20.2.15

SUJUD DI JABAL UHUD

                              SUJUD DI JABAL UHUD
    Novel reliji                                                                                                               Maulana Syamsuri


P
ersahabatan dua bocah itu sudah amat lama terjalin, sudah bertahun-tahun, seperti sebuah istana yang amat kukuh, yang tidak akan roboh diterpa badai, yang tidak akan pernah runtuh diterpa angin kencang. Persahabatan yang amat kukuh itu tidak akan roboh oleh goncangan gempa. 
Persahabatan dua bocah yang masih amat belia itu, Iqbal kelas lima es-de dan Laila, seorang gadis cilik tunanetra, adik kelasnya, amat kukuh seperti sebuah ikatan yang tidak akan pernah terpisahkan. Menyusuri sepanjang pantai menuju sekolah selalu berdua dan Laila, meskipun sepasang matanya tidak dapat melihat, tapi kakinya tidak akan pernah  tersandung akar atau batang kayu bakau yang berserakan di sepanjang pantai itu. Laila, gadis cilik yang mengalami kebutaan itu, amat hafal suasana pantai tempat pemukimannya, karena matanya tidak dapat melihat, tapi hatinya terang benderang. Laila melihat dunia dengan hatinya.
Tiap hari,, seperti biasanya, pulang sekolah,sepasang bocah itu menyusuri pantai. Sepanjang jalan, menuju rumah, dari celah bibir keduanya selalu terlantun kalimah-kalimah sholawat badar. Suara Laila terdengar amat merdu keika dia melantunkan Yaa  Nabi Salam ‘Alaika, lalu Iqbal menyambutnya melantunkan Yaa Rabbi bil mustofa Yaa Rasullullah salamun ‘alaik
Burung elang yang sedang terbang di langit berhenti mengintai ikan ketika mendengar suara kedua bocah itu melantunkan Lil Abi wal Ummi yang terdengar di antara debur ombak.  Burung elang yang sedang terbang tinggi tiba-tiba merendah agar bisa mendengar lagu-lagu Islami itu lebih jelas. Burung elang itu seakan membuka telinganya lebar-lebar. Angin yang berhembus kencangpun mereda, berhembus  sepoi ketika kedua bocah itu melantunkan lagu Yaa Thoyibah
            Itulah sebabnya, setiap anak nelayan, setiap anak Melayu, sudah sangat hafal Asmaul Husna,karena selalu didendangkan setiap hari dengan  irama yang amat merdu dan indah didengar. Jangan jadi anak nelayan, jangan jadi anak Melayu kalau tidak hafal 99 nama Tuhan, mulai dari Allah, Ar Rahman, hingga Ash Shabuuru yang maknanya adalah  yang maha sabar
Langkah Laila  yang masih menyandang tas sekolah itu terhenti ketika sayup-sayup mendengar suara meminta tolong di antara debur ombak.
“Seperti ada suara minta tolong,” cetus Laila. Ia memang seorang gadis tunanetra,tapi Tuhan memberinya indera pendengaran yang lebih tajam.
“Aku hanya mendengar suara elang dan ombak yang berdebur,” sahut Iqbal yang ikut menghentikan langkahnya.
“Dengarlah baik-baik. Kamu akan mendengar suara itu, suara meminta tolong!”
Iqbal membuka rongga  telinganya lebar-lebar. Sayup-sayup dia memang mendengar suara teriakan orang.
“Tolong!. Toloooong!,” suara itu terdengar lagi, amat jauh. Hanya sayup-sayup.
“Ya, aku mendengarnya.”
“Dari arah utara!” cetus Laila lagi.
“Ya, aku melihat ada seorang gadis berdiri dan di sisinya ada lelaki terbaring. Ayo kita kesana!”
Iqbal meraih tangan Laila  dan mereka berlari-lari menyusuri pantai, mendekati seseorang yang berteriak-teriak meminta tolong, sementara seorang lagi terbaring lemah di atas pasir.
Dengan nafas terengah-engah Iqbal dan Laila menghampiri seorang gadis yang tampak kebingungan.
“Kakak meminta tolong?. Apa yang terjadi? Boleh kami berdua membantu?”.  Iqbal  menyapa ramah, karena setiap anak Melayu selalu ramah kepada tamu, setiap orang yang datang ke pantai itu adalah tamu yang harus dihormati dan selalu disambut dengan senyum   Kini di depan Iqbal dan Laila ada seoang gadis remaja yang sedang berkunjung ke pantai itu untuk melihat keindahan laut luas dan perahu-perahu nelayan berlayar pulang..
“Saya memang membutuhkan bantuan,” cetus gadis yang masih tampak kebingungan itu. Di sisinya seorang lelaki muda terbaring di atas pasir dalam keadaan lemah.
“Bantuan apa yang dapat kami berikan untuk kakak?,” Iqbal menatap wajah gadis berwajah cantik di depannya.
“Teman saya digigit ular, dalam waktu sesaat saja teman saya pingsan.”
“Ular bakau yang sangat berbisa mematuk kaki teman kakak,” sahut Iqbal lagi. “Kalau terlambat memberi pertolongan, teman kakak memang bisa meninggal di pantai ini.”
“Bantu saja mencari dokter. Tolong kami ke dokter. Saya tidak ingin teman saya meninggal di sini.”  pinta gadis pengunjung pantai itu penuh harap.
“Dokter tidak ada di pantai ini!,” cetus Iqbal sejujurnya. Dokter memang tidak ada di pantai itu. Dokter hanya ada di Puskesmas dan letaknya jauh dari pantai itu, jauh di pasar ,10 km dari pinggir laut itu
“Dokter sangat jauh dari pantai ini.” .
“Kalau demikian teman saya akan mati. Tolong antar kami ke dokter, kita naik mobil!”
Gadis itu dan temannya yang kini dalam keadaan sekarat memang datang ke desa itu dengan mengenderai mobil bagus. Gadis itu dan sahabatnya memang berasal dari keluarga mampu di kota. Gadis itu dan sahabatnya sedang duduk-duduk tidak jauh dari pohon bakau menikmati indahnya pantai yang terletak di pinggar Selat Malaka  ketika tiba-tiba seekor ular bakau sebesar induk jari mematuk kaki kanan sahabat gadis itu.
“Kalau hanya gigitan ular berbisa, bisa disembuhkan tanpa bantuan dokter.”
“Pawang ularkah yang mampu menyembuhkannya?”  gadis pengunjung pantai itu menatap dalam-dalam wajah Iqbal dan Laila berganti-ganti.
“Tidak perlu pawang!”
“Lalu siapa yang dapat membantu menyembuhkan sahabat saya?”
“Cukup kami berdua!. Anak nelayan selalu diajarkan oleh orang tuanya untuk  menawarkan bisa ular.”
“Kalu begitu, tolong saya!. Tolong kami!. Kami akan memberi hadiah apapun yang adik-adik pinta asal sahabat saya dapat sembuh dan kami bisa pulang.”
“Kami tidak mengharapkan balas jasa. Kami adalah anak-anak nelayan, kami adalah putra-putri dari rumpun Melayu yang selalu diajarkan untuk memberikan bantuan kepada sesama, apalagi terhadap pengunjung pantai ini!.”
“Bantulah saya. Bantulah saya. Saya tidak ingin kehilangan sahabat saya karena direnggut bisa ular.”
Tiba-tiba saja gadis cantik pengunjung pantai itu, bersimpuh dan bersujud di depan kaki Iqbal dan Laila berganti-ganti.
“Tolong selamatkan nyawa sahabat saya,” pinta gadis yang sudah sejak dua jam lalu duduk-duduk di pinggir laut menyaksikan elang laut dan nelayan mengayuh sampannya menunju pulang.
“Setiap anak nelayan,setiap anak Melayu, tidak akan membiarkan tamu pantai ini mati terkapar. Kami akan membantu,sampai sembuh!,” itulah janji Iqbal dan duduk bersila di sisi kanan lelaki yang terbaring dalam keadaan pingsan.
“Terima kasih. Terima kasih!,” ucap gadis pengunjung pantai itu penuh harap Tidak habis-habisnya gadis remaja yang cantik itu mengucapkan terima kasih,padahal lelaki sahabatnya masih tetap pingsan karena bisa ular bakau sudah merasuk ke dalam semua sendi dan aliran darah lelaki itu..
Di antara debur ombak, di antara kulik elang yang terbang mencari mangsanya, di antara derai-derai daun nyiur yang melambai-lambai, terdengar suara Iqbal melantunkan ayat-ayat kalimah mulia. Laila, meskipun  seorang gadis tunanetra, tapi dia juga diajarkan untuk menawarkan bisa ular dan binatang melata lainnya.
Dengan suara lirih , di antara debur ombak  Laila membaca surah Al Baqarah ayat 255 dan 259 diiringi dengan surah Ar-Ra’a ayat 31. Iqbal juga  melantunkan surah Thoha ayat 105 dan surah  Yaasin ayat 9.  Lalu kaki kanan lelaki muda yang dipatuk ular bakau itu ditutup  dengan daun-daun bakau yang sudah busuk kemudian ditimbun dengan pasir.
Tidak sia-sia ayah dan bunda Iqbal serta Laila mengajarkan pengobatan bisa ular bakau. Orang tua mereka memang amat rajin mengikuti majlis taklim di desa mereka di pinggir selat Malaka itu. Mereka mengikuti ahli pengobatan Islamy yang dituturkan oleh Imam Akhmad Asy-Syarajy dalam kitab Al Fawaaid Fish Shilati wal ‘Awaa-id.
                                         ***
H
anya beberapa menit setelah kedua bocah bersahabat itu melantunkan ayat-ayat kalimah mulia, kemudian membalut bekas gigitan ular itu dengan daun-daun busuk lalu menimbunnya dengan pasir kering, lelaki muda yag  pingsan itu membuka mata. Lelaki muda itu memandang keliling, memandang awan putih yang berarak-arak di langit serta puncak nyiur yang melambai-lambai dan burung elang yang terbang berpasangan, lalu memandang tiga insan di depannya.
“Di mana aku?,” terdengar suara lelaki muda itu dan masih terbaring di atas pasir.
“Di pinggir laut, di tepian Selat Malaka!,” yang menyahut adalah Laila.
“Apa yang terjadi?”
“Kamu digigit ular hingga pingsan dan hampir mati,namun dua adik ini menyelamatkan nyama kamu”.
“Seperti sebuah keajaiban!,” suara lelaki muda yang terbaring itu terdengar dan berusaha untuk duduk.
“Oh,Faisal. Kamu sudah benar-benar sembuh dari bisa ular yang sangat berbahaya.”
Tiba-tiba saja gadis remaja itu memeluk kekasihnya yang baru sadar dari pingsan.
“Kalau tidak ada kedua adik-adik ini, pastilah bisa ular itu sudah merenggut nyawamu.”
“Terima kasih,adik!,” lelaki gagah yang dipanggil Faisal itu memeluk Iqbal.
“Panggil saya Iqbal.”
“Terima kasih,Iqbal. Aku tidak tahu balasan jasa apa yang pantas kuberikan kepadamu.”
“Yang menyembuhkan tidak hanya saya, tapi sahabat saya,Laila. Dia tidak bisa melihat.”
Laila mendapat hadiah pelukan dan dekapan hangat dari gadis remaja pengunjung pantai itu.
“Dimana rumah kamu?.”
“Di sebelah utara pantai ini.”  Iqbal menunjuk ke arah utara, ke sebuah rumah yang amat sederhana, berdinding tepas dan beratap rumbia serta berlantai tanah. Tidak ada pesawat tv berwarna di rumah itu. Tidak ada kursi mewah, tidak ada kulkas, tidak ada kipas angin,padahal ketika siang hari udara di pantai itu amat panas.. Yang ada di rumah itu hanya kursi kayu yang sudah tua dan reot.
“Besok kami akan datang bersama ayah ibu kami, untuk mengucapkan terima kasih dan oleh-oleh!,” cetus Amaliah, gadis pengunjung pantai yang wajahnya cantik.
“Pagi kami sekolah, datanglah sore hari, sebelum orang tua kami pergi melaut.”
Sepasang remaja pengunjung pantai itu memeluk dua bocah bersahabat itu lalu mohon diri. Mereka berjalan santai, seperti tidak pernah terjadi sesuatu yang amat fatal. Gigitan ular bakau amat berbisa dan sudah amat banyak merenggut nyawa orang-orang yang sudah mengotori laut.
Tiap tahun di pantai itu diadakan upacara bersih desa dan jamu laut, untuk membersihkan pantai dan laut dari dosa dan dari semua kotoran serta nista.
***
A
zan maghrib terdengar dari puncak menara masjid di desa pantai itu. Iqbal berdiri menghadap kiblat dan ibunya berdiri di belakangnya. Maskipun Iqbal masih dikelas V, tapi sebagai anak lelaki, dia harus menjadi imam ketika sholat berjamaah di rumahnya,bersama ibunya. Ayahnya sedang melaut untuk menangkap ikan tanpa peduli angin laut yang amat dingin dan berhembus kencang.  Ayahnya  pulang esok subuh dan para juragan ikan sudah menunggu di pelabuhan ikan.
Bagi setiap nelayan, angin kencang dan ombak laut adalah sahabat yang paling setia.
Suara bocah itu terdengar amat merdu ketika membaca Surah Ar Rahman kemudian pada akhir sholatnya  berdoa untuk keselamatan ayahnya di tengah laut. Iqbal juga mendoakan agar ayahnya mendapat tangkapan ikan yang banyak. Tapi nasib nelayan tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Nelayan tetap hidup miskin. Nelayan tidak pernah mampu membangun rumah bagus berlantai keramik. Nelayan tidak mampu memiliki tv berwarna. Kalaupun ada yang memiliki sepeda motor atau tv warna pasti dibeli dengan cara kredit yang bunganya mencekik leher.
Mana ada anak nelayan yang duduk diperguruan tinggi. Amat jarang anak nelayan yang mampu mendidik anaknya hingga es-el-a. Satu dua anak nelayan duduk di i-a-i-en , itupun karena mendapat bea siswa.
Doa yang dilantunkan amat panjang, namun sebelum doa itu berakhir, terdengar deru mobil di depan rumahnya. Iqbal dan ibunya amat terkejut, tiga orang yang turun dari mobil di depan rumahnya tampak seperti orang terhormat dan kaya. Namun perasaan terkejut itu mendatak hilang setelah Iqbal mengenal salah satu dari tamunya yang turun dari mobil itu. Dan tamu yang dikenalnya adalah Bang Faisal, seorang remaja yang digigit ular berbisa hingga hampir mati dan Iqbal bersama Laila telah berhasil menyelamatkan nyawa remaja itu. Bang Faisal datang bersama Bu Hartati,ibundanya dan seorang lagi ayahandanya.
Tamunya mengucapkan salam. Ibu Iqbal menyilahkan masuk dan duduk di kursi reot. Sesaat tamu yang baru turun dari mobil itu prihatin. Seperti umumnya rumah nelayan yang hidup miskin, rumah itu belum dialiri listrik, sebab biaya pemasangan listrik saat ini amat mahal. Tidak ada keringanan, tidak ada tarif istimewa untuk keluarga miskin,apalagi untuk keluarga nelayan. Rumah itu hanya diterangi oleh lampu minyak tanah yang sinarnya remang-remang. Nyamukpun tidak terlihat.
“Kami datang untuk mengucapkan terima kasih karena anak kami telah selamat dari kematian.” Terdengar suara tamunya setelah memperkenalkan diri   Tamunya menyebut nama Faisal  Wicaksono, putra mereka.
“Saat ini Faisal sedang kuliah di Fakultas Pertanian. . Kami ingin anak kami cepat jadi sarjana. Andainya anak kami tewas karena bisa ular, kami pasti kehilangan dia sementara biaya sudah amat banyak untuk kuliahnya. Andainya anak kami meninggal karena gigitan ular, kami tidak punya siapa-siapa lagi karena Faisal satu-satunya anak kami.”
“Syukurlah putra bapak terhindar dari kematian.,” sahut ibu yang melahirkan Iqbal.
“Sudah sepantasnya kami menyampaikn tanda terima kasih, karena nyawa tidak ternilai harganya,” sambung Bu Hartati lagi.
“Namun tanda terima kasih itu tidak sembarangan kami berikan. Kami datng untuk bertanya, apakah ibu dan Iqbal dirumah ini butuh tv berwarna atau sepeda motor.” Suami Bu Hartati    melanjutkan.
“Anak saya menolong dengan hati ikhlas.”
“Tidak usah enggan menyebutkan apa yang dibutuhkan dirumah ini. Sebab kami melihat keadaan yang serba sederhana di rumah ini.”
Memang keluarga yang baru turun dari mobil itu melihat suasana yang amat sederhana. Tamu yang baru datang dari kota itu menyadari, bahwa kehidupan nelayan pada umumnya miskin dan melarat.
“Kami tidak butuh benda-benda itu”, sahut ibu Iqbal menolak  sejujurnya
“Atau tanda terima kasih itu belum memadai?. Apakah ibu ingin membangun rumah ini agar lebih layak?,”  sahut Bu Hartati lagi dengan logat Jawa yang masih medok.
“Juga tidak!”
“Lalu apa yang pantas kami berikan?”
“Tidak ada!. Kami tidak mambutuhkan apapun dari setiap orang yang telah mendapat pertolongan dari anak-anak kami ketika berada di laut.”
Tiga orang tamu yang datang dari kota itu tertegun. Betapa polosnya  hati setiap nelayan,tidak mengharapkan balas jasa,tidak mengharapkan apapun. Iqbal termenung. Sesaat dalam benaknya muncul wajah sahbatnya,Laila, yang sejak lahir dalam keadaan buta. Laila yang sudah kehilangan ayahandanya karena direnggut tsunami membutuhkan pengobatan mata agar dapat melihat dunia.
Betapa amat kasihan keadaan Laila. Lahir ke dunia dalam keadaan buta total. Baginya dunia gelap gulita. Menempuh pendidikanpun harus dirumah sekolah khusus anak-anak tunanetra . Mana ada sekolah tunanetra di desa, di pinggir laut. Yang ada di pantai itu hanya gedung sekolah yang sudah tua dan bangku-bangkupun sudah reot. Hampir tidak ada rehabilitasi gedung sekolah di desa pantai itu.
Syukurlah Pak Camat menyumbangkan buku-buku dalam huruf braille  sehingga gadis buta itu tetap dapat belajar di desanya. Dan buku-buku dalam haruf braille itu disesuaikan dengan kurikulum sekolah. Yang menjadi kendala hanya sang guru-guru yang tidak dapat membaca aksara braille.
“Permintaan saya hanya satu,” terdengar suara Iqbal setelah termenung beberapa saat, setelah di benaknya muncul wajah sahabatnya,Laila.
“Saya menolong  Bang Faisal dari bisa ular itu tidak seorang diri.”, ujar Iqbal sejujurnya.
“Kami tahu seorang gadis cilik juga ikut menolong memberikan pengobatan tradisional.”
“Ya, dia adalah Laila, seorang gadis buta.”
“Buta?”, ulang tamunya tidak percaya.
“Ya!. Dia gadis tunanetra. Baginya dunia ini seluruhnya gelap, tapi dia dapat bersekolah seperti biasa karena ada pihak-pihak yang memberi bantuan.”
Iqbal menyebut bantuan Pak Camat berupa buku-buku dalam huruf braille sesuai buku-buku yang dipelajari di sekolah.
“Apakah Laila dapat belajar dengan normal?,”  tamunya ingin tahu.
“Ya, sangat normal. Bahkan Laila adalah juara pertama tidak hanya di kelas, tapi di sekolah.”
“Sungguh luar  biasa!,”  gumam sang tamu. “Bagaimana kalau ujian?”
“Ujian dilakukan secara khusus dan lisan. Hasilnya tetap seratus untuk Laila!”
“Sungguh luar biasa!. Kami ingin sekali bertemu dengan Laila dan orang tuanya!.”
“Ayahnya  sudah tidak ada!,”
“Meninggal karena sakit?”
Iqbal menggeleng lirih. Suaranya juga lirih karena dia menahan keharuan dalam dadanya, dalam hatinya.
“Ayahnya direnggut gelombang laut.” Suara iqbal masih lirih.
“Gelombang laut?. Bukankah laut adalah sahabat setiap nelayan?. Tidak pernah terdengar ada nelayan yang mati tenggelam di tengah laut.”  Bantah sang tamu keheranan.
“Bukan gelombang biasa, bukan ombak biasa!”
“Lalu ombak besar seperti apa?”  sang tamu menatap wajah bocah lelaki itu amat dalam, seperti mencari rahasia yang amat mendalam di dasar mata bocah lelaki itu.
Dengan didahului hela nafas panjang, Iqbal berkata lirih,hanya sepenggal kata yang mampu  diucapkan, tapi mengandung makna yang amat luas.
“Tsunami!”
“Kasihan!”
“Nah, Laila lahir dalam keadaan buta dan ibunya adalah seorang janda. Dia butuh penyembuhan. Laila  butuh berobat tapi ibunya amat miskin. Laila amat ingin melihat dunia. Laila butuh bantuan dokter mata agar dapat melihat seperti orang-orang normal.”
Iqbal ingin memohon kepada tamunya yang tampak seperti keluarga kaya. Lihatlah mobilnya bagus. Lihatlah pakaian ayah dan ibu Faisal. Lihatlah kalung emasnya. Lihatlah gelangnya.
Arloji tangan yang melingkar dipergelangan ayahanda Faisal pasti berharga jutaan. Lihatlah mereka mampu membiaya putra mereka di univesitas paling favorit.
            Iqbal ingin memohon agar keluarga itu berkenan membantu,bukan berbentuk materi, bukan berbentuk uang. Yang dibutuhkan Laila adalah uluran tangan. Yang diharapkan Laila pasti perawatan dan pengobatan di rumah sakit. Dan sebelum Iqbal mengungkapkan permohonannya, sang tamu sudah mendahului:
            “Kami ingin berkunjung ke rumah Laila  dan bertemu dengan ibunya. Kami akan membawanya ke rumah sakit mata yang terkenal di Medan.”
            “Terima kasih. Itulah yang saya harapkan dan itulah yang sangat diharapkan Laila dan ibunya.  Akhirnya Tuhan mengabulkan doa Laila dan ibunya. Juga doa saya sebagai sahabatnya.”
            Tanpa menunggu lama, Iqbal mengantar sang tamu ke rumah Laila  yang tidak jauh dari rumah reot dan hampir runtuh itu.
                                         ***
   D
i atas tikar pandan yang sudah lapuk dan robek di sana sini, keluarga kaya yang datang dari kota itu duduk bersila. Setitik demi setitik airmata mengalir di pipi perempuan setengah baya bernama Subang,yang melahirkan Laila ke dunia bukan dari rahimnya tapi dari operasi kaesar.
            “Angin kencang dan ombak laut adalah sahabat semua keluarga nelayan dari mulai suami hingga anak-anaknya. Di tengah laut para lelaki nelayan menangkap ikan. Laut yang amat elok telah menjadi sumber kehidupan bagi kami keluarga nelayan meskipun harus dengan menderita dan serba kekurangan.”  Perempuan bernama Subang itu mulai menuturkan masa lalunya yang pahit sebagai istri nelayan yang hidup miskin.
Subang adalah sebuah nama yang selalu diberikan oleh orang tua suku Melayu kepada putrinya. Dan nama itu serasi di tubuh perempuan itu sejak lahir dari rahim ibunya. Kelahiran bayi perempuan itu hanya  disambut dengan lantunan Iqomah, tanpa aqiqah. Mana ada nelayan miskin yang sanggup membeli seekor kambing untuk disembelih sebagai aqiqah, lalu setelah sepekan rambutnya digunting dan nama Subang ditabalkan oleh Lobe Sulaiman, imam masjid di pinggir laut itu.
            “Saya menikah dengan seorang nelayan bernama Kolok dan saya tahu menikah dengan  seorang nelayan harus siap untuk hidup miskin,” lanjut Subang menuturkan nasibnya.
            “Namun berbahagia bukan?,”  sela tamunya.
            “Ya,saya bahagia meskipun sebelum azan maghrib terdengar suami saya sudah melaut dan pulang esok subuh dan menjual ikan-ikan hasil dari laut kepada juragan ikan di tangkahan.”
            “Kami bisa merasakan betapa pahit hidup sebagai nelayan yang harus hidup sederhana. Yang kaya hanya juragan yang membeli ikan segar dari nelayan lalu menjualnya dengan harga mahal kepada masyarakat.” sela tamunya lagi.
            “Semua juragan di pantai ini hidup senang, rumah bagus, punya sepeda motor dan anak kuliah di kota.  Selain juragan adalah lagi orang yang hidup kaya di pantai ini,”  lanjut perempuan bernama Subang itu.
            “Siapa orang kaya itu?. Camat atau Bupati?,” tamunya menatap wajah Subang  dengan perasaan iba.
            “Camat dan Bupati mana mungkin tinggal  di desa nelayan yang baunya amis dan warganya miskin semua.”
            “Lalu siapa orang kaya itu?”
            “Rentenir!”
            “Kenapa masih ada rentenir sementara ada bank yang selalu memberi kemudahan dalam mendapatkan kredit.”
            “Bank dan rentenir sama saja. Sama-sama uang yang dipinjam berbunga tinggi. Namun terkadang kehadiran rentenir di desa nelayan ini adakalanya sesekali diperlukan. Ada nelayan yang sakit atau mengawinkan anak dan perlu biaya pasti butuh bantuan rentenir.”
            Tamu-tamu yang terhormat itu senyum-senyum. Kehidupan para nelayan memang selalu terlilit hutang, kepada bank atau kepada rentenir. Apalagi nelayan juga butuh biaya untuk melaut. Nelayan butuh be-be-em untuk menjalankan mesin perahu. Masih amat banyak nelayan yang tidak punya perahu.
            “Tiap tahun di pantai ini diadakan pesta jamu laut dengan upacara meriah dan doa-doa agar yang namanya hantu dan jembalang laut menjauh. Juga agar bala dan bencana menjauh dari nelayan. Juga permohonan agar nelayan dapat menangkap ikan lebih banyak.”
            “Bukankah doa itu selalu dikabulkan Tuhan?. Bukankah nelayan tidak pernah pulang dengan tangan hampa?,”  sang tamu menyela lagi.
            “Tidak selamanya Tuhan mengabulkan doa-doa itu. Dari waktu ke waktu kehidupan nelayan semakin sulit. Sangat sulit untuk mendapat penghasilan yang lumayan karena kapal-kapal besar dibiarkan menangkap ikan yang seharusnya menjadi lahan nelayan kecil.”
            “Kami ikut prihatin dengan keadaan itu!,” cetus sang tamu lagi dengan nada sedih.
            “Lanjutkan kisah tadi,” pinta sang tamu ingin tahu lebih jauh tentang nasib yang dialami oleh perempuan bernama Subang.
            “Itulah! Bencana suatu saat datang sangat mendadak. Laut yang menjadi sumber kehidupan bagi semua nelayan,tiba-tiba murka. Ombak laut yang bagi semua keluarga nelayan adalah nyanyian merdu sepanjang masa, hari itu murka seperti gunung berapi meletus. Di tengah malam yang dingin, desa kami diguncang gempa keras lalu terdengar seperti ledakan bom. Ledakan yang terdengar amat keras itu ternyata adalah laut yang benar-benar marah, yakni tsunami!”
            “ Banyakkah korban ketika tsunami terjadi?”
            “Sungguh sangat banyak Semua disapu gelombang yang benar-benar murka. Tidak hanya rumah nelayan, tapi juga surau, kantor kepala desa, rumah sekolah, semua luluh lantak disapu gelombang laut.”
            Perempuan bernama Subang itu menuturkan tentang tragedi yang dialami di malam yang amat mengerikan itu.
                                          *** 
   M
alam itu, ketika sepi sedang mencekam kawasan pemukiman nelayan itu, ketika udara dingin dan hujan rintik-rintik, Subang sedang mengusap perutnya sendiri yang sedang membukit seperti karung beras. Sulit baginya untuk memejamkan mata karena bayi dalam rahimnya bergerak lebih keras, seperti bermain bola.
            Lama Subang mengusap puncak perutnya yang tampak seperti nagka masak.
            “Jangan lasak ,ya sayang. Tidurlah dengan tenang, ibu sangat lelah malam ini!,” ujarnya kepada bayi dalam kandungannya di tengah malam itu dan mengelus perutnya sendiri.
            Tapi bayi dalam rahimnya tetap saja bergerak lasak. Seperti sangat gelisah. Suara yang terdengar tidak hanya debur ombak, tidak hanya desau angin yang mempermainkan daun-daun pepohonan. Terdengar suara burung hantu. Bulu roma perempuan hamil itu berdiri. Suara jengkrik tidak lagi bernyanyi merdu seperti biasanya. Suara jengkrik seperti melengking tinggi,seperti sedang  dalam kegelisahan.
            Cecak yang biasanya bermain di dinding rumah, malam itu berlari kencang tidak tentu arah. Desau angin juga semakin kencang. Semua seperti amat marah dan gelisah. Semua mengerikan. Burung pipit, elang, burung gereja, burung ruak-ruak juga terbangun dari tidurnya dan mendadak terbang jauh sambil mengepakkan sayapnya kuat-kuat dan mencericit seperti memberi peringatan, bahwa sesuatu akan terjadi. Semua mahluk di pantai itu gelisah.
Perempuan hamil itu semakin tidak dapat memejamkan mata. Apalagi di dinding tampak semut-semut kecil berlari beriring-iring tidak tentu arah. Kecoa juga ikut gelisah. Semua, di malam sepi seperti sedang dalam suasana cemas dan ketakutan Perempuan hamil itu berusaha mencari Qur’an. Hanya dengan membaca Qur’an dia akan mendapatkan ketenangan. Hanya dengan melantunkan kalam-kalam Ilahy dia akan mampu mengusir kegelisahan. Tapi gerakan bayinya yang amat keras menyebabkan dia tidak mampu berjalan beberapa langkah untuk meraih kitab suci Al Qur’an..
            Perempuan yang sedang hamil itu mengucapkan istighfar berkali-kali. Bayi dalam perutnya terus saja bergerak lasak. Pada saat itulah terasa bumi bergerak amat keras.
            “Gempa!. Gempaaaa!!!,” jiran tetangga berteriak-teriak dan berhamburan keluar rumah.
            Bumi yang diguncang gempa terus berlangsung menyebabkan perempuan hamil itu berusaha untuk bangkit, tapi kandungannya yang sudah berusia sembilan bulan menyebabkan dia tidak dapat langsung berlari keluar rumah.
            Pada saat itulah,ketika gempa mulai reda, tiba-tiba terdengar suara menggelegar diiringi yang air amat deras masuk ke dalam rumah melalui celah dinding. Air yang masuk terasa amat deras, lebih deras dari sungai yang mengalir dari puncak gunung menuju laut. Pintu-pintu rumah  dan jendela-jendela jebol ditabrak air yang menerjang.
            Tiba-tiba saja rumah yang dihuni perempuan hamil itu roboh. Reruntuhan rumah itu menimpa perempuan hamil itu, menimpa kepala dan perutnya yang sedang membukit seperti karung beras. Terasa amat sakit.
            “Tolong!. Tolooong!!,” perempuan hamil itu berteriak. Tapi teriakan minta tolong juga terdengar dari rumah-rumah tetangga. Air memang sedang mengamuk. Gelombang laut sedang naik ke darat dengan ketinggian lebih dari setinggi rumah dan mengamuk jauh ke darat, hingga sejauh lebih dari 10 km. Itulah tsunami!.
Air laut naik hingga jauh ke darat hampir setinggi pohon mangga atau pohon rambutan dengan kecepatan yang amat tinggi. Air laut yang sedang  marah menumbangkan rumah, menghanyutkan ternak dan semua yang ada di bumi di sekitar pantai itu. Puluhan sapi dan kambing terbawa arus ke tengah laut. Juga reruntuhan rumah, bangunan, bahkan mobil tua juga ikut tersapu arus air. Tidak hanya sapi dan ternak lainnya yang disapu oleh gelombang laut, tapi juga manusia!. Puluhan, bahkan ratusan manusia di sekitar pantai itu  terbawa arus deras ke tengah laut. Perempuan yang sedang hamil itu tidak mampu menahan sakit di kepalanya yang berdarah. Bagian perutnya juga lebih sakit dan rahimnya mengeluarkan darah. Perempuan itu pingsan! .
Esok pagi,ketika fajar terbit, tidak ada suara azan subuh yang setiap pagi membangunkan umat untuk melakukan sholat. Tidak ada lagi manusia, karena seorang lelaki muda yang selalu menjadi muazin di masjid di desa itu ikut disapu ombak bersama bangunan masjid. Tidak ada lagi rumah. Tidak ada lagi masjid. Tidak ada lagi gedung sekolah. Semua disapu air.
            Esok pagi, ketika air sudah surut dan kembali ke laut, di sepanjang pantai bergelimpangan puluhan mayat lelaki dan perempuan, tua muda dan juga balita.Bahkan ada mayat yang tersangkut di pohon mangga.
            Hari itu sebagian besar warga penghuni desa di pinggir laut yang terletak di Selat Malaka itu sudah menjadi mayat. Hanya mukjizat Tuhan saja yang menyebabkan sebagian kecil manusia penghuni desa itu selamat dari angkara murka air laut.
Hari itu banyak perempuan kehilangan suami atau sebaliknya. Ayah bunda kehilangan anak-anak dan anggota keluarganya. Tangis yang amat mengharukan terdengar di mana-mana. Tsunami telah banyak meminta korban jiwa dan harta benda.
            Mukjizat Tuhan pula yang telah menyelamatkan perempuan hamil sembilan bulan bernama Subang. Perempuan malang itu hanya mengalami luka-luka di kepala dan pendarahan pada bagian rahim. Perempuan hamil itu sadar setelah dirinya terbaring di rumah sakit di Kecamatan. Perempuan itu dengan tangan lemah berusaha mengusap perutnya. Dia amat heran. Perutnya yang membukit seperti nangka masak sudah rata.
            “Bayi ibu sudah lahir,” terdengar suara seorang perawat di rumah sakit itu.
            “Sudah lahir?,” Perempuan itu keheranan. “Tapi saya tidak merasakan apa-apa.”
            “Ibu kehabisan tenaga. Ibu sudah sangat lemah, dokter terpaksa melakukan bedah kaesar.” ujar perawat lagi.
            “Oh,Tuhan. Setinggi-tinggi syukur untuk-Mu!,” desisnya lirih. Dari bibirnya masih sempat terlantun Surah Fatihah.
            “Siapa yang sudah berbaik hati menolong saya?,” perempuan bernama Subang itu ingin tahu.
            “Orang-orang yang selamat dari bencana tsunami di desa ibu. Para nelayan  mengantar ibu ke rumah sakit ini.”
            Sekali lagi dan sekali lagi perempuan yang kini sudah menjadi ibu itu bersyukur kepada Ilahy.
            Tsunami yang merenggut ratusan nyawa sudah terjadi di desa nelayan di pinggir Selat Malaka itu. Tapi sebuah keajaiban di desa itu juga sudah terjadi. Perempuan hamil itu tertimpa reruntuhan rumah lalu lima orang menyelamatkan dirinya dan mengantarnya ke rumah sakit.
            Kemana lagi perempuan malang itu harus pulang?. Subang tidak lagi memiliki rumah karena sudah rata dengan tanah disapu ombak laut yang murka. Dia terpaksa harus menginap di tenda-tenda penampungan bersama bayinya, bersama puluhan keluarga yang selamat. Air mata mengalir lagi di pipinya.
            Di mana suamiku?. Dimana ayah anakku?. Dimana Kolok berada?. Tidak seorangpun yang tahu keberadaan suami perempuan malang itu.
                                                            *** 
   A
ir mata berderai amat deras di pipinya seperti hujan lebat yang tercurah dari langit ketika tragedi yang amat menyedihkan dan mengerikan itu diceritakan kepada Bu Hartati dan suami serta putranya.
            “Bagaimana nasib suami ibu akhirnya?,”  sang tamu dari kota ingin tahu.
            “Tsunami yang menelan banyak korban di desa ini juga merenggut ayah anak saya. Oh,Tuhan….” Perempuan malang itu tidak mampu lagi berkata-kata. Dia menutup mukanya dengan telapak tangan. Semua terdiam. Yang terdengar hanya sedu sedan perempuan malang itu.
            “Ayah anak saya hilang di tengah laut bersama puluhan nelayan lainnya. Oh, beginilah nasib nelayan yang malang.”
            “Kami datang untuk memberi bantuan kepada ibu!,” ujar sang tamu dari kota itu .
            Di antara isak tangisnya perempuan malang itu menuturkan, bahwa bantuan dari berbagai pihak terus mengalir. Ada dari pemerintah,el-es-em, ada bantuan dari partai politik  yang bermuatan kampanye ,ada dari pengusaha, dari tokoh-tokoh masyarakat dan dunia juga ikut memberikan bantuan.
Tidak hanya bantuan dana, tapi juga relawan yang membawa kantong-kantong mayat untuk membawa mayat-mayat yang ditemukan.
            Bantuan dari berbagai negara  di belahan bumi ini terus mengalir. Perempuan yang baru saja menjalani operasi kaesar itu juga mendapatkan bantuan rumah yang layak huni.
            “Kesedihan hati saya datang tumpang tindih. Ayah anak saya hilang di tengah laut dan bayi saya lahir tidak  sempurna,  matanya dalam keadaan tidak dapat melihat. Anak saya buta hingga dia duduk di kelas empat  es-de,” tuturnya di antara isak tangisnya yang panjang, di antara derai air matanya.
            “Kami sudah mendengar, Laila adalah seorang gadis tunanetra, tapi juara satu di kelas dan di sekolahnya,” cetus Bu Hartati  lagi. “Sungguh prestasi yang luar biasa.”
            Perempuan malang itu terisak lagi.  Tiga orang tamu yang datang dengan mengenderai mobil bagus itu saling berbisik-bisik, seperti sedang merundingkan sesuatu.
            “Ibu!,” terdengar suara sang tamu, ibunda dari Faisal dan mengusap pundak ibunda Laila. “Kami sepakat untuk membawa Laila ke kota untuk berobat.”
            “Tapi…tapi…,” perempuan malang itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
            “Laila perlu penyembuhan dan pengobatan. Mungkin pula Laila harus menjalani operasi mata. Yang dapat melakukannya hanya dokter ahli. Perkenankan kami membawa Laila ke kota,” sang tamu meminta.
            Lama perempuan malang itu berpikir dan menimbang-nimbang. Untuk berobat ke kota, pasti butuh dana besar dan waktu yang lama. Perempuan itu merasa tidak sanggup untuk berpisah dengan putri tunggalnya apa lagi putrinya dalam keadaan buta.
            “Kasihan Laila, dunianya gelap gulita. Pertolongan dokter mungkin dapat membuatnya melihat dunia!,” tegas sang tamu lagi. “Kami akan menganggapnya sebagai anak sendiri, sebagai adik Faisal.”
            Tidak ada pertimbangan lain. Perempuan yang bernasib malang itu tidak dapat mencegah putri tunggalnya untuk dibawa ke kota.
                                    ***
   S
aat-saat yang sangat mengharukan sudah hampir tiba,ketika Laila akan dibawa kekota oleh sebuah keluarga yang hidup mapan itu. Tapi Laila tidak segera berkemas-kemas, gadis cilik tunanetra itu tetap saja duduk di atas tikar pandan yang sudah tua dan robek-robek. Laila tetap saja menekur.
            “Ayo,Laila!. Bersiaplah untuk berangkat. Ibu akan mengemasi pakaian yang akan kamu bawa.” ujar ibunya.
            Laila tetap menekur,bahkan air matanya berderai. Laila tampak amat sedih.
            “Ayo,Laila. Kenapa harus menangis. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia!” desak ibunya dan menyentuh tangannya.
            “Tidak,bunda!. Laila tidak akan meninggalkan desa ini.”
            “Kenapa?. Jangan sia-siakan keluarga  yang sudah berbaik hati!” desak bundanya lagi.
            Laila menggeleng lirih.
            “Kenapa?. Bukankah kamu ingin melihat keindahan yang ada di muka bumi ini?. Bukankah kamu ingin matamu sembuh?”
            “Saya sangat mencintai desa ini!,”sahutnya lirih dan tetap saja menundukkan wajah, menekuri tikar pandan yang didudukinya.
            “Artinya kamu menghendaki duniamu tetap gelap gulita?”
            “Laila akan ke kota, tapi tidak sendiri!,” cetus Laila dan mengangkat wajah menatap bundanya
            “Artinya bunda harus menemanimu?. Begitukah?”
            Dan yang menjawab kata-kata itu adalah keluarga kaya yang datang dari kota.
            “Ibu juga boleh ikut kalau memang itu yang diinginkan Laila.”
         “Bagaimana Laila?”
            “Bukan harus bunda yang menemani Laila!”
            “Lalu siapa lagi?. Ayahandamu sudah tidak ada!”
         Lama Laila menekur. Airmatanya berderai lagi dan membasahi pipinya yang kemerahan.
            “Ayo katakan!. Siapa yang kamu inginkan untuk menemanimu”.
            Laila tetap menekur. Setelah berkali-kali didesak oleh bundanya dan keluarga kaya yang datang dari kota,barulah dari celah bibirnya terucap sebuah kalimat pendek:
            “Sahabat saya!”
            “Maksudmu Iqbal yang harus menyertaimu?”
            Laila mengangguk lirih.  Bocah lelaki yang masih duduk di kelas V es-de itu kaget oleh jawaban Laila. Jantungnya berdebar keras.
            “Kalau memang seperti itu, terserah padamu. Ayo bersiap-siap berangkat.” kata sang tamu tanpa tawar menawar lagi.
            Laila dan sahabatnya tersenyum cerah. Dalam mobil sepasang bocah yang sudah bertahun-tahun menjalin persahabatan itu duduk berdampingan ketika mereka berangkat meninggalkan desa yang pernah porak poranda dihantam tsunami yang amat dahsyat.
                                             ***
   D
UNIA yang gelap gulita itulah milik Laila sejak dia lahir ke dunia. Dan hitam pekat. Tapi pada hari itu wajahnya tampak ceria karena sesaat lagi gadis cilik tunanetra itu akan dapat melihat. Betapa gadis kelas IV es-de itu amat bersyukur. Andainya kepergian itu tanpa sahabatnya, tanpa Iqbal mungkin perjalanan itu akan penuh dengan derai air mata.
            “Apa yang kamu lihat di sebelah kiri,Iqbal?,” terdengar suara gadis cilik itu ketika desa nelayan itu sudah tertinggal jauh.
            “Sawah ladang yang sangat elok!,” sahut lelaki muda belia di sisinya. Iqbal memang sedang menikmati pemandangan indah, memandang kejauhan. Dan yang tampak adalah sawah yang terhempang luas..
            “Hijaukah?”
            “Kuning!. Sesaat lagi musim panen akan tiba.”
            “Tampakkah pak tani mengusir burung?”
            “Ya!. Pasti indah sekali,” cetus  Laila  dan terkagum-kagum oleh keindahan padahal yang terlihat di matanya hanya kegelapan. Laila hanya melihat dengan hatinya. Mobil itu terus meluncur dan sedang menyeberangi sebuah jembatan panjang.
            “Apa yang terlihat,Iqbal?”
            “Sungai!”
            “Artinya kita sedang berada di  atas jembatan?”
            “Ya. Airnya keruh dan jorok.”
            “Kenapa keruh?. Tidak seperti laut?. Tidak biru seperti laut kita?”
“Sungai beda dengan laut!. Di hulu pasti sungai ini jernih dan bening serta banyak ikannya. Tapi pencemaran sungai ada di mana-mana. Pabrik, rumah sakit dan hotel membuang limbah sembarangan menyebabkan air sungai tercemar dan ikan-ikan mati.”
“Tampakkah sampan di sungai itu?”
“Ya, ada beberapa buah sampan,tapi bukan sampan nelayan yang mencari ikan.”
“Lalu mereka mencari apa?”
“Mereka adalah penambang pasir.”
“Untuk apa pasir itu?”
“Tentu saja untuk membangun perumahan di kota. Juga untuk membangun hotel,  rumah-rumah mewah ,toko-toko  dan perkantoran. Juga untuk membangun markas kepolisian  dan penjara.”
“Penghuni penjara pasti banyak!,”  cetus Laila.
“Ya!. Kejahatan sudah merajalela dimana-mana karena untuk mendapatkan rezeki yang halal sangat sulit. Kota semakin luas,  tapi peluang rezeki  makin sempit.”
Laila hanya bergumam lirih. Terbayang di pelupuk matanya kehidupan di kota yang serba semrawut, penuh carut marut  dan persaingan yang tidak sehat, saling sikut-menyikut dan warga kota  yang bringas. Kelembutan sudah semakin menipis di kota.         
            Sepanjang jalan Iqbal memandang ke kanan dan kiri jalan. Sepanjang jalan bocah yang masih amat muda belia itu menikmati pemandangan indah, memandang  sawah yang menguning,memandang sapi-sapi yang sedang memakan rumput, melihat petani menghalau burung dan banyak lagi.
            Sepanjang jalan Laila banyak bertanya apa yang dilihat sahabatnya di kiri kanan jalan. Dunianya memang gelap gulita, tapi gadis cilik itu melihat keindahan dunia dengan mata hatinya. Dan mobil itu terus meluncur di jalan raya lintas Sumatera yang amat ramai oleh berbagai kenderaan, bis jarak jauh, truk bermuatan sembako, sepeda motor, truk penuh buah kelapa sawit. Hampir tidak pernah tampak truk bermuatan hasil pertanian, seperti bawang, pisang,ubi kayu atau sayur mayur.
            Tiba-tiba Laila merasakan mobil yang membawanya ke kota berjalan lamban.
            “Kenapa lamban,Iqbal?,”  Laila bertanya kepada sahabatnya yang duduk di sisinya.  Baginya Iqbal adalah tempat bertanya tentang segalanya.
            “Di depan ada iring-iringan orang mengusung jenazah!,” sahut Iqbal sejujurnya.
            “Artinya ada kematian di desa ini?.”
            “Ya!”
            “Kenapa ada kematian?”
“Kematian adalah peristiwa biasa di muka bumi,seperti di desa kita. Di mana-mana ada kematian karena berbagai sebab.”
            “Karena penyakit?”
            “Ya, penyakit adalah penyebab utama kematian bagi penduduk desa. Sebab warga desa umumnya miskin dan tidak punya uang untuk berobat sampai akhirnya kematian itu terjadi.”
            “Pasti penyebab lain masih banyak.”
            “Tentu saja. Kecelakaan juga penyebab kematian.”
            “Apakah ada maling yang mati dihakimi penduduk.”
            “Peristiwa seperti itu juga sudah sering terjadi dimana-mana.  Yang belum pernah terjadi adalah koruptor yang mati ditembak. Belum pernah terdengar korupto babak belur dipukuli rakyat atau digantung.”
            Kedua bocah cilik itu dilahirkan dan dibesarkan di desa, tapi mereka memiliki wawasan yang luas. Mereka mengerti makna kematian. Mereka tahu tentang korupsi dari koran-koran bekas. Mana ada keluarga nelayan yang sanggup membeli surat kabar. Bila mereka selalu membaca surat kabar tentu saja koran bekas, pembungkus ikan asin atau pembungkus bawang. Dari koran-koran bekas itu mereka tahu tentang korupsi yang banyak terjadi di negeri ini. Padahal  koran itu sudah berusia seminggu, bahkan sebulan atau setahun.
            Dari koran pembungkus garam  itu  kedua bocah itu selalu membaca tentang tawuran antar warga di berbagai tempat di negeri ini. Dari koran yang sudah berumur lebih sebulan itu pula kedua bocah itu membaca berita tentang warga miskin dan pengangguran yang jumlahnya jutaan jiwa.
            Dari koran yang sudah sangat jorok itu pula Laila dan Iqbal membaca berita tentang biaya pendidikan yang amat mahal di negeri ini. Dari mana lagi kedua bocah itu  mengetahui tentang busung lapar yang banyak ditemui di negeri ini kalau tidak dari koran bekas.  Iqbal membacanya  dan Laila mendengarnya. Kelaparan memang masih terjadi di mana-mana di negeri yang elok dan kaya ini. Yang belum pernah dibacanya hanya koruptor yang dibakar hidup-hidup.
            Dari koran bekas itulah Laila dan Iqbal membaca berita tentang penggusuran rumah dan lahan serta terjadi kericuhan. Sengketa tanah dan lahan ada di mana-mana. Kedua bocah itu juga tahu pejabat negara dan wakil-wakil rakyat menghamburkan duit rakyat ke luar negeri.
            Namun belum sekalipun kedua bocah itu menemukan berita di koran bekas itu tentang koruptor yang dihukum mati. Padahal hampir tiap hari surat kabar memberitakan tentang maling-maling berdasi di negeri tercinta ini. Gambar tikus yang melukiskan pencoleng duit negara selalu tertera di berbagai koran bekas. Mencuri duit rakyat yang namanya korupsi banyak terjadi di negeri ini dan tidak ada habis-habisnya. Satu tertangkap hari ini, besok akan muncul koruptor baru. Rasa malu sudah tidak  ada lagi di negeri ini. Selagi pelaku korupsi belum ada yang dihukum mati, gambar tikus tetap saja selalu menghiasi halaman surat kabar.
            “Kalau dokter sudah menyembuhkan matamu,apa saja yang akan kamu lakukan?,” tanya Iqbal kepada sahabat di sisinya.
            “Yang pasti aku akan sangat bersyukur kepada Tuhan, aku bisa melihat keindahan dunia.” Sahut Laila penuh harap.
            “Lalu apa lagi?”
            “Kalau aku bisa melihat nanti, sepanjang hari  aku akan selalu berada di sekolah.”
            “Untuk apa?”
            “Bukankah di sekolah  kita sudah ada komputer. Isi dunia bisa kita temui di komputer di sekolah kita.”
            “Hebat kamu,Laila. Lalu setelah itu apa lagi?”
            “Aku akan selalu membaca Qur’an. Aku ingin ikut musyabaqah, biar jadi juara!”
            “Mudah-mudahan dokter mampu menyembuhkan matamu dan melihat dunia.”
            “Selama ini aku merasa diriku adalah orang yang paling malang di muka bumi ini. Hidupku gelap gulita. Aku bersyukur punya seorang sahabat yang baik seperti kamu  yang bisa menuntunku dalam banyak hal. Kamu adalah sahabatku yang paling baik sehingga sekian tahun aku berjalan di muka bumi dalam kegelapan, tapi tidak sekalipun aku tersandung batu atau terpijak duri.”
            “Aku senang bersamamu. Apakah kamu akan tetap menganggapku sebagai sahabat kalau dokter sudah menyembuhkan matamu?”
            “Dalam keadaan bagaimanapun kamu tetap sahabatku yang paling baik.”
            “Terima kasih,Laila.”
            Mobil itu terus meluncur. Desa di pinggir laut yang terletak di Selat Malaka itu semakin jauh tertinggal. Mobil itu sudah mendekati kota. Tidak tampak lagi sawah ladang, tidak tampak lagi sapi-sapi yang memakan rumput. Tidak tampak lagi padi yang terhempang luas dan menguning serta petani yang mengusir burung.
            Di kiri kanan jalan yang tampak adalah gedung-gedung dan pertokoan. Ada toko sembako, ada toko alat-alat elektronik, toko komputer, ada show room yang menjual sepeda motor, ada toko emas dan banyak lagi.
            Show room mobil juga ada yang memajang mobil-mobil mewah dan berharga mahal. Kalau berjalan di kota, sepertinya tidak ada lagi kemiskinan. Bank-bank ramai didatangi nasabah untuk menyimpan uang atau mengajukan kredit. Rumah bertingkat dan bagus-bagus berderet-deret. Seperti tidak ada lagi rumah reot. Tidak ada lagi warga yang tidak makan. Kota seakan dipenuhi orang kaya. Kota hanya milik orang yang hidupnya mampu.
            Iqbal tertegun ketika mobil yang dinaikinya melewati jalan raya di depan sebuah universitas.
            “Apa yang tampak di depan matamu,Iqbal?,” tanya Laila lagi serius.
            “Sebuah universitas!,” sahut Iqbal.
            “Pasti mahasiswanya sangat banyak.”
            “Banyak sekali!”
            “Pasti yang kuliah di sana hanya anak-anak orang kaya!”
            “Tentu. Mana mungkin anak nelayan seperti kita bisa masuk perguruan tinggi.”
            “Entah kapan nasib nelayan akan berubah.” Laila menghela nafas panjang penuh berisi keluhan panjang.
            Mobil itu terus meluncur di tengah kota. Yang tampak di kiri kanan jalan adalah rumah-rumah gedung megah. Ada rumah pejabat, ada rumah mewah milik pengusaha sukses dan banyak lagi.
            Iqbal tertegun ketika melihat sebuah rumah besar, halamannya luas tapi pintu dan semua jendela-jendela tertutup, bahkan halaman sudah ditumbuhi rumput dan ilalang. Pasti ularpun sudah bersarang  disana.
            “Kamu melihat apa,Iqbal?,” Laila ingin tahu.
            “Sebuah rumah besar tapi pintu dan jendela-jendela tertutup serta halaman sudah ditumbuhi rumput dan ilalang.”
            “Kalau demikian pasti rumah itu sudah ditinggalkan pemiliknya.”
            “Ada yang aneh pada rumah itu!.”
            “Kenapa aneh?”
            “Ada papan pengumuman di depan rumah itu.”
            “Apa isi pengumuman itu?. Rumah besar itu mau dijual?”
            “Bukan dijual. Tapi rumah itu dalam proses penyitaan oleh negara.”
            “Kalau begitu pemiliknya sedang tersangkut kasus hukum.”
            “Kukira pemiliknya adalah pelaku korupsi yang  sedang menjalani proses pengadilan.”
            “Akh, kenapa tidak ditembak mati saja?”
            “Belum saatnya koruptor di tembak mati, tapi nanti dua puluh atau lima puluh tahun lagi.”
            Itulah bocah. Meskipun masih bocah, meskipun tinggal di kawasan pantai yang baunya amis dan  miskin, tapi  wawasan mereka amat luas.
                                              ***
   M
obil itu memasuki halaman sebuah rumah besar berlantai dua dan halamannya amat luas. Di halaman tampak ditumbuhi berbagai jenis bunga dan tanaman hias.  Taman  dihiasi air mancur  dan patung seorang perempuan yang sedang memegang kendi.  Dari kendi itu mengucur air yang jernih. Di bawah air mancur itu tampak ikan hias berbagai jenis.
            Keluarga kaya memang selalu begitu, halamannya selalu luas yang dihiasi berbagi jenis bunga dan air mancur. Lampu-lampu tamanpun terang benderang dan serangga mengerumuni lampu-lampu itu.
            “Selamat datang di rumah kami.” terdengar suara Bu Hartati ketika turun dari mobil itu.
            “Kami berharap kalian berdua akan kerasan tinggal di sini,” suami Bu Hartati menambahi.
            “Terima kasih. Rasanya sangat menyenangkan!.”
            “Tinggallah di sini selama satu atau dua minggu.”, pinta Bu Hartati lagi.
            “Kami selalu rindu rumah kami. Kami selalu rindu debur ombak,” yang menyahut adalah Laila.
            Bu Hartati menuntun Laila amat hati-hati  memasuki ruang depan rumah itu.
Langkah Iqbal tertegun  ketika di ruang depan rumah besar itu terpajang seperangkat gamelan Jawa. Disamping gamelan dipajang bedug berukuran besar. Di dinding rumah terlihat lukisan bernuansa Islami. Ada lukisan seorang penunggang unta di tengah gurun pasir, diantara pohon-pohon kurma. Juga ada foto Jabal Nur dan Masjid Jin. Musola juga ada di tengah rumah itu.
“Keluarga ini kelihatannya keluarga yang taat beribadah,”  bisik Iqbal kepada sahabatnya.
“Syukurlah. Keluarga yang taat pada agama biasanya selalu menolong orang lain.”  sahut sahabatnya.
            “Ibu berasal dari Jawa?.” tanya Iqbal setelah memandang seperangkat gamelan dan bedug besar di ruang depan
            “Ya!. Pada awalnya kami menjejakkan kaki di sini sebagai pedagang bakso. Kami harus bekerja keras membangun kehidupan. Saingan mencari nafkah amat keras di Sumatera. Bertahun-tahun kami membuka warung bakso, akhirnya  kami harus memilih haluan lain. Dengan susah payah kami menanam kelapa  sawit pohon demi pohon dilahan yang sempit. Di Sumatera ternyata Tuhan membuka pintu rezeki kepada kami. Pohon demi pohon kelapa sawit itu terus bertambah.” Bu Hartati menuturkan pengalamannya ketika duduk di ruang depan rumah besar itu.
Bu Hartati juga mengungkap perjalanan hidupnya yang amat panjang. Rezeki awal memang dari membuka warung bakso, tapi keluarga asal Solo itu melihat peluang yang amat cerah, yakni berkebun kelapa sawit..
“Terus terang, kelapa sawit adalah primadona perekonomian di negeri ini,” tambah suami Bu Hartati yang bertubuh jangkung itu. Kumis lelaki itu tampak rapi, juga pakaiannya.
Laila dan Iqbal tertegun mendengar penuturan keluarga Bu Hartati yang amat baik hati itu. Laila dan sahabatnya ingat dirinya sendiri dan ibunya di rumah. Dari hari ke hari hingga berganti tahun, nasib nelayan tetap tidak pernah berubah. Iqbal merasa amat sedih. Iqbal pernah membaca koran bekas, bahwa jumlah nelayan di negeri ini berjumlah lebih dari 7 juta orang. Lebih  seperempat dari jumlah itu terbilang miskin dari seluruh warga miskin di negeri ini. Itu artinya kelompok miskin yang terbesar negeri ini adalah dari kelompok nelayan. Betapa amat menyedihkan.
Panjang lebar Bu Hartati menceritakan tentang perjuangan dan perjalanan hidupnya. Juga tentang Faisal, putra tunggalnya.
“Faisal adalah anak tunggal kami. Ibu menjalani operasi pengangkatan rahim karena adanya indikasi tumor mulut rahim,” tutur Bu Hartati.
Perempuan kelahiran Solo itu juga menuturkan,bahwa meskipun sudah bertahun-tahun bermukim di Sumatera, tetapi budaya  dan pola hidup Jawa masih melekat dalam diri keluarganya. Namun yang berbau syirik dan beraroma Hindu sudah lama ditinggalkan keluarga itu.
“Bang Faisal pasti mahasiswa pintar dan prestasinya bagus,” sahut Iqbal.
“Lumayan. Sekarang  sedang  kuliah di semester enam. Tidak lama lagi akan lulus sebagai insinyur pertanian. Kami tidak ingin Faisal buru-buru pacaran, tapi seorang temannya kuliah selalu berusaha mendekati dan mereka selalu berdua makan bakso atau nonton konser tanpa setahu ibu. Sampai suatu saat diam-diam mereka pergi ke pantai dan digigit ular berbisa. Syukurlah ada ananda berdua yang mampu menawarkan bisa ular”
Laila hanya tersenyum.
“Kami ingin Faisal segera lulus dan menggantikan ayahnya mengurus kebun. Di tangannya pasti kebun yang kami miliki akan lebih baik”
Perempuan yang berasal dari Surakata dan sangat gemar kesenian Jawa itu sempat menuturkan kebun kelapa sawit miliknya seluas lebih dari 1.000 hektar dan sedang merencanakan untuk menambah luas kebun itu  400 hektar  lagi  dan izinnya sedang dalam pengurusan.
Wah!. Wah!  Kebun sawit seluas 1.000 hektar pastilah setiap bulan mendatangkan rupiah segudang banyaknya. Kata-kata itulah yang tergetar dalam hati Laila dan Iqbal bersamaan. Beda dengan penghasilan nelayan yang sangat minim.
“Kamar untuk ananda berdua sudah tersedia di kamar  tengah,” ujar Bu Hartati lagi.
“Maaf,Bu,” Laila menyela ucapan itu.
“Kenapa?. Mau memilih kamar depan?. Boleh-boleh saja!”
“Bukan memilih kamar depan. Tapi bunda kami selalu mengajarkan tentang adat istiadat Melayu. Anak perempuan dan lelaki harus dipisahkan.”
Bu Hartati tersenyum.
“Ibu sangat senang mendengarnya. Ada yang ibu lalaikan. Ibu amat mengagumi budaya dan adat istiadat Melayu yang sangat tinggi nilainya”
Dua bocah yang selama ini hanya tidur diatas tikar pandan, malam itu mereka tidur di atas kasur yang lembut dan dialasi sprei indah. Tapi Laila tidak segera memejamkan mata. Di atas kasur yang lembut sepasang bibirnya melantunkan kalimah-kalimah barjanzi yang mengandung syair-syair indah. Setiap anak nelayan, setiap putra-putri Melayu pasti senang melantunkan syair-syair itu:
“Wa lamm atamma min hamlihi syahroni ala masyhuril aqwa lil marwiyah”
Perlahan sekali syair itu terlantun dari celah bibir Laila diiringi bait-bait berikutnya, dilanjutkan dengan syair:
“Wa lamma kamula lahu saw arba’una sannatan ‘ala aufaqil aqwali lizawil alimiya”
Syair itu terdengar sayup-sayup amat merdu hingga ke kamar Bu Hartati dan suaminya. Esok hari ,menjelang fajar terbit, kedua bocah yang dilahirkan di Selat Malaka itu bangun lebih awal dan menghadap kiblat untuk sholat subuh.
“Amat merdu syair-syair berbahasa Arab yang kamu lantunkan,Laila,”.  Bu Hartati menyapa tamunya amat ramah.
“Syair itu adalah rangkaian barjanzi,Bu. Anak-anak nelayan sejak kecil sudah mahir melantunkan berjanzi. Ibu-ibu yang sedang menina bobokkan bayinya juga dengan syair itu.”, Laila menjelaskan. Bahwa barjanzi adalah syair yang berkisah tentang kehidupan Rasul Muhammad SAW. Kehidupannya  harus jadi contoh dan teladan bagi ummat muslim.
“Ibu amat senang mendengarnya.”
Laila hanya tersenyum.
                                        ***
M
obil berderet-deret di halaman parkir rumah sakit mata yang terletak di sebuah jalan yang ramai. Laila dipapah memasuki halaman rumah sakit dan duduk di ruang tunggu bersama belasan orang yang menderita berbagai jenis penyakit mata. Ada seorang bocah lelaki yang matanya terluka ketika jatuh dan mainan senapan yang berada ditangannya melukai matanya.  Ada  tiga mahasiswa yang matanya mengalami gangguan karena gas air mata yang ditembakkan aparat ketika terjadi demo yang dilakukan ratusan mahasiswa. Juga tampak beberapa orang tua yang menderita katarak menanti giliran untuk menjalani operasi. Remaja yang matanya luka  karena lemparan batu ketika berlangsung tawuran antar pelajar juga dirawat di rumah sakit itu.  Ibu-ibu yang menderita glukoma  juga ada.
Iqbal duduk di sisi Laila yang tampak pucat.
“Pegang tanganku,Iqbal!,” pinta Laila kepada sahabat di sisinya.
“Tanganmu terasa amat dingin dan gemetar,” cetus sang sahabat yang selalu berada di sisinya tidak hanya di laut, tidak hanya ketika pulang dari sekolah, tapi juga ketika berada di rumah sakit mata.
“Aku takut,Iqbal,” bisik Laila lirih.
“Tidak usah takut. Kuatkan semangatmu. Aku selalu berada di sisimu. Bu Hartati juga ada di sini, mendampingimu.”
“Kalau tidak ada kamu, mungkin aku akan pingsan di sini.”
“Tidak usah takut. Tidak usah khawatir, saat ini ilmu kedokteran sudah sangat maju, yang sakit parah juga dapat disembuhkan.” Iqbal memberikan dukungan moral kepada sahabatnya.
“Kalau aku masuk kamar operasi nanti, aku berharap kamu ada di sisiku. Pegang tanganku kuat-kuat!,” kata-kata Laila penuh harap.
“Tidak mungkin aku ikut masuk kamar operasi. Yang ada di kamar operasi hanya ahli bedah mata, ahli anastesi. Tidak usah takut, Tuhan bersamamu. Aku hanya berdoa. Mudah-mudahan operasi tidak berlangsung lama.”
Laila menunduk. Iqbal tetap menggenggam jari tangan Laila amat erat.
                                     ***
H
anya beberapa detik setelah dokter ahli anastesi memberikan suntikan bius, Laila merasa dirinya amat ringan dan terbang tinggi bersama awan yang berarak-arak di langit biru. Tubuhnya seperti kapas yang terbawa angin menyeberangi sawah ladang, menyeberangi sungai dan gunung serta lembah. Laila merasa terbawa angin ke suatu tempat yang sangat jauh, hingga di sebuah padang rumput yang amat luas di pinggir hutan.
Suntikan dokter ahli anastesi itu menyebabkan Laila seperti  bermimpi berada di padang rumput yang luas dan angin membelai rambutnya.
Dalam mimpinya ketika berada di padang rumput hijau yang amat luas itulah Laila seperti melihat ada seekor srigala yang pintar bicara seperti manusia. Di padang rumput itu, sang srigala terdengar berdialog dengan Tuhan:
“Ya,Tuhan. Aku sedang lapar!,” cetus srigala yang tampak ganas tapi memiliki hati lembut.
“Sebentar lagi makananmu akan datang. Bersabarlah!,”  terdengar sebuah suara dari langit biru.
“Tubuhku gemetar karena lapar,” cetus srigala lagi.  “Berikan kepadaku satu ekor domba saja!.”
“Akan datang seratus ekor domba,tangkaplah semua. Makanlah seratus ekor domba itu, biar perutmu kenyang!,” suara dari langit itu terdengar lagi.
“Tidak!. Aku tidak butuh domba seratus ekor. Aku hanya butuh satu ekor saja!”
“Makanlah seratus ekor domba itu!  Habiskan semua.  Bukankah kamu adalah srigala yang seharusnya lebih rakus dari manusia?. Kalau manusia diberi rezeki sepuluh juta menuntut seratus juta lagi. Kalau manusia pasti menghendaki kekayaan  untuk dirinya, untuk istri,anak-anak dan kerabatnya”
“Tidak!. Aku hanya butuh satu ekor saja!”
Dialog itu terus terdengar. Berkali-kali  suara dari langit mendesak agar  srigala itu memangsa seratus domba yang sebentar lagi akan lewat di padang rumput itu. Tapi binatang buas yang selalu memangsa domba itu tetap bertahan,hanya membutuhkan satu ekor domba saja.
Sesaat kemudian dari tengah hutan, seratus ekor domba berbulu tebal lewat di padang rumput yang luas  itu.
“Ya,Tuhan. Aku mohon izin akan kutangkap seekor saja, bukan seratus!”, pinta binatang buas pemangsa itu.
“Seratus ekor kamu tangkap juga boleh!,” sahut suara dari langit.
Seratus ekor domba berbulu lebat itupun lewat di depan sang srigala. Hebat, pemangsa yang amat buas itu memang sangat jujur. Hanya  memangsa satu ekor domba saja. Tidak lebih!. Hanya satu ekor domba yang dilahapnya. Sembilan puluh sembilan ekor domba lainnya selamat dan lewat dengan bernyanyi-nyanyi, bergerombol melewati padang rumput.
Itulah binatang. Ganas dan pemangsa, tapi hatinya lembut dan jujur. Srigala itu diberi kesempatan untuk memangsa seratus ekor domba,tapi yang dimangsanya hanya satu ekor saja. Tidak lebih dari satu!. Tidak seperti manusia yang rakus. Dan tamak.
“Kamu sangat jujur ,wahai srigala!,” cetus Laila  dalam mimpinya akibat pengaruh suntikan bius. Setelah kenyang melahap daging domba, srigala itupun tidur amat nyenyak. “Hatimu amat mulia,wahai srigala!”
Dan Lailapun masih tidur pulas akibat obat bius dalam dirinya  menjelang dilakukannya operasi pada matanya.
                                               ***
T
ubuh Laila masih seringan kapas yang diterbangkan angin hingga ke mana-mana, hingga ke langit yang tinggi  dan mobil-mobil mewah amat banyak melintas di jalan raya yang padat dan ramai. Debu beterbangan mengotori langit,menyesakkan nafas jutaan orang. Bumi memang sudah amat padat dengan manusia.  Padat dengan kenderaan.
Angin seperti berhenti berhembus di atas sebuah gedung bertingkat tinggi. Laila seperti sedang berada di sebuah ruangan  yang udaranya sejuk karena pendingin udara. Laila seperti melihat seorang pe-en-es golongan tiga sedang menerima seorang tamu dengan membawa segepok uang. Sang pe-en-es berdialog dengan tamunya:
“Saya sudah menghitung, perusahaan anda harus membayar tiga milyar!,” ujar sang pe-en-es di depan tamunya yang ternyata adalah seorang kurir wajib pajak.
“Saya mohon keringanan,Pak,” sang tamu mengiba. “Tolonglah saya. Perusahaan kami akan  oleng  kalau harus membayar pajak begitu tinggi.  Tolonglah saya. Tolonglah perusaahan kami. Ratusan karyawan harus diselamatkan.”
Di depan sang pe-en-es  yang mengenakan dasi itu, tamu dari sebuah perusahaan besar itu terus meminta bantuan dan pertolongan agar pajak yang dipatok tidak terlalu tinggi.
“Tidak bisa!,” sahut sang pe-en-es. “Saya hanya melaksanakan tugas negara. Pajak anda adalah untuk membangun negara. Kalau semua wajib pajak meminta keringanan, negara ini akan tetap kumuh,akan bangkrut dan gagal. Rakyat miskin perlu pembangunn. Jalan-jalan dan jembatan perlu diperbaiki. Jutaan pe-en-es perlu gaji. Dari mana semua biaya negara kalau tidak dari pajak?.”  Sang pe-en-es menuturkan tugasnya yang mulia untuk memakmurkan  masyarakat dan negara.
“Saya mohon pengertian bapak. Saya yakin keluarga bapak butuh kesejahteraan. Anak bapak perlu pakaian bagus dan uang sekolah.  Saya mohon keringanan,”  sang tamu terus meminta belas kasihan.  “Saya membawa uang untuk bapak.”
Dalam gedung bertingkat itulah terjadi tawar menawar soal pemasukan uang negara.  Yang seharusnya diterima oleh negara sebanyak  tiga milyar rupiah, tapi masuk kas hanya satu milyar. Sang pe-en-es menerima sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih.
Laila melihat dengan jelas  sang pe-en-es menerima sejumlah uang dalam kardus. Tentu jumlahnya jutaan rupiah.  Uang sebanyak itu adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk negara. 
Dan sang pe-en-es belum puas dengan segepok uang yang diberikan tamunya.  Beda dengan srigala di padang rumput yang hanya butuh seekor domba untuk perutnya sendiri. Sementara sang pe-en-es masih tetap butuh uang. Uang untuk isterinya, untuk anaknya, untuk kerabatnya. Sang pe-en-es masih butuh uang untuk mertuanya, untuk membangun rumah, untuk membeli mobil mewah. Dia tetap saja butuh uang dari tamu-tamunya.
“Lihatlah tingkah manusia itu,Laila. Tamak dan rakus!,”  terdengar suara dari langit di telinga Laila yang belum sadar dari pengaruh bius. “Manusia lebih tamak dari srigala. Manusia lebih rakus dari binatang. Manusia lebih busuk dari hewan. Kalau srigala mencari makan untuk dirinya sendiri, tapi manusia mencari uang untuk membeli mobil, rumah mewah dan  untuk  kerabatnya. Juga untuk disimpan di bank di luar negeri.“
 Obat bius yang disuntikkan dokter ahli anastesi menyebabkan Laila seperti melayang- layang. Malaikat di langit seperti ingin menunjukkan kepada Laila,bahwa kehidupan dikota sudah diwarnai dengan kebusukan, tamak dan jorok. Malaikat di langit seperti ingin menunjukkan kepada Laila, bahwa manusia lebih rakus dari srigala. Lebih jahat. Malaikat di langit seperti ingin menjunjukkan, bahwa manusia sudah tidak punya rasa malu lagi. Menumpuk kekayaan dan akhirnya harus meringkuk dalam penjara.
Dan yang menumpuk kekayaan seperti itu, tidak hanya pejebat pelayanan pajak, tapi juga gubernur, bupati, kepala daerah dan juga anggota de-pe-er. Semua ingin kaya. Semua ingin mobil  dan rumah  mewah. Semua ingin membahagiakan istrinya, juga anak dan kerabatnya. Semua mencuci uang dari hasil kejahatan.   Ramai-ramai mereka membobol uang negara.
Menit-menit terus berlalu. Laila belum juga sadar dari pengaruh suntikan dokter ahli anastesi.  Di ruangan lain, di gedung yang tinggi, Laila juga melihat orang berdasi menyerahkan sejumlah uang sebagai balas jasa. Ketika itulah, ketika pemberian uang sebagai balas jasa itu sedang berlangsung,  tiba-tiba muncul  petugas ka-pe-ka.
Pemberian dan penerimaan uang suap itu tertangkap tangan. Keduanya diborgol dan digiring untuk dijebloskan dalam bui. Barang buktipun disita.
“Itulah yang banyak terjadi di negeri ini,Laila!,”  suara itu terdengar dari langit.
“Penjara sudah penuh bukan oleh srigala yang memangsa domba. Tidak ada hewan yang masuk bui. Yang ada hanyalah manusia-manusia yang punya jabatan seperti gubernur, walikota, bupati dan anggota de-pe-er.”
Laila hanya menghela nafas panjang dan berat. Kebusukan sudah merajalela dimana-mana di negeri yang elok ini. Penjara sudah penuh dengan penjahat berdasi. Bui sudah penuh dengan tikus. Negeri ini sudah diambang kehancuran karena tikus-tikus jahat itu.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, bahwa penghuni penjara tidak hanya lelaki berdasi, tapi juga perempuan. Perempuan di negeri ini juga sudah tidak punya harga diri. Tidak punya malu. Tidak punya  rasa takut.
                                          ***
S
udah cukup lama Laila tidak sadar  ketika tangan-tangan para dokter bekerja untuk mengetahui dan mengobati pada matanya. Dokter sudah mengambil cairan dari mata gadis cilik itu. Dokter juga sudah mengupas kornea matanya.  Hasilnya harus diperiksa di laboratorium
“Banyak sekali yang kulihat, Iqbal!” suara Laila lirih ketika dia dipindahkan dari ruang operasi ke ruangan perawatan biasa.
“Apa saja yang kamu lihat?,” sahabatnya ingin tahu.
“Banyak!. Ada domba yang jujur dan berhati mulia. Tapi lebih banyak manusia yang lebih jahat dari binatang.”

            Dunia di depan gadis cilik yang malang itu tetap saja gelap gulita. Gelap dimana-mana,padahal dokter ahli penyakit mata di rumah sakit itu sudah bekerja sangat maksimal. Semua sudah dilakukan, mulai dari membersihkan kornea mata,  hingga pemeriksaan sistem getah bening . Para  dokter yang sudah amat banyak mendapatkan pengalaman itu gagal untuk menolong Laila  untuk dapat melihat seperti layaknya manusia normal. Laila tetap saja sebagai gadis buta.
            “Kami sudah bekerja maksimal sesuai dengan sumpah kedokteran. Kami sudah banyak berbuat, tapi Tuhan jua yang menentukan, bahwa kami tidak dapat menyembuhkan anak ibu!,” kata ketua tim yang menangani kasus sepasang mata Laila kepada Bu Hartati yang membawanya ke rumah sakit itu..
            “Apa yang terjadi atas diri anak saya?. Penyakit apa yang diderita anak angkat saya,dokter,” dengan perasaan amat sedih Bu Hartati bertanya pada dokter di depannya.
            “Kami menemukan sesuatu pada bola mata anak ibu ,” sahut dokter ahli mata di rumah sakit itu.
            “Apa yang ada di mata anak saya?”
            “Dari hasil pemeriksaan menyeluruh, ditemukan sejenis kanker mata pada anak ibu,”
            Seperti disambar petir di siang bolong yang amat cerah, keterangan dokter itu amat mengejukan  Bu Hartati. Setitik demi setitik air mata mengalir di pipi Laila. Sahbatnya hanya mampu menunduk sedih.
            “Ditemukan primitiv neuroectodermal  tumour  pada sepasang mata anak ibu,” dokter itu berkata sejujurnya.
            “Artinya penyakit mata anak saya tidak dapat disembuhkan lagi?”  Bu Hartati menatap wajah dokter yang sudah memiliki jam terbang amat banyak  dan berkali-kali mengkuti seminar tentang penyakit mata ditingkat antarbangsa, hingga ke Jerman, Belanda dan negeri Paman Sam.
            “Ditemukan sejenis Ewing Sarcoma, sejenis sistem getah bening yang sudah menahun pada stadium tiga. Kami perkirakan penyakit itu sudah ada sejak anak ibu masih dalam kandungan,”
Bu Hartati  tidak mampu menahan derai air mata mendengar ucapan itu. Sia-sia saja Laila sudah menginap di rumah  sakit spesialis mata itu  selama hampir  seminggu. Pengobatan  secara kemotrapi sudah dilakukan,tapi sepasang mata itu tetap saja tidak dapat melihat dengan normal. Dunia di depan Laila tetap saja gelap gulita.
            “Kami ingin pulang ke desa,Bu!,” cetus Laila menyeka air mata di pipinya.
            “Tinggallah di rumah ibu beberapa hari lagi!,”  Bu Hartati  yang hatinya lembut berusaha mencegah dan menghibur.
            “Kami sudah rindu desa kami,Bu,”  sahut Iqbal. “Kami sudah sangat rindu pada debur ombak, rindu pada pantai, rindu pada pasir putih yang terhempang luas  dan rindu pada laut.”
            “Kalau memang demikian, ibu akan mengantar kalian pulang esok hari.”  sahut Bu Hartati.
            “Terima kasih. Kami sudah sangat banyak menerima kebaikan ibu. Pada saat ini sulit mendapatkan kebaikan seperti dari ibu.”
            “Sebenarnya ibu ingin kalian berdua lebih lama di rumah ibu. Siapa tahu ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit mata Laila”
            “Terima kasih,Bu . Keterangan dokter sudah jelas mengatakan, bahwa Laila tetap saja tidak dapat melihat.”
            “Sesekali nanti ibu akan datang ke desa kalian untuk melihat laut dan membeli ikan-ikan segar yang dibawa oleh nelayan pulang dari tengah laut.”  ujar Bu Hartati lagi.
            “Laut kami selalu terbuka terhadap siapa saja. Datanglah pada saat ada upacara jamu laut nanti. Ibu akan melihat bagaimana ramainya upacara itu untuk memohon keselamatan bagi semua nelayan.”
            Masih sempat Iqbal bertutur tentang upacara jamu laut yang dilakukan setiap tahun di tepi pantai. Setiap warga nelayan, setiap warga Melayu pasti tahu apa makna upacara jamu laut.
                                                            ***
   S
epasang elang terbang rendah ketika kedua bocah itu pulang ke desa kelahirannya di pinggir Selat Malaka.  Nyiur yang tumbuh di sepanjang pantai melambai-lambai seperti mengucapkan selamat datang ke desa tercinta. Desau angin seperti mengutarakan kegembiraan hati semua penghuni desa pantai itu.
            “Pulanglah,wahai anak nelayan. Pulanglah ke desa. Pasir putih yang terhempang luas sangat merindukanmu. Laut juga merindukan kalian berdua. Pulanglah. Pulanglah. Jangan tinggalkan desa yang amat elok ini.”
            Sepasang elang yang terbang rendah itu seperti ingin mendekat, seperti memperdengarkan senandung puak Melayu yang amat enak didengar:
            Putek pauh jang delima batu
            Anak sembilang nak di tapak tangan
            Sungguh jauh nak beribu batu
            Ilang di mato di ati jangan
            Kalaulah gugur…gugur kepoyang
            Jatoh ke bumi tobang melayang
            Jatoh ke bumi tobang melayang
            Tidor anakku tidorlah sayang
            Agar omakmu bisa ke ladang
            Biar ayahmu bisa ke laut
            Kalaulah gugur nak gugurlah nangko
            Usah diitimpoh nai oi..ai ranteng paoh…
            Kalau nak tidor nak tidorlah mato
            Jangan dicinto …ayah di tengah laut
Senandung itu terasa amat indah di dengar.  Rasanya Iqbal dan sahabatnya seperti terayun-ayun di tengah samudera sambil melantunkan salawat badar atau barjanzi.
            Mobil itu sudah memasuki kawasan pedesaan yang dihuni oleh ratusan nelayan. Bau amis sudah tercium di rongga hidung.
Mobil yang mengantar Laila dan sahabatnya meluncur perlahan. Anak-anak nelayan menyambut kepulangan Laila dan Iqbal dengan luapan kegembiraan. Semua mengucapkan selamat datang.
            Dua bocah penghuni pantai itu sengaja diantar dengan mobil dan di bagasi belakang tampak belasan kardus berisi mie instan, kecap, bawang, sambal dalam botol, minyak goreng .gula pasir, gula aren dan banyak lagi. Semua itu adalah oleh-oleh dari Bu Hartati sebagai luapan terima kasih.  Dan Bu Hartati berharap dengan oleh-oleh itu Bunda Subang, ibunda yang melahirkan Laila ke dunia, dapat membuka usaha warung sembako. Dua amplop berisi uang juga diberikan Bu Hartati untuk modal membuka warung sembako. Satu amplop untuk Bunda yang melahirkan Laila dan satu lagi amplop untuk Iqbal, untuk biaya pemasangan listrik di rumahnya yang selama ini hanya diterangi lampu minyak tanah bila malam hari.
            Hanya beberapa puluh meter sebelum Laila tiba di rumahnya, dia melihat sekelompok anak sedang bermain. Iqbal juga melihat belasan anak sedang membuat orang-orangan seperti pengusir burung diladang lalu diberi pakaian perempuan. Mereka sedang memainkan Lukah Menari. Seorang pawang membacakan mantera:
            Tahasih, tahasih
            Mak Si Banding siat lukah
            Jumpa bemban sikutari
            Kalau nak nengok lukah menari
            Nak nengok  kaya Allah
            Ke ceti kambing keceti
            Ke tasik ke gumba jangan
            Ingat-ingat dalam hati
            Kataku tadi lupa jangan

            Ke kebun kita ke kebun
            Jangan dibeli mangkok kerang
            Berhimpun kita ke balai Datuk
            Mak si Banding gila seorang
            Hilir lorah, mudik lorah
            Siku bemban sikutari
            Kalau ada di permudah
           Nak menengok lukah menari
Bait mantera itu diakhiri dengan ucapan penuh semangat:
            “Jangan kau beri malu,bangkitlah menari. Bangkitlah dia”
            Seperti sebuah keajaiban, orang-orangan berbentuk seperti pengusir burung di ladang itu dapat bergerak menari. Itulah Lukah Menari. Semua bocah penghuni pantai itu amat bergembira. Itulah kegembiraan anak nelayan. Tidak ada video game. Tidak ada mainan elektronik. Tidak ada ha-pe. Semuanya masih amat tradisional.
            Seperti halnya Laila dan Iqbal, anak-anak nelayan sudah diajarkan oleh orang tuanya tentang berbagai mantera,seperti mantera memanggil angin, mantera jamu sawah dan jamu bendang, mantera menjeput semangat,mantera mengambil lebah hingga mantera untuk mengobati sakit polong.
                                                            ***
   H
adir di sekolah dengan wajah cerah amat ceria, itulah Laila dan sahabatnya, Iqbal. Di kelasnya masing- masing , bocah yang baru pulang  dari kota itu menjadi pusat perhatian rekan-rekan sesama siswa, sebab Laila hadir di sekolah dengan  tas baru, pakaian seragam dan sepatu  baru. Semua adalah hadiah dari Bu Hartati yang amat  baik hati.
            Ketika jam pelajaran usai, Laila menghambur keluar kelas  dan sahabatnya sudah menunggu di halaman. Mereka berjalan berdampingan menyusuri hamparan pasir yang luas. Kaki mereka meninggalkan jejak di atas pasir.
            Angin spoi berhembus lembut, membelai rambut Laila yang tergerai. Elang laut terbang rendah mengintai mangsanya. Laila berhenti melangkah.
            “Kenapa berhenti?,” Iqbal bertanya.
            “Kita duduk dulu di atas pasir.”
            “Untuk apa?”
            “Aku ingin membuat istana dari pasir. Bukankah rumah kita hanya gubuk?. Kita hanya mampu  membangun istana dari pasir. Entah kapan nasib nelayan akan berubah  dan kita bisa membangun rumah seperti rumah Bu Hartati di kota.”
            “Berdoalah, mungkin mukjizat Tuhan akan turun. Kalau semua anak nelayan berdoa, Tuhan akan mengabulkannya. Jangan ada anak nelayan yang mengotori pantai ini!”
            Laila meletakkan tas sekolahnya di atas pasir yang sudah kering. Sahabatnya mulai mengumpulkan pasir dan mereka bersama-sama membangun sebuah istana dari pasir. Beberapa saat kemudian mulai berdiri sebuah istana palsu.
            “Kita sudah berhasil membangun sebuah istana.” terdengar suara Iqbal di antara debur ombak laut yang membentur  pantai  dan laut sedang surut sehingga  tampak hamparan pasir  putih yang terhempang amat luas.
            “Andainya aku dapat melihat, tentu dapat menikmati keindahan istana yang kita bangun bersama,”  suara Laila seperti sebuah keluhan. 
            “Siapa yang memberi nama istana yang sudah kita bangun bersama?,”  tanya sahabat Laila  dan menatap istana dari pasir di pantai yang luas itu.
            “Aku!”
            “Aku!
            “Aku!. Aku yang memberinya nama!.”  Mereka saling berebut untuk memberi nama istana dari pasir itu. Akhirnya Iqbal  menyerah.
            “Apa namanya?”
            “Istana Kuta Galuh!”
            “Sebuah nama hayalan?”
            “Bukan!. Ibuku pernah bercerita, di Perbaungan pernah ada istana kesultanan, yakni  Istana Kuta Galuh.  Ibuku selalu bercerita ketika menjelang tidur. Ibuku selalu bertutur tentang beberapa kesultanan Melayu.”
            “Salah satunya Istana Kuta Galuh?”
            “Ya!.”
            “Siapa raja yang berkuasa di sana?”, Iqbal  ingin tahu.
            “Kata ibuku yang berkuasa adalah Tuanku Sultan  Sulaiman Syariful Alamsyah.  Beliau sangat perkasa dan bijaksana dalam menjalankan pemerintahan.”
            “Kamu ingat, kapan  Sultan itu hidup?”
            “Seribu delapan ratus enam puluh enam hingga sembilan belas empat enam.”
            “Hebat kamu,. Kamu ingat semua penuturan ibumu.”
            “Kata ibuku,  setiap anak Melayu harus tahu, satu atau dua orang  sultan-sultan Melayu yang berjaya memerintah daerah Melayu.”
            “Kamu tahu siapa lagi yang pernah jadi sultan di Tanah Melayu itu dan berhasil membangun negeri?”
“Tentu saja aku tahu!”
            Seperti seorang guru yang sedang berdiri di depan kelas, Laila menyebut beberapa sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Melayu yang tersebar di Sumatera Timur. Laila menyebut nama Tuanku Sultan Ainan Johan Alamsyah.
            Laila menyebut masa hidup sultan pemegang tahta kesultanan Serdang tahun 1762 hingga 1817. Laila juga menyebut sultan Serdang ke III, yakni Tuanku  Sultan  Thaf Sinar Basarsyah.
            “Ibumu hebat,Laila.  Kamu juga hebat. Kamu bisa jadi ahli sejarah!,” cetus Iqbal penuh rasa kagum.
            “Anak-anak Melayu adalah anak-anak yang pintar dan cerdas. Andainya kehidupan nelayan memadai, pasti anak-anaknya jadi orang hebat. Pasti ada yang jadi ahli sejarah. Pasti banyak yang jadi ahli hukum, insinyur pertanian, insinyur mesin. Kalau  kehidupan nelayan sangat lumayan,pasti anak nelayan, pasti anak-anak Melayu sudah banyak yang jadi dokter dan memberikan pengobatan  kepada keluarga nelayan di pantai agar hidup sehat  dan tidak ada anak nelayan yang buta seperti aku.”
            “Sudahlah,Laila, Jangan sesali nasib.”
            Di antara debur ombak yang membentur pantai, di antara angin spoi yang mempermainkan pucuk pohon nyiur, Laila berkata tentang istana kesultanan Kuta Galuh di Perbaungan.
            “Istana di Kuta Galuh terdiri dari enam tingkat,” ujar Laila lagi meneruskan cerita ibundanya ketika menjelang tidur.
            “Kalau begitu istana itu sangat megah!,”  Iqbal kagum.
            “Tentu!. Tingkat satu dan dua adalah ruangan sultan menerima tamu terhormat. Tingkat ketiga untuk tempat menyimpan benda-benda bersejarah regali-regalia serta alat-alat kebesaran dan  pakaian para raja Melayu. Tingkat kelima merupakan tempat keluarga raja bersantai-santai. Di bagian belakang terdapat ruangan khusus untuk permaisuri.”
            “Di istana itu juga ada taman?.” Iqbal ingin tahu.
            “Tentu saja. Sultan juga senang keindahan,makanya di halaman istana ada taman yang disebut Taman Sari. Di taman itu tumbuh berbagai bunga yang warna-warni berbagai jenis.Anggrek, mawar, melati ada di sana dan harum semerbak.”
            “Alangkah indahnya istana itu!.,” Iqbal terkagum-kagum dan di matanya terbayang sebuah istana yang indah. Dan megah.
            “Ada lagi hal-hal yang istimewa di istana Kuta Galuh itu?”
            “Ada!”
            “Apa?”
“Pada malam-malam tertentu diadakan hiburan untuk rakyat,. Sultan memiliki alat-alat kesenian yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Melayu.”
            “Pasti kesenian Makyong dan Mendu!,”  cetus Iqbal  yang sudah dapat menduga apa yang ada dalam benak sahabatnya. Makyong adalah cagar budaya suku Melayu yang tidak akan hilang ditelan jaman.
            Iqbal pernah mendengar sekelumit tentang  kesenian Makyong. Iqbal pernah mendengar Makyong selalu membawa lakon-laon Dewa Indra, Anak Raja Panah, Gading Bertimang  dan banyak lagi. Sebagian puak Melayu beranggapan, bahwa kesenian tradisional Makyong berasal budaya Hindu Jawa.
            Alat-alat kesenian Makyong tersimpan di istana itu,seperti rebab tunggal, gendang panjang, dua telawak atau gong, serunai, dua telempong, sepasang kesi, gong ceper dan ceracap dari bambu.
            “Rakyat pasti sejahtera di kawasan itu,” cetus Iqbal membayangkan kehidupan di masa lalu.
            “Begitulah kata ibuku. Rakyat makmur, panen raya menghasilkan padi yang melimpah. Pihak kraton membangun masjid dan rumah dimana-mana agar warganya menjadi warga yang baik serta tidak bodoh. Sultan sangat disegani dan dicintai rakyatnya.”
            Tidak pernah ada demontrasi, tidak pernah ada kerusuhan, tidak pernah ada pejabat kesultanan yang melakukan korupsi. Tidak ada yang menyebut negara gagal dan pemimpin zolim.
            “Sultan mengangkat pembantu-pembantunya dari kalangan orang pintar  dan  jujur,”
            “Hmmm,” Iqbal bergumam penuh kagum. Di benaknya masih terbayang kehidupan masa lalu dijaman kesultanan yang dipimpin Tuanku Sultan  Sulaiman  Syahriful Alamsyah.
            Meskipun masih bocah  yang duduk di kelas IV, tapi Laila ingat benar kesultanan yang disebut bundanya  memiliki hubungan baik  dengan kraton Kuta Galuh, seperti kesultanan Lima Laras Batubara, Kesultanan Bedagei, Percut, Senembah, Patumbak, Serbajadi, Denai, Pantai Cermin serta Bandar Labuhan dan banyak lagi.
            “Sekarang kraton Kuta Galuh sudah tidak ada lagi. Warga Melayu terkadang merindukan kehidupan yang makmur sejahtera seperti masa lalu,” cetus Laila kemudian.  “Harga sandang pangan murah dan melimpah. Tidak ada  busung lapar.”
            “Kedamaian dan sejahtera yang menyeluruh memang itulah yang diinginkan semua rakyat kita. Entah kapan keadaan seperti itu akan kembali lagi.”
            Tiba-tiba saja ombak besar menghempas hingga menyentuh kaki kedua bocah itu, hingga meruntuhkan istana Kuta Galuh  dari pasir yang dibangun kedua bocah cilik yang saling bersahabat itu.
            Sepasang bocah itu berjalan pulang ketika air pasang mulai naik.
Laila menemui bundanya sedang melayani pembeli. Bantuan Bu Hartati memang amat besar untuk keluargnya. Bundanya kini membuka warung sembako. Pembeli mulai banyak. Kecap, mie instan, gula dan cabai adalah jualan yang paling laris. Kini kehidupan Laila dan bundanya mulai membaik.
            Betapa amat nikmat pulang sekolah, di rumah sudah tersedia masakan  bunda tercinta, gulai kepah.  Akan halnya  Iqbal juga menikmati masakan khas Melayu, anyang pakis dan pindang ikan kembung. Setiap perempuan suku Melayu memang selalu pintar memasak hidangan khas Melayu. Jangan  jadi orang Melayu kalau tidak bisa memasak lauk ayam masak putih. Jangan jadi perempuan Melayu kalau tidak bisa membuat bubur pedas atau gulai lemak labu dan cendawan kukuran. Nasi Ulam Deli serta panggang ikan jurung adalah lauk paling istimewa bagi keluarga Melayu. Juga roti jala dan kue rasidah.
            Kedua bocah yang saling bersahabat itu bersyukur dilahirkan dalam puak Melayu yang memiliki budaya tinggi,meskipun mereka amat sederhana dan terbilang miskin. Tapi nasib yang dialami keluarga Laila mulai berubah sejak  bundanya membuka usaha warung sembako yang merupakan uluran tangan  Bu Hartati.
                                                ***
   S
ampai kapanpun Laila tetap ingat nasihat Bunda Subang, ibunda yang telah melahirkannya ke dunia, bahwa Rasulullah bersabda, bahwa dunia yang terang benderang penuh dengan perhiasan. Dan perhiasan yang paling indah adalah istri soleha. Karena itulah, meskipun dia dilahirkan sebagai gadis yang tidak dapat melihat karena buta, Laila ingin menjadi seorang istri soleha. Karena itulah , dirumahnya, Laila tidak hanya belajar memasak gulai  asam podeh, tidak hanya belajar membuat asinan asam glugur, tapi dia juga belajar membaca Al Qur’an.
            Laila ingin jadi seorang qoriah. Kalau dia dapat membaca surah Ar Rahman dengan baik, siapa lagi yang mengajarnya kalau bukan Bunda Subang?. Perempuan Melayu meskipun  dalam keadaan buta harus pintar membaca Al Qur’an. Dari siapa Laila tahu kalau Qur’an adalah sebuah mukjizat kalau bukan dari Bunda Subang, ibunda yang melahirkannya?.
            Laila sudah mampu menghafal belasan surah, di antaranya Ar Rahman, juga surat-surat pendek seperti Adh Dhuha, juga Al Qari’ah yang berarti hari kiamat. Apalagi surah Al Lail sebab surah itulah yang diajarkan pertama kalinya oleh bunda Subang. Surah yang sering dibaca bundanya menyebabkan ketika bayinya lahir kedunia  diberi nama  Nur Laila yang berarti  sinar di malam hari..
            Di rumah Laila belajar membaca Al Qur’an  dengan bundanya, tapi diluar rumah dia belajar yang sama dari sahabatnya, Iqbal di atas perahu. Sepasang sahabat itu tidak hanya bermain pasir di pantai, tidak hanya menikmati belaian angin, tapi juga belajar membaca Al Qur’an. Kalau Laila fasih membaca surah Al A’laa yang maknanya paling tinggi,siapa lagi yang mengajarnya kalau bukan sahabat kentalnya,Iqbal?.
            Berhari-hari di antara debur ombak, Iqbal yang selalu membawa Qur’an berukuran saku, membacanya, diikuti Laila hingga benar-benar fasih.
            Seperti hari itu, sepasang sahabat itu mengayuh sampan hingga ke tengah, juga untuk belajar membaca surah Yassin yang jumlahnya 83 ayat. Iqbal mengangkat pendayung sampannya.
            “Kenapa berhenti,Iqbal?,” terdengar suara Laila di antara debur ombak.
            “Kita sudah jauh di tengah. Sudah sepi. Yang terdengar hanya suara ombak.”
            “Aku mendengar suara elang.”
            “Ya, ada sepasang elang terbang di atas kita.”
            “Sendirikah elang itu?”
            “Tidak!. Elang itu bersama pasangannya mengintai mangsa.”
            “Alangkah indahnya dunia elang, dapat terbang tinggi dan dapat melihat seluruh isi dunia.”
            “Kita juga berbahagia,Laila. Bukankah kamu dapat menghafal  ayat-ayat Qur’an meskipun kamu tidak dapat melihat?”
            “Karena ada kamu ,Iqbal. Kamu yang banyak mengajarku.”
            “Aku juga mendukung kalau kamu ingin jadi seorang qoriah, siapa tahu setelah dewasa nanti dan ikut em-te-qyu hadiahnya adalah pergi beribadah ke tanah suci. Siapa tahu ada mukjizat di sana dan kamu dapat melihat dengan sempurna.”
            “Amien!”
            Iqbal membuka Qur’an berukuran saku yang selalu dibawanya ke pantai. Lelaki remaja belia itu mulai membaca ayat ke 39 dari surah Yaasin dan Laila mengikutinya:
            “Walqamara qaddarnaahu manaazila hatta aada kal’urjuunil qadiem. Lasysyamsu yanbaghie lahaa antudrikal qamara walallailu saabiqunnahaar, wakullun fie falaqin yasbahuun.”
            Tidak perlu mengulang-ulang ayat itu, langsung tersimpan dalam kepala Laila dan dapat membacanya dengan lancar. Juga ayat berikutnya:
            “Wa-aayaatuni lahum anna hamalnaa dzurriyyatahum fil-fulkil-masyhuun”
            “Hebat kamu,Laila. Ayat-ayat itu mudah melekat di kepalamu.”
            Laila hanya tersenyum.
            “Mudah-mudahan setelah kamu dewasa jadi pemenang em-te-qyu dan hadiahnya tiket ke tanah suci lalu berdoa di sana dan mukjizat diturunkan Tuhan kepadamu, pulang ke pantai ini setelah dapat melihat.”
            “Amien!’, Laila hanya mengaminkan dan penuh harap.
            Ada rasa kagum yang menggunung dalam hati Iqbal terhadap Laila. Belum seminggu  seluruh ayat surah Yaasin sudah lekat di kepala gadis malang itu.
            “Kamu memang memiliki kelebihan yang luar biasa!,” gumam Iqbal. Begitulah anugerah Tuhan, Laila memang tidak dapat melihat,tapi pendengarannya amat tajam. Juga daya ingatnya. Juga pula pikirnya. Laila adalah seorang gadis paling pintar di sekolahnya,padahal dia gadis tunanetra.
            Bundanya selalu bertutur kepadanya, kelak kalau sudah menikah dan hamil harus rajin membaca Qur’an, terutama surah Yusuf, agar anak yang dilahirkan kelak adalah bayi yang cantik. Juga surah Maryam untuk mendapatkan anak yang soleh. Surah Lukman juga harus dibaca untuk mendapatkan anak yang bijak serta surah Yaasin agar sang calon ibu mendapat kemudahan ketika melahirkan.
            Bagi Laila kata-kata bundanya adalah petuah yang akan selalu diingatnya sepanjang hidup. Petuah bagi gadis Melayu  adalah permata indah yang harus disimpan dalam hati.
                                                *** 
   P
erubahan sudah terjadi di desa pantai itu seiring berjalannya waktu, sejalan dengan geraknya matahari  dari ufuk timur hingga tenggelam di belahan barat dan esok terbit lagi. Laila sudah tumbuh sebagai gadis yang cantik. Pipinya kemerahan, apalagi setelah gadis itu duduk di sekolah lanjutan. Kawan-kawannya makin banyak ,seperti Alang, Ngah. Uteh, Andak dan banyak lagi. Tapi baginya kawan yang paling setia dan seiring jalan tetap saja Iqbal.  Dan Laila tetap saja seorang gadis yang paling pintar di sekolahnya. Wawasannya semakin luas,apalagi setelah di rumahnya sudah ada tv berwarna meskipun berukuran kecil, meskipun Laila tidak dapat melihat gambarnya. Yang dinikmati Laila hanya suaranya.
            Dari mana uang bunda Subang untuk dapat membeli sebuah pesawat tv kalau bukan dari warung sembako yang dibukanya atas imbauan Bu Hartati?. Dari suara yang didengar lewat tv, Laila tahu keadaan dunia, tentang perang yang terus berkecamuk di Timur Tengah, tentang banjir di tanah air, tentang jumlah rakyat miskin di negeri ini yang semakin berkurang.
            Sekarang Laila bukan lagi anak nelayan yang hidup miskin. Sekarang  Laila adalah seorang gadis yang lumayan hidupnya. Warung sembako yang dibuka bundanya  di desa itu maju sangat pesat.   
            Siapa pula tamu yang sering datang ke desa di pinggir laut itu, kalau bukan Bu Hartati?. Perempuan kelahiran Solo itu amat senang melihat pipi Laila yang kemerahan. Perempuan kelahiran Jawa Tengah itu  selalu datang ke desa itu tidak pernah dengan tangan hampa.  Istri pemilik kebun yang luasnya lebih dari 1.000 hektar itu selalu membawa buku-buku berhuruf braille sehingga Laila  semakin mengenal dunia.  Bagi Laila, buku adalah jendela untuk melihat dunia. Laila sekarang tahu pemimpin-pemimpin dunia seperti Hitler, Yasser Arafat, Gandhi, pujangga Jawa yang sangat termasyhur Ronggowarsito  dan juga penyair nusantara ternama Hamzah Fansuri yang hidup di abad 17 dan abad itu penuh dengan monunmental karya besar orang Melayu.
            Dan hadiah dari  perempuan asal Solo itu yang tidak ternilai harganya adalah sebuah Al Qur’an yang ditulis dalam haruf braille.  Hati Laila berbunga-bunga menerima hadiah itu.
            “Terima kasih,Bu. Terima kasih.  Saya akan selalu membacanya, tiap malam. Saya akan jadi juara em-te-qyu nanti,”  cetus Laila dan berkali-kali mencium tangan Bu Hartati.
            “Ibu memberikan hadiah ini sebagai  tanda bersyukur. Usaha bapak semakin berkembang ,” ujar istri pemilik perkebunan kelapa sawit itu.
            “Saya ikut bersyukur,Bu,” sahut Laila dan ada air mata mengalir di pipinya yang kemerahan.
            “Faisal,putra ibu , sudah diwisuda menjadi insinyur pertanian. Tahun ini bapak akan menambah luas kebunnya  dan Faisal akan memegang kendali di sana.”
            “Pintu rezeki sedang terbuka untuk keluarga ibu,” cetus Laila lagi. “Mudah-mudahan Bang Faisal menjadi orang yang sukses, tidak sia-sia menimba ilmu di perguruan tinggi.”
Perempuan asal Solo itu memang selalu mendampingi suaminya ke areal perkebunan yang terletak jauh di pedalaman, ratusan kilometer dari rumahnya . Usaha perkebunannya terus berkembang ,  itu artinya akan menyerap belasan buruh. Itu artinya mengurangi pengangguran di negeri ini. Itu artinya ikut menyumbang negara berupa pajak.
            Suami Bu Hartati adalah seorang pemilik perkebunan yang memahami manajemen , memahami bahwa saat ini luas lahan perkebunan kelapa sawit  di tanah air mencapai 7 juta ha . Kelapa sawit  hingga saat ini masih merupakan  primadona ekspor.
            Seorang pendatang dari seberang laut yang sukses di tanah Sumatera, itulah Bu Hartati dan suaminya. Tidak sia-sia Bu Hartati  dan suaminya berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Pulang dari Makkah suami Bu Hartati membangun sebuah masjid di tengah perkebunan itu. Tiap waktu sholat fardhu, masjid itu selalu dipenuhi dengan jamaah  yang sebagian besar adalah warga Jawa. Bukankah di Sumatera penduduk yang terbesar jumlahnya adalah warga Jawa?. Sebab jaman penjajah Belanda dulu, ratusan ribu warga Jawa diboyong Belanda  ke Sumatera sebagai buruh kontrak yang dipekerjakan di berbagai perkebunan.
            Sekarang buruh kontrak itu beranak pinak yang jumlahnya jutaan jiwa,melebihi jumlah puak Melayu, Batak, Mandailing, Aceh dan Minang.
            Sebagian besar keturunan Jawa kontrak itu masih tetap memegang teguh adat istiadat Jawa. Wayang masih tetap digemari oleh karyawan     perkebunan. Kuda lumping masih selalu dimainkan orang dimana-mana. Upacara sakral bersih desa masih selalu dilakukan di kampung-kampung. Kesenian Jawa  seperti ketoprak dan ludruk masih digemari orang.
            Perempuan keturunan buruh kontrak yang sedang hamil pada usia 7 bulan kehamilannya masih tetap melaksanakn tingkeban. Plasenta atau ari-ari bayi masih tetap ditanam, lalu selama 40 hari tiap malam diterangi lampu minyak tanah. Dan bayi-bayi yang sudah berumur 7 x 35 hari oleh orang tuanya dilakukan upacara turun tanah. Upacara turun tanah ditandai dengan sesaji  nasi tumpeng, jenang, jajan pasar, juwadah, bunga-bunga, sangkar ayam, padi, beras kuning dan uang serta perhiasan. Itulah budaya Jawa.
            Keturunan Jawa masih tetap ingat nama Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga,ulama besar yang menyampaikan dakwanya lewat seni budaya. Banyak keluarga Jawa di Sumatera yang melantunkan Tembang Macapat menyambut bayi lahir ke dunia..
            Banyak masyarakat Jawa sudah puluhan tahun menetap di Sumatera,tetapi mereka masih tetap menghormati leluhurnya. Mereka tidak pernah lalai melakukan sedekah ngeblak atau sertana,yakni kenduri pada seseorang meninggal dunia. Juga sedekah nelung dina,yakni kenduri malam ketiga setelah seseorang meninggal yang diiringi sedekah mitung dina, sedekah matang puluh dina, hingga sedekah mendak pisan, mendak pindo serta sedekah nyewu atau sedekah nguwis-nguwisi.
                                                            *** 
   P
intu rezeki sedang terbuka lebar-lebar di depan keluarga yang berasal dari Solo itu. Perkebunan kelapa sawit milik keluarga itu semakin berkembang karena dikelola oleh tangan-tangan yang dingin.  Suami Bu Hartati menggandeng mitra kerjanya  yang profesional dan memahami manejemen perkebunan.  Suami Bu Hartati tidak harus merasa lelah keluar masuk laboratorium dan penelitian kelapa sawit. Bila ada tanaman yang daunnya kering, lelaki itu segera membawa sebongkah tanah di bawah pohon yang daunnya layu  untuk diteliti.  Dari laboratorium dan penelitian itu didapat pupuk yang sesuai  sehingga pohon kelapa sawit benar-benar sehat dan menghasilkan buah segar yang maksimal.
            Kalau usaha perkebunan itu berkembang pesat, karena kerja keras pemiliknya, karena pengelolaannya yang tidak mengenal lelah. Dan juga karena  doa-doa pemiliknya.
Bila keluarga asal Jawa Tengah itu kini hidup mapan di Sumatera, bukan karena mereka telah menempuh jalur pesugihan yang banyak dilakukan orang. Seperti halnya yang dilakukan oleh Mas Kuntoro, yang awalnya adalah pengusaha tahu tempe kecil-kecilan di pinggir kota.  Namun sekarang usaha tempe-tahu milik Mas Kuntoro yang berasal dari Wonogiri itu melejit seperti satelit.  Lelaki asal desa Tirtomulyo itu sekarang kaya raya, rumahnya lebih dari tiga dan semuanya mewah, mobilnya bagus, karnyawannya lebih dua puluh lima orang.  Tapi sayangnya tidak punya anak.Setiap istrinya hamil dan melahirkan, bayinya pasti meninggal. Bahkan untuk menghindari kematian bayinya,lelaki kelahiran Tirtomulya Wonogiri itu memilih rumah sakit besar bertaraf internasional di Singapura  untuk persalinan istrinya.. Tapi tetap saja bayi yang dilahirkan istrinya meninggal dunia.
            Akhirnya orang-orang terdekatnya mengetahui apa yang terjadi. Keluarga kaya itu ternyata punya ilmu pesugihan. Tiap tahun pengusaha tempe tahu itu pulang ke kampung halamannya ke Wonogiri dan melakukan ritual sesaji untuk persembahan ,berupa kembang telon, minyak wangi dan secawan darah ayam cemani. Dulu ketika mendapatkan pesugihan itu, pengusaha tahu tempe itu harus puasa tiga hari  dan menanda tangani kontrak dengan syarat setiap anak yang dilahirkan akan mati dan jadi persembahan untuk eyang penghuni pohon besar di desa itu.  Semua anak-anaknya jadi tumbal.
 Tentang mitos pesugihan itu  semua  diceritakan oleh Bu Hartati kepada anak nelayan itu, Laila dan Iqbal ketika perempuan kelahiran Solo itu menyaksikan acara Jamu Laut di pinggir laut.
            “Meskipun kami sudah bertahun-tahun menghirup udara Sumatera, tapi keadaan di Pulau Jawa kami selalu tahu,”  ujar Bu Hartati polos.
            “Banyakkah tempat-tempat mencari pesugihan di Jawa?,”  Laila amat tertarik pada legenda pesugihan  itu.
            “Banyak!. Sangat banyak masyarakat  Jawa  yang percaya pada mitos itu. Dan tidak jarang orang-orang yang mencari pesugihan di Watudodol  Banyuwangi, menjadi pengusaha sukses. Juga ke Pantai Selatan  atau ke Gunung Kawi.” Bu Hartati mengungkapkan kepercayaan masyarakat Jawa  yang masih sangat percaya pada mitos pesugihan.
            Perempuan kelahiran Solo itu juga menyebut  beberapa tempat yang selalu dikunjungi oleh mereka  yang ingin cepat-cepat kaya. Makam keramat, goa di pinggir laut, sendang, pohon besar dan laut terkadang dipercaya dapat memberikan pesugihan. Seperti Gunung Kemukus  Sumber Lawang Sragen, Pantai Slamaran  Pekalongan, Pemandian Kera Mendit di Malang dan banyak lagi  adalah tempat yang dipercaya menjadi  tempat mendapatkan pesugihan.
            “Kami  mengelola kebun itu dengan jerih payah, tidak mengenal lelah  dan kerja keras. Demi Allah, bukan karena pesugihan. Kalau kebun itu mendatangkan rezeki lumayan, bukan karena pesugihan tapi karena dikelola dengan tangan dingin dan menejemen yang baik!,”  tutur perempuan asal Solo itu lagi kepada Laila anak nelayan itu . Suaminya adalah sosok lelaki yang ulet bekerja, hampir tidak mengenal istirahat.
            Lelaki Jawa adalah sosok pekerja keras yang tidak mengenal lelah. Peluhnya bercucuran membasahi bumi Sumatera pada awal pembukaan kebun kelapa sawit miliknya.  Lelaki Jawa itu terjun sendiri ke tengah kebun ketika perkebunan kelapa sawit baru saja dibangun. Lelaki itu menyingsingkan  lengan untuk memangkas daun kelapa sawit yang tumbuh menumpuk. Juga memotong  bunga-bunga jantan. Lelaki Jawa itu pula yang giat melakukan penyerbukan buatan.  Hama sekecil apapun, seperti hama tungau yang menyerang daun segera disingkirkan. Tiap hari lelaki Jawa itu bermandi peluh di tengah kebunnya. Lelaki Jawa itu tidak menginginkan kaya mendadak dengan bantuan pesugihan.
            “Ibu senang warisan budaya Melayu yang Islamy,”  ujar Bu Hartati  kemudian usai menuturkan mitos tentang pesugihan . Perempuan kelahiran Solo itu dan dua anak nelayan keturunan Melayu, Laila dan Iqbal selalu tukar menukar informasi tentang  adat budaya daerahnya masing-masing.
            “Begitulah adat Melayu,Bu. Tidak lekang oleh perkembangan jaman.”  Sahut Laila.
            “Ibu sendiri sudah jauh meninggalkan adat budaya Jawa yang berbau Hindu  sejak ibu dan bapak melaksanakan ibadah haji yang pertama dulu.”
            “Ya,  saya melihat keluarga ibu sudah beraroma Islamy, seperti halnya orang-orang Melayu.”
            Perempuan asal Solo itu mengunyah asinan betik yang dibuat Laila sendiri. Tiap perempuan Melayu harus pintar membuat asinan betik dan  asam glugur. Laila mendapat pujian dari tamunya.
            “Salah satu yang  ibu tinggalkan adalah upacara ruwatan terhadap anak. Seperti halnya putra ibu, Faisal, adalah anak tunggal. Warisan nenek moyang mengajarkan   agar terhadap anak tunggal harus dilakukan upacara ruwatan.”
            “Ada unsur agama Hindukah pada acara itu?,”  Laila ingin tahu.
            “Ya, sangat sarat dengan pengaruh Hindu. Karena itulah bagi ibu yang sudah mengikuti banyak sekali majlis taklim, upacara itu ibu abaikan. Sengaja ibu tinggalkan.”
            Perempuan yang berasal dari Solo yang kini selalu menutup rambutnya dengan jilbab itu menuturkan, bahwa selain anak tunggal, anak yang lahir pada saat matahari terbit atau terbenam harus dilakukan ruwatan. Juga anak yang lahir ketika ibunya sedang dalam perjalanan jauh. Anak kembar juga harus begitu. Harus mengadakan pertujukan wayang dan berbagai saji-sajian.
            “Bagaimana kalau upacara sakral itu diabaikan,?” Laila ingin tahu.
            “Menurut kepercayaan orang tua jaman dulu, anak tunggal yang tidak diiringi ruwatan akan dimangsa oleh Batara kala.”
            “Apakah Batara Kala adalah seorang raksasa?,”  tentu saja Laila ingin tahu.
            “Batara artinya dewa dan Kala maknanya waktu. Batara Kala adalah dewa waktu yang memangsa  anak-anak yang dilahirkan tunggal, lahir kembar, atau lahir menjelang terbit dan tenggelamnya matahari.”
            Laila mendengar dengan tekun penuturan tamunya yang berasal dari Solo. Bahwa Batara  Kala adalah mahluk seperti raksasa, hidungnya panjang dan besar, matanya melotot serta giginya sebesar kampak, perutnya buncit. Sebentar saja mahluk raksasa itu mengunyah tubuh anak-anak seperti anak tunggal atau anak kembar.
            “Karena itulah dulu orang Jawa sangat takut anaknya dimangsa Batara Kala sehingga melakukan upacara ritual  yang disebut ruwatan.”,  lanjut perempuan yang berasal  dari Solo itu.  Perempuan itupun menuturkan, para orangtua yang memiliki anak tunggal harus melakukan ritual ruwatan dengan mengadakan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala dan dilanjutkan dengan lakon Bima Suci.
            “Saji-sajian juga dilakukan orang, agar Batara Kala itu memakan sajian itu sebagai pengganti sang anak tunggal  biar selamat.”
            Sebagai orang Jawa yang masih banyak memiliki kerabat di Magelang, Yogya dan Solo, perempuan itu tahu benar apa yang harus disajikan untuk Batara Kala yang terdiri dari 36 jenis. Sajian itu berupa pisang raja, kelapa muda, 4 ikat padi, dua ekor ayam betina dan jantan,kayu bakar, benang, tikar, ketupat,  minyak wangi, nasi gurih, 7 tumpeng, jenang ,jajan pasar, rujak legi,kain batik dan banyak lagi.
            “Semua sesaji itu untuk sang dewa?”
            “Ya!. Sesaji itulah pengganti anak tunggal yang akan dimakan oleh sang dewa.”
“ Kalau tidak dilakukan upacara ritual itu,apakah  Batara Kala itu akan marah?”
            “Tentu saja marah  dan setiap saat dia terbang diangkasa dan akan menangkap anak yang lahir tunggal atau kembar.”
            “Kasihan kalau anak tunggal akan dimangsa oleh raksasa itu.  Begitulah nasib anak tunggal atau yang dilahirkan menjelang matahari terbit atau terbenam.”
            “Bang Faisal adalah anak tunggal. Apakah ibu juga melakukan ritual itu?,”  Laila menatap wajah sang tamu.
            Bu Hartati menggeleng.
            “Ibu sudah meninggalkan kepercayaan yang berbau sirik. Ritual ruwatan adalah kepercayaan orang Hindu namun sangat dipercaya oleh masyarakat Jawa. Dan ibu memang tidak melakukannya.”
            “Ibu tidak takut Bang Faisal akan dimangsa Batara Kala?”
            “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya. Dan Faisal ternyata sehat dan kini sudah jadi sarjana pertanian karena lindungan Tuhan.”
            Perempuan kelahiran  Solo  yang setiap hari menutup rambutnya dengan jilbab itu masih sempat mengutarakan sebuah doa yang selalu dilantukannya setiap akhir sholat:
            “Robbana hablanaa min azwazinaa wa zuriatinaa qurotaa aqyuun waja alnaa lil  mutaqinaa immama”
            “Setiap orang Melayu juga mengamalkan doa itu.”
            Laila juga mengatakan ,.bahwa masyarakat Melayu juga percaya pada hal-hal mistik dan gaib, terutama pada jaman animisme dulu.  Di kampung-kampung banyak dukun yang dapat mengobnati orang sakit dan mampu mengusir mahluk jahat yang terkadang menjelma jadi ayam putih, harimau, buaya dan mahluk lain. Dulu puak Melayu percaya ,bahwa di pohon besar, di sungai,bahkan di sawah atau di ladang ada mahluk halus yang menunggu dan selalu mengganggu manusia.
            Laila ke kamarnya  dan mencari selembar kertas yang warnanya sudah kumuh. Di depan perempuan asal Solo  itu Laila membaca sebuah mantera yang tertera dalam kertas yang sudah kumuh itu:
            “O, Datuk,lupalah kami memuja engkau
            O,Datuk, datang rupanya penyakit engkau bawa
            O,Datuk, pergilah dari sini,kembali ke rimba
            Semuanya telah ada kami simpan untuk bekal di jaln
            Inilah periok inilah beras
         Bara api beserta ayam
            O,Datuk, tinggalkan kami dengan aman”
           
Perempuan kelahiran Solo itu senyum-senyum ketika Laila mebaca matera yang tidak pernah diamalkan oleh ayah bundanya,kecuali nenek moyangnya dulu.  Imam-imam masjid dan muballigh serta muallim yang selalu memberikan  tausyiah  sudah mampu mengikis faham animisme itu.
Sehelai kertas lainnya juga dibacakan oleh Laila, sebuah mantera untuk mengusir hantu :
            “Aku tahu mulamu jadi
            Benih api menyala
            Jangan lai kau sakiti manusia
            Bila engkau ingkar
            Engkau akan dibakar
            Kuhukum engkau
            Atas nama yang Maha Besar
            “Bagus arti mantera pengusir hantu itu,Laila.”  Perempuan berjilbab wana hijau itu kagum.
            “Tapi kami tidak pernah mengamalkannya, seperti halnya ibu.  Lobe Ismail, seorang muallim melarang setiap muslim untuk mengamalkannya. Bu Hartati berasal  dari suku Jawa, dan sudah bertahun-tahun hidup dan mapan di Sumatera,tapi prinsip hidup masyarakat Jawa yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam  masih melekat dalam keluarganya.
Keluarga itu tetap merasa ,bahwa orang Jawa harus memiliki sifat rumangsan. Setiap orang Jawa dimanapun berada harus tetap aja dumeh. Tiap orang Jawa harus memiliki sifat tipa sliro dan mawas diri. Tiap orang Jawa harus berbudi luhur. Juga memahami serat Wulang Reh. Harus ngelmu begja, harus memiliki sikap perwira. Tidak hanya itu, manusia Jawa harus memiliki sifat kamunangsan.
            Namun yang berbau sakral Hindu sudah ditinggalkan oleh keluarga muslimah dari Solo itu, seperti halnya mengadakan pertunjukkan wayang dengan lakon Murwakala dan Bima Sakti serta berbagai saji-sajian agar putra tunggalnya tidak menjadi mangsa Batara Kala.
            Keluarga itu hanya berdoa, hanya pasrah kepada Yang Maha Esa dan kepada-Nya pula meminta perlindungan. Perlindungan itupun diperoleh Bu Hartati. Putranya tetap segar bugar hingga  dewasa, hingga lulus sebagai sarjana pertanian. Putra keluarga kelahiran Solo itu tetap sehat, tidak lagi menjadi mangsa Batara Kala. Bagi keluarga itu, Batara Kala hanya faham pengaruh Hindu yang harus ditinggalkan.
            Bocah yang jadi intaian Batara Kala itu kini sudah dewasa, kini sudah jadi sarjana pertanian yang sesaat lagi akan membuka lahan baru untuk perluasan perkebunan kelapa sawit milik ayahandanya.
            Lelaki muda yang kini menyandang gelar sarjana pertanian itu kini mengenakan dasi lebar berwarna coklat tua, mengenakan helm proyek sedang berdiri di atas lahan seluar lebih 400  hektar bersama petugas Badan Pertanahan Nasional dan pejabat dari pihak kantor Bupati. Hari itu sedang dilakukan pengukuran tanah seluas ratusan  hektar untuk pengalihan hak milik dari masyarakat.
            Semua berjalan lancar,apa lagi lelaki muda itu, Faisal,  , adalah seorang pemurah hatinya. Lelaki muda itu membagikan amplop berisi uang agar semua segera selesai, agar surat izin usaha segera diterbitkan.  Uang membuat semua mulus tanpa hambatan.
            Seperti tidak mengenal lelah, lelaki muda itu mondar-mandir ke kantor notaris, ke be-pe-en dan ke kantor bupati serta instani terkait untuk mendapatkan es-ha-u serta sertifikat hak milik.
            “Minggu depan, Insya Allah sertifikat tanah ini sudah terbit!,” ujar pejabat be-pe-en.
            “Terima kasih, saya menunggu.”
            “Surat ijin usaha juga tidak lama lagi akan terbit pula,”  ujar pejabat dari kantor bupati.
            “Terima kasih. Terima kasih.”
            Lelaki muda itu berjabatan tangan erat dengan para pejabat terkait di tengah lahan yang akan dialihkan kepada  lelaki muda itu.
            “Mudah-mudahan tidak ada silang sengkata atas tanah ini,” itulah harapan lelaki muda yang baru saja menyandang gelar sarjana pertanian.
            “Yang penting uang ganti ruginya lancar!”
            “Beres!  Sudah saya sediakan secukupnya.”
            Tidak ada silang sengketa, tidak ada permasalahan. Uang  ganti rugi sudah diberikan lewat pejabat kantor bupati yang akan diteruskan kepada pemilik lahan sebelumnya.
            Lelaki muda itu tetap saja segar bugar di tengah lahan. Tidak ada bencana yang mengintai. Tidak ada Batara Kala yang akan memangsanya karena sejak kelahirannya sebagai anak tunggal tidak pernah diadakan ritual ruwatan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sejak turun menurun. Padahal menurut petuah para oang tua yang berdarah Jawa, Batara Kala bisa saja menjelama menjadi harimau yang ganas dan setiap saat dapat menerkam dan memangsa sang anak tunggal. Tapi Faisal tetap saja segar bugar dan terhindar  dari segala bencana.
            Lelaki muda itu bersyukur, sertifikat hak milik serta ijin usaha segera terbit dan kini sudah di tangannya. Asli surat-surat  itu disimpan dalam safety box di sebuah bank. Lelaki muda itu hanya memegang foto copy surat-surat berharga itu.
            Belasan buruh sudah disiapkan untuk memulai membuka lahan baru pengembangan perkebunan kelapa sawit  yang mencapai luas lebih 400 hektar. 
                                               ***
   L
ahan seluas lebih 400 ha itu dipenuhi semak belukar. Tanaman yang ada pohon turi, kelapa, durian, ilalang, pohon pisang , bangka, beringin, rambung merah dan banyak lagi. Tidak ada rumah penduduk di lahan yang baru dibebaskan itu . Penghuninya hanya musang, ular berbisa, tikus, lipan, babi hutan dan burung-burung. Juga semut, nyamuk dan lalat.
            Belasan orang buruh membersihkan lahan itu, menebang setiap pohon. Tiga hari para buruh membersihkan lahan itu barulah tampak terang benderang.  Kasihan burung-burung yang bersarang di ranting pohon di lahan itu terpaksa terbang jauh karena habitatnya diporak perandakan manusia untuk perkebunan kelapa sawit. Hewan musang juga pergi jauh entah kemana.
 Lelaki muda itu, Faisal, memperhatikan setiap buruh yang bekerja keras. Ilmu yang ditimbanya dari fakultan pertanian benar-benar diterapkan dalam pengembangan kebun kelapa sawit yang dimiliki ayahandanya.
Tanah berbukit adalah tempat yang sangat  baik untuk tanaman kelapa sawit untuk menghasilkan buah yang maksimal. Keadaan tanah harus benar-benar diperhatikan amat teliti. Harus dihindari tanah yang mengandung bebatuan. Karena itulah belasan buruh harus bekerja keras seperti mengejar waktu karena pada awal musim hujan bibit-bibit kelapa sawit harus sudah ditanam. Ribuan bibit sudah tersedia.
             Tanah untuk tanaman kelapa sawit harus memiliki pH 4-6 dan yang terbaik tanah latasol, ultisol dan aluvial serta tanah gambut  dan semua itu sudah dilakukan survai yang matang . Berbagai jenis pupuk juga sudah disediakan seperti pupuk macro, urea, MOP/KCI, borax, Kieseite dan berbagai peralatan.
Sudah terbayang di pelupuk mata lelaki muda itu hasil panen kelapa sawit yang melimpah dan diangkut dengan truk untuk dijadikan ekstaksi crude palm oil atau yang populer disebut CPO..
            Yang amat sulit adalah di sekitar tanah pebukitan yang harus dibuat teras melingkari bukit dan lubang harus berjarak 1,5 meter dari sisi lereng bukit. Drainase juga harus dibangun di areal itu untuk menjaga kelebihan air. Bibit kelapa sawit akan mati atau kerdil di tanah yang kelebihan air.
            Lelaki  muda yang baru lulus dari perguruan tinggi itu memberi petunjuk amat serius kepada para buruh yang sedang membangun parit agar air hujan mengalir dan tidak mengendap di atas tanah yang sudah ditanami dengan bibit kepala sawit.
            Tiga hari barulah lahan itu tampak sudah selesai dibersihkan dan tinggal memasang ancang-ancang penentuan  titik tanam kemudian membuat lubang dengan ukuran tertentu. Konservasi atau pengawetan tanah amat penting untuk areal perkebunan.
            Penanaman kacang-kacanganpun dimulai untuk menghindari gulma atau tanaman liar yang mengganggu. Hari sudah sore ketika lubang-lubang untuk menanam bibit kelapa sawit selesai dilakukan. Lubang-lubang tanam itu digali 50x40 cm sedalam 40 cm.
            Lelaki itu merasa amat puas karena semua berlangsung sesuai dengan rencana. Penanaman bibit kelapa sawit harus sejajar dengan musim hujan.
            “Bagaimana,anakku?.” tanya Bu Hartati kepada putranya yang baru tiba dari areal kebun yang baru dibuka.
            “Beres,Bu.  Tapi cukup melelahkan!”
            “Yang harus kamu sadari keadaan di lapangan jauh beda dengan teori yang dipelajari di kampus!,” sahut ayahandanya. “Mudah-mudahan di tanganmu, kebun itu jauh lebih berhasil”
“Tentu saja, karena yang mengelola adalah seorang sarjana pada bidangnya.” Anak muda itu merasa bangga dengan ijazahnya.
            “Musim hujan sudah mulai tiba, saatnya penanaman segera dimulai!”, cetus ayahandanya lagi yang sudah bertahun-tahun menangani kebun kelapa sawit.
            “Saya akan bekerja keras!,”
            “Ayah dan ibundamu bangga kamu jadi sarjana pertanian, tidak sia-sia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.”
            “Artinya saya sudah boleh menikah?,”  Faisal menatap wajah ibundanya.
            “Kalau memang itu yang kamu inginkan, tentu saja boleh. Gadis mana yang kamu pilih. Jawa seperti ayah bundamu, Melayu seperti adik-adik Iqbal dan Laila, Mandailing atau Minang.?”
            “Mandailing!” sahut Faisal.
            “Kenapa tidak Melayu?,”
            “Sepertinya sama saja Melayu dan Mandailing, sama-sama umat muslimah,bukan?”
            Di mata lelaki muda itu sudah terbayang suasana bahagia ketika dia bersanding dengan seorang gadis yang menyandang marga Boru Nasution.
            Cantik gadis yang menyandang Boru Nasution  itu. Bayang-bayang wajah gadis itu lekat di benak lelaki muda itu ketika berada di areal tanah yang baru saja dibersihkan dari semak belukar. Lubang-lubang untuk menanam juga sudah rampung. Hujanpun turun rintik-rintik  dan tidak lama lagi matahari akan terbenam.
            Ketika itulah, ketika hujan turun rintik-rintik, ketika matahari akan terbenam, dari arah timur muncul sekelompok orang. Sesaat lelaki muda itu tertegun. Sekelompok  orang yang datang dari arah timur itu membawa  berbagai poster dan spanduk.
            Seperti ada demo!,pikir lelaki muda itu sejenak dan iring-iringan manusia itu semakin dekat. Kenapa demo pada sore hari?,pikirnya lagi. Siapa yang akan jadi sasaran unjuk rasa sore ini?.  Makin dekat dan makin dekat, makin tampak wajah-wajah beringas. Mereka seperti orang yang lapar. Makin jelas pula spanduk dan poster yang dibawa iring-iringan sekelompok manusia itu.
            Poster itu membuat bulu roma lelaki muda itu bergidik :
            “Jangan ambil tanah kami!”
            “Jangan rampas tanah kami!”
            “Tinggalkan lahan ini kalau ingin selamat!”
            “Kembalikan tanah kami!”
            “Kami rakyat miskin. Kami tidak ingin kehilangan tanah walaupun sejengkal”
            “Kembalilah ke kota ,wahai Tuan Tanah!”
            Tubuh lelaki muda itu gemetar. Tapi dia tidak gentar, karena lelaki muda itu berada di pihak yang benar.  Lelaki muda itu tidak merampas tanah dari orang lain dengan sembarangan.  Lelaki muda itu sudah mengantongi surat ganti rugi dan hak kepemilikan atas lahan itu sudah diterbitkan oleh be-pe-en. Juga surat ijin usaha membangun perkebunan kelapa sawit sudah ada di tangan lelaki muda itu. Kenapa harus gentar?. Semua prosedur memperoleh kepemilikan tanah sudah ada di tangannya.
            Di kampusnya  lelaki itu belajar tentang  tata kelola tanaman, tentang musim, tentang gulma . tapi di ruang kuliah tidak pernah dipelahari ilmu tentang menghadapi para demonstran yang datang dengan wajah bringas. Marah dan lapar.
            Para pendemo semakin dekat. Ada yang mengatas namakan rakyat miskin. Ada yang mengataskan namakan rakyat pembela keadilan. Sebagian lagi adalah lembaga swdaya masyarakat yang menjadi dalang dalam demo itu. Di mana-mana, el-es-em selalu jadi motor penggerak demonstrasi. Tidak jarang el-es-em jadi provokator.
            Sebagian kecil para peserta demo itu seenaknya  mendirikan tenda-tenda darurat dari plastik dan tiang bambu serta tali plastik untuk pengikat. Mengapa mereka nekad mendirikan tenda di lahan milikku yang syah?. Pertanyaan itu tumbuh di benak lelaki muda  yang baru saja lulus dari fakultas pertanian.
            “Kami ingin bertemu dengan pembeli lahan ini!,” cetus salah seorang peserta demo.
            “Ya, saya sendiri!,”  sahut lelaki muda itu.
            “Kami atas nama pemilik asli lahan ini berharap  anda meninggalkan lahan ini kurang dari 6 jam.”  Seorang utusan pendemo berkata lantang dan wajahnya tampak bringas.
            “Aturan dari siapa seperti itu?,” sahut lelaki muda itu tanpa gentar.
            “Aturan kami pemilik lahan ini yang syah!”
            “Kami sudah membeli lahan ini. Kami memiliki sertifikat!”
            “Bohooong!,” sahut ratusan pendemo itu.
            “Surat itu palsu!”  teriak sebagian orang lagi. Semua tampak bringas.
            “Tidak mungkin palsu. Anda semua dapat mengeceknya ke kantor be-pe-en!”
            “Palsuuuu!. Palsuuuu!,” teriak ratusan para peserta demo.
            “Tinggalkan areal tanah ini! Segera!. Tanah ini milik rakyat banyak. Jangan rampas hak kami!”
            Lelaki muda itu tetap pada pendiriannnya. Lelaki muda itu tidak bergeser setapakpun dari tempatnya berdiri.
            “Lahan ini sudah menjadi milik kami!. Bukan kami yang harus meninggalkan lahan ini, tapi kalian semua!”
            “Kalau anda tidak mau meninggalkan areal tanah ini, kami tidak dapat bertanggung jawab keselamatan jiwa anda!,”  salah seorang dari el-es-em berteriak penuh kesombongan.
            “Kami akan mempertahankan tanah ini karena sudah milik kami. Kalian yang harus pergiiii!”
         Lelaki itu sangat bersemangat. Dia tetap berdiri di tempatnya tegak, tidak mundur sedikitpun.
            Lelaki muda yang merasa memiliki lahan sekitar 400 hektar itu membuka map dan membagikan foto copy surat kepemilikan lahan yang diterbitkan oleh be-pe-en kepada orang yang mengaku pimpinan demo itu.
            Tapi hanya sesaat surat itu dibaca kemudian dengan wajah tegang pimpinan itu berteriak:
            “Ini palsu!. Palsuuuu!”
            Foto copy surat itu justru menambah berang para pendemo  dan surat itu segera dirobek-robek dan dipijak-pijak.
            “Usir Tuan Tanah yang rakus!”  seseorang berteriak dari arah belakang.
            “Jangan rampas tanah kami!”
            Para pendemo tampak marah ketika terjadi  pelemparan batu dan mengenai kepala seorang pendemo. Semua memang sudah diatur, ada seseorang yang melakukan provokasi sehingga suasana menjadi panas.
            “Pukul saja dia!  Pukuuul!,”  teriak seseorang. Para pendemo semakin brutal. Seseorang maju mendekati lelaki muda itu dan melakukan pemukulan. Kericuhan tidak terhindarkan. Lelaki muda itu tidak sempat memanggil polisi hingga nasibnya malang. Puluhan orang menyerbu secara serentak dengan membawa alat pemukul, balok, pentungan dan  parang.
            Kasihan lelaki muda itu terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka dan lahan itu dimerahi darah . Buruh-buruh yang sedang membuat parit di lahan itu tidak mampu berbuat apa-apa selain membawa tubuh yang terkapar itu ke rumah sakit. Jiwa lelaki muda itu  tidak tertolong.
            Meraunglah sang bunda ketika mendengar anak tunggalnya menjadi korban amuk massa yang merasa dirugikan, yang merasa haknya atas tanah dirampas secara sewenang-wenang.
            “Kenapa sampai terjadi seperti ini,anakku?,” perempuan asal Solo yang sukses meraih rezeki di tanah Sumatera itu meratap.
Air matanya berderai-derai seperti hujan lebat di sisi tubuh putra tunggalnya.
            Seorang anak kesayangan telah pergi jauh. Seorang anak tunggal sudah meninggal dalam keadaan mengenaskan. Sanak dan kerabat yang datang dari Jawa ikut bersedih, tapi semua justru melontarkan kesalahan kepada Bu Hartati.
            “Kamu tahu apa yang terjadi atas diri anakmu,Hartati?,” ujar kerabat yang datang dari Solo.
            “Aksi anarchi memang selalu terjadi dimana-mana,”  sahut perempuan asal  Solo itu diantara isak tangisnya.
            “Bukan!. Bukan aksi anarchi, tapi karena kelalaianmu!”
            “Kelalaian apa yang saya lakukan?,” Bu Hartati membela diri.
            “Yang terjadi adalah kutukan sang maha dewa. Yang terjadi adalah kemarahan Batara Kala. Bukankah sejak awal para orang-orang tua, para sesepuh sudah menganjurkan kepadamu agar melakukan ruwatan  karena anakmu adalah anak tunggal yang selalu diintai oleh Batara Kala?. Kalau  ada sekelompok orang mengamuk dan menganiaya anakmu, itulah adalah jelmaan Batara Kala yang menempel dalam diri manusia!”
            Kata-kata itu hanya membuat perempuan asal Solo itu termenung dan air matanya tetap mengalir dipipinya. Kesedihan tidak tertahankan olehnya. Perempuan itu ingat kata-kata nasihat para sesepuh kerabatnya agar dia melakukan upacara sakral berupa ruwatan  dengan mengadakan pertunjukan wayang dengan lakon Murwakala dan Bima Suci  serta menyediakan sesaji untuk para dewa. 
            Tapi Bu Hartati menganggp ruwatan dan sesaji itu hanyalah perbuatan syirik yang menduakan Tuhan.  Bu Hartati yang sudah selalu menghadiri majlis taklim dan sudah menunaikan ibadah haji tidak percaya pada petuah-petuah para sesepuh keluarga.
            “Itulah yang membuat Batara Kala sangat murka dan menjelma dalam diri orang-orang yang datang dengan tameng demonstrasi mengatas namakan petani!.”  ujar sesepuh kerabat yang datang dari  Solo.
            Bu Hartati hanya menunduk dan air mata masih mengalir dipipinya.
            “Lihat keluarga Sundari. Lihat keluarga Mas Prapto. Lihat keluarga lainnya. Ada yang anaknya lahir menjelang matahari terbenam, ada yang lahir kembar, semua melakukan ruwatan  dan anak-anak mereka semua selamat. Tidak ada satupun yang dimangsa Batara Kala. Anak-anak itu aman-aman saja dan segar bugar. Masuk hutan juga tidak usah takut diterkam harimau, karena Sang Batara Kala sudah diberi sesaji.  Yang jadi Abri juga tidak pernah ditembak musuh. Yang  jadi mahasiswa juga selamat ketika demo!”
            Kata-kata itu membuat hati Bu Haratati semakin sedih. Di Sumatera dia menjejakkan kaki. Di Sumatera dia bersama suaminya meraih sukses sebagai pengusaha bakso,  kemudian beralih menjadi pemilik perkebunan. Di Sumatera pula air matanya menitik karena anaknya mati direnggut aksi anarchi. Tanah Sumatera dibasahi oleh airmata perempuan kelahiran Pulau Jawa.  Itulah perjalanan hidup!.
            Putra tunggalnya, Faisal Wicaksono sudah pergi untuk selamanya. Perempuan kelahiran Solo itu tetap meyakini kepergian putranya bukan karena dimangsa oleh Batara Kala, tapi karena  takdir yang maha kuasa.
            Ya,Tuhan. Ya Robby. Apakah Batara Kala itu benar-benar ada?. Apakah dewa raksasa itu benar-benar murka kepadaku karena permintaannya kami abaikan?. Apakah aku berdosa. Namun aku merasa berada  dipihak yang benar. Aku mohon perlindungan-MU.  Perempuan itu bermunajat kepada Tuhan dan mohon kesejukan hati.
            Meskipun sudah bertahun-tahun menjejakkan kakinya di Sumatera dan hidup mapan,  meskipun sudah berbaur dengan berbagai suku yang ada di Sumetera, sperti Melayu, Mandailing dan Minang, tapi Bu Hartati dan suaminya masih tetap memahami pola hidup masyarakat Jawa. Perempuan kelahiran Solo itu masih tetap mengerti bahasa Ngoko atau Krama Inggil.
                                                *** 

   K
esedihan masih menggurati hati perempuan asal Solo itu, apalagi ketika  suaminya  harus memenuhi panggilan pihak kepolisian  karena peristiwa  berdarah  yang merenggut nyawa. Yang dipanggil polisi tidak hanya suami Bu Hartati , tapi juga pejabat dari be-pe-en, pejabat kantor  bupati  dan instansi terkait lainnya .. Juga seorang lainnya yang biasanya disebut cukong tanah di kawasan itu.
            Polisi menemukan banyak kejanggalan dalam hal terbitnya sertifikat lahan seluas 400 hektar itu. Terbitnya surat ijin usaha membuka lahan juga ditengarai banyak mengandung hal-hal fiktif. Polisi menemukan kesalahan   prosedur dalam menerbitkan serti fikat dan  ijin usaha itu.
Polisi juga menemukan perbuatan  melawan hukum.  Dalam penyelidikannya Polisi menemukan indikasi penyuapan. Tentu saja warga desa di sekitar lahan itu sangat marah karena ganti rugi yang tidak layak. Mereka hanya menerima ganti rugi lima puluh ribu permeter sementara lelaki muda itu membayarnya dengan harga tiga  ratus ribu rupiah.
            Tidak kurang dari 4 orang  terpaksa ditangkap dengan tuduhan menerima suap.   Seperti itulah yang banyak  terjadi di negeri yang elok ini. Perbuatan kotor sudah sering terjadi dimana-mana, di setiap kantor pemerintahan dan pelayanan publik.
            Korupsi dan suap sudah merajalela dimana-mana. Pelakunya tidak  punya rasa malu. Pelakunya tidak punya rasa jerah. Hari ini terjadi penangkapan terhadap pelaku korupsi atau suap, tapi esok terjadi lagi dan terjadi lagi. Tidak ada rasa takut akan masuk penjara.  Perbuatan memperkaya diri sendiri telah terjadi di semua daerah. Birokrat sudah menjadi sarang tikus  yang jorok.
            Kasihan rakyat semakin miskin karena pajak-pajak yang dikutip dari berbagai restribusi digarong oleh para birokrat yang sudah menjadi tikus. Sulit dicari pejabat yang jujur di negeri ini.  
            Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu kesedihan menggurati dasar hati perempuan asal Pulau Jawa itu.  Hatinya tidak pernah tenteram sekarang. Perempuan itu selalu gelisah dan  termenung. Makanan sukar untuk ditelan. Terasa seperti ada duri dalam makanan itu. Semuanya tidak enak. Tidurpun tidak pernah nyenyak,bahkan sulit untuk memejamkan mata.
            Bayang-bayang wajah putranya selalu muncul ketika dia sedang makan, atau ketika mandi, ketika duduk-duduk atau ketika menjelang tidur. Terbayang saat Faisal masih kuliah dan disenangi oleh kawan-kawan kuliahnya. Faisal memang seorang anak remaja yang pintar bergaul.
            Terbayang di pelupuk mata perempuan asal  Solo itu ketika putranya menikmati indahnya pantai Selat Malaka dan digigit ular berbisa hingga  hampir menemui kematian. Untunglah ada anak nelayan   bernama Iqbal dan Laila yang menawarkan bisa ular yang sudah sampai ke jantung.
            Sekarang anak lelaki yang gagah itu sudah pergi jauh dan tidak akan kembali lagi. Rumah besar itu terasa sepi dan lengang tanpa Faisal. Meskipun rumah itu penuh dengan  benda-benda berharga, tapi tanpa Faisal, rumah besar itu terasa seperti lengang dan kosong. Tidak ada siapa-siapa. Yang tinggal Hanya Bu Hartati dan suaminya serta seorang pembantu.  Yang ada hanya sepasang kucing anggora yang berbulu lebat dan indah. Tapi sepasang kucing itu tidak mampu menghibur perempuan itu.
            Semuanya serba salah bagi perempuan kelahiran Solo itu sekarang. Makan tidak enak, duduk gelisah, tidur mata tidak mau terpejam.  Bahkan ketika makan terasa seperti Faisal di sisinya dan mereka makan bersama. Perempuan itu akhirnya jatuh sakit. Perutnya selalu rasa perih. Kepalanya sering-sering pusing. Kemana lagi meminta pertolongan kalau tidak ke dokter?.
            Tapi dokter tidak menemukan penyakit pada diri perempuan itu. Semua dinyatakan sehat dan tidak ada gangguan apa-apa. Yang ada hanyalah tekanan jiwa karena tewasnya putra tunggalnya. Apalagi kematian putra tunggalnya tidak wajar. Yang dideritanya hanya traumatik dan stres berat.
            Hanya dalam waktu beberapa minggu setelah kematian Faisal tubuhnya susut lima kilo. Semua pakaian serba longgar dan terkesan gombrong. Perempuan itu setiap hari lebih senang di rumah mengurung diri. Yang lebih sering adalah hadir di pemakaman umum Sei Batugingging  untuk menjiarahi kubur putranya. Ke makam itu Bu Hartati membawa kembang-kembang segar dan menyiram gundukan tanah itu dengan air mawar sehingga kubur itu selalu beraroma wangi.
            Di atas kubur itu  air mata Bu Hartati selalu menitik. Membasahi gundukan tanah pusara putranya.  Dan kubur itu selalu bersih karena amat sering diziarahi. Tidak ada kecoa yang perkuburan  itu. Tidak ada tikus dan semut.
                                    
                                                            ***     
B
elasan kali perempuan asal Jawa Tengah itu ke dokter ahli, tapi tetap saja dirasakannya ada yang sakit dalam tubuhnya. Di tengah malam sepi,ketika suaminya sedang tidur pulas, dia selalu berkata-kata sendri. Dia selalu mendengar suara putranya di tempat yang jauh dan memanggilnya.
            “Datanglah kemari,ibu. Aku dalam kesulitan!.” Suara itu terdengar lagi di malam sepi.
            “Ibu datang,anakku. Ibu datang bersama bapakmu!”,sahutnya dan membangunkan sang suami yang tidur nyenyak di sisinya.
            “Faisal dalam kesulitan,Pak.  Anak kita membutuhkn pertolongan kita. Ayo kita kesana!.”
            “Ya,Rabbi. Ibu selalu saja mimpi yang tidak-tidak. Anak kita sudah istirahat dengan tenang. Ibu harus istighfar.”
            Sepasang bibir Bu Hartati bergetar mengucapkan kalimah-kalimah istighfar dan berusaha untuk memejamkan mata, tapi suara anaknya terdengar lagi  dan lagi-lagi membangunkan suaminya.
            “Solatlah tahajud. Mintalah ketenangan jiwa dari Allah,” saran suaminya dengan penuh rasa iba.
            Bu Hartati turun dari tempat tidurnya dan berwudhuk, lalu menghadap kiblat. Di tengah malam yang dingin, ketika burung-burungpun sedang tidur lelap, Bu Hartati melantunkan istighfar dan bersujud. Perempuan itu mohon ketenangan, barulah dia dapat memejamkan mata.
            Kabar tentang Bu Hartati yang sakit-sakitan akhirnya sampai kepada kerabat di Solo.
            “Kalau tidak ada dokter di Medan yang sanggup mengobati pulangkah ke Solo.  Pengobatan alternatif banyak di sini. Mbah  Dirjo juga masih hidup di lereng Gunung Merapi. Mudah-mudahan dapat menyembuhkan penyakitmu,” imbau Mbak Utami penuh harap.
            Imbauan itu tidak menggugah hati Bu Hartati. Dia tidak ingin berobat ke Solo atau Yogya, apalagi berobat ke dukun di kaki Gunung Merapi.  Perempuan itu tetap saja tidak mau berobat dengan  cara syirik. Dia memilih konsultasi dengan seorang psikiater
            “Kematian anak ibu sangat memukul jiwa ibu. Pasrahkan kepada Yang Maha Esa. Ibu tidak sakit. Hanya menderita beban batin yang sangat berat. Usahakanlah mencari kesibukan.”  Itulah saran psikiater.
            Kesibukan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan  yang hidup mapan seperti Bu Hartati?.  Tiap pagi sekarang perempuan itu berada di halaman dan mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sela-sela tanaman bunga anggrek.
Tiap hari perempuan asal Pulau Jawa itu menghadapi puluhan pot bunga yang berisi berbagai jenis bunga, mulai dari anggerek, tulip anthurium, anglaonema, adendum, caladium dan banyak lagi. Terkadang tangannya yag mulus itu dikotori tanah dan pupuk.. Bu Hartati masuk rumah setelah matahari tinggi  dan tubuhnya bermandi peluh.
Tanaman bunga di halaman sangat bersih sekarang  dan subur. Tapi bayang-bayang putra tunggalnya jusru muncul di antara pot-pot bunga itu. Dia seperti melihat Faisal  datang dari jauh dengan membawa pot bunga.
“Ini bunga plumeria atau Kamboja Hawai, indah sekali,Bu.” Bu Hartati seperti mendengar suara anaknya. Tentu saja perempuan itu menyambut anaknya, namun sesaat kemudian bayang-bayang itu lenyap.
”Ya,Allah. Kenapa sangat sulit bagiku untuk melupakan anakku?, ” keluh perempuan itu panjang.
Masih lumayan godaan itu berupa datangnya Faisal membawa berbagai jenis bunga. Yang amat mengerikan adalah bayang-bayang  tentang sekelompok orang yang datang ke halaman rumahnya dan mengobrak-abrik tanaman bunga  ping peacock atau bunga brokoli yang  sudah tumbuh subur dan daunnya hijau.
“Jangan!. Jangan ganggu  bunga-bunga itu. Jangan hancurkan keindahan itu!”, teriak Bu Hartati.
“Ibu berkata dengan siapa?,”  tanya suaminya yang keheranan melihat tingkah isterinya.
“Sekelompok orang itu membuat huru-hara dan merusak tanaman bunga kita!,”
“Ibu terlalu lelah. Istirahatlah dulu!”, ujar suaminya dan turun ke halaman lalu memapah isterinya duduk di gazebo yang memang dibangun cantik dekat teras rumah.
“Tampaknya ibu tidak serasi mengurus taman bunga!,” cetus suaminya.
“Aneh. Bunga-bunga itu  tumbuh subur dan cantik di tanganku, tapi kenapa bayang-bayang anak kita selalu muncul di antara bunga-bunga anggrek atau  anyelir?”
“Mulai besok tidak usah lagi ibu mengurus bunga. Kita beli saja akuarium besar.”
“Lalu ikan apa yang akan kita beli untuk pengisi akuarium itu?”
“Sebaiknya ikan arwana. Cantik dan lincah.”
“Arwana?. Wah , harganya sangat mahal.”
“Yang penting ibu  bisa enjoi di depan ikan-ikan arwana itu.”
“Oke!”
Perempuan asal Solo yang kini hidup mapan dan kaya di Sumatera itu   tampak senang ketika diajak pusat akuarium khusus arwana. Komplek itu ramai dikunjungi oleh pecinta ikan. Bu Hartati memilih ikan arwana merah yang sedang ngetren.
  Bu Hartati membawa akuarium berukuran besar dan di dalamnya ada ikan-ikan arwana merah yang berharga mahal.
“Sekarang tugas ibu menjaga dan merawat arwana ini. Jangan sampai airnya kotor dan merusak pandangan. Mudah-mudahan dengan adanya ikan arwana ini hati ibu bisa tenteram.”
“Saya senang merawatnya,”  Bu Hartati tersenyum.
Perempuan Jawa itu memang tidak suka nonton tv, tidak suka membaca majalah. Dari pada nonton hiburan dilayar kaca lebih baik membuat lemper.  Itulah sebabnya sekarang perempuan asal  Jawa itu sehari-harian berada di depan akuarium menyaksikan tiga pasang arwana berenang ke sana  kemari dengan gayanya yang indah. Ikan-ikan yang amat mahal itu  riang di dalam air. Rasanya perempuan Jawa itu ikut berenang bersama ikan arwana merah itu. Wajah putranya yang tewas mengenaskan para demonstran anarchi sudah terlupakan.
Tapi peristiwa mengerikan di lahan yang baru dibebaskan itu kembali menyiksa batinnya .  Yang  tampak di dalam akuarium itu tidak hanya arwana merah, tapi  sekelompok orang yang membawa kapak, linggis dan parang. Wajah-wajah yang bermunculan di dalam akuarium itu tampak bringas dan mengerikan. Bahkan mereka berteriak histeris:
“Palsu!  Palsuuu. Sertifikat itu palsu!” 
“Ada korupsi dalam ganti rugi yang kami terima!,” teriak para demonstrasi yang sedang marah itu.
“Usir dia. Pukul saja!”
Ya Tuhan, betapa amat mengerikan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh sejumlah petani pemilik lahan.
Suami perempuan Jawa itu  heran dan kasihan. Kembali lagi istrinya disiksa traumatik dan stres berat karena kematian putra tunggalnya.
“Anakku mati bukan karena dimakan Batara Kala. Tidak ada Batara Kala di bumi ini,”  ujar perempuan Jawa itu bila ingat ucapan-ucapan kerabatnya dari Solo yang mengatakan, bahwa putra tunggalnya yang mati karena dimangsa Batara Kala akibat Bu Hartati melalaikan ruwatan.  Ucapan kaum kerabat yang masih percaya kepada hal-hal gaib lebih sering menyiksa batinnya.
“Kamu hidup terlalu modern,Hartati.  Kamu anggap sepele pertunjukkan wayang sampai akhirnya anak tunggalmu dimangsa Batara Kala.”
Berkali-kali Perempuan asal Pulau Jawa yang sudah hidup mapan dan taat pada Islam itu menyangkal, bahwa anaknya bukan mati karena aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah pengunjuk rasa,tapi dimangsa Batara Kala.
Suami Bu Hartati merasa iba dan sedih.
        “Sebaiknya ibu konsultasi lagi ke psikiater!,”  bujuk suaminya lembut.
            “Apakah saya sudah menjadi gila,Pak?,”  Bu Hartati menolak.
            “Saran psikiater sangat baik buat ibu. Setidak-tidaknya menolong ibu agar melupakan  perisiwa yang menimpa anak kita.”
            Setelah berkali-kali pengusaha perkebunan kelapa sawit itu membujuk  istrinya agar mau konsultasi dengan psikiater, barulah sang istri lembut hatinya.
            “Ibu kesepian di rumah kalau yang ada hanya kucing anggora dan ikan arwana  yang tidak dapat berbicara seperti manusia. Ibu butuh seseorang yang dapat diajak bercanda.”
             Mengurus bunga  di halaman dan ikan-ikan arwana yang bermain di akuarium  tidak mampu menyembuhkan traumatik dalam diri perempuan itu. Tetap saja di depan matanya selalu muncul bayang-bayang wajah putra tunggalnya. Di halaman terkadang bayang-bayang wajah putranya  muncul di air mancur.
Di depan akuarium,  terkadang yang tampak  adalah wajah Faisal yang sedang adu argumentasi dengan sekelompok orang-orang berwajah bringas seperti kelaparan.
            Di depan sang  psikiater, perempuan Jawa itu termenung sesaat.
            “Ibu butuh seseorang!,” kata psikiater itu setelah lama berdialog dengan Bu Hartati.  “Tentu seseorang yang dapat diajak ngobrol.”
            “Untuk melahirkan lagi sudah tidak mungkin. Dokter sudah mengangkat rahim saya karena tumor ganas di mulut rahim saya.”
            “Tidak harus anak yang lahir dari rahim ibu!”
            “Artinya saya harus mengambil anak angkat.”
            “Ya, boleh saja anak dari kalangan kerabat, boleh juga anak dari orang lain.”
            Sesaat perempuan Jawa itu termenung.  Dia ingat kerabatnya di Solo juga menyarankan seperti itu. Mereka menawarkan anak-anak dari kalangan kerabat di Yogya dan Solo untuk menjadi anak angkat keluarga Bu Hartati.  Tapi Bu Hartati tidak menanggapinya dengan serius.
            Sekarang ketika di depan psikiater  dia dianjurkan untuk mengambil anak angkat agar tidak kesepian ,agar tidak selalu disiksa bayang-bayang almarhum putranya. Satu-satunya obat traumatik dalam jiwanya adalah dengan mengambil anak angkat.
            “Baiklah. Saya akan berusaha mencari anak angkat.”
            Sehari  dua hari  perempuan Jawa itu termenung  dan memikir-mikir. Siapa yang dapat menggantikan peran Faisal dalam hidupku?,” pikirnya. Keluarga kerabat dari Solokah?. Rasanya berat dan tidak sefaham. Sebab keluarga itu masih terlalu kental dengan kebiasaan pola hidup Jawa. Mendirikan dan merehab  rumah harus menurut hitungan weton atau kelahiran. Mau pesta apa lagi. Perempuan yang sudah lama hidup mapan di Sumatera itu tidak bisa lagi hidup dengan prinsip orang Jawa “sugih tanpa bandha” yang  maknanya kaya tanpa benda. Juga “nglurug tanpa bala”  yang maknanya menantang perang tanpa balatentara. Juga “menang tanpa ngasorake”  yang berarti menang tanpa merendahkan mempermalukan orang lain.
            Perempuan yang sudah belasan tahun meninggalkan pulau Jawa itu tidak bisa lagi percaya tentang perhitungn waktu  atau Wuku yang berkaitan dengan tabiat manusia.  Seperti wuku Sinta yang dinaungi Dewa Batara Yamadipati dan bermakna manusia  bersifat cemburu  tapi selalu tampil cantik,gembira dan kelihatan muda.  Juga Wuku Landep yang dinaungi Dewa Batara Mahadewa. Atau Wuku  Kurantil yang dinaungi  Dewa Batara Langsur.
            Amat lama perempuan yang kini hidup senang dan memiliki rumah mewah itu termenung-menung memikirkan anak siapa yang baik untuk dijadikan anak angkat. Dari pulau Jawakah. Dari Sumaterakah?. Atau anak jalanan yang butuh perlindungan?. Atau dari rumah sakit memungut bayi yang baru lahir  yang orangtuanya tidak mampu?
                                            ***
   P
erempuan yang berasal dari Solo itu terpaksa keluar masuk rumah sakit untuk mencari seorang bayi yang ibundanya hidup tidak mampu. Di Rumah Sakit  Haji perempuan itu dipertemukan dengan seorang ibu yang baru saja melahirkan.
            “Ambillah anak saya,Bu. Saya rela. Saya ikhlas,”  ibu yang baru melahirkan itu mengiba.
            Perempuan Jawa itu memperhatikan bayi mungil yang baru lahir. Cantik bayi itu  dan tangisnya melengking.  Rasanya bayi itu amat cocok untuk dijadikan anak angkat.
            “Saya butuh uang,Bu. Suami saya sakit dan butuh perobatan dan saya tidak punya uang.”
            Perempuan itu melakukan tawar menawar tentang ganti rugi bayi mungil itu. Pada saat itulah ,seseorang perempuan tua mendatanginya dan berkata.
            “Ibu seorang muslimah yang taat. Jangan ambil bayi itu!.”  ujar seseorang perempuan  yang mendatanginya.
            “Kenapa?”
            “Perempuan itu berbohong.”
            “Bohong bagaimana?”
“Dua kali dia melahirkan, dua kali akibat hubugan gelap. Sampai sekarang tidak jelas  keberadaan suaminya. Dua kali melahirkan bayi, dua  kali karena  perbuatan dosa. Bayi itu bayi haram!.”
Perempuan  suku Jawa itu tercenung. Tentu saja dia tidak ingin mengasuh seorang bayi haram. Tentu saja dia tidak ingin memiliki anak yang lahir karena perbuatan dosa. Ibu bayi itu seorang perempuan cantik dan bekerja di tempat hiburan malam.  Dosa bergelimangan di tempat hiburan malam.  Hiburan malam adalah tempat menghamburkan uang.  Dan juga  dosa.
            Tuhan sepertinya memberi petunjuk agar Bu Hartati tidak sembarangan mengambil anak angkat.
            Seperti ada  petunjuk kepada Bu Hartati untuk menyinggahi rumah sakit  Malahayati. Di rumah sakit itu dia bertemu dengan perempuan yang melahirkan bayi kedua.
            “Sebenarnya  saya tidak sampai hati melepas bayi saya untuk diasuh orang lain,”  ujar perempuan yang  sudah dua kali  melahirkan itu. “Sebab bayi ini adalah darah daging saya.  Tapi keadaan hidup yang teramat  susah menyebabkan saya harus rela anak saya diasuh orang lain. ”
            “Dimana suami ibu?”
            “Suami saya seorang te-ka-i yang bekerja di Quwait. Pada awalnya hubungan komunikasi dengan suami saya berlangsung lancar. Namun sebuah kerusuhan  terjadi di tambang minyak di sana  dan suami saya tewas.”
            Ibu yang baru melahirkan itu masih sempat menunjukkan foto-foto suaminya di sebuah pertambangan minyak di Quwait.
Kasihan, cetus Bu Hartati dalam hati.  Cantik bayi itu. Mungil dan lincah. Kasihan,ayahnya terbunuh ketika tejadi perkelahian antar buruh kilang minyak asal Indonesia itu dengan buruh yang berasal dari Bangladesh.  Suaminya meninggal di negeri orang ketika mencari nafkah.  Begitulah kehidupan, terkadang mencari nafkah harus di negeri orang. Dan tantagannya adalah kematian atau setidak-tidaknya penderitaan.
            Berbagai masalah terjadi pada te-ka-i di negeri orang.  Lebih parah lagi peristiwa yang dialami te-ka-we.  Ada yang diperkosa majikan, ada yang dianiaya , ada pula yang tewas karena ulah majikan. Yang pulang dengan tubuh cacat juga banyak. Namun, meskipun banyak masalah yang terjadi  para perempuan terus saja berjubel ingin bekerja di luar negeri. Semua karena tekanan hidup. Semua karena sejengkal perut.
            Perempuan Jawa itu tidak segera membawa bayi mungil itu pulang ke rumahnya.  Perempuan itu harus menyelidiki  dari   jiran tetangga ibu yang baru melahirkan. Perempuan Jawa itu puas ketika jiran tetangga itu mengatakan ,bahwa ibu yang baru melahirkan itu adalah ibu yang baik, solihah dan suaminya benar-benar tewas akibat perkelahian dengan buruh yang berasal dai Bangladesh di Quwait.
            Bu Hartati membawa bayi mungil itu pulang. Dia menciumnya dengan kasih sayang  seperti dia menyayangi putra tunggalnya yang tewas akibat unjuk rasa anarchi di lahan perkebunan.
            “Jadilah anak ibu yang baik,anakku,” terdengar suara bu Hartati meni,smh bayi mungil itu dan memberinya susu kaleng.
            Di rumah yang besar dan megah itu terdengar suara azan di siang bolong. Suami Bu Hartati menganggap bayi itu seperti bayi yang lahir dari rahimnya sendiri.  Karena itulah kehadirannya di rumah itu dikumandangkan azan seperti yang dilakukan keluarga muslim yang menyambut kelahiran bayi lelaki. Di rumah itu, bayi itu dianggap sebagai anak sendiri, dianggap lahir dari rahim Bu Hartati.
            “Kuberi namamu Hanafi,anakku.  Sebuah nama seorang ulama besar, seorang imam yang fahamnya banyak dianut umat Islam sedunia dan juga seorang mujtahid.”
            Seperti anak sendiri pula, kehadiran bayi lelaki harus disambut dengan upacara kenduri penabalan nama dan pengguntingan rambut. Terdengar barjanzi dan marhaban dilantunkan orang pada acara kenduri  aqikah  yang meriah.
            Hanafi!. Nama yang bagus. Itulah kesan dan ucapan para tamu yang menikmati hidangan aqikah dua ekor kambing yang diolah amat lezat oleh keluarga yang datang dari Solo..  Kerabat dari Jawa itu tidak dapat berbuat banyak bila pilihan Bu Hartati jatuh pada seorang bayi yang ayahandanya meninggal di negeri orang.
            “Semoga jadi anak yang baik dan solih,”  itulah harapan semua tamu yang hadir. “Semoga  jadi sarjana seperti Faisal.”
            “Amien!,”  sahut Bu Hartati dengan wajah cerah. Kehadiran bayi lelaki itu memang menjadi  obat paling mujarab untuk mengusir penyakit traumatik dalam jiwa  perempun Jawa  itu. Tidak pernah lagi Bu Hartati berteriak-teriak sendiri karena ketakutan didatangi para pengunjuk rasa yang membawa  pentungan, parang dan tombak.
            Perempuan jawa itu tidak pernah  lagi  mengeluh karena di tengah malam yang sepi dan dingin harus bangun mengganti popok si kecil karena pipis dan memberinya susu botol.
            “Tidurlah ,anakku. Tidurlah sayang.”  ujarnya dan mencium pipi mungil itu.   Ketika bangun pagi  wajah   perempuan Jawa itu tampak amat cerah. Tidak ada lagi benang kusut di wajahnya. Tidak ada lagi ketakukan.
            Di tengah malam sepi, selalu terdengar suara perempuan Jawa melantunkan tembang Tombo Ati, sebuah tembang religi yang disenangi oleh  masyarakat berdarah Jawa  dan juga masyarakat muslim lainnya di negeri ini.
            “Tombo ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Qr’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
            Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
            Kaping papat kudu weteng inkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe

Salah sawijine sopo iso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani.”

Tembang itu seakan meresap dalam dada sang bocah sehingga tertidur pulas.  Tembang yang bagus itu seakan meresap hingga ke seluruh aliran darah bocah itu, hingga ke ubun-ubunnya dan jantungnya. Bayi itu tidur pulas hingga pagi.
            “Kamu mau jadi apa setelah dewasa nanti,anakku?. Mau jadi dokter?  Mau jadi sarjana hukum untuk membela kebenaran?. Atau mau jadi insinyur biar mampu membuat pesawat terbang?.”
            Bu Hartati selalu berkata-kata dengan bayi mungil itu.
            “Kamu harus jadi orang pintar. Yang penting jangan jadi sarjana pertanian, tidak usah jadi pengusaha perkebunan. Jangan sampai peristiwa yang menipah Faisal berulang atas dirimu, anakku. “
            Peristiwa tewasnya putra tunggal Bu Hartati memang amat mengerikan. Perempuan Jawa itu sudah sepakat dengan suaminya untuk tidak membuka lahan baru, mereka sepakat cukuplah memiliki kebun seluas 1.000 hektar. Hasilnya sudah cukup lumayan. Cukup untuk hidup mapan. Cukup untuk membiayai ibadah haji tiga atau empat kali lagi meskipun ke tanah suci menggunakan fasilitas o-en-ha plus.
            Jangan hidup ini jadi rakus dan tamak. Jangan menumpuk uang dan harta. Jangan diperbudak oleh uang. Jangan  jadi manusia ubud dunia. Itulah tekad Bu Hartati dan suaminya.
            Bayi mungil itu cepat besar. Dua tahun usianya, bocah itu amat lincah bermain. Pada umur dua tahun mainan yang diberikan ibu angkatnya sudah sangat banyak, mulai dari robot, mobil tanker,  tank tempur, pesawat heli dan banyak lagi. Juga senapan mesin. Terkadang ibu angkatnya ikut bermain pesawat heli, sementara bocah lelaki itu bermain tank yang moncong meriamnya dapat berputar-putar dan sirenenya meraung-raung.         
            “Ayo tembak,Bu. Tembak!,” ujar bocah dua tahun itu dengan logat yang lucu.
            “Dooor!. Dooor!,” sang ibu angkat menirukan suara tembakan dari moncong senapan mesin dari pesawat heli yang diangkat ke udara.
            Bocah cilik dan sang ibu angkat itu amat asyik bermain. Bu Hartati benar-benar sembuh dari penyakit traumatik yang menghantui jiwanya selama ini. Perempuan Jawa itu benar-benar lupa pada tragedi kematian putranya yang tewas dikeroyok pendemo yang anarchi.
                                                            ***
K
etika itulah, ketika bocah dua tahun itu sedang bermain dan bercanda dengan ibu angkatnya, terdengar sebuah taksi memasuki halaman rumah besar itu. Dua orang penumpangnya yang tampak seperti suami istri turun dan mengucapkan salam. 
            Sesaat perempuan Jawa itu berpikir, siapa tamu yang datang?. Tapi sesaat kemudian segera ingat benar, bahwa tamu perempuan yang datang adalah ibu yang melahirkan Hanafi ke dunia di rumah sakit Malahayati.
            “Maafkan saya,Bu.”  ujar tamunya setelah memperkenalkan lelaki di sisinya sebagai  suaminya. “Saya datang untuk meminta anak saya kembali.”
            Kata-kata itu amat mengejutkan perempuan Jawa itu.  Bu Hartati  kaget seperti disambar petir.  Dia sudah teramat menyayangi bocah itu,sebagai anaknya sendiri, sebagai darah dagingnya sendiri. Tiba-tiba, sekarang ibu bocah itu akan mengambilnya kembali.
            “Saya akan mengembalikan uang yang sudah ibu berikan kepada saya dulu!”
            “Rasanya tidak mungkin. Bocah itu sudah sangat lekat di hati saya. Tidak mungkin lagi saya berpisah dengannya.”
            “Tapi suami saya sangat menginginkan anak itu kembali kepada saya.”
            “Tidak mungkin. Saya tidak dapat memberikannya.”
            “Tolonglah saya,Bu. Izinkan saya mengambil kembali anak yang saya lahirkan. Dia anak saya. Saya yang melahirkannya. Sekarang saya tidak punya siapa-siapa lagi..”  Sang tamu memelas.
            “Bukankah anak ibu masih  ada satu lagi?,” sahut Bu Hartati  berusaha mempertahankan bocah yang sudah diasuhnya dengan kasih sayang dan cintanya  selama lebih  dua tahun.
“Anak saya yang pertama meninggal karena ditabrak sepeda motor di depan rumah saya.”
Sang tamu menangis tersedu-sedu ketika menceritakan tentang anaknya yang pertama yang tewas karena ditabrak sepeda motor. Bu Hartati tetap mempertahankan bocah itu..
“Maaf saya tidak dapat memberikannya. Saya tidak dapat berpisah dengan anak ini.”  Perempuan kelahiran Solo itu memeluk Hanafi  erat-erat.
“Tolong saya,Bu. Bantu saya. Suami saya sangat menginginkan anak itu kembali kepada kami.”
“Bukankah ibu tidak punya suami lagi?. Bukankah ibu pernah berkata suami ibu tewas ketika bekerja di Quwait?”
Dengan diiringi derai air mata  sang tamu menuturkan suaminya yang pernah bekerja di sebuah pertambangan minyak di  Quwait dan terlibat perkelahian dengan buruh  dari Bangladesh.
“Bagaimana suami anda dapat kembali karena sudah meninggal di sana?,”  Bu Hartati keheranan.
“Suami saya memang pernah terlibat perkelahian di kilang minyak di Quwait…”  Sang tamu tidak mampu bercerita tentang tragedi yang dialami suaminya selama bekerja sebagai te-ka-i di negeri Arab tersebut. 
Bu Hartati membiarkan seorang lelaki yang menyertai tamunya ke rumah besar itu berkata-kata:
“Saya bekerja di tengah gurun pasir di bagian pengeboran minyak. Sepuluh orang bekerja di sana, satu dari Indonesia, tiga dari Afrika dan enam dari Bangladesh.,”  lelaki suami tamunya mulai bertutur  tentang kisah sedih yang dialaminya di  negeri orang.
“Bagaimana awalnya kerusuhan itu terjadi?,”  Perempuan Jawa itu ingin tahu.
“Salah seorang buruh dari Bangladesh itu kehilangn uangnya. Dia menuduh saya sebagai pencuri uangnya.”
“Bagaimana dia bisa menuduh anda sebagai pencuri uangnya?”
“Itulah!. Indonesia di luar negeri dianggap sarang penjahat. Semua orang negeri kita dianggap sebagai maling karena pemberitaan di berbagai media yang menyiarkan banyak sekali kasus korupsi di negeri kita.”
Dengan sejujurnya lelaki yang baru pulang dari Quwait itu menuturkan, bahwa dimanapun berada, orang selalu mengatakan,bahwa negara ini adalah negeri sarang penyamun. Para gubernur terlibat kasus korupsi. Kepala daerah banyak yang menjadi maling berdasi. Anggota de-pe-er di kursi terhormat menjadi tikus. Bekas menteri juga banyak yang terlibat kasus korupsi.
Menggelapkan duit rakyat sudah merata di mana-mana, hingga ke daerah-daerah sehingga timbul anggapan di luar negeri semua warga negara Indonesia adalah maling. Maling. Jahat. Koruptor. Pencuri. Tikus. Penjahat besar!. Itulah kesan orang luar negeri terhadap rakyat Indonesia.  Padahal yang melakukan kejahatan itu hanya sekelompok orang. Hanya pejabat. Hanya birokrat!.  Tapi yang jadi korban anggapan miring adalah semua warga negeri ini.
“Karena itulah saya juga dianggap maling oleh buruh dari Bangladesh, padahal  saya tidak melakukan.. Saya marah dan terjadi pertengkaran yang akhirnya menjadi perkelahian.  Harga diri saya seperti diinjak-injak oleh buruh dari Bangladesh itu. Tentu saja saya tidak terima. Saya memukul kepalanya dengan besi  dan tidak menyadari, bahwa orang Bangladesh ada enam orang sementara saya hanya sendiri. Saya diserang dengan besi hingga tidak berdaya. Saya pingsan.”
“Jadi anda tidak meninggal?”  sela Bu Hartati.
“Saya hanya pingsan, tapi kabar yang sampai di keluarga saya di tanah air, bahwa saya meninggal.”
“Lalu bagaimana yang terjadi sebenarnya?,” Perempuan Jawa itu ingin tahu.
“Saya hanya pingsan dan tidak berdaya. Tubuh saya dibuang di tengah padang pasir yang sunyi dalam keadaan penuh luka-luka dan tidak berdaya.”
Lelaki itu menujukkan bekas luka ditubuhnya. Lelaki itu menuturkan lagi, selama 3 jam dia terbaring di tengah gurun pasir yang terik dan gersang. Angin gurun yang berhembus membawa pasir gurun dan tubuh yang luka itu ditutupi pasir gurun.
“Untunglah ada lima orang mahasiswa Indonesia yang sedang mengadakan penelitian kehidupan di padang pasir. Mereka mengenderai unta menelusuri gurun pasir dan menemukan tubuh saya tertimbun pasir gurun.”
“Dari mana mahasiswa itu?”
“Mereka mahasiswa Indonesia dari Universitas Islam Al Azhar. Merekalah yang membawa saya ke rumah sakit.”
Perempuan Jawa itu ikut merasa sedih mendengar penuturan itu. Sebuah mukjizat  telah  terjadi dan menyelamatkan tubuh yang malang itu. Andainya tidak ada mahasiswa yang sedang mengenderai unta untuk melakukan penelitian dipastikan lelaki itu sudah mati karena luka-luka yang dideritanya dan karena panas terik  di tengah gurun pasir.
“Berbulan-bulan saya dirawat di rumah sakit karena saya mengalami gegar otak. Setelah saya dinyatakan sehat  saya diijinkan keluar dari rumah sakit.  Saya trauma melihat orang-orang Bangladesh itu. Saya tidak ingin bekerja  lagi di perminyakan.”  kata lelaki itu lagi.
“Lalu bekerja di mana?”
“Saya bekerja di rumah sakit tempat saya dirawat, sampai suatu saat saya pulang ke tanah air.”  Dan lelaki itu mengatakan di rumah sakit itu dia dipercaya menangani bidang kelistrikan, lift, alat pendingin udara dan dapur.
Perempuan Jawa itu menghela nafas panjang. Betapa menyedihkan nasib orang Indonesia.  Karena tingginya angka korupsi di negeri yang elok ini berakibat semua  we-en-i dianggap jahat. Karena banyaknya maling berdasi dipemerintahan, seluruh rakyat Indonesia menjadi korban anggapan buruk. Semua dianggap pencuri. 
Alangkah sedihnya nasib anak bangsa ini. Semua dianggap tikus karena prilaku birokratnya. Akankah sampai kiamat negeri ini jadi sarang maling?. Akankah sampai kiamat semua anak bangsa ini dianggap jahat?. Sesaat perempuan Jawa itu menekur.
Ketika Bu Hartati sedang menekur itulah tamunya berkata lagi:
“Hanya keajaibanlah yang menyelamatkan suami saya,”.
“Saya ikut sedih.”
“Selama ini saya menganggap suami saya sudah menemui kematiannya di negeri orang. Tapi Tuhan masih melindunginya. Saya masih beruntung tidak sempat menjadi janda.”
Bu Hartati menekur. Dia menyadari tamunya datang  untuk meminta kembali anak yang dilahirkannya dan sudah lebih dua tahun diasuh Bu Hartati dengan kasih sayang dan dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. Sanggupkah aku melepaskan bocah ini kembali kepangkuan ibunda yang melahirkannya. Rasanya aku tidak sanggup. Lama perempuan Jawa itu menekur.
“Saya mohon bantuan ibu. Saya mohon kesediaan hati ibu. Saya mohon kelembutan ibu. Perkenankan saya mengambil kembali anak saya yang sudah lama dalam asuhan ibu.”
“Saya sudah terlalu mencintai anak itu. Dia adalah buah hati saya meskipun bukan saya yang melahirkannya. Rasanya saya tidak sanggup untuk melepasnya dari tangan saya,”  perempuan Jawa itu menuturkan isi hatinya.
“Tolonglah saya,Bu. Bantu saya!.”  Sang tamu  mengiba  dengan suara rendah.
“Mungkin saya akan pingsan kalau Hanafi pergi dari sisi saya. Mungkin saya akan mati berdiri kalau tidak ada Hanafi ” Perempuan Jawa itu menyebut nama bocah itu.
“Izinkan saya membawa Hanafi ke rumah saya kembali.”  tamunya tetap mengharap penuh rasa iba.
“Kalau Hanafi meninggalkan saya esok atau lusa saya akan jauh sakit  karena dia sudah mendarah daging dalam diri  saya. Hari-hari berikutnya mungkin saya akan mati.  Saya akan mati. Saya akan mati,”  katanya berulang-ulang dengan nada sedih.
“Mudah-mudahan ibu panjang umur. Ibu boleh datang ke rumah saya setiap saat untuk menjenguk Hanafi.Ibu boleh menciumnya,  ibu boleh menggendongnya.”
Perempuan Jawa itu tidak mampu membendung air mata. Dia tersedu.  Hatinya amat hancur, Hanafi akan meninggalkannya. Perempuan  suku  Jawa itu amat sedih karena kehilangan putra tunggalnya, kemudian seorang bocah yang sudah lekat di hatinya kini direnggut ,kembali ke pangkuan ibu kandungnya.
                                      ***
A
ir mata berderai di pipi perempuan Jawa itu ketika bocah hampir 3  tahun itu digendong ibu kandungnya.  Air mata di pipinya seperti hujan lebat yang tercurah dari langit. Lama dia mencium bocah itu, hingga rambutnya basah oleh derai air matanya.
“Selamat jalan ,anakku.  Selamat jalan, Hanafi.” ucapnya dan mencium bocah balita  itu untuk terakhir kalinya.
Berhari-hari dadanya terasa perih. Bahkan beminggu-minggu kesedihan menggurati hatinya. Selama ini, sepanjang hari dia hanya bercanda dengan si kecil itu sehingga bunga-bunga di halaman rumahnya tidak tersentuh oleh tangannya yang mulus. Rumpun bunga dolores yang cantik dan warna-warni itu tampak layu karena berhari-hari tidak disiram. Juga rumpun tanaman  legasi dan aurora Siam juga layu  karena tidak dipupuk. Nasib anggrek juga kehilangan keindahannya karena pemiliknya lalai. Juga nasib anyelir tampak terkulai. Semua bunga jenis aglaonema tampak menyedihkan.
Sudah amat lama perempuan Jawa itu tidak menyentuh bunga-bunga nan elok itu. Apalagi ikan arwana merah  dalam akuarium  yang berharga mahal itu tampak kurus dan geraknya dalam air tampak lesu dan tidak gairah. Bahkan arwana merah itu hampir mati.
Air mata perempuan Jawa itu berderai lagi ketika menyiram bunga-bunga itu. Dua kali perempuan itu mengalami kesedihan. Dua kali dia mengalami kehancuran. Yang pertama ketika putra tunggalnya tewas mengenaskan ketika menghadapi demonstran. Lalu kesedihan itu datang  lagi ketika seorang anak asuh yang sudah sangat lekat di hatinya diambil kembali oleh ibu kandungnya.
Perempuan itu hanya mampu menangis. Air matanya menitik di rumpun bunga anggrek.  Di depan akuarium pun air matanya masih menitik. Dua ekor arwana merah berhenti bermain dan menatap wajah perempuan itu.
“Mengapa sedih,wahai ibunda?. Mengapa menangis ,wahai ibu?,”  ikan arwana merah itu menyapa dalam bahasa ikan.
“Hapuslah air mata bunda,” ujar ikan arwana merah itu.  Namun air mata perempuan Jawa itu  terus saja mengalir.
Stres dan traumatik kembali menyiksa batinnya,bahkan semakin berat. Karena selama hidupnya,selama menjejakkan kakinya di bumi Sumatera dua kali kehilangan. Anak tunggalnya tewas mengenaskan, kemudian anak angkat yang mulai disayanginya diambil kembali ke pangkuan bundanya.
Kini perempuan Jawa itu kembali selalu termenung, selalu digoda ketakutan. Kadang-kadang ketika memangkas tanaman bonzai di halaman rumahnya, tiba-tiba muncul seseorang yang merampas bunga kesayangannya. Juga ketika memberi makan ikan arwana merah di akuarium itu tiba-tiba dari dalam air muncul wajah-wajah bringas yang membawa pentungan.
Tiba-tiba saja tubuh Bu Hartati menggigil ketakutan.
“Pergi!. Pergiiii. Jangan ganggu aku!,” teriaknya.
Tentu saja sang suami heran lalu segera menghampiri dan menyentuh pundaknya.
“Siapa lagi yang menggoda ibu?.”
“Orang-orang bringas itu datang lagi membawa pentungan. Bantu saja saya mengusirnya. Tembak mereka. Tembak mereka yang membawa pentungan ke rumah kita!.” Tubuh perempuan itu bermandi peluh dingin.  Perempuan Jawa itu tahu suaminya memiliki senapan buru untuk mengusir babi hutan di kebun.
“Tidak ada siapa-siapa yang masuk rumah kita. Di sini aman!”
Tetap saja Bu Hartati mengatakan,bahwa ada seseorang yang datang membawa pentungan dan wajahnya tampak bringas.Mereka tampak seperti orang-orang  yang lapar.
“Kita perlu mencari seorang anak lagi, seperti Hanafi. Biar ibu tidak berpikir yang bukan-bukan. Biar ibu tenteram.”
“Siapa lagi yang akan kita ambil untuk jadi anak angkat?. Setahun dua tahun akan diambil lagi  oleh ibu kandungnya. Sia-sia saja kita mengasuh dan menyayanginya.” Bu Hartati tidak acuh. Hanafi yang kembali ke pangkuan ibu kandungnya amat memukul jiwanya.
“Ada seorang anak yang tidak akan dijeput ibu kandungnya setelah tinggal di rumah kita,”  cetus suaminya.
“Siapa anak itu?. Bisakah kita menyayangi dia?”
“Bisa!”
“Masih bayikah anak itu?”
“Tidak. Kita tidak perlu repot mengganti popoknya. Kita tidak perlu ngantuk karena membuat susu botolnya.”
“Kalau begitu bocah itu sudah besar!”
“Ya,sudah dewasa.”
“Siapa dia?”  Bu Hartati ingin tahu. Tatapan matanya tajam.
“Anak nelayan  yang sekarang sudah dewasa.”
Di benak Bu Hartati mendadak muncul dua wajah anak nelayan, Iqbal dan Laila.”
“Lailakah?.”
“Bukan!. Laila tidak bisa meninggalkan ibunya yang janda. Lagi pula usaha sembako miliknya di desa itu sudah sangat berkembang. Hidup mereka lumayan sekarang, jauh lebih baik dari kehidupan nelayan di desa pantai itu.”.
Sepasang bibir perempuan Jawa itu bergetar menyebut sebuah nama yang amat lekat di hatinya:
“Iqbal!”
“Benar!. Iqbal hampir tamat es-em-a. Apa salahnya Iqbal tinggal bersama kita di rumah ini. Kita dapat membiayai kuliahnya. Iqbal dapat menjadi pengganti anak kita, Faisal dan sekali gus Hanafi.”
“Rasanya pilihan yang tepat.”
“Apa lagi Iqbal adalah siswa yang berprestasi di sekolahnya. Iqbal akan mudah masuk perguruan tinggi.”
“Apakah Iqbal memang bercita-cita untuk masuk perguruan tinggi?”
“Diam-diam  bapak  sudah selalu menghubunginya. Iqbal pingin jadi dokter,terutama dokter mata untuk dapat mengobati sahabatnya, Laila.” 
Perempuan Jawa itu manggut-manggut dan menatap suaminya.
“Kapan kita akan membawanya ke rumah kita,” Bu Hartati seperti tidak sabar.
“Iqbal sudah oke. Tinggal dia ingin pamit.”
“Pamit dari ibunya?”
“Bukan dari ibunya, tapi pamit dari sahabatnya,Laila.”
Persahabatan mereka amat akrab, persahabatan yang sudah bertahun-tahun terjalin. Persahabatan yang amat kukuh dan tidak akan rapuh oleh angin kencang atau gempa dahsyat. Persahabatan itu tidak akan hancur kecuali oleh kematian.
                                        ***
P
ipi yang kemerahan itu basah oleh derai airmata. Seperti ada anak sungai kecil yang airnya deras di pipi  gadis berdarah nelayan itu. Hatinya hancur berkeping-keping seperti cermin yang terhempas di atas batu cadas.  Dadanya terasa remuk, seperti tertimpa sebatang pohon nyiur. Laila amat sedih ketika Iqbal pamit untuk tinggal di rumah bu Hartati di kawasan elite Setia Budi. Belum pernah Laila merasakan kesedihan seperti saat itu, seperti pada saat sahabatnya akan meninggalkanya.
Mereka berdua duduk di atas pasir putih yang terhempang amat luas.  Mereka melihat elang yang terbang  berpasangan dan terbang rendah. Mereka melihat buih ombak yang bergulung-gulung membentur bibir pantai. Mereka menyaksikan perahu nelayan menuju laut lepas dan baru esok akan pulang.
Burung elang saja tidak ingin berpisah dari pasangannya,apalagi manusia.
Sepasang anak manusia itu bukan lagi bocah ingusan, tapi sudah menjadi gadis remaja  dan jejaka. Mereka sudah mengantongi ijazah es-em-a dan keduanya mendapat hadiah dari kepala sekolah karena paling berprestasi.
Belum pernah perpisahan itu terjadi. Sulit bagi Laila untuk membendung air matanya.  Lama Laila menangis dan tersedu.
“Aku tidak sanggup untuk berpisah,Iqbal,”  suara itu  terdengar diantara  debur ombak.
“Kuatkan hatimu,Laila,” bujuk Iqbal.
            “Aku tidak kuat,Iqbal. Hatiku  rapuh. Hatiku hancur.”  Laila tersedu lagi.  “Siapa lagi yang akan menjadi sahabatku setelah kamu pergi.”
            “Masih banyak anak-anak nelayan yang akan berbuat baik kepadamu. Masih ada Uteh, Alang dan banyak lagi.” Iqbal menyebut sejumlah nama sahabatnya sesama anak nelayan yang kini sudah menjai dewasa. Semua anak nelayan, bahkan beberapa orang sahabatnya sudah ada yang ikut melaut  mencari nafkah. Mau jadi apa lagi kalau tidak jadi nelayan?. Tidak ada kehidupan lain di desa pantai  yang terletak di Selat Malaka itu.
“Sulit untuk mendapakan sahabat seperti kamu.”
“Aku akan selalu pulang kemari. Aku akan selalu menemuimu. Jangan merasa kamu sudah kehilangan aku,”  bujuk Iqbal lagi dan menggenggam jari tangan  sahabatnya  erat-erat.  Iqbal mengecup jari-jemari sahabatnya yang lentik.
            “Mungkin aku akan jatuh sakit setelah kamu jauh dariku. Atau hidupku yang gelap tidak akan punya arti lagi.”
            “Jangan berkata begitu,Laila. Lepaskan aku pergi dengan rela. Izinkan aku pergi untuk merobah nasib.  Aku akan tetap jadi nelayan seperti kawan-kawan kita lainnya kalau aku tidak pergi dari desa ini.  Cuma jadi nelayan, itulah kehidupan yang ada di desa kita. Cuma sebagai  nelayan dan miskin.”
            “Aku takut setelah kamu meninggalkan aku, hidupku akan semakin gelap, hampa dan tidak punya arti apa-apa. Aku akan menghadapi hari-hariku dengan  derai air mata.”  Kata-kata itu diucapkan Laila dengan iringan derai airmata yang semakin deras.
            “Yakinlah persahabatan kita yang sudah terjalin bertahun-tahun tidak akan hancur. Kita akan selalu berhubungan, kita akan selalu berkata-kata tentang kerinduan. Bu Hartati sudah berjanji akan memberiku sebuah telepon genggam yang bagus  dan untukmu juga, sehingga kita dapat saling berkata-kata.”
            “Kita tidak akan pernah lagi-lagi duduk-duduk di atas pasir seperti ini.”
            “Kenapa tidak?. Aku akan selalu pulang ke pantai ini. Bu Hartati sudah berjanji untuk mengizinkan aku sesekali pulang kemari “
Laila berusaha menyeka air mata di pipinya yang kemerahan.. Dia membiarkan jari-jari tangannya  tetap digenggam amat erat oleh sahabatnya.
“Jangan menangis terus, Laila. Ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu.Dengarlah!”:
Gadis berdarah  nelayan itu berusaha menahan isaknya dan mengangkat wajah memandang ke arah sahabatnya,padahal dia hanya memandang dengan mata hatinya.
“Apa yang ingin kamu katakan kepadaku?  Sebuah janjikah bahwa kamu tidak akan melupakan aku?. Bahwa kamu akan selalu pulang menemuiku?”
“Tidak hanya itu!”
“Lalu tentang apa lagi?”
“Aku akan tinggal di rumah Bu Hartati  dengan sebuah iktikad yang sangat mulia,Laila.”
“Mulia bagaimana?”
“Kamu harus ingat,bahwa kehidupan di desa ini hanya sebagai nelayan. Kalau aku tetap di desa ini paling-paling hanya jadi nelayan  dan hidup miskin.  Aku igin merubah nasibku ke arah kehidupan yang lebih baik.”
Laila hanya menghela nafas panjang.
“Apakah di rumah besar itu kamu akan jadi pelayan?. Apakah  dirumah besar itu  kamu akan jadi satpam?. Untuk apa kita berpisah lama dan jauh kalau kamu hanya jadi satpam.”
“Tidak. Kita sudah tahu kebaikan hati Bu Hartati dan suaminya. Putra tunggalnya tewas mengenaskan. Di rumah besar itu tidak ada siapa-siapa  lagi kecuali Bu Hartati dan suaminya serta sepasang kucing anggora.”
“Kamu akan dijadikan anak angkat menggantikan putra tunggalnya?. “
“Ya!.”
“Mudah-mudahan semua berlangsung baik-baik saja. Semoga di rumah itu kamu tidak menjadi satpam.”
“Aku akan diberi kesempatan kuliah  seperti almarhum anaknya. Aku akan kuliah di Fakultas Kedokteran. Aku harus jadi dokter untuk mengobati matamu.  Aku bersumpah, harus jadi dokter dan harus mampu membuatmu sembuh dan dapat melihat dunia seperti manusia normal lainnya.Aku bersumpah, demi Allah.
Aku harus jadi dokter dan mengobatimu.  Kamu harus dapat melihat dunia. Kamu harus sembuh apapun yang terjadi di antara kita!.”  Itulah tekad yang dijanjikan Iqbal di depan sahabatnya disaksikan oleh ombak laut dan elang serta awan putih yang berarak-arak.
            “Terima kasih,Iqbal. Kamu adalah sahabatku yang paling baik.”  Sahut Laila dan tiba-tiba saja rebah di dada Iqbal yang tegar.
            Ketika itulah, ketika Laila rebah di dada Iqbal, lelaki muda itu membelai rambutnya  dan membelai pundaknya dengan kasih sayang.
            “Apapun akan kulakukan untukmu,Laila  Kalau perlu  setelah aku tinggal di Medan nanti akan kucari seseorang  yang bersedia meyumbangikan matanya untukmu.”  Iqbal berkata sungguh-sungguh.
            “Adakah seseorang yang mau jadi donor mata?. Adakah manusia yang dirinya normal  lalu mendonorkan matanya?  Kukira tidak ada,  sebab dunianya akan menjadi gelap  seperti yang kuderita selama ini.”
            “Aku yakin ada!”
            “Kalau tidak ada bagaimana?”
            “Kalau tidak ada, sebuah mataku akan kuberikan kepadamu. Biarlah aku jadi dokter  yang hanya memiliki sebelah mata.”
            “Oh,Iqbal. Hatimu amat mulia.”  Laila masih tetap rebah di dada sahabatnya. Amat lama.  Masih saja Iqbal membelai rambut Laila.
“Aku sudah memikirkannya dalam-dalam, kalau aku menolak permintaan Bu Hartati dan suaminya, itu artinya aku akan tetap jadi nelayan miskin yang tidak dapat berbuat apa-apa untukmu.”
“Aku selalu berdoa untukmu,Iqbal.  Tapi izinkan aku menyebut namamu kalau aku rindu padamu.”  Pinta Laila masih rebah di dada sahabatnya.
“Tentu saja!.  Aku  juga akan selalu menyebut namamu. Aku akan selalu merindukanmu  tiap saat.”
Ombak berdebur hingga ke pantai. Air laut sudah menyentuh bibir pantai  dan kaki sepasang sahabat itu  dibasahi air laut. Mereka masih bertahan duduk di tepi laut itu.
                                 ***
K
asihan gadis tunanetra itu. Hatinya hancur berkeping-keping. Dadanya terasa remuk. Gadis malang itu merasa tidak punya siapa-siapa lagi, ayahanda direnggut laut yang marah,tsunami, sahabat telah pergi. Miliknya sekarang hanya sepi dan kehampaan. Miliknya hanya rindu  pada sahabat.
Kalau rindu pada sahabatnya amat menyenak dalam dadanya, gadis itu berjalan ke arah laut. Gadis itu memandang laut lepas,padahal yang tampak adalah kegelapan. Tapi gadis buta itu memandang laut dengan matahatinya.
Di tepi laut yang terletak di Selat Malaka itu, air mata gadis itu selalu mengalir. Akankah Iqbal sesekali pulang ke pantai ini?. Akankah aku akan kehilangan untuk selamanya?.  Gadis itu selalu bertanya kepada laut yang berdebur di depannya.  Kepada siapa lagi gadis itu mengadukan kesedihan hatinya kalau tidak kepada laut yang tiap hari berdebur?.
“Mengapa bersedih ,wahai gadis cantik. Mengapa menangis di tepi laut ini,sayang?.”  Burung laut selalu terbang rendah dan menyapanya.  Angin yang berhembus  mempermainkan pucuk pohon nyiur juga seperti bernyanyi untuknya.
“Jangan bersedih. Jangan berduka. Sahabatmu pergi untuk masa depanmu agar tidak selamanya engkau dalam kegelapan,”
“Gembirakan hatimu. Pandanglah ke depan.  Kamu akan melihat masa depan yang cerah bersama  sahabatmu,bukan kegelapan.”
Perlahan gadis tunanetra itu menyeka air mata di pipinya yang kemerahan.
Andainya dia tidak mendengar suara elang laut, andainya angin yang  berhembus tidak menyapanya, mungkin gadis itu akan jatuh sakit karena tidak mampu menahankan rasa kehilangan pada dirinya. Terkadang berjam-jam gadis tunanetra itu berada di tepi laut  dan membiarkan kakinya basah terendam air laut. Pada debur ombak laut gadis itu kirim salam kerinduan untuk sahabatnya.
“Sebut namaku,Iqbal .  Sebut namaku!,” kalimat itulah yang selalu dikatakan gadis itu kepada debur ombak  atau kepada elang laut yang terbang rendah. Awan putih yang berarak di langit biru seperti berbisik kepadanya agar hatinya tidak terlalu dilanda kehancuran.
“Sahabatmu memiliki hati mulia,Laila. Sahabatmu sedang berada di kampus menimba ilmu. Sahabatmu akan menjadi dokter yang baik.  Sahabatmu sedang mencari seseorang yang mau menyumbangkan matanya.  Tapi  di dunia mana ada seseorang yang mau memberikan matanya?.  Mata adalah organ tubuh yang paling penting dan disayangi. Gelandangan  paling miskipun pasti akan mempertahankan sepasang matanya. Biarlah miskin tapi tetap dapat melihat dunia yang indah”,  Awan yang berarak di langit biru seperti menghiburnya.
Gadis tunanetra itu masih menatap laut dengan mata basah  dan mendengar suara lagi:
“Yakinlah, sahabatmu akan berbuat yang terbaik untukmu. Sahabatmu sedang berusaha agar kamu dapat melihat.”
Memang lelaki itu sudah bersumpah akan berbuat yang terbaik untuk sahabatnya. Iqbal rela meninggalkan desanya, rela meninggalkan sahabatnya yang  selalu menangis. Lelaki itu tiap hari hadir di kampus mengepit buku-buku dan diktat kuliah.
Lelaki muda itu adalah anak nelayan miskin di desanya, tapi kini dia hadir di kampus yang megah ,yang diteduhi pepohonan. Iqbal berasal dari keluarga miskin di pinggir laut,tapi  tiap hari hadir di kampus bersama anak-anak berprestasi  lainnya. Lelaki muda itu tidak merasa canggung  hadir di kampus di antara sekian ribu mahasiswa lainnya.
Tiap hari lelaki asal desa pantai itu melewati gerbang kampus dan di sana terpajang tulisan besar, selamat datang  putra -putri Indonesia  terbaik. Memanglah lelaki keturunan nelayan miskin itu adalah salah satu diantara sekian ribu anak manusia yang pintar.   Terkadang ketika dia sedang dibangku kuliah  dan membuka lembaran diktat, terbayang wajah Laila yang duduk sendiri di pinggir laut. Sahabat Laila di pantai itu hanya elang laut sekarang.
Di rumah besar itu, Iqbal tidak dianggap orang lain, tapi sebagai anak sendiri. Perempuan  asal Solo itu tidak pernah lagi termenung-menung. Tidak pernah lagi muncul bayang-bayang orang berwajah bringas membawa pentungan dan parang sambil berteriak-teriak histeris.
Dan bunga-bunga aneka jenis dan warna di halaman rumah besar itu semakin subur seperti ikut gembira menyambut kehadiran seorang anak nelayan di rumah besar itu  Hampir tiap hari Iqbal ikut merawat bunga-bunga itu. Ikut mencabut rumput atau memberi pupuk pada bunga anggrek yang kurang subur.
“Wah, ibu bisa ikut festival bunga nanti!,”  cetus lelki muda itu di depan Bu Hartati.
“Nanti, suatu saat ibu akan ikut festival.”  Perempuan Jawa itu tersenyum..
Dan perempuan itu tidak pernah lagi membersihkan air akuarium yang sudah kotor. Tentu saja yang membersihkannya adalah Iqbal.  Sesekali kalau  sedang membersihkan air akuarium  dan suara gemercik air lelaki muda itu termenung. Gemercik air mengingatkan dia kepada ombak. Lelaki muda itu  bila memandang air di akuarim lalu ingat laut, lalu ingat sahabatnya di desa.
“Kamu sedang menyebut namaku,Laila?.”, katanya seorang diri di depan akuarium di depan ikan arwana merah yang indah.”Pantas hatiku bergetar. Aku juga selalu menyebut namamu.  Aku baik-baik saja di sini. Keluarga Bu Hartati sangat baik kepadaku.  Jangan anggap aku dijadikan satpam di sini.”
Lama lelaki muda itu menatap empat pasang ikan arwana merah yang bermain amat lincah di air. Semua membuat lelaki muda itu terkenang  suasana di desanya ketika bermain air di laut.
“Aku rindu pulang,Laila. Aku rindu pantai, aku rindu debur ombak. Aku rindu padamu dan  kita bermain air serta mendirikan sebuah istana dari pasir yang kita sebut sebagai kraton Sultan  Sulaiman  Syahrul Alamsyah di Kuta Galuh Perbaungan.”
“Tunggulah, aku akan pulang suatu saat nanti. Kuliahku belum libur, lagi pula aku harus belajar tekun  biar segera jadi dokter dan mengobati matamu biar bisa melihat dunia.”
Lelaki muda itu berkata-kata sendiri dengan ikan arwana yang bermain di air. Lelaki muda itu tidak menyadari ibu angkatnya sudah berdiri di sisinya dan memperhatikan dirinya.
“Apa yang kamu renungkan ,anakku?,”  suara ibu angkatnya mengagetkan lelaki itu.
“Akh, tidak ada apa-apa,Bu.”  Sahut lelaki muda itu gugup.
“Kedengarannya kamu sedang berkata-kata sendiri.”
“Saya sedang bercerita dengan arwana ini,bu!”
“Cerita tentang  apa?”  Perempuan Jawa itu menatapnya dalam-dalam.
“Tentu saja cerita tentang laut. Bukankah rumah saya di pinggir laut dan saya senang bercanda dengan ombak. Saya juga mengatakan ,bahwa di laut amat banyak ikan yang menjadi sumber nafkah semua nelayan”
“Kamu ada-ada saja. Jangan dulu rindu pulang. Tinggallah di rumah ini  seperti anak kandung ibu!. Kamu harus segera jadi dokter.”
Kata-kata itu  terdengar amat sejuk di hati lelaki muda itu. Lelaki itu memang rindu laut, rindu sahabatnya.
“Seperti ada yang kurang di rumah ini,Bu,”  terdengar suara lelaki muda itu.
“Apa yang kurang? Ikan arwana itu sudah cukup jadi hiburan buat ibu,”
“Ada lagi yang lebih mempesona!”
“Apa itu?”
“Ikan low han. Suasana rumah ini akan lebih indah dengan adanya ikan-ikan low han  disamping arwana yang sudah ada.”
“Kamu benar,anakku. Besok temani ibu mencari low han yang sehat dan lincah.”  Perempuan Jawa itu tersenyum.
Perempuan Jawa itu amat senang  Iqbal banyak mengajukan usul dan pendapat. Pemikiran Iqbal selalu bernas  dan positif.. Bila di halaman yang luas itu sudah ada bonsai santigi  yang berasal dari Lihukan, tentu saja yang menyarankan adalah Iqbal. Sekarangpun perempuan itu menginginkan low han untuk menghiasi akuariumnya. Wajah perempuan Jawa itu tidak pernah lagi murung. Sepanjang hari wajahnya selalu ceria,apalagi kalau sudah bercanda  dengan Iqbal.

Sebagai seorang anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan, di tepi pantai yang terletak di Selat Malaka, tentu saja Iqbal amat senang dengan berbagai jenis ikan, apalagi seperti arwana merah dan  low han. Sebab ketika masih bocah, dengan tangan kosong Iqbal dapat menangkap ikan dari dasar laut. Tidak ada anak nelayan yang tidak dapat menangkap ikan dengan tangan kosong di tengah laut.
            Sekarangpun, di rumah besar itu , Iqbal setiap hari menghadapi akuarium berisi ikan low han dan arwana merah. Tanpa lelah, pulang kuliah, sambil membawa diktat dan buku-buku, lelaki muda itu harus mampir ke pusat penjualan akuarium. Iqbal membeli pelet, cacing beku  dan filter, pump dan frazen blood. Dari pusat penjualan ikan hias itulah lelaki itu mendapatkan informasi tentang seminar tentang  manfaat ikan hias dan kaitannya dengan kehidupan manusia.
            Siapa yang tidak tertarik untuk menghadiri seminar itu karena dengan memelihara ikan hias dapat memperpanjang umur?. Terhindar dari stres dan beban pikiran yang beret.
Perempuan Jawa  itu justru merasa  sangat gembira ketika Iqbal mengajaknya untuk menghadiri seminar itu. Pesertanya amat banyak, dari berbagai kota, dari berbagai kalangan. Ada nenek-nenek tua merasa awet muda karena selalu menyaksikan arwana beratraksi dalam air. Ada sepasang pengantin baru ingin jadi pengusaha ikan hias. Seminar itu diminati banyak orang. Dan yang paling menguntungkan adalah oleh-oleh yang dibawa pulang tentang perawatan ikan hias, tentang menjaga ikan-ikan itu dari jamur dan penyakit. Juga tentang tata letak akuarium di ruang rumah agar serasi dan enak di pandang.
 Satu lagi hal yang paling penting adalah tentang kabar akan diadakan Arwana Contest. Tentu saja  perempuan Jawa itu ingin jadi peserta kontes  yang sangat bergengsi itu.  Siapa lagi yang menuntunnya kalau bukan anak nelayan itu?. Iqbal!.
Lelaki muda yang lahir di tepi Selat Malaka itu seperti amat memahami bahasa ikan, dia sangat mengerti keinginan mahluk dalam air itu, juga tentang keluhan-keluhan bila ikan-ikan itu sakit. Itulah sebabnya arwana merah dalam perawatan Iqbal tumbuh sehat dan lincah. Itulah sebabnya perempuan Jawa itu memenangkan Arwana Contest dan mendapatkan sebuah tropy berbentuk ikan arwana berlapis emas. Bu Hartati merasa amat bahagia sekali. Rasanya dia memiliki dunia.
Dian-diam Iqbal memperhatikan Bu Hartati yang sedang merawat bunga anacanda yang cantik dan dari celah bibirnya tergetar tembang Jawa yang merdu:
Ana kidung rumekso ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabe
jin setan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawa ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna

Sumsumingsun Fatimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Daya sarira tunggal

Iqbal memberikan aplaus dengan tepuk tangan  dan mengacungkan jempol kanannya sehingga  perempuan asal Solo itu menoleh padanya. Mereka saling senyum  dan Iqbal berkata ketus:
“Hebat suara ibu!. Sungguh merdu. Pasti maknanya bagus!”
“Tentu bagus!. Karena tembang itu diciptakan oleh Sunan Kali Jaga.”
Bu Hartati mengatakan,bahwa Sunan Kalijaga adalah ulama besar di Pulau Jawa yang banyak menggubah banyak sekali tembang yang bermuatan dakwah. Iqbal terkagum-kagum,apalagi ketika perempuan asal Solo itu mengungkapkan makna tembang Jawa itu.
Ada nyanyian di tengah malam, yang menjadikan kuat selamat terbebas  dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka jin dan setanpun tidak mau . Segala jenis sihir tidak berani. Apalagiu perbuatan guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya  akan lenyap.
“Lanjutan tembang itu bermakna, bahwa sumsumku adalah  Fatimah yang amat mulia. Siti Faimah sebagai kekuatan badanku. Nanti Nabi Ayub ada dalam ususku. Nabi Nuh dalam jantungku. Nabi Yunus dalam otakku. Mataku adalah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah  semua rasul , yang menjadi satu badan.”
  “Tembang itu amat panjang, ibu menyanyikannya hanya beberapa bait saja.”
“Saya benar-benar kagum.Bu.”  Sekali lagi  Iqbal mengacungkan jempol kanannya. Bu Hartati amat senang mendengar pujian itu dari seorang lelaki muda yang kini di sisinya seperti anak kandungnya sendiri, seperti almarhum Faisal Wicaksono.
Perempuan Jawa itu tidak pernah lagi pening kepala,tidak pernah mual pada perutnya. Perempuan itu sembuh dari stres berat. Traumatik yang amat parah pada dirinya benar-benar sembuh.  Tidurnya amat nyenyak dan mimpinya selalu indah,mimpi mendaki gunung yang amat tinggi atau memetik  sebuah bintang di langit biru. Perempuan itu  tidak pernah lagi pergi ke dokter,apalagi konsultasi dengan psikiater. Kebahagiaan dan ketenteraman hati sudah kembali pada dirinya. Semua itu karena kehadiran Iqbal di rumah besar itu.
“Anugerah ini karena kamu,anakku,”  cetus perempuan itu seusai menerima anugerah yang amat bergengsi itu. Iqbal bersyukur mendapat pujian.
Turun dari lantai dua gedung perkuliahan, telepon genggam di sakunya berdering.  Jantungnya berdebar keras ketika mengetahu dari desa kelahirannya, dari sahabatnya,Laila.
“Kamu masih di kampus,Iqbal?,” tanya  Laila  dari jauh..
“Ya, aku sedang berjalan pulang. Aku rindu pada desa kita,Laila.”
“Kalau rindu pulanglah!,” imbau sahabatnya. Jelas terdengar debur ombak di telepon genggam lelaki itu. Karena Laila sedang berada di tepi laut.  Biar sahabatnya mendengar debur ombak, biar mendengar suara elang, biar kerinduan terhadap laut tumbuh di hati lelaki itu.  
“Kuliahku belum libur. Bukankah kamu ingin aku segera jadi dokter kemudian mengobati matamu biar dapat melihat indahnya dunia?.”
“Ada sesuatu yang istimewa di desa kita, pulanglah segera!,” imbau Laila dari tepi laut.
“Ada apa di desa kita?”
“Kamu lihat sendiri nanti,  aku  tidak bisa mengatakannya. Yang pasti  kamu akan senang melihatnya. Benar-benar istimewa dan belum pernah terjadi di desa kita.”
Lelaki asal desa nelayan itu bertanya-tanya dalam hatinya, ada apa gerangan di desaku?. Haruskah aku pulang?
“Pulanglah walaupun hanya satu atau  dua menit. Kamu akan rugi besar, kamu akan menyesal kalau tidak pulang!,”  imbau Laila penuh harap.
Sesaat lelaki  berdarah nelayan itu memikir-mikir. Dan Laila terus mengimbau:
“Kukira hal yang istimewa ini cuma sekali dalam sepuluh tahun.”
Tanda tanya dalam hati lelaki berdarah nelayan itu semakin besar. Rindunya pada pantai ,rindunya pada ombak, rindu pada lambaian nyiur di sepanjang pantai makin besar tumbuh dalam dadanya, apalagi kerinduan pada sahabatnya.  Lelaki itu ingin memandang puas-puas pipi sahabatnya yang kemerahan  dan mereka akan berjalan menapaki pasir putih yang terbentang luas.  Mereka akan berjalan berdua seperti  masa kanak-kanak dulu, betapa amat menyenangkan membangun istana dari pasir di pantai yang elok itu.
Lelaki muda itu rindu pada jari-jemari sahabatnya yang lentik dan ingin meremas-remasnya. Lelaki itu ingin menyeka air mata sahabatnya bila menangis. Lelaki itu ingin  Laila merebahkan kepala  ke dadanya dan dia akan membelai rambutnya.
Lelaki yang kini tiap hari hadir di kampus itu rindu suasana  laut, rindu membakar ikan di atas pasir. Rindu ketika Laila menyalakan api dan sahabatnya menangkap ikan dengan tangan kosong. Betapa nikmat makan ikan bakar berdua di tepi laut.
“Aneh, ikan tidak terasa asin meskipun hidupnya di air asin,” Iqbal ingat kata-kata sahabatnya ketika membakar ikan di atas pasir.
“Itulah kekuasaan Tuhan. Kalau semua ikan rasanya asin karena hidupnya di air asin, siapa lagi yang mau makan ikan?. Orang tidak akan butuh ikan dan nelayanpun tidak punya rezeki dari laut.”
“Betapa besar kekuasaan Tuhan.”
“Tentu saja!. Kalau takdir Tuhan  terjadi bumi berhenti berputar,apa yang akan terjadi?. Pasti tidak ada ombak,pasti ikan tidak akan hidup.”
“Apa yang terjadi kalau Tuhan menghentikan bumi berputar, pasti anginpun tidak berhembus,pasti nyiur tidak melambai-lambai.”
Dari kampus lelaki itu langsung ke stasiun kereta api karena tidak ingin diantar oleh ibu angkatnya. Di gerbong kereta api lelaki itu bergabung dengan nenek-nenek tua yang pulang kekampung halaman bersama cucunya. Di atas gerbong kereta api itu dia berbaur dengan kuli-kuli bangunan yang pakaiannya kotor dan kumuh,pulang dari proyek. Lelaki itu juga berbaur dengan pedagang asongan dan pengemis buta.
Kasihan pengemis buta itu.  Lelaki  itu ingat Laila yang juga bernasib sama. Syukurlah Laila tidak terlalu malang nasibnya. Warung sembako yang dimodali Bu Hartati terus berkembang. Kebutaan tidak menyeret hidupnya jadi pengemis di jalanan atau jadi seorang tukang pijat. Laila adalah gadis dewasa yang sudah matang menjalani kehidupan. Hanya hari-harinya yang gelap karena lahir dalam keadaan buta.
Kuliah belum libur, tapi lelaki itu memaksakan diri untuk pulang karena imbauan sahabatnya, karena ada hal-hal istimewa di desanya.  Diktat untuk mata kuliah Neoplasma dan Degeneratif dan buku tentang Radiologi yang setebal bantal dibawanya naik kereta api.. Di atas gerbong kereta api yang mengantarnya ke desa kelahirannya, Iqbal membaca diktat itu.
Lelaki berdarah nelayan itu terheran-heran ketika tiba di kampung halamannya. Dari kejauhan tampak desa nelayan itu sudah disulap seperti sebuah desa yang makmur.   Banyak gabah-gabah berjejer sepanjang jalan desa, juga umbul-umbul warna warni menghiasi desa itu. Apalagi iklan berbagai jenis barang terpajang sepanjang jalan, mulai dari iklan makanan, sepeda motor, hingga alat-alat eletronika, obat-obatan ,tidak ketinggalan iklan rokok. Semua menyebabkan desa itu tampak meriah.
 Di gerbang masuk pedesaan itu tampak spanduk berukuran besar bertuliskan “Selamat Datang  Bapak Gubernur dan Bupati.”. “Selamat Datang Kafilah MTQ”.
 Barulah lelaki itu menyadari, bahwa desanya mendapat kehormatan menjadi tuan rumah em-te-qyu tingkat propinsi. Desanya sedang mengadakan perhelatan besar.. Mana sahabatku?. Mana Laila?, itulah yang terpikir ketika lelaki itu sampai di desa kelahirannya.
Selama ini desa itu sepi-sepi saja dan yang tampak adalah rumah-rumah sederhana yang dihuni para nelayan. Tapi sore itu yang dilihat lelaki itu adalah sebuah desa yang telah dihiasi. Desa miskin itu sudah disulap. Maklum Bapak  Gubernur dan Bupati serta sejumlah Camat akan datang. Maklum kafilah em-te-qyu dari belasan kabupaten dan puluhan dari kecamatan akan hadir sebagai peserta. Puluhan qori dan qoriah akan berlaga menunjukkan kebolehannya. Akankah sahabatku ikut dalam lomba membaca Qur’an ini?, pikirnya.
“Akhirnya kamu pulang,Iqbal!,” cetus Laila menyambut hangat kepulangan sahabatnya.
“Aku belum libur.  Aku pulang hanya sebentar!,”  sahut lelaki muda itu.
“Yang penting pulang  melihat desa kita berhias diri.”
“Tampaknya sangat meriah!”
“Ya,meriah. Doakan aku jadi juara!,” pinta gadis tunanetra itu penuh harap.
“Kamu ikut?. Kamu sudah siap?. Pesaing sangat banyak dan sudah latihan berbulan-bulan.”
“Aku sudah siap bertanding. Bukankah aku sudah latihan sejak kecil?. Bukankah jasamu juga amat besar mengajariku?.”
“Aku akan mendoakanmu.”
Sejak siang hingga sore hingga dua hari kedepan desa itu benar-benar dalam kemeriahan. Lebih meriah daripada acara Jamu Laut yang selalu digelar di pantai itu. Pada saat-saat tertentu nelayan dan keluarga berkumpul di pantai itu menyaksikan Jamu Laut. Upacara itu sarat dengan saji-sajian seperti beras putih,beras kuning, beras hitam, bertih, bunga rampai satu talam, limau purut, kemenyan, gambar-gambar ikan dari timah, kain lima warna setalam kue dan kambing jantan berkulit hitam.
Beda dengan keramaian yang terjadi dalam acara em-te-qyu, tidak ada sesaji. Yang terlihat pada acara itu adalah tenda berukuran besar, kursi-kursi untuk tamu terhormat, mimbar tilawah dan kaligrafi bertuliskan  ayat-ayat Qur’an yang amat indah.
“Kapan kamu jadi dokter,Iqbal?,”    Laila memandang wajah sahabatnya dengan mata hatinya.
“Masih lama lagi!”
Kata-kata itu membuat Laila menunduk. Sedih.
“Kamu belum menemukan seseorang yang mau mendonorkan matanya?”  tanya Laila penuh harap.
“Tentu saja belum. Sangat sulit untuk mencari seseorang yang mau menyumbangkan matanya.”
Di depan Laila lelaki itu bertutur tentang kawan-kawannya sesama mahasiswa   banyak memiliki kerabat yang tersebar di seluruh pelosok,  bahkan yang berada di luar negeri juga ada. Tapi tidak satupun yang menemukan ada manusia yang mau jadi donor mata. Manusia tidak mau kehilangan penglihatannya. Dunia akan jadi gelap gulita kalau manusia kehilangan matanya.  Sepasang mata adalah organ tubuh yang tidak ternilai harganya.
Amat banyak orang menjadi donor darah, tapi tidak ada satupun yang bersedia mendonorkan matanya.
Sesaat sepasang sahabat itu berada di tepi laut. Laila menunduk. Iqbal amat kasihan dan menatap wajah sahabatnya.
“Aku rela memberikan sebelah mataku untukmu. Maukah kamu memiliki mata kananku?. Maukah kamu menerima sebelah mataku?, ”  terdengar suara Iqbal.
Laila hanya menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak?”
“Bagaimana kamu akan belajar tekun kalau hanya memiliki sebelah mata?”
“Demi kamu tidak apa-apa, biar kita sependeritaan.  Biar aku ikut  merasakan sebagian dari penderitaanmu.”
“Tidak,Iqbal.  Biarlah aku tetap tidak bisa melihat. Biarlah kutunggu sampai kamu jadi dokter.”
Iqbal menarikkan tubuh Laila ke dadanya  dan lelaki itu mendekapnya erat sekali.
                                                ***
B
erjanzi dan marhaban menyambut kehadiran Gubernur dan istrinya serta bupati juga disertai istri.  Semua mengenakan busana muslimah. Semua nelayan yang hadir di acara itu juga mengenakan baju koko yang bersih dan rapi. Semua istri dan anak-anak nelayan hadir pada acara itu mengenakan pakaian rapi padahal setiap hari para nelayan mengenakan pakaian yang berbau keringat  dan kumal.
Tidak ada satupun hadirin yang merokok, tidak ada yang berkata-kata ketika acara lomba membaca Qur’an itu dimulai. Sunyi dan senyap.  Yang terdengar hanya lantunan ayat-ayat kalimah mulia.
Sepasang bibir Iqbal berkomat-kamit membaca doa semoga Laila memenangkan kejuaraan itu.  Lelaki muda itu menahan nafas ketika nomor peserta yang dimiliki Laila dipanggil  dan Laila dipapah naik ke mimbar tilawah.
Ada rasa haru yang amat besar ketika suara Laila terdengar melantunkan surah Yaasin. Lelaki itu ingat benar   di atas perahu ia membacakan ayat-ayat itu dan Laila mengikutinya dengan tekun.
Dua hari dua malam desa itu gemerlapan disinari cahaya lampu warna-warni. Tidak pernah terjadi sebelumnya ada keramaian yang demikian meriah di desa nelayan itu. Desa itu telah mendapat kehormatan amat besar.
Puluhan peserta satu demi satu naik ke mimbar dan melantunkan kebolehannya membaca Al Qur’an. Ya,Tuhan. Rahmat    kepada sahabatnya di malam terakhir acara itu. Dewan juri yang terdiri dari berbagai unsur menetapkan Laila sebagai peserta untuk kelompok  tunanetra.
Syukur pada-Mu ,Tuhan. Sahabatku menjadi juara.  Syukur pada-Mu, Ya Rabbi, sahabatku menjadi pembaca terbaik.  Iqbal  adalah seorang lelaki, tapi pada saat nama sahabatnya disebut sebagai juara, air mata keharuan mengalir di pipinya.
Dengan derai air mata di pipi  Laila melakukan sujud syukur dan memuji kebesaran Tuhan. Laila menerima sebuah tropy.  Dan hadiah paling istimewa, sebuah perahu!. Ada seorang pengusaha besar yang memahami keadaan Laila. Acara itu dilaksanakan di pinggir laut dan peserta sebagian besar adalah keluarga nelayan yang hidup miskin.  Pengusaha kaya  itu ingin mengangkat kehidupan nelayan, itulah sebabnya memberikan perahu sebagai hadiah kepada sang juara.
Dan yang diterima Laila tidak hanya tropy dan perahu, tapi ciuman di kening dari sahabatnya.
“Aku kagum padamu,Laila,”  terdengar ucapan sahabatnya ketika memberikan ciuman di kening.
“Semua karena jasa-jasamu. Bukankah kamu yang mengajarku menghafal surah Yaasin di atas perahu?. Jasamu amat besar,Iqbal.”
“Tinggal selangkah lagi, menuju juara nusantara.”
“Semoga aku bisa ikut, bisa meraih juara itu.”
“Aku akan mendoakanmu terus.”
“Syukurlah kamu bisa  pulang dan memberiku dorongan moril.  Andainya kamu   tidak pulang, pasti aku akan kehilangan semangat.”
“Ya, aku bahagia bisa pulang dan dapat melihatmu jadi juara.”. Dan lelaki itu mengatakan, bahwa dia pulang ke desa itu meskipun harus membawa diktat dan buku-buku kuliah. Lelaki itu jadi kutu buku sekarang. Tidak terlepas dari buku  dan diktat kuliah. Rasanya bagi lelaki itu tidak ada waktu untuk bersantai-santai. Waktunya hanya untuk belajar dan belajar.
Keinginannya  untuk segera jadi dokter dan mengobati mata sahabatnya amat menggebu dalam dirinya. Untuk jadi dokter masih lama lagi, apalagi untuk predikat dokter mata, masih sangat jauh. Tapi ketika usai jam kuliah, lelaki itu selalu bertandang ke bagian klinik mata dan membaca buku-buku tentang penyakit mata yang banyak diderita anak-anak bangsa ini.
Masih lumayan kalau yang diderita anak negeri ini  hanya sejenis penyakit ringan  seperti bintilan dan belekan atau mata merah dan gatal. Masih sangat banyak jenis-jenis penyakit mata di negeri ini. Iqbal sudah membacanya di kampus.
“Buthalmus  adalah sejenis penyakit mata bawaan sejak lahir,”  ujar Iqbal  sebelum meninggalkan desa itu untuk kembali ke rumah  Bu Hartati dan kembali kuliah.
“Penyakit itukah yang kuderita?”
“Bukan!. Kalau cuma penyakit sejenis itu gampang disembuhkan.”
Laila menunduk di depan sahabatnya.
“Bu Hartati pernah membawamu berobat ke dokter ahli mata dan memberimu vonis yang ada di matamu adalah Ewing’s sarcoma, sejenis tumor. Aku tidak meyakini hal itu.”
“Artinya ada kesalahan diagnosa?”
“Mungkin saja. Aku masih punya keyakinan, matamu dapat disembuhkan dengan ilmu kedokteran yang dari hari ke hari semakin canggih.”
“Rasanya aku ingin segera melihat.”
“Bersabarlah  dan terus berdoa. Dan akupun akan terus berusaha dan belajar. Suatu saat kamu akan bisa melihat, tentu saja dengan pertolongan Tuhan.”
“Terima kasih, sahabatku. Orang yang paling berjasa dalam hidupku adalah kamu,Iqbal.”
Lama sepasang sahabat itu bicara tentang kebesaran Tuhan dan tentang  berjenis-jenis penyakit mata  yang banyak diderita oleh rakyat negeri ini.
“Yang amat berbahaya adalah Endoftalmitis,  sejenis penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan.”  Ujar lelaki  yang sedang menimba ilmu di kedokteran  itu lagi. “Tidak jarang  terjadi seseorang menderita Gonoblesnorhoe,”
“Penyakit apa itu?  Kedengarannya seperti penyakit aneh.”  Laila ingin tahu.
“Penyakit yang ditularkan ibunya ketika bayi dalam rahim karena ibunya menderita penyakit kelamin.”
“Alangkah mengerikan. Apakah aku menderita penyakit itu?”
“Tentu saja tidak!. Hanya perempuan nakal,hanya perempuan jahat yang menularkan penyakit itu kepada anaknya.  Mana ada perempuan keluarga nelayan yang nakal.”
Lelaki yang masih menimba ilmu di bidang kedokteran itu juga berkata lagi:
“Saat ini banyak petani di negeri kita yang menderita Keratitis  yang disebakan jamur, kuman dan  bakteri.”
“Hebat pengetahuanmu sekarang,Iqbal,”  Laila kagum. “Cepatlah jadi dokter.”
“Aku juga tidak sabar untuk jadi dokter dan menyembuhkan matamu.”
Laila hanya menghela nafas panjang. Laila dilahirkan sebagai gadis tunanetra, tapi nasibnya tidak terlalu malang. Laila tidak sempat jadi gadis peminta-minta, tidak sempat jadi pengemis atau jadi pemijat. Betapa dia amat bersyukur dapat meraih juara membaca Qur’an tingkat propinsi. Namanya cepat menanjak.
 Pada hari-hari besar Islam, seperti peringatan Maulid  Nabi  atau  satu Muharram , Laila selalu diundang  orang. Laila selalu dijeput mobil mewah untuk menjadi qoriah di berbagai perkebunan, bahkan juga kantor-kantor be-u-em-en. Honornya lumayan.
Laila adalah gadis tunanetra, tapi rahmat Tuhan turun dari langit. Di lehernya melingkar seuntai kalung emas dengan mainan delima merah, Di tangannya melingkar sebentuk gelang emas lima belas gram. Siapa gadis dari keluarga nelayan yang mampu membeli perhiasan seperti itu kalau bukan,Laila, gadis buta itu?.
Kehidupan nelayan dengan segala kemiskinannya terus bergulir  di desa itu. Anak-anak nelayan cuma tamat es-de, lalu ikut ayahnya  ke laut menangkap ikan. Masih bersyukur kalau nelayan dan keluarganya hidup  sehat. Bila jatuh sakit, nelayan tidak punya uang untuk berobat. Syukurlah demam berdarah tidak pernah berjangkit di desa itu.
Namun hidup miskinlah yang menyebabkan banyak nelayan yang hidup kurang sehat. Bila Laila hidupnya gelap gulita karena kebutaan yang dideritanya sejak lahir, masih ada lagi, bahkan masih banyan keluarga nelayan yang menderita penyakit mata.
Keadaan hidup yang kurang bersih menyebabkan banyak ditulari penyakit yang disebut “Ablasis” dan cepat menular kepada orang lain.
“Wak Andak sekarang tidak dapat membaca Qur’an karena matanya kabur, padahal awalnya hanya menderita sakit gigi,”  ujarnya melalui telepon genggam kepada sahabat  yang sedang duduk di bangku kuliah.
“Itu disebut  Iridosiklitis, penyakit mata yang disebabkan dari kuman-kuman penyakit gigi,” sahut sahabatnya dari seberang. “Kita memaklumi warga nelayan tidak mampu membeli pasta gigi yang berkualitas  yang mampu menalar kuman-kuman penyakit gigi.”
Melalui telepn genggam yang dimiliki , Laila banyak bercerita tentang desanya yang belum juga mengalami kemajuan berarti.. Berbagai penyakit melanda beberapa warga desa itu.
“Istri Alang  meninggal dunia karena menderita muntah mencret,”  lagi-lagi gadis tunanetra itu memberi kabar kepada sahabatnya di kota.
“Aku ikut sedih. Begitulah keadaan di desa kita. Kemiskinan masih melilit kehidupan para nelayan sehingga kebersihan tidak terjaga.    Diare disebabkan hidup kurang bersih.”
Sekecil apapun yang terjadi di desa nelayan itu, Iqbal pasti tahu dari sahabatnya. Apalagi tentang  sahabat mereka Delima yang menikah dengan Mahmud, seorang pemilik ternak dari desa seberang.
Juga kabar tentang Halimah yang melahirkan anak kembar,tapi seorang bayinya meninggal  dan seorang lagi selamat namun dalam kondisi kurang sehat dan kurang berat badan.
Gadis yang tidak dapat melihat itu akan merasa sangat sedih kalau dalam sehari tidak dapat berkomunikasi dengan sahabatnya,padahal yang ingin dikatakannyua hanya jarum yang jatuh. Atau tentang belalang yang mati lalu diusung oleh barisan semut.  Laila merasa dadanya plong kalau sudah mendengar suara sahabatnya.
Gadis desa itu merasakan hatinya berbunga-bunga ketika sahabatnya mengatakan, bahwa  ujian  mata  kuliah Hematologi dan Sistem Linfatik mendapat nilai A. Juga mendapat nilai yang sama untuk ujian mata kuliah Uropoetika.
“Hebat kamu ,wahai sahabatku. Aku yakin kamu akan jadi dokter pada waktunya,” itulah yang dikatakan dari pinggir laut.
“Bukan tepat waktu, justru aku ingin lulus sebelum waktunya.”
“Aku hanya dapat berdoa untukmu,Iqbal”
“Meskipun banyak tugas-tugas kuliah, tapi aku masih selalu menyebut namamu.”
“Aku juga begitu.”
Kalau sudah berbicara dengan sahabatnya meskipun hanya lewat telepon genggam, rasanya Iqbal berada di desanya yang aman. Tidak ada maling di desa nelayan itu. Tidak pernah ada tawuran. Tidak pernah ada pertengkaran dengan sesama tetangga. Warga desa itu miskin, tapi warganya hidup tenteram. Tolong  menolong sesama warga masih amat kental di sana. Kalau ada warga yang meninggal selalu terlihat iring-iringan yang panjang warga mengantar jenazah ke kubur.
Tidak ada warga yang mau mencubit tetangganya. Semua merasa bersaudara dan saling menjaga perasaan.  Kalau ada warga yang kehilangan sebuah jarum pasti cepat ditemukan.
Lelaki asal keluarga nelayan itu senang menerima kabar  tentang desanya dari sahabatnya. Dan lelaki itupun mengabarkan  tentang keadaan dirinya yang tinggal pada keluarga Bu Hartati yang suaminya adalah pengusaha perkebunan.  Lelaki itu tidak hanya mengabarkan, bahwa ujian  mata kuliah Forensik membuat kepalanya pening. Lelaki itu juga mengabarkan ketika melangkah menuju kampus dan melihat ada beling tajam pastilah disingkirkannya. Sebiji kerikilpun di depannya juga dibuang jauh-jauh.
“Ada seorang gadis bernama Fauziah yang selalu mengajakku makan bakso,”  ujar lelaki itu kepada sahabatnya. “Gadis itu mahasiswi Fakultas Hukum”  tukas Iqbal sejujurnya.
“Cantikkah gadis itu?,”  tanya Laila dari desanya dengan perasaan perih dan pedih.
“Ya, cantik. Fauziah selalu mengajakku pulang bersama, tapi aku menolak. Aku selalu ingat sahabatku di desa.”
“Hatiku hancur berkeping-keping mendengarnya,Iqbal. Atau kamu ingin sahabatmu sakit karena hatinya tergores beling tajam?”
“Demi Allah , aku tidak ingin menyakiti hatimu.”
“Jangan berkhianat,Iqbal. Jangan berpikir yang bukan-bukan  dan belajar tekun, biar kamu cepat jadi dokter.”
“Tentu saja!”.
Ungkapan tentang gadis yang mengajaknya makan bakso dan pulang bersama amat menyakitkan hati  Laila.  Dadanya seperti teriris sembilu. Hatinya bagai tertusuk duri. Karena itulah Laila berharap Iqbal jangan main mata dengan gadis lain. Karena itulah Laila berharap agar Iqbal selalu menyebut namanya meskipun di malam yang sepi dan dingin.
“Sedikit demi sedikit perubahan telah terjadi di desa kita,” ujar Laila pada suatu saat.
“Perubahan apa?,”  Iqbal ingin tahu.
“Kawan-kawan kita sudah tidak lagi mencintai laut. Nuraini sudah jadi te-ka-we di Malaysia. Habibah juga begitu. Zuraida ke Arab Saudi,”  tutur Laila.
“Mereka berusaha mencari rezeki di negeri orang,padahal banyak te-ka-we mengalami bencana di negeri orang.”  Sahut Iqbal dari seberang. “Kalau kehidupan nelayan sudah makmur pasti tidak ada yang mau meninggalkan desa kita.”
“Jamil dan Mahmud juga sudah tidak ada di desa kita.”
“Kemana mereka?”
“Mereka jadi buruh bangunan  di kota!,”  ujar Laila dengan nada sedih. “Yang jadi buruh angkat di pelabuhan juga ada.”
“Biarlah mereka tidak lagi mencintai laut kita, demi sejengkal perut.”
Kabar tentang perubahan itu juga membuat lelaki itu merasa amat sedih. Iqbal menyadari kehidupan nelayan dari hari kehari semakin sulit. Negeri ini adalah negeri kepulauan dan laut yang amat luas.hampir tiga juta km2. Laut yang amat luas itu seharusnya menjadi lahan mencari ikan yang menyenangkan. Namun  kenyataannya yang terjadi amat pahit. 
Dari hari ke hari ada saja nelayan yang meninggalkan perahunya dan bekerja di bidang lain. Dari jumlah 7 juta nelayan kini tinggal 2,2 juta orang. Dan lebih menyedihkan lagi para nelayan itu tidak memiliki kapal sendiri. Padahal perahu adalah sarana paling utama untuk nelayan.  Sama dengan petani,bagaimana petani akan hidup makmur kalau tidak memiliki  sawah dan ladang sendiri serta tidak memiliki cangkul. Mahalnya harga be-be-em, bahkan terkadang langka,  menyebabkan  nelayan harus meninggalkan laut. Mereka merasa nasibnya akan lebih baik jadi kuli bangunan di kota, atau jadi penjual es keliling dengan menaiki sepeda.
Biarlah para nelayan itu berarlih pada pekerjaan lain. Tapi sebagai manusia keturunan nelayan pasti tidak akan pernah melupakan alat-alat penangkap ikan, mereka tidak akan pernah lupa yang namanya perahu atau sampan. Nelayan dimanapun berada, mereka tidak akan pernah lupa yang namanya jaring yang panjangnya sampai lebih dari 200 meter yang dilengkapi dengan mata jaring 2 inchi.  Nelayan tidak akan pernah lupa pada alat penangkap ikan yang namanya belat, belatjang, tangkul, ambai, tuamang, bubu dan rawal.
Seperti halnya dengan Bang Syafii yang kini menjadi penjual kerang rebus di Pasar Simpang Lemon, masih tetap ingat peran Pawang Laut yang amat penting untuk mengusir jin laut, jembalang dan mahluk halus lainnya. Ketika  anak gadisnya menderita demam tinggi, Bang Syafii tidak membawa sang anak ke Puskesmas, tidak membawanya ke dokter, tapi meminta bantuan sang pawang laut. Dan sembuh.
“Wahai nelayan meskipun pergi jauh,  jangan lupakan ombak laut, jangan lupakan nyiur yang melambai-lambai di pantai.” Kata-kata itu diucapkan Iqbal,padahal dia baru saja selesai mengikuti ujian mata kuliah Anastesialogi.
Anak-anak nelayan bukanlah mahluk pemalas.  Anak-anak Melayu bukanlah kelompok manusia yang lebih senang tidur-tiduran. Hanya keadaan yang menyebabkan nelayan berpenghasilan sangat minim dan menyebabkan mereka miskin.
“Kapan  pemerintah membangun tambang emas di pantai,Iqbal?. Kalau ada tambang emas di tepi laut, pasti  anak-anak nelayan bekerja di sana.”
“Mana  mungkin!. Kandungan emas hampir tidak ada di pantai.  Yang ada adalah kandungan minyak dan gas,” sahut Iqbal dari seberang.
“Lalu kapan pemerintah akan membangun tambang minyak di pinggiran laut?”  tanya Laila terkenang nasib nelayan yang amat menyedihkan.
“Nanti,  setelah semua koruptor ditembak mati. Tunggu saja negeri ini bersih dari koruptor dan maling berdasi, barulah pemerintah punya duit untuk membangun kilang minyak di pantai.”
Laila hanya menghela nafas panjang dan berat mendengar ucapan itu dari sahabatnya di seberang.
                                                ***
  B
agaikan menggendong bulan purnama dan membawanya pulang kemudian  meletakkannya di kamar, itulah yang dirasakan gadis tunanetra itu ketika mendapat kesempatan untuk terbang jauh ke bagian timur nusantara ini. Sebelum berangkat gadis itu sujud di atas sajadah memohon kemudahan serta pertolongn Allah untuk mengikuti em-te-qyu tingkat nasional utusan propinsi yang berlangsung di Manado.
Gadis tunanetra itu tidak pernah merasakan acara semeriah itu, karena dihadiri para menteri , pejabat tinggi negara dan perwakilan negara asing. Laila tidak merasa canggung harus bertanding menghadapi pesaing qoriah dari propinsi lain, gudangnya qori dan qoriah berpengalaman.
Tidak ada seujung kukupun  rasa gentar,apalagi dari jauh sahabatnya memberikan semangat.
“Kuatkan hatimu,Laila. Tuhan akan selalu berada di sisimu dan memberimu kemudahan,” itulah ucapan sahabatnya lewat telepon genggam, padahal sahabatnya sedang mengikuti kuliah Kardiologi. “Teruslah berdoa!”
“Rival-rivalku sangat berat,Iqbal. Mampukah aku mengungguli mereka?,”
“Insya Allah. Tidak ada yang harus dikhawatirkan. Bukankah kamu sudah berlatih sejak masih kecil?. Tidak sia-sia kamu belajar dariku sejak huruf alif di atas perahu.”  Sahabatnya memberikan dorongan  dan semangat.
“Mudah-mudahan doamu dikabulkan Tuhan!”
“Tidak hanya aku yang mendoakanmu, tapi seluruh warga desa kita. Seluruh nelayan yang tiap hari melaut pasti mendoakanmu. Sesama keluarga nelayan pasti akan saling mendoakan.”
“Amien!”
Laila adalah satu-satunya anak nelayan yang ikut pada lomba membaca Al Qur’an  tingkat nasional itu.  Laila berasal dari keluarga miskin, tapi malam itu, kehadirannya di atas mimbar tilawah mempesona semua hadirin, mempesona semua dewan juri. Juga mempesona istri menteri. Laila terlihat  sebagai perempuan paling cantik di antara sekian banyak peserta .  Seperti primadona. Pipinya tetap kemerahan. Jilbabnya berwarna biru, seperti warna laut tempatnya bermukim.  Tidak ada yang menyangka,bahwa Laila adalah  seoang gadis yang tidak bisa melihat. Tidak ada yang menduga,bahwa Laila adalah gadis tunanetra.
“Ingat ,Laila. Burung-burung yang sedang terbang di pantai kita, juga ikut mendoakanmu. Percayalah kamu akan sukses!,”  lanjut sahabatnya.
“Ingat, pohon nyiur yang melambai-lambai juga akan ikut memohon agar warga desa kita bisa memboyong kejuaraan.”
“Terima kasih,Iqbal.”
“Aku bernazar, kalau kamu jadi juara, aku akan puasa dua hari, tandanya bersyukur.”
“Aku terharu mendengarnya.”
Gadis itu merasa bersyukur dan beruntung belajar membaca Al Qur’an sejak masih kecil di atas perahu bersama sahabatnya. Al Qur’an memang memiliki mukjizat yang amat besar. Cintanya kepada kalimah-kalimah mulia telah mengangkat dirinya sebagai gadis terhormat, hingga akhirnya  langkahnya  terbawa ke bagian  timur nusantara ini.
Suaranya mempersona semua orang yang hadir. Semua merasa terharu. Bahkan istri seorang menteri yang mendampingi suaminya tidak mampu menahan rasa haru ketika Laila dipapah ke mimbar tilawah dan duduk bersimpuh. Istri sang mentri bangkit dari kursinya ketika Laila turun dari mimbar tilawah dan memberinya ciuman.
“Ibu terharu,anakku. Ibu senang melihamu. Semoga ananda jadi pemenang.”  ujar istri bapak menteri itu.
“Terima kasih,Bu.”
Rahmat Tuhan benar-benar turun kepada seorang gadis berdarah nelayan itu. Laila benar-benar menggendong bulan dilangit dan membawanya pulang.  Laila juara terbaik!. Hadiahnya tidak hanya tropy, tapi    tiket o-en-ha.
Laila bersyukur mencium lantai. Di kejauhan, sahabatnya juga bersujud di lantai kampusnya yang megah. Doanya tidak sia-sia.  Berbahagialah dua anak nelayan itu. Iqbal bisa belajar di kedokteran dan tinggal di rumah seorang pengusaha perkebunan dan sahabatnya menjuarai  em-te-qyu dan mendapatkan hadiah ke tanah suci.
Di pantai itu elang berhenti terbang  dan ikut gembira, seorang warga desa itu meraih prestasi yang tidak ternilai. Nyiurpun melambai-lambai menyanyikan lagu syukur setinggi-tingginya, ada anak nelayan yang mengukir sejarah  dengan tinta emas.
Tidak harus menunggu esok hari, sahabat Laila segera memasuki ruang dosen  dan menemui Pak Ridwan, seorang  staf pengajar ilmu kardiologi berasal di Tanjung Pura.  Pak Ridwan   sudah dua kali menunaikan ibadah haji. Yang terakhir pengajar ilmu kardiologi  berdarah Melayu itu membawa kakak kandungnya operasi mata di Arab Saudi.
Lelaki Melayu yang sudah berambut putih itu menduga kehadiran seorang mahasiswanya bermasalah dalam hal nilai ujian.
“Saya ingin mendapatkan informasi tentang rumah sakit di Madinah,”  ucap  Iqbal  di depan lelaki  Melayu itu.
“Siapa yang sakit?”
Iqbal segera menuturkan tentang Laila yang mengalami kebutaan sejak lahir  dan menjadi juara em-te-qyu tingkat nasional dan mendapat hadiah o-en-ha.
“Langkah terbaik kalau melaksanakan ibadah haji dan berkesempatan berobat. Madinah adalah kota suci ,Rumah sakit di sana mengandung mukjizat disamping dokter yang berpengalaman. Bawalah ke sana, insya Allah Tuhan menurunkan mukjizat dan sahabatmu dapat melihat.”
“Informasi dari bapak sangat besar manfaatnya bagi saya dan sahabat saya.”
Dosen berdarah Melayu itu memang rendah hati  dan memberikan informasi tentang hal-hal yang diketahuinya di Madinah ,terutama  tentang rumah sakit yang ada kota suci itu.
“Pelayanan umum sangat menyenangkan di kota suci itu, tidak seperti di negeri kita yang amburadul dan sangat buruk.  Tidak ada kesulitan apapun bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tidak saja masyarakat lokal penduduk Madinah, tapi juga bagi pendatang ,terutama jamaah haji yang tiap  tahunnya berjumlah  jutaan orang”.
“Dan semua harus menginap di Madinah. Mungkin di antara jutaan orang dari seluruh dunia yang melakukan ibadah di Masjid Nabawi ada yang mengalami gangguan kesehatan,” anak muda itu memberikan komentar.
“Karena itulah pemerintah  Arab Saudi membangun rumah sakit bertaraf internasional dengan berbagai fasilitas  dan dokter  ahli yang jumlahnya ratusan orang.”
Iqbal merenung mendengar ucapan itu  dan membiarkan dosennya melanjutkan kata-katanya:
“Di seluruh dunia, tidak ada yang menandingi pelayanan rumah sakit di Madinah.” Ahli kardiologi itu berkata polos dan selanjutnya berkata, bahwa rumah sakit jiwapun terdapat di Madinah. Apalagi rumah sakit khusus jantung dan penyakit dalam.  Juga rumah sakit mata.
Ratusan ribu jamaah haji yang mengalami gangguan kesehatan memanfaatkan layanan rumah sakit di kota suci itu.
“Rumah sakit Raja Fahd memiliki gedung megah  dan tenaga dokter ratusan banyaknya, ditambah tenaga medis lainnya seperti perawat,teknisi, apoteker  dan karyawan terlatih.”
Lelaki Melayu itu juga mengatakan, bahwa rumah sakit swasta juga ada. Rumah sakit swasta terbesar dan pertama didirikan di Madinah Munawwarah adalah Rumah Sakit Az-Zahra yang dapat menampung ribuan pasien dengan berbagai keluhan. Rumah sakit ini terletak di pinggir kota Madinah dekat perkebunan kurma dan dibangun oleh Dr.Muhammad bin Badi bin Abdul Aziz, diresmikan bulan Sya’ban 1399 hijrah.
“Anda dapat mengantarkan sahabat anda ke Rumah sakit Raja Fahd  atau rumah sakit swasta Az-Zahra. Keduanya merupakan rumah sakit terbaik di Arab Saudi,bahkan terbaik di dunia”  ujar lelaki Melayu yang sudah belasan  tahun  menjadi tenaga pengajar di kedokteran.
Sesaat lelaki  berdarah  nelayan itu memikir-mikir  dan menimbang-nimbang. Iqbal  tahu persis,bangsa Arab sudah   sejak ratusan tahun silam mengenal ilmu kedokteran yang tidak kalah mutunya dengan bangsa Eropa.  Iqbal ingat benar nama Ibu Syina, bapak kedokteran bangsa Arab yang terkenal. Ibnu Syina,nama itu berkali-kali disebut Iqbal.
“Kalau untuk berobat mata sebaiknya pilih saja Rumah Sakit Az-Zahra yang memiliki belasan dokter mata yang sudah berpengalaman bertahun-tahun. Lagi pula di rumah sakit itu  saya memiliki sahabat yang berasal  dari Belanda dan sudah belasan tahun memeluk Islam. 
Lelaki Melayu  staf pengajar kardiologi itu menyebut nama Prof. Dr.Van Hollman  Mansyur, seorang ahli mata lulusan Leiden.
“Temuilah dokter itu, di tangannya seperti ada mukjizat yang dapat menyembuhkan mata yang buta bertahun-tahun,”  itulah imbauan lelaki Melayu itu.
“Saya akan membawa sahabat saya pada dokter itu.”, sahut Iqbal tanpa ragu-ragu lagi.
Lelaki berambut putih dan berdasi lebar itu juga mengatakan, bahwa Rumah Sakit Az-Zahra dibangun sebagai wujud ikut memberikan andil pelayanan kesehatan tidak hanya kepada warga lokal penduduk Madinah Munawwarah,  tapi juga kepada penduduk di luar kota itu, bahkan bagi penduduk dunia yang datang untuk menunaikan ibadah haji.
Rumah sakit itu sudah amat terkenal di dunia  karena tangan-tangan dingin para dokter spesialis yang berpengalaman  dan didukung peralatan yang canggih dan mutakhir. Disamping fasilitas pelayanan juga dilengkapi dengan potensi sinar x,sinar suara, komputer, analisa medis, penelitian darah, pathologi & hormon,  khusus ginjal  buatan , bedah, te-ha-te, pemasangan lensa mata oleh ahlinya, electrocardiography bahkan pengobatan kanker
“Sangat tepat kalau mengobati mata di rumah sakit Az-Zahra karena dokter yang berpengalaman dalam pemasangan lensa mata. Dan yang membuat rumah sakit ini lebih dikenal  adalah mukjizat yang selalu lekat pada tangan-tangan dokter  di sana. Silahkan datang ke rumah sakit itu dan mudah-mudahan mendapatkan mukjizat itu,” imbau lelaki berdarah Melayu itu lagi. “Kakak saya yang menderita glukoma juga sembuh di rumah sakit itu.”
“Mudah-mudahan sahabat saja mendapatkan mukjizat itu,”  sahut  lelaki muda itu penuh keyakinan.
                            ***
D
i depannya diktat radiologi sedang terbuka, tetapi lelaki itu lama termenung-menung. Laila mendapatkan tiket o-en-ha, rasanya  lelaki muda itu ingin menyertainya selama di tanah suci dan mengantarnya ke Rumah Sakit Az-Zahra untuk mengobati mata sahabatnya dan mendapatkan mukjizat dari tangan Prof.Dr. Van Hottman Mansyur.
Maukah Bu Hartati membiayaiku ke tanah suci?. Terbukakah hatinya,  sementera biaya on-en-ha amat tinggi. Uang tabungan yang dikumpulkan oleh lelaki  itu masih jauh dari mencukupi.Apa yang harus kulakukan?. Siapa yang akan menuntun Laila ke Masjid Nabawi, siapa yang akan menuntun sahabatku ziarah ke jabal Uhud  atau Pemakaman Baqi?. Siapa yang akan menuntunnya ketika Tawaf  keliling Ka’bah dan Sa’i?.
Siapa pula yang akan mengantar sahabatku ke Rumah Sakit Az-Zahra menemui Prof.Dr. Van Hottman Mansyur. Haruskah  Laila  berjalan sendiri kemana-mana sementara dia tidak dapat melihat?. Wajah Laila semakin lekat di mata lelaki muda itu
Kasihan Laila. Kasihan sehabatku.  Itulah yang ada dibenaknya, ketika belajar  dan ketika makan atau dimana saja. Sepanjang hari  lelaki  muda itu senantiasa termenung, pikirannya menjalar ke desanya di tepi Selat Malaka.
“Aku ingin menolongmu sedaya mampuku,Laila. Aku akan menolongmu!.”  Itulah tekad Iqbal.
“Kamu akan menolong siapa,anakku?,” suara itu amat mengagetkan  lelaki muda itu.  Suara seorang perempuan  dan di sisinya sudah berdiri Bu Hartati, perempuan Jawa,ibu angkatnya.
“Kamu ingin menolong sahabatmu,anakku?. Kamu ingin menolong Laila?,”  Perempuan Jawa itu dapat menduga  apa yang ada di benak anak angkatnya.
“Ya, tapi saya tidak berdaya!,” singkat lelaki muda itu menyahut dan menunduk, menekuri diktat radiologi di depannya.
“Kenapa tidak berdaya?. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang.  Pasrahkan kepadanya. Kenapa ananda lupa surah Al Mukminun  dan dalam surah itu Tuhan berjanji akan mengabulkan doa-doa ummatnya?”
“Saya sudah berdoa,Bu.”
“Ibu ingin membantumu. Apa yang kamu inginkan .anakku?.”
‘Saya ingin menuntun Laila  Tawaf, Sa’i  dan semua proses  ibadah  haji.”
“Artinya kamu ingin ke tanah suci?”  perempuan Jawa itu menatap dalam-dalam anak angkat yang sudah dianggap sebagai anak sendiri seperti yang lahir dari rahimnya.
Lelaki muda itu menganggauk lirih.
“Ibu akan membantumu. Pergilah dampingi sahabatmu selama berada di tanah suci.
“Terima kasih, oh ibu.” Lelaki muda itu mencium tangan ibu angkatnya yang teramat baik hati.
Dan tidak harus menunggu lama, menit itu juga  lelaki muda itu menghubungi sahabatnya yang sedang berada di pinggir laut.
“Kita akan bertemu di Madinah,Laila. Sebelum berangkat ke Makkah kita akan ke Rumah Sakit Az-Zahra.  Mudah-mudahan kita akan mendapat mukjizat di sana.” 
“Terima kasih,Iqbal. Semua ini karena kebesaran Tuhan. Semua adalah rahmat.”
Ada cairan bening mengalir di pipi Laila dan tangis itu adalah tangis keharuan. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa  seorang gadis yang lahir dari keluarga nelayan miskin akan melakukan perjalanan ritual yang jauh. Tidak pernah terpikirkan di benak keluarga nelayan yang dulu hidup miskin, sesaat lagi akan meraih mukjizat di tanah suci dan melaksanakan ibadah rukun Islam yang kelima.
            Ribuan calon jamaah  haji sudah menjejakkan kaki di kota suci Madinah Munawwarah.  Salah seorang  jamaah itu adalah gadis tunanetra berasal dari desa nelayan di tepi Selat Malaka.  Turun dari pesawat dia dipapah seorang perempuan setengah baya . Kasihan  gadis  itu tidak sempat melihat suasana kota suci yang sudah memadati Madinah.
            “Bersyukurlah, kita sudah tiba di Madinah.” cetus Iqbal ketika menyambut kedatangan sahabatnya.
            “Aku merasakan kebesaran Tuhan di sini.”
            “Aku ingin mengantarmu ke rumah sakit sebelum solat arbain.”
            “Terserah padamu.Di sini kamu adalah penguasa dan anggap aku seorang hamba yang harus ikut perintahmu.”
            Lelaki muda itu tersenyum. Pada saat teman-teman rombongan Laila melaksanakan sholat arbain di masjid Nabawi, Laila sengaja memisahkan diri, untuk mengobati sepasang matanya bersama sahabatnya.. Sebuah taksi mengantar sepasang anak nelayan itu ke rumah sakit Az-Zahra yang terletak di antara daerah pertanian dengan kebun-kebun kurma . Jalan yang mulus tanpa  hambatan membuat sepasang anak nelayan itu menempuh jarak 2 km dari Madinah hanya beberapa menit saja.
            “Kita sudah  sampai,” ujar lelaki muda itu ketika taksi memasaki kompleks rumah sakit.  Lelaki muda itu tertegun melihat bangunan rumah sakit yang amat megah dan halamannya amat luas. Deretan mobil tampak parkir di halaman. Tiap hari ratusan pasien datang tidak hanya dari Madinah, tapi juga dari segala penjuru dunia. Dokter ahli berbagai penyakit 24 jam siap menanti pasien dengan layanan senyum ramah dan doa.
            Rumah Sakit Az-Zahra adalah rumah sakit terbesar dan terlengkap milik swasta di negara-negara Arab, lengkap dengan fasilitas untuk menangani penyakit wanita, penyakit kulit dan kelamin ,dilengkapi sinar violet,peralatan sinar pendek, unit saluran kemih, unit operasi  tanpa bius khusus pasien lanjut usia, unit gawat darurat dan pernafasan buatan.  Unit penanganan kanker juga ada di rumah sakit ini.  Penderita kanker yang divonis mati oleh dokter di tanah air, di rumah sakit ini mendapatkan mukjizat dan sembuh.  Seorang ibu dari Pakistan yang menderita kanker payu dara juga dapat sembuh di rumah sakit ini. Juga kanker serviks yang penderitanya seorang ibu dari India dan hampir putus asa kembali sehat .
            Mukjizat seperti itulah yang diharapkan oleh Iqbal untuk sahabatnya yang sudah divonis tidak dapat disembuhkan seumur hidup oleh dokter di tanah air..
Ratusan kamar untuk rawat inap siap menampung pasien-pasien  dari segala penjuru dunia.
            “Akan adakah mukjizat  untukku di rumah sakit ini?,”  tanya Laila ragu-ragu dan berpegang erat-erat pada jari tangan sahabatnya.
            “Yakinlah usaha  dan doa kita tidak sia-sia!,”
            Lelaki muda itu memapah sahabatnya memasuki ruang perawatan khusus mata. Ribuan orang penderita penyakit glukoma dan katarak berhasil disembuhkan di rumah sakit ini..  
            “Aku takut,Iqbal!,”  suara Laila terdengar pelan dan jantungnya berdebar keras.
            “Aku akan selalu berada di sisimu. Tidak ada yang harus ditakutkan. Tuhan bersamamu,sahabatku.”
            “Kalau aku mati antar jenazahku ke desa kita, antar  aku ke  rumahku dan kuharap kau ikut menyolatkan jenazahku,”
            “Jangan cengeng, Laila . Setiap anak nelayan harus berani menghadapi semua kemungkinan. Operasi penyembuhan mata adalah hal yang kecil,apalagi ditangani oleh dokter ahli yang sangat berpengalaman.”
            Dan  lelaki muda itu menyebut nama Prof.Dr,Van Hottman  berdarah Belanda  yang sudah belasan tahun menjadi muslim dan mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan di kawasan kota suci Madinah.
            “Mudah-mudahan tangan dokter itu dingin,”  suara Laila masih lirih  dan rasa khawatir masih menggurati hatinya.
            “Setiap anak nelayan sudah terlatih menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan hidup. Anak nelayan harus memiliki sifat pemberani.”
            “Aku beruntung mempunyai sahabat seperti kamu,Iqbal. Kalau aku tidak bersahabat denganmu, aku akan tetap sebagai anak nelayan miskin dan sangat menderita karena aku dilahirkan dalam keadaan buta.”
            “Aku rela berbuat apa saja untukmu. Bukankah aku pernah berkata padamu, aku rela memberikan satu mataku untukmu?. Biar kau dapat melihat dunia, biar aku ikut merasakan penderitaanmu. Tapi sekarang kita berada di sebuah kota Suci dan di rumah sakit bertaraf internasional. Yakinlah kamu akan sembuh dan dapat melihat.”
            Laila hanya menghela nafas panjang dan duduk di ruang tunggu. Dr.Van Hottman sedang menangani operasi katarak terhadap pasien dari Afrika Selatan.
            “Dampingi aku ,Iqbal!,”  itulah pintanya berkali-kali. Sahabatnya hanya mengangguk lirih.
            Di ruang operasi, Laila merasakan sepasang tangan Dr.Van Hoffman  lembut dan dingin. Suntikan bius membuat Laila memejamkan mata kemudian   dirinya seakan-akan melayang jauh. Gadis berasal dari desa nelayan itu seperti  diajak malaikat perempuan mengunjungi Masjid Quba yang ramai dikunjungi orang sedunia dan banyak mengandung sejarah.
            Malaikat perempuan itu memapah Laila ke Masjid Al Jum’ah  dan malaikat perempuan itu pula yang membimbingnya dan berkata:
            “Di sinilah Nabi SAW pertama kali melaksanakan sholat jum’at setelah hijrah ke Madinah”
            “Terima kasih.” sahut Laila dalam pengaruh suntikan bius.
            Lama pengaruh bius itu meresap dalam tubuh Laila  dan malaikat perempuan itu membawanya ke Masjid Qiblatain, juga ke Masjid Al Fath, Masjid Umar bin Khatab.  Banyak lagi masjid yang dikunjungi Laila bersama malaikat perempuan itu ,sampai ke Masjid Bani Sa’dah,Masjid As-Suqya hingga Masjid Asy-Syajaroh.
            Syukur pada-Mu Ya Rabbi, sepasang bibir Laila bergetar ketika dalam   keadaan tidak sadar ada malaikat perempuan membawanya melihat kebun-kebun kurma di kawasan Syyid As-Syuhada.
            Dalam perjalanan dengan malaikat perempuan itu  Laila masih sempat merasakan sejuknya sumur-sumur tua yang ada di sekitar Madinah. Kota Madinah dikelililingi oleh gurun pasir yang kering kerontang, tapi sumur-sumur cukup banyak di sekitarnya. Warga Arab tidak takut mati kehausan karena ada sumur  Ain Zarqa  yang airnya biru, juga sumur Al-Uyun. Gadis tunanetra itu juga diajak melihat areal pertanian yang membudidayakan buah langka seperti delima, khukh, jeruk, semangka dan sayur mayur di kawasan  Al-Abbasiyyah.
            Dalam lawatan itu  Laila juga diajak melihat  gedung Universitas Madinah Munawwarah  dan ribuan mahasiswa  sedang menimba ilmu tentang Islam, bahasa Arab, sejarah, biografi,astronomi, matematika, logika, filsafat, hakum waris  dan berbagai disiplin ilmu lainnya.
            Perpustakaan Syaikhul Islam ‘Arif Hikmat  juga disinggahi oleh anak nelayan yang sedang terlena oleh obat bius. Ribuan buku ada di sana. Hati anak nelayan itu berbunga-bunga ketika malaikat perempuan itu mengajaknya singgah di Taman terbesar Al Munakha,taman Bab Asy-Syami. Juga singgah di bundaran  Al-Anbaryyah yang penuh aneka bunga dan air mancur menyebabkan udara di sekitar taman-taman itu sejuk.
            Tidak terlalu lama operasi yang dilakukan oleh Dr.Van Hoffman terhadap sepasang mata yang dimiliki gadis berdarah nelayan itu.
            Ketika sadar dari pengaruh suntikan ahli anastesia, Laila masih merasakan dunianya tetap gelap.
            “Belum!. Anda belum dapat melihat ketika ini.  Tapi esok atau lusa sedikit demi sedikit anda dapat melihat dengan sempurna,” ujar dokter kelahiran Belanda lulusan Leiden itu.
            “Terima kasih,dokter!”
            “Anda perlu olahraga untuk melancarkan peredaran darah di sekitar mata anda. Pergilah ke Jabal Uhud dan mendaki bukit itu. Mudah-mudahan langkah anda mendaki bukit itu  dapat memacu otot dan pembuluh darah hingga anda dapat melihat cahaya.”
            Dunia di depan Laila masih gelap, tapi dia yakin keterangan dokter, bahwa  esok atau lusa pandangannya akan terang benderang.
            “Antar aku ke Jabal Uhud!,” pinta gadis berdarah nelayan itu kepada sahabat  yang tetap setia  menunggunya menjalani operasi mata.
            “Oke. Aku siap untuk mengantamu kemana saja!.”
            Lelaki muda itu membimbing sahabatnya keluar rumah sakit.
Pasien rumah sakit itu datang silih berganti ,terdiri dari berbagai suku bangsa di bumi ini.
                                                            ***
   J
abal Uhud adalah sebuah deretan bukit sepanjang hampir 10 km yang terbentang dari arah timur ke barat, terletak 5 km dari kota suci Madinah. Bukit batu itu berwarna kemerahan  dan hujan amat jarang turun di bukit itu.
            Penziarah amat banyak karena setiap musim haji pasti jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia akan berziarah ke bukit itu. Jabal  Uhud tidak pernah sepi karena di luar musim haji, Madinah dikunjungi banyak orang yang melakukan ibadah umroh.
            Hari masih pagi, tapi bukit-bukit kemerahan itu sudah ramai didatangi penziarah.
            “Di bukit ini dulu paman Rasulullah, Sayidina Hamzah, tewas sebagai syuhada,”  lelaki muda itu berkata ketika mulai melangkah mendaki bukit itu.
            “Seluruh ummat Islam pasti tahu benar bagaimana dahsyatnya Perang Uhud yang amat mengerikan dalam menegakkan Islam. Ummat Islam tahu benar ,bahwa Sayidina Hamzah adalah seorang pejuang  yang gagah berani.”
            “Berhati-hatilah melangkah,Laila.”
            Sejarah mencatat kisah perang  Uhud  yang merupakan lanjutan dari Perang Badr Al Qubro.  Sayidina Hamzah adalah seorang prajurit yang sangat ditakuti  dan tidak ada musuh yang berani mendekat kalau lelaki itu sudah di atas untanya.  Hanya seorang lelaki  bernama Jubair bin  Muth’am yang berani mendekat karena  saudaranya telah terbunuh di tangan Sayidina Hamzah.
            Lelaki keturunan Quraisy itu bersembunyi di balik batu besar mengintai kapan saatnya Sayidina Hamzah lewat. Pada saat Sayidina muncul di atas punggung untanya, Jubair bin Muat’am melontarkan tombaknya dan tepat di dada   Sayidina Hamzah yang tersungkur berlumur darah dan akhirnya tewas. Seorang syuhada sudah tewas pada babak pertama pertempuran Uhud, tapi pada peperangan itu tentera muslimin meraih kemenangan.
            “Aku ingin bersujud di tempat terjadinya Sayidina  Hamzah  terkena tombak musuh,”  ujar Laila terengah-engah apalagi  amat sulit baginya sebagai gadis tunanetra untuk mendaki bukit bebatuan  yang memanjang itu.
            “Aku akan menemanimu, aku juga akan ikut sujud di tempat itu,”  lelaki muda itu tetap memegang tangan sahabatnya agar tidak tersandung batu,  agar tidak tergelicir ke bawah bukit itu.
            Amat berhati-hati Laila  melangkah, menapaki batu-batuan berwarna  merah yang amat padat dan keras.
            “Pegang aku erat-erat,Iqbal!,”  pinta gadis buta itu.  Bukit itu berwarna merah, tapi di mata gadis itu tampak hitam pekat karena penglihatannya memang tidak berfungsi.
            “Aku tidak akan membiarkan dirimu tergelincir,Laila. Kalau kamu terjatuh, aku akan ikut terhempas.”
            Sesaat sepasang manusia yang berasal dari kawasan pantai  yang terletak di tepian Selat Malaka itu berhenti melangkah dan nafas keduanya ngos-ngosan.
            “Kita sudah sampai, di sini Sayidina Hamzah terbunuh terkena lemparan tombak musuh. Di sini kita sujud.”
            Dua manusia itu membungkuk sejenak lalu melakukan sujud. Hanya sedetik tangan Laila terlepas, langsung tubuh itu berguling-guling ke bawah bukit.
            “Iqbal!.  Aku jatuh!. Aku jatuh!. Tolong aku!,”  teriak Laila
            “Laila!”
            Lelaki itu mengejar tapi tidak mampu meraih tangan sahabatnya.  Tubuh gadis itu dikotori debu dan tangannya berdarah setelah tergulung-gulung ke dasar bukit . Tidak perduli bahaya yang mengancam  Iqbal  segera mengejar Laila yang terbaring kesakitan.
            “Laila!. Laila!,”  berkali-kali Iqbal menyebut nama itu. “Kenapa kamu sampai terjatuh?”
            Laila tidak mampu menyahut. Lama Laila merasakan sakit karena terguling-guling hingga ke kaki bukit berwarna kemerahan itu. Lama dia merasakan perih di tangannya yang terluka.
            Tapi sebuah mukjizat telah terjadi!.
            Pada saat itu, pada ketika dua manusia itu sujud di Jabal Uhud, pada saat  tubuh Laila terhempas di atas bebatuan, kekuasan Tuhan  telah terjadi. Tiba-tiba saja  Laila  melihat alam di sekitarnya terang benderang.
            “Ya, Allah. Inilah mukjizat itu!,”  gumamnya. Laila dapat melihat.  “Aku dapat melihat,Iqbal. Mataku sembuh! Di depanku terang menderang.”
            “Syukurlah!”
            Di atas bukit itu, ditempat tewasnya Sayidina Hamzah sepasang sahabat itu berpelukan. Bila sekali lagi mereka sujud di Jabal Uhud itu, tandanya sebagai sujud syukur. Laila benar-benar dapat melihat dunia. Dunia di depannya terang benderang!.
            “Syukur pada-Mu ,Rabbi. Syukur pada-Mu ,Ya Allah,” berkali-kali kalimat itu  terdengar dari celah bibir Laila.
            Lelaki di sisinya tersenyum. Lama lelaki berdarah nelayan itu membiarkan sahabatnya menatapnya dalam-dalam dan lama..
            “Kenapa,Laila?. Kenapa kamu menatapku amat lama. Adakah sesuatu yang aneh pada diriku?,”
            Tiba-tiba saja  Laila mendekap tubuh sahabatnya.
            “Oh,Iqbal. Inilah pertama kalinya aku melihat diri sahabatku dengan jelas. Selama ini yang kupandang adalah kegelapan, juga dirimu terlihat gelap. Namun sekarang aku sudah melihat dengan jelas dirimu yang sebenarnya dalam keadaan terang benderang. Kamu adalah  lelaki gagah!.  Kamu adalah lelaki satria. Kamu perkasa,sahabatku.”
            “Aku merasa biasa-biasa saja.Syukurlah kamu sudah  melihat diriku yang sebenarnya.”
            “Aku kagum,Iqbal. Aku senang bisa melihat sepasang matamu, hidungmu, keningmu dan semuanya.  Aku senang melihat kumismu.  Kamu lelaki gagah!”
            “Tuhan bersama kita,Laila. Bertahun-tahun kita berusaha dan berdoa agar kamu dapat melihat. Alhamdulillah, hari ini, di Jabal Uhud mukijizat itu datang.”
            “Oh,Tuhan. Betapa indah alam ciptaan-Mu!,”  Laila memandang keliling Jabal Uhud.  Berkali-kali perempuan berdarah nelayan itu memuji kebesaran-Nya. Lama Laila memandang sekitar Jabal Uhud yang dipenuhi penziarah.
            Iqbal tidak menolak ketika sahabatnya mendaki kembali Jabal Uhud hingga ke puncaknya. Dari puncak bukit berwarna merah itu kedua manusia yang dilahirkan di desa yang amat miskin itu memandang kejauhan. Tampak kota Madinah sedang dipadati oleh jamaah haji dari seluruh pelosok dunia.
            Dua anak manusia yang sudah sangat lama menjalin persahabatan itu mengenang sejarah masa lalu bukit yang kini dibawah telapak kakinya. Di Jabal Uhud itu perang paling dahysat telah terjadi. Di Jabal Uhud itu para syuhada berguguran satu demi satu . Di bukit itu pula Rasulullah SAW terluka.
                                                ***
   H
ARI sudah siang ketika dua anak manusia  dari keluarga miskin itu              meninggalkan bukit yang amat bersejarah itu. Sepanjang jalan pulang dari Jabal Uhud, sepasang manusia yang saling bersahabat itu melihat deretan toko-toko dan gedung-gedung megah serta apartemen. Di sana juga ada toko komputer, ada toko mobil,  ada toko telefon genggam, bank dan  juga ada  toko perhiasan. Restoran juga banyak  di pinggir jalan-jalan kota itu.
            Kesibukan tampak di kantor Walikota  dan kantor instansi pemerintah  tetap buka melayani kepentingan publik. Wajah-wajah ceria tampak menyambut kedatangan masyarakat yang ingin berurusan dengan kantor instansi terkait.
            “Tidak ada urusan yang dipersulit di sini. Beda dengan layanan publik di negeri kita,” cetus  Iqbal ketika melewati kantor imigrasi.
            “Negeri kita memang bobrok dalam hal pelayanan. Semua urusan pasti menguras isi dompet.”
            Sepasang sahabat itu menyadari hampir semua urusan dengan instansi di tanah air tidak pernah ada kemudahan. Pegawai di setiap instansi  melimpah tapi urusan lamban. Lihatlah betapa banyak kasus tanah yang menumpuk di Badan Pertanahan Nasional sehingga selalu menimbulkan konflik. Lihalah di Kejaksaan Agung ribuan perkara juga menumpuk. Tidak  jarang orang yang terlibat kasus hukum menjadi korban pemerasan para oknum ,seperti kejaksaan, kehakiman, kepolisian dan oknum pengacara juga doyan duit rakyat.
            Sepasang mata  Laila yang kini sudah sembuh dan terang benderang seperti tidak berkedip memperhatikan deretan pertokoan dan apartemen sepanjang jalan.
            “Tidak pernah tampak pegawai perempuan di sini!,”  cetus Laila ketika mereka melewati pertokoan.
            “Wanita tidak boleh tampil di depan umum di negeri ini!,”  sahut Iqbal.
            “Di negeri ini juga berlaku larangan wanita mengenderai mobil.”
            Laila hanya manggut-manggut. Pantas yang tampak di pertokoan hanya pelayan  lelaki yang melayani pembeli . Bahkan di toko kosmetik dan sandang yang melayani juga kaum pria. Wanita lebih banyak berada di rumah.
            Di kota itu  mereka melintasi  jalan layang  dan kereta api terlihat menarik gerbong penuh penumpang di Sulthanah. Madinah dikelilingi gurun pasir gersang, tapi di kota ini tampak banyak taman dan air mancur. Di antara gurun pasir, terlihat banyak tanaman dan pepohonan yang  rindang.
 Iqbal mengantar sahabatnya ke Hotel  Andalus, untuk bergabung dengan rombongannya setelah berpisah dua hari karena  Laila harus berobat ke Rumah Sakit Az-Zahra,hingga Tuhan menurunkan mukjizat  dan Laila benar-benar dapat melihat dengan terang benderang. Sementara Iqbal menempati hotel lain yang terletak tidak jauh dari Al Andalus.
            Hotel itu terletak hanya beberapa puluh meter dari Masjid Nabawi. Ratusan jamaah yang tergabung dalam satu kelompok terbang itu terheran-heran  melihat Laila sudah dapat melihat. Gadis itu tidak perlu dipapah lagi.  Laila mendapat pelukan  dan ciuman  dari kawan-kawan perempuan sesama jamaah.
            Sebuah prosesi paling sakralpun dimulai. Hari itu pertama kali  Laila memasuki Masjid Nabawi yang amat megah.  Sahabatnya, Iqbal  menantinya di pintu masjid itu  dan berpisah lagi pada waktu sholat subuh karena kelompok perempuan dan lelaki harus dipisahkan. Laila memasuki pintu An Nisa dan masjid paling megah itu sudah dipadati jamaah.
            Laila terkagum-kagum  melihat masjid yang maha luas itu dengan tata cahaya yang terang benderang ,tidak ada bandingannya di dunia. Sepasang mata yang baru dapat melihat itu memperhatikan  keliling masjid.  Atap masjid dapat membuka dan menutup sendiri.
            Dengan derai air mata keharuan gadis asal desa nelayan itu melangkahkan kakinya melewati pilar demi pilar yang menyanggah bangunan masjid itu. Di awali dari  pilar Al-Mukhallaqah yang menyebarkan aroma harum,lalu  pilar Aas-Sayyidinah Aisyah dan 6 tiang lainnya.
            Di Raudah, sebuah tempat  berukuran 22 meter  yang letaknya antara makam Rasululllah dan mimbar,  Laila   berdoa. Di tempat ini doa ummat akan dikabulkan Tuhan.
            “Ya, Rabbi. Ampuni ayahandaku yang direnggutkan Tsunami. Limpahkan rahmat kepada ibundaku, dan juga Bu Hartati yang amat baik hati serta suaminya. Kukuhkan persahabatan kami, aku dan  Iqbal.”
            Jauh di dasar hatinya, Laila berharap persahabatannya dengan Iqbal yang sudah terjalin bertahun-tahun, sejak mereka masih bocah akan berlangsung  abadi, hingga akhir hayat.
            Airmata Laila menitik lagi ketika melangkahkan kakinya  ke arah  makam Rasulullah SAW dan  sahabatnya, Abu Bakar Assiddiq dan Umar Ibun Khattab  r.a.  Di makam inipun Laila melantunkan doa.
            Tidak jauh dari makam iu  Iqbal sudah menunggu.
            “Air matamu masih bersisa, Laila. Hapuslah,”  terdengar suara lelaki sahabatnya.  Jutaan jamaah, setiap ziarah di depan makam itu pasti menitikkan air mata.
            “Ayo kita ke makam Baqi,”  ajak sahabatnya.
            “Tentu saja aku amat senang ziarah ke sana.”
            Air mata mengalir di pipi Laila, tapi gadis itu terlihat semakin cantik dan pipinya kemerahan. Dengan berbimbingan tangan mereka menuju arah Timur, menuju makam Baqi.  Dari kejauhan sudah terlihat ribuan burung-burung merpati terbang di atas makam itu  dan ribuan lainnya bermain di sekitar makam.
            “Makam ini sudah berusia ribuan tahun,sejak jaman jahiliah. Jamaah haji yang wafat juga dimakamkan di sini.”  ujar lelaki muda itu ketika memasuki gerbang makam Baqi.
            “Di makam ini dikuburkan tidak kurang dari sepuluh ribu sahabat nabi,” tambah lelaki itu lagi.
            “Tentunya kamu banyak membaca riwayat tentang makam ini. Ceritakan kepadaku siapa saja yang dimakamkan di sini.”
            “Orang pertama dari kalangan sahabat Nabi  dari golongan Anshor yang dimakamkan di sini adalah As’ad bin Zararah dan dari kalangan muhajirin adalah Utsman bin Madh’un.”
            “Juga istri-istri Nabi?”
            “Ya. Aku menemukan nama-nama dalam sejarah istri Nabi yang dimakamkan di sini, yakni Aisyah, Saudah, Hafsah, Zainab, Ummu Slmah, Juwairiyyah, Ummu Hubaibah  dan Shofiyyah.”
            “Kamu hafal benar nama-nama itu!,” Laila kagum.
            Sepasang sahabat itu berpegangan tangan ketika mengelilingi makam Baqi  dan burung-burung merpati tidak takut berada di dekat mereka.  Seakan burung-burung merpati itu ingin menjalin  persahabatan  dengan  mereka.  
            “Alangkah damainya sesama merpati,Iqbal,” cetus  Laila manja di sisi sahabatnya ketika mereka memperhatikan ribuan merpati di pelataran makam itu.
            “Damai dan mesra. Seperti persahabatan kita,’  sahut Iqbal. Laila hanya tersenyum.
                                               ***
   L
abbaika Allahumma Labbaika, Laa syarika laka labbaika, Innal hamda wan nikmata laka wal mulk, laa syariika laka. Kalimah talbiyah itu  berkumandang sepanjang perjalanan  menuju Makkah. Jalanan amat mulus  dan di atas bis  tidak terasa guncangan sedikitpun. Perjalanan itu amat khidmad dan suci.
            Beda kelompok terbang dan beda bimbingan perjalanan haji menyebabkan beda penginapan bagi sepasang sahabat yang berasal dari kawasan pantai di pinggir Selat Malaka itu. Tapi perbedaan itu tidak menyebabkan mereka berdua sulit untuk bertemu. Syukur Laila menempati penginapan di Hotel Affandi, sementara sahabatnya jauh di kawasan Ma’la.
            Namun keduanya bertemu di depan pintu Babussalam. Keduanya memasuki Masjidil Haram  yang amat dimuliakan jutaan ummat muslim di seluruh jagad raya ini.
            Masjidil Haram yang amat luas itu dipadati jamaah yang melakukan tawaf tujuh kali keliling Ka’bah. Jamaah berjejal  oleh orang-orang yang bertubuh besar seperti dari Nigeria  dan negara-negara lain di Afrika. Semua keliling Ka’bah dengan melantunkan doa-doa.
            Orang-orang yang bertubuh besar dan hitam legam itu bagi Laila amat menakutkan. Laila takut terpijak-pijak atau ditabrak oleh  mereka yang bertubuh besar.
            “Pegang tanganku,Iqbal!,” pintanya  kepada lelaki di sisinya ketika mereka memulai keliling Ka’bah.
            “Tentu saja aku tidak ingin kamu terseret oleh mereka!.”
            Iqbal melantunkan doa tawaf  putaran pertama, dan Laila mengikutinya dengan perlahan. Andainya tidak ada mukjizat di Jabal Uhud, tentu Laila dalam kegelapan di masjid itu. Kini setelah matanya terang benderang, Laila dapat melihat barisan jamaah dari Turki yang mengenakan jas dan rapi. Juga barisan jamaah dari China, Irak, India, Pakistan, Malaysia  dan banyak lagi.
            Cuaca sedang panas terik, tapi ketika ribuan orang sedang melakukan keliling Ka’bah tidak merasakan panas itu. Seperti ada keajaiban di sana, ribuan orang berkumpul tapi tidak ada orang yang bermandi keringat, padahal keliling Ka’bah cukup melelahkan dan berdesakan.
            Sampai akhir putaran yang ketujuh, Laila tetap berpegang pada tangan sahabatnya. Sampai akhir keliling Ka’bah Iqbal melantunkan doa-doa dan sepasang bibir Laila  berkomat-kamit mengikutinya.
            Lima jenazah sudah dibaringkan di masjid itu menjelang sholat magrib.
            “Tiap menjelang sholat ada saja jamaah yang meninggal,’ cetus Laila di depan Multazam ,tegak untuk melakasanakan sholat maghrib. Puluhan ribu orang melaksanakan solat jenazah di masjid itu.
“Berbahagialah  mereka yang meninggal di sini karena dimata Allah dinilai sebagai mati syahid,”
Sepasang manusia yang saling bersahabat itu sudah selesai melakukan tawaf, tapi masih puluhan ribu memadati pelataran masjid melakukan keliling Ka’bah.
“Lindungi aku di Maqam Ibrahim!,” pinta Laila usai mengelilingi Ka’bah ketujuh kalinya. Untuk sholat dua rakaat di Maqam Ibrahim memang tidak mudah karena ribuan jamaah yang terus melakukan tawaf. Tapi Iqbal harus melindungi sahabatnya agar di ditempat itu  tidak diterjang oleh jamaah dari Irak atau India yang melangkah sembarangan.
Hampir saja kepala Laila terpinjak oleh jamaah dari Bangladesh ketika  sujud, tapi Laila tetap saja khusuk. Langkah jamaah bertubuh hitam legam itu tidak menghalanginya untuk membaca surah Al Kafirun dan Al Ikhlas. Juga ketika Laila melakukan sholat di Hijir Ismail. Silih berganti, Laila berusaha menghempangkan tangannya untuk melindungi Iqbal yang sholat di tempat itu. Sama halnya dengan Laila, kepala  sahabatnya juga seenaknya dilangkahi oleh jamaan bertubuh besar.
“Ayo kita minum air zam-zam!,” ajar lelaki muda itu dan membimbing tangan sahabatnya dan melangkah ke arah telaga zam-zam.
Seteguk air zam-zam melewati kerongkongan Laila dan terasa amat segar. Sepasang bibirnya melantunkan doa,   memohon keredhaan Allah untuk ilmu pengetahuan yang amat bermanfaat, rezeki yang luas dan terhindar dari berbagai penyakit.
“Ya,Rabbi. Aku anak nelayan, aku pernah hidup miskin. Berilah aku kemampuan untuk memberikan ilmu untuk anak-anak nelayan yang masih dalam kebodohan dan kemiskinan,”  itulah doa Laila.
Jauh di dasar hatinya,  ada cit-cita yang amat luhur. Laila berjanji dalam hatinya, andainya Tuhan menyembuhkan matanya, dia akan mengajarkan ilmu kepada anak-anak penghuni pulau-pulau  di sekitar  Selat Malaka.
“Mudah-mudahan doamu terkabul,Laila,”  terdengar suara lelaki di sisinya seusai meneguk air zam-zam yang terasa amat segar. “Tapi kamu harus ingat, untuk mencapai pulau-pulau itu harus naik perahu sementara kamu adalah perempuan yang langkahnya sangat terbatas.”
“Percuma saja aku jadi anak nelayan kalau tidak berani menantang ombak. Percuma saja aku jadi anak nelayan kalau takut membelah ombak laut. Meskipun pulau itu terletak diujung langit aku akan kesana.  Di pulau-pulau itu masih banyak anak nelayan yang hidupnya yang sangat terbelakang dan tidak bersekolah.”
“Semoga cita-citamu yang amat mulia itu menjadi kenyataan,”
Lelak muda itu ingat beberapa pulau kecil di Indonesia dan tidak semuanya  terbelakang, sepertgi Kepulauan  Mentawai , Nias dan banyak lagi. Pembangunan sudah sampai ke pulau itu. Sekolah sudah banyak di sana, Puskesmas juga ada.   Kehidupan masyarakatnya  sudah terbilang layak.
Akan halnya di pulau-pulau kecil di selat Malaka yang penduduknya hanya seratus atau seratus lima puluh jiwa, kehidupannya amat memprihatinkan. Anak-anak usia sekolah harus menyeberang laut untuk mendapatkan pendidikan. Puluhan anak-anak tiap hari harus naik perahu untuk menimba ilmu. Karena itulah Laila ingin mengabdikan dirinya untuk kanak-kanak warga pulau-pulau kecil itu.  Laila ingin ikut serta mencerdaskan anak-anak nelayan yang semuanya  adalah anak bangsa.
Lelaki muda itu membimbing sahabatnya ke bukit Shafa untuk memulai ritual Sa’i, berjalan ulang alik bukit Shafa-Marwah. 
“Kamu lelah,Laila,”  lelaki itu menatap sahabatnya.
Laila menggeleng dan menyahut:
“Di tanah suci ini aku merasa tidak pernah lelah. Hauspun tidak. Bukankah kita sudah meneguk air zam-zam yang melapangkan dada kita dan menepis kelelahan?”
Tanpa bimbingan sahabatnya  , Laila mendaki bukit Shafa untuk memulai ibadah Sa’i. Sepasang bibirnya bergetar mengucapkan doa.
“Hati semua perempuan akan merasa sedih kalau ingat penderitaan Siti Hajar yang ditinggalkan Nabi Ibrahim berjalan mondar-mandir di padang pasir yang tandus untuk mencari seteguk air untuk putranya yang masih balita.”  Ujar  Laila mengenang kisah tentang   seorang perempuan berhati baja, istri Ibrahim yang saat itu sedang berada jauh di negeri Syam. 
Tidak ada seorangppun di tengah padang pasir yang gersang, amat panas dan kering yang dapat memberinya seteguk air.
“Kamu juga perempuan berhati baja seperti  Siti Hajar. Bukankah  tekadmu amat keras untuk mendidik anak-anak di pulau kecil di sekitar desa kita?,”  sahut sahabatnya. “Terlalu berat untuk seorang perempuan,Laila.”
“Tapi aku akan tabah seperti ibunya Ismail yang berjalan tujuh kali antara Shafa dan Marwah hanya untuk mencari seteguk air. Sa’i  yang kita laksanakan saat ini merupakan gambaran kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.”
Perjalanan Sa’i itupun  dimulai dengan langkah kanan. Ribuan orang, selesai tawaf menikmati sejuknya air zam-zam lalu melaksanakan ibadah Sa’i. Jamaah yang sedang sakit atau manula dan uzur melaksanakan ibadah itu dengan kereta dorong.
Panas terik seperti membakar tubuh ketika dua manusia muda yang saling bersahabat itu hadir di Padang  Arafah yang dikelilingi gurun tandus. Hampir tiga juta ummat berkumpul di tempat itu yang merupakan rukun haji.
“Di tempat ini hampir tiga juta mengharapkan penghapusan dosa,”  terdengar suara lelaki muda itu ketika memasuki kemah di Padang Arafah yang amat luas.
“Ya, tidak ada dosa yang tidak diampuni di sini,” sahut Laila yang juga memahami ilmu tentang ibadah haji.
Hampir tiga juga ummat berkumpul dan bersujud di Padang Arafah yang amat luas. Kemuliaan Islam  amat jelas di tempat ini, karena hampir tiga juta orang keberadaannya sama, tidur hanya beralaskan sehelai tikar. Semua merasakan panasnya matahari. Semua merasakan gersangnya gurun pasir yang amat luas.
Orang yang bertubuh kekar  dan orang-orang yang uzur atau dalam keadaan sakit juga harus hadir di Arafah. Bedanya orang-orang yang sudah berumur lanjut atau sakit hadir di Arafah di atas mobil  ambulans.
Laila tidak harus mengeluh bila merasakan teriknya matahari. Baginya adalah hal yang biasa merasakan matahari yang membakar tubuh, karena setiap anak nelayan selalu berada di pinggir laut. Udara di pantai selalu terik.
Di padang Arafah yang amat luas itu, Laila berpasrah diri. Akan halnya di tenda lain  sahabatnya juga  bermunajat kepada Allah. Di tempat yang berbeda, dua anak manusia yang berasal dari kelurga nelayan miskin itu berpasrah diri.
“Ampuni dosa-dosa kami ,Ya Allah. Ampuni dosa ayah bunda kami. Perkenankan para nelayan mendapatkan limpahan rahmat-Mu. Perkenankan kami para nelayan mendapatkan perbaikan nasib. Jangan biarkan selamanya hidup menderita.”, itulah doa Laila dan air matanya mengalir membentuk sungai kecil di pipinya.
Di tempat lain, di atas  sajadah,  sepasang bibir Iqbal senantiasa bergetar mengucapkan doa untuk kerabatnya, juga untuk Bu Hartati yang sudah banyak mengulurkan tangan, hingga menjeputnya ke desa dan mengakuinya sebagai anak kandung sendiri.
Di Padang Arafah ini tiga juta manusia melepaskan kekayaan dan harta bendanya. Di tempat ini berjuta manusia merasa dirinya sama dan sejajar. Tidak ada yang membedakan si kaya dan si miskin, tidak ada yang membedakan Pak Camat dengan pedagang kaki lima.Tidak ada beda antara bupati dan pengangkat sampah. Tidak ada beda antara seorang perwira  polisi dengan penjual bakso. Pejabat penting di sebuah be-u-em-n juga tidak ada bedanya dengan satpam. Semua sama di mata Allah.  Semua memohon keampunan di tempat ini.  Semua merasa sangat dekat dengan Allah.
Semua jamaah, pengusaha kaya dan pembuat tempe tahu singgah di muzdalifah dan bermalam di sana serta mencari batu-batu kerikil untuk melontar jamrah Aqoba, Wustha dan Ula.
“Bersiap-siaplah melontar syetan, wahai anak nelayan!,”  kata-kata itu seperti terdengar dari langit. “Bukankah sekarang sudah sangat banyak syetan bermukim di laut?. Banyak kapal-kapal asing dengan ratusan anak kapalnya mencuri ikan di lautmu. Banyak perahu bermesin membawa narkoba dari kapal yang berlabuh di tengah laut. Banyak orang yang sudah  mengotori laut. Mereka itu adalah syetan. Lemparlah karena syetan itu melekat di jamrah Aqoba. Lempar iblis yang menempel di jamrah Wustha. Lempar  iblis yang bersembunyi di balik jamrah Ula.”
Di tengah malam yang gelap,  Laila dan Iqbal bertemu lagi meskipun bis yang membawa mereka dari Arafah berbeda. Mereka selalu dapat bertemu karena  terjalin dalam sebuah persahabatan. Keduanya hati-hati sekali memungut satu demi satu bau-batu kecil untuk melontar  iblis-iblis itu.
Sepasang anak nelayan yang sudah bertahun-tahun bersahabat  itu menempati tenda yang berbeda di Mina, tidak jauh dari tempat pelontaran jamrah. Tapi mereka selalu bertemu dan berkumpul pada satu titik.  Seperti halnya di pintu masuk  areal jamrah, sepasang sahabat itu bertemu lagi. Sejak sebelum fajar merekah, keduanya sudah   hadir di pintu masuk untuk mengejar waktu afdol.
“Kalau terlambat melontar, sesudah zhuhur  pahalanya beda. Kita harus  mengejar yang terbaik.”  Ujar lelaki di sisi Laila.
Gadis itu hanya berdiam diri. Tiga juta  ummat berkumpul pada satu titik, untuk melontar jamrah Aqobah, untuk menghindari waktu ikhtiar, untuk mengejar waktu afdol kedua sahabat itu sudah siap-siap sejak usai sholat subuh.  Pada saat itu jutaan jamaah saling berdesakan dan saling dorong.
Ada rasa  cemas dan takut di hati Laila karena kerumunan manusia di depannya. Seperti tidak ada celah sedikitpun. Sayup-sayup rongga telinga gadis itu mendengar suara lembut dari langit.
“Apa  yang kamu takutkan , wahai anak nelayan?. Di lautmu ratusan dan ribuan ikan tiap hari berkerumun, tapi tidak ada satupun yang mati!. Di tempat ini ribuan, bahkan jutaan orang  juga berkerumun, namun tidak ada yang mati. Semua dijaga Allah, wahai anak nelayan!”
“Lemparkan jauh-jauh rasa takutmu!.  Buang jauh-jauh rasa khawatirmu!”
Akan halnya Iqbal juga seperti mendengar bisikan dari langit:
“Jaga sahabatmu baik-baik, wahai anak nelayan. Lindungi dia, bimbing dia jangan sampai terjatuh!,”
Ketika dua sahabat itu bersiap-siap untuk melangkah masuk, seorang perempuan tua menghampiri. Perempuan tua itu sudah keriput, sudah bongkok, tapi bicaranya masih jelas.
“Tolong saya,Nak. Bantu saya!,”  perempuan tua itu mengiba dan penuh harap kepada Laila..
“Apa yang dapat kami lakukan untuk ibu?,”  sahut Laila merasa kasihan.
“Saya sudah tua, saya sudah uzur, saya tidak berdaya. Tolong lontarkan batu-batu ini kearah iblis-iblis itu!”
Perempuan tua itu menyerahkan sejumlah bebatuan kecil kepada Laila:
“Saya tidak berdaya lagi untuk melempar syetan-syetan itu!”
“Insya Allah saya akan melemparkan untuk ibu,”  sahut Laila . Dan perempuan  tua  itu menyebut namanya:
“Jamilah!. Saya bersama anak saya dari Asahan. Namun saya harus kehilangan, karena anak saya   menderita penyakit demam tinggi ketika di Arafah. Sekarang saya terpaksa berjalan sendiri.”.
Perempuan tua itu menangis  ketika menceritakan tentang penderitaan putranya  ketika wuquf di Arafah. Berjalan sempoyongan, putranya tidak henti-hentinya mengeluh kepalanya sangat pusing,nyeri dan bicara  ngawur tanpa sadar  serta panas tubuhnya  mencapai 40 derjat. Dokter kloter tidak mampu mengobati.
Sepasang anak nelayan itu merasa hatinya tergugah.  Sepasang anak nelayan itu merasa amat iba kepada perempuan tua yang kematian anaknya yang menjadi mahramnya dan baru saja direnggut  Head Stroke, penyakit khas negeri padang pasir.
Sesama rumpun Melayu, pikir kedua sahabat itu.  Mungkin di Asahan ,perempuan tua itu juga tinggal di sekitar perkampungan nelayan. Terimalah permohonannya.
Perempuan tua asal Asahan  itu  membuka tas yang berisi paspor dan dokumen dirinya  lalu mengeluarkan sejumlah uang kepada Laila:
“Inilah sekedar upah!”
“Tidak usah,Bu,”  Laila menolak. “Kami tidak membutuhkan uang. Kami tidak menerima upah. Kami akan membantu ibu dengan hati ikhlas. Kami berdua adalah anak nelayan, kami berasal dari keluarga miskin.  Selama ini kami banyak menerima bantuan ,kami banyak menerima pertolongan dari orang lain.  Kami ingin membantu ibu sebagai wujud  balas jasa kami kepada orang-orang yang berhati mulia yang sudah banyak sekali mengulurkan tangan kepada kami.”
Laila dan sahabatnya ingat perempuan Jawa, Bu Hartati dan suaminya,  yang sudah amat banyak membantu mereka.
‘Terima kasih!. Terima kasih, ananda!,”  perempuan tua itu berkali-kali mengucapkan terima kasih.  Di tanah suci kebaikan selalu saja ada. Pertolongan selalu saja muncul di kala jamaah mengalami kesusahan.
Iqbal menyentuh tangan sahabatnya dan menyerbu masuk ke arah tiang besar bernama Aqobah dan iblis bersarang di sana.
“Pegang tanganku erat-erat,Laila!. Jangan lepaskan tanganku.”
Saling dorong tidak terelakkan, tapi Tuhan memberi kemudahan bagi kedua anak keturunan nelayan itu.  Satu demi satu  batu yang dibawanya dari Muzdalifah di lontarkan ke arah Aqobah dan iblis bersarang di sana.
“Berikan batu dari ibu tua itu, biar aku yang melontarkan atas nama dirinya!,” pinta Iqbal kepada sahabatnya.
“Tidak!. Biar aku yang melontar!,” Laila bertahan. “Biar  aku yang melontar untuk dirinya. Bukankah aku baru saja mendapat mukjizat dari  Tuhan hingga aku sembuh dari kebutaan?”
“Tapi aku sudah sangat banyak menerima kebaikan dari Bu Hartati, biar aku yang melontarkan  untuk ibu tua itu.”
Kedua sahabat itu saling berebut ingin melontarkan batu kecil itu untuk  perempuan tua itu. Masing-masing ingin berbuat kebaikan untuk orang lain. Itulah anak nelayan, amat senang berbuat baik untuk orang lain.
“Baiklah, Laila. Hari ini kamu yang menang, kamu yang melontar  jamrah untuk ibu tua itu. Tapi esok, aku yang melontar Wustha dan Ula.”
“Ya, kita berbagi dalam kebaikan!.”
Satu demi satu dari tangan Laila  terlontar batu-batu kecil ke arah tiang Aqobah, hingga tujuh batu dan semua tepat sasaran, tidak satupun yang melenceng.
Tuhan memberi banyak sekali kemudahan dan perlindungan kepada dua anak manusia yang dilahirkan di tepi laut itu. Semua prosesi pelontaran jamrah amat mulus, padahal jutaan  manusia dari berbagai penjuru dunia saling dorong dan saling berdesakan.Di tahun-tahun silam banyak korban berjatuhan di tempat ini. Jatuh  ketika saling dorong lalu terpijak-pijak jamaah lain hingga tewas.
Sepasang anak berdarah nelayan itu meneguk air zam-zam setelah melakukan pelontaran jamrah dan tahalul  atau memotong beberapa helai rambut.
Langkah sepasang anak nelayan itu terasa ringan ketika berjalan pulang ke kemah dan berpegangan tangan. Di depan terowongan panjang, manusia amat padat. Tapi tidak ada seorangpun jamaah yang takut, karena terowongan saat ini tidak menyeramkan seperti dulu, ketika korban-korban berjatuhan. Saat ini terowongan sudah dibangun dua jalur, jalur pergi dan pulang. Dalam terowongan itu keadaannya tidak gelap  dan tidak panas karena dilengkapi dengan lampu-lampu terang benderang serta pendingin udara. Jutaan orang yang melewati  terowongan itu merasa nyaman.
“Tunggu,anakku!. Tunggu ,Laila. Tunggu,Iqbal!.”  terdengar suara memanggil  dekat pintu masuk terowongn. Langkah kedua sahabat itu berhenti karena berulang-ulang  suara panggilan itu terdengar.
Bu Jamilah, perempuan tua yang meminta batuan melontar jamrah itu ternyata menunggu di pintu terowongan.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ananda berdua. ,” terdengar  suara perempuan tua itu. “Saya  ingin menuturkan tentang anak saya yang meninggal pada saat wuquf di Arafah. Rasanya ada yang mengganjal di hati saya sebelum saya ceritakan keadaan anak saya.”.
“Kami akan mendengarnya dengan senang hati!,”  Laila dan sahabatnya  berhenti di depan terowongan dan mendengar setiap kata yang diucapkan perempuan tua  itu:
“Pada awalnya anak saya adalah adalah nelayan yang tiap hari melaut,”  perempuan tua itu mulai menuturkan tentang putranya.
“Kami juga anak nelayan. Ayah kami juga tiap hari berada di tengah laut.”  Laila menyela.
“Allah memberi anak saya kemurahan rezeki dan lautpun ditinggalkan,”
“Anak ibu kemudian berdagang di kota?,”  Laila ingin tahu.
“Tidak!. Anak saya jadi juragan ikan. Tiap hari anak saya berada di pelabuhan ikan dan menanti setiap nelayan. Itulah!. Itulah yang saya kesalkan. Anak saya membeli ikan dari nelayan dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal di berbagai kota. Allah mungkin murka kepadanya karena telah menzolimi para nelayan yang sudah bekerja keras sepanjang hari menjaring ikan di laut. Harga ikan yang dibeli dari para nelayan itu tidak sewajarnya.”
            “Kami memahami hal itu. Di desa kami yang namanya juragan ikan hidupnya kaya raya.”
            “Tuhan tidak meredoi anak saya jadi juragan ikan dan pada saat saya dan anak saya menunaikan ibadah haji, Tuhan membalasnya dengan penyakit ketika berada di tanah suci.”
            “Tapi anak ibu sempat melaksanakan tawaf dan sa’i,bukan?”
            “Ketika melaksanakan tawaf pada putaran kelima, anak saya mulai merasakan pusing  dan hampir tidak mampu melaksanakan hingga putaran ketujuh.  Saya menganjurkan kepadanya untuk minum air zam-zam  karena kita semua percaya, air zam-zam adalah obat segala penyakit yang sangat mujarab. Setelah meneguk air zam-zam, anak saya tidak lagi merasakan pusing  dan demam tinggi .Air zam-zam yang diteguknya menambah kekuatan dirinya dan  sehat kembali,  hingga kami berdua dapat melaksanakan sa’i. Pada saat itulah ,pada saat kami berjalan dari bukit Marwah ke Shafa, mendadak panas  tubuhnya kembali datang dan kepalanya amat pening. Dia mulai mengigau lagi. Anak saya tidak mampu bertahan.”
            “ Ditempat sa’i anak ibu pingsan dan jatuh?. Begitukah?,” Laila menatap wajah perempuan tua yang sudah keriput itu..
            “Ya, anak saya terkapar di antara ribuan orang yang sedang menjalankan ibadah sa’i.   Lagi-lagi air zam-zam  dapat memulihkan kekuatan dirinya.”
            “Air zam-zam memang memiliki mukjizat untuk menyembuhkan berbagai  penyakit,”  Laila memberikan komentar.
            “Namun ketika Wuquf anak saya harus berada di Arafah diatas mobil ambulans. Tubuhnya sangat lemah.”
            “Anak ibu sempat bermunajah kepada Allah di Arafah?”
            “Itulah yang sangat saya syukuri. Anak saya sempat memohon ampun atas segala dosanya,meskipun dengan suara yang sangat lirih dalam ambulans. “
            Perempuan tua itu menuturkan bagaimana putranya mencari nafkah, membeli ikan yang diperoleh para nelayan dari tengah laut dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi. Tanpa disadari, anak lelaki ibu tua itu telah menzolimi para nelayan setiap harinya. Dosanya bertumpuk-tumpuk, seperti tumpukan sampah.
            “Syukurlah. Anak ibu sudah mendapat pengampunan,karena tidak ada dosa yang tidak diampuni di Arafah. Anak ibu bebas dari dosa  dan tidak seorangpun nelayan dendam padanya.  Anak ibu bersih dari dosa.”, Iqbal memberi komentar.
            “Saya merelakannya. Saya tidak mampu membendung air mata ketika jenazahnya disolatkan oleh ribuan orang .”
            “Dan anak  ibu dimakamkan di Ma’la?”
            “Tidak!. Anak saya dimakamkan di Surayya.”
            “Semua itu adalah takdir Tuhan,Bu.”
            “Ya. Saya ikhlas. Saya benar-benar rela.”
            “Anak ibu sudah beristirahat dengan tenang.”  Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Laila kepada perempuan tua di depan terowongan menuju pulang. Mereka berjalan bersama. Pertemuan di tempat pelontaran jamrah itu  menjadikan mereka kerabat dekat. Dan bersama pula mereka kembali ke Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf ifadah dan wada’. Selamat tinggal Makkah, Selamat tinggal Ka’bah. Selamat tinggal Multazam,
            Laila dan sahabatnya naik ke dalam bis yang akan mengantarnya ke Bandara. Selamat menuju tanah air,wahai anak nelayan.  Selamat menuju desamu. Salam untuk lautmu.
                                                            *** 
   T
idak banyak oleh-oleh yang dibawanya pulang. Hanya beberapa untai tasbih untuk tetangganya yang sudah tua dan selalu hadir di masjid. Laila juga membawa pulang beberapa helai jilbab  untuk Kak Zainab, tetangganya yang paling dekat. Kurma juga dibawanya untuk para tetangga yang semua menyambut kepulangannya.
            Ombak laut yang berdebur  menghempas di pantai juga seperti berkata-kata mengucapkan selamat kembali ke desa tercinta.
            “Kamu beruntung bisa menjejakkan kaki di tanah suci. Kami bangga ada  warga desa ini yang bisa menjejakkan kakinya di depan Ka’bah  dan Wuquf. Dirimu seperti  bayi yang baru lahir dari rahim ibu, bersih dari segala dosa.”
            Nyiur yang melambai-lambai juga ikut menyambut kehadirannya  dan berkata:
            “Berbahagialah kamu,Laila. Ganjaran bagi haji mabrur adalah sorga. Kamu beruntung,Laila.”:
            Elang yang biasanya terbang berpasangan di tengah laut, tapi hari  itu  menghampiri rumah Laila dan bernyanyi:
            “Kami sudah merelakan kepegianmu,Laila. Andainya tidak kembali kemari, kami sungguh rela dan ikhlas. Bukankah mati di tanah suci adalah mati syahid?.”
            Dan angin yang berhembus juga menyambut kepulangannya dengan pesan:
            “Setelah menyandang gelar hajjah, banyak yang harus kamu lakukan, wahai anak nelayan. Kamu harus rendah hati, kamu harus mengabdikan diri untuk masyarakat sekitarmu, kamu harus tetap mencintai lautmu. Kamu harus peduli terhadap apa yang ada di sekitarmu,peduli terhadap anak-anak nelayan yang membutuhkan sentuhan tanganmu dan juga perhatianmu.”
            Laila mendengar pesan itu.  Perempuan yang berdarah nelayan itu memandang laut lepas. Dulu Laila memandang laut lepas dan yang tampak hanya kegelapan. Sebagai gadis tunanetra ,yang tampak di depannya hanya  hitam pekat dan gelap. 
Tapi sekarang,setelah Laila mendapatkan mukjizat di Jabal Uhud, laut di depannya tampak terang benderang. Indah dan mempesona.
            “Oh,Tuhan. Betapa indah lautku. Betapa elok ciptan-Mu.”
            Lama Laila memandang  ombak yang berdebur, memandang awan yang berarak, memandang perahu nelayan berderet-deret menuju laut. Betapa elok hamparan pasir putih yang terbentang amat luas.
Jauh di tengah terlihat banyak pulau-pulau  bagaikan permata.  Laila ingat ketika naik perahu dan menjejakkan kakinya di Pulau Berhala yang tidak jauh dari desa kelahirannya.
            Dari kejauhan pulau itu tampak seperti gumpalan emas yang amat elok disinari matahari pagi. Laila tidak melihat, tapi  Laila mendengar suara orang.
            “Siapa mereka,Iqbal?, “ tanya  Laila dulu,ketika masih bocah,ketika masih dalam keadaan buta.
            “Mereka adalah wisatawan yang mengagumi pulau ini.”
            “Apa yang mereka lakukan di pulau ini?”
            “Banyak!. Banyak keindahan yang mereka nikmati. Bukit-bukitnya yang hijau, pepohonan  dan yang lebih istimewa lagi mereka mengintip penyu bertelur.”
            “Ingin rasanya  aku ingin ikut melihat penyu-penyu itu bertelur.”
            “Nanti, setelah sepasang matamu sembuh,setelah matamu dapat melihat.”
            “Kapankah aku bisa dapat melihat seperti umumnya orang-orang normal?”
            “Berdoalah, mukjizat Tuhan akan datang kepadamu.”  Iqbal berkata dengan nada iba.  Iqbal selalu merasa sedih bila ingat sahabatnya sebagai gadis buta. Ingin rasanya lelaki itu ikut merasakan penderitaan sahabatnya.
            Mukjizat itu sudah datang. Mukjizat itu sudah dirasakan Laila  dan dunianya terang benderang sekarang. Ingin rasanya Laila menjejakkan kakinya kembali ke Pulau berhala yang tampak seperti gumpalan emas.
            Tidak hanya Pulau Berhala yang elok, masih ada selusin lagi pulau-pulau yang berjejer di Selat Malaka yang letaknya tidak jauh dari desa kelahirannya.
            Dan yang terpikir di benak Laila tidak hanya  eloknya pulau-pulau itu, tapi masyarakat yang menghuni sebagian dari pulau-pulau  itu. Seperti halnya sebuah pulau yang terletak di timur pulau Berhala, ada sebuah pulau yang berpenduduk lebih dari seratus ribu orang  dan anak-anak mereka tidak bersekolah.
            “Oh,Tuhan.  Ingin aku menjejakkan kaki di pulau itu, bukan untuk sekadar melihat keindahannya,tapi untuk menanamkan ilmu kepada anak-anak penghuni pulau itu,”  Laila berkata kepada angin yang berhembus.
            Suara itu seperti didengar malaikat.
            “Ulurkan tanganmu,Laila. Kanak-kanak di pulau itu memang sangat terkebelakang. Mereka butuh ilmu. Mereka butuh kecerdasan.  Ayo arahkan perahumu ke pulau itu!”
            Itulah sebabnya ketika matahari mulai tinggi, Laila sudah di atas perahunya. Yang dibawanya tidak hanya buku-buku tulis d dan pinsil, tapi Laila juga membawa makanan anak-anak. Laila juga membawa tidak kurang dari dua lusin buku pelajaran Iqra’.
            Matahari yang bersinar cerah menyentuh tubuhnya ketika seorang diri dia melaju di atas perahu bermesin.
            “Selamat menunaikan tugas suci, wahai Laila. Selamat mengabdikan diri kepada anak-anak penghuni pulau terpencil.”
            Penjaga mercusuar melambai-lambaikan tangan ketika perahunya melewati Pulau Berhala. Juga ketika melewati Pulau Angsa Dua.
“Assalamu alaikum, Ya  Hajjah!,” teriak penjaga mercu suar itu. Laila hanya melambaikan tangan. Perahu yang dikemudikan  Laila terus memecah ombak menuju pulau sebelah timur.
“Berhati-hatilah,Bu Hajjah!,”  penjaga mercu suar di Pulau Angsa Dua juga berteriak memberi salam dan melambaikan tangan.
Perahu itu sudah jauh meninggalkan pantai. Ombak semakin besar.  Perahu iu sudah mendekati jalur yang dilalui kapal-kapal besar.  Selat Malaka adalah selat yang paling ramai dilalui kapal-kapal besar. Lebih 54 ribu kapal melewati jalur ini  dalam setahun..
Belasan anak-anak menyambut  kehadiran Laila di pulau kecil yang terletak di timur pulau Berhala. Masih sempat Laila memperhatikan tubuh bocah-bocah yang dekil, berkudis dan berpakaian seadanya.
“Marhaban,Ya Ummi. Selamat datang, Ya Muallimah,” sambut bocah-bocah itu dan saling berebut untuk mencium tangan Laila. 
Hari itu, kanak-kanak penghuni pulau kecil itu mulai belajar Ikra’.  Ketika itulah, ketika bocah-bocah penghuni pulau itu sedang belajar, sebuah perahu bermuatan orang-orang muda mendarat. Mereka adalah calon-calon dokter yang sengaja mengadakan bakti sosial di pulau kecil itu. Iqbal dan kawan-kawannya akan membangun jamban di pulau itu karena jamban yang ada di pulau kecil itu tidak  layak pakai. Dua orang anak nelayan, hari itu benar-benar mengabdikan dirinya  untuk kemanusiaan.***


SUJUD DI JABAL UHUD
Novel reliji – Sinopsis

            lAILA dilahirkan dari keluarga nelayan miskin di pinggir Selat Malaka. Nasibnya malang, ia lahir dalam keadaan buta. Sejak masih bocah ia banyak belajar membaca Qur’an   dari sahabatnya , Iqbal,  di atas perahu. Persahabatan dua anak nelayan miskin itu, Laila dan Iqbal,  sudah bertahun-tahun terjalin. Nasibya mulai berubah sejak Laila menjadi juara MTQ dan selalu diundang untuk menjadi qoriah di berbagai kota,kantor-kantor instansi pemerintah, perkebunan  dan juga di be-u-m-en.
            Pihak RS mata di Medan sudah memvonis, bahwa ia menderita kanker Limfoma non-Hodgkins,sejenis tumor yang berasal dari sistem kelenjar getah bening. Laila mengidap primitiv neuroectodermal tumour  stadium III ,  sejenis Ewing’s sarcoma.
            Cintanya terhadap Al Qur’an semakin mendalam di hatinya sejak ia mendapat hadiah dari keluarga asal Solo,pengusaha perkebunan , berupa Qur’an dalam huruf braille. Laila menjadi juara MTQ tingkat nasional dan hadiahnya adalah  ONH ke Tanah Suci.
            Keluarga yang berasal dari Solo itupun menjemput Iqbal dari desa kelahirannya di tepi Selat Malaka karena putra tunggalnya tewas akibat demo anarchi di areal perkebunannya. Keluarga itu mengalami traumatik dan stres berat sebab putra tunggalnya terbunuh ketika terjadi aksi unjuk rasa. Keluarga asal Solo itu dianjurkan oleh psikiater untuk mengasuh anak. Karena itulah keluarga asal Pulau Jawa itu menjemput Iqbal dari desanya.
Anak-anak nelayan memang hidup miskin, tapi memiliki otak cerdas. Iqbal diasuh keluarga asal Solo itu dan membiayainya kuliah di Fakultas Kedokteran.
            Iqbal memiliki  tekad yang amat mulia, setelah jadi dokter akan mengobati sahabatnya agar sembuh dari kebutaan. Lelaki muda itupun tidak henti-hentinya mencari seseorang donor mata yang mau memberikan matanya kepada Laila. Bahkan Iqbal sudah bertekad bila tidak menemukan seseorang yang mau mendonorkan matanya, ia bersedia memberikan sebelah matanya untuk Laila.
            Di kampusnya, lelaki muda itu mendapatkan informasi  dari dosennya tentang rumah sakit mata yang terbaik di Madinah, yakni RS Az-Zahra. Dari dosennya pula lelaki muda itu mendapatkan informasi, tentang Prof.Dr.Van Hollman Mansyur, dokter mata asal Belanda lulusan Leiden yang sudah bertahun-tahun menjadi muslim.
            Dokter spesialis mata asal Belanda yang sudah amat banyak menangani katarak dan glukoma itu memang memiliki tangan dingin dan mukjizat. Ketika Laila mengawali prosesi ibadah haji di Madinah , di RS Az-Zahra, Laila merasakan tagan dokter asal Belanda itu dingin dan lembut. Ketika sujud di puncak   Jabal Uhud, di tempat terbunuhnya Sayidina Hamzah , Laila tergelincir dan tubuhnya terguling-guling hingga ke dasar bukit.  Namun ketika membuka matanya, mukjizat itu datang, Laila dapat melihat. Matanya sembuh.Ia dapat melihat dunia.
            Ketika pulang ke tanah air, Laila selalu berada di atas perahu berlayar ke arah pulau-pulau yang ada di selat Melaka untuk mendidik anak-anak miskin di pulau-pulau itu untuk belajar Iqra’
           

                                                   

3 comments: