang berpenduduk lebih dari
seratus ribu orang dan anak-anak mereka
tidak bersekolah.
“Oh,Tuhan. Ingin aku menjejakkan kaki di pulau itu,
bukan untuk sekadar melihat keindahannya,tapi untuk menanamkan ilmu kepada
anak-anak penghuni pulau itu,” Laila
berkata kepada angin yang berhembus.
Suara itu seperti didengar malaikat.
“Ulurkan tanganmu,Laila. Kanak-kanak
di pulau itu memang sangat terkebelakang. Mereka butuh ilmu. Mereka butuh
kecerdasan. Ayo arahkan perahumu ke
pulau itu!”
Itulah sebabnya ketika matahari
mulai tinggi, Laila sudah di atas perahunya. Yang dibawanya tidak hanya
buku-buku tulis d dan pinsil, tapi Laila juga membawa makanan anak-anak. Laila
juga membawa tidak kurang dari dua lusin buku pelajaran Iqra’.
Matahari yang bersinar cerah
menyentuh tubuhnya ketika seorang diri dia melaju di atas perahu bermesin.
“Selamat menunaikan tugas suci,
wahai Laila. Selamat mengabdikan diri kepada anak-anak penghuni pulau
terpencil.”
Penjaga mercusuar melambai-lambaikan
tangan ketika perahunya melewati Pulau Berhala. Juga ketika melewati Pulau
Angsa Dua.
“Assalamu alaikum, Ya Hajjah!,”
teriak penjaga mercu suar itu. Laila hanya melambaikan tangan. Perahu yang
dikemudikan Laila terus memecah ombak
menuju pulau sebelah timur.
“Berhati-hatilah,Bu Hajjah!,”
penjaga mercu suar di Pulau Angsa Dua juga berteriak memberi salam dan
melambaikan tangan.
Perahu itu sudah jauh meninggalkan pantai. Ombak semakin besar. Perahu iu sudah mendekati jalur yang dilalui
kapal-kapal besar. Selat Malaka adalah
selat yang paling ramai dilalui kapal-kapal besar. Lebih 54 ribu kapal melewati
jalur ini dalam setahun..
Belasan anak-anak menyambut
kehadiran Laila di pulau kecil yang terletak di timur pulau Berhala.
Masih sempat Laila memperhatikan tubuh bocah-bocah yang dekil, berkudis dan
berpakaian seadanya.
“Marhaban,Ya Ummi. Selamat datang, Ya Muallimah,” sambut bocah-bocah itu
dan saling berebut untuk mencium tangan Laila.
Hari itu, kanak-kanak penghuni pulau kecil itu mulai belajar Ikra’. Ketika itulah, ketika bocah-bocah penghuni
pulau itu sedang belajar, sebuah perahu bermuatan orang-orang muda mendarat.
Mereka adalah calon-calon dokter yang sengaja mengadakan bakti sosial di pulau
kecil itu. Iqbal dan kawan-kawannya akan membangun jamban di pulau itu karena
jamban yang ada di pulau kecil itu tidak
layak pakai. Dua orang anak nelayan, hari itu benar-benar mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan.***
SUJUD DI JABAL UHUD
Novel
reliji – Sinopsis
lAILA
dilahirkan dari keluarga nelayan miskin di pinggir Selat Malaka. Nasibnya
malang, ia lahir dalam keadaan buta. Sejak masih bocah ia banyak belajar
membaca Qur’an dari sahabatnya , Iqbal, di atas perahu. Persahabatan dua anak nelayan
miskin itu, Laila dan Iqbal, sudah
bertahun-tahun terjalin. Nasibya mulai berubah sejak Laila menjadi juara MTQ
dan selalu diundang untuk menjadi qoriah di berbagai kota,kantor-kantor
instansi pemerintah, perkebunan dan juga
di be-u-m-en.
Pihak
RS mata di Medan sudah memvonis, bahwa ia menderita kanker Limfoma
non-Hodgkins,sejenis tumor yang berasal dari sistem kelenjar getah bening. Laila
mengidap primitiv neuroectodermal tumour
stadium III , sejenis Ewing ’s sarcoma.
Cintanya
terhadap Al Qur’an semakin mendalam di hatinya sejak ia mendapat hadiah dari
keluarga asal Solo,pengusaha perkebunan , berupa Qur’an dalam huruf braille.
Laila menjadi juara MTQ tingkat nasional dan hadiahnya adalah ONH ke Tanah Suci.
Keluarga
yang berasal dari Solo itupun menjemput Iqbal dari desa kelahirannya di tepi
Selat Malaka karena putra tunggalnya tewas akibat demo anarchi di areal
perkebunannya. Keluarga itu mengalami traumatik dan stres berat sebab putra
tunggalnya terbunuh ketika terjadi aksi unjuk rasa. Keluarga asal Solo itu
dianjurkan oleh psikiater untuk mengasuh anak. Karena itulah keluarga asal Pulau
Jawa itu menjemput Iqbal dari desanya.
Anak-anak
nelayan memang hidup miskin, tapi memiliki otak cerdas. Iqbal diasuh keluarga
asal Solo itu dan membiayainya kuliah di Fakultas Kedokteran.
Iqbal
memiliki tekad yang amat mulia, setelah
jadi dokter akan mengobati sahabatnya agar sembuh dari kebutaan. Lelaki muda
itupun tidak henti-hentinya mencari seseorang donor mata yang mau memberikan matanya
kepada Laila. Bahkan Iqbal sudah bertekad bila tidak menemukan seseorang yang
mau mendonorkan matanya, ia bersedia memberikan sebelah matanya untuk Laila.
Di
kampusnya, lelaki muda itu mendapatkan informasi dari dosennya tentang rumah sakit mata yang
terbaik di Madinah, yakni RS Az-Zahra. Dari dosennya pula lelaki muda itu
mendapatkan informasi, tentang Prof.Dr.Van Hollman Mansyur, dokter mata asal Belanda
lulusan Leiden
yang sudah bertahun-tahun menjadi muslim.
Dokter
spesialis mata asal Belanda yang sudah amat banyak menangani katarak dan
glukoma itu memang memiliki tangan dingin dan mukjizat. Ketika Laila mengawali
prosesi ibadah haji di Madinah , di RS Az-Zahra, Laila merasakan tagan dokter
asal Belanda itu dingin dan lembut. Ketika sujud di puncak Jabal Uhud, di tempat terbunuhnya Sayidina
Hamzah , Laila tergelincir dan tubuhnya terguling-guling hingga ke dasar
bukit. Namun ketika membuka matanya, mukjizat
itu datang, Laila dapat melihat. Matanya sembuh.Ia dapat melihat dunia.
Ketika
pulang ke tanah air, Laila selalu berada di atas perahu berlayar ke arah
pulau-pulau yang ada di selat Melaka untuk mendidik anak-anak miskin di
pulau-pulau itu untuk belajar Iqra’
Sariresidence.Blogspot.com
ReplyDeleteSariresidence.Blogspot.com
ReplyDeleteSariresidence.blogspot.com.
ReplyDelete