27.4.11

TASBIH UNTUK IBU

G
EMPA dahsyat seperti baru saja terjadi dan menyebabkan bangunan yang paling kukuh pun porak poranda serta pepohanan yang paling tegar pun tumbang vas bunga diatas meja juga ikut terhempas dan belingnya berserakan di lantai, serpihannya hingga ke sudut tembok. Kumtum-kumtum anggerek yang indah dan segar berserakan di lantai di antara serpihan beling. Kumtum-kumtum anggerek yang elok itu seperti tidak berharga lagi, apalagi beberapa kumtum terlepas dari tangkainya, tandanya hempasan itu teramat keras.

Sejenak langkahku tertegun ketika melewati pintu depan yang dibiarkan terbuka dan tampak beberapa tetes darah yang baru saja membeku di atas lantai marmer putih. Padahal selama ini lantai itu teramat bersih, berkilau, tidak pernah ada seperniahn debu.
Ibu tampak lesu dan termangu di sofa. Wajahnya tampak murung dan tatapan matanya kosong. Beberapa helai rambutnya menutupi wajahnya dan terkesan urakan.
“Apa yang baru terjadi?,” tanyaku dan menatap wajah ibu dalam-dalam.
Tidak ada sahutan. Ibu tetap memandang keluar, ke arah pohon jambu air dan sepasng burung bermain di rantingnya. Daun- daun pohon itu tetap hijau dan rimbun burung di ranting pohon itu ikut mendengar pertengkaran yang amat serius di rumah itu.
“ Seperti baru saja ada gempa di rumah ini,” kataku lagi dan menghampiri ibu yang tetap termangu. Tetapannya tetap saja hampa.
“ Ada perang lagi hari ini?,” aku berdiri di sisi ibu setelah meletakan diktat Konstruksi Beton dan Mekanik Tanah di atas meja, di depan ibu.
Ibu tetap dalam kebisuannya dan wajahnya yang cantik itu penuh benang kusut masai. Beberapa helai rambutnya yang ikal itu dibiarkan tergerai di wajahnya.
“Ibu bertengkar lagi dengan ayah?,” tanyaku di sisinya.
“Ya!,” ibu menyahut singkat tanpa memandangku. Suaranya parau. Aku menghela nafas panjang. Perang itu terjadi lagi untuk kesekian kalinya antara ibu dan ayah. Pastilah genderang perang yang ditabuh suaranya bergaung hingga ke langit. Mungkin kupu-kupu yang bermain di rumpun bunga terkejut mendengar genderang perang itu.
“Kelihatannya perang yang baru saja terjadi amat dahsyat sekali, hingga vas bunga terhempas dan belingnya berserakan di lantai, hingga ada bercak darah,” kataku lagi dan tatapanku tidak lepas dari wajah ibu, tetap di bola matanya yang dulu selalu teduh seperti air telaga namun akhir-akhir ini suasana teduh dan sejuk itu sudah berubah sama sekali. Air telaga yang jernih dan sejuk itu sudah bercampur lumpur kotor.
“Ya, inilah perang dahsyat dan terakhir kali!,” sahut ibu masih dengan suara parau.
“ Kenapa terakhir?,” tanyaku lagi dengan perasaan sedih. Sudah amat sering pertengkaran antara ibu dan ayahku terjadi akhir-akhir ini. Dan selalu yang menabuh genderang perang itu, yang lebih dulu membuku front pertempuran itu adalah ibu.
“Karena ayahmu sudah angkat kaki dari rumah ini!,” suara ibu parau namun nadanya amat sinis.
“Ayah pergi?” tatapanku semakin tajam.
“Ya!. Kenapa harus diulang?. Kenapa harus heran kalau ayahmu angkat kaki?. Biarkan saja dia hengkang!”
“Kemana ayah pergi?”
“Mungkin menuju real kereta api dan bunuh diri.”
Suara ibu teramat sinis. Mungkin satu di antara seribu orang istri belum tentu pernah mengatakan hal seperti.
“Seharusnya ayah tidak pergi!,” aku menyesali sikap ibu, juga teramat menyesali pertengkaran itu.
“Biar pergi!. Biar ayahmu tahu diri!”
Seperti ada sengatan listrik yang menggerakkan tanganku segera kusentuh lengan ibu dan kuguncang keras-keras. Kepergian ayahku amat mengejutkan.
“Ibu keterlaluan!. Ibu seharusnya tidak menyuruh ayah pergi!,” tubuh ibu terguncang amat keras. Biarlah ibu merasakan guncangan jiwaku karena kepergian seorang ayah dari rumahnya sendiri karena diusir ibu seperti kucing sakit dan jorok.
“Seorang lelaki seperti ayahmu tidak perlu dipertahankan lagi. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun Cuma berpangku tangan. Apakah selamanya ayahmu Cuma mengandalkan ibu untuk mencari nafkah?. Apa artinya ayahmu sebagai suami?. Apa artinya sebagai ayah yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak dan keluargnya?. Apakah ibu sendiri yang harus sepanjang hari memeras keringat untuk membiayai kalian?.”
Hatiku terenyah, seperti ada beling tajam yang amat perih menggores relung hatiku.
“Ibu melempar ayah dengan vas bunga?,” tanyaku lagi dan sekali lagi mengguncang lengan ibu.
“Ya!”
“Ayah terluka?”
“Ya!”
“Dan berdarah?. Begitukah?”
“Ya!”
“Apakah darah yang berserakan di lantai dari kepala ayah?”
“Ya!. Dari keningnya!”
“Ibu tidak berusaha mengobati luka itu?”
“Untuk apa?”
“Laki-laki yang sudah terkena lemparan itu adalah suami ibu. Laki-laki yang terluka itu adalah seorang yang paling kita hormati di rumah ini!. Kenapa ibu sampai hati ibu melemparnya dengan vas bunga?. Kenapa ibu sampai hati melukainya?. Kenapa sampai hati ibu membiarkan darahnya mengucur di lantai?. Pengemis yang terjatuh dalam selokan pun akan ditolong orang dan semua merasakan kasihan. Semua peduli pada pengemis yang terluka itu. Sementara ibu yang menyebabkan ayah terluka. Ibu membiarkan seseorang yang paling kita hormati melangkah entah kemana.”
Kulontarkan segala kekesalan hatiku terhadap ibu. Bahkan aku melototkan mata di depan seorang perempuan yang pernah melahirkan diriku hampir dua puluh tahun yang silam. Sayang, kelembutan pada dirinya sudah hilang sama sekali. Suasana teduh dan sejuk di matanya sudah berubah menjadi lumpur kotor dan bau tidak sedap pun tersebar kemana-mana. Benang-benang sutera yang teramat lembut pada diri seorang perempuan cantik yang pernah melahirkan diriku ke dunia, kini sudah berubah menjadi lempengan baja yang amat keras.
“Kearah mana ayah pergi?” tanyaku.
“Kau mau menyesali ayahmu?”
“Ya. Untuk melihat keadaanya. Kalau ibu tidak peduli kepada luka dikeningnya, aku yang akan peduli. Aku yang akan mengobati lukanya.”
“Ayahmu menuju kearah kanan, lalu ke Gang Beringin.”suara ibu tetap saja parau dan makin sinis. Astaga, aku benar-benar merasakan goresan beling tajam sekali lagi di relung hatiku. Dan yang menggoreskannya adalah ibuku sendiri. Alangkah sombongnya ibuku. Alangkah angkuhnya perempuan yang telah melahirkan diriku. Kata-katanya teramat sinis. Ibu menyebut “Gang Beingin”, padahal kawasan itu adalah kawasan pemakaman umum, tempat orang-orang yang meninggal dunia dikuburkan disini dan suasananya sudah amat padat. Bahkan pohon-pohon kamboja yang amat rimbun menimbulkan kesan lokasi kuburan itu amat menyeramkan, apalagi malam hari meskipun langit di langit bulan purnama sedang bersinar.
Ibu tidak hanya melukai kening ayah, tidak hanya membiarkan darah mengucur dari kepala seorang lelaki yang seharusnya dihormati, tapi seakan-akan menganggap ayah sedang menuju ke arah kematian. Lihatlah, ibu menyebut Gang Beringin, tempat ribuan orang sudah terbaring di sana.
“Ibu menginginkan ayah mati?. Begitukah?”
Tatapanku semakin tajam pada bola mata ibu.
“Kalau memang itu yang terjadi ibu tidak harus menyesali!”, lihatlah betapa sikap ibu teramat arogan. Ibu terlalu angkuh.
“Bagaimana takdir seperti itu benar-benar terjadi?”
“Ibu sudah siap menghadapi keadaan macam apapun!”
“Sadarkan ibu mengucapkan kata-kata itu?”
“Ibu benar-benar sadar. Ibu sudah cukup lelah mencari nafkah sendiri. Berhentilah memuji ayahmu. Jangan katakan lagi ayahmu sebagai seseorang yang paling kita hormati!”
“Ibu senang ayah terluka?”
“Biarkan terluka!. Biarkan kepalanya berdarah!”
“Ibu senang ayah pergi?”
“Ya!”
“Ibu senang ayah jadi penghuni Gang Beringin bersama ribuan orang yang sudah terkubur di sana?. Begitukah keinginan ibuku?”
“Kalau Tuhan menghendaki begitu, bairlah terjadi!”
“Ibu keterlaluan!,” sekali lagi kuguncang lengan ibu lebih keras. “Seharusnya ibu tidak bersikap begitu. Ibu terlalu sombong. Ibu terlalu angkuh. Seharusnya ayah tidak pergi dari rumah ini.”
Sesaat tubuh ibu terguncang-guncang hingga hampir saja terhempas di lantai, tetapi syukurlah hal itu tidak sempat terjadi. Aku tidak boleh menyebabkan seorang perempuan yang sudah melahirkan diriku sampai terhempas di lantai, apalagi sampai terluka. Aku hanya berkata lagi dengan suara keras.
“Mana kelembutan hati ibu?. Mana kehalusan hati ibu sebagai perempuan?. Mana sorga di telapak kaki ibu?”
“Kesabaran seorang ibu ada batasnya. Ibu sudah cukup sabar. Sudah dua tahun ayahmu terus menganggur. Perempuan mana yang mampu bertahan terus menerus menyuapi suami dan anak-anaknya yang semua membutuhkan biaya besar?. Perempuan mana yang sanggup menghadapi keadaan pahit seperti ini?. Ibu mana yang sanggup melihat suaminya hanya berpangku tangan?.
“Ayah masih terus berupaya mendapatkan pekerjaan yang layak. Ayah sedang memikirkan usaha apa yang pantas dilakukannya!”, kataku membela ayah.
“Bohong! Ayahmu memang pemalas! Ayahmu lebih senang ongkang-ongkang”.
“Apakah ibu senang kalau ayah mendapat pekerjaan yang tidak layak.” Ibu senang kalau ayah menjadi sopir taksi sementara istrinya seorang staf di sebuah perusahaan real estate? Ibu senang kalau ayah jadi calo penumpang sementara ibu pengurus organisasi wanita yang disegani? Dimana harga diri ibu yang selalu beranjangsama ke rumah sakit kusta kalau ayah setiap harinya mengenakan pakaian kumah di terminal bis? Pantaskah ayah jadi kuli sementara ibu dikenal sebagai tokoh wanita penggerak sosial dan saran-saran ibu selalu dihargai?”
Pokoknya ibu tidak senang melihat ayahmu menganggur. Tidak pantas kalau cuma istri yang jadi andalan mencari nafkah. Apalagi ayahmu pernah berurusan dengan polisi cukup mencoreng wajah ibu dan kehormatan keluarg tercemar”
Sejenak aku termenung. Memang sudah dau tahun ayah menganggur karena usahanya yang mengalami nasib kurang beruntung. Sebenarnya jalan hidup ayah lurus karena prinsip ayah mendirikan usaha bukan untuk mengejar keuntungan dengan cara mudah. Ayah mendirikan usaha bukan dengan modal bim salabin lalu seperti keajaiban cepat melejit kemudain ayah memperoleh untungan milyaran rupiah.
Ayah tidak mau begitu, tapi mitra usahanya adalah orang yang haus terhadap harta. Apalagi rekannya berusaha adalah seorang lelaki yang gemar berfoya-foya. Istrinya ada dimana-mana. Dan usaha yang dikelola ayah memang cepat melejit sejak masuknya rekan ayah dalam mengendalikan usaha itu. Tapi tidak ada seorangpun diantara keluarga dan anak-anak ayah yang tahu, bahwa rekan ayah berusaha ternyata melakukan penyimpangan. Sampai suatu saat polisi melakukan penggerebekan dan menemukan bukti yang tidak dapat disembunyikan. Ayah harus berhubungan dengan pihak yang berwajib dengan tudahan melakukan berbagai prodak pelumas palsu.
Ayah harus mengeluarkan uang berjuta-juta rupiah untuk membereskan kasus itu. Ayah tidak ingin terseret ke pengadilan. Ayah tidak ingin jadi bulan-bulanan pers. Ayah pun tidak ingin jadi narapidana. Tiga minggu dalam tahanan polisi cukup membuat nama keluarga jadi cemar kemana-mana. Ibu juga menderita aib besar. Kami seakan keluarga yang berkubang lumpur yang kotor. Ibu amat malu pada rekan-rekannya sekantor.
Untunglah ayah segera dapat dibebaskan dengan bantuan seorang pengacara terkemuka meskipun harus menghabiskan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Semua tabungan terkuras. Simpanan ibu juga ikut amblas. Dan mitra usahanya mendekam di LP. Tanjung Gusta selama setahun.
Sejak saat itulah ayah menjadi seorang pengangguran. Usahanya dilarang beroperasi lagi. Ayah tidak mempunyai usaha apa-apa lagi. Dan sejak saat itu pula ayah menderita stres berat. Sehari-hari ayah cuma di rumah saja. Ia lebih senang di dapur. Sejak masih bujangan, ia memang senang memasak. Ayah pintar membuat resoles. Ia dapat membuat soto jeroan. Kalau memasak kari atau sop, wah enaknya bukan main. Ibu pun kalah.
Untunglah ibu seorang wanita karir. Untunglah masih ada yang mencari nafkah sehingga kami tidak sempat jadi gelandangan. Jabantan ibu sebagai kepala bidang pemasaran masih mampu untuk menopang nafkah keluarga.
“Kita harus mencari ayah. Ayah harus pulang!,” kataku
“Tidak,” sahut ibu tegas
“Ayah tidak boleh pergi! Ayah harus pulang kerumah ini. Sebab rumah ini adalah rumah ayah!”
“Boleh saja ayahmu pulang, tapi setelah ia dapatkan memberi nafkah keluarga. Kalau tetap sebagai pengangguran biarkan ayahmu tetap pergi.”
“Ayah harus pulang! Ayah tidak boleh jadi pengemis,” aku berteriak.
“Untuk apa pulang kalau justru jadi beban ibu?. Kau harus tahu beban ibu dipundak sudah amat berat Ayahmu tidak menyadari hal itu.
“Hati ibu sekeras batu gunung!,” aku menuding batang hidung ibu .
“Memang ada kalanya perempuan harus begitu!”
“Kasihan ayah,”gerutuku.
“Kenapa kasihan? Kau harus maklum. Pertengkaran antara ibu dan ayahmu tidak akan terjadi andainya ayahmu tidak berpangku tangan”
“Tapi ayah selalu berusaha. Ibu yang tidak sabar sama sekali”
Hati ibu memang sekeras batu cadas. Tidak hanya dengan ayah saat itu ibu bertengkar. Akhirnya denganku juga bertengkar ketika aku baru saja pulang kuliah. Ibu menuduh aku terlalu memihak ayah. Tidak bolehkah seorang anak menghormati ayahnya meskipun ia menganggur?
“Kau juga sama dengan ayahmu!”cibir ibu sombong.
“Aku adalah anak ayah!”
“Kau boleh ikut ayahmu!”
“Okey,”sahutku tanpa ragu-ragu. Aku akan mencari ayah”
“Tapi kau harus ingat, jangan kau bawa ayahmu pulang ke rumah in sebelum ayahmu mendapat pekerjaan yang layak!”
“Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama ayah! Demi Tuhan, aku tidak akan menginjak rumah ini lagi kalau tidak bersama ayah” aku bersumpah.
“Terserah kepadamu!”
Tampaknya ibu memang mencegah aku pergi. Dan aku pergi tanpa pamit lagi. Tanpa menoleh lagi. Langkahku amat panjang. Tidak ada yang kubawa selain pakaian yang melekat pada diriku. Sejumlah buku dan diktat juga kutinggal, padahal benda-benda itu yang amat kubutuhkan pada saat kuliahku di politeknik hampir selesai.
Aku pergi pada akhir semester kuliahku. Dan ibu tidak menyadari, bahwa sejak saat itu ibu telah kehilangan dua orang manusia yang amat dibutuhkan dalam hidupnya, yakni suami dan anak lelakinya. Ibu merasa dirinya tetap tegar. Karena ibu wanita karir telah menjadikannya sebagai seekor burung gagak hitam yang amat angkuh.
Sadarkah ibu, bahwa sejak saat itu ibu telah menjadi seorang janda?. Ibu seperti tidak menyadari, bahwa prediket janda yang sebenarnya amat buruk bagi seorang wanita telah menyatu dalam dirinya.
****
I
BU telah terlalu bangga memiliki profesi sebagai wanita karir di sebuah perusahaan real estate. Ibu terlalu mengandalkan pekerjaannya sehingga menjadi angkuh. Ibu seperti berada di puncak menara gading padahal seseorang yang berada di sana suatu saat dapat terhempas. Dan hancur.
Ibu terlalu menganggap remeh arti seorang suami dalam hidupnya. Meskipun tanpa suami di sisinya, ibu merasa akan tetap tegar. Ibu akan tetap ikut rapat-rapat organisasi wanita terutama untuk kegiatan sosial. Buah pikiran ibu selalu dihargai. Kalau ada kunjungan sosial ke rumah sakit kusta adalah atas saran ibu. Kalau ada ibu-ibu mengunjungi desa yang dilanda banjir dan menyerahkan binkisan adalah prakarsa ibu juga. Dalam rapat-rapat organisasi, konsep ibu selalu menjadi keputusan penting.
Sekarang wanita tegar itu akhirnya kutinggalkan. Selamat tinggal rumah. Selamat tinggal ibu. Aku melangkah pergi untuk mencari ayahku. Aku harus membujuk ayah agar apapun yang terjadi antara ayah dan ibu, ayah harus pulang. Aku datang untuk mendinginkan hati ayah yang mungkin juga panas seperti bara api.
Dan mencari ayah tidaklah semudah mencari bola yang ditendang keluar lapangan. Mencari ayah tidaklah semudah mencari lilin dan korek api di malam gelap gulita aliran listirk tiba-tiba terputus. Akupun tidak menduga, bahwa mencari ayah teramat sulit, sementara aku telah bersumpah tidak akan menginjak rumah ibu lagi kalau tidak bersama ayah.
Kususul ayahku ke klinik Permata Ibu. Mungkin ia masih disana untuk pengobatan luka dikening yang terkena lemparan vas bunga oleh ibu. Akh, betapi ibu sampai hati melempar suaminya hingga luka dan berdarah. Betapa ibu telah berbuat tega. Ibu lupa diri. Bahwa ia adalah seorang perempuan yang seharusnya memiliki kelembutan.
Dan ayah tidak ada di klinik itu. Kuburu ayah ke rumah kakaknya yang tertua dan tinggal di Setia Budi Indah. Tapi ayah tidak ada di sana. Kudatangi adik ayah yang tinggal di Johor Indah dan penghuni rumah itu hanya keheranan mendengar apa yang terjadi. Saudara sepupu ayah yang tinggal di Helvetia juga hanya mampu berdecap-decap dan menyesali sikap ibu.
Satu demi satu saudara ayah kudatangi. Tapi ayah tetap tidak kutemukan. Dan semua menyesali sikap ibu yang keterlaluan.
Tiga hari aku mencarinya namun tidak juga kutemukan. Sampai kuliah Quantity Surveying yang amat penting kuabaikan demi mencari ayah. Aku harus bertemu dengan ayah dan mengajaknya pulang. Aku benar-benar tidak suka ibu jadi janda, kecuali ayah sudah meninggal. Aku tidak senang status janda melekat pada diri ibu karena perceraian. Dunia ini sudah sarat dengan wanita yang statusnya sebagai janda. Dan tingkah janda sudah pasti selalu serba salah di mata masyarakat. Tapi ibu tidak menyadari hal itu.
Apa boleh buat, aku tidak berhasil menemukan ayah. Entah di mana ia bersembunyi. Dan aku sudah terlanjur bersumpah untuk tidak pulang kalau tidak bersamanya.
“Aku mau tinggal di sini untuk sementara!, “kataku kepada adik ayahku yang tinggal di Johor Permai.
“Bagaimana pula reaksi ibumu nanti?,” adik perempuan ayahku raga-ragu.
“Persyetan dengan ibu. Ibu lebih senang jadi janda!”
“Kami pasti akan menjadi tumpuan amarah ibumu,” ujar adik perempuan ayah.
“Biarkan ibu marah seperti gunung meletus,” sahutku.
“Ibu merasa dirinya akan tetap tegar. Lagi pula ibu terlalu asyik dengan kunjungan sosial ke panti rehabilitas remaja korban narkotika. Ibu tidak perduli atas kepergianku seperti halnya kepergian ayah.”
Adik ayah tampak terharu.
“Kapan kuliahmu selesai?”
“Tidak sampai satu semester lagi!”
“Kalau begitu tidak lama lagi. Tinggallah di sini!”
“Terima kasih”
Di rumah itu hatiku seperti ditetesi embun pagi. Di sini aku seperti mendapat perlindungan, padahal kehidupan keluarga itu sederhana sekali. Membayar cicilan rumuhpun hampir tidak sanggup. Dan kabar tentang ayahku tetap tidak seorangpun tahu. Tidak seorang adapun saudara yang tahu keadaan ayah setelah meninggalkan rumah.
“Sudah pasti ayahmu tidak mau tinggal di rumah saudaranya,”ujar saudara sepupu ayah. “Kami tahu benar pribadinya, ayahmu tidak mau jadi beban saudaranya”.
“Ya, ayahmu tidak mau mengemis dari orang lain, “saudara-saudara yang lain menimpali.
***
B
ERBULAN-BULAN kabar tentang ayah tidah ada sama sekali. Hingga saatnya kuliahku seselsai.
Bila tiba saatnya aku diwisuda, yang hadir di Auditorium kampus USU adalah adik perempuan ayah dan suaminya. Ibu sama sekali tidak kuberi tahu. Seorang wanita seperti ibu tidak perlu hadir di kampus menyatakan puteranya diwisuda, setelah menempuh pendidikan di politeknik jurusan sipil.
Ibu menemui keluarga yang kutompangi dengan gratis ketika aku tidak ada, ketika aku sedang mengurus surat-surat untuk bekerja di PT. Perusahaan Negara, sebuah BUMN yang saat itu sedang berkembang pesat. Perusahaan milik negara itu sedang melejit keatas dan membuka kesempatan bekerja bagi lulusan perguruan tinggi terutama jurusan teknik. Aku beruntung mengantongi ijazah Politeknik.
Ibu marah-marah dan menuding batang hidung keluarga yang kutompangi hampir setahun dengan geratis.
“Bukan kalian yang membiayai azmi!,” itulah ucapan ibu seperti ditutur adik ayahku. “Tapi kalian merasa berjasa. Kalian semua sama, semua busuk!”
Kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang ibu rumah tangga terlontar dari mulut ibu. Dan keluarga itu tidak memberi komentar apa-apa untuk menghindari gunung meletus. Biarlah ibu marah. Biarlah ibu mancak-mancak. Dan aku tidak akan menginjak rumah ibu lagi meskipun ibu meminta untuk pulang.
***
S
ETINGGI-TINGGI puji syukur kupanjatkan kepada Tuhan karena aku tidak sempat menganggur berbulan-bulan. Lulusan Politeknik memang selalu dibutuhkan dimana-mana. Aku harus melangkah jauh. Kutinggalkan Sumatera ketika aku diterima di Perusahaan Gas Negara yang kini sedang mengembang sayapnya menyalurkan gas bumi untuk kebutuhan industri, komersial, rumah sakit dan rumah tangga.
Lapangan pekerjaan di Jakarta memang lebih luas terbuka. Tapi rivel-rivel berat alumni perguruan tinggi juga berkumpul disini menyabung nasib. Aku mulai menekuni permasalahannya mulai mencari kebocoran hingga rehabilitas pipa-pipa tua yang kini menggunakan pipa Polyethylene.
Enam bulan setelah aku bekerja, ada suatu hal yang amat mengejutkan dan hampir tidak kupercaya. Ada telepon dari jauh, dari Cape Town. Rasanya tidak mungkin ada seseorang yang mengenalku di benua Afrika itu. Dan aku merasa seperti dalam mimpi karena seseorang yang mengenalku di Afrika itu adalah ayahku yang terpaksa angkat kaki dari rumah karena ibu telah kehilangan kelembutannya sebagai perempuan.
“Syukurlah kau sudah bekerja,” suara ayah mantap dari seberang lautan. “Ayah memang yakin, kuliahmu pasti akan selesai meskipun ayah tidak di rumah lagi”.
“Aku juga pergi meninggalkan ibu begitu ayah pergi,” sahutku. “ Nasib kita sama”
“Ayah sudah tau semuanya”
Ayah ternyata selalu mengadakan kontak dengan saudara-saudaranya yang tingal di medan, terutama dengan adik perempuannya. Tapi ayah mengaku belum sekalipun mengadakan kontak dengan ibu.
Dan semua memang seperti mimpi. Ayah sekarang bekerja di kapal MV WHITE PEACOCK sebuah kapal pengangkut kontainer yang menjelajah benua demi benua. Kapal itu milik sebuah perusahaan pelayan Inggris dan Nahkodanya seorang lelaki kelahiran Tapanuli Utara dan merupakan teman akrab di sekolah ayah dulu.
Laki-laki kelahiran Siborong-borong itulah yang memberi kesempatan kepada ayah untuk bekerja sebagai kepala bagian logistik. Tidak sia-sia ayah pintar memasak. Tidak percuma ayah mahir membuat membuat soto jeroan, kari, sop butut, sambal goreng dan risoles. Di sebuah kapal yang menjelajah samudera dan awaknya cukup banyak juga membutuhkan seorang lelaki seperti ayah untuk menjadi supervisor di bidang logistik. Ayah diberi wewenang untuk membeli setiap kebutuhan makanan dan minum seluruh awak kapal hingga mualim dan kaptennya.
Gaji yang diterima ayah cukup lumayan ditembah kesempatan lain, begitu cerita ayah melalui telepon. Cuma sayangnya ayah jarang berada di darat. Kalau pulang ayah membawa uang cukup lumayan. Kadang-kadang ayah membawa berlian dan barang-barang antik untuk dijual di tanah air.
“Ayah merasa kerasan hidup di atas kapal?,” aku bertanya.
“Semua sudah ayah fikirkan matang-matang, dari pada menganggur”
“Tapi usia ayah tidak mengizin lebih lama di samudera”
“Cuma sementara. Ayah Cuma mengumpulkan uang untuk modal, lalu setelah cukup nanti, ayah akan berusaha sendiri. Seperti dulu!”
“Kapan ayah kembali kepada ibu,” aku ingin tahu sikapnya.
“Ayah tidak akan kembali kepada ibumu !”
“Lho? Kenapa? Ayah akan diterima ibu dengan baik setelah ayah bekerja.”
“Sudah ada pengganti ibumu disisi ayah!”
“Sudah ada orang lain?,” aku kaget.
“Ya!,” ayah terus terang .” apa boleh buat, ayah terpaksa melakukan karena merasa tidak mungkin lagi kembali kepada ibumu”
Sejenak aku terdiam. Ayah sudah kawin lagi. Sudah ada wanita lain disisinya.
“Wanita itu pedagang batik asal pekalongan. Ayah kawin dengannya karena dapat bekerja sama dengannya. Ayah akan mengembangkan usahanya nanti”
“Hebat,” cetusku.
“Ayah akan selalu mengadakan kontak denganmu sejak saat ini.”
Aku bersyukur kepada Tuhan dapat mendengar suara ayah lagi meskipun ayah di tempat yang sangat jauh
“Ayah tidak akan kembali pada ibumu sampai kapanpun, tapi kau harus kembali. Harus !” ayah mekankan ketika kami mengadakan kontak lagi melalui telepon.
“Tidak! Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama ayah!”
“Jangan begitu! Kau adalah anak ibu. Kau harus pulang. Kau harus tetap berhubungan dengan ibumu!”
“Untuk saat ini belum, kecuali ibu yang datang padaku. Bahkan kalau ibu mau, ibu boleh tinggal bersamaku”
“Bagus! Tapi lebih bagus lagi kalau sesekali kau pulang menjenguk ibu”
“Sekali ibu masih berada di puncak menara gading, aku tidak akan pulang”
Pembicaraan jarak jauh itu cukup lama. Banyak hal yang diceritakan ayah. Ketika kutanya tentang luka dikeningnya karena ibu melempar dengan vas bunga, ayah menyahut:
“Ayah tidak akan pernah lupa hal itu!”.
Kening ayah luka, tapi hatinya lebih luka lagi. Itulah yang menyebabkan ayah tidak ingin kembali kepada ibu. Dan ibu tetap akan menjadi seorang janda yang tegar.
Sejenak terbayang di pelupuk mataku wajah ibu. Ibu yang selalu bicara gencar dalam rapat-rapat organisasi wanita. Ibuku yang gesit mencari uang sebagai kepala biro marketing sebuah perusahan real estate. Ibuku yang selalu memprakarsai kunjungan sosial ke rumah sakit kusta atau panti jompo. Sayang ibu merasa dirinya di puncak menara gading hingga menganggap remeh arti seorang suami yang telah kehilangan pekerjaanya.
Karena hal itulah aku belum ingin pulang. Aku belum ingin menginjak rumah ibu. Aku belum ingin bertemu ibu. Entahlah nanti bila suatu saat ada mukjizat yang menggerakkan langkahku untuk pulang. Tapi hingga saat ini hatiku belum terhimbau untuk menjenguk ibu.
Ketika kuterima surat ibu hatiku tidak tergetar. Setengah malas kubaca surat itu. Isinya Cuma meminta aku pulang karena ibu sangat rindu padaku. Disamping itu ibu mengharapkan agar aku pulang karena Kak Irawati akan menikah.
“Pulanglah,” tulis ibu dalam suratnya yang panjang. “Kau harus jadi wali kakakmu sebagai pengganti ayahmu!”
Aku cuma mendesah panjang. Lihatlah, betapa ibu amat butuh kehadiran seorang lelaki. Kalau ada ayah, pasti yang akan menikahkan Kak Irawati. Sekarang akulah yang diharapkan ibu. Tapi langkahku masih berat untuk pulang. Dan surat itu sama sekali tidak kubalas.
Ibu tidak puas dan terpaksa bicara langsung denganku melalui telepon. Aku menjawab seadanya. Kukatakan aku belum diijinkan untuk cuti. Ibu kecewa sekali. Biarlah ibu kecewa. Bukankah ibu merasa mampu hidup tanpa suami?. Bukankah ibu merasa akan tetap tegar dan mampu menghadapi segala permasalahan sebagai janda?. Bukankah dari puncak menara gading ibu mampu memandang seluruh isi jagad raya ini?
Belum ada mukjizat yang menggerakan hatiku untuk pulang. Biarlah aku tetap jauh dari ibu.
Surat dan telepon dari ibu selalu datang bertubi-tubi sejak ibu tahu aku bekerja di PT. Perusahaan Gas Negara dan gajinya cukup layak di BUMN itu. Bahkan telepon dari ibu pernah hampir bersamaan waktunya dengan telepon dari ayah yang saat itu kapalnya sedang berlabuh di perth.
Ibu ternyata belum tahu, bahwa ayah kini bekerja di bagian perbekalan di sebuah kapal pengangkut kontainer. Ibu belum tahu, bahwa ayah sudah kawin lagi dengan seorang wanita asal pekalongan, seorang pedagang batik.
Sukar aku bayangkan bagaiman perasaan ibu andainya tahu sudah ada wanita lain di sisi ayah. Tapi aku yakin ibu tidak akan kaget, sebab hati ibu sudah menjadi batu cadas. Ibu tetap bangga dan mengandalkan karirnya sebagai staf di biro merketing sebuah perusahaan real eastate.
“Ibu tidak mengharapkan ayah pulang?” aku memancing sikap ibu melalui telepon.
“Untuk apa ayahmu pulang kalau menambah beban ibu?” ucap ibu sombong. Ibu tetap merasa dirinya tegar.
“Yang ibu harapkan pulang adalah kau! Bukan ayahmu! Sebab kau adalah satu-satunya anak lelalaki ibu”
“Kau katakan mencari ayahmu. Tapi ibu yakin kau tidak akan menemukan ayahmu karena sudah terbenam dalam lumpur!”
“Dan aku sudah terlanjur bersumpah untuk tidak pulang kalau tidak bersama ayah.”
“Lalu bagaimana kalau ayahmu sudah mati karena malaria? Bagaimana kalau ayahmu sudah mati ditubruk truk karena berjalan tidak tentu arah?”
“Aku tidak akan pulang lagi,” sahutku tanpa ragu-ragu.
“Hatimu keras!,” gerutu ibu.
“Seperti ibu juga!”
“Sudahlah, lupakan ayahmu. Kau harus pulang untuk menjenguk ibu!”
“Aku merasa belum punya waktu untuk pulang. Atau tidak pulang sama sekali”
“Hatimu batu!” cetus ibu kesal dan marah. Ibu sendiri tidak menyadari, bahwa hati ibu juga sekeras batu cadas.
“ Bagaimana perasaan ibu kalau ayah sudah kawin lagi?” aku memancing sikap ibu.
“Perempuan mana yang mau kawin dengan seseorang lelaki seperti ayahmu!? Perempuan mana yang mau jadi istri seorang pengangguran? Cuma jadi beban! Kecuali ayahmu kawin dengan janda yang sudah terlanjur berbuat dosa dan hamil. Ayahmu paling-paling dijebak orang dan jadi penutup aib, lalu setelah janda itu melahirkan, ayahmu akan ditendang jauh-jauh!”
“Ayah tidak akan berbuat sebodoh itu. Bagaiman pun ayah akan kawin dengan wanita baik-baik. Ayah akan kawin dengan wanita terhormat dan hatinya lembut, ayah tidak akan mudah dijebak orang,” aku membela kehormatan ayah di depan ibu.
“Mana ada wanita baik-baik mau kawin dengan ayahmu yang menganggur terus”
“Pasti ada! Dan ibu akan pingsan mendengarnya!”
“Ibu tidak akan pingsan. Ibu sudah rela. Bahkan ibupun rela andainya ayahmu mati ditubruk bis kota”
Ibu benar-benar belum tahu keadaan ayah sekarang, ibu belum tahu, bahwa ayah selalu menjelajahi dunia. Setiap pulang dari luar negeri pasti ada benda-benda berharga mahal yang dibawanya, seperti berlian, alat-alat elektronik, barang anti, bahkan juga gading gajah dari afrika. Ibu benar-benar belum tahu, bahwa ayah sudah kawin lagi dengan seorang wanita asal Pekalongan. Ayah hidup tentram sekarang dan berbahagia.
****
I
MBAUAN ibu agar aku pulang tidak pernah aku gubris lagi. Bahkan ketika ibu mengabarkan tentang kematian Drs. Rizaldi, suami Kak Irawati, aku juga belum berniat untuk pulang. Tiga hari laki-laki itu dirawat di ruang ICU setelah mobilnya mengalami kecelakaan dijalan tol akhirnya meninggal dunia.
Ibu marah-marah setelah malam tahlilan yang ketiga berlalu aku juga tidak muncul. Juga ketika acar kenduri hari ke 40, aku juga tidak pulang.
“Kenapa kau tidak pulang?,” tanya ibu melalui telepon.
“Aku sedang sibuk!,” sahutku. Memang selalu ada saja yang memberati hatiku untuk pulang. Selalu ada saja beban yang memberat langkahku untuk menjejakan kaki di rumah ibu.
“Kau sungguh keterlaluan!,” ibu mendampratku habis-habisan. “ Sampai hati kau tidak melihat suami kakakmu meninggal dunia. Begitu tega hatimu tidak melayat suami kakakmu!”
“Maafkan, aku benar-benar sibuk!”
“Kasihan kakakmu, sekarang jadi janda dan harus membiayai anaknya. Mau tidak mau karena keadaan terpaksa, kakakmu akhirnya pulang kerumah ibu!”
“Tidak ada salahnya kak Irawati pulang kerumah ibu, bukan?. Dan perusahaan tempat suaminya bekerja tentu tidak menutup mata”
“Cuma uang duka sekadarnya diterima kakakmu serta gaji empat bulan. Lalu setelah uang itu habis, entah apa yang dilakukan kakakmu untuk menghadapi hari-hari selanjutnya.”
Ibu mengeluh panjang.
“Bukankah masih ada ibu? Bukankah ibu masih tegar? Masih ada seseorang tempat ibu bersandar”
“Rasanya beban ibu tidak habis-habisnya!”
“Begitulah kehidupan ini, ibu ” sahutku. “Insya Allah aku akan selalu membantu anak Kak Irawati kalau mereka sudah masuk sekolah nanti”
“Yang ibu kesalkan hanya satu hal!,” keluh ibu lagi setelah mendampratku habis-habisan.
“Kesal kenapa lagi? Semua sudah takdir. Kematian adalah kehendak Tuhan. Siapa yang sanggup melawannya takdir.
“Ibu Cuma kesal, sejak Rizaldi meninggal kakakmu jadi janda dan Irawati harus pulang kerumah ibu sementara ibu sendiri adalah seorang janda. Akhirnya dimata orang lain rumah ibu seperti rumah janda”
“Kenapa baru sekarag ibu sadar? Kenapa baru saat ini ibu mengeluh, bahwa ibu janda dan akhirnya di rumah ibu hadir seorang janda lagi? Kalau dulu ibu tidak melempar ayah dengan vas bunga pasti ibu tidak sempat jadi janda. Kalau dulu ibu tidak terlalu tinggi hati terhadap ayah, pasti ibu tidak sempat memiliki predikat janda”
Terhadap itu aku terpaksa berkata ceplas-ceplos. Biar ia tidak terlalu angkuh. Biar ibu tidak terlalu sombong menyebut, bahwa tidak pantas ia melempar ayah dengan vas bunga hingga kening ayah berdarah.
“Sudahlah, ibu sudah berusaha melupakan hal itu. Ibu sudah melupakan ayahmu. Akhir-akhir ini ibu selalu pening kepala, apalagi setelah suami kakakmu meninggal. Banyak yang harus ibu fikirkan, sementara kawan berunding tidak ada sama sekali”
Ibu akhirnya menyadari, betapa pentingnya arti seorang suami meskipun sesaat dia dalam keadaan menganggur. Sekurang-kurangnya sebagai teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai kemelut!,” kataku.
“Belum saaatnya aku memberi khotbah kepada ibu, Azmi!” ujar ibu kesal. “Pokoknya ibu minta kau pulang. Mungkin kalau aku pulang dada ibu jadi sejuk. Mungkin kalau kau pulang banyak permasalaahnyang dapat diatasi”
Aku tidak menjanjikan untuk pulang meskipun ibu amat mengharapkannya. Aku memang tidak sempat melayat jenazah Bang rizaldi ketika meninggal, tapi aku mendoakan. Semoga Tuhan mengampuni segala dosanya. Semoga Tuhan mengampuni dosanya. Semoga Tuhan menempatkan arwahnya ditempat yang sebaik-baiknya. Semoga Tuhan memberikan kesabaran kepada Kak Irawati.
Dan ibu tidak bosan-bosannya mengimbau agar aku pulang. Imbauan datang lagi agar aku diwusuda sebagai ahli madya program diploma jurusan Pariwisata. Auditorium Kampus USU bakal meriah karena 750 orang lebih ahli madya diwisuda.
Hal itupun belum mampu menggugah hatiku untuk pulang. Untuk apa aku pulang kalau hanya seorang adik diwisudakan?. Saat itu tamat kuliah dan menjadi sarjana adalah hal yang biasa-biasa saja. Hadir dalam acara wisuda bukan lagi hal yang istimewa. Sebab jumlah wisuda saat ini amat banyak, bahkan orang menganggap bahwa di negeri tercinta ini jumlah sarjana sudah terbilang inflasi. Apa lagi perguruan tinggi kelas teri tiap tahun juga ikut-ikutan meluluskan mahasiswanya menjadi sarjana pada hal mutunya hanya seperti tempe. Dan suatu hal yang menjadi kenyataan, bahwa para lulusan perguruan tinggi kini banyak yang menganggur, apa lagi kalau hanya lulusan perguruan kelas teri. Saat ini para sarjana bagaikan barisan yang teramat panjang untuk menanti kesempatan bekerja.
Biarlah ibu sendiri yang hadir di Auditorium untuk menyaksikan puteri bungsunya di wisudakan.
Tidak sampai seminggu setelah acara wisuda, ketika aku baru saja pulang dari kantor. Seseorang sudah menunggu di rumah. Aku tertegun ketika yang menunggu adalah Tante Belinda. Adik ibuku.
“Ibumu benar-benar kesal kau tidak hadir saat Vivi diwisuda. Padahal ibu amat berharap kau pulang,” cetus Tante Belinda yang wajahnya mirip ibu, tapi sikap arogannya juga tidak beda dengan ibu. Tante Belinda juga seorang wanita karir dan bedanya dengan ibu, suami Tante Belinda bukan seorang pengangguran seperti ayahku yang pernah jadi pengusaha tapi akhirnya dilak polisi. Suami Tante Belinda adalah seorang importir mesin-mesin pertanian.
“ Ibu sendiri sudah cukup untuk menghadirnya, lagi pula saat ini acara wisuda adalah hal yang biasa-biasa saja.,”sahutku seadanya.
“Tapi ibumu sangat mengharapkan kepulanganmu,” imbau Tante Belinda lagi.
Aku hanya menghela nafas panjang, namun aku masih sempat memperhatikan penampilan Tante Belinda. Pakaiannya serba bagus, apalagi perhiasan yang melekat di tubuhnya. Mungkin parfumnya yang harum semerbak itu dibelinya di Kuala Lumpur atau Singapura. Sebab keluarga itu sudah teramat sering menikmati akhir tahun di negri jiran itu.
“Belum saatnya aku pulang, tante!, kataku lagi.
“Kapan lagi?” Tante Belinda menatapku tajam.
“Tunggulah waktu yang tepat.”
“Kapan?. Apakah setelah ibumu terbujur kaku?”
Kata-kata itu hanya membuatku menunduk lagi.
Akupun menghela nafas panjang lagi.
“Kau tidak pernah teringat sama sekali kepada ibumu?,” tatapan sepasang mata itu terasa amat dalam.
“Tiap saat, aku selalu ingat ibu!”
“Lalu kenapa hatimu selalu berat untuk pulang?. Apa yang menyebabkan hatimu seperti diberati sesuatu untuk melangkah pulang?”
“Di kantor aku masih sulit untuk memohon cuti,” aku mencari-cari alasan.
“Jangan mencari-cari alasan!”
“Sungguh!,” kataku.
“Atau ada seseorang yang melarangmu pulang?”
“Seseorang siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan ayahmu?”
“Tidak!, “sahutku tegas.”
“Kalau ayahmu pergi dari rumuh, seharusnya kau tidak harus ikut-ikutan pergi.”
“Aku menyesalkan kepergian seseorang yang selama ini sangat kuhormati.”
“Berhentilah menyanjung ayahmu, Asmi!!”
“Tidak ada seorangpun yang mampu mencegah aku untuk bersikap hormat kepada, meskipun ibu sendiri!” aku berkata tegas. Biarlah Tante Belinda tersinggung oleh kata-kata itu.
“Hatimu memang sekeras hati ayahmu!”
“Ya, sama. Dan aku tidak hanya bersikap terhadap ayah, tapi juga sangat mengaguminya,”kataku lagi.
“Lalu terhadap seorang perempuan yang melahirkanmu bagaimana sikapmu?”
“Aku tetap menganggapnya sebagai ibu. Kalau aku harus hengkang dari rumah itu, mungkin ibu sendiri juga tahu sebab-sebabnya. Tapi percayalah, suatu saat aku pasti melangkah pulang. Suatu saat aku akan mencium tangannya dan bersujud, serta mencium kakinya.”
“Kenapa tidak sekarang kau lakukan hal itu?”
“Tunggulah sampai waktu yang tepat.”
“Kau harus menyadari, betapa besar pengorbanan ibumu terutama dalam hal membesarkan anak-anaknya.”
“Aku menyadari sepenuhnya.”
“Membesarkan tiga orang anak hingga ketiganya berpendidikan kampus, tidaklah mudah. Kau harus ingat itu.”
“Ibu amat bangga bahwa pengorbanannya sudah teramat besar hingga tiga anak berpendidikan kampus dan hidup mapan, padahal semua itu memang tanggung jawab dan kewajiban setiap orang tua”
“Jangan katakan tanggung jawab dan kewajiban orang tua, karena dalam hal ini Cuma ibu mu yang berperan sementara ayahmu bertahun-tahun hanya berpangku tangan.”
“Jangan remehkan ayah dalam hal mendidik anak, Tante!,” aku mengajukan protes atas kata-katanya.
“Sudahlah, tidak usah kita perdebatkan tentang peran ayahmu, tapi yang pasti kau harus pulang,” imbau tante belinda lagi.
Aku tidak memberi reaksi apa-apa, karena memang memegang teguh pendirianku, bahwa aku tidak akan kembali kesisi ibu kalau tidak bersama ayahku.
“Tante berharap sebaiknya kau pulang. Tante juga datang membawa pesan khusus dari ibumu,” imbau perempuan yang segalanya amat mirip dengan ibu.
“Pesan khusus bagaimana?”
“Dalam waktu dekat Vivi akan menikah,” ucap tante Belinda lagi.
“Wah, anak-anak ibu benar-benar laris. Baru selesai kuliah sudah mendapatkan jodoh.”
“Apalagi yang harus ditunggu?. Adikmu justru sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah biro perjalanan wisata dan gajinya juga layak.”
“Syukurlah, aku ikut gembira, setidak-tidanya ibu tidak punya beban apa-apa lagi sekarang. Beban ibu hanya untuk dirinya sendiri.”
“Beban materi memang tidak ada lagi, tapi beban pikiranya masih teramat berat.”
“Karena anak laki-lakinya pergi dari rumah dan tidak kujung pulang?. Begitukah?”
“Ya, karena itu kasihanlah kepada ibumu yang selalu memikirkan dirimu. Kau boleh saja tidak pulang pada saat kakakmu kehilangan suaminya. Kau boleh saja tidak pulang ketika Vivi diwisuda. Tapi pada saat Vivi menikah, kau harus pulang.”
“Tergantung pada keadaan nanti,” sahutku lirih.” Tante harus maklumi, bahwa akhir-akhir ini aku amat sibuk.penggunaan bahan bakar minyak yanga kan segera doalihkan ke bahan bakar gas perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan itu salah satu yang membuat setiap karyawan apalagi yang namanya pejabat benar-benar sibuk.”
“Tidak hanya ibumu yang mengahrapkan kepulanganmu, tapi semua famili dan kerabat ikut berharap kau pulang pada saat penikahan adikmu, apalagi perkawinan itu direncanakan lebih meriah.”
Panjang lebar Tante Belinda bercerita tentang menantu ibu yang bekerja di Bank Swasta papan atas.
“Syukurlah kalau ibu sudah punya karir mapan di bank. Ibu pasti sangat bangga.”
“Tidak hanya ibumu yang merasa bangga. Siapa yang tidak bangga kalau seorang anak perempuan mendapatkan suami pejabat di sebuah bank swasta papan atas?”
“Apalagi Vivu juga punya karir, mereka dapat menabung uang, cepat membangun rumah dan cepat hidup senang.”
“Ada satu hala lagi yang amat penting dan perlu kau tahu,” ujar Tante Belinda lagi.
“Tentang apa lagi?” aku menatapnya.
“Upacara perkawinan adikmu akan menggunakan adat istiadat Melayu.”
“Kenapa harus dengan menggunakan adat istidat Melayu, tanyaku dengan sikap heran, karena selama ini, meskipun ibu menikah dengan ayahku yang berdarah Melayu, ibu tidak pernah peduli pada adat istiadat Melayu. Ibuku tidak pernah tahu bagaimana membuat “anyang pakis” atau “aluwa”, masakan khas Melayu.
“Hmmm, syukurlah,” aku hanya bergumam. Baru sekarang ibu berpikir tentang kebesaran adat istiadat Melayu. Ibu tidak pernah tahu apa makna semboyan “Tak hilalang Melayu di bumi”. Tanyalah 5 dasar yang menjadi dasar falsafah kehidupan orang-orang berdarah Melayu, ibu pasti tidak tahu. Padahal dalam kehidupan sehari-hari setiap orang melayu, pasti merasakan dasar-dasar itu, bahwa Melayu itu beradat, yang sifatnya nasional dan tampak dalam bahasanya, dalam tutur sapanya, dalam keseharianya, dalam busana, semua tersusun dalam tingkah laku sehari-hari. Juga Melayu itu adalah berturai yang bermakna dalam masyarakat mengutamakan rukun, tertib, tentram, hidup berdampingan dengan saling menghargai, bebas tapi terikat dalam masyarakat. Dan yang lebih penting lagi, bahwa Melayu itu berilmu yang berarti bahwa setiap insan melayu harus pintar, memiliki ilmu tinggi, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam ilmu agama agar bermarwah dan disegani orang untuk kebaikan umum. Bila 5 unsur itu tidak dimiliki orang-orang berdarah melayu, maka ia bukan lagi orang melayu asli, tapi menjadi layu. Dan 5 unsur falsafah itu tidak lagi komplit dalam kehidupan seseorang perempuan yang telah melahirkan diriku dan ibu tidak memiliki darah melayu. Kalau ibu tahu serba sedikit liku-liku kehidupan melayu karena perkawinannya dengan ayah yang dilahirkan di kawasan Deli Serdang, di Perbaungan.
Bertahun-tahun perkawinannya dengan ayah, ibu hanya tahu sedikit tentang makna “Tepung Tawar”, apa artinya “balai” dan “ramuan”. Masih syukur ibu memmahami bahwa setiap orang yang berdarah Melayu, sirih dengan alat-alat tambahnya merupakan suguhan paling utama. Tepak sirih yang isinya sirih, gambir, pinang yang dibelah, kapur dan tembakau adalah suguhan yang tetap dihadirkan untuk menyambut tamu terhormat maupun dalam acara-acara tertentu.
Pastilah dalam upacara perkawinan Vivi nanti harus ada acara “jamu sukut” lalu ada lagi acara meminang, ikat janji, mengantar bunga sirih hingga ke saatnya pernikahan.
Liku-liku adat perkawinan Melayu masih banyak lagi seperti adat berinai, berandam atau mandi berhias, barulah tiba saatnya bersanding. Tepung tawar, pastilah tidak dapat dipisahkan dari adat perkawinan pengantin Melayu. Sebab tepung tawar merupakan alah satu kebiasaan orang yang paling utama setiap keluarga Melayu dalam berbagai acara seperti perkawinan, khitanan atau “upah-upah” jika seorang mendapatkan rezeki, jabatan, selamat dari bahaya dan bencana, bahkan sebagai obat.
Alangkah meriahnya dan akan penuh kenangan indah bila pengantin Melayu melaksanakan nasi hadap-hadapan atau “Astakona”. Acara itupun masih diiringi dengan acara “mandi Berdimbar” serta “Mandi selamat”.
“Akan mampukah ibu melaksanakan adat Melayu pada perkawinan Vivi nanti?” Tanyaku pada Tante Belinda.
“Karena itulah kau sangat diharapkan pulang. Sebab kau adalah satu-satunya anak lelaki yang banyak mengetahui seluk-beluk adat melayu dari ayahmu,” tukas tante Belinda lagi.
“ Ibu boleh saja memminta bantuan Wan Aziz atau Datuk Hamzah kerabat dekat ayah,” aku memberikan saaran.
“Justru kau diminta pulang, karena kau lebih dekat dengan kerabat ayahmu yang banyak menjadi pemuka adat. Kalau kau yang meminta bantuan mereka, pasti mereka akan mudah meringankan langkah.”
“itulah salah satu kekeliruan ibu selama ini. Ibu tidak pernah peduli kepada kerabat, padahal suatu saat kita memerlukan mereka.”
“Pulanglah, demi ibumu. Juga demi adikmu, tandanya kau menyayangi keluargamu,”pinta Tante Belinda lagi.
Aku hanya menghela nafas panjang. Ibu memang berbeda dengan ayah yang selalu memegang teguh pola hidup melayu. Aku masih ingat benar, ketika ayah membangun rumah, tepat pada tiang tengah digantungkan setan dan pisang mas serta sebuah kelapa tumbuh, buah kundur dan ikatan rincian tepung tawar.
Tanyalah ibu tentang makna semua itu, pasti ia tidak tahu. Tapi aku sebagi seorang anak lelaki yang berasal dari keluarga melayu harus tahu, bahwa setandan pisang mas berarti penghuni rumah baru itu akan selalu bahagia, selalu dalam keadaan cukup dalam hal rezeki. Sementara sebuah kelapa tumbuh melambangkan pertumbuhan yang lemak atau kehidupan yang sempurna. Dan buah kundur melambangkan suasana sejuk serta tentram dalam rumah itu. Ikatan rincian tepung tawar bermakna seruan atau doa atas kesempurnaan kehidupan dirumah itu.
Biasanya dipuncak tiang tengah rumah selalu dipasang panji-panji yang berarti kebesaran pemilik rumah. Sebagai anak melayu, aku juga harus tahu, bahwa ketika memasuki rumah baru, keluarga itu harus membawa sekendi air bening serta sebuah kitab Suci Al-quran yang bermakna air adalah kejernihan hati serta ketenangan dan quran berarti tetap beriman.
Akupun tidak pernah lupa, apa yang dilakukan ayah ketika kami memasuki rumah baru, yakni memasuki rumah harus dipagi hari atau pada saat matahari sedang naik yang merupakan harapan agar penghuni rumah senantiansa rezekinyan bertambah. Dan di dalam rumah itu pun harus disediakan sumpit beras yang bermakna kesuburan setandan pisang mas yang bermakna rezeki, tepung tawar yang merupakan seruan kesempurnaan dan telur sebiji sebagai lambang berkembang biaknya kehidupan.
“Syukurlah kalau perkawinan Vivi nanti dengan menggunakan adat istiadat melayu. Semoga semuanya dapat berlangsung dengan baik,” hanya itu yang dapat kukatakan.
Berkali-kali Tante Belinda memintku agar pulang, tertuma pada saat perkawinan adikku. Namun apapun yang dikatakannya, aku aku tidak dapat memastikan apakah pada saat itu aku akan menjejekan kakiku di rumah ibu.
Tidak hanya Tante Belinda yang menemuiku dengan membawa pesan khusus dari ibu. Berkutnya, ketika aku sedang simuk menghadapi tugas sehari-hari, terutama dalam rangka perusahaan mengejar penerapan standar internasional ISO untuk menyambut pemberlakuan pasar bebas menyebabkan setiap perusahaan harus berpacu agar perusahaan tempat aku bekerja tidak ketinggalan kereta api dalam persaingan di AFTA mendatang, Ir. Bistok Simangunsong, kawan sekuliah dulu, sengaja menemuiku di kantor.
Sahabat di lapangan voli ketika mahasiswa dulu, sabar menungguku berjam-jam hanya bertemu denganku meskipun sesaat.
“Aku ingin sekali bertemu denganmu,” terdengar suara khas logat Batak yang kasar itu.” Ada hal-hal penting yang ingin kukatakan kepadamu.”
Aku menyambutmu ramah karena bertahun-tahun tidak bertemu dan kini ia bekerja di sebuah perusahaan asing yang bergerak dalam perminyakan di Kalimantan.
“Tentang apa?,” aku menatap lelaki kelahiran siborong-borong, Tapanuli itu.
“Aku baru saja bertemu ibumu!,”katanya lagi.
“Bagaimana keadaannya?,” aku menatap wajah lelaki suku Batak yang tampak seperti kasar tapi hatinya lembut.
“Ibumu tampak kurus dan berkali-kali menyebut namamu. Ia sangat merindukanmu.”
“Aku juga rindu kepada ibuku, tapi aku belum sempat pulang,” sahutku seadanya.
“Mengejar karir boleh saja,” ujar lelaki Batak itu lagi.
“Tapi kenapa seorang perempuan yang melahirkan kita, sebaiknya kita harus selalu ingat kepadanya, dan kalau ia dalam kesusahan kita harus peduli. Seperti aku yang bekerja di Kalimantan, sekarang ibuku yang sudah tua itu kuboyong ke sana.”
“Ibuku tidak dalam kesusahan, karena ia seorang wanita karir yang mapan.”
“Dalam hal materi memang ibumu tidak mengalami kesulitan dan kekurangan, tapi dalam hal lain, ia seperti menghadapi persoalan berat, kemudian kau juga meninggalkan rumah.”
Ir. Bistok Simangunsong, ternyata sudah banyak mengetahui tentang keadaan ibuku, juga tentang kepergian ayahku dan menyusul aku pula angkat kaki dari rumah itu.
“Ibumu meminta kepadaku sebagai kawanmu yang rapat di kampus dulu agar dapat mengimbau kau pulang.”
Lelaki Batak itu menepuk pundakku.” Pulanglah”
“Terima kasih. Bistok. Mudah-mudahan aku memperoleh cuti dalam waktu dekat ini,” kataku.
“Syukurlah kalau hatimu tergugah untuk pulang.
Kasihan ibumu, ia terlalu memikirkan dirimu, apalagi menjelang perkawinan adikmu. Ketika adikku kawin di Siborong-borong, aku juga cuti dua minggu. Apalagi setelah perkawinan adikmu selesai, kau dapat memboyong ibumu ke Jakarta, ia pasti bahagia sekali.”
“Semua sudah terpikir olehku, Bistok. Aku juga ingin pulang, aku juga ingin memboyong ibuku ke Jakarta, tapi menunggu saat yang tepat.”
“Aku senang mendengar kau sudah bertekad untuk pulang. Itu artinya kau tidak menyia-nyiakan seorang perempuan yang sudah melahirkanmu.”
Aku hanya tersenyum. Lelaki yang kelahiran Tapanuli itu tampak genbira. Sebelum pulang, ia menjabat tanganku erat sekali dan mengguncangnya amat keras. Begitulah lelaki Batak, ia selalu sekar dan tampak kasar, tapi hatinya lembut.
***
N
AMUN Tahun belum juga memberiku keringanan langkah untuk pulang, meskipun untuk menghadiri perkawinan adikku yang paling bungsu. Tetapi pada saat pernikahan Vivi aku mendapat tugas berat, sehubungan dengan realisasi pemasangan pipa transmisi gas bumi yang panjangnya ribuan KM dari Grissik di Sumatera Selatan hingga ke Batam dan Singapura. Tugasku dalam proyek itu harus kulaksanakan dengan baik karena semua dana dan upaya PT. Perusahaan Gas Negara yang telah memiliki status persero dikerahkan untuk menangani pekerjaan berat yang menelan biaya hingga Euro 70 juta. Haruskah kusia-siakan tantangan karir ini?.
Tentu saja tidak! Itulah sebabnya aku tidak pulang ketika adikku menikah dengan Rian, seorang staf di sebuah bank swasta papan atas.
Anehnya, tepat pada saat pesta itu berlangsung, aku digoda mimpi buruk. Dalam mimpi itu seakan-akan melihat burung gagak hitam amat besar menghampiri adikku yang sedang bersanding bersama suaminya. Gagak hitam raksasa yang terbang amat tinggi itu tiba-tiba saja menukikdan menyambar sang mempelai. Kuku-kuku gagak hitam yang amat tajam itu tiba-tiba saja mencengkeram mempelai pria lalu melemparnya ke hutan belantara. Tentu saja adikku menjerit-jerit suaminya dilarikan gagak hitam raksasa.
Tengah malam aku terbangun oleh mimpi buruk itu.
Apa yang terjadi dengan adikku? Apakah mimpi buruk itu sebagai pralambang bahwa adikku tidak akan bahagia disisi suaminya?. Apakah mimpi buruk itu sebagai tanda, bahwa perkawinan adikku dengan staf di bank itu akan banyak menghadapi hempasan badai?. Lama aku termangu-mangu dan tidak dapat memejamkan mata lagi.
Ketika hadiranku di saat perkawinan adikku menyebabkan ibuku sangat marah.
“Dengan cara bagaimana lagi ibu menyuruh kau pulang, Azmi?” suara ibu terdengar melengking melalui telepon.
“Aku benar-benar tidak mendapatkan cuti!,” sahutku.
“Bohong!,” cetus ibu, “Apakah ibu yang harus mencium kakimu baru kau mau pulang?”
“Tidak harus begitu, Bu!, aku segera mohon maaf.
“Mulai saat ini ibu tidak akan memintamu untuk pulang lagi. Terserah padamu mau pulang atau tidak. Ibupun sudah siap andainya tiba saatnya ibu meninggal nanti kau tidak pulang. Biarlah orang lain yang mengusung jenazah ibu, karena anak sendiri entah dimana.”
Kata-kata itu membuatku amat sedih. Apalagi jelas terdengar suara tangis ibu. Aku hanya mampu mohon maaf lagi. Aku masih ingin bicara lebih lama dengan ibu, tapi telepon itu segera putus. Ibu tidak mau lagi bicara lebih banyak denganku. Dan sejak saat itu pula, tidak pernah kudengar orang lain membawa pesan khusus ibu untuk menyuruh aku pulang.
*****
K
ABAR TERAKHIR yang kudengar, Kak Irawati sudah pulang kerumah ibu membawa anaknya. Rumah itu benar-benar menjadi rumah janda. Ibu seorang janda setelah ayah angkat kaki dari rumah itu. Sekarang anak itu pula menjadi janda setelah suaminya mengalami kecelakaan di jalan tol. Dan aku tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Cuma aku merasa berkewajiban membantu sekedarnya untuk seorang kakak yang kini kehilangan tempat bersandar setelah suaminya dipanggil Tuhan.
Namun kabar yang agak mengejutkan adalah ketika ibu tiba-tiba jatuh sakit. Dan yang mengabarkan hal itu adalah Vivi yang baru diwisuda sebagai ahli madya jurusan pariwisata yang kini bekerja di sebuah biro perjalanan kemudian kawin.
“Ibu sakit, pulanglah segera!, ujar Vivi adikku.
“Sekarang di rumah sakit?” aku ingin tahu.
“Tidak, ibu di rawat di rumah saja. Hampir seminggu tidak masuk kantor”
“Parahkah keadaannya?”
“Tidak terlalu parah”
“Sakit apa sebenarnya ibu? Apa kata dokter?”
“Memang penyakit ibu tidak mengkhawatirkan”
“Lalu bagaimana hasil pemeriksaan dokter?”
“Ibu diduga menderita stress berat”
“Stress? Kenapa stress? Apakah rumahnya sudah menjadi rumah janda?”
“Itu juga merupakan salah satu sebab,” sahut Vivi melalui telepon. “Tapi sebab lain adalah setelah ibu mendengar tentang ayah, ibu seperti menderita pukulan batin yang paling dahsyat”
“Kenapa ayah?” aku pura-pura tidak tahu. Padahal aku sudah lama tahu keadaan ayah. Aku tahu ayah sekarang kawin lagi. Biarlah orang lain yang menyampaikan kabar itu kepada ibu.
“Ayah sudah kawin lagi dengan seorang wanita asal Pekalongan,”ujar Vivi lagi.
“Lalu batin ibu terpukul hebat? Begitu?”
“Ya! Ibu sekarang tampak amat menyesal. Apa lagi ibu mendengar kabar ayah sudah bekerja di sebuah kapal pengangkatan kontainer dan tiap pulang membawa uang banyak untuk memodali usaha istrinya!”
“Hebat ayah sekarang!,” aku pura-pura tidak tahu.
“Kabar itu hampir bersamaan dengan kabar tentang perusahaan tempat ibu bekerja”
“Kenapa perusahaan ibu? Bukankah perusahaan real estate itu sangat berkembang pesat?”
“Perusahaan itu teramcam gulung tikar karena manajemennya amburadul. Kasihan ibu sekarang. Ayah sampai hati menghancurkan hati ibu,” keluh Vivi dan jelas kudengar adikku terisak.
“Jangan salahkan ayah. Yang bersalah adalah ibu kita.
Ibu yang menghendaki ayah angkat kaki dari rumuh dulu. Ibu kita yang melempar ayah dengan vas bunga hingga keningnya luka. Hati ayah lebih luka lagi. Wajar kalau ayah akhirnya pergi dan kawin lagi. Tentu ayah ingin seorang wanita yang hatinya lembut. Ayah sudah berbahagia disisi seorang wanita yang hatinya sutera!”
“Kasihan ibu sekarang. Ibu tampak kurus sekali. Ibu takut kehilangan karirnya” Vivi terisak lagi. Jelas kudengar tangisnya.
“Biasa seseorang kalau menderita stres keadaannya begitu,” sahutku.
“Tolonglah ibu. Pulanglah ke Medan secepatnya,” imbau Vivi lagi.
“Tidak, Vivi. Aku tidak akan pulang untuk sementara waktu. Apa lagi kalau penyakit ibu cuma stres. Suruh saja ibu menanam bunga bair sejenak lupa segala kemelut yang terlalu membebani pikirannya”
“Apapun yang dikatakan Vivi, aku tetap tidak ingin pulang. Seseorang yang menderita stres hanya dirinya sendiri yang dapat mengobatinya. Dokter hanya memberikan tablet penenang. Ibu sekarang baru menyesal. Hati ibu terlalu tegar waktu itu, waktu perusahaan tempat bekerja sedang berkembang pesat.
Ibu hanya menderita stres. Ibu tidak menderita sakit berat. Ibu bukan menderita kanker serviks yang mengerikan. Ibu bukan menderita kelainan jantung yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya. Umur ibu masih panjang.
Bila ada seorang anak sangat tidak perduli terhadap ibunya, itu adalah aku! Itupun disebabkan sikap ibu dulu, ketika bertengkar dengan ayah sampai menyebabkan ayah pergi dari rumah setelah keningnya terluka dan darah mengucur di lantai marmer.
****
K
ETIKA akhirnya aku kawin dengan seorang gadis kelahiran minang, ibu juga tidak kuberi tahu. Ibu tidak kuminta hadir ketika pesta perkawinanku dengan Yusrah berlangsung di Kramik Jati. Restu dari ibu juga tidak kuminta.
Ibu akhirnya tahu sendiri aku sudah kawin.
“Sampai hati kau kawin dengan diam-diam!,” ibu mendampratku lagi melalui telepon.
“Aku tidak ingin merepotkan ibu. Bukankah ibu selalu sibuk dengan urusan organisasi? Bukankah ibu sibuk mengunjungi rumah sakit kusta bersama belasan ibu-ibu lainnya?”
“Jangan selalu menyindir begitu, Azmi! Ibu tidak mau mendengarnya lagi!”
“Bukan menyindir, tapi memang kenyataannya. Ibu bangga dapat mengunjungi desa yang dilanda banjir atau tanah longsor dan menyerahkan Indo Mie, bukan?”
“Sekarang ibu tidak seperti dulu lagi. Kegiatan sosial sedikit demi sedikit demi sudah ibu kurangi. Ibu tidak dapat mengikuti arus ibu-ibu pejabat yang duitnya banyak. Ibu sangat menyesali sikapmu. Kau kawin diam-diam, padahal kau masih punya ibu yang seharusnya menghadiri perkawinanmu”
“Sudahlah, ibu! Pesta perkawinanku hanya sederhana”
“Kau memang keterlaluan,” keluh ibu lagi.
“Maafkan aku,” hanya itu kataku.
“Kau memang benar-benar sama dengan ayahmu. Sama-sama keras kepala!”
Kubiarkan ibu menghamburkan segala uneg-uneg dalam dadanya. Ketika aku bicara tentang ayah, ibu hanya tahu menyalahkan orang lain. Ibu tidak menyadari bahwa semua itu terjadi karena sikap ibu dulu. Karena ibu terlalu angkuh.
Dulu ibu terlalu mengandalkan ketegarannya sebagai wanita karir. Sampai ibu lupa pada kelembutannya dan ibu melakukan aksi teror, dan menabuh genderang perang.
Lihatlah sekarang, ayah sudah bekerja meskipun lebih sering berada di laut. Tapi itupun Cuma sementara. Setelah memiliki uang cukup untuk menambah modal, ayah akan menjadi pengusaha pula. Kalau ibu sabar, pasti ayah tidak akan angkat kaki dari rumah kemudian suatu saat menikah lagi dengan wanita asal Pekalongan.
Sejak aku kawin dengan diam-diam, ibu tidak pernah lagi menulis surat kepadaku. Tidak pernah lagi ibu bicara denganku melalui telepon. Ibu menyadari, bahwa aku tidak memperdulikannya lagi. Berbulan-bulan aku tidak tahu keadaan ibu. Tapi jauh dari dasar hatiku, selalu kudoakan semoga ibu selalu sehat. Aku tetap mendoakan semoga ibu mampu mandiri.
Biar ibu tahu, bahwa aku bukanlah sebongkah batu es yang dalam sesaat saja menjadi cari.
Dan waktupun cepat berlalu. Telah lahir seorang cucu ibu dari rahim istriku. Tapi ibu lagi-lagi tidak kuberi tahu. Buat apa memberita ibu?. Nanti suatu saat aku akan membawa istri dan anakku pulang ke Medan dan bersujud dikakinya. Tapi entah kapan.
****
S
ESEORANG lelaki berusia lima puluhan turun dari taksi tepat di depan rumah yang kukontrak. Tubuh lelaki itu masih kekar, jidatnya lebar dan kumisnya rapi. Ada bekas luka di alis matanya. Langkahnya tampak berwibawa. Dia adalah seseorang lelaki perkasa yang pernah dianggap remeh oleh ibu. Dia adalah ayahku. Dia adalah laki-laki yang paling kuhormati, tapi pernah diusir ibu.
“Ayah,” teriakku dan langsung menyerbunya.
“Azmi!,” ia menyergapku. Erat sekali.
“Bertahun-tahun ayah pergi dan aku sempat mencari kemana-mana”, kataku dalam pelukannya.
“Tapi rasanya baru kemarin sore kita berkumpul, bukan?”
“Ayah masih seperti dulu”
“Justru kau banyak berobah, Azmi! Kau sudah jadi orang. Kau sudah bekerja dan berkeluarga”
“Ya! Aku sudah jadi bapak!,”aku tersenyum bangga.
“Wa, hebat! Mana istrimu? Mana cucu ayah?”
“Dirumah!”
Ayah langsung menyerbu masuk. Istriku muncul dan ayah merebut si kecil dari golongan istriku, setelah dia mencium tangan ayah. Dalam hatiku bertanya, kapan pula giliran istriku mencium tangan ibu seperti ini? Mungkinkah besok?. Atau lusa? Atau tidak sama sekali karena ayah juga tidak akan pernah lagi bertemu ibu?.
Sesat ayah menimang cucunya. Ayah tampak gembira.
“Wajahnya mirip kau, Azmi !, “ ujarnya
“Dia akan jadi insiyur!, “ istriku menimpali.
“Cucu ayah yang lain juga menginkan seutuhnya ayah seperti ini ,” ujarku memancing sikap ayah. Tapi ayah kelihatan tidak acuh.
“siapa nama anakmu,” ayah bertanya ketika masih mengendong cucunya. Lama ia menatap wajah sang cucu. Si kecil itu tampak amat senang dalam gendongannya.
“fahri,” aku menyabut pendek.
“Nama yang bagus, berarti keagungan. Ayah senang kau memberi nama anakmu islamy.”
“Juga nuansa Melayu,” aku tersenyum. Meskipun sudah berdomisili disebuah kota metropolitan, tapi aku merasa darah Melayu masih kental mengalir dalam tubuhku. Bahkan dalam banyak hal meskipun sudah teramat jauh dari tanah leluhur nenek moyangku di Deli Serdang jauh dari perbaungan, namun suasana melayu masih mewarnai kehidupan keluargaku.
Aku akan selalu ingat segala penuturan ayah, bahwa ketika aku dilahirkan dulu, ayah yang memberi namaku. Beda dengan Kak Irawati Suzana dan adikku Vivi. Nama-nama mereka adalah pemberian ibu. Itu sebabnya kakakku menyandang nama Irawati Suzana dan adikku menyandang Vivi Lidya Natasya. Ibu memang gemar dengan nama –nama keren, padahal ia sendiri mungkin tidak tahu makna nama-nama keren itu.
Dalam panggilan keluarga ibu uga demikian. Lihatlah memanggil adik ibu dengan “Tante Belinda: dan suaminya “Oom Roy”. Sementara terhadap keluarga ayah masih melekat panggilan “Makcik”, “Pakcik”, dan “Atuk”. Malah yang senang dipanggil dengan nama-nama “Ulong” dan “uncu” juga masih banyak.
Betapa bedanya sudut pandang antara ayah yang berdarah melayu dan suasana islamy selalu mewarnai kehidupannya dengan ibuku yang yang gemar pada suasana ngetrend, keren dan modren.
“Kau sudah melakasanakan Aqiqah anakmu?,” tanya sang ayan dan sang cucu masih dalam gendongannya.
“Tentu saja aku tak pernah melalaikan hal itu. Aku selalu ingat petuah ayah. Bukankah untuk anak laki-laki sebaiknya aqiqah dua ekor kambing?.”
“syukurlah kau benar-benar anak ayah!,”
Aku amat senang mendengar kata-kata itu diucapakan oleh seorang lelaki yang selama ini amat aku hormati dan sekaligus amat aku kagumi.
“Yang pertama menggunting rambutnya adalah Ustaz haji Datuk Mustaffa yang sekaligus mentabalkan namanya,” kataku lagi.
“Bagus!,” ayah tampak senang, apalagi aku menyebut nama kerabat ayah ayang sudah tua , Al Ustaz Haji Datuk Mustaffa. Bila ada keluarga melayu di jakarta dan sekitarnya yang akan melakukan aqiqah anak-anaknya atau melakukan pemotongan hewan Qurban, pasti orang tua yang janggutnya panjang itu selalu hadir. Meskipun rambutnya sudah putih seluruhnya, meskipun wajahnya sudah dipenuh keriput petanda ketuaanya, tapi lelaki itu masih mampu menyembelih empat atau lima ekor sapi qurban. Tubuhnya masih kekar.
Kalau ada keluarga yang melakukan syukuran, atau mau berangkat ke Tanah Suci, mengawinkan anak, khitan, pasti laki-laki tua itu yang paling awal dipanggil untuk melakukan tepung tawar. Doa-doanya juga amat fasih.
Akupun tidak pernah tahu pada saat mentabalkan namaku darimana orang tua itu mendapatkan kelapa muda bertangkai lalu ia mengerat dan sekaligus mengukirnya untuk tempat rambut bayiku yang baru sajadicukur dan ditabalkan namanya. Kelapa muda yang sudah dikerat dan diukir dibalut dengan kain kuning. Seakan masih terngiang dirongga telingaku gaung”marhaban” pada saat mentabalkan nama anakku.
Sayang pada saat itu atuknya sedang berada jauh di benua Afrika bersama kapal WhitePeacock dan ibu memang sengaja tidak kuberi tahu. Biarlah ibu tidak usah menyaksikannya.
“Ayah cuti?”
“Saat ini kapal ayah naek dok di surabaya”
“Wah, kalau begitu ayah punya banyak waktu terluang”
“Ya ! dan ayah sudah merencanakan untuk tidak berlayar lagi!”
“Kenapa?
“Usia bertambah terus tanpa ada yang mampu mencegah, ayah bertambah tua”
“Tapi ayah tetap tampak kekar dan kukuh”
“Ayah sudah jemu dengan laut. Sesuai janji ayah, bila ayah sudah punya modal, ayah akan berhenti berlayar. Ayah sedang memikirkan usaha apa yang pantas ayah lakukan. Sudah waktunya ayah berkumpul dengan keluarga.
“Bersama ibu?,” lagi-lagi aku memancing sikap ayah.
“Itulah yang tidak mungkin,” ayah menghela nafas panjang dan sesaat tercenung. Aku sudah dapat menduga pasti ayah terkenang pada ibu.
“Lalu apa rencana ayah selanjutnya?,” ku tatap wajah ayah dalam-dalam.
“Toko batik di Pekalongan sudah ada yang mengelola. Ayah akan membuka restoran. Tentu restoran Khas Melayu. Karena orang Melayu juga banyak di Jakarta ini. Rasanya tidak sia-sia ayah belajar masak sejak masih bujang dulu. Karena pintar memasak itulah ayah tidak sempat mengangur terlalu lama. Rasanya mempunyai keahlian memasak banyak hikmahnya bagi ayah. Kau masih ingat bagaimana usaha ayah akhirnya di lak polisi karena mitra usaha yang curang?. Sejak ayah kehilangan tempat mencari nafkah, ayah sering bertengkar dengan ibumu. Ibumu selalu melakukan teror”
“Hati ibu terlalu keras!,” hanya itu komentarku.
Sesaat ayah terdiam. Anakku masih dalam gendongannya.
“Syukurlah, keahlian memasak akhirnya membawa ayah ke akapal kontainer hingga ayah dipercaya oleh pemilik perusahaan pelayaran itu untuk mengelola segala kebutuhan awak kapal. Dengan kapal pengangkutan kontainer itu pula ayah dapat menjejakkan kaki di benua Afrika, Australia hingga timur tengah dan ayah menerima penghasilan yang lebih dari layak. Selain itu, ayah juga menggunakan kesempatan membawa barang antik, berlian, kamera samai dengan gading gajah. Alhamdulilah, sekarang ayah mampu mengumpul uang”
“Dan ayah secepatnya akan membuka restoran Melayu di sini?,” tanyaku.
“Ya! Ayah tidak amau jadi pengangguran lagi”
“Ayah tidak mau menemui ibu dulu walaupun sekejap?”, lagi-lagi wajah ayah kutatap dalam-dalam.
“Tidak usah!,” ayah berkata tegas. Dan lugas.
“Kenapa?”
“Ayah merasa tidak perlu lagi! Semuanya sudah berakhir!”
Aku hanya mampu menghela nafas panjang. Bagaimanpun ayah pasti akan tetap ingat bagaiaman sikap ibu dulu.
“Ibu sudah tahu bagaiamana keadaan ayah sekarang”, kataku lagi.
“Ya! Ibumu memang sudah mendengarkanya”
“Ibu mengalami stres berat”
“Ayah tidak bermaksud melukai hati ibumu. Hanya hati ibu yang terlalu keras.”
“Ayah tidak ingin pulang walaupun sejenak?” ia menggeleng.
“susananya sudah menjadi lain sekarang, Azmi. Sebab disisi ayah sudah ada Bu Ainun,” ayah menyebutkan nama seorang perempuan asal pekalongan yang kini mendampinginya sebagai istrinya.
“Aku mengerti,” kataku.
“Kalau ayah pulang meskipun sedetik untuk menjenguk ibumu, mungkin hanya menambah persoalan, sementara ayah merasa sudah hidup tentram di sisi Bu Ainun.”
Aku hanya menghelakan nafas panjang, padahal aku sudah bersumpah untu tidak lagi menginjak rumah ibu kalau tidak bersama ayah. Dan sekarang ayah sudah bertekad untuk tidak mau menginjakakan kaki di rumah ibu lagi.
“Ada lagi yang harus ayah katakanpadamu, bahwa ayah dan Bu Ainun baru saja pulang,” cetus ayah lagi dan menatapku.
“Pulang dari mana?”
“Dari tempat yang teramat jauh.”
“Jauh?. Apakah Bu Ainun ikut dalam kapal White Peacock ke Cape Town bersama ayah dan melihat-lihat benua Afrika?”
“Tidak, Azmi!. Untuk apa ke Afrika?”
“Siapa tahu Bu Ainun ingin melihat-lihat benua hitam itu.”
Ayah hanya tersenyu dan menepuk pundakku.
“Kau harus tahu, Bu Ainun amat berbeda dengan ibumu,” suara arah terdengar lagi dan ku biarkan ayah menepuk pundakku lagi.
“Beda dalam hal apa?”
“Tentu saja disisi dada dua orang ibu yang amat berbeda. Kalau dalam dada ibumu yang ada Cuma kesembongan dan keangkuhan, justru dalam dada Bu Ainun yang ada iman yang kukuh. Itulah yang amat ayah senangi pada dirinya. Bu Ainun adalah seorang muslimah sejati. Ia seorang perempuan yang taat. Tiap hari, dimanapu dan kapan pun. BU Ainun selalu mengenakan busana muslimah. Dirumahnya terasa amat teduh karena suasana islami amat terasa di rumah itu. Apalagi kalau sudah membaca Al-Quran, suaranya benar-benar meresap hingga kedasar hati ayah yang paling dalam.”
“Pantas hidup ayah tentram sekarang,” cetusku.
“Ayah baru saja pulang dari tanah suci?”.
“Ayah baru saja menunaikan ibadah haji?. Ayah baru saja pulang dari Madinah?. Ayah baru saja pulang dari Mekkah?. Ayah baru saja pulang dari Arafah,” aku hampir tidak percaya pada ucapan ayah.
“Ya!,” ayah mengaguk lirih.
“Bersama Bu Ainun?,” tatapku semakin dalam.
“ Kalau ayah menjejakan kaki di tanah suci dan lebih dari empat puluh hari berada disana, yang amat keras mengajak ke sana adalah seorang wanita yang dadanya penuh dengan iman yang amat kental, yakni Bu Ainun. Ibumu tidak pernah berpikir sedikitpun tentang hal itu.”
“Alangkah bahagianya ibu andainya ia juga dapat menjejakan kakinya di tanah suci. Mungkin disana semua kesombongan dan keangkuhan pada dirinya tidak ada lagi,” aku menghela nafas panjang dan berat, seperti sarat dan keluahn.
“Ya!, ibu akan bahagia sekali seandainya dapat menjejakan kakinya di tahan Haram yang amat dimuliakan umat muslim sedunia,”
“Adakah ayah mendoakan ibu di sana?”
“Tentu!, Tentu, Azmi. Meskipun saaat ini sudah terpisah, tapi bagaiman pun, ibumu pernah mendampingi ayah selama bertahun-tahun. Masih ada kenangan indah di hati ayah bersama ibumu. Ayah berdoa, agar hati ibumu yang sekeras batu cadas itu dapan menjadi lembut. Ayah juga berdoa, semoga ibumu akanselalu tabah andainya suatu saat nanti harus menghadapi persoalan besar dalam hidupnya,”
“Semoga tangan-tangan malaikat selalu menjaga ibu,” aku menimpali.
“Terus terang. Ketika ayah berada dijabal uhud, tempat terjadinya perang paling dahsyat melawan musuh-musih islam, ayah juga terkenang pada ibumu. Juga ketika ziarah kemakam Baqi’, wajah ibumu hadir di benak ayah. Apalagi ketika tawaf keliling Ka’bah, lagi-lagi wajah ibumu hadir. Hampir tiap tempat yang ayah kunjungi, seperti di muzdalifah, Arafah dan Mina. Ibumu seakan-akan hadir disisi ayah, apadahan yang mendampingi ayah adalah Bu Ainun.”
Kata-kata itu menbuat akau tercenung sesaat. Tiba-tiba saja keharuan menyenak dalam rongga dadaku. Berbahagialah ayahku yang telah menginjakan kakinaya di tanah Suci. Sayang seorang perempuan yang telah melahirkan aku ke dunia tidak sempat mendampingi ayah di sana dan itupun disebabkan sikap angkuh yang ada dalam dada ibuku.
“Ayah banyak berdoa untukmu, Azmi. Terutama ketiaka usai tawaf keliling Ka’bah, di Multazam, berkali-kali ayah mendoakan anak-anak ayah agr semua hidup mapan dan jalan hidupnya selalu lurus serta menjauhi dosa meskipun sekecil serpihan debu.”
“Terima kasih,” sahutku penuh rasa kagum terhadap ayah. Pantas bila seseorag laki-laki yang paling kuhormati adalah ayahku. Tapi ibu merasa seorang lelaki seperti ayah yang sempat dua tahun menganggur setelah usahanya dilak polisi, meminta agar aku tidak lagi menghormati lelaki itu. Dan sekarang tidak hanya sebagai seorang lelaki yang paling ku hormati, tetapi paling juga kukagumi.
Sesaat kenangan amsa lalu kembali dibenku. Lebih dua tahun ayah menganggur sejak usahanya dilak Polisi karena terbukti mengoplos dan memalsukan minyak plumas yang dilakukan mitra usahanya. Selama lebih dua tahun yang mencari nafkah adalah ibu. Selama lebih dua tahun itulah badai dahsyat selalu mengguncang rumah tangga ayah dan ibu. Sebab ibu merasa tidak selayaknya seorang istri yang mencari nafkah sementara ayah berpangku tangan dan bermalas-malasan.
Selama menganggur itulah yah banyak membaca kitab-kitab agama . lihatlah, dimeja tulisnya berjejer buku-buku hadist, fiqh, tasauf, tafsir, jugatentang zikir pilihan dan banyak lagi. Sekarang, setelah angkat kaki dari rumah, mungkin ibu sudah menyingkirkan semua buku-buku itu ke gudang dibelakang rumah dan mungkin juga sudah membakar semua buku-buku itu. Sebab ibu tidak pernah tertarik pada kitab-kitab sejenis itu.
Selama lebih dua tahu lelaki itu menganggur, lima belas menit lagi sebelum azan magrib terdengar, ia pasti sudah berad di misjid istiqomah dan pulang setelah usai Isya. Ketika subuh, meskipun gerimis sedang turun dan angin menghembus giris membawa udara amat dingin, ayah juga melangkah ke mesjid. Ia adalah jemaah misjid yang paling setia. Apalagi kalau ada majlis taklim atau ceramah agama, pasti yang mencari ustaz adalah ayah.
“Pernahkah ayah sakit selama lebih empat puluh hari di Tanah Suci?,”
“Ayah selalu sehat,” sahutny dan tersenyum.
“Juga Bu Ainun?”
“Kami berdua seakan selalu dijaga oleh malaikat. Bahkan ketika melontar tiga jamrah dimini dan di sana korban-korban selalu berjatuhan, semuanya berjalan lancar. Malaikat seakan selalu ada di sisi ayah, juga di sisi Bu Ainun dan membimbing kami. Itu tandanya, selama ini ayah renadah hati. Itu tandanya selama ini Bu Ainun selalu dekat dengan Tuhan dan menjauhi semua dosa. Juga karena Bu Ainun tahu apa arti suami dalam kehidupannya. Bu Ainun tak pernah meremehkan suami. Ia tidak pernah menganggap kecil arti suami. Tidak seperti ibumu.”
“Sudahlah, tidak usah lagi menghujat ibu. Berilah keampunan. Berilah ibu maaf”
“Ya, ayah sudah memberikan maaf.”
Sesaat ayah menyentuh keningnya yang pernah terkena lemparan vas bunga hingga luka dan berdarah lalu kucuran darah itu membeku di lantai marmer putih bersih.
“Ayah benar-benar sudah melupakan semua hal-hal yang pernah dilakukan ibumu. Apalagi ketika ayah berada di Padang Arafah dan dua juta ummat berkumpul di sana, di atas pasir yang amat luas dan angin pun berhembus membawa serpihan debu, ayah benar-benar melupakan semuanya. Ayah benar-benar sudah memberikan keampunan kepada ibumu. Ayah benar-benar berdoa untuk ibumu.”
Hati sedih terdengar dari ucapan itu.
“ Berjanjilah ayah tidak lagi menghujat ibu,!” itulah pintaku.
“Ya, ayah berjanji. Ayah menganggap ibumu tidak mempunyai dosa apa-apa terhadap ayah. Ayah menganggap masa lalu sudah terhapus oleh desau angin atau terhapus oleh hujan deras yang turun sepanjang malam. Tapi untuk kembali kepadanya tidak mungkin lagi”
Kata-kata yang terakhir yang di ucapkan ayah menyebabkan kesedihan semakin dalam dasar ahtiku.
“Sejak sekarang, marilah kita buka lembaran baru, Azmi. Kita awali semuanya dengan hati bersih. Bimbinglah keluargamu baik-baik. Jadikanlah suasana rumahmu bernuansa islami.
Aku hanya mengangguk lirih. Panjang lebar ayah bercerita tentang perjalan yang amat mulia di Tanah Suci. Dua juta ummat berjejeal di sana yakni semata-mata untu beribadah dan memohon keampunan.dariNya.
“Ada sesuatu hal yang terjadi ketika ayah berlari-lari kecil andatar Bkit Marwa dan Bukit Safa unuk menunaikan ibadah sa’i.”
“Apakah ayah terjatuh di sana karena menunaikan sa’i amat banyak?,” tanyaku dan sepasang mataku tidak sedikitpun bergeser menatap wajahnya yang bersih dan keningnya selalu bersinar karena dibasahi wudhu.
‘Tidak, mudah-mudahan ayah tidak pernah terjatuh karena malaikat selalu membimbing di mana saja. Yang terjdai tanpa di duga-duga, bahwa diantara ratusan ribu penuhi sa;i yang melangkah antara Bukit Marwa dan Safa, ayah bertemu seseorang.”
“Ayah bertemu siapa?,” tanyaku
“Tanpa diduga-duga, ayah bertemu Tante Belinda”
“Bertemu adik kandung ibu yang cerewet itu?,” tanyaku lagi.
“Ya!. Tante Belinda juga sedang menunaikan ibadah haji bersama suaminya.”
“Tahukah Tante Belinda, bahwa ayah bersama Bu Ainun?,” perasaan ingin tahu segera mengunung dalam rongga hatiku.
“Tentu saja ia terheran-heran, malah bertanya perempuan yang selalu ada di sisi ayah selama wuquf di Arafah, melontar di Mina, atau ketika tawaf keliling Ka’bah dan ketika Sa’i berjalan ulang alik Bulit Safa dan Bukit Marwa.”
“lalu apa ayang ayah katakan pada Tante Belinda?.
Apakah ayah berterus terang, bahwa perempuan itu adalah pengganti ibu?”
“Ayah tidak pernah berdusta. Ayah tidak pernah berpura-pura, ayah berterus terang, bahwa sudah ada pengganti ibumu di sisi ayah.”
“lalu bagaimana sikap Tante Belinda?”
“Tentu saja ia bersikap sinis!,”
“Tante Belinda pasti menceritakan hal itu kepada ibu,” cetusku.” Pasti kabar itu sampai ketelinga ibu.”
“Ya, dan ayah sudah menduganya. Biarlah ibumu tahu.”
Sesaat aku menunduk. Mendadak wajah ibu yang cantik itu membersit kembali di kepalku. Kadang-kadang ada rasa kasihan yang amat dalam di hatiku. Apalagi sekarang, setelah ayah menikah lagi dengan seorang perempuan kelahiran pekalongan. Pasti ibu sangat menderita kalau mendengar hal itu. Apalagi setelah menikah dengan perempuan pedagang batik asal pekalongan itu ayah pergi ke Tanah Suci. Alangkah bahagianya laki-laki yang sejak dulu amat ku hormati. Dan alangkah sedihnya nasib ibu, apalagi kalau kesombongan masih kental dalam dirinya.
“Bagaimana sikap ibu setelah ibu tahu dari Tante Belinda, bahwa ayah bersaama Bu Ainun di Tanah Suci?,” aku ingin tahu keadaan ibu.
“Ayah selalu mengadakan kontak dengan adikmu, Vivi. Apa yang ayah duga, memang tidak meleset sedikitpun. Apa yang dibawa Tante Linda Pulang dari Tanah Suci, bukanlah kisah perjalannan musafir yang suci, dan teramat mulia, bukan tentang suasana masjidil haram yang dikunjungi oleh dua juta ummat. Tapi yang dibawanya pulang adalah cerita tentang ayah bersama perempuan lain. Bahkan Tante Belinda memberi variasi tambahan,” ayah berdecap-decap.
“Ibu tentu marah dan stres berat.”
“Begitulah menurut penuturan Vivi. Seharusnya hati ibumu tergetar mendengar ayah sudah melangkah kaki ke Tanah Suci. Juga adikmu hadir di sana. Justruy ibumu melontar kata-kata yang keji karena kehadiran perempuan lain di sisi ayang yang sebenarnya sudah menjadi istri ayah yang sah, sama halnya ketika ayah menikah dengan ibumu dulu.”
‘Bagaimana kalau ibu tahu hal ini/”
“ibu sudah tahu semuanya dari Vivi yang selalu ayah hubungi memlalui telepon”
“Bagaimana sikap ibu”
“Ibu tampaknya semakin stres. Itulah tandanaya ibumu jauh dari Tuhan. Ibumu dulu lebi senang mengunjungi panti jompo atau panti rehabilitas remaja penderita morpinis dari pada menghadiri pengajian dan lupa beribadah”
Sesaaat aku terdiam
“Ibumu sekarang jatuh sakit,” ujar ayah lagi serius.
“Mungkin hanya flu!”
“Bukan! Bukan Flu! Dokter mengatakan mama menderita hipertensi ditambah dengan Dia betes Melitus”
“dari mana ayah tahu semuanya?”
“Bukan kah sudah ayah katakan, meskipun ayah sedang berada di Toronto atau Taipe, tapi ayanh selalu mengadakan kontak dengan anak-anak. Juga dengan Vivi yang sangat dekat dengan ibumu”
Aku menghela nafas panjang lagi. Entah mengapa aku tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang mengenaskan di dasar hatiku. Tiba-tiba aku ingat ibu. Tiba-tiba wajah ibu muncul dibenakku.
“Pulanglah!,” ayah menepuk pundakku. “Jenguklah ibumu!”
“Bersama ayah?” seperti tidak puas-puasnya aku menatap wajahnya yang tamapan. Dimataku ayah memang seorang lelaki perkasa.
“Ayah tidak mungkin agi!”
“Aku sudah bersumpah tidak akan pulang andainya tidak bersama ayah!”
“Lupakanlah hal itu! Ayah sudah hidup tentram sekarang, jauh lebih tenram ketika di sisi ibumu dulu. Cuma ibumu yang justru seperti dibelenggu kecemasan. Sekarang ibumu seperti terombang-ambing dan disiksa bayang-bayang”
“Karena ibu menyesali sikapnya yang lalu terhadap ayah”
“Ya!, tapi juga ada hal-hal lain”
“Apa lagi?”
“Ibumu tidak bekerja agi. Kalau kau pulang ke Medan kau akan tahu sebabnya nanti”
Sejenak aku termenung
Ayah menepuk pundakku lagi.
“Kasihanlah pada ibumu, Azmi!” ujarnya lagi.”Lupakanlah mas lalu dan segala kemegahan ibumu.”
Aku masih terdiam
“kalau kau pulang ke Medan anggaplah ibumu yang memanggil, tapi karena imbauan ayah. Anggaplah kau pulang karena ayah. Sebab ayah juga kasihan melihat keadaan ibumu.”
Ucap ayah seperti keajaiban yang singgah di hatiku. Tiba-tiba saja aku merindukan ibu. Tiba-tiba saja aku ingin melihatnya, ingin bica dengan ibu.
“Pulanglah, Azmi! Kepulangamu akan menjadi obat bagi ibu!,” laagi-lagi ayah menepuk pundakku.
“Ya! Aku akan pulang, tapi demi imbauan ayah!”
Ayah tampak lega dan tersenyum
“Ayah titip sesuatu untuk ibumu”
Ayah mengeluarkan sesuatu. Dan yang diberikan ayah untuk ibu bukanlah berlian berharga jutan rupiah. Bukan Gading Gajah yang dibawanya dari benua Arika. Bukan pula sejumlah uang. Yang diberikan ayah adalah untaian benda-benda berkilau yang harganya tidak mahal. Benda berkilau itu adalah untaian Tasbih. Tasbih yang sengaja dibawanya dari tanah Suci.
“Cuma ini yang mampu ayah berikan untuk ibumu”
Ujar ayah dan melanjutkan percakapannya “Mudah-mudahan tasbih ini ada manfaatnya bagi ibumu.”
“Mudah-mudahan dengan tasbih ini ibumu akan selalu ingat Tuhan dan merasa dekat dengan-Nya.akalau dekat dengan Tuhan hatinya akan tentram.”
“Aku akan memberikannnya kepada ibu!”
Sekali lagi ayah menepuk pundakkuk. Hari ini ayah benar-benar tampak perkasa.
****
A
NDAINYA bukan ayah yang meminta, mungkin akau tidak buru-buru pulang ke Medan. Entahlah bila ibu sakit parah. Atau ketika ibu meninggal. Aku sudak nekad begitu karena sikap ibu terhadap ayah dulu tidak pernah terlupakan olehku. Sekarang hatiku rapuh.
Demi imbauan ayah akhirnya aku pulang. Demi permintan ayah akhirnya hatiku lunak. Tapi anak dan istriku belum saatnya kubawa serta. Tidak ada oleh-oleh yang kubawa untuk ibu selain seuntai tasbih dari ayah untuk ibuku. Bukankah ibu menderita hipertensi di tambah D.M dan ibu harus diet? Ibu tidak boleh makan sembarangan.
Dari bandara polonia, aku naek tasksi langsung ke rumah ibu. Dan aku sengaja pulang tanpa membawa kabar lebih dulu. Biar aku tahu keadaan ibu yang sebenarnya.
Tidak banyak perubahan yang terjadi d rumah itu. Hanya warana cat yang dulu krim kini sudah berwarna dengan putih. Wah, ibu senang sekali warna putih sekarang. Dan pohon pinang, merah yang ditanam ayah dulu kini sudah tinggi.
Tiadak ada lagi kandang burung beo di halaman samping rumah itu. Dulu burung beo kesayangan ayah sudah mulai pintar bicara. Burung beo itu sudah dapat menirukan suara seorang india Syeikh penganatar susu langganan ibu yang sorbannya besar.
“Susu, non!,” suara burung Beo itu rasanya masih terngiang kembali di rongga telingaku.
Tapi burung itu sudah tidak ada lagi. Burung beo itu pasti sudah mati karena tidak ada lagi ayang mengurusnya. Sekarang sangkarnya sudah dibongkar. Dan mungkin India Syeikh yang sorbannya besar itu tidak pernah datang lagi karena ibu tidak lagi menjadi pelanggan susu. Apa lagi ibu menderita DM yang harus menjaga makanan dan minumannya.
Aku tetegun ketika taksi berhenti di depan rumah itu kulihat seorang perempuan tua duduk di kursi roda. Perempuan itu adalah ibu. Ibu memang tidak seperti dulu lagi.
Sesaat aku termenung ketika memandang ibu yang tampak jauh tua dari usia yang sebenarnya. Ibu tidak seperti dulu lagi. Ibu bukan lagi seorang wanita yang gesit, cantik dan pintar berpidato. Ibu bukan lagi wanita tegar seperti dulu. Ibu bukan seorang wanita karir yang berdiri di bumi yang amat kukuh. Ia seorang wanita tua yang amat lemah sekarang.
Sekarang ibu hanya dapat duduk di kursi roda. Dan ia menggerakan kursi roda itu hanya dengan sebelah tangan, sebab sebelah lagi tangan dan kakinya lumpuh akibat stroke. Ya, Tuhan. Betapa menderitanya perempuan yang pernah melahirkan aku.
“Sudah sampai, bang,” supir taksi menyentakkan aku yang melamun.
Kubayar ongkos taksi dan aku buru-buru turun. Ibu buru-buru mendorong kursi rodanya untuk menyambut kedatanganku. Tapi sebelum melewati teras. Aku segera memburu ibu. Jangan sampai kursi roda terbalik. Jangan sampai ibu terhempas, jangan sampai pendertaan ibu bertambah lagi.
“Ibu,” cetusku.
“Azmi, anakku!,” suara ibu lirih.
“Akhirnya aku tenggelam dalam pelukan ibu. Dan ibu menangis. Ia tersedu-sedu. Air matanya berderai-derai.
“Ibu memang yakin benar, dalam waktu dekat kau pasti pulang”, suara ibu masih perlahan.
Sesaat aku tidak mampu berkata-kata. Aku tenggelam dalam keharuan. Siapa menduga seorang wanita yang dulu tegar kini tidak berdaya?
“Akhirnya doa ibu terkabul. Akhirnya hatimu lunak,” ujar ibu diantara tangisnya.
“Ayah memang meminta agar aku segera pulang”
Ibu melepaskan pelukannya.
“Kau lihat keadaan ibu sekarang, Azmi?”
Sesaat aku mengamati keadaan ibu sejak ujung rambutnya yang putih hingga ujung kakinya yang tampak lemah. Ibu memang benar-benar tidak berdaya.
“Kenapa ibu jadi begini?”
“Ibu menderita stroke”
Lagi-lagi aku menatap wajah dan tubuhnya. Tiba-tiba saja hatiku iba.
“Ibu terlalu memikirkan ayahmu dan kau, Azmi!”
Semua tidak perduli lagi kepada ibu. Ibu seperti sedang menjalani vonis yang amat berat karena tidak seorangpun yang perduli terhadap ibu lagi..”
“Untuk apa lagi ibu memikirkan ayah,” cetusku.
“Dulu ibu merasa sanggup dan tegar hidup tanpa ayah dan ibu yang menghendaki ayah pergi. Dulu ibu yang menyebabkan ayah meninggalkan rumah ini”
“Ibu menyesal...,” kalimat itu diucapkan ibu lirih.
Dan ibu menunduk ketika melanjutkan ucapan itu. “Ibu akhirnya menyadari, bahwa cemara yang paling tegarpun akhirnya akan roboh dan mati.”
“Syukurlah seandainya ibu sudah menyadari sekarang”
“Ibu sudah berubah”
Dan ibu menuturkan, bahwa ibu sudah mengerjakan sembahyang sekarang. Ibu tidak ikut organisasi lagi. Ibu tidak pernah lagi diajak mengunjungi rumah sakit kusta atau mendatangi desa terpencil yang dilanda tanah longsor. Sejak itu ibu berhenti bekerja kemudian menderita hipertensi ditambah diabetes melitus kemudian kemudian diiringi stroke, sedikit demi sedikit ibu dijauhi teman-temannya.
Ibu terlalu merasakan pukulan batin yang amat berat. Dan pukulan batin itu berawal ketika perusahaan real estate tempat ibu bekerja bangkrut. Manajemen amburadul rugi terus hingga akhirnya gulung tikar.
Rumah-rumah yang sudah rampung dibangun tidak diminati orang karena survey yang tidak matang. Ratusan rumah dibangun dengan investasi milyaran rupiah ternyata berada di kawasan rawan banjir. Siapa yang mau membeli rumah yang selalu tergenang air?. Rumah-rumah itu akhirnya jadi sarang ular. Perusahaan real estate itu akhirnya bangkrut dan ibu terkena pe- ha- ka dengan menerima pesangon yang lumayan.
“Uang itu ibu depositokan. Dari mana lagi ibu mendapatkan uang untuk biaya hidup setelah tidak bekerja lagi?,” ibu menuturkan hal itu dengan terisak.
“Ibu harus melatih diri hidup prihatin!” sahutku.
“Hampir bersamaan waktunya ketika ibu kehilangan pekerjaan, ibu mendengarkan ayahmu kawin lagi”
“Ya! Ayah akhirnya mencari teman hidup orang lain karena merasa tidak mungkin lagi kembali kepada ibu.
Ayah takut hal yang lalu terulang lagi. Ayah takut ibu tetap tidak menghargai ayah.”
“Kenapa tidak mungkin?,” ibu menatapku dalam-dalam.
Ibu terisak lagi.
“Ibu sudah berubah sekarang!”
“Terlambat, Bu!”
Ibu tersedu lagi. Aku terharu.
“Hal-hal itulah yang amat memukul jiwa ibu hingga ibu menderita hipertensi yang diiringi stroke. Sekarang ibu cuma mampu duduk diatas roda ini. Shalatpun Cuma duduk di sini”
“Tuhan maha pengasih dan penyayang. Kalau ibu mau beribadah meskipun dengan berbaring, Tuhan akan menerima doa ibu. Berdoalah agar ibu sembuh.”
Ibu mengangkat wajahnya. Keriput mulai mengotori wajahnya yang dulu cantik dan ceria. Ibu tidak lagi mengenakan sdadow. Ibu tidak lagi mengenakan parfum yang harumnya bukan main. Dulu keriput di wajahnya selalu ditutupi dengan masker dan alat-alat make up lainnya.
Bintang yang gemerlap itu kini sudah pudar. Kemegahan yang ada pada diri ibu sudah redup. Sekarang yang ada di hadapanku adalah seorang perempuan tua dalam keadaan tidak berdaya. Matanya yang dulu bersinar, kini kelihatan cekung.
“Kepulanganmu membuat ibumu kembali menemukan semangat hidup!” terdengar lagi suara ibu meskipun lirih, tapi aku mendengarnya dengan jelas.
“Aku tidak menduga keadaan ibu seperti itu jadinya”
“Mudah-mudahan ibu akan sembuh kembali. Namun ibu menyadari, untuk kembali seperti dulu tidak mungkin lagi”
“Kemegahan yang sudah redup biasanya sukar untuk kembali lagi”
“Biarlah redup! Biarlah ibu kehilangan karir. Biarlah ibu akhirnya harus kehilangan ayahmu. Tapi ibu tidak kehilangan kau, Azmi. Kau satu-satunya anak lelaki ibu. Kau satu-satunya harta milik ibu yang paling berharga. Kau harus tetap jadi milik ibu dan selamanya kau harus selalu berada di sisi ibu...”
“Sekarang aku sudah berada di depan ibu”
“Ya! Ibu bersyukur kepada Tuhan. Beberapa hari terakhir, sepanjang hari ibu sengaja berada di teras ini menantikan kedatanganmu. Tuhan seperti membisikkan kepada ibu, bahwa kau akan datang”
“Ayah titip sesuatu untuk ibu”
“Titip apa?”
Kukeluarkan seuntai tasbih pemberian ayah yang dibawanya dari tanah suci. Ibu menerimanya dengan sebelah tangan yang gemetar karena sebelah lagi tangannya tidak dapat digerakan akibat serangan stroke.
Ibu menciun untaian tasbih itu. Perlahan-lahan ibu menggerakan jari jemarinya dan bibirnya berkomat kamit mengucapkan kebesaran Tuhan. Ibu berzikir.
“Tasbih itu akan selalu lekat di jari tangan ibu,” ucap ibu kemudian. “Ayahmu tahu ibu sudah berubah. Ayahmu merasa untaian tasbih ini lebih besar artinya dari untaian berlian yang harganya berjuta-juta”
“Ya!,” aku menyahut polos dan masih memperhatikan ibu yang tidak berdaya. “Mungkinmaksud ayah agar ibu selalu ingat Tuhan”
“Sekarang ibu selalu ingat kebesaran Tuhan,” sahut ibu dan tasbih masih di tangan kanannya sementara tangan kiri tidak mampu digerakkan akibat stroke yang dideritanya.
“Syukurlah ibu sudah jauh berubah sekarang” aku lega.
“Kau datang tepat pada waktunya, Azmi,” ujar ibu lega dan menatapku.
“Tepat waktu? Kenapa?,’ lagi-lagi aku memandang wajah ibu yang kini dikotori keriput.
“Masuklah ke dalam! Kau akan melihat sendiri seperti ada sebuah kapal pecah karena kapal itu menabrak batu karang, ditengah samudera setelah dihempaskan badai”
Kudorong kursi roda itu ke ruang tamu. Ruang tamu masih seperti dulu. Kursi-kursi masih tetap yang dulu dan susunannya tidak pernah berubah. Cuma guci-guci antik berasal dari Cina sudah tidak ada lagi. Mungkin ibu sudah menjual benda-benda itu.
Yang membuat aku heran adalah barang-barang yang tertumpuk seperti barang pindahan. Ada kulkas, pesawat TV lengkap dengan video, mesin jahit Singer, fan, kamera, organ dan banyak lagi. Semua dibiarkan bertumpuk tak beraturan. Oven gas diletakkan di atas rice box. Mixer diletakkan diatas mesin cuci.
“Mau dibawa kemana semua barang-barang ini?,” tanyaku kepada ibu.
“Semua ini adalah titipan,” sahut ibu sedih.
“Titipan siapa?”
“Barang-barang ini adalah milik Vivi, adikmu, ibu berkata polos.
“Kenapa ada di sini? Bukankah Vivi sudah punya rumah sendiri?”
“Itulah yang membuat ibu kesal dan sedih”
“Mau pindah kemana Vivi?,” desakku kepada ibu.
Dan aku sempat melihat foto Vivi ketika menjadi pengantin. Suaminya bekerja di sebuah bank devisa. Memang aku sengaja tidak datang ketika Vivi kawin karena saat itu sudah bersumpah tidak akan pulang kalau tidak bersama ayah.
“Vivi bukan mau pindah? Rumahnya digusur Pemda?” ibu menggeleng. Dengan nada sedih akhirnya ibu berkata lagi.
“Rumah tangga Vivi sedang diguncang gempa dahsyat. Perkawinannya sedang dilandai badai!”
“Masalahnya apa? Tidak dapatkah perkawinan itu diselamatkan dari kehancuran?”
“Ibu tidak tahu jelas masalah apa yang dihadapi mereka”
“Kalau perlu Vivi dan suaminya konsultasi dengan psikolog. Jangan sampai perkawiananya hancur berkeping-keping”
“Yang ibu tahu hanya soal beban”
“Beban hutang maksud ibu?” kataku. Apakah Vivi suka foya-foya?”
“Bukan! Sama sekali bukan beban hutang”.
“ Lalu beban apa lagi kalau bukan hutang? Apakah suaminya suka berjudi?”
“Setahu ibu suaminya baik-baik. Ibu tidak pernah mendengar suaminya suka berjudi. Juga tidak pernah terdengar perilakunya yang macam-macam.”
“Atau suka keluar masuk kerab malam barangkali?”
“ Ibu kira tidak! Setahu ibu suami Vivi bukan tipe lelaki iseng. Rian tidak bertampang pengunjung tempat hiburan”
“Lalu badai apa yang menghempaskan perkawinan Vivi sampai semua barang-barang ditumpuk disini seperti kapal pecah?” aku keheranan.
“Vivi merasa gaji suaminya habis terkuras untuk membiayai adik-adiknya”
“Kukira hal itu masih dalam batas wajar”
“Ibu juga berkata begitu kepada adikmu. Tapi Vivi merasa suaminya benar-benar tidak adil. Beban keluarga yang harus dipikul Vivi dirasakan selalu berat dan berkepanjangan sehingga memicu pertengkaran dan sampai pada puncaknya. Vivi tidak mau lagi jadi sapi perah. Vivi tidak mau gajinya habis untuk nafkah keluarga sementara gaji suami dihabiskan untuk adik dan ibunya yang sudah lama hidup menjanda. Vivi memilih lebih baik berpisah. Itulah sebabnya ia membawa semua barang-barangnya kemari.”
Mungkin dalam keadaan terserang stroke, tapi daya ingat ibu masih sangat baik. Suaranya masih cukup jelas dan lancar. Aku berkesimpulan, kerusakan pada sistem pembuluh darahnya tidak terlalu parah. Lihatlah ia dapat berkata dengan lancar dan jelas segala permasalahan yang sedang melanda rumah tangga anaknya. Ibu dengan jelas mengutarakan berbagai badai dahsyat yang menghempaskan perkawinan anaknya hingga memilih lebih baik berpisah.
Panjang lebar ibu berkata tentang pesta perkawinan adik suami Vivi yang cukup meriah namun yang memikul semua biaya adalah Rian, Suami Vivi. Jauh sebelum perkawinan yang meriah itu berlangsung, suami vivi juga merenovasi rumahnya yang menghabiskan berjuta-juta. Apalagi akhir-akhir ini mertua Vivi jatuh sakit dan dokter mengatakan menderita osteoporosis atau kerapuhan tulang disertai komplikasi infeksi saluran pernafasan. Biaya perobatan pasti tidak sedikit. Dan sang mertua pun saat ini dalam keadaan kritis akibat tulang kropos yang diseritanya.
Siapa yang tidak sedih dan marah kalau istri hanya menerima amplop kosong dari suami karena gaji sudah habis terkuras untuk segala kepeluan tetek bengek keluarga suami?
Lama aku sudah menekur setelah mendengar segala penuturan ibu tentang rumah tangga Vivi-Rian. Tapi apapun yang terjadi, ketika mereka saling mencintai dan sepanjang tidak ada orang ketiga itu, Vivi harus kembali kepada suaminya.
Vivi harus kembali kepada suaminya. Vivi tidak boleh jadi janda. Cukup ibu dan Kak Irawati saja yang menyandang status janda. Beban berat yang harus dipikul Vivi akibat suaminya yang membiayai adik-adik dan ibunya suatu saat akan berakhir. Apalagi salah seorang adik yang kuliah di UGM sudah menjadi sarjana dan tidak butuh dana lagi. Nanti, suatu saat setelah ibu mertua Vivi meninggal, tidak ada beban lagi. Bahkan suami Vivi akan dapat warisan tanah dan rumah yang terletak di jalan yang amat strategis. Kalau vivi mau membuka sendiri usaha biro perjalanan wisata, rumah itu pasti dapat menjadi katornya.
Perkawinan Vivi dan Rian tidak boleh hancur. Akulah yang harus menyelamatkannya.
“Ibu sudah merasakan pahit getirnya sebagai janda. Penilaian orang terhadap janda selalu negatif. Kemudian kakakmu pula menyusul menjadi janda setelah ditinggal suaminya mengalami kecelakaan di jalan tol. Dua orang janda sudah cukup dirumah ini, Azmi. Ibu seperti mengeluh panjang lagi.
“Kasihan Kak Irawati,” cetusku. “Masih terlalu muda untuk jadi janda”
“Nah, sekarang Vivi pula menyusul akan pisah dari suaminaya kemudian kembali kemari. Sebentar lagi Vivi akan mengangkut tempat tidur, lemari, dan semua barang-barangnya ke rumah ini. Vivi tidak ingin satu bendapun jatuh ketangan suaminya. Vivi merasa semua adalah haknya, sebab semua dibeli dengan uang gaji vivi”
“rumah ini seperti gudang layaknya,” aku memberi komentar.
“kalau sekadar menjadi gudang ibu tidak keberatan. Ibu sungguh keberatan kalau rumah ini jadi rumah janda. Ibu tidak ingin rumah ini jadi panti janda. Ibu sungguh malu kalau rumah ini dianggap orang sebagai temapt berkumpulnya para janda. Bayangkan, ibu janda, kakakmu Irawati juga janda. Lalu menyusul Vivi pula bakal memiliki predikat yang sama. Oh, ibu tidak ingin begitu...”, ibu menangis.
Kasihan ibu. Rencana perceraian Vivi dengan suaminya menyebabkan ib amat sedih. Hatinya hancur.
“Kau datang tepat waktunya, Azmi. Ibu berharap kau dapat melunakan hati adikmu. Katakan pada Vivi, ibu sangat menentang Vivi berpisah dari suaminya. Katakan padanya ibu sangat keberatan rumah ini jadi panti janda”
“Memang sebaiknaya perkawinan Vivi dapat diselamatkan”
“Kaulah yang dapat menyelamatkannya. Kaulah yang dapat melunakan hati adikmu. Kaulah yang dapat meredakan badai dahsyat yang sedang melanda rumah tangganya”. Pinta ibu amat serius. “Kau adalah pengganti ayahmu.”
“Vivi tidak boleh pisah dari suaminya apapun yang terjadi!” kataku tegas.
Sudah terbayang dipelupuk mataku, apa jadinya rumah ibu seandainya Vivi harus berpisah dari suaminya. Ibu janda dan seorang anaknya juga janda, lalu bakal menyusul Vivi pula. Rumah ibu benar-benar jadi panti janda yang pasti akan jadii gunjingan orang.
Vivi harus pulang kepada suaminya. Mereka tidak boleh pisah.
Aku yang akan mengantar semua barang-barang yang sudah ditumpuk di rumah ibu. Dan tanpa pikir dua kali, segera kupesan sebuah truk. Barang-barang milik Vivi seperti pesawat TV, radio, mesin jahit, mixer, hair dryer, pengocok telur, mesin cuci, kompor gas dan barang-barang lainnya segera dimuat dalam truk.
Tepat pada saat barang-barang itu sedang dimuat, seorang wanita cantik datang mengendarai taksi. Perempuan cantik itu adalah vivi, adikku Vivi tidak sempat berbasa-basi kepada abangnya yang bertahun-tahun pergi dari rumah dan sekarang sudah kembali. Vivi langsung berteriak-teriak.
“Mau dibawa kemana barang-barang itu? Ha’
“Kemana lagi kalu tidak dikembalikan kerumahmu?” sahutku.
“Tidak! Turunkan semua! Turunkan barang-barang itu!, “Vivi memberi perintah.
Aku tidak perduli. Pemilik truk itu juga tidak perduli. Semua dimuat dimuat ke dalam truk. Vivi jengkel dan langsung naik keatas truk untuk menurunkan kembali barang-barangnya, tapi aku segera mencegah.
Vivi berusaha menurunkan organ dari truk dan aku segera mempertahankannya.
“Organ ini miliki!Barang ini milikku. Bukan milik siapa-siapa!,”Vivi berteriak.
“Memang milikmu, Vivi!”
“Lalu apa maumu? Kenapa ikut campur dalam urusan harta bendaku? Mau kujual semua, mau kuberikan kepada orang lain adalah hakku!”
“Memang hakmu! Tapi aku tidak ingin melihat kau hancur!”
“Hancur? Siapa yang hancur?”
“Bukan kau yang hancur. Tapi perkawinanmu! Rumah tanggamu yang hancur! Aku tidak ingin melihat kau jadi janda kecuali kematian suami!”
“Itu urusanku! Siapapun tidak berhak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku!”
“Kau mengambil keputusan tergesa-gesa, Vivi!,” kataku lagi.
Tapi Vivi tidak menghiraukan ucapanku. Vivi tetap berusaha untuk menurunkan organ dan semua barang-barang miliknya dari dalam truk. Tiba-tiba saja Vivi seperti mendapat kekuatan gaib untuk mengangkat barang-barang itu. Namu akutidak akan membiarkannaya. Vivi harus kembali berkumpul dengan suaminaya, itu yang harus dilakukannya.
Karena merasa organ itu kupertahankan, vivi beralih kepada orang lain yang lebih ringan. Vivi meraih hair dryer yang lebih ringan. Tapi benda itupun tidak kuperkenankan diturukan dari truk. Yang kupegang bukan benda itu, tapi tapi tangan Vivi.
Bagaikan jepitan besi, aku memegang tangan Vivi kuat-kuat. Vivi meronta.
“Lepaskan aku! Lepaskan aku!,” teriaknya.
“ Ya aku akan melepaskan kau, tapi biarkan barang-barang itu kukembalikan!”
“Dikembalikan kemana? Semua itu milikku. Semua ini kubeli dengan uang dari gajiku!:
“Aku akan mengantar barang-barang ini kepada suamimu!”
“Tidak! Dia tidak berhak! Barang-barang ini bukan miliknya. Semua ini kuperoleh dengan keringatku sendiri, bukan keringat orang lain!”
Lihatlah, betapa sombongnya Vivi. Sama seperti sikap ibu dulu ketika menyandang predikat wanita karir. Dia akan merasa tetap tegar selamanya. Dia tidak perlu ditopang oleh lelaki.
“Benar suamimu tidak boleh memiliki barang-barang ini?,” aku menatapnya dalam-dalam.
“Ya! Karena aku yang membelinya!”
“Suamimu juga punya hak, Vivi!”
“Tidak! Tidak sama sekali,” Vivi membantah dengan tegas.
“Tapi Rian adalah suamimu yang syah, Vivi. Apa yang kalian miliki adalah merupakan pencarian bersama!”
“Laki-laki selalu mau memang enaknya saja!,” gerutu Vivi. Lalu tanpa canggung Vivi berkata seenak perutnya.
“Laki-laki selalu mau menang sendiri. Laki-laki Cuma perkasa diatas tempat tidur, tapi mencari nafkah lebih potensial wanita. Masih lumayan kalau begitu, tapi Rian menjadi aku seperti sapi perah. Aku tidak mau! Aku tidak mauuuuu!”
Vivi berteriak histeris. Namun aku tetap tidak memperkenankan satupun barangnya diturunkan dari dalam truk. Barang-barang itu harus diantar ke rumah Rian, suami Vivi.
“Siapa yang mengatakan kau jadi sapi perah, Vivi?,” aku menatapnya dalam.
“Aku yang merasakannya! Aku yang mengalaminya, bukan siapa-siapa!”
“Aku sudah mendengar dari ibu”
“Aku berkata apa?”
“Kau merasa memikul beban berat. Kau merasa suamimu membiaya dua orang adiknya kuliah dan juga menanggung ibunya yang janda selama bertahun-tahun. Juga biaya pernikahan adik suamimu. Juga berobat ibu mertuamu!”
“Ya! Aku merasa hidup ditengah-tengah benalu yang meliputi seluruh diriku. Adakah seseorang yang dapat bertahan hidup lebih lama sementara seluruh tubuh dililit benalu yang tampak diam tapi sebenarnya ganas? Aku akan kurus kering. Aku akan cepat jatuh sakit. Sebentar lagi, kalau dibiarkan, aku akan tidak berdaya dan mati. Lebih baik aku menyingkir sejak sekarang sebelum benalu-benalu jahat itu melilit seluruh tubuhku”
Kubiarkan vivi melontarkan semua unek-unek dalam rongga dadanya.
“Kalau dibiarkanbenalu itu terus merayap, aku tidak akan punya apa-apa. Aku akan hanya punya sebatang tubuh yang kurus kering tanpa daya”
Vivi menangis. Air mata berderai di pipinya.
“Suamimu bukan benalu, Vivi,” kataku menasehati.
“Memang Rian benalu!, “ Sahutnya tegas, “Aplagi ibunya yang bertahun-tahun janda tiap saat disuapi!”
“Kau lupa bagaiman ibu kita? Ibu juga janda!”
“Tapi ibu kita benar-benar bukan benalu. Ibu mampu mencari nafkah. Bahkan sampai saaat ini masih mempunyai deposito di bank. Tapi ibunya Rian sungguh luar biasa. Bertahun-tahun disuapi terus dan akhirnya ini butuh uang lagi tuga juta untuk biaya operasi kedua belah matanya. Bukankah hal itu seperti benalu? Bukankah aku jadi sapi perah jadinya? Demi tuhan, aku tidak sanggup. Aku tidak tahan. Lebih baik aku menyingkir”
Vivi meratap. Sebenarnya aku kasihan melihat air matanya berderai. Aku terharu mendengar ratapanya.
“Kewajiban setiap anak harus begitu, Vivi,” aku memberikannya pengertian. “Kalau ibu kita sakit, akan sampai hatikah kau membiarkan ibu terkapar? Tentu tidak, bukan? Aku juga rela menguras dompet kalau ibu jatuh sakit”.
“Tapi aku seperti sapi perah jadinya!” cetus vivi masih emosi.
“Terimalah kenyataan itu, vivi.”
Demi tuhan, tidak hanya ibu yang tidak menghendaki perceraian antara adikku dengan Rian, suaminya, tapi juga aku. Bahkan kaum kerabat lainnya juga tidak mengingkan kehancuran sebuah perkawinan itu terjadi. Apalagi Wan Aziz dan Datuk Hamzah sebagai kerabat terdekat yang menjadi pemuka adat Melayu ikut memberikan tepung tawar pada saat adik menikah. Pastilah mereka sangat menentang perceraian itu.
Semua pihak pasti akan menyesali sikap vivi yang bertekad meninggalkan suaminya, padahal ketika pesta perkawinannya amat meriah itu dihadiri hampir semua keluarga, kecuali aku dan ayahku yang sudah terlanjur hengkang dari rumah ibu. Pastilah kerabat yang hadir masih tetap ingat bagaiman mereka duduk bersanding di pelaminan dan segenap famili memberikan tepung tawar. Apa artinya “ramuan penabur” dan “ramuan perincis” yang ditaburkan ke arah ke dua mempelai yang duduk bersanding itu kalau perkawinan itu akhirnya hancur berkeping-keping?
Padahal diantara ramuan penabur dalam tepung tawar itu terdapat beras putih, beras kuning, bertih, bunga rampai dan tepung beras, sementara beras putih bermakna kesuburan dan beras kuning berarti suatu kemajuan yang baik serta bunga rampai mengandung keharuman nam dan tepung beras putih berarti kebersihan hati. Selai itu dalam ramuan perincis terdiri dari semangkok air, segenggam beras putih dicampur dengan jeruk purut yang diiris-iris, serta 7 jenis daun-daunan seperti daun kelinjuhang sebagai lambang tenaga kekuatan gaib, lalu daun peluput sebagai lambang kekelan karena sifat beras ketan yang lengket seperti lem. Juga daun jejurun sebagai lambang kelanjutan hidup sebab pohon itu sukar dicabut, berikutnya daun sepenuh adalah lambang kemurahan rezeki dan daun sedingin yang berlambang menyejukan dan ketenangan.
Kalau semua sudah rangkum dalam rincian tepung tawar itu mengapa perceraian itu terus terjadi?. Aku benar-benar tidak menghendaki perceraian itu terjadi.
Dan contoh sudah amat banyak terjadi, bahwa percerain antara isteri dan suami terkadang justru yang akan timbul adalah penderitaan. Salah seorang saudara sepupu dari pihak ibu juga ada yang bercerai lalu menikah lagi, tapi pada perkawinan yang kedua membawa lima orang anak!. Rumah itu jadi ramai oleh anak-anak bawaan suami yang kedua.
Famili lainnya juga ada yang mengalaminya, sebab kawin lagi dengan seorang lelaki yang suatu saat terkena pe-ha-ka dari kantornya. Apa artinya kawin lagi kalau suaminya menganggur?. Bahkan seorang isteri yang berpisah dari suaminya lalu kehilangan anak tercinta juga pernah terjadi karena setelah perceraian itu lalu sang anak menderita demam berdarah dan akhirnya meninggal.
Dan apa yang dialami oleh Hartati, sahabatku ketika kuliah di Politeknik dulu justru lebih pahit lagi. Tidak ada persesuaian faham menyebabkan rumah tangga Hartati hancur dan ia memilih bercerai. Dua tahun kemudian Hartati bertemu seorang duda yang akhirnya menjadi suaminya. Tapi Hartati tidak menyadari, bahwa sang duda ternyata memiliki benih-benih penyakit diabetes militis. Setahun menjadi suaminya penyakit lelaki itu kambuh dan amat parah. Perkawinan Hartati yang kedua justru hanya jadi beban baginya. Apa artinya sebuah perkawinan kalu ia harus merawat orang sakit melulu?
Aku tidak rela adikku mengalami nasib yang sama pahit seperti itu. Aku tidak ingin ia berpisah dari suaminya. Aku harus berbuat sesuatu agar vivi kembali kepad Rian. Harus! Tidak ada jalan lain.
“Sebelum kau kawin dengan Rian, kau sudah mengenal pribadinya. Kau tentu sudah mengenal keadaan keluarganya, terutama bagaiman ibunya, bagaiman adik-adiknya. Jangan setelah semua kau jalani lalu kau merasa seperti sapi perah”.
“vivi tidak lagi berusah meronta untuk menurunkan mesin cuci dan barang-barang lain miliknya dari atas truk.
“Sebelum kau kawin dengan Rian, kau tahu ibunya janda, bukan?,” tanyaku serius.
Vivi Cuma mengangguk.
“Nah, jangan baru sekarang kau sesali!”
Vivi menunduk. Suaranya parau.
“Rasanya beban yang harus kupikul tidak habis-habisan. Rasanya aku tidak tahan mengahadapi seperti ini!,” kata-katanya penuh nada keluhan
“Kau harus menghadapinya dengan lapang dada!” aku menepuk pundaknaya.
“Kalau ibunya harus menjalani operasi mata dan membutuhkan biaya berjuta-juta, aku yakin ibunya bukan mengada-ada. Ibunya juga tidak ingin dunianya gelap gulita karena tidak dapat melihat lagi”
Vivi masih menundukk. Vivi sama sekali tidak lagi berusaha menurunkan barang-barang yang sudah dimuatkan di atas truk.
“Sebelum kau kawin dengan Rian, kau tahu Rian punya adik-adik, bukan?”
Vivi tidak membantah
“Nah, jangan sesali suamimu kalau dia harus membiayai adik-adiknya kuliah di perguruan tinggi yang biayanya memang berat. Kau sudah tahu sebelumnya dan kau sudah meperhitungkan, bahwa kawin dengan seorang lelaki yang aadiknya banyak maka banyak pula hal-hal yang harus dihadapi. Dan kaupun harus memaklumi, bahwa membiayai adik-adik kuliah bukanlah suatu kekeliruan. Kalau kedua adik suamimu jadi sarjana nanti, mereka pasti ingat kepada orang-orang yang telah menopang dan mengulurkan tangan.”
Panjang lebar aku memberi pengertian kepada Vivi. Banyak para suami membiayai adik-adiknya kuliah, namun isteri haruslah memaklumi.
“Pandanglah ibu kita yang kini dalam keadaan sakit dan amat menderita. Ibu akan lebih menderita kalau kau jadi janda.” Kataku.
Sesaat vivi termenung.
“Janganlah jadi angkuh, Vivi,” kataku lagi. “Janganlah seorang wanita yang mampu mencari nafkah sendiri lalu menjadi lupa diri. Jadi wanita karir boleh saja, tapi jangan sampai kelembutanya lenyap. Jangan menjadi sombong dan menganggap remeh suami. Jangan menganggap penghasilan suami sebagai sesuatu yang tidak ada artinya”
“Kau ingat tragedi yang dialami ibu, bukan?” kataku lagi sunguh-sungguh. “Ayah harus angkat kaki dari rumah kita setelah keningnya luka dilempari dengan vas bunga.ayah akhirnya tidak akan pernah menginjakan kakinya lagi dirumah kita. Taukah kau apa penyebabnya?. Tidak lain karena keangkuhan ibu. Karena ibu merasa akan selamanya tetap tegar. Karena ibu merasa kemegahan yang dimilikinya tidak akan pernah pudar. Sampai akhirnya aku pun nekad dan bertekad meninggalkan rumah ini dan tidaka akan pulang kalau tidak bersama ayah. Tapi ayah akhirnya mengharapkan aku pulang setelah ibu tidak berdaya apa-apa”
Vivi masih tetap menunduk.
“Lihat ibu, sekarang tampak tua dan tanpa daya karena terlalu berat memikul beban piiran. Kalu ayah ada disini. Aku yakin ibu tidak akan seperti ini keadaanya”
Bersamaan kami menole ke arah ibu. Seperti ada sebuah keajaiban yang sedang terjadi di depan mata kami. Ibu sedang berusaha tegak dengan susah payah.
Tangan dan kakinya sebelah kiri yang selam ini lumpuh akibat serangan stroke, kini sudah mulai dapat digerakan. Dan ibu benar-benar mampu berdiri di atas kakinya sendiri meskipun masih tampak lemah. Ibu seperti tidak butuh kursi roda lagi.
Bahkan ibu berusaha berjalan perlahan-lahan ke arah truk yang sudah berisi barang-barang milik vivi dan aku bersama vivi juga berada di atas truk itu.
Ibu berhasil berjalan beberapa langkah dan tangannya berpegangan papa dinding truk. Ibu menatap vivi dan terdengar suara parau.
“Ibu akan ikut mengantarkan barang-barangmu kepada suamimu, Vivi. Kau harus kembali kepada Rian sekarang juga!, terdengar suara ibu lancar.
Vivi tertegun melihat ibu sudah mampu berjalan dan berkata-kata dengan jelas.
“Kau dengar ucapan ibu?,” kataku pada Vivi. “ibu tidak ingin rumah kita jadi panti janda. Ibu janda dan dua orang anaknya janda pula. Harmoniskah rumah kita kalau penghuninya janda semua? Ingatlah itu Vivi!”
Dan ibu berkata lagi dengan ketus :
“Ibu tidak akan memperkenankan kau tinggal dirumah ibu, kecuali bersama suamimu!”
Vivi melompat dari atas truk dan langsung memeluk ibu.
“Maafkan Vivi, ibu! Ampuni Vivi!”
Ibu memeluk vivi. Kuminta kepada sopir truk untuk segera berangkat mengantar barang-barang milik Vivi ke rumah suaminya. Vivi tidak lagi berusaha mencegah. Vivi masih dalam pelukan ibu. Aku lega, sebuah perkawinan telah dapat ku selamatkan. Tidak seperti ibu dulu.
Dalam truk itu, aku masih sempat menoleh ke arah ibu. Beban pikiran ibu mulai berkurang. Tuhan telah menyembuhkan kelumpuhan ibu meskipun ibu masih tanpak lemah.
Tanpa jelas olehku, seuntai tasbih dari ayah masih di tangan ibu. Akupun masih sempat melihat bibir ibu berkomat-kamit. Pastilah ibu memuji kebesaran Tuhan.

No comments:

Post a Comment