LAUT
Novel ini sudah selalu ditelaah, diantaranya oleh para dosen FKIP – UISU dipandu
Oleh Drs. Mihar Harap, M.Pd
E
|
LANG jantan itu tampak amat perkasa, terbang melayang-layang di antara awan yang berarak dan tidak peduli pada angin laut yang berhembus giris. Sepasang matanya tak berkedip menatap ke bawah, menembus buih-buih air laut yang berderai dipermainkan ombak. Di sisinya elang betina mengepakkan sayapnya dan kuku-kukunya yang runcing dan tajam setiap saat siap untuk mencengkeram mangsanya kemudian mencabik-cabiknya.
Tiba-tiba saja elang jantan yang amat perkasa itu terbang menukik ke bawah dan sepasang kakinya yang panjang itu menembus air laut di balik ombak. Hanya sesaat kemudian seekor ikan hampir sebesar pergelangan tangan ada dalam cengkeraman kuku-kuku elang jantan itu dan membawanya terbang kembali ke langit biru. Elang betina juga terjun ke permukaan laut dan sesaat kemudian seekor ikan juga sudah ada dalam cengkeraman kuku-kukunya yang tajam.
Setiap elang adalah burung perkasa yang mampu terbang jauh, mampu terbang tinggi, mampu menyelam dan setiap elang adalah pemangsa yang terlatih. Mangsanya tidak pernah lolos dari intaiannya meskipun ada di balik ombak atau di balik buih yang berderai-derai. Mangsanya tidak pernah lolos dari cengkeraman kuku-kukunya yang amat tajam.
Seperti elang perkasa itulah jingga, seorang lelaki muda bertubuh kekar, seorang anak nelayan yang lahir dan dibesarkan di pinggir laut itu dan selalu berkeliaran di tempat pelelangan ikan atau di pasar tradisional dan di stasiun bus atau di pelabuhan kecil yang menghadap ke Selat Malaka, Teluk Nibung.
Tiba-tiba saja, sepasang matanya melihat sesuatu jauh di tengan laut. Anak nelayan pasti penglihatannya amat tajam dan segera mengetahui apa yang terjadi di tengah laut, terlihat sepasang remaja terombang -ambing dipermukaan ombak.
“Hey, Alang. Lihat di sana!,”teriak anak muda kelahiran kampung pemukiman nelayan itu kepada temannya. Jingga menunjukkan ke tengah laut dan ombak terlihat ganas. Baginya debur ombak adalah nyanyian alam yang teramat merdu dan tidak akan pernah ada akhirnya.
“Apa yang terlihat?” tanya sahabatnya.
“Sampai tenggelam,”
Dari celah bibir hitam legam kedua anak muda di pinggir laut itu menyebar bau minuman keras. Saat ini alkohol bukan saja minuman anak-anak kota besar di cafe atau tempat hiburan lainnya. Anak muda yang bermukim di pinggir laut juga sudah menikmatinya meskipun wiski murahan, seperti yang dinikmati Jingga dan Alang yang sedang mrenyusuri pantai itu. Bahkan anak muda yang namanya Jingga dikenal desa pantai itu sebagai peminum kelas berat. Baginya tiada hari tanpa botol-botol minuman keras.
“Ombak besar membalikkan sampan itu!”
“Lihat rambutnya hilang timbul dpermainkan ombak!,” cetus Jingga dan matanya tidak berkedip menatap laut lepas. Lihatlah, meskipun mulutnya berbau minuman keras demi helai rambut perempuan yang baru saja terlempar dari atas sampan ke tengah laut.
“Ayo kita tolong mereka!” ajak Jingga.
“Sebentar lagi mereka akan tenggelam dan sampai di dasar laut!”
Tanpa berpikir panjang kedua anak muda yang tiap hari selalu ada di pinggir pantai itu segera turun ke laut dan segera berenang ke tengah, tidak perduli ombak besar bergulung-gulung. Percuma saja dilahirkan di pantai, percuma saja jadi anak nelayan kalau bukan mereka bukan perenang yang tangguh dan andalan.
Bagi setiap nelayan, laut adalah pemandangan yang teramat indah meskipun sepanjang hari baunya amis dan pantainya jorok. Bagi keluarga nelayan umumnya, ombak adalah sahabat mereka dan laut adalah sumber kehidupan yang tidak akan pernah kering. Selagi ombak tetap berdebur, nelayan tidak akan pernah kelaparan.
Ikan, kepiting, gurita, bahkan ular bisa dan mahluk laut lainnya adalah sahabat anak-anak nelayan. Dan setiap anak nelayan hatinya selalu baik. Setiap anak yang dilahirkan di pinggir laut itu, pasti akan murah mengulurkan tangan, membantu orang lain, apalagi ada sampan tenggelam, pasti mereka segera berusaha menyelamatkannya.
Seperti saat itu. Ketika Jingga dan Alang baru saja menenggak isi botol minuman cap kambing putih, keduanya melihat sepasang remaja baru saja terlempar dari atas sampan yang diterjang ombak besar.
Sesaat saja anak nelayan yang tubuhnya hitam legam tapi tegar itu segera sampai ketengah laut, ketempat sepasang anak muda yang baru saja terlontar dari atas sampan yang terbalik.
Jingga masih sempat melihat rambut perempuan itu dipermukaan ombak.
“Hey, ingat!. Bagianmu adalah yang laki-laki!.’’ Jingga memberi komando kepada sahabatnya.
‘’otakmu selalu kotor, Jingga!” gerutu sahabatnya tapi tetap melaksanakan tugasnya meraih tubuh lelaki muda yang bernasib sial tubuhnya dipermainkan ombak besar.
Untunglah ada anak nelayan yang sedang menyusuri pantai dan melihat sampan itu tenggelam. Bila tidak ada seorang pun yang melihat, pasti sepasang remaja yang sedang menikmati pemandangan indah di laut itu sudah tenggelam, lalu esok tubuh mereka sudah tercabik-cabik oleh mahkluk penghuni laut.
Sepasang mata Jingga yang tegar itu segera meraih tubuh perempuan muda berambut panjang yang tampak sudah amat lebah, karena terlalu banyak meminum air laut. Hidung Jingga masih sempat mencium bau parfum gadis malang yang hampir tenggelam itu. Ia pun masih sempat melihat bibirnya yang tipis tanpa lipstik lagi.
Di tengah laut itulah sepasang remaja itu menikmati saat-saat hangat. Tapi mereka tidak menduga bahaya yang mengintai, ombak besar membalikkan sampan itu dan mereka terlontar ke tengah laut.
“Hey, Jingga!, “teriak Alang ketika membawa tubuh lelaki malang itu ke tepi. “kau licik! Kau bawa gadis itu ke tepi dan baunya harum, sementara bagianku yang laki-laki baunya tengik. Brensek!”
Tawa mereka terdengar di antara debur ombak. Meskipun mereka sudah berenang amat jauh dan membawa dua orang penumpang sampan yang tenggelam, tapi keduanya masih sempat bercanda. Anak nelayan selalu berwajah ceria meskipun terkadang tubuh mereka dekil. Anak nelayan selalu gembira sepanjang hari meski pun mereka tidak sempat menikmati pendidikan tinggi. Mereka sudah terbiasa bersimbah air dan bercanda di tengah laut ketika berenang.
Dua orang anak nelayan itu sedang berenang menuju tepian dengan membawa beban dua orang remaja yang baru saja jadi korban ganasnya ombak dan sampan mereka terbalik. Tapi keduanya merasa seperti tidak membawa beban berat, apalagi terkadang ombak besar mendorong tubuh mereka ke arah pantai.
Ujung-ujung rambut gadis remaja yang sudah sejak tadi pingsan itu berserakan di permainan ombak. Beberapa helai ujung rambut gadis itu masuk ke mulut Jingga, juga kehidungnya, bahkan terkadang ombak yang berdebur menyebabkan rambut yang tumbuh lebat itu juga menutupi seluruh wajah Jingga yang terus berenang. Ia merasa tidak risih ujung rambut gadis itu masuk ke mulutnya, juga kerongga hidungnya. Justru Jingga merasa senang karena ia merasa rambut gadis itu amat harum.
Pastilah gadis cantik ini menggunakan shampoo yang harganya mahal, pikir Jingga masih terus berenang. Wajah gadis itu cantik, hidung yang mancung dan bau parfum serta shampoo di rambutnya, membuat Jingga merasa tidak lelah sama sekali membawa tubuh gadis pingsan itu menuju pantai. Sayang matanya msih terkatup dan bibirnya juga masih rapat dan berwarna biru karena terendam air laut. Ingin rasanya Jingga memandang puas-puas matanya yang jernih, bulu matanya yang lentik hidungnya yang mancung dan lehernya yang jenjang. Apalagi kulitnya yang putih dan mulus. Tidak ada bekas luka atau cacat meskipun seujung rambut.
Pastilah seumur hidupnya gadis cantik ini tak pernah digigit nyamuk meski pun hanya seekor. Dan tubuh gadis malang itu tetap melekat di tubuh anak nelayan itu. Lama Jingga merasakan kelembutan dan keindahan bentuk tubuh gadis itu.
Tiba-tiba saja ombak bergulung-gulung lagi dari arah tengah laut dan tubuh mereka terdorong lagi namun tubuh gadis itu tetap lekat di tangan Jingga. Ombak besar itu tidak hanya membawa buih yang berderai-derai diterpa matahari sore, tapi juga membawa sampah plastik, daun-daun dan ranting pohon. Dua helai daun yang dibawa ombak mendadak melekat di rambut gadis yang masih pingsan itu.
Perlahan sekali Jingga meraih dua helai daun yang sudah layu dan menyingkirkannya dari rambut gadis itu. Jingga seperti tak rela rambut indah dan harum itu dikotori meski pun oleh dua helai daun.
“Hey, Jingga!. Kau amat sayang pada gadis itu sampai dua helai daun pun kau singkirkan dari rambutnya!,” teriak Alang yang masih berenang tidak jauh dari sisinya. Jingga hanya tertawa lebar dan tidak sadar sahabatnya memperhatikan setiap geraknya.
Beda dengan Alang yang kebagian menyelamatkan sang lelaki ketepian. Ia justru membiarkan sehelai plastik jorok menempel di tubuh lelaki itu. Padahal plastik itu sudah bercampur lumpur dan baunya amis.
Laut itu sedang sepi, belum satu pun terlihat perahu nelayan menuju pulang. Semua nelayan masih di tengah laut menangkap ikan. Yang terdengar hanya debur ombak dan kulik burung elang.
Jingga lebih awal sampai di tepi dan amat perlahan serta berhati-hati ia membaringkan tubuh gadis pingsan itu di atas pasir yang terhampar luas sepanjang pantai.
Tidak sampai hati ia menghempaskan tubuh ramping dan indah itu meskipun di atas pasir putih. Padahal di pantai itu, Jingga di kenal sebagai anak muda yang perilakunya kasar dan keras. di pantai itu juga Jingga paling di segani semua anak-anak muda. Ia di kenal sebagai preman nomor satu di sana.
“Hey, Jingga !. Alangkah lembutnya kau meletakkan tubuh gadis itu di atas pasir!,” teriak sahabatnya yang juga sudah menjejakkan kakinya di pinggir pantai.
“Tentu!. Kasihan gadis yang amat cantik kalau terhenpas!”
“Akh , kamu memang licik!” semau hatinya Alang meletakkan tubuh lelaki yang sudah di selamatkannnya dari maut. Untunglah Alang meletakkan tubuh lelaki malang itu di atas pasir, lagi pula lelaki malang itu sedang pingsan sehingga tidak merasa tubuhnya di hempas anak muda penghuni desa pantai itu.
“Pelan-pelan meletaknya, Alang!,” teriak Jingga mengingatkan sahabatnya.
“Peduli apa?. Mereka juga bukan saudaraku, bukan sahabatku!,” sahut Alang jengkel.
Alangkah cantiknya gadis ini, pikir Jingga ketika membalikan tubuh gadis malang itu diatas pasir dan memperhatikannya sesaat. Mata gadis malang itu masih terpejam. Bibirnya juga masih tertutup. Wajahnya pucat dan bibirnya biru karena terlalu lama berada di tengah laut yang dingin.
Sebagai anak nelayan yang setiap hari berada di laut, Jingga dan Alang pasti tahu apa yang mereka lakukan untuk menolong seseorang yang pingsan karena terlalu banyak minum air laut. Anak nelayan pasti tahu apa obatnya bila ada seseorang digigit ular bakau yang paling berbisa. Bila ada seseorang digigit ular-ular berbisa di laut, panggillah anak nelayan, pasti korban gigitan ular itu tidak ada sempat menemui kematian.
Tanpa perasaan apa-apa Jingga segera menghisap mulut dan memompa perut gadis itu untuk mengeluarkan air laut dari dalam perutnya yang sudah gembung. Sesaat kemudian air muncrat dari gadis cantik itu. Tubuhnya mulai mengeliat. Jingga tersenyum. ia bersyukur telah membuat kebaikan kepada seorang dan menyelamatkan nyawanya dari kematian di tengah laut.
Sesaat Jingga memandang sahabatnya yang belum buat apa-apa. Alang masih membiarkan tubuh lelaki itu terbaring di atas pasir dan tetap belum sadar dari pingsannya. Alang sendiri duduk disisinya, seakan melepas kelelahan karena berenang menempuh jarak yang cukup jauh dengan membawa beban berat.
“Tunggu apa lagi ?” teriak Jingga kepada sahabatnya.
Sahabatnya Cuma memandang Jingga dengan tatapan kosong.
“Ayo pompa perutnya !”, Jingga memberikan komando.
Dengan gerakan malas, Alang memompa perut lelaki malang itu.
“Ayo hisap mulutnya!”.
Sahabatnya menggeleng. Andai yang ditolong adalah seorang gadis cantik dan bibirnya tipis serta baunya harum, pasti tanpa diberi komando, ia akan menghisap mulutnya untuk mengeluarkan air laut dari perutnya. Tapi kini yanmg ada di depannya adalah lelaki pasti mulutnya berbau tidak enak.
“Ayo, lakukan!”, teriak Jingga lagi.
Alang masih enggan.
“Menolong seseorang tidak boleh setengah hati!”, terdengar lagi suara Jingga diantara debur ombak.
Sahabatnya masih tetap duduk di atas pasir.
“Kau lupa, bahwa kau dilahirkan dari keluarga nelayan?. Setiap anak nelayan sudah bersumpah tidak akan membiarkan seseorang mati di tengah laut. Bila ada seorng mati di laut, pasti akan menganggap laut kita teramat kejam. Tidak seorang pun boleh tenggalam di dasar laut, sebab kita mencintai laut ini!. Kita ingin mendengar semua orang berkata indah tentang laut kita. Jangan seorang pun berkata laut kita merenggut nyawa !”.
******
S
|
EMUA anak nelayan ingin berbuat baik di tengah laut. Sebab bagi semua keluarga nelayan, laut adalah anugerah Tuhan dan disana terletak sumber kehidupan yang hakiki. Kebaikan itulah yang sudah dilakukan oleh dua orang anak muda kelahiran desa pantai itu, Jingga dan Alang. Sepasang remaja yang baru saja menjadi korban ombak besar dan hampir mati tenggelam telah diselamatkan oleh mereka.
Jingga tersenyum ketika melihat gadis malang itu membuka matanya, kemudian
memandang keliling. Perlahan sekali gadis itu melihat ada awan putih bergerak di langat, lalu ada burung elang terbang rendah. Tapi ia tidak mengenal Jingga yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut.
“Dimana saya?”, sepasang bibir tipis dan indah itu mulai bergetar.
“Di pinggir laut dekat Teluk Nibung,” Jingga menyahut lugu. “Anda berbaring di pantai yang menghadap ke Selat Malaka”.
“Kenapa saya berada disini?” sepasang bibir itu bergetar lagi meski pun lirih.
“Pacarmu membawa kemari dan melihat-lihat laut, lalu ombak besar datang dan sampanmu tenggelam”.
“Dan saya terlempar di tengah laut?. Saya dan kawan saya tenggelam? Begitukah?”
“Ya!”.
Barulah gadis cantik itu ingat, bahwa ia dibawa kekasihnya menikmati indahnya laut dengan mengayuh sampan hingga ketengah, hingga tidak terlihat oleh orang lain karena para nelayan sedang berada di tengah laut menangkap ikan. Cuma sampan mereka yang terayan-ayun oleh ombak. Gadis itu sudah berkali-kali memperingatnmya teman akrabnya agar menepi, sebab ia amat takut kepada ombak yang bergulung-gulung.
“Kau ingin bunuh diri di tengah laut ini?” gadis itu teringat kembali kata-kata yang diucapkan gadis itu kepada pacarnya ketika di tengah laut, sebelum sampan mereka tenggelam.
“Semakin kita ke tengah, laut itu semakin tampak indah!”.
“Atau kau ingin membunuhku dan membuang mayatku ke dasar laut lalu kau senang tubuhku jadi santapan ikan dan makhluk lainnya?.
“Tidak ada seorang lelaki yang akan membunuh gadis yang amat dicintainya kecuali dikhianti. Dan kau tidak pernah mengkhianati aku kecuali ketika kau menepiskan tanganku ketika aku membelaimu. Itupun kulakukan sebagai tanda cinta dan kasih sayangku padamu........”
Kata-kata indah itu mulai teringat kembali oleh gadis yang baru saja sadar dari pingsannya. Ia masih terbaring diatas pasir, tubuhnya masih teramat lemah. Apalagi kepalanya masih terasa amat pusing. Matanya masih berkunang-kunang. Bahkan elang betina yang terbang rendah seakan menukik ingin menyambarnya. Ingin mencakar tubuhnya dengan kukunya yang amat tejam itu.
“Bersumpahlah, bahwa kau tidak akan berbuat terlalu jauh!” pinta gadis itu ketika masih diatas sampan di tengah laut, sebelum sampan mereka di terjang ombak besar.
“Bersumpah bagaimana?
“Bersumpah, bahwa di tengah laut ini kau tidak akan menodai diriku”.
“Aku bersumpah, demi laut, demi gelombang, demi awan yang berarak di langit, demi jembalang laut, demi elang-elang yang terbang rendah.”.
“Juga demi Tuhan !”, pinta gadis itu lagi.
“Demi Tuhan!”
“Ingat kau sudah bersumpah demi laut, demi gelombang, demi awan berarak dan demi apa saja yang kau lihat di laut ini. Kalau kau melanggar sumpahmu, laut akan sangat murka, awan-awan di langit juga akan berubah menjadi mendung dan hujan lebat akan turun lalu gelombang besar akan datang menghempaskan sampan kita hingga kita terlempar dan tenggelam”.
Lelaki itu mengangguk. Di tengah laut yang tidak terlihat oleh siapa pun, lelaki muda itu mengangkat kayu pendayung. Sampan itu terombang ambing. Perlahan sekali tangan lelaki muda membelai rambut gadis yang amat ia cintai, kemudian mengusap semua tubuhnya lalu mendekapnya erat sekali.
Lama sepandangan mata gadis cantik itu terpejam. Tidak ada satu pun manusia yang melahat kemesraan di tengah laut itu. Sebab tidak ada sampan nelayan yang sedang pulang membawa tangkapan ikan segar. Sebab belum waktunya perahu-perahu nelayan itu menuju pulang.
Tapi jangan katakan tidak ada makhluk yang melihat kemesraan sepasangan manusia muda di tengah laut itu. Burung-burung elang yang biasanya selalu terbang rendah. Burung-burung itu tidak menyambar mangsanya dibalik ombak, tapi justru memandang manusia yang berkedipan hangat.
“Jangan berbuat dosa di laut ini, hai anak manusia,”burung-burung elang perkasa itu seakan memperingatkan sepasang remaja di atas sampan kecil itu. Tapi sepasang anak manusia itu tidak mengerti makna kulik burung elang. Padahal burung elang berparuh panjang dan tajam itu memanggil kedua anak manusia itu.
Mana mungkin lagi kedua anak muda itu mendengar namanya dipanggil sang elang, apalagi mereka sedang di tengah laut, apalagi mereka tenggelam dalam kemesraan.
“Pergilah jauh-jauh kalau ingin berbuat dosa!. Jangan di tengah laut ini. Jangan kotori laut ini.” Burung elang itu masih terbang rendah dan terdengar kulitnya yang nyaring. Tapi kedua anak manusia itu tetap tidak mendengar suara burung itu. Mereka masih saling berdekapan erat sekali.
“Laut ini sudah amat kotor, sudah amat jorok. Jangan buat laut ini semakin padat dengan kotoran dan dosa!”
Burung elang itu seperti benar-benar faham suasana di laut itu. Kotoran sudah amat banyak. Manusia sembarangan membuang sampah ke selokan atau ke sungai yang akhirnya terbawa ke laut. Bahkan bangkai anjing tertindas mobil juga dibuang ke sungai yang akhirnya terbawa hingga ke laut. Apalagi rumah sakit, limbahnya yang penuh kuman juga akhirnya sampai ke laut. Lihatlah air laut jadi penuh dengan bakteri dan virus berbagai penyakit menular.
Apalagi restoran dan hotel, yang selalu jadi sasaran limbahnya adalah sungai dan laut. Lalu yang lebih parah lagi adalah industri dan pabrik-pabrik. Masih dapat dihitung dengan dari industri dan pabrik yang melakukan daur ulang terhadap limbahnya. Ribuan industri dan pabrik seenak perutnya membuang limbah di sungai dan kemana lagi sungai itu mengalir kalau tidak ke laut?.
Belum terhitung lagi kapal-kapal tenker yang bocor dan tumpahan minyak membunuh jutaan mahkluk air. Kasihan mahluk air itu terbunuh karena uluh dan nafsu manusia.
Dan di tengah laut yang kotor itu, seorang anak muda yang datang dari kota untuk melihat- lihat indahnya ombak laut tiba-tiba lupa pada janjinya, lupa pada sumpahnya, bahwa ia tidak akan berbuat terlalu jauh, tidak berbuat terlanjur kepada kekasihnya. Ia lupa pada sumpahnya, bahwa ia tidak akan berbuat dosa di tengah laut itu. Pada awalnya memang anak muda itu hanya mendekap erat-erat kekasihnya. Tapi darah lelakinya berdebur-debur, seperti ombak laut Selat Malaka.
Lelaki muda itu tidak hanya membelai rambut kekasihnya, tidak hanya memeluknya, tapi ia menginginkan lebih dari itu. Apalagi nafsunya tidak teratur lagi. Apalagi syetan terus menggodanya manusia agar berbuat dosa. Juga di tengah laut itu.
Bersamaan dengan datangnya ombak besar yang menerpa sampan kecil itu, gadis kecil itu meronta amat keras. Sampan kecil itu terguling dan sepasang anak muda diatasnya terlontar ke laut. Helai-helai rambutnya, juga ujung-ujung gaunnya, hilang timbul dipermainkan ombak yang bergulung-gulung.
“Bersyukurlah kepada Tuhan, kalian berdua masih terhindar dari kematian!” ucapan Jingga menyentak lamunan gadis yang baru sadar dari pingsan.
“Terima kasih atas kebaikan anda menolong saya dan kawan saya.” Ucap gadis itu dan masih sempat menoleh kepada kawannya yang paling akrab, yang baru saja menggeliatkan tubuhnya dan matanya yang terkatub sudah terbuka.
Jingga masih sempat memperhatikan gadis itu dalam-dalam mulai dari ujung rambutnya yang basah hingga ujung kakinya. Ia mengagumi bibirnya yang tipis, hidungnya yang mancung, lehernya yang jenjang dan juga bentuk betisnya yang mulus. Gadis itu benar-benar cantik.
Tapi yang diperhatikan Jingga tidak hanya bibir yang tipis, tidak hanya bentuk hidung dan matanya. Jingga juga sempat memperhatikan seuntai kalung yang melingkar di leher gadis itu. Seuntai kalung yang berkilau dan sebuah main bergambar salib. Barulah Jingga menyadari, bahwa gadis yang baru saja ia selamatkan dari maut adalah penganut Kristiani.
Tapi Jingga tidak menyesal menyelamatkannya seseorang non muslim, sebab Jingga menyadari, berbuat baik tidak hanya untuk sesama muslim. Siapapun orangnya, apakah ia menganut Kristiani, Budha atau Hindu, bahkan Kong Hu Cu sekalipun harus diselamatkan dari kematian di tengah laut itu.
Gadis itu bergerak perlahan untuk duduk diatas pasir, tapi kepalanya yang pusing menyebabkan ia hampir roboh lagi. Gadis itu benar-benar masih amat lemah. Gadis masih butuh pertolongan orang lain. Jingga mendekat dan menolong gadis itu hingga benar-benar duduk dan membiarkan gadis itu memang ke tengah laut. Tidak ada perahu nelayan. Yang tampak hanya burung elang menyambar mangsanya. Lama ia menatap laut maha luas dan ujung seperti bertemu dengan kaki langit. Di tengah laut itulah sampanya terbalik dan hampir saja menemui kematian.
“Siapa namamu?,” tanya Jingga menatap wajah gadis cantik itu. Meskipun wajahnya masih pucat, tapi tampak jelas kecantikannya.
“Kristin Tiurma Sitanggang!,” gadis itu menyebut namanya.
“Orang Batak?” tanya Jingga Si Borong-Borong dan ayah saya kelahiran pangururan di tepi Danau Toba.”
“Apakah aku harus memanggilmu Kris?. Atau Tiur?”
“Semua sahabatku memanggilku Kris, tapi ayah dan ibuku tetap memanggilku Tiur.”
“Dan dia ?” Jingga menunjuk kepada lelaki yang masih terbaring atau baru saja sadar dari pingsan setelah mulutnya memuntah air laut yang sempat diminumnya selama ia timbul tenggelam dihempaskan ombak laut.
Gadis cantik itu tidak sempat menyahut, karena lelaki yang baru saja sadar itu segera duduk dan menyahut.
“Panggil aku Togar!”
“Sependek itu namamu?” Jingga tersenyum.
“Marcus Togar Si Butar-Buntar!”
“Seperti nama pendeta , “gumam Jingga
“Aku selalu hadir di Gereja.”
“Hmmm,” Jingga hanya bergumam pendek.
Hari itu Jingga telah berbuat suatu kebaikan yang tidak ternilai harganya, untuk siapa saja, untuk setiap umat, apapun keyakinannya.
“Naik apa ke pantai ini?”Jingga bertanya.
“Mobil!” lelaki yang baru dasar dari pingsan itu menunjuk ke arah sebuah Escudo merah hati dari kejauhan.
“Pasti kalian berdua berasal dari keluarga orang kaya?.”
“Tuhan memberi rizeki lebih baik kepada orang tua kami,” yang menyahut adalah gadis itu.
“Gampang benar mencari uang untuk jadi kaya. Apakah ayahnmu seorang koruptor?” seenak perutnya Jingga menuduh orang tua Togar adalah seorang koruptor. Begitulah gaya seorang preman, meskipun hanya preman di desa di pinggir pantai, pasti bicara ceplas ceplos.
Meskipun Jingga hanya anak nelayan yang bermukim di pinggir laut, tapi ia tahu apa artinya koruptor. Ia tahu orang-orang yang tinggal di kota besar yang mampu membangun rumah besar, yang punya simpanan uang amat banyak di Bank, yang punya mobil, adalah para pelaku koruptor atau memakan duit rakyat. Banyak orang-orang kaya di kota mendapatkan kekayaannya dengan menggerogoti duit negara, apalagi yang namanya pejabat.
Meskipun Jingga hanya anak nelayan yang perndidiknya hanya sampai kelas lima SD, tapi ia terkadang membaca koran bekas. Ia memang diberi Tuhan akal sehat dan pintar, tapi orang tuanya yang tidak mampu menyebabkan ia putus sekolah dan ia pun tidak pernah menyesali hal itu.
Terkadang ia asyik membaca koran yang sudah basi, sudah seminggu yang lalu terbit. Malah sudah terlambat satu atau dua bulan, Jingga masih senang membacanya. Dari koran bekas itulah dia tahu arti koruptor . Dari koran bekas itulah dia tahu, para pejabat di negeri ini banyak yang menilep duit rakyat. Dari koran basi itulah Jingga tahu hukum di negeri ini tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Dari koran yang sudah kumuh pula ia tahu banyak para pegawai pemerintah masuk kerja dengan ijazah palsu. Dan lebih parah lagi, masuk kerja dengan ijazah palsu, lalu memberikan uang pelicin untuk diterima menjadi pegawai di instansi pemerintah.
Negeri ini sudah memang amat kotor dan Jingga tahu hal itu dari koran basi. Justru lebih kotor dari laut, dari pantai yang bunya amis, bahkan lebih kotor dari tempat pembungan sampah!.
“Koruptor?,”ulang Togar dan memijit-mijit jidatnya untuk menghilangkan rasa pening kepalanya karena terlalu tenggelam di laut.
“Kelurga kami memasng hidup senang, tapi untuk mendapatkannya bukan dengan korupsi!,” sahut Marcus Togar Sibutar-butar.
“Lalu dari mana?” tanya Jingga seperti polisi sedang menyidik seorang tersangka pelaku tindak korupsi.
“Bagaimana mungkin disebut sebagai koruptor kalau ayahku sendiri bukan pegawai pemerintah?. Uang siapa yang mau disulap kalau asalnya ayahku Cuma pedagang besi-besi buruk dan barang bekas di kaki lima?”
“Sampai sekarang?”
“Sekarang tidak lagi di kaki lima. Tidak lagi sebagai pedagang barang bekas.”
“Lalu sebagai apa?”
“Dengan kerja keras, ayahku membangun pabrik baja di Kawasan Industri Tanjung Mulia.”
“Hebat ayahmu, tidak seperti nelayan yang merasa sudah puas dengan hasil menangkap ikan yang Cuma dapat untuk hidup sehari,”
“Ya, aku perihatin dengan kehidupan nelayan. Dari tahun ketahun nasibnya begitu-begitu terus. Aku melihat desa nelayan tetap kumuh dan bau amis. Aku tetap melihat anak-anak nelayan tidak sempat menikmati pendidikan tinggi.”
“Kau menyadari itu?”
“Karena itulah aku datang kemari, sebab tiga semester lagi aku menyusun skripsi .”
Sesaat Jingga tertegun. Mana mungkin ia mengerti apa artinya “Skripsi” karena ia cuma anak nelayan yang hanya sempat duduk di kelas lima SD. Mana mungkin ia tahu mengenai kehidupan kampus. Mana ia tahu dunia mahasiswa.
“Aku bermaksud untuk melakukan riset di laut ini karena aku akan melakukan penelitian tentang budi daya kelautan.”
Lagi-lagi Jingga terdiam. Mana ia tahu apa arti “riset”, apa itu “Seminar” menjelang meja hijau dan apa itu “wisuda” yang didambakan oleh setiap mahasiswa. Apalagi tentang “cum laud” pasti ia tidak pernah mendengarnya. Sampai kapan pun Jingga tidak pernah tahu apa itu Pasca Sarjana, apa itu MBA yang kini banyak di butuhkan di belakang nama orang-orang yng hidup di kota besar.
“Dimana kuliah?”
Lelaki muda yang baru saja sadar dari pingsan itu menyahutkan sebuah universitas negeri.
“Tentu gedungnya megah dan mahasiswanya banyak.”
“Ya, megah dan luas. Mahasiswanya juga ribuan. Sebab yang namanya universitas negeri pasti jadi pilihan semua calon mahasiswa. Sebab di universitas negeri hampir tidak pernah terjadi kasus ijazah sarjana palsu. Tentang dosen yang menerima ampelop agar dapat diajak kolusi untuk mengontrol nilai ujian juga tidak pernah terdengar.”
Lelaki muda yang baru saja diselamatkan dari maut akibat tenggelam di laut itu berbicara panjang kebar tentang dunia kampus, terutama saat ini banyak pertumbuhan perguruan tinggi kelas gurem. Perguruasn tinggi kelas teri tumbuh dimana-mana dan tiap tahun dengan mudah meluluskan orang-orang yang sebenarnya tidak klayak menjadi sarjana.
Kasus ijazah sarjana palsu sudah sering muncul ke permukaan tapi universitas kelas gurem tetap saja memproduksi sarjana. Bahkan universitas swasta yang sudah punya nama besar ikut-ikutan disorot masyarakat karena kasus yang sama. Mental kalangan intelektual terutama yang terkait dengan pendidikan tinggi benar-benar sudah amat bobrok. Lihatlah pemilik ijazah palsu itu kini sudah banyak menduduki jabatan tertentu di kantor pemerintah.
Jingga dan Alang hanya terdiam karena kedua anak muda yang dilahirkan dari keluarga nelayan itu memang tidak memahami kehidupan kampus.
Kedua preman desa pantai di pinggir laut itu hanya mencoba membayangkan dunia kampus dan yang tergambar di benak mereka hanya bangunan gedung megah dan mahasiswanya ribuan. Hanya orang-orang banyak duitnya dapat hadir di sana. Alangkah bahagianya mereka yang hadir disana sebagai calon ilmuan dan sebagai calon intelektual. Pasti masa depan mereka amat gemilang. Pasti mereka bakal hidup kaya. Padahal lulusan perguruan tinggi saat ini banyak yang menganggur.
Sesaat suasana teduh disekitar kampus dan gedung megah tergambar di benak Jingga. Sementara ia masih ingat benar ketika duduk di SD dan gedungnya hampir roboh, halamannya becek dan atapnya bocor di setiap kelas. Guru yang hadirpun hanya naik sepeda. Apalagi muridnya hadir di kelas dengan seragam kumuh dan terkadang sudah robek.
Betapa bedanya dengan di kampus yang staf pengajarnya hadir mengendari mobil mulus, berdasi atau mengenakan safari sementara mahasiswanya juga ribuan jumlahnya datang kekampus mengendari mobil atau sepeda motor. Ah, hanya orang-orang berduit yang dapat menginjakkan kakinya di kampus. Mana mungkin anak nelayan akan hadir disana!. Itulah yang terpikirkan di kepala Jingga dan Alang.
Anak-anak nelayan hanya dapat hadir di gedung SD yang tetap reot, atap bocor, lantai becek, dan bangku-bangku yang sudah usang. Lihatlah anak-anak nelayan itu hadir di sekolah dengan pakai kumuh dan tubuh dekil. Dan masa depan anak-anak nelayan hanya ada di tengah laut. Masa depan yang suram dan kelabu.
Sementara lulusan perguruan tinggi menduduki jabatan tertentu, membangun jaringan listrik bawah laut, membangun tambang-tambang minyak, membangun jaringan kabel telekomunikasi, membangun jaringan transmini gas bumi sepanjang ribuan KM, hingga ke Singapura. Yang membangun satelit juga ada.
Tapi lulusan perguruan tinggi yang mentalnya bobrok juga tidak kurang banyaknya di negeri ini. Pejabat dengan berbagai gelar di belakang namanya namun bekerja tidak jujur juga amat banyak di republik ini. Yang membobol uang negara dengan cara amat halus juga tidak terhitung di negeri ini.
Di koran-koran yang sudah basi Jingga sering membaca pejabat yang dulu bertahun-tahun duduk di perguruan tinggi sekarang jadi penghuni penjara karena telah membobol duit rakyat.
Pelan-pelan Marcus Togar Sibutar-Butar berusaha untuk berdiri setelah beberap[a saat in memuntahkan air laut yang menyenak dalam perutnya. Meski pun kepalanya masih pening dan matanya berkunang-kunang tetapi lekaki itu sudah mampu berdiri. Gadis disisinya juga sudah dapat berdiri meski pun harus berpegang pada lengan lelaki disisinya.
“Terima kasih, kami telah diselamtkan dari kematian!,” ucap Marcus. Lelaki itu membuka dompetnya yang basah. Uang dalam dompetnya juga basah. Lelaki muda itu mengulurkan uang sepuluh ribu kepada Jingga.
Wajah Jingga dan Alang merah ketika melihat selembar uang sepuluh ribu di sodorkan kepadanya.
“Kami kira harga diri kami Cuma kira sepuluh ribu ?,” anak nelayan itu merasa dihina dengan pemberian itu.
Lelaki muda yang merasa berhutang budi itu membuka dompetnya lagidan dua lembar puluhan ribu diulurkan kepada Jingga. Tapi Jingga hanya menggelengkan kepala.
Sekali lagi mahasiswa yang hampir saja menemukan kematisannya di laut itu memberikan uang lima puluh ribu, tapi Jingga tetap saja menolak.
“Berapa kami harus memberikan uang?.” Tanya lelaki itu.
Jingga mengacungkan dua jarinya .
“Dua ratus?. Dua ratus ribu?”
Jingga mengangguk. Sesaat mahasiswa yang hampir saja mati di laut itu berpikir. Permintaan anak-anak nelayan itu ia rasakan terlalu berat.
“Aku tidak punya uang sebanyak itu!” lelaki itu mengaku sejujurnya.
“Di desa ini sama saja dengan keadaan dan kehidupannya di kota. Tidak ada yang gratis !, “ sekali lagi gaya preman Jingga terlihat. “ Desa ini masih lebik baik, kencing masih gratis. Kencinglah menghadap kelaut tidak ada yang mengutip bayaran, tapi cuma jembelang laut yang akan marah dan kamu sampai di rumah akan jatuh sakit.”
Jingga tahu dari koran-koran bekas dan kumuh, bahwa di kota besar semuanya harus bayar. Meletakan sepeda motar harus bayar parkir, mengeluatkan mayat dar RSUP uangnya tidak sedikit. Yang gratis cuma batuk dan kentut!.
“Aku tidak punya uang lagi!. Cuma ini,” ujar Marcus Togar Butar-Butar sejujurnya dan menyerahkan semua isi dompetnya, tujuh puluh ribu rupiah.
“Kamu boleh pulang, tapi kristin harus tinggal disini!,” pinta Jingga. Preman, meski pun cuma di kampung, di pinggir laut selalu keras kepala dan memaksakan kehendaknya.
“Artinya kristin jadi sandera?”
“Ya, harus begitu. Kalian seharusnya bersyukur, selamat dari kematian. Ingat, nyawa kalian berdua pasti harganya lebih dari dua cepek. Nyawa kalian harganya satu milyar. Pantas kamu memberi kami dua cepek!”
“Uang dua ratus ribu tidak ada, kalau boleh kamu ganti dengan kalung ini yang harganya pasti lebih dari dua ratus!”
Sesaat Jingga memperhatikan seuntai kalung yang baru saja dilepas dari leher pemakainya.
“Baik!. Kamu akan menerimanya. Terima kasih!” Jingga menerima uang tujuh puluh ribu dan seuntai kalung.
Sepasang manusia muda itu mohon diri dan melangkah menyusuri pantai untuk pulang. Tapi sesaat kemudian, setelah mengamati seuntai kalung itu, Jingga melihat ada mainan bertanda salib. Ia merasa tidak berhak menerima mainan bergambar salib itu.
“Tunggu!,” teriak Jingga dan ia berlari menghampiri dua orang manusia itu.
“Kami harus mengembalikan mainan ini,” Jingga segera membuka mainan kalung itu. Ia sadar mainan bergambar salib itu merupakan simbol yang amat mulia bagi pemiliknya., Jingga merasa tidak berhak.
“Mainan itu pasti amat mulia bagi kalian. terimalah kembali!,”
“Terima kasih,”
Sepasang manusia itu melangkah pergi. Ban mobilnya meninggalkan bekas diatas pasir pantai. Meskipun kedua manusia itu harus kehilangan tujuh puluh ribu rupiah dan seuntai kalung emas, tapi di wajah mereka tidak tergurat perasaan dendam. Sebab mereka sadar, telah diselamatkan dari maut. Siapa lagi yang akan menyelamatkan karena tidak satu pun perahu nelayan yang menepi?. Harga nyawa mereka lebih dari sekedar uang dan seuntai kalung itu. Apalagi mereka adalah calon intelektual untuk mengabdikan diri demi bangsa dan negeri ini. Pastilah nyawa mereka bernilai satu milyar.
Bahkan kedua orang tua mereka juga tidak merasa anak-anak mereka diperas oleh preman desa nelayan itu. Justru kedua orang tua mahasiswa itu seperti melihat mukjizat, anaknya diselamatkan dari tengah laut. Betapa orang tua itu kagum, bahwa anak nelayan memang adalah perenang-perenang andalan dan tangguh. Bahwa anak-anak nelayan tidak menghendaki ada kematian di lautnya yang mereka merasakan amat damai.
Tiga hari kemudian, sepasang manusia muda yang hampir saja menemui kematian di tengah laut itu datang ke desa pantai itu. Dan kedatangan mereka bukan untuk menuntut bahwa mereka telah menjadi korban pemerasan preman di pantai itu, tapi mereka datang membawa sumbangan alat-alat olahraga.
Marcus Togar Butar-Butar memberi sumbangan bola voli, net dan lengkap dengan kostumnya. Sementara Tiurma Sitanggang memberi sumbangan reket bulu tangkis, net dan sepatu. Jingga dan Alang menerimanya dengan ucapan syukur dan terima kasih.
“Kami ingin bersahabat dengan anda!,” itulah ucapan Marcus Togar Buta-Butar.
“Terima kasih,” Jingga menerima uluran tangan lelaki muda itu.
“Kami juga ingin bersahabat dengan laut disini!”
Jingga hanya tersenyum. Padahal selama ini siapa pun tidak menyangkal, bahwa orang Batak memiliki sikap keras dan kasar. Tapi hatinya ternyata amat lembut dan tahu berterima kasih.
******
S
|
EUNTAI kalung meskipun bekas dipakai orang lain, tapi selalu ada dalam dompet Jingga. Lelaki yang berasal dari keluarga nelayan itu bermaksud ke kota untuk menjualnya, lalu membelikan baju baru atau jam tangan atau sepatu bagus untuk Munah, seorang gadis yang tinggalnya tidak jauh dari Mesjid Hurul Huda di desa pemukiman nelayan itu.
Tidak hanya itu. Lelaki muda yang selalu berkeliaran di tempat pelelangan ikan atau dipasar tradisional atau di stasiun bus itu sudah memikirkan untuk bertunangan dengan gadis berkulit hitam manis bernama Maimunah.
Itulah sebabnya, sore itu, ketika matahari hampir tenggelam dan langit berwarna merah, Jingga mengajak gadis itu berjalan di sepanjang pantai, hingga ke tempat yang paling sepi. Belasan perahu nelayan dengan berlayar terkembang melihat dari arah laut seperti sebuah armada menuju pantai.
Ia mengajak gadis desa itu duduk diatas batang kelapa yang tumbang dan dibawa ombak ke pantai itu. Mereka menatap laut lepas, menatap Selat Malaka. Laut tampak amat indah meskipun banyak sampah dan kotoran lainnya. Di tempat sepi itulah, dipinggir pantai, Jingga menyentuh jari jemari tangan Munah yang lentik dan halus.
“Munah,” bisik lelaki itu perlahan, tapi getar bibir lelaki itu menyebarkan bau minuman keras. Dan itulah yang amat tidak diinginkan oleh gadis hitam manis sesama dari keluarga nelayan di desa itu.
“Hmmm,” Munah hanya bergumam lirih.
“Abang tidak akan pernah lupa, bahwa minggu depan adalah ulang tahunmu.”
“Iya!,” Munah Mengangguk. “ minggu depan umur Munah genap dua puluh tahun.”
“Sudah pantas menerima pinangan.” cetus lelaki bertubuh hitam legam dan kekar disisinya.
“Tapi seorang lelaki yang bakal meminang Munah masih jauh.”
“Tidak jauh, Munah!. Ada disini, disisimu.” Munah tersenyum
“Sungguh!”
“Sungguh!. Suatu saat pasti orang tua abang akan datang meminangmu membawa tepak sirih, membawa kaum kerabat tandanya abang sungguh-sungguh ingin hidup bersamamu.”
Sebagai seorang anak nelayan yang tinggal dipinggir laut, darah Melayu memang amat kental mengalir dalam diri Maimunah dan lelaki itu. Semboyan “Tidak Hilang Melayu di Bumi” selalu melekat dalam benaknya.
Meskipun Maimunah hanya sempat mengecap pendidikan SD. Meskipun ia tidak pernah membaca Koran atau majalah budaya, tapi bila saatnya nanti ia dipinang oleh seorang lelaki yang dicintainya, ia ingin adat istiadat Melayu tidak ditinggalkan. Jingga harus membawa tepak sirih ketika ditinggalkan. Jingga harus membawa tepak sirih ketika keluarga dan kerabatnya hadir di majlis keluarga itu, padahal selama itu, sebagai seorang anak pasaran, Jingga tidak pernah memikirkan hal-hal sejauh itu.
Lelaki yang dikenal sebagai peminum kelas berat itu merasa kawin adalah amat mudah. Ada duit kawin. Ada duit lalu pesta dan panggung hiburannya berlangsung sepanjang hari hingga malamnya.
Tapi sekarang, ketika ia semakin akrab dengan Munah, ada sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan dalam perjalanan hidup seseorang. Ada adat istiadat yang harus dijunjung tinggi ketika ia akan meminang gadis yang dicintanya, apalagi saat ia menikah nanti. Tidak perduli sebagai nelayan atau sebagai pegawai instansi pemerintah, sebagai juragan kaya atau sebagai sarjana, apalagi bagi keluarga keturunan raja-raja Melayu.
Seperti halnya dengan Munah, meskipun ayahnya hanya sebagai nelayan, meskipun rumahnyan adalah sebuah rumah tua yang sudah dimakan rayap di pinggir pantai itu, tapi kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari adat istiadat warga desanya yang sudah turun temurun selama ratusan tahun. Ketika ia lahir pun, diadakan kenduri dan namanya ditabalkan oleh Ustadz Lobe Somen serta rambutnya diguntung. Berzanzi dan marhaban juga dilantunkan orang pada saat rambutnya digunting oleh para pemuka masyarakat.
Dan sekarang Jingga sudah memikirkan tentang hidup bersama seorsang gadis di desanya, ia juga ingin meminangnya dengan baik-baik. Malah bersama Munah, lelaki itu sudah bicara tentang perkawinan, juga tentang hari esok dan seperti umumnya pasangan di kota besar, mereka juga ingin punya anak dua saja. Sebab program ka-be sudah sampai kesetiap pelosok desa yang paling terpencil. Juga di desa pantai yang menghadap ke Selat Malaka dan tidak jauh dari Teluk Nibung itu.
“Dua anak cukup, bang!,” Munah selalu berkata begitu.
“Ya dua saja!. Dan mereka tidak boleh jadi nelayan!.” tugas Jingga.
“Kenapa?. Bukankah nelayan adalah pekerjaan nenek moyang kita?.”
“Abang tidak ingin anak kita melarat sampai tua, sampai akhir hidupnya. Anak kita harus hidup lumayan dan tidak usaha tinggal di desa ini.”
“Lalu harus jadi apa anak kita nanti?”
“Anak-anak kita harus sekolah tinggi, jadi sarjana dan bekerja. Biar hidupnya lumayan.”
Munuh hanya tersenyum kalau mereka sudah bicara tentang hari esok milik bersama yang amat manis dan penuh kebagiaan. Kalau sudah bicara tentang perkawinan dan hari esok, pasti Munah bicara tentang adat istiadat Melayu. Munah meminta orang tua dan kerabat dari pihak Jingga akan melakukan acara “Merisik” lengkap dengan penghulu Telangkai. Tentu saja akan menyusul adat istiadat berikutnya seperti “Jamu Sukut” sebelum meminang, lalu ikat janji, mengantar sirih dan akhirnya Akad Nikah dan bersanding.
Semua acara adat istiadat Melayu itu sudah terbayang dibenak lelaki preman pantai itu dan itupun diketahuinya dari Munah. Sebab sebagai lelaki yang sejak kecil lebih banyak bersimbah air laut, ia selaluj tidak perduli tentang adat istiadat mencukur rambut bayi, mentabalkan nama, apalagi tentang “Merisik” dan meminang segala, lelaki itu tidak pernah perduli. Baru sekarang, setelah ia jatuh cinta kepada Munah dan sadar, bahwa dalam perjalanan kehidupan seseorang tidak terlepas dari adat istiadat masyarakat sekitarnya.
“Orang tua abang pasti akan datang membawa perlengkapan pinangan seperti seperangkat pakaian muslimah lengkap dengan selendang dan sandal serta cincin. Munah mau selendang merah?”. Tanya Jingga ketika masih menghadap ke laut yang menghadap Selat Malaka. Jingga masih meremas-remas jari tangah Munah.
Gadis desa yang amat lugu itu menggeleng.
“Hijau?”
Mudah masih menggeleng
“Biru?”
Sekali lagi gadis yang kulitnya hitam manis itu menggeleng .
“Biru langat seperti laut di depan kita?”
Lagi-lagi gadis itu menggeleng
“Atau suka warna putih?”
Untuk kesekian kali Munah menggeleng lagi.
“Lalu selendangnya mau warna apa?. Semua menggelng terus.” desak Jingga menatap wajah gadis yang dicintainya tapi wajah gadis itu tetap menunduk.
Ingin rasanya Jingga mencium bibir gadis itu amat lama, seperti film Hindustan yang dilihatnya dilayar televisi seoranbg lelaki memeluk tubuh kekasihnya lalu mencium mesra sekali. Tapi Munah tidak pernah lama dalam dekapannya. Pasti Munah segera meronta, pasti tangan lelaki itu ditepiskan. Sebab Munah mau muntah mencium bau alkohol dalam nafas lelaki itu.
Perlahan sekali lelaki itu menyentuh ujung dagu Munah yang runcing.
“Perkanankan abang menatap sepasang matamu yang teduh, Munah,” terdengar suara lelaki itu lirih dan bau alkohol tercium dirongga hidung Munah dan bau itulah yang paling tidak disukai leh gadis desa itu. Munah lebih suka mencium kencing kambing yang dipelihara ayahnya dari pada mencium bau minuman keras. Sudah amat lama Munah ingin lelaki disisinya merupakan botol minuman.
Munah mengangkat wajahnya dan membiarkan itu menatap puas-puas. Ia membiarkan lelaki itu menyentuh kedua lengannya lalu mendekatkan wajahnya. Ia benar-benar mau muntah mencium bau wiski dari mulut lelaki itu.
“Munah!”
“Hmmm”
“Katakan sekarng warna selendang yang Munah senangi!”
Munah menggeleng.
“Kenapa menggeleng terus?” tatapan mata lelaki itu amat tajam, persis seperti tatapan sepasang burung elang yang mengintai mangsanya. Ketika didarat, burung elang datri tempat yang tinggi dapat menginti anak ayam meskipun berlindung di balik sayap induknya. Berlindung di basik belukar, elang jantan itu pasti akan mampu menyembarnya lalu mencengkeramkan kukunya dan sesaat kemudian pasti tubuh anak ayam yang malang itu akan tercabik-cabik.
“Munah belum ingin menerima selendang itu!” Munah berkata lugu ia membiarkan itu masih menatapnya.
“Kenapa?”
Munah tidak segera menyahut.
“Karena umurnya masih dua puluh?. Umur seperti itu sudah pantas kawin. Malah kawan-kawan Munah sudah banyak yang kawin. Yang sudah punya anak juga ada,. Ingat dengan Zaitab yang kawin pada umur tujuh belas ?. Setelah punya anak lelu cerai.”
“Bukan karena umur!.” Sahut Munah.
“Lalu karena apa?”
“Munah merasa tidak usah menerima selendang itu. Munah merasa abang tidak usaha membawa cincin, pakaian dan lain-lainnya kalau.....,” Munah tidak segera melanjutkan kata-kata itu.
“Kalau apa?. Teruskan, Munah!. Jangan hentikan kata-kata itu. Abang ingin tahu isi hatimu!”
Sepasang manusia muda kelahiran desa pantai itu masih duduk menghadap laut lepas. Perahu-perahu nelayan dengan berlayar terkembang semakin banyak terlihat menuju pantai. Kerunduan pada rumah, rindu pada anak dan istri pasti ada di hati nelayan itu yang sejak dini hari tadi berada di tengah laut di terpa angin kencang, diterpa terik matahari dan diguncang ombak.
Meskipun rumah yang dimiliki hanya rumah reot, tapi nelayan itu merasa hidup tenteram dan berbahagia bersama keluarganya. Padahal penghasilan dari laut hanya pas-pasan untuk biaya hidup esok hari. Kopi hangat pasti sudah menunggu para nelayan itu. Betapa amat nikmat menghirup kopi hangat setelah amat lelah berada di tengah laut.
“Ayo, Munah!. Katakan!.” Desak Jingga
“Sebaiknya orang tua abang tidak usah datang!”
“Kenapa?” tiba-tiba saja wajah lelaki itu marah seperti tomat masak. “kita sudah lama saling mengenal. Kita sudah lama berpegangan tangan seperti ini, sudah lama saling mencintai. Kita sudah sering bicara tentang hidup bersama sebagai suami istri. Sudah waktunya kita hidup bersama. Sudah waktunya kita menikah. Dan berbahagia.”
Munah diam.
“Munah minta apa?. Mau jam tangan bagus, besok abang belikan!”
“Bukan jam tangan?”
“Jin yang mahal!”
“Bukan !”
“Tas tangan?”
“Bukan!”
“Sepatu hak tinggi?”
Semua yang disebut Jingga tetap ditolak Munah, apalagi sekedar kaos oblong dan celana jin seperti gaya mahasiswa di kota.
“Kamu benar-benar aneh!” cetus Jingga
Munah menunduk.
“Kamu benar-benar menyimpan teka teki yang sukar ditebak!”
“Abang pasti dapat menebaknya dengan mudah apa yang Munah inginkan.”
“Demi Tuhan, teka teki itu amat sukar untuk ditebak. Demu Tuhan, mata Munah terlalu dalam untuk diselami sehingga sukar untuk mengetahui apa yang dalam hatinya, mungkin sutera putih atau hijau ungu, atau untaian mutiara yang teramat indah,”seperti seorang pengarang lelaki itu mengucapkanm kata-kata puitis kepada kekasihnya.
“Berjanjilah bahwa abang tidak akan marak kepada Munah kalau Munah mengatakan sesuatu.”
“Demi Tuhan, abang tidak marah!”
“Demi langit dan bumi!. Demi laut, demi malaikat yang menjaga kita!”
Munah tersenyum. Jingga amat senang melihat bibir yang tersenyum itu. Apalagi kalau munah tertawa, pasti ada lesung pipit di pipinya.
“Sekarang katakan apa yang mau Munah!”
“Munah hanya ingin satu hal !”
“Satu hal apa?”
Munah tidak segera menyahut dan sesaat ia menunduk lagi.
“Ayo katakan!” desak lelaki itu.
“Munah tidak ingin mencium bau alkohol lagi!”
Hanya sebaris kata-kata yang diucapkan Munah tapi cukup membuat lelaki itu menunduk.
Selama ini setiap lelaki itu mengajak Munah jalan-jalan menyusuri pantai atau nonton tayanagan film Hindustan di layar tancap, pasti bau alkohol sampai kehidung Munah hingga gadis itu mau muntah. Munah juga tahu, bahwa lelaki itu disisinya adalah seorang peminum kelas berat yang amat sukar untuk di pisahkan dari botol minuman seperti wiski, anggur putih dan sejenisnya.
“Kamu ingin abang tidak minum lagi?. Itukah yang kamu pinta?”
“Ya!. Itulah yang Munah pinta dan permintaan itu hadir dari dasar hati Munah yang paling dalam.”
Sesaat lelaki preman yang selalu berkeliaran di pasar atau di terminal pelanggan ikan itu termenung. Berhenti untuk tidak lagi menenggak minuman keras, itulah yang dipinta Munah. Dan itulah yang amat sulit dipenuhi olehnya. Sebab dunia preman memang tidak terpisah dari dunia minuman keras. Dunia preman tidak dapat dipisahkan dari botol-botol wiski.
Dunia preman terasa amat indah semarak penuh warna warni kalau dibarengi dengan wiski atau sejenisnya. Mana ada preman yang tidak menenggak minuman keras meskipun preman itu tinggal di desa pantai di pemukiman nelayan.
“Tapi abang hanya minum sedikit, Munah. Hanya sekedar menghangatkan badan!” sahut lelaki itu menatap wajah cantik di depannya. Wajah cantik yang lugu dan bersih. Sebab wajah gadis itu selalu dibasahi air wudhuk. Sebab Munah berasal dari keluarga Melayu yang amat taat pada agama. Sebab Melayu identik dengan islam.
Seperti umumnya anak gadis yang berasal dari rumpun Melayu, pasti menyadari, bahwa Melayu itu adalah beradat, bahwa Melayu itu adalah islam. Bahwa Melayu itu adalah berbudaya, bahwa Melayu adalah berturai dan siapa pun tidak dapat menyangkal, bahwa Melayu itu adalah berilmu.
“Abang tidak pernah minum sampai mabuk. Demi Tuhan, demi malaikat, demi laut, abang belum pernah mabuk. Abang tidak pernah membuat onar, tidak pernah membuat kerusuhan. Itu pasti, Munah!”
“Munah tahu hal itu. Kalau tahu Munah abang selalu membuat onar atau kerusuhan, sudah lama Munah tinggalkan!”
“Demi Tuhan abang minum hanya sedikit, hanya sebagai pergaulan, jangan sampai ada yang mengucilkan abang kalau abang tidak bersama mereka sekedar minum sedikit.”
“Meskipun hanya setetes, Munah tidak menyenangi hal itu! Meskipun hanya setetes saja, minuman keras atau yang namanya wiski atau alkohol tetap barang haram. Tuhan melarangnya!”
“Tidak sia-sia abang bertemu kamu. Munah. Abang bangga mencintai seorang gadis lembut yang selalu taat kepada ajaran islam.”
Munah tersenyum dengan pujian itu.
“Berjanjilah!” pinta Munah sungguh-sungguh.
“Ya, abang berjanji!”
“Untuk tidak mimun lagi!”
“Abang tidak akan minum wiski lagi!”
“Ingat, bila abang bersama Munah dan Munah mencium bau alkohol, Munah akan lari pulang!”
“Baik!”
“Ingat, malaikat mencatat ucapan abang.”
“Biarlah seribu malaikat mencatatnya, abang memang akan meninggalkan minuman keras.”
“Dan melupakannya!” tambah Munah.
“Ya melupakannya sama sekali!”
Jingga meraih tubuh Munah dan memeluk erat sekali. Apalagi tempat itu sepi dan nelayan-nelayan pun diatas perahunya di tempat yang jauh.
“Masih ada satu lagi permintaan Munah!” bibir tipis itu bergetar ketika Jingga melepaskan pelukannya.
“Apalagi?. Kalung emas bermata indah?”
“Bukan!”
“Lalu apa?”
Munah tidak segera berkata-kata.
“Jangan buat lagi teka teki yang sulit diterka, Munah!”
“Semua yang Munah minta lahir dari dasar hati Munah yang paling dalam.”
“Katakan!”
“Munah berharap abang tidak lagi selalu berkeliaran di pasar-pasar, tidak ada lagi di terminal pelelangan ikan, tidak ada lagi di pelabuhan!” pinta gadis lugu itu.
“Abang tidak mengerti kata-katamu!”
“Hentikan mencari rezeki yang tidak halal!”
“Astaga!. Kamu pikir pemberian orang tidak halal, Munah?. Keliru!. Demi Tuhan, kamu keliru menganggap abang menerima uang pemberian orang sebagai rezeki yang tidak halal!”
Munah menatap wajah lelaki itu dalam-dalam. Ia seperti mencari kejujuran di mata lelaki itu.
“Kalau pemberian itu ikhlas, memang baik. Tapi bagaimana dengan paksaan?. Bagaimana pemberian itu berbentuk pemerasan?”
“Pemaksaan?. Pemerasan?” ulang Jingga dengan wajah merah.
“Ya!”
“Siapa yang memaksa?. Siapa yang memeras?”
“Siapa lagi kalau tidak seseorang yang sudah berhasil menggugah hati Munah?”
“Abang?” lelaki itu menunjuk dadanya sendiri.
“Ya!”
“Astaga!”
“Kenapa astaga?. Semua warga tahu dan mengenal abang sebagai preman di desa ini. Dulu orang tahu preman itu hanya ada di kota besar saja, tapi sekarang sudah ada di desa ini, di pantai ini, Munah sedih kalau mendengar, orang-orang mengatakan, bahwa biang kerok itu adalah seseorang yang sekarang ada disisi Munah, yang baru saja memeluk Munah, mencium Munah dan mencuruhkan seluruh isi hatinya.”
Lelaki preman di desa itu termenung sesaat. Ia tidak menduga, Munah akan memintanya berhenti menenggak minuman keras, dan kini satu lagi Munah menginginkan agar ia tidak lagi mencari rezeki dengan jalan memeras orang.
“Semua tahu, mulai dari ibu-ibu di dapur, hingga gadis-gadis dan lelaki tua yang baru pulang dari tengah laut, bahwa dua minggu yang lalu ada sampan terbalik di tengah laut.......” Munah tidak melanjutkan kata-kata itu. Justru yang melanjutkan ucapan itu dalah Jingga sendiri.
“Lalu sepasang remaja terlempar dari dampan itu dan hampir mati tenggelam di telan ombak. Begitu bukan?”
“Betul!”
Lalu muncul duas oarang warga kini menyelamatkan sepsang anak muda yang malang itu.”
“Betul!,”Munah mengangguk-anggukan kepalanya.
“Menolong orang yang tenggelam adalah kebaikan, Munah. Dan kebaikan memang disuruh Tuhan!”
“Betul!”, lali-lagi Munah mengangguk-anggunkan kepalanya.
Dan kebaikan itu tidak teduili untuk siapa saja dan kepada siapa saja, meskipun kepada umat yang lain yang agamnya tidak tidak seperti kita, yang dikalungnya ada bertanda salib.
“Betul !”
Nah, sepasang remaja yang malang itu amat berterima kasih nyawanya telah diselanatkan dari maut.”
“Betul!”
“Nah, sebagai ucapan terima kasih, pantas kalau ia memberikan sesuatu kepada dua orang yang telah menyelamatkan jiwanya.”
“Betul!”
“Nah, dimana letak salah satunya kalau memberkan sesuatu?”
“Dalam bentuk apa mereka mengungkapkan terima kasihnya?”
“Uang!”
“Berapa?”
“Tujuh puluh ribu!”
“Cuma itu?”
“Ditambah kalung!”
“Seharusnya tidak semahal itu kalau tidak ada unsur paksaan!. Kasihan mereka, padahal mereka ingin melihat debur ombak, ingin menyaksikan indahnya laut kita. Kasihan kalau gadis itu memberikan kalungnys karena terpaksa. Padahal kalung itu mungkin kenang-kenangan dari seorang yang paling ia sayangi.”
“Sipa yang memaksa?”
“Lelaki yang diselamatkan dari kematian itu cuma punya uang tujuh puluh ribu, tapi ada seseorang yang memintanya lebih dari itu. Bahkan kekasihnya sempat dijadikan sandera. Lalu sebagai tebusannya adalah seuntai kalung yang harganya mahal.”
Sesaat Jingga termenung mendengarkan kata-kata itu.
“Itu namanya pemerasan. Itu paksaan!” tukas Munah.
“Bukan paksaan, tapi mereka yang mermberikan dengan suka rela. Bahkan mereka sangat bersyukur nyawanya sudah diselamtkan. Kalau tidak ada yang peduli pasti merekasudah jadi mayat, padahal harga nyawa mereka berdua lebih dari sau milyar, Munah!”
Munah tersenyum pahit.
“Bagaimana kalau mereka datang lagi dengan membawa polisi? Tangan abang akan digari lalu digiring ke kantor polisi dan masuk bui dengan tuduhan pemerasan.”
Jingga tertawa lebar ketika mendengar ucapan itu.
“Mana mungkin mereka datang lagi membawa polisi. Yang benar mereka datang lagi untuk memberikan sumbangan bola voli lengkap dengan kostumnya, juga raket bulutangkis.”
“Apapun alasannya, Munah tetap menganggap mencari rezeki dengan cara seperti itu bukan cara yang mulia dan benar. Rezeki yang halal dan mulia dimata Tuhan adalah seperti nelayan.”
“Lalu kamu menghendaki abang jadi nelayan lagi yang pergi dinihari dan pulang setelas dalam kelelahan esok petangnya?. Dan hasilnya juga tidak seberapa?”
“Ingat, bang!. Laut kita sudah sangat kotor. Malah anak nelayan sendiri yang merasa ikut memiliki laut ini sudah berani kencing berdiri menghadap kelaut. Tidakkah ia mengotori dan mencemari lautnya sendiri yang selama ini amat indah?. Belum lagi sampah dari hulu.”
Sesaat lelaki itu menekur. Ia sendiri menyadari, bahwa ia sering kencing berdiri menghadap ke laut lepas. Bahkan ia tidak lagi mematuhi larangan orang-orang tua dulu, bahwa di tengah laut dilarang menyebut “ular”, tapi sebutlah dengan “akar”. Hal-hal yanbg tabu di laut, kini sudah banyak dilanggar oleh anak-anak nelayan itu sendiri padahal mereka menganggap laut adalah milik mereka, bahwa ombak adalah nyanyian alam yang tiada akhirnya, bahwa laut adalah sumber kehidupan.
“Ingat, sepuluh hari yang lalu Munah juga mendengarkan hal-hal yang kurang enak di desa kita!” ucap Munah lagi.
“Apalagi?. Pemaksaan lagi?. Pemerasan lagi?”
“Ya!. Dan lagi-lagi orang orangnya adalah seseorang yang kini ada disisi Munah dan baru saja membelai tubuh Munah dengan kasih sayang.”
“Lagu sedih apa lagi yang sampai kerongga telingamu, sayang?”
“Uncu Fatimah, janda tua yang sakit-sakitan itu kehilangan seekor anak kambingnya.” Ujar Munah lagi menyampaikan apa yang didengarnya.
“Gerobak yang mengangkut beras melintas anak kambing itu sampai isi perutnya keluar.” Jingga melanjutkan karena ia memang ada disana.
“Sopir gerobak itu harus mengeluarkan uang tiga ratus ribu untuk mengganti seekor anak kambing padahal Uncu Fatimah tidak minta apa-apa karena memang anak kambingnya bersalah yang menyeberang jalan. Dan yang menerima uang itu adalah sekelompok preman disini. Tiap orang menyebut nama abang. Nama abang sudah sangat lekat di bibir setiap orang di desa kita, setiap ada kabar yang tidak enak didengar, pasti nama abang disebut-sebut.”
Lelaki itu menghela nafas panjang. Lelaki itu termenung.
“Nah, mulai hari ini berhentilah jadi preman. Hiduplah yang layak dan wajar. Biar jadi nelayan lagi seperti dulu, tapi terhormat, halal dan mulia.”
Lelaki itu semangkin termenung. Kata-kata amat lekat dirongga hatinya yang paling dalam.
“Ingat, Munah mendambakan seorang teman hidup yang mau hidup mulia meskipun harus hidup sederhana,” amat pelan Munah mengatakan ucapan itu.
“Dan mau hidup susah?” lanjut lelaki itu.
“Biarlah susah. Biarlah kita hanya punya sebuah sampan untuk melaut, biarlah hanya punya rumah dekat laut, namun hidup kita tenteram.”
“Hatimu memang mulia, Munah. Abang bangga mencintaimu. Mulai hari ini abang tidak menyentuh botol lagi. Mulai detik ini, abang tidak mau lagi jadi preman. Abang ingin hidup wajar, meskipun yang kita miliki hanya sebuah sampan kecil dan kayu pendayung untuk menangkap ikan.....”
Munah membiarkan dirinya remuk dalam dekapan lelaki itu. Angin laut berhembus giris menghelai rambutnya dan ujung-ujung itu menutupi wajah Jingga,. Laut itu memang amat kotor dan jorok sekarang, tapi mereka dan semua anak-anak nelayan di pinggir laut yang menghadap ke Selat Malaka itu masih tetap mencintai laut itu, tetap merasa memilikinya.
******
S
|
IAPA yang paling berbahagia di desa nelayan yang terletak tidak jauh dari Pelabuhan Teluk Nibung itu kalau tidak Munah?. Sebab sekali lagi Jingga datang memeluknya, nafasnya tidak lagi bercampur dengan bau alkohol. Ketika melangkah di sepanjang pantai dengan kaki telanjang, lelaki itu juga berjalan tidak sempoyongan. Langkah-nya tegar menuju hari esok yang amat indah, meskipun hidupnya akan sangat sederhana sekali sebagai nelayan.
“Abang tidak minum lagi, Munah!” cetus Jingga bangga.
“ Ya, Munah tidak lagi mencium bau alkohol dengan nafas abang.”
Lelaki itu tersenyum.
“Kehidupan keras sudah abang rasakan di pantai ini. Siapa yang berani memberi hadiah bogem mentah kepada sopir truk yang mengangkut tong-tong ikan hingga hidung berdarah, kalau bukan seorang lelaki bernama Jingga?”
“Siapa yang berani meminta uang banyak kepada sopir truk yang mengangkut sembako pada saat menabrak anak kambing?. Tentu abang juga!”
Lelaki itu tersenyum.
“Abang tidak akan pernah mencotos sopir truk lagi, tidak akan pernah meminta uang lagi. Juga tidak pernah menenggak wiski lagi. Selama bertahun-tahun seperti tidak ada yang menghentikan langkah abang dalam kehidupan yang keras itu. Tapi sekarang, setelah kehadiran Munah, hati abang jadi rapuh.”
“Itu tandanya Tuhan masih memberikan hidayah!”
“Dan malaikat masih ada disekitar abang!”
Munah tersenyum. Ia bersyukur anak muda yang selalu berkeliaran di pasar atau di pelabuhan pelanggan ikan itu masih ingat malaikat. Itu tandanya sinar hidayah masih ada di hati lelaki yang selama ini selalu berkutat dalam kehidupan keras.
Dan mereka masih menelusuri pantai dengan kaki telanjang dan langit pun semakin merah karena sesaat lagi matahari akan tenggelam. Elang-elang yang selalu bermain di atas laut itu sudah tidak terlihat lagi, semua sudah kembali kesarangnya di dahan pohon yang tinggi.
“Andainya abang masih tetap minum, Munah sudah bertekad.......”
“Menutup pintu rumah kalau abang datang? Begitukah?”
“Tidak hanya itu!”
“Mengusir abang seperti seekor kucing sakit?”
“Tidak hanya itu!”
“Abang tidak akan menemui Munah lagi kalau abang tidak dapat meninggalkan muniman keras.”
Kata-kata itu menyebabkan lelaki itu tertegun dan menatap wajah Munah dalam-dalam. Angin laut berhembus giris dan menyebabkan ujung rambut Munah berserakan dan sebagian ujung-ujung rambut itu melekat di wajah Jingga, tapi Jingga tidak menepisnya. Malah ia senang beberapa helai rambut Munah melekat di wajahnya.
“Kamu mau pergi jauh? Kemana?” tanya Jingga.
“Jauh sekali! Teramat jauh!”
“Meskipun teramat jauh, meskipun sampai keujung langit, abang akan menyusul.”
“Tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin? Elang perkasa selalu mampu terbang tinggi dan jauh, hingga menyeberangi laut atau hutan belantara.”
“Tapi tidak mudah pergi ke sana!”
“Kenapa? Adakah benteng yang paling kukuh di sana?”
“Ya!. Tiap orang yang akan menginjakkan kaki disana harus ada paspor apalagi untuk menetap satu atau dua tahun bekerja di sana.”
Jingga tertegun sejenak, ia dapat menerka apa yang ada dalam dada Munah. Jingga seperti mampu menerka apa yang terlihat di bola mata Minah.
“Ke Malaysia?. Jadi te-ka-i di sana?” Jingga menerka-nerka.
“Ya!”, Munah mengangguk.
“Jangan pergi!. Jangan tinggalkan desa kita. Jangan tinggalkan pantai ini. Jangan tinggalkan laut kita!” pinta lelaki itu amat sungguh-sungguh. Demi Tuhan, ia tidak rela seorang gadis yang amat ia cintai menjadi pembantu rumah tangga, apalagi di negeri orang.
“Kalau laut ini semakin kotor, kalau pantai ini semakin jorok, Munah harus pergi. Apalagi seseorang yang ada selalu di sisi Munah alam nafasnya selalu bercampur dengan bau alkohol, Munah sudah bertekad untuk pergi ke sana.”
“Jangan! Jangan pergi!,” tiba-tiba saja lelaki itu menyentuh lrngan Munah dan mengguncangkannya amat keras. Tubuh gadis desa yang hitam manis itu ikut terguncang keras.
“Jangan pergi. Jangan tinggalkan pantai ini,” pinta lelaki itu sekali lagi.
Munah cuma menunduk dan membiarkan tangan Jingga yang kekar itu mengguncang lengannya lagi.
“Banyak yang mencintaimu di sini, Munah!. Pantai ini menangis kalau kamu pergi. Laut ini akan berduka kalau seorang gadis secantik kamu meninggalkannya jauh sekali. Mungkin debur ombak tidak lagi indah seandainya kamu tidak ada disini lagi. Mungkin pantai ini semakin kotor kalau seorang gadis secantik seperti kamu pergi jauh.”
“Pada awalnya Munah sudah bertekad untuk pergi. Tidak hanya Munah, tapi Asbun, Ijah, Zubaidah, Aisyah, Bariyah, Rahmah, Nuraini juga akan berangkat ke sana, “ Munah menyebut nama-nama gadis desa itu tidak kurang dari sepuluh orang yang sudah mendaftarkan diri ke sebuah PJTKI yang sengaja datang ke desa di pinggir pantai itu untuk mencari calon TKI yang akan dipekerjakan di Malaysia. Tidak hanya gadis-gadis, tapi juga beberapa orang janda yang akan ikut mengais ringgit di negeri jiran itu.
Panjang lebar Munah mengatakan, bahwa bekerja di negeri semenanjung Malaysia itu gajinya lumayan bisa untuk memperbaiki rumah, bisa untuk membiayai anak sekolah hingga ke SMU. Bahkan dua tahun di sana setiap TKI akan membawa uang pulang puluhan juta rupiah. Siapa yang tidak ingin berangkat ke negeri jiran itu kalau ingat gajinya amat lumayan?. Sementara kehidupan di negeri sendiri dari hari kehari tetap saja sulit, sebab negeri ini sudah bertahun-tahun di landa krisis berkepanjangan. Entah kapan rakyat republik ini akan makmur. Mungkin sampai kiamat.
“Jangan pergi, Munah!. Jangan pergi meskipun gaji disana sepuluh juta!” sekali lagi Jingga meminta seperti memelas.
Munah hanya menunduk.
“Kalau abang melarangku untuk tidak pergi ke Malaysia, bukan karena abang takut ditinggalkan, bukan karena pantai dan laut ini jadi sepi, tapi bekerja di sana tidak selamanya nyaman, tidak selamanya aman!”
Lelaki hanya seorang preman kampung, tapi terkadang ia menemukan koran-koran bekas yang sudah lama tiga minggu terbit, bahkan sudah sangat kumuh. Bahkan yang dibacanya koran bekas pembungkus.
Tapi dari koran bekas yang sudah sangat kumuh itu Jingga pernah membaca tentang nasib malang ribuan TKI di sana. Itu yang resmi dan yang tidak resmi atau pendatang haram lebih banyak lagi.
Jingga tahu tidak selamanya TKI disana nasibnya lebih baik. Yang sangat-sangat menderita juga tidak sedikit. Malah yang berangkat dengan cara gelap justru lebih malang. Ada yang diangkut dengan tongkang tengah malam, lalu sebelum sampai di dermaga Port Kelang di turunkan di tengah laut. Ratusan calon TKI ilegal itu mati kedinginan.
“Kalau Munah berangkat, tidak akan mengalami nasib seperti itu!,” tukas Munah.
“Kenapa?. Jangan yakin akan pertolongan malaikat.”
“Bukan karena perlindungan malaikat, tapi karena Munah akan berangkat dengan resmi, dengan surat-surat yang lengkap.”
“Tidak, Munah!. Surat apapun yang kamu miliki, meskipun surat dari malaikat, abang tetap menganjurkan untuk tetap tidak pergi!”
Sebagai lelaki preman yang selalu berkeliaran di terminal Teluk Nibung, ia banyak mendengar berbagai nasib malang yang dialami para TKI di negeri orang itu. Dari seorang nahkoda merangkap tekong kapal yang mengangkut kayu gelondongan ke negeri jiran itu, Jingga pernah mendengar banayak TKI, terutama wanitanya menjadi korban perkosaan majikannya. Yang hamil dan melahirkan juga ada.
Malah yang dianiaya majikan atau anak-anak majikan di sana juga banyak, bahkan yang pulang ke tanah air dengan tubuh cacat juga ada. Lebih kejam lagi yang dibunuh juga pernah terjadi, lalu sang majikan merekayasa seakan-akan TKI itu bunuh diri, terjun dari lantai 10 gedung tempatnya bekerja.
“Bekerja di negeri orang penuh dengan resiko yang mengerikan, Munah. Ingatlah itu!” Jingga mengingatkan kekasihnya setelah mencerita berbagai tragedi yang dialami para TKI yang didengarnya dari nahkoda kapal pengangkut kayu gelondongan dari pelabuhan Teluk Nibung ke Port Kelang, di negeri serumpun Melayu itu.
“Munah akan bekerja pada keluarga Melayu, Bang. Tidak ada yang harus dikhawatirkan kalau kita bekerja pada keluarga Melayu yang aqidahnya sama dengan kita disini. Tidak ada keluarga Melayu yang memakan makanan haram, “sahut Munah.
“Memang!. Tapi dalam perilaku sesama majikan selalu sama saja dimana-mana. Kalau hidupnya kaya, lalu menganggap pembantu adalah budak yang dapat diperlakukan seenak perutnya. Di aniaya, di perkosa atau dilemparkan dari lantai sepuluh.’
Munah diam.
“Mungkin seorang te-ka-i akan mendapatkan perilaku baik dari majikannya karena sesama Melayu, tapi dari pihak lain?. Ingat ada wanita yang di perkosa bukan oleh majikannya, tapi oleh sesama pembantu asal Bangladesh hingga perempuan itu membunuhnya. Nasib apalagi yang harus diterimanya kalau bukan di hukum mati?” ujur Jingga lagi agar minat untuk berangkat ke negeri jiran seberang itu surut dari hati Munah.
“Sebaiknya jangan pergi!” itulah akhir permintaan Jingga.
“Kalau abang berjanji akan mencari nafkah yang sungguh-sungguh dan halal, Munah tidak akan pergi!”
“Abang janji!” lelaki itu spontan menyahut.
“Juga sumpah!”
“Sumpah, Demi Tuhan, demi malaikat, demi langit dan bumi abang akan membahagiakan kamu Munah!”
“Juga menjauhi alkohol untuk selama-lamanya!”
“Ya!”
Munah lega ketika lelaki itu bersumpah untuk mencari nafkah sungguh-sungguh meskipun hanya sebagai nelayan, tapi nafasnya tidak lagi bercampur bau minuman keras. Sekali ia mencium bau alkohol dari mulut Jingga, ia akan meninggalkannya, ia akan berangkat ke negeri serumpun Melayu itu menjadi pekerja di Taman Sri gombank Batu Caves, karena di sana paling banyak keluarga Melayu yang butuh pembantu dari negeri ini.
Sayup-sayup diantara debur ombak terdengar suara azan dari puncak menara mesjid Nurul Iman. Angin pun berhembus giris dan kaki Munah sudah dibasahi air laut yang mulai pasang. Sebentar lagi pantai itu tidak akan tampak lagi karena air laut naik ke darat.
“Ayo pulang,” ajak Munah dan berdiri.
“ Sebentar lagi!” Jingga menolak karena ia masih ingin bicara lebih banyak kepada Munah.
“Pantai ini sudah sepi dan pasangpun sudah naik!”
“Sesaat lagi!”
“Azan sudah terdengar, Tuhan sudah memanggil kita!” ajak Munah lagi dan menarikkan tangan lelaki di sisinya. Tapi Jingga belum ingin beranjak dari pantai itu.
“Tunggu apalagi?”
Lelaki itu meraih tubuh Minah dan memeluknya.
Dua pasang kaki telanjang itu melangkah meninggalkan jejak di atas pasir, tapi sesaat kemudian terhapus oleh air laut yang sedang pasang naik. Angin laut yang berhembus giris mengantar Munah dan Jingga pulang.
******
H
|
ANYA debur ombak yang terdengar di malam yang dingin di pantai itu. Para istri dan anak-anak nelayan tidur lelap dan mimpi indah. Tapi malam itu, Munah terbangun di tengah malam. Mimpi buruk menyebabkan ia tersentak dari tidurnya. Dalam mimpinya ia melihat Jingga mengayuh sampannya hingga ke tengah laut lalu seekor elang raksasa amat marah kepadanya. Siapa yang tidak marah kalau dalam mimpi itu Jingga membawa botol-botol berisi minuman keras dan menenggaknya di laut?. Laut pun jadi bau wiski.
Elang raksasa itu mencengkeram tubuh Jingga dengan kuku-kukunya yang tajam amat mengerikan. Di atas permukaan laut, burung elang raksasa itu mencabik-cabik tubuh Jingga. Darahnya pun mengucur dan menetes di laut. Munah memekik-mekik di atas tempat tidurnya dan terbangun.
“Oh, Tuhan. Apa yang terjadi atas diri Bang Jingga?,” pikir Munah di tengah malam itu. “Sakitkah dia?. Atau ada musibah menimpa keluarganya.”
Sesaat wajah lelaki itu terbayang di benaknya. Sesaat pula Munah termenung di malam yang dingin dan istri anak-anak nelayan masih tidur lelap. Ia seperti mendengar sesuatu musik gemuruh. Padahal pada malam-malam yang dingin seperti itu biasanya yang terdengar hanya debur ombak atau desau angin kencang menghempaskan daun-daun pohon kepada yang tumbuh di sepanjang pantai itu.
Munah baru ingat, ada pesta perkawinan di rumah Pak Manan juragan paling kaya di pantai itu. Bila ada sebuah rumah paling besar di sana, itulah rumah juragan Manan. Bila ada orang paling kaya di pinggir laut di tepat Selat Malaka itulah sang juragan ikan. Lihatlah, ketika anaknya kawin, pestanya berlangsung tiga malam. Tamu-tamunya amat banyak dan untuk menghibur para tamu diadakan berbagai hiburan. Ketika mempelai pria datang dilakukan taburan beras kuning dan marhaban. Lalu siangnya ada Orkes berirama Melayu. Tari-tarian juga ada.
Dan malam itu, meskipun sudah larut dan dingin, tapi suara musik terus terdengar memecahkan kesunyian malam, mengalahkan debur ombak. Dan lagu yang terdengar bukan lagi lagu Kuala Deli atau Sri Mersing. Tidak terdengar lagi lagu Makan Sirih. Jalak Lenteng. Dayang Sinandung, atau Gunung Banang, Burung Putih, apalagi lagu Tanjung Katung sudah sejak tadi tidak dinyanyikan.
Di malam dingin itu yang terdengar adalah lagu-lagu berirama dang-dut, diselingi lagu pop dan berirama keras. Yang menyaksikan sajian musik itu tidak lain undangan, tapi muda mudi deda itu. Tidak ketinggal Jingga dan Alang serta puluhan anak muda naik ke pentas dan berjoged. Bau alkohol mewarnai aroma di desa pinggir laut itu.
Bahkan Jingga yang sudah berjanji untuk meninggalkan dan melupakan minuman keras, malam itu sebuah botol minuman cap Kambing Putih ada di tangannya. Iapun naik ke pentas dan berjoged bersama biduan cantik, bersama belasan anak-anak muda lainnya. Pantaslah Munah tersentak dari tidurnya karena mimpi buruk dan dalam mimpi itu dan Jingga diterkam burung elang raksasa dan tubuhnya tercbik-cabik. Mimpi itu hadir mengusik tidur Munah karena lelaki itu melanggar sumpahnya untuk tidak minum lagi.
Apalagi orang-orang yang baru pulang menghadiri pesta itu dan melewati rumahnya menyebut-nyebut nama Jingga yang sedang teler.
Sumpuh seorang preman memang hanya berlaku beberapa saat saja, hanya beberapa hari saja. Lihatlah ketika juragan paling kaya di desa itu melaksanakan pesta perkawinan dan ada hiburan gratis Jingga menenggak isi botol lagi. Goyangnya di atas pentas ketika ikut joged paling bersemangat. Dan bau minuman keras dari nafasnya tersebar kemana-mana, hingga kerongga hidung Munah yang baru tersentak dari tidurnya karena mimpi buruk.
Untunglah surat-surat yang dibutuhkan untuk pengurusan pasport dan izin bekerja di Malaysia belum sempat dibakar, belum sempat di robek. Semua masih utuh. Munah akan melanjutkan pengurusannya hingga ia benar-benar dapat berangkat ke negeri seberang itu sebagai TKI. Ia benar-benar bertekad untuk berangkat, sebab Jingga sudah melanggar janjinya. Sebab lelaki itu sudah melanggar sumpahnya sendiri.
Munah sudah berkesimpulan, bahwa karat-karat yang mengotori hati lelaki itu tidak dapat lagi dibersihkan. Penyakit ketagihan terhadap minuman keras juga sudah menjadi karat di hati lelaki itu. Tingkahnya yang selalu kekeliaran sebagai pemuda jalanan juga tidak dapat dirobah lagi.
Munah takut, hanya sesaat lelaki itu tobat, lalu setelah kawin nanti, lelaki itu akan menenggak isi botol lagi, akan mabuk lagi, akan memeras sopir truk lagi, akan memaksa kehendaknya lagi terhadap orang lain. Munah takut menderita batin nanti. Munah amat takut tertekan perasaan dan ia akan kurus kering.
Itulah sebabnya pagi-pagi benar ia sudah meninggalkan desanya di tepi Selat Malaka itu dan ia terlihat naik kerata api bersama Banun, Zuleha dan Minah untuk mengurus keberangkatannya. Mungkin minggu depan, mungkin bulan depan atau bulan-bulan berikutnya ia akan berangkat menuju Malaysia untuk mulai bekerja sebagai TKI. Sudah terbayang dibenaknya uang ringgit yang akan dikaisnya di Malaysia.
Munah harus bersiap-siap sejak awal. Biarlah Jingga sangat marah. Biarlah angkara murka seperti gunung merapi yang meletus.
******
I
|
TULAH sebabnya pagi-pagi benar, ketika Jingga melewati rumah yang terletak tidak jauh dari Mesjid Nurul Huda itu, ia melihat pintu ruamh itu tertutup padahal Jingga datang dengan langkah sempoyongan. Perasaan pening karena terlalu banyak menenggak isi botol di pesta juragan ikan itu masih tersisa. Munah memang tidak di rumah.
Lelaki itu segera berjalan ke arah rumah Zuleha, kawan akrab Munah sejak kecil, sejak masih bermain di laut dan bersimbah air. Tapi rumah Zuleha juga tidak ada.
Di rumah Banun, juga begitu. Di rumah Ijah barulah ia menemukan sahabat Munah sedang meracik sayar untuk ibunya yang sedang sakit, ia juga akan ikut Munah dan Zuleha mengurus pasport dan surat-surat lainnya yang dibutuhkan oleh setiap calon TKI resmi.
“Pagi-pagi seperti ini Bang Jingga sudah sampai di sini!,” sapa Ijah yang tubuhnya gemuk itu.
“Aku ingin ketemu Munah, tapi pintu rumahnya tutup.”
“Kalau mau bertemu Munah, susul saja ke stasiun kereta api,” sahut Ijah lugu. Anak-anak nelayan selalu lugu, selalu tidak pernah berbohong.
“Stasiun kereta api?. Kenapa Munah ada di sana?,” lelaki itu menatap wajah Ijah.
“Mau apa lagi kalau tidak berusaha untuk memperbaiki nasib?”
Sesaat Jingga menunduk dan menekur. Sepatu karet murahan yang melekat dikakinya amat usang. Lelaki itu sudah dapat menerka apa maksud kata-kata si Ijah.
“Memperbaiki nasib?. Maksudmua Munah tetap melanjutkan tekadnya untuk menjadi te-ka-i ke Malaysia?”
“Ya!,” si Ijah yang tubuhnya gembrot itu mengangguk. Di tangannya masih ada pisau dapar untuk meracik sayur. Lelaki itu merasa kepalanya seperti dipukul dengan palu godam 10 kilo.
“Kau tidak salah?”
“Demi Tuhan!”
“Tidak pernahkah kau dengarkan aku melarangnya pergi?”
“Munah memang berkata begitu kepada siapa saja, tapi iapun berkata, bahwa abang berjanji untuk melupakan isi botol!”
“Munah memang cantik, tapi keras kepala!,” gerutu lelaki itu dan mengepalkan tinjunya. “Dengan cara apa lagi aku melarangnya?. Aku harus mengejarnya, aku harus melarangnya dengan cara apapun!”
Lelaki itu segera berlari meninggalkan rumah sahabat Munah, tidak peduli si Ijah berterik-terik:
“Tunggu!!! Tunggu, Bang Jingga!!!”
Lelaki itu tidak perduli ia terus berlari dengan angkara murka gemuruh dalam dadanya. Ia segera memburu ke stasiun kereta api, namun sia-sia. Sebab kerata api jurusan Tanjang Balai – Medan sudah berangkat sejak tadi.
“Kau keras kepala, Munah!. Kau keras hati, Munah!. Sekeras batu-batu bantalan kereta api!,” gerutu lelaki itu seperti tidak habis-habisnya dan tinjunya tetap terkepal, seperti ingin meninju seseorang. Perasaan kesal dan marah menjadi satu dalam dada lelaki itu. Dan gemuruh di dada lelaki itu seperti tidak pernah reda. Ingin rasanya ia segera bertemu dengan Munah lalu melontarkan angkara murka di dadanya.
******
A
|
NGKARA masih gemuruh dalam rongga dada lelaki muda kelahiran pantai itu ketika ia sudah berada diatas sebuah boat bermesin tempel. Sudah lebih setengah jam ia menunggu kedatangan Munah diatas boat yang bau amisnya menusuk rongga hidung. Tapi hari itu pemiliknya, Pak Kodir, seorang nelayan paling tua di kawasan pantai dekat Teluk Nibung itu, sedang sakit sehingga tidak dapat melajut. Jingga sengaja memintamnya, bahkah menyewanya.
Lelaki muda itu menyewanya bukan untuk menangkap ikan di tengah laut, tapi untuk mengajak Munah. Ia ingin bicara dengan Munah sungguh-sungguh. Sebagai orang-orang muda yang dilahirkan di pinggir laut, lelaki itu dan juga Munah, merasa laut itu adalah dunia mereka, adalah milik mereka dan semua anak nelayan.
Jingga ingin mengajak Munah ke tengah laut dan berbicara panjang lebar, melontarkan gemuruh dalam dadanya. Ia ingin melarang Munah agar membatalkan niatnya untuk menjadi TKI di negeri jiran, Malaysia. Munah tidak boleh pergi, apapun alasannya. Dan lelaki itu akan melarangnya dengan cara apapun.
Karena itulah ia ingin mengajak Munah ke tengah laut dengan menyewa sebuah boat bermesin tempal biar setiap kata-kata yang diucapkannya tidak hanya di dengar Munah, tapi juga disaksikan ombak besar yang bergulung-gulung. Ia sudah titip pesan kepada Zuleha, kawan Munah yang paling akrab, agar datang ke pantai pukul sembilan pagi.
Setelah lebih setengah jam menunggu, setelah Jingga amat gelisah, setelah belasan batang rokok disulutnya, barulah Munah datang.
“Kukira kau sudah sampai di Malaysia,” sindir Jingga sinis menyambut kedatangan Munah yang langsung naik ke atas boat bermesin tempel itu. Tak perduli boat itu bau amis dan anak-anak nelayan tidak akan pernah muntah meskipun bau tidak sedap itu menusuk rongga hidung.
“Bulan depan!,” Munah menyehut singkat, karena gadis itu juga amat jengkel pada lelaki disisinya.
“Hatimu benar-benar sudah jadi batu yang amat keras, Munah!”
“Dengan cara apa lagi abang akan melarangmu untuk tidak pergi?”
“Munah tidak akan berniat pergi, andainya abang tidak minum lagi, tidak lagi menjadi pemuda jalanan.”
“Hari itu botol-botol laknat itu sudah abang buang ke laut!,”
“Tapi malam-malam sebelumnya?. Ingat ketika juragan ikan itu pesta?. Ingat siapa yang naik ke atas panggung berjoged?. Siapa yang paling teler?. Bau kamput dari nafas abang sampai ke rumah Munah pada malam itu!”
“Maafkan abang karena malam itu tidak mampu menolok ajakan kawan-kawan lain.”
“Itu artinya abang sudah melanggar sumpah sendiri. Tahu apa artinya melanggar sumpah?. Tuhan akan murka!”
Tidak perduli pada ucapan Maimunah, Jingga menghidupkan mesin perahunya dan boat itu segera menerjang ombak. Munah duduk disisi Jingga dan tubuhnya terguncang-guncang karena perahu bermesin itu meluncur amat cepat membelah gelombang menuju ke tengah laut yang terhampar amat luas.
Sesaat saja boat bermesin itu sudah sampai jauh ditengah laut dan Munah pun sudah merasakan gelombang lebih besar, anginpun amat kencang, bahkan dia sudah melihat kapal-kapal tanker atau kapal-kapal niaga amat ramai melintas menuju Singapura.
Munah menyadari lelaki disisinya sedang menahan amarah dalam dadanya yang kekar itu. Munah tetap diam dan menunduk. Matahari amat terik membakar ubun-ubunnya.
Setelah mesin perahu itu berhenti di tengah laut dan gelombang pun semakin besar, barulah Munah menatap wajah Jingga. Wajah lelaki itu tegang karena dadanya sedang di sulut bara api angkara murka.
Di bawah perahu itu ikan-ikan berbagai jenis, kepiting, cumi-cumi, udang dan binatang laut lainnya mendekat, seakan mereka ingin tahu apa yang akan terjadi atas diri Munah. Binatang-binatang laut itu seperti ingin melindungi bila Munah diperlakukan amat kejam oleh Jingga.
“Kenapa berhenti disini?,” tanya Munah.
“Cukup disisi!. Kita bicara di tengah laut ini biar gelombang ikut mendengarnya!” ujar lelaki itu dan mereka bertatap pandang.
“Bicara tentang apa?”
“Tentang rencana keberangkatanmu jadi te-ka-i !”
“Untuk apalagi dibicarakan?. Bulan depan kita tidak akan bertemu lagi!” Munah berkata cetus, tanpa merasa gentar meskipun dari sinar matanya tampak lelaki itu sedang menahan amarah yang gemuruh dalam dadanya, seperti ia tidak gentar menghadapi gelombang amat dahsyat.
“Hatimu benar-benar sudah jadi batu, Munah!”
“Tidak hanya batu, tapi baja yang amat keras, tapi abang sendiri yang menyebabkannya.!”
“Abang bersumpah, apapun yang akan terjadi, kamu tidak boleh pergi ke sana!”
Munah masih tetap menatap wajah lelaki itu. Mata Jingga seperti mata elang yang siap untuk menerkam mangsanya lalu mencabik-cabiknya dengan kukunya yang amat tajam. Wajahnya tampak bringas, seperti binatang buas yang sedang lapar.
“Kalau Munah tetap bertekad pergi, bagaimana?”
Lelaki itu tidak segera menyahut, tapi tangannya segera meraih parang dilantai sampan bermesin tempel itu. Setiap nelayan pasti memiliki parang yang amat tajam yang selalu dibawanya ke tengah laut. Sebatang pohon bakau, sekali tebas pasti akan putus. Lelaki itu mengacungkan parang di tangannya kepada Munah.
“Parang ini yang akan berbicara kepadamu, Munah!”
“Abang akan membunuh Munah?” Munah gemetar.
“Ya,” sahut lelaki berwajah bringias itu, apalagi sinar matahari yang amat terik membakar wajahnya.
“Abang sampai hati menghabisi nyawa seorang gadis yang amat abang cintai?”
“Seorang lelaki dari keluarga nelayan akan mampu berbuat apa saja kalau kekasihnya tetap akan meninggalkannya,”
“Tebaslah batang leher Munah sekarang1. Ayo tebas, lalu lemparkan mayat munah ke laut, tapi besok puluhan nelayan akan menemukan mayat Munah dan pasti tahu apa sebabnya, juga tahu siapa yang menyebabkan kematian Munah!. Abang akan meringkuk di penjara sebagai pembunuh!”
“Tidak!. Aku tidak akan masuk penjara!” cetus lelaki itu dengan suara parau.
“Kemana abang akan bersembunyi?”
“Parang ini juga akan menebas batang leherku sendiri setelah kamu mati, Munah,”
“Abang akan bunuh diri disini?”
“Ya, biar kita mati bersama. Itulah tandanya kesetiaan yang dimiliki oleh anak-anak nelayan. Mati bersama, di tengah laut ditempat kelahirannya. Bersimbah darah di tengah laut miliknya sendiri.”
Pelan-pelan lelaki bertubuh tegar dan hitam legam itu menempelkan parang tajam itu batang leher Munah. Tentu saja Munah semakin gemetar. Sebentar lagi, mungkin hanya beberapa detik lagi lehernya akan putus ditebas oleh seorang lelaki kekasihnya sendiri. Sebentar lagi laut ini akan bercampur dengan darah seorang gadis yang dilahirkan di pinggir laut itu. Sebentar lagi kematian Jingga akan menyusul.
Sebelum kematiannya, Munah masih mampu menyebut kebesaran Tuhan. Munah memang dilahirkan dari keluarga nelayan yang amat taat. Lihatlah, rumah tempat tinggalnya tidak jauh dari mesjid Nurul Huda. Sejak kecil Munah selalu mengaji di sana. Ayahnya juga selalu hadir di mesjid itu. Bila ayahnya tidak ke laut, bila terdengar azan yang amat nyaring suaranya, itulah ayah Munah.
Ibunya juga seorang muslimah sejati. Ibunya selalu menanamkan iman yang teguh dalam diri Munah. Ibunya selalu bercerita tentang kisah para nabi-nabi. Ibunya juga selalu menganjurkan agar kelak bila Munah kawin dan mengandung agar selalu menjaga kebersihan makan dan minumannya dari sumber yang syubhat atau atau haram.
Perempuan mengandung harus selalu membaca Qur’an. Perempuan hamil harus memperbanyak amal ibadah. Itulah ajaran ibunya yang akan tetap diingat Munah sampai kapanpun.
Semua itu tetap menjadi ingatan bagi Munah. Tapi Munah tidak sempat menikah, tidak sempat hamil karena nyawanya hanya tinggal beberapa detik lagi dan parang tajam itu sudah terletak dilehernya.
“Sebentar lagi laut ini akan bercampur dengan darah kita, Munah. Sebentar lagi kita akan mati bersama. Mungkin seperti inilah kebahagiaan kita, bukan di dunia, tapi diakhirat!” ujar lelaki itu.
Munah tidak berkata apapun. Tubuhnya semakin bergetar. Tubuhnya bermandi peluh dingin , tapi hatinya tetap berkata kata meminta pertolongan Allah dan malaikat. Menjelang kematiannya, ia masih ingat kebesaran Tuhan. Itulah tandanya ia lahir dari keluarga yang taat pada agama.
“Meskipun bersimbah darah, tapi kita akan mati bersama, kita akan berkubur di dasar laut kita.” Terdengar lagi suara lelaki itu yang tampak seperti kerasukan syetan. Hanya laki-laki yang sudah kesurupan hantu atau tidak waras lagi, yang tega membunuh gadis yang dicintaiya lalu bunuh diri untuk mati bersama.
Tiba-tiba lelaki itu mengacupkan parang di tangannya ke arah langit. Ia benar-benar seperti seorang lelaki yang sudah kehilangan akal sehat. Ia seperti berteriak kepada awan yang berarak di langit biru. Suaranya yang parau itu amat keras karena sudah bercampur dengan suara syetan jahat.
“Hai langit, hari ini kami akan mati bersama!” teriaknya.
Iapun berteriak lagi kepada angin :
“Hai angin, sebentar lagi kami akan mati berpelukan!”
“Hai laut, hai ombak, hai gelambang, hai ikan-ikan di dasar laut, terimalah kematian kami!”
Pada saat itulah, pada saat lelaki itu mengacung-acungkan parang di tangannya ke segala penjuru dan berteriak-teriak pada angin, kepada laut, Munah melihat ada kesempatan untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba saja, secepat kilat ia terjun ke laut, dan ia tidak gentar untuk berenang jauh sekali ketepian.
Setiap anak nelayan memang benar-benar perenang yang amat tangguh, andalan dan tidak pernah menyerah pada gelombang. Justru gelombang dan ombak besar adalah sahabatnya. Tubuh gadis itu segera tidak tampak lagi karena berada jauh di bawah permukaan air agar tidak terlihat oleh Jingga yang sedang diamuk angkara murka. Setiap anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan memang penyelam-penyelam yang amat tangguh. Munah seperti tidak takut mati lemas, ia seperti tidak takut kehabisan nafas dibawah permukaan air.
Tapi Jingga sama halnya dengan Munah yang berasal dari keluarga nelayan. Lelaki itu segera mencebur ke laut menyusul Munah. Tak perduli sebilah parang tajam terlepas dari tangannya dan terlempar ke dasar laut. Parang itu tenggelam dan tidak tampak lagi.
Hanya beberapa menit kemudian, Jingga berhasil menyusul Munah di bawah permukaan laut. Munah meronta-ronta amat keras ketika lelaki yang akan membunuhnya berusaha menangkp tangannya. Tapi ia hanya seorang perempuan, meskipun mampu bertahan lama dibawah permukaan laut, tubuh Jingga sebagai lelaki lebih tangguh lagi. Meskipun dengan susah payah, Munah akhirnya menyerah dan kembali di naikkan ke atas boat bermesin tempel itu. Tapi sebilah parang tajam yang hampir menebas batang lehernya sudah terlempar ke dasar laut.
“Kau tidak akan lolos dari tanganku, Munah!.” Lelaki itu berkata sinis .
“Jingga!,” Munah menatap tajam wajah lelaki itu.
“Sadarkah kau, bahwa dalam dirimu sudah ada syetan jahat?”
“Perduli apa dengan syetan?”
“Kau tidak akan dapat membunuhku karena parang itu sudah ada di dasar laut!,” teriak Munah.
“Kita tidak akan dapat mati bersama!’
“Aku masih punya cara lain1’
Kau tetap ingin mati bersama di tengah laut ini ?. kau akan berteriak-teriak lagi kepada langit, kepada laut, kepada gelombang, kepada ikan-ikan di laut bahwa kau akan mati bersama disini?”
“Itu nanti!. Tapi ada yang ingin kuinginkan darimu saat ini,” sikap lelaki itu semakin sinis. Matanya merah. Saat itu ia benar-benar mirip elang lapar yang akan mencabik-cabik tubuh mangsanya dengan kukunya yang runcing dan tajam.
“Keinginan apa?”
Lelaki itu tidak segera menyahut. Hanya tangannya yang bergerak meraih tubuh Munah yang basah. Lelaki itu memeluk tubuh Munah amat erat dan menciumnya. Lelaki itu memang tidak lagi berniat membunuh Munah lalu setelah itu ia bunuh diri pula kemudian mati bersama di tengah laut. Tapi ia ingin berbuat lain. Sebab syetan jahat sudah merasuk dalam jiwanya, dalam hatinya, dalam jantungnya, juga ada dalam darah yang mengalir di seluruh tubuhnya.
Di tengah laut itu, Jingga meragut pakaian Munah dengan amat kasar. Munah tidak berdaya mengadapi seorang lelaki yang sudah kemasukan syetan. Ia pasrah meskipun kejadian itu tidak ia inginkan. Lelaki yang berasal dari keluarga nelayan itu telah berbuat dosa yang amat besar dan sukur untuk dimaafkan. Tak perduli Munah meronta-ronta ketika lelaki itu berusaha melepeskan pakaiannya yang basah kuyup.
“Jangan Jingga!. Jangan!.” Munah berteriak – teriak dan berusaha melepaskan diri.
Tapi tangan-tangan lelaki itu terlalui tegar untuk melumpuhkan seorang gadis di tengah laut itu.
“Ingat, Jingga laut ini akan menjadi kotor kalau kau melakukannya, “ teriak Munah ketika pakaiannya yang basah sudah terlepas. “Laut ini sangat marah kepadanya!. Kau akan celaka!. Semua nelayan juga akan menimpa hukuman Tuhan.!”
Tapi syetan jahat sudah merajalela dalam diri lelaki itu. Di tengah laut itu Munah memang tidak sempat terbunuh. Semua dosa itu terjadi di tengah laut yang ia cintai, yang menjadi sumber kehidupan para nelayan. Jingga sudah mengotori lautan sendiri. Ia tidak sadar laut akan sangat marah kepadany. Juga Tuhan amat murka karena dosa itu.
Menangislah seorang gadis yang baru saja kehilangan kehormatan dan harga dirinya di tengah laut, diatas boat bermesin tempel. Dan dosa itu terjadi bukan diatas kasur lembut dengan sprei indah, tapi hanya dialasi terpal yang sudah robek di sana sini yang biasanya dipergunakan untuk tenda bila hujan turun.
Air mata Munah berderai-derai tidak hanya dipipinya, tapi juga di pangkuannya bahkan menetes hingga ke permukaan laut. Ikan-ikan laut pun ikut merasakan kehancurkan hatinya karena seorang gadis yang amat lugu telah ternoda, apalagi Munah yang hampir saja terbunuh di tangan seorang lelaki yang dikenal warga desa pantai itu sebagai peminum keras berat. Untunglah parang tajam itu sudah terlempar ke dasar laut.
“Bunuh saja aku ditengah laut ini, Bang!,” rintihnya. “Bunuh saja aku!”
Lelaki itu termanggu sejenak. Sebab ia rasakan gelombang lebih besar dari biasanya. Ia mulai merasakan laut yang marah kepadanya.
“Hidupku tidak berguna lagi. Bunuh aku dan lemparkan mayatku ke tengah laut ini.”rintih Munah lagi dan mengguncang lengan lelaki yang baru saja mengotori dirinya.
Rintihan itu membuat semua mahkluk air di laut itu semakin merasakan kasihan kepada Munah. Bahkan burung-burung elang pun seperti tidak tega untuk mendekat. Tidak sampai hati melihat penderitaan gadis yang amat polos telah tercemar. Elang-elang itu menyingkir jauh.
Berkali-kali Munah menguncang tangan lelaki itu agar lelaki itu mencekik lehernya atau menjeratnya dengan tali-tali yang ada diperahu itu.
“Maafkan abang, Munah, “ lelaki itu berkata lirih dan meraih tubuh Munah agar rebah didadanya yang kekar dan tegar . “Demi Tuhan abang merasa teramat mencintaimu lebih dari segalanya.”
Munah hanya tersedu dan menutup muka dengan kedua belah telapak tangannya, seperti tidak sanggup untuk menatap laut lagi, seperti tidak sanggup menatap laut dan awan yang berarak. Berkali-kali lelaki itu bermohon maaf dan keampunan, tapi Munah tetap menutup muka dengan kedua telapak tangannya, namun air mata masih tetap berderai dipipinya.
“Perkenankan abang mencium telapak kaki Munah, sebagai tanda abang sangat menyesal , sebagai permintan maaf!” terdengar lagi suara lelaki itu parau.
Munah tidak ingin lagi mendengar suara itu, ia pun ingin lagi memandang wajah lelaki itu. Tiba-tiba ia teramat benci kepada lelaki itu melebihi segalanya.
“Berikan kakimu, Munah. Biarkan abang mencium telapak kakimu,” suara lerlaki itu terdengar lagi di antara debur ombak laut.
Apapun yang dikatakan lelaki itu benar-benar Munah tiak ingin mendengarnya lagi. Ia tidak mau membuka wajahnya lagi kalau lelaki yang telah mengotori dirinya masih ada di depan hidungnya. Kalau pun ia membuka wajahnya, dunia pun akan tampak gelap gulita. Begitulah seorang gadis bila ia telah kehilangan kesuciannya dirinya, meskipun ia hanya seorang gadis desa yang berasal dari keluarga nelayan.
Lelaki itu berusaha mencium telapak kaki Munah, tapi sebelum melakukannya, tiba-tiba saja sebuah boat bermesin tempel lainnya mujncul menghampiri. Munah kaget. Jingga lebih tersentak lagi, apalagi melihat seorang lelaki diatas boat bermesin tempel itu adalah Alang, kawan Jingga paling akrab.
“Datuk datang lagi!,” teriak Alang dari atas boatnya.
“Datuk?. Datuk Badrun keparat itu?, pedagang elektronik itu?. Rentenir itu?, balas Jingga menatap sahabatnya.
“Ya!. Rentenir keparat itu langsung ke rumah Siti!” jelas Alang di antara debur ombak yang makin gemuruh.
“Astaga!. Hubungan gelap itu berlangsung lagi!”
“Kawan-kawan kita sudah mengepung rumah itu, tapi tidak berani berbuat apa-apa tanpa kau, Jingga!.”
“Baik!. Aku akan segera ke sana!” sahut Jingga setelah berpikir sesaat.
Dua boat bermesin tempel itu segera menepi dengan kecepatan tinggi dan air mata masih berderai di pipi Munah ketika kakinya terjejak di atas pasir pantai. Langkahnya gontai ketika ia berjalan pulang. Pasir pantai yang biasanya terasa selalu lembut dikakinya, sejak dosa itu terjadi terasa seperti duri yang amat tajam menusuk ketelapak kakinya. Di matanya, dimana pun ia berada, seakan yang tampak adalah duri-duri tajam yang terhampar.
******
L
|
EBIH selusin anak muda sedang mengepung sebuah rumah berdinding papan yang sudah lapuk dan terletak di sudut perkampungan nelayan itu. Di depan rumah itu terlihat sebuah mobil Kijang penuh berisi barang-barang elektronik mulai dari pesawat tv, video, VCD, radio tape, kipas angin, hingga pompa air.
Pemilik Kijang itu adalah Datuk Badrun yang memiliki sebuah toko elektronik pusat kota Tanjung Balai, tapi lelaki itu juga menjual dagangannya hingga ke desa pemukiman nelayan itu. Cuma bedanya datuk Badrun menjaul barang – barang dagangannya dengan sistem kredit, namun harganya mencekik leher. Harga tunai sebuah tv sejuta rupiah, bila dijual dengan cara cicilan harganya sampai dua setengah juta atau lebih.
Tidak hanya itu. Datuk Badrun yang tubuhnya gemuk pendek itu memang selalu membawa uang banyak di mobil kijangnya. Sebab ia selalu bermurah hati memberi pinjaman uang kepada orang-orang, terutama para nelayan, yang membutuhkan uang untuk pesta perkawinan anak, khitanan atau biaya berobat ke rumah sakit.
Namun kemurahan hatinya meminjamkan uang harus dibayar amat mahal oleh warga karena pinjaman sejuta rupiah dalam dua bulan sudah menjadi satu juta empat ratus atau lebih. Bila predikat rintenir melekat pada dirinya memang benar-benar pas.
Bila hampir semua anak-anak muda di desa perkampungan nelayan itu amat benci kepadanya memang benar-benar beralasan. Meskipun empat buah ban mobilnya pernah tertusuk paku karena ulah preman-preman desa itu, lelaki rentenir itu masih belum kapok menjejakkan kaki di desa itu. Bahkan ketika mobil kijang itu lewat di jalan sepi, seorang melemparkan batu hingga kaca depan mobil itu pecah. Tapi lelaki itu belum juga jera.
Bahkan sekarang lelaki itu semakin sering hadir di desa tidak hanya membawa berbagai jenis barang elektronik, tapi untuk bertemu Siti, janda muda yang cantik dan masih amat muda dan tidak hanya di desa pemukiman nelayan itu. Datuk Badrun mendatangi janda-janda, tapi di desa lain ia juga selalu berbuat hal yang sama. Lelaki memang selalu begitu, kalau duitnya tebal, pasti ia gemar menghamburkannya bersama perempuan lain, apalagi dengan janda-janda muda. Seperti yang dilakukannya saat itu, ia sedang berdua dengan Siti di desa pemukiman nelayan itu padahal belasan anak muda sudah mengepung rumah itu.
Hubungan gelap itu sudah berlangsung lama, hingga saat itu, hingga belasan preman mengepung rumah tua itu. Ada yang membawa pentungan, ada yang membawa jerigen berisi premium. Sebab anak-anak muda itu sudah sepakat untuk membakar kijang bermuatan barang-barang elek-tronik itu sekali gus menghajar pemiliknya sampai babak belur karena lelaki itu juga disinyalir menjalin hubungan gelap dengan janda cantik beranak satu di desa itu.
Belasan anak-anak muda itu sudah tidak sabar untuk bertindak, untuk menyiram kijang itu lalu menyulutnya dengan api. Biar jadi abu baru pemiliknya diramai-ramaikan. Biar kepalanya pecah, biar tubuhnya babak belur bersimbah darah. Biar kapok dan tidak akan pernah muncul lagi di desa pemukiman nelayan itu.
“Tunggu!” Jingga mencegah ketika salah seorang anak muda akan menyiram mobil itu dengan premium.
Semua menggerutu karena niat untuk membakar mobil lintah darat itu tidak segera terlaksana sementara warga desa itu selama ini sudah terlalu parah hutang atau cicilan.
“Alang, kemari!”, Jingga memanggil sahabatnya yang paling setia.
Lelaki yang dipanggil segera mendekat dan ditangannya sudah ada korek api untuk membakar mobil itu. Tangannya sudah amat gatal ingin melihat api marak dan mobil itu jadi abu.
“Tunggu apalagi, Jingga?. Semua tidak sabar lagi melihat api unggun yang paling indah!”
“Cari rebana!,” Jangan memberi perintah.
“Rebana?. Untuk apa?” Alang amat heran mendengar perintah itu.
“Kita akan melaksanakan pawai yang amat meriah. Kita akan segera melakukan arak-arakan yang paling bagus dan unik!” ucap Jingga setelah mengintai Datuk Badrun dan ia memang melihat di rumah janda muda itu Datuk Badrun sedang menghirup kopi hangat. Jingga melihat dengan mata kepala sendiri lelaki itu duduk amat rapat dengan Siti, janda cantik itu. Ia melihat sendiri sesekali Datuk Badrun meremas-remas jari tangan Siti. Bahkan Siti pun amat manja rebah di dada lelaki yang dikenal warga uangnya banyak namun sebagai lintah darat.
“Pawai apa? Arak-arakan?,” tanya Alang heran.
“Tentu saja arak-arakan Datuk Badrun dan Siti dalam keadaan bugil. Unik, bukan?. Pasti orang ramai akan menonton pawai kita kali ini. Pasti lebih semarak dari pada pawai tujuh belas Agustus.”
“Hebat otakmu, Jingga!” cetus Alang kagum.
“Nah, cepat cari rebana untuk mengundang masyarakat!,” Jingga memberi perintah lagi.
“Tapi dimana aku bisa mencari rebana?”
“Tolol!. Cari di rumah Ainun. Ainun pemain nasyid, pasti dirumahnya ada belasan rebana.”
Tanpa berpikir panjang Alang segera berlari seperti kijang jantan ke arah rumah seorang gadis pemain nasyid di desa itu. Biasanya rebana adalah sejenis alat musik tabuh untuk menyertai penampilan nasyid pada acara pernikahan, khiatan atau acara-acara tertentu di balai desa. Tapi kali ini alat musik itu akan dipergunakan untuk menarik perhatian masyarakat agar menyaksikan Datuk Badrun diarak keliling kampung bersama janda muda yang telah melakukan hubungan gelap dan tentu saja dalam keadaan bugil.
Apa boleh buat Alang terpaksa membohong kepada pemilik rebana itu dengan mengatakan, bahwa yang meminjam tiga buah rebana adalah Lobe Masyur yang mengkhitankan cucunya. Sesaat kemudain Alang kembali lagi dengan tiga buah rebana di tangannya.
Sesaat lagi arak-arakan yang unik namun sangat tidak manusiawi akan segera dimulai, apalagi Datuk Badrun sudah tidak duduk lagi di ruang tamu, tapi sudah masuk ke kamar. Bahkan iapun sudah melepaskan pakaiannya setelah mengajak Siti untuk tidur bersama.
Pada saat itulah terdengar ketukan pintu beruntun. Bahkan ada seorang anak muda menggedor pintu belakang dengan sepotong besi. Tanpa menunggu pintu dibuka oleh penghuninya, belasan anak muda itu segera mendobraknya. Hanya sekali terjang, pintu terbuka. Datuk Badrun kaget setengah mati, tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena belasan anak muda sudah menyergapnya sementara ia hanya mengenakan pakaian dalam. Untung Siti masih sempat menutupi tubuhnya dengan daster.
“Anda sudah mengotori desa kami!,” teriak Jingga yang segera memegang batang leher lintah darat itu.
“Saya..........saya..............tidak berbuat apa-apa di sini,” lelaki bertubuh gemuk pendek itu membela diri.
“Bohong!. Apa yang anda lakukan di kamar?
“Ha?” Jingga tampak bringas.
“Saya hanya mau pipis!”
“Bohong!” teriak Jingga dengan suara keras.
“Mau tahu, apa hukuman bagi pelaku hubungan gelap di kampung ini?. Diarak dalam keadaan bugil keliling kampung hingga ke pelabuhan!”
“Horeeeee!,” belasan anak-anak muda itu bersorak amat gembira. Apa yang dikatakan Jingga seperti vonis hakim yang paling adil, padahal penuh dengan kezaliman. Sungguh amat tidak manusiawi bila mengarak seseorang dalam keadaan telanjang.
“Ayo, Alang!. Mulai tabuh rebana itu biar masyarakat berkumpung menyaksikan arak-arakan yang sangat unik dan menarik ini!”
Tiga orang segera menabuh rebana agar masyarakat segera datang untuk menyaksikan pawai unik itu namun sangat-sangat menyayat hati setiap manusia yang bermoral. Suara dendang rebana yang ditabuh segera terdengar di sekitar rumah disudut kampung itu. Tentu saja warga desa pemukiman itu heran mendengar suara rebana, padahal tidak ada pesta perkawinan, tidak ada khitanan. Anak-anak segera berlari-lari ke arah rumah itu. Suara dendang rebana itu memang benar-benar berhasil mengundang masyarakat dan sesaat saja puluhan warga sudah berkumpul di sekitar rumah janda itu.
“Ampuni saya!. Maafkan saya!, lelaki bertubuh gempal itu menyebah kaki Jingga . “Jangan lakukan hukuman seperti ini kepada saya!”
“Tidak!. Hukuman ini tidak dapat di tawar lagi.
Tidak hanya harus diarak keliling, tapi mobil itu akan segera jadi abu karena sudah amat banyak warga disini sengsara hidupnya!”
“Jangan!. Jangan bakar mobil saya!, pinta Datuk Badrun dengan tubuh menggigil ketakutan.
“Saya akan bangkrut kalau mobil itu jadi abu. Saya akan jatuh miskin!. Saya akan melarat.”
Lintah darat itu benar-benar mencium kaki Jingga meminta maaf. Lelaki itu amat malu. Tapi Jingga tetap bertekad untuk mengarak sepasang pelaku perselingkuhan itu dalam keadaan tanpa pakaian.
“Ayo, cepat buka pakaian itu,” teriak Jingga lagi menghardik.
Lelaki yang sudah biasa berbaring di kamar janda itu semakin menggigil. Sebentar lagi akan berlangsung arak-arakan panjang dengan diiringi tabuhan rebana.
Seperti bocah cilik lelaki itu menangis tersedu-sedu. Siti juga ikut mencium kaki Jingga agar hukuman yang amat berat itu tidak dilakukan.
“Saya tidak sanggup menerima hukuman ini!.”
Datuk Badrun mengiba dan masih mencium kaki Jingga,”Ampuni saya!. Maafkan saya. Demi Tuhan, saya tidak sanggup. Lebih baik bunuh saya di sini dari pada saya diarak tanpa pakaian. Bunuh saya. Bunuh saya di sini!”
Lelaki itu seperti menyerahkan kepalanya untuk dipenggal. Seenak perutnya Jingga menarikkan rambut Datuk Badrun.
“Anda pikir kami adalah para pembunuh di sini?. Tidak!. Kami tidak akan membunuh anda. Yang paling pantas memang diarak keliling desa!”
“Saya berharap jangan lakukan hukuman itu terhadap saya. Saya akan memberikan apa saja untuk kalian di sini.......”. Datuk Badrun menawarkan sesuatu. Memang itulah yang dikehendaki oleh Jingga. Ia ingin lintah darat itu menjadi sapi perah. Ia ingin rentenir itu membuka dompetnya dan mengulurkan uang dalam jumlah banyak.
“Hentikan rebana itu!. Saya berharap hukuman itu tidak dilaksanakan. Saya akan memberikan apa saja. Bahwa nyawa saya rela saya berikan,” lelaki itu memohon dengan air mata berderai.
“Betul begitu?” tanya Jingga. Semua memang sudah ada dalam otak jingga. Biar rentenir itu membuka dompetnya dan memberinya sepuluh juta. Apalagi rebana sudah di tabuh dan sebentar lagi masyarakat akan berdatangan, pastilah lelaki yang profesinya sebagai tukang kredit itu semakin menggigil.
Tidak sampai terjadi perundingan alot, dan tidak ada deadlock, tidak ada jalan buntu, lelaki itu segera membuka tasnya dan memberikan setumpuk uang kepada Jingga. Sepuluh juta.
Itulah harga sebuah kehormatan. Teramat mahal memang, tapi Datuk Badrun merasa lebih baik memberikan uang sebanyak itu dari pada kepalanya dipenggal dan nyawanya melayang. Lebih baik ia memberikan uang sebanyak itu daripada ia diarak keliling desa dengan keadaan tanpa pakaian, apalagi bersama seorang janda. Sungguh amat memalukan. Sungguh sadis. Sungguh amat zalim.
Lelaki pedagang elektronika itu merasa terlepas dari cengkeraman singa yang amat buas dan amat lapar. Dari pada ia menderita malu yang amat besar karena diarak keliling kampung hingga ke pelabuhan dalam keadaan bugil bersama seorang janda., lebih baik ia kehilangan uangnya. Esok atau lusa ia akan mendapatkan lagi uang sebanyak itu. Sebab selama kemiskinan masih ada di negeri ini, rentenir akan hidup subur. Selama para nelayan atau para petani hidup melarat, lintar darat tetap hidup makmur.
Hari ini seorang rentenir benar-benar kena batunya. Ia telah menjadi korban pemerasan segelintir preman desa yang selama ini tampak damai. Tapi ia amat bersyukur tidak sempat dipermalukan di depan masyarakat.
******
A
|
ZAN subuh belum terdengar untuk membangunkan para keluarga dari tidur lelap. Fajar pun belum terbit. Malam masih amat gelap dan di langit hanya tampak bulan sabit serat gugusan bintang yang tertutup awan tebal. Kokok ayam jantan pun baru duakali terdengar di pagi yang dingin itu. Embun masih melekat di daun-daun pohon nyiur yang tumbuh di sepanjang desa pantai itu. Pasir pantai masih bersih.
Di depan sebuah rumah yang menghadap ke laut tampak sebuah mobil kijang berhenti. Beberapa orang lelaki berseragam turun. Mereka adalah polisi yang pagi itu akan menyergap seorang otak pelaku pemerasaan di desa pemukiman nelayan itu.
Seorang lelaki pedagang elektronika telah menjadi pemerasan di desa itu. Ia memang rela memberikan uang sepuluh juta kepada para preman di desa itu dari pada ia harus menanggung malu diarak keliling kampung dalam keadaan tanpa pakaian bersama seorang janda pula. Ia benar-benar rela. Tapi kabar itu segera meluas kemana-mana, hingga ke kampung seberang, hingga ke kota kecamatan. Hingga istri dan anak-anak Datuk Badrun juga mendengar kabar itu.
Tentu anak-anak dan istri Datuk Badrun merasa tidak senang dengan perbuatan zalim itu. Semua merasa amat malu. Keluarga itu harus menerima aib yang tidak kepalang tanggung. Semua wajah keluarga itu seperti di tempel najis. Apalagi salah seorang anak datuk Badrun ada yang menjadi pegawai negeri di kantor Bupati. Padahal masuk menjadi pegawai di kantor itu Datuk Badrun harus memberi uang pelicin tiga puluh juta. Seorang lagi anaknya juga baru lulus SMU dan Datuk Badrun juga sudah menyediakan uang lebih dari itu. Tidak hanya laut di sekitar Teluk Nibung yang sudah amat kotor oleh berbagai sampah dan tumpahan minyak dari kapal tanker, tapi otak manusia di pesisir lebih kotor dari laut itu.
Anaknya yang bekerja di kantor Bupati itulah yang mengadukan pemeras itu ke kantor polisi. Itulah sebabnya pagi hari menjelang subuh, rumah Jingga di kepung aparat keamanan. Polisi memang tidak bertindak gegabah, tapi benar-benar profesional. Kasus pemerasan dan pelecehan seksual itu ditangani amat serius. Sebelum pelaku pemerasan itu diburu, beberapa saksi suidah diperiksa. Juga Siti sudah dipanggil polisi dan harus menjalani pemeriksaan laboratorium forensik. Tidak ada tetesan sperma dari Datuk Badrun dalam alat genitalnya. Bahkan sprei serta pakaian dalam milik janda itu ikut hadir di laboratarium forensik. Tidak ada tetasan sperma. Pelecehan seks itu belum sempat terjadi karena sekelompok preman segera mengepung rumah itu.
Preman yang sudah amat sering melakukan pemerasan itu sedang tidur lelap dan mimpi yang amat indah ketika rumahnya sudah dikepung oleh aparat penegak hukum, sehingga lelaki itu tidak sempat membaca mantera dan doa-doa. Andainya saat itu ia tidak sedang tidur lelap pasti nyalinya merasakan polisi yang akan menangkapnya dan Jingga akan lari. Tembakan yang diarahkan kepadanya pasti pelurunya tidak akan mampu melukai tubuhnya. Sebab Jingga memang memiliki ilmu kebal. Cukup lama dia menuntut ilmu kebal itu dan sempat bertapa di sebuah pulau kecil tanpa penghuni di tengah laut di Selat Malaka itu.
Benda tajam seperti parang, tombak, kapak, bahkan peluru tidak akan mampu melukai tubuhnya. Tapi pagi itu i benar-benar sedang apes. Jingga sedang tidur pulas dan mimpi indah ketika polisi menyergapnya. Jingga tidak mampu berkutik, sebab ia tidak sempat membaca mantera dan doa yang pernah dituntutnya di sebuah pulau kecil.
Lelaki yang sudah amat banyak melakukan pemerasan di kawasan desa pantai itu kaget setengah mati ketika pintu belakang rumahnya didobrak dengan paksa oleh polisi. Bahkan Jingga belum sempat bangkit dari tempat tidurnya ketika empat orang polisi sudah muncul di pintu kamarnya.
Percuma saja ia memiliki ilmu kebal karena tidak mampu menghindar dari sergapan aparat keamanan. Ia benar-benar menyerah. Ia tiak berdaya ketika sepasang gari di lingkarkan dipergelangan tangannya kemudian di giring ke kantor Polsek.
******
H
|
ARI-HARI yang kelabu kini harus di rasakan oleh lelaki yang berasal dari keluarga nelayan itu dalam sel yang pengab dan amat menjemukan. Tapi bagi Munah, ia harus merasakan hari-hari yang lebih gelap lagi. Sebab kesucian dan kehormatan dirinya sebagai seorang gadis sudah direnggut di tengah laut.
Munah lebih sering termenung dirumahnya dan air mata lebih sering berderai dipipinya. Hari-hari yang gelap gulita, hari-hari yang penuh dengan tangis, hanya itu miliknya sekarang.
Laut pun amat marah karena dosa di tengah laut itu dilakukan oleh seorang anak muda yang berasal dari keluarga nelayan. Ikan-ikan banyak yang mati seakan-akan air laut kini sudah bercampur dengan racun. Kapal-kapal pukat harimau yang menangkap ikan semakin berani mendekati garis pantai sehingga nelayan tradisional tidak lagi kebagian ikan.
Kasihan bila nelayan tradisional dikawasan pantaio yang terletak di Selat Malaka itu hanya memperoleh ikan amat sedikit. Ratusan nelayan tiba-tiba harus menghadapi paceklik dan masa-masa sulit. Tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker semakin banyak mengotori laut. Kehidupan para nelayan mulai terancam. Nasib nelayan di kawasan pantai tidak jauh dari Teluk Nibung itu makin terjepit.
Tidak ada yang tahu, bahwa semua itu karena Tuhan memang sengaja menurunkan bala dan ganjaran karena ulah seorang pemuda yang telah nekad berbuat dosa, menodai seorang gadis yang amat dicintainya di tengah laut. Siapa lagi yang mendengar keluhan nasib para nelayan itu selain angin malam dan burung-burung elang? Derita nelayan itu tidak hanya berkurangnya tangkapan ikan, tapi wabah penyakit mulai merambah di desa itu.
Hanya karena ulah seorang anak muda bernama Jingga berbuat dosa yang amat besar di tengah laut itu, tidak hanya Tuhan yang murka. Segenap binatang laut ikut marah dan mengutuk perbuatan dosa itu. Lihatlah kepiting yang biasanya bermain dalam air, selalu timbul kepermukaan laut dan jepitnya menganga lebar seakan ingin menjapit tubuh Jingga.
Karena dosa yang teramat besar itu, seluruh warga desa pantai ituikut merasakan imbasnya. Laut yang terletak di Selat Malaka itu tidak lagi jernih, tapi berwarna kecoklatan dan menyebarkan bau yang tidak sedap. Apalagi kapal-kapal tanker yang mengangkut minya mengalami kebocoran sehingga lautpun sudahj bercampur dengan tumpahan minyak, akibatnya ikan-ikan banyak yang mati.
Kerang-kerang pun bersembunyi di pasar laut sehingga nelayan tidak dapat lagi menangkapnya. Nelayan tradisional biasanya tiap hari mendapat tangkapan ikan yang lumayan, sejak dosa itu terjadi selalu menggerutu karena hampir tidak memperoleh ikan. Kalau adapun ikan semuanya berenang jauh ketengah, yang tidak terjangkau oleh perahu nelayan. Beruntunglah pencuri-pencuri ikan asing yang menggunakan kapal-kapal besar. Nelayan tradisional makin terpuruk keadaannya.
Nasib nelayan desa pantai itu semakin buruk dari hari ker hari. Karena dosa seorang anak nelayan di tengah laut, ayam dan itik peliharaan para nelayan enggan bertelur. Bahkan sebsagian besar hewn-hewan peliharaan itu mati.
Datuk Leman, seorang nelayan tua di desa pantai itu amat sedih ketika dua ekor anak kambingnya tiba – tiba sakit dan mati. Telur-telur ayam yang sedang di erami induknya tidak sempat menetas karena busuk. Tuhan benar-benar murka karena dosa di tengah laut itu.
Lihatlah semut-semut pun berjalan beriring-iringan menuju ke arah rumah Jingga seakan ingin menyerangnya, ingin menggigit telinganya, ingin melihat menggigit hidungnya, juga matanya. Semut-semut itu ingin membuat sepasang mata anak muda itu buta!. Tapi semut-semut itru berjalan terlalu jauh untuk dapat sampai ke rumah Jingga. Semut-semut itru mati karena matahari amat terik. Andainya semut-semut yang amat banyak itu sampai di rumah Jingga, tentu tidak akan berhasil menggigit matanya, karena saat itu Jingga berada di balik sel.
Ya, Tuhan. Kawanan lebah pun ikut menggeliat karena marak kepada seorang lelaki yang dosanya amat besar. Apalagi angin laut selalu berhembus lebih kencang dan terkadang di iringi petir membahana sehingga nelayan takut ke laut karena tidak ingin melswsan badai.
Lihatlah elang-elang laut itu. Kuku-kukunya yang tajam siap untuk menerkam mangsanya dan kali ini mangsanya bukanlah ikan-ikan di tengah laut, tapi Jinggi. Elang laut itu ingin mencekeram tubuh lelaki yang kini berlumur dosa . kepak sayapnya amat mengerikan, apaliagi sepasang matanya tampak amat liar. Andainya saat itu Jingga ada di tengah laut, burung elang itu akan menyambarnya beramai-ramai, biar tubuh lelaki iru tercabik-cabik.
Tapi tidak mungkin Jingga berada di tengah lau, karena ia masih medekam di rumah tahanan polusi menunggu proses peradilan. Lelaki itu masih meringkuk di balik tembok dan matanya selalu memandang keluar karenma ia amat merindukan kebebasan. Ia ingin melangkah keluar . ingin mencium kaki Maimunah untuk memohon maaf. Ia amat menyesali dosanya di tengah laut itu sehingga gadis polos itukehilangan kesucian sebagai seorang gadis. Di pelupuk matnya yang selalu tampak adalah bayang-bayang wajh Maimunahyang murung dan menangis.
Laut yang menghadap ke arah Selat Malaka itu telah kehilangan keindahannya sekarang. Pasir pantai tidak lagi putih, tapi amat jorok. Dosa yang dilakukan Jingga menambah kotor suasana pantai itu. Dari kejauhan sudah tercium bau yang tidak sedap. Kalau dulu pantai itu selalu dikunjungi orang-orang kota untuk rekreasi, sekarang hampir tidak pernah ada pendatang, sebab pantai itu teramat kotor dan bau busuk selalu tercium dari kejauhan.
Sekarang desa itu sepi, lengang dan muram. Warga desa yang umumnya adalah nelayan selalu duduk termenung karena kehidupan yang semakin sulit. Nelayan mana yang tidak sedih kalau ayam dan itik peliharaannya mati sampai sepuluh ekor?. Kehidupan mereka semakin sulit.
Dan yang dirasakan para nelayan di pinggir pantai itu tidak hanya kematian ternak, tidak hanya hasil ikan menurun, tidak hanya bau busuk sepanjang pantai itu. Banyak keluarga-keluarga nelayan jatuh sakit. Kesulitan dan penderitaan mereka tumpang tindih.
Keluarga Ulong Zakir terserang wabah diare. Keluarga Ongah Jalal menderita demam panas. Apalagi Ijah yang sedang hamil itu mengalami keguguran dan tengah malam harus memanggil Dr. Husnah hampir berdamasaan, Hindun yang sedang mengandung 5 bulan juga mengalami pendarahan. Malam itu tiga orang perempuan warga desa itu mengalami nasib yang sama. Hal itu tidak akan terjadi kalau tidak karena kemurkaan Tuhan. Masih banyak lagi warga yang menderita penyakit secara tiba-tiba.
Itulah sebabnya yang paling sibuk adalah Dr. Husnah, seorang dokter muda yang baru lima bulan bertugas di puskesmas di daerah pantai itu. Tidak pernah ia menghadapi kesibukan seperti hari-hari terakhir ini, membantu ibu hamil yang keguguran, mengobati keluarga yang terserang diare, lalu menyusul keluarga yang menderita demam berdarah.
Ketika malam minggu juga begitu, dokter itu teramat sibuk menghadapi pasien yang silih berganti, padahal selama ini warga desa itu terbilang sehat dan jarang yang jatuh sakit meskipun pola hidup warga nelayan itu masih amat tradisional. Banyak keluarga yang belum mempunyai WC dan makan pun seadanya saja.
Tapi warga selama ini tampak sehat, tiba-tiba terserang berbagai penyakit yang menyebabkan dokter muda itu sejak pagi hingga sore hari, bahkan hingga malam datang ia belum juga istirahat. Pasien terus berdatangan berganti-ganti, padahal malam itu adalah malam minggu dan Dr. Husnah seharusnya sudah sampai di Medan karena saudara sepupunya akan menikah.
Sudah sejak tiga minggu yang lalu Dr. Husnah menyanggupi untuk hadir dirumah sepupunya yang akan menikah untuk membuatkan acara “Astakona” atau acara nasi hadap-hadapan, sebuah acara kebesaran pengantin bagi suku melayu.
Tidak hanya acara Astakona yang harus dipersiapkan oleh dokter muda yang berasal dari keluarga Melayu itu, tapi ia juga harus menyiapkan tepak berisi sirih, kapur, gambir, pinang dan tembakau.
Meskipun ia berpendidikan tinggi, tapi adat istiadat kebesaran Rumpun Melayu tetap dipahaminya. Ia dapat menyiapkan “Balai” yang isinya ketan berwarna kuning lengkap dengan ayam panggang serta bendera dan telur-telur diatasnya untuk mengantar pengantin.
Apalagi dalam hal memasak makanan khas Melayu seperti Anyang Pakis atau Helwa pepaya, dokter itu memang ahlinya sejak ia belum masuk Fakultas Kedokteran.
Itulah sebabnya bila ada keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan, ia selalu diminta hadir. Seperti malam itu, seharusnya ia hadir dirumah sepupunya yang bertempat tinggal tidak jauh dari Istana Maimoon. Ia diminta untuk menyiapkan balai, tepak dan juga nasi hadap-hadapan. Acara perkawinan itu memang direncanakan amat meriah dan sepunuhnya dengan adat kebesaran Melayu. Bahkan pembawa acara yang pintar melantunkan pantun-pantun Deli sudah dipersiapkan.
“Maafkan aku tidak dapat hadir, Ratna!” Dr. Husnah memberi tahu sepupunya dengan telepon genggamnya.
“Kenapa?. Ada rintangan apa?” tanya sang mempelai perempuan.
“Aku benar-benar sibuk!”
“Sibuk?. Bukankah puskesmas hanya buka pagi hari?” sepupu dokter muda itu seperti tidak yakin.
“Lagi pula besok hari munggu!”
“Pasien silih berganti. Desa ini tampaknya sedang diserang berbagai wabah penyakit. Aku juga heran, biasanya tidak pernah seperti ini. Warga banyak yang mengeluh, seakan-akan desa mereka sedang mendapat peringatan dari Tuhan.”
“Peringatan tuhan?. Memangnya ada apa di desa itu?”
“Aku banyak mendengar keluhan warga. Nelayan yang ke laut tidak mendapatkan hasil ikan sama sekali. Ternak-ternak banyak yang mati. Hujan dan dan badai hampir setiap hari. Bahkan ibu-ibu yang hamil banyak yang keguguran dalam waktu yang bersamaan.”
“Rasanya tidak mungkin kalau desa itu mendapat peringatan Tuhan.”
“Sungguh!,” Dr. Husnah berkata serius melalui telepon genggamnya. “Aku melihat sendiri suasana desa pantai ini tidak seperti hari-hari sebelumnya. Bala dari Tuhan seolah-oleh sedang berlangsung di sini.”
“Tidak mungkin. Warga desa pantai biasanya polos lugu. Bahkan warga desa umumnya adalah nelayan?. Nelayan tidak perhan berdusta. Nelayan tidak pernah membuat ditnah. Disana tidak ada korupsi. Mana ada ka-ka-en di desa, tidak seperti di kota besar. Kalau sebuah kota besar mendapat peringatan Tuhan memang pantas karena pejabatnya kental melakukan korupsi, ada pemimpin partai yang mengumbar janji, ada wakil rakyat yang asal ngomong tapi tidak pernah membawakan suara rakyat, ada pengusaha kelas kekap yang menyulap kredit dari bank pemerintah. Banyak orang bicara atas nama rakyat. Tidak terhitung lagi cara orang kota dalam mencari rezeki dengan cara menipu, memeras, pokoknya segala macam dosa ada di kota besar, makanya Tuhan marah. Tapi kalau di desa yang penduduknya adalah nelayan yang jalan hidupnya selalu lurus, tidak mungkin Tuhan menurunkan bala atau peringatan..”
“Entalah, tapi yang pasti suasana pantai ini menjadi lain akhir-akhir ini. Bau tidak sedap selalu datang dari tengah laut,”
Panjang lebar dokter muda yang berasal dari keluarga Melayu yang lahir dikawasan Sungai Mati itu bercerita kepada suadara sepupunya tentang desa yang ditimpa berbagai bala itu.
Dokter muda itu tidak tahu, bahwa dosa yang amat berat telah dilakukan seorang anak nelayan di tengah laut itu bersama seorang gadis bernama Maimunah yang kini sedang mengadapi hari-hari yang kelabu dan kesedihan.
“Usahakanlah datang meskipun tengah malam. Semua anggota keluarga menunggu kehadiranmu. Atau kami yang akan menjeputmu dengan mobil istimewa?”
“Akan aku usahakan. Mudah-mudahan malam ini pasien mulai berkurang. Aku juga ingin hadir pada pesta perkawinanmu.”
Dr. Husnah menghela nafas panjang. Di depannya masih ada dua orang pasien lagi, seorang karena mengidap demam berdarah dan seorsang lagi menderita gejala typus.
Dua orang pasien sudah meninggalkan puskesmas itu dan Dr. Husnah berharap tidak ada lagi warga desa yang sakit dan ia akan meninggalkan desa pantai itu karena mobil yang menjeput sudah datang. Tapi ketika Dr. Husnah sedang berkemas-kemasuntuk naik mobil Taruna yang sengaja menjeputnya, datang lagi seorang kakek yang tampak amat lemah dan terbatuk-batuk.
Kakek tua renta yang sudah bengkok itu tiba-tiba menderita sesak nafas. Sudah bertahun-tahun penyakit asthma yang pernah dideritanya sembuh total. Tapi kakek tua renta yang sudah tidak sanggup ke luat itu mendadak diserang asthma lagi. Ia tidak luput ikut merasakan murka Tuhan karena dosa seorang lelaki bernama Jingga.
Persis tengah malam, ketika embun yang dingin mulai turun dan desa yang dihuni para nelayn itu benar-benar senyap, barulah Dr. Husnah meninggalkan pueksemas tempatnya bertugas. Betapa mulia hati dokter muda yang dilahirkan di kawasan Sungai Mati itu. Hidupnya kini penuh dengan pengamdian tanpa pamrih. Lihatlah, hingga tengah malam ia mengobati puluhan pasien yang menderita berbagai penyakit. Ia tidak mengeluh meskipun amat lelah merawat warga ysng sedang sakit akibat bala yang diturunkan Tuhan sebsagai peringat-Nya karena dosa seorang anak nelayan di tengah laut itu.
Bahkan ketika hari minggu, dokter muda itu sedang menghadiri pesta perkawinan saudara sepupunya, desa itu dilanda duka cita yang amat dalam, seorang murid sekolah dasar, keponakan Jingga, di sambar buaya ketika sedang mandi di sungai.
Itulah tragedi yang amat menggores hati setiap warga desa nelayan yang menghadap ke Selat Malaka itu. Sebab selama ini setiap anggota keluarga nelayan tidak pernah menjadi mangsa buaya, apalagi sampai mati.
Puluhan ekor buaya terdapat di sungai yang airnya mengalir di Selat Malaka, tapi tidak pernah sekalipun memangsa anak-anak dari keluarga nelayan. Buaya yang paling ganas pun pasti akan menjauhi bila anak-anak nelayan sedang mandi di muara sungai itu. Belum pernah ada anak nelayan yang mati disambar buaya meskipun mandi berjam-jam di sungai.
Tapi sekali ini, setelah dosa yang amat besar di lakukan Jingga di tengah laut terhadap Maimunah, buaya disekitar itu tiba-tiba menjadi ganas kepada setiap orang. Buaya itu seakan sedang kelaparan hingga siswa SD itu menjadi korban mangsanya. Itu tandanya buayapun ikut marah. Lihat yang menjadi korban adalah keponakan Jingga.
Kasihan bocah yang malang itu. Jenazah bocah itu diserat buaya itu ke sarangnya. Jenazah yang malang itu ditemukan dengan bantuan seorang pawang buaya, namun jenazah itu sudah tercabik-cabik. Seluruh warga desa pantai itu merasakan duka yang teramat pedih dalam dada. Betapa amat kejam buaya yang selama ini tidak pernah mengusik warga desa pantai itu, bahkan selama ini mendekat pun tidak pernah sama sekali. Dosa seorang anak nelayan telah membuat mahluk air itu amat marah. Dan orang-orang tidak berdosa telah menjadi korban.
Maimunah tidak sempat disambar buaya hingga mati dan tubuhnya tercabik-cabik. Tapi penderitaan yang dialaminya lebih mengerikan dari pada disambar buaya yang sedang murka. Gadis desa yang amat malang itu merasakan siksa batin yang tiada bandingnya setelah sadar, bahwa dosa yang dilakukan Jingga atas dirinya di tengah laut itu membuat tubuhnya berobah. Maimunah hamil. Ia selalu muntah-muntah.
Maimunah merintih. Air matanya selalu berderai-derai. Ia harus menghadapi hari-hari yang gelap gulita. Di depannya seperti ada jurang yang terjal dan dasarnya penuh dengan batu-batu cadas yang amat terjal.
“Demi Tuhan aku tidak mau hamil. Demi Tuhan, aku tidak mau melahirkan anak haram ini!” keluhnya selalu di iringi tangis.
“Oh, Tuhan. Ambillah nyawaku. Aku memilih lebih baik mati dari pada melahirkan bayi dari Jingga. Aku akan jadi bahan ngomongan orang. Aku akan jadi bahan cercaan orang. Aku adalah orang yang paling hina. Aku tidak kuat untuk melahirkannya. Oh, Tuhan. Aku tidak sanggup hidup lebih lama bila harus mengandung bayi haram ini.....”
Rintihan itu teramat panjang. Maimunah memukul-mukul perutnya sendiri dan didalam rahimnya ada bayi dai Jingga yang kini masih mendekam dalam penjara. Rasanya lebih nikmat seperti murid SD yang mati disambar buaya. Maimunah ingin mati lebih cepat bersama bayi yang dikandungnya.
“Oh. Tuhan. Biarlah aku mati disambar buaya atau binatang berbisa lainnya. Ya, Tuhan. Biarlah seribu ekor buaya menyambar tubuhku hingga aku mati seketika, bair tidak kurasakan lagi derita batin. Biar tidak kudengar cercaan orang. Aku ingin mati. Aku ingin mati!”
Air mata semakin berderai-derai di pipinya. Tapi kematian itu tidak akan menghampirinya. Maut tidak akan datang kepada Maimunah yang sehat dan segar bugar. Yang tidak sehat hanya batinnya yang tersiksa.
Dan tidak seekorpun buaya akan pernah datang menghampirinya, apalagi menyambarnya. Semua binatang merasa sangat kasihan kepadanya. Semua mahkluk bumi merasa sangat iba. Apalagi burung gereja yang bermain diranting pohon seperti ikut menitikkan air mata. Cercitnya adalah senandung duka untuk Maimunah yang malang. Suara burung-burung itu seindah senandung Asahan yang merdu.
Kupu-kupu yang hinggap di kuntum bunga yang sedang mekar juga ikut bersedih. Dan Maimunah akan terus bersedih. Ia akan tetap menghadapi hari-hari yang gelsap gulita dan didepannya penuh dengan beling tajam.
Sebentar lagi perutnya akan membesar seperti nangka masak atau seperti karung beras, padahal hampir tiap saat Maimunah selalu memijit-mijit perutnya sendiri, bair bayinya mati, biar gugur. Tapi bayi itu amat tegar dan kukuh berada dalam rahimnya.
Karena itulah terkadang Maimunah sepertin orang mabuk melompat dari kursi, tapi bayi itu tetap saja tegar dalam perutnya.
Bahkan seperti orang yang kesurupan, Maimunah memanjat tiang rumah lalu melompat kebawah, bair ia terhempas, tapi bayi itu tetap saja bermanja-manja dalam perutnya.
“Aku ingin mati saja!. Aku ingin mati,” ia berteriak-teriak putus asa. Tapi kematian tidak akan menjeputnya.
Yang dilakukan perempuan malang itu tidak hanya memukul-mukul perutnya, tidak hanya berguling-guling di lantai atau memanjat tiang rumah dan melompat. Maimunah juga menenggak air ragi biar perutnya panas, biar bayi yang ada di rahimnya gugur.
Nenas muda yang dicampur dengan merica juga di telan oleh Maimunah, tapi perutnya juga bertambah besar dari hari ke hari. Apa saja ia nekad melakukan biar bayi itu mati, biar gugur. Tapi percuma.
Yang tidak dilakukan hanya bunuh diri. Dan tangisnya terus berderai. Tuhan tetap masih tetap menghendaki ia hidup dan bayinya lahir dengan selamat ke dunia yang sarat dengan berbagai dosa anak-anak manusia.
******
K
|
ABAR tentang derai air matanya, tentang duka yang amat dalam, tentang memukul-mukul perutnya dendiri, juga tentang berbagai ramuan yang ditenggaknya, akhirnya sampai ketelinbga Jingga yang masih meringkuk di penjara.
Semua kabar itu sampai ketelinga anak muda itu, sebab diam-dim sahabatnya yang paling akrab dengannya, Alang, selalu berkunjung keselnya. Bahkan sengaja diam-diam Alang sengaja mengintip Maimunah yang memukul-mukul perutnya sendiri.
“Tampaknya Maimunah amat menderita,” ujar Alang yang sengaja menjenguk sahabatnya di dalam sel.
“Kasihan,” gumam Jingga dan termenung.
“Ia selalu menangis dan tidak pernah keluar rumah lagi. Tampaknya ia sedang berusaha menggugurkan bayi yang dikandungnya.”
“Rasanya aku ingin lari dari sel ini. Rasanya aku ingin segera bertemu dengan dia dan mengatakan agar tabah.”
“Ia jadi bahan gunjingan orang.”
“Semoga hatinya kuat menghadapi kenyataan ini......”
“Rasanya ia tidak kuat.”
“Tolong temui dia. Katakan kepadanya, biarlah bayi itu lahir karena akulah ayahnya.”
“Ia tidak mau melahirkannya karena bayi itu ada dalam rahimnya disebabkan dosamu. Ia benci kepadamu sekarang.”
“Katakan kepadanya, sebentar lagi aku akan bebas dan bertobat. Katakan padanya setelah aku bebas kemudian aku mengawininya. Katakan kepadanya aku ingin hidup baik-baik, terhormat dan mampu memberi nafkah keluarga.”
“Apakah Maimunah percaya pada pesan ini?.
Hatinya sudah tertutup raput untukmu. Tidak ada celah sedikitpun di hatinya. Ia teramat benci kepadamu. Juga dendam.”
Sesaat Jingga termenung mendengar ucapan itu.
“Aku menyesal......,” ucapan lirih.
“Tidak ada gunanya penyesal itu.”
“Aku berdoa semoga Maimunah mau memberikan maaf. Aku berdoa semoga Tuhan melindungnya dan menanti hingga aku bebas.’
“Doa anak manusia yang penuh dosa tidak akan di dengar Tuhan.”
Lelaki itu menghela nafas panjang. Hatinya terasa perih.
“Pada saat seperti ini. Rasanya aku ingin lari dari penjara ini dan mencium kaki Maimunah......”
“Memang sebaiknya kau harus segera memohon maaf terhadapnya Maimunah. Sebelum dia bunuh diri kau sudah harus mencium kakinya.”
Kata-kata itu hanya membuat lelaki itu semakin sedih, semakin menyesali perbuatannya terhadap Maimunah di tenagah laut.
“Bantu aku lari dari sel ini, Alang. Bantu aku,” tiba-tiba saja Jingga menyentuh lengan sahabatnya dan mengguncangnya amat keras. “Ayo bantu aku melarikan diri dari sini dan mencium kaki Maimunah. Ayo bantu aku. Bawakan gergaji besi bair aku potong jeruji ini!”
Berkali-kali Jingga mengguncang lengan sahabatnya. Berkali-kali suaranya terdengar bergaung.
“Tidak, Jingga!. Tidak mungkin kau melarikan diri!’ sahabatnya mecegah.
“Tapi aku tidak tahan tersiksa oleh perasaanku sendiri!. Aku tidak tahan lagi. Aku menyesal!”
“Kalau kau melarikan diri, kau akan dikejar-kejar petugas penjara. Timah panas tidak akan melukai dirimu, tapi anjing-anjing pelacak akan mencabik-cabik dirimu. Kau akan mati mengganaskan!”
Sesaat lelaki yang sudah berlumur dosa itu menekur.
“Jangan berusaha lari. Jangan kabur, kau akan mati!” imbau sahabatnya lagi.
“Tapi aku tidak sabar lagi untuk meminta maaf dan mencium kaki Maimunah!”
“Bersabarlah sampai kau bebas kemudian yang pertama kau lakukan adalah menemui Munah.”
Lelaki itu menekur lagi, menyesal dirinya.
“Aku memahami persaanmu, tapi bersabarlah sampai saatnya kau bebas!”
“Tolong juga Munah baik-baik!”
“Ya, aku akan selalu memperhatikannya dari jauh!”
“Jangan biarkan dia bunuh diri!”
“Ya!. Aku paham kau sangat mencintainya.”
“Akupun beri tahu, bahwa saat yang mnederita tidak hanya Maimunah!” tambang Alang lagi.
“Siapa lagi yang menderita?”
“Hampir seluruh warga kita!”
Semua warga desa?. Kenapa mereka harus ikut menderita?. Apa hubungan dengan Maimunah dan aku ?”
“Kau harus menyedari, bahwa apa yang kau lakukan terhadap Munah adalah dosa yang amat besar. Apalagi dosa itu kalau lakukan di tengah laut....”
“Ya, aku sadar sekarang, bahwa dosaku amat besar kepada Munah!, sahut Jingga dan menekur.
“Tidak hanya terhadap Munah, tapi terhadap Tuhan.”
Lelaki yang bergeling dosa itu menghelan nafas panjang.
“Karena dosamu yang sangat besar dan amat sukar dimaafkan, Tuhan marah. Tidak hanya Tuhan, tapi juga laut dan makhluk air sangat benci kepadanya.”
Panjang lebar sahabat lelaki itu bercerita tentang warga desa yang diserang wabah penyakit, perempuan hamil kerguguran, ternak-ternak mati, ikan di laut susah ditangkap, bahkan badai serta ombak besar sering terjadi akhir-akhir ini. Dr. Husnahpun sangat sibuk mengadapai pasien yang amat banyak. Tidak hanya itu, seorang murid SD kemanakan Jingga sendiri, disambar buaya dan tidak seorangpun yang mampu menolongnya, hingga bocah itu akhirnya mati. Semua itu bala dari Tuhan sebagai akibat dosa yang dilakukan Jingga terhadap Munah di tengah laut.
“Bila warga desa kita diserang wabah penyakit, akukah penyebabnya?”
“Ya!. Karena dosamu terhadap Maimunah!”
Lelaki itu menghela nafas panjang. Ia benar-benar menyesal sekarang. Menyesal telah menyebabkan Munah hamil kemudian sangat menderita. Menyesal telah menyebabkan bala dari Tuhan turun di desa itu.
“Oh, Tuhan. Ampuni aku!” lama lelaki itu menekur.
Karena sahabat kentalnya pamit untuk meningglkan penjara itu, Jingga titip pesan :
“Bantulah apa yang dapat kau lakukan untuk maimunah!”
“Tentu!”
“Jangan biarkan Munah bunuh diri!”
“Tentu!”
“Katakanlah aku masih sangat mencintainya. Katakanlah aku akan mencium kakinya kalau aku bebas nanti, kemudian menikah dan menjadi suami yang baik!”
“Akankah menjadi kenyataan apa yang kau katakan?. Percayakah Munah pada kata-katamu?”
“Mudah-mudahan pintu hatinya masih terbuka untukku!”
Sahabat kental Jingga pamit, tapi sebelum langkahnyua bergerak, tiba-tiba terdengar petir menggeletar amat keras, bumi seakan berguncang, seluruh alam kaget. Jingga dan sahabatnya juga kaget.
Anginpun tiba-tiba berhembus amat kencang, meluruhkan daun-daun pepohonan. Bahkan ranting-ranting pohon patah dan saraang burung pun ikut terhempas ke tanah. Kasihan anak-anak burung itu terdengar mencericit di antara desau anghin dan hujan deras yang mendadak tercyrah dari langit.
“Kau dengar petir itu, Jingga?,” tanya Jingga kentalnya.
“Ya, amat keras!”
“Kau rasakan bumi yang bergoncang?”
“Ya, hujan amat lebat, tidak pernah seperti ini sebelumnya.”
“Petir, badai dan hujan yang amat lebat selalu datang tiba-tiba. Di laut pasti akan lebih parah lagi. Ombak pasti sangat besar. Siapa yang berani melautkalau keadaan seperti ini terus dari ke hari?. Keluarga nelayan akan banyak yang kelaparan kalau cuaca seperti ini reus menerus. Semua itu bukan kebiasaan alam semata-mata, tapi pasti ada sebabnya kau tahu apa sebabnya?”
“Tuhan murka kepadaku. Begitu?”
“Ya!”
Jingga mebghela nafas panjang. Ia amat sedih. Hanya karena dosa terhadap Maimuinah, hampir seluruh warga desa di pantai yang menghadap Selat Malaka itu ikut merasakan akibatnya. Lihatlah, tidak satupun nelayan yang berani berangkat ke lautkarena angin kencang dan ombak terlalu besar. Para nelayan hanya duduk termenung di beranda rumahnya memandang hujan deras yang terus mambasahi bumi. Udara pun terasa dingin sekali.
******
S
|
UDAH berhari-hari nelayan di desa yang terletak di pinggir laut itu tidak pergi ke laut karena hujan deras dan ombak teramat besar serta badai yang tidak kunjung reda. Udara yang amat dingin menyebabkan mereka tidur lelap. Lebih baik tidur amat nyenyak dari pada duduk merenung-renung. Lebih baik tidur dan mimpi teramat indah, hingga pagi.
Tapi tidak satu pun menyadari bahwa badai yang terus berlangsung di desa itu merupakan tanda-tanda, bahwa malapetaka yang amat dahsyat akan terjadi disana. Tidak seorang pun menyadari, bahwa burung gagak hitam berkali-kali terbang rendah mengintari desa itu dan mengepakkan sayapnya amat keras serta berkoak-koak, merupakan peringatan, bahwa penghuni desa itu harus bersiap-siap mengahadapi bencana yang amat mengerikan.
Dini hari, ketika seluruh warga desa itu sedang tidur lelap, tiab-tiba terdengar suara menggeletar kemudian terdengar jeritan bersahut-sahutan. Ombak yang biasanya hanya sampai di pantai, malam itu menerpa daratan. Gelombang teramat besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, tiba-tiba saja menghempas hingga jauh ke daratan. Itulah puncak peringatan Tuhan karena dosa seorang lelaki muda di desa pantai itu.
“Tsunami” hanya dalam waktu beberapa detik saja telah memporak porandakan desa yang menghadap ke Selat Malaka. Hanya dalam waktu sesaat saja badai Tsunami yang amat mengerikan itu meruntuhkan puluhan rumah-rumah nelayan. Pohon-pohon yang paling tegar pun ikut roboh di sapu badai dahsyat itu.
Tsunami memang tidak mengenal belas kasihan dan kedatangannya juga tidak pernah di duga sebelumnya. Seperti terjadi di desa itu, badai dahsyat itu tuba-tiba saja menerpa daratan, merobohkan rumah-rumah pondok dan pohon-pohon pun tumbang. Dua orang meninggal belasan luka-luka.
Tapi Tsunami itu seperti tahu, rumah siapa yang harus dihancurkan lebih dahulu sebelum puluhan rumah lainnya ikut rata dengan tanah. Rumah yang pertama kali roboh adalah rumah yang biasa dihuni Jingga. Rumah itu roboh dan benar-benar rata dengan bumi. Ayah dan ibu Jingga tertimpa tiang-tiang penyangga dan atap rumah.
Jeritan nyaring minta tolong pertama sekali juga terdengar dari rumah itu. Semua penghuni rumah itu mengalami luka-luka parah karena tertimpa bangunan rumah yang roboh. Tapi jeritan nyaring itu lenyap karena Tsunami yang menggelegar. Tidak seorang pun datang menolong. Apalagi semua warga desa itu, mengalami hal yang sama, karena badai itu merata di kawasan pantai itu.
Dan sebelum bagai ganas itu menerpa, Maimunah tidur amat gelisah. Meskipun ia berbaring sejak sore, tapi sedetik pun ia memejamkan mata. Bayang-bayang hitam selalu menghantui dirinya hampir sepanjang malam. Ia tetap tidak ingin melahirkan bayi haram yang kini ada dalam rahimnya. Bahkani ia masih sempat meletakkan sebuah kendi penuh berisi air tepat di atas perutnya, biar bayi yang dikandungnya hancur. Biar tidak sempat lahir ke dunia.
Sepanjang malam Munah hanya mampu membalik ke kanan dan ke kiri, atau menatap langit-langit. Namun kemana pun ia memandang, yang selalu tampak di pelupuk matanya adalah bayang-bayang hitam yang amat menakutkan.
Ketika miring ke kiri yang tampak adalah mahkluk serba hitam, bertubuh besar dengan palu godam di tangannya dan siap memukul kepalanya. Bila miring ke kanan yang tampak adalah burung gagak raksasa yang kukunya amat runcing dan setiap saat untuk menerkam dan mencabik-cabik dirinya.
Apalagi ia memandang langit-langit rumah, yang tampak adalah pohon tumbang yang menghimpit dirinya hingga diri sesak.
“Oh, aku ingin pohon itu menimpa perutku, biar bayi ini hancur. Bair bayi ini mati !” katanya seorang diri di malam sepi.
Ketika itulah, ketika Munah sedang gelisah, tiba-tiba mendengar suara menggelegar kemudian ia merasa disiram air. Dan air membasahi dirinya terasa asin, karena air itu memang air laut yang dilontarkan oleh gelombang Tsunami yang sedang murka.
Hanya beberapa detik kemudian tiang rumah itu roboh. Air laut terus dibawa gelombang jauh ke darat, bahwa desanya sedang dilanda Tsunami yang amat mengerikan.
Takdir Tuhan memang telah terjadi sedemikian rupa. Di tengah malam itu, badai Tsunami telah menerpa desa itu dan rumah pertama yang roboh adalah rumah Jingga, biang kerok perbuatan dosa itu.
Kasihan, warga lainnya yang tidak berdosa, ikut merasakan akibat dari dosa itu. Rumah warga yang tidak berdosa itu ikut rata dengan tanah. Yang luka-luka karena tertimpa bangunan yang runtuh juga banyak.
Seperti halnya yang dialami Maimunah, di tengah malam itu rumahnya diterpa badai Tsunami dan roboh. Maimunah ikut tertimpa kayu-kayu penyangga atap rumahnya. Sebuah kayu balok menimpa sebagian perutnya. Di tengah malam itu terdengar jeritan Maimunah yang nyaring. Bila ibunya berlari, tubuh Maimunah tampak terhimpit kayu-kayu bangunan rumahnya. Dan dilantai terlihat banyak darah. Air laut yang terbawa oleh badai Tsunami menjadi mereka karena bercampur dari dari tubuh Maimunah. Dan darah yang mengucur todak hanya berasal dari luka-luka akibat tertimpa kayu bangunan rumah, tapi berasal dari rahimnya. Bongkohan kayu itu teramat besar menghimpit perut Munah dan hempasannya juga teramat keras. Itulah yang menyebabkan kandungan hancur dan gugur.
Tsunami yang menerjang desa dipinggir pantai yang menghadap ke Selat Malaka itu memang membawa korban jiwa, merobohkan puluhan rumah serta pohonm-pohon, tapi juga hikmahnya amat besar bagi seorang perempuan bernasib malang bernama Maimunah yang sedang hamil muda. Kandungan Maimunah gugur.
Hanya beberapa detik saja badai Tsunami mengamuk di desa itu, tapi kerugian yang harus di alami warga desa itu teramat besar, padahal semua warga desa itu keadaan hidupnya amat sederhana dan pas-pasan.
Belasan warga yang mengalami luka-luka bergelimpangan di Puskesmas untuk mendapatkan perawatan dari Dr. Husnah serat dua orang pembantunya. Laki-laki, perempuan, anak, bahkan bayi ikut menjadi korban badai ganas itu. Sebagin besar luka-luka yang dialami mereka karena tertimpa bangunan rumah yang roboh.
Seorang perempuan muda juga ikut terbaring di Puskesmas itu dan mengalami pendarahan, tapi bukan dari akibat terhimpit runtuhan rumah. Darah yang amat banyak mengucur berasal dari rahimnya. Muimunah mengerang kesakitan bersama korban-korbasn lainnya.
“Anda terlalu banyak mengeluarkan darah !,” ujar Dr. Husnah setelah memberikan perawatan kepada belasan orang.
“Biarlah saya mengalami banyak pendarahan, Bu Dokter. Bairlah saya mati!,” sahut Munah dengan nada putus asa. Anda masih dapat dirawat dan sembuh.”
“Saya sudah rela mati, Bu Dokter!”
“Saya akan merawat andan dengan baik karena saya juga seorang perempuan seperti anda. Mungkin suatu saat saya juga akan hamil seperti anda.”
“Oh.........,” Munah mengeluh panjang. Dan ia tidak hanya menyampaikan keluhannya kepada dokter muda itu, tapi juga kepada Tuhan.
“Oh, Tuhan. Kenapa tidak kau cabut saja nyawaku?. Kenapa badai baru saja yang menerjang desa ini tidak menyeret diriku ke laut dan mati?,” Munah mengeluh panjang.
Dokter muda yang dilahirkan dikawasan Sungai. Mati itu heran ketika memperhatikan gerak bibirnya.
“ Bayi anda tidak dapat diselamatkan!,” ujar dokter yang belum setahun di tempatkan di Puskesmas itu tapi harus menghadapi tugas yang teramat berat. Wabah penyakit menyerang sehingga volume pasien meledak dan kini badai Tsunami menerjang pula hingga menimbulkan korban tewas dan luka-luka yang amat banyak jumlahnya. Tapi dokter yang berasal dari keluarga Melayu itu tidak banyak mengeluh. Ia tetap sabar dan kerasan di tugaskan di desa nelayan yang terletak di selat Malaka itu.
“ Bayi saya tidak dapat tertolong?” ulang Munah seperti tidak percaya pada ucapan dokter muda itu.
“ Ya!. Anda mengalami keguguran!”
“ Keguguran?” ulang Munah lagi.
“ Ya!”
“ Artinya bayi saya hancur?. Hancur tertimpa
Runtuhan rumah saya?”
“ Ya!”
“ Bayi saya mati?”
“ Ya!”
“ Jadi dalam rahim saya tidak ada lagi bayi!”
“ Ya!”
“ Rahim saya bersih?”
“ Tentu!”
“ Syukur pada-Mu Tuhan. Engkau telah mengabulkan doaku. Badai Tsunami yang ganas dan mengerikan ternyata juga membawa kebaikan bagiku......”
Dokter muda itu amat heran melihat sikap pasiennya. Dokter itu amat heran mendengar kata- kata yang diucapkannya.pasiennya bersyukur karena mengalami keguguran. Padahal setiap perempuan mendambakan keturunan. Setiap perempuan pasti ingin hamil dan melahirkan.
“ Sikap anda sangat aneh!” cetus dokter muda itu.
“ Anda justru bersyukur bayi anda tidak tertolong.”
“ Tentu, dokter. Karena saya memanng tidak ingin melahirkan. Karena saya tidak ingin bayi ini hidup. Saya ingin bayi itu mati. Bahkan saya selalu berdoa, bairlah saya mati pada saat melahirkan bayi itu!”
“Kenapa?”
“Kehadirannya dalam rahim saya karena dosa Bu Dokter!” Munah berkata lugu.
“Dosa. Dosa macam apa?” dokter muda itu menatap pasiennya penuh tanda tanya. “Sebesar apa dosa itu?”
“Sebesar isi dunia!. Bahkan lebih lagi.”
Dokter muda itu melihat ada cairan benang bergulir di pipinya yang kemerahan. Cantik gadis ini, tapi perjalanan hidupnya penuh dengan liku-liku dan seperti penuh belang hitam serta duri-duri.
“Dokter seorang perempuan seperti saya juga. Andainya dokter mengalami saya, pasti dokter tidak ingin melahirkan bayi yang kehadairannya karena dosa seorang laki-laki.......”
Dokter baru saja beberapa bulan ditempatkan di pantai itu amat lelah dan panet karena harus mmberikan perawatan kepada belasan orang yang luka-luka, tapi dengan sabar ia mendengarkan semua keluhan yang diuapkan seorang pasien bernama Maimunah yang tidak saja mengalami luka-luka tapi juga karena keguguran.
“Saya mengerti perasaan anda!” sahut dokter itu ketika Munah mengatakan, bahwa ia hamil karena dosa seorang lelaki muda bernama Jingga yang kini mendalam dalam penjara.
“Bagaimana seandainya dis bebas dan mengajak menikah?. Apalagi lelaki itu sangat mencintai anda!,” dokter itu menatap pasiennya.
“Demi Tuhan, saya harus menghindar. Saya harus menjauhi!”
Ada perasaan iba yang amat besar dalam hati dokter muda itu, sebab dia adalah seorang perempuan. Diaman pun perasaan sesama kaum Hawa selalu sama, tidak ingin melahirkan bayi karena dosa. Dan tidak ingin menikah dengan seorang laki-laki yang arah hidupnya gelap gulita.
“Di mana anda akan bersembunyi kalau dia bebas nanti?”
“Saya akan pergi jauh!”
“Kemana?”
“Ke ujung langit pun saya rela, biar tidak bertemu lagi dengan seorang laki-laki yang jalan hidupnya penuh dengan duri!”
Sesaat Munah yang masih terbaring itu menekur.
“Ibu saya seorang bidang pengantin dan juga pengusaha catering. Ibu saya butuh pembantu. Tinggallah bersama keluarga saya. Pintu rumah ibu selalu terbuka untuk seorang perempuan seperti anda yang mengalami nasib malang.”
“Terima kasih, dokter, hati Bu Dokter teramat mulia”
“Saya juga seorang perempuan seperti anda!”
“Dokter terlalu panet dan lelah hari ini karena penduduk yang luka-luka sangat banyak!”
“ Ya, lelah dn panet, tapi saya senang dengan pengabdian seperti ini. Sebentar lagi bantuan medis akan datang dari Kabupaten. Mungkin juga bantaun makanan serta obat-obatan dari Pemkab.”
“Semua warga disini adalah nelayan yang amat lugu dan selalu takut kepada dosa. Jalan hidup para nelayan selalu lurus, tapi Tuhan menurunkan berbagai bentuk bala, wabah penyakit, ternak mati, ibu-ibu keguguran dalam waktu bersamaan, hasil dari laut tidak memadai Tsunami yang amt ganas dan meminta korban yang tidak sedikit. Apakah Tuhan sangat murka karena dosa saya?”
“Bukan dosa anda, tapi dosa laki-laki itu!”
“Kasihan warga desa yang harus ikut merasakan hukuman Tuhan.......”, tiba-tiba saja air makin deras berderai di pipi Munah.
“Sudahlah, jangan pikirkan hal itu!”
Munah terisak. Dokter itu masih menatapnya amat dalam. Dokter itu semakin iba kepada pasinnya.
“Pikirkan baik-baik, tinggallah bersama ibu saya di Sungai Mati. Anda akan dapat hidup senang disana bersama ibu sama......”
“Terima kasih, dokter!”
“Bagaimana?. Tinggalkan desa pantai ini. Mulailah kehidupan baru bersama ibu saya!”
“Saya sudah punya pilihan. Saya sudah punya tempat tujuan yang jauh bila Tuhan memperkenankan dan mudah-mudahan akan memberikan warna baru dalam kehidupan saya....”
“Dimana?”
“Malaysia!”
“Sebagi te-ka-i ?”
“Ya!”
“Semoga Tuhan memperkanankan rencana itu!”
“Sudah sangat lama saya merintis jalan ke arah itu. Hanya tinggal menunggu waktu. Saya harus meninggal desa kelahiran saya walaupun bau amis, jorok dan penuh kenangan pahit, tapi saya sangat mencintai desa ini.......”
“Tentu. Tiap orang harus bersikap seperti itu terhadap tanah kelahirannya.”
Dokter muda yang wajahnya cantik dan semampai itu memang tampak amat lelah, tapi tidak mengeluh, karena itulah bentuk pengabdiannya.
Hari-hari berikutnya ia tidak terlalu lalah lagi karena bantuan tenaga dokter dan enam orang perawat segera datang dari pemerintah Kabupaten. Bahkan Bupati dan aparat terkait lainnya juga segera datang meninjau daerah bencana korban badai Tsunami yang amat ganas itu. Obat-obatan dan tenaga medis adalah bantuan pertama datang, menyusul makanan dalam bentuk mei instant dan juga tenta-tenda darurat untuk para korban yang rumahnya runtuh dan tidak dapat di huni lagi.
Belasan ibu-ibu dari kelompok Dharma Wanita, dan istri-istri karyawan BUMN, juga dari organisasi wanita lainnya ikut hadir di desa pantai itu. Pejabat silih berganti datang ke desa itu.
Pada kesempatan seperti itu biasanya juga hadir dari kalangan LSM, relawan, partai politik, anggota DPR dan banyak lagi. Bantuan terus mengalir. Bapak Menteri juga turun ke daerah bencana itu.
Desa pantai yang terletak di bibir Selat Malaka itu selama ini adalah desa yang sepi namun tenteram, kini tiba-tiba menggeliat di kunjungi pejabat, anggota wakil rakyat, LSM, berbagai organisasi wanita dan juga puluhan wartawan dari media cetak maupun elektronik. Desa itu menjadi amat terkenal dan banyak disebut-sebut orang, elit politik pun ikut berbicara atas nama korban-korban bencana.
Rumah-rumah yang kokoh, tempat ibadah yang rusak, ibu-ibu menangis di sisi reruntuhan rumahnya, tampak dilayar kaca. Pejabat yang memberikan bantuan, serat ibu-ibu Dharma Wanita yang mengalami korban bencana itu juga terlihat dilayar TV. Apa lagi dari kalangan elit politik juga tidak ketinggalan ambil muka dengan memberikan sumbangan mie instant.
Tingkat elit politik memang juga begitu, pada saat terjadi bencana segera hadir di sana dan memberikan bantuan untuk menarik simpati rakyat.
Ada rasa haru dari hati ratusan warga nelayan yang menerima uluran tangan itu. Semua berterima kasih kepada pihak yang amat peduli kepada nasib malang yang mereka alami. Wajah-wajah nelayan bersama keluarganya juga ikut numpang di layar kaca.
Yang tidak melihat desa itu di kunjungan sekian banyak pejabat, LSM, relawan, dermawan dan organisasi wanita, hanya seorang lelaki yang kini masih mendekam dalam penjara, yakni Jingga.
Pada kesempatan pihak Pemda Kabupaten memberikan bantuan pangan itulah muncul kepermukaan rencana untuk mengadakan berdoa bersama tolak bala dan jamu luat.
“Saya menerima laporan dari berbagai kalangan, bahwa desa ini dilanda wabah penyakit, produksi ikan menurun, pantai menjadi sangat koto, tumnpahan minyak ada dimana-mana, ternak banyak yang mati, dan terakhir di desa ini dilanda gelombang Tsunami yang ganas itu. Karena itu saya menghimbau pada alim ulama dan tokoh masyarakat serta cerdik pandai untuk berkumpul dan melakukan doa bersama untuk menolak bala dan keselamatan seluruh warga desa!” ujar yang mewakili pihak pemerintah propinsi ketika memberikan sambutannya.
“Juga jamu laut, Pak!. Bair semua hantu laut, jembalang air, syetan dan makhluk halus lainnya tidak melihat kami di sini!,”ujar salah seorang tokoh masyarakat.
“Ya!. Kita harus mengadakan jamuan laut!”, sahut puluhan warga, terutama yang rumahnya dirobohkan gelombang Tsunami.
“Saya mendukunga sepenuhnya!,” sahut salah seorang lelaki berpakaian safari.
“Untuk jamuan laut, saya akan menyambungkan seekor kerbau!” sambut seorang lelaki berpakaian berpakaian rapi yang tampak seperti pengurus partai, tentu saja untuk menarik simpatik para pejabat dan masyarakat.
“Saya menyumbang beras secukupnya,!” sambung salah seorang dermawan yang enggan menyebutkan identitasnya.
Tepuk tangan terdengar gemuruh ketika seseorang yang mewakili Bapak Gubernur menyerahkan untuk mengadakan doa bersama dan ucapan jamuan laut demi untuk mengusir segala makhluk jahat dan segala wabah agar tidak lagi menyerang desa itu.
Sekali lagi desa pantai yang menghadap ke Selat Malaka itu menggeliat karena upacara jamu laut itu berlangsung amat meriah. Puluhan perahu nelayan dihiasi, rebana un ditabuh. Yang datang tidak hanya alim ulama, guru mengaji, tokoh masyarakat, tapi juga pejabat pemerintah. Puluhan wartawan juga hadir. Puluhan kali lampu blitz dari berbagai jenis kamera milik wartawan menyala untuk mengabadikan upacara pemotongan kerbau yang dilaksanakan oleh seorang ustadz yang biasa melakukan pemotongan hewan Qurban dan Aqiqah.
Katika itukah kamera TV dari berbagai stasiun media elektronik menyorot para alim ulama dan para ustadz melanjutkan doa-doa yang amat syahdu. Semua warga, semua yang hadir amat berharap agar desa itu tidak lagi tertimpa bala yang tidak putus-putusnya.
Dr. Husnah juga hadir, di sisinya duduk Maimunah yang tidak mempu membendung air matanya. Matanya yang tidak berkedip ketika kepala kerbau dilemparkan ketengah laut. Di tengah laut itulah Jingga berbuat dosa yang amat sukar dimafaatkan oleh Maimunah. Sungguh perilaku yang tak akan pernah terlupakan seumur hidup Maimunah. Syukurlah benih-benih yang ditaburkan seorang lelaki yang kini masih mendekam dalam penjara tidak ada lagi dalam rahim Maimunah. Wajah Maimunah tidak lagi murung. Ia tidak lagi dikejar-kejar rasa takut, rasa berdosa dan juga bayang-bayang hitam yang mengerikan. Maimunah tidak lagi merasa berjalan diatas duri-duri yang tajam. Iapun bersyukur dan amat berterima kasih kepada Dr. Husnah yang telah menolongnya dan merawatnya ketika mengalami pendarahan.
Tuhan masih memperkenankan Maimunah hidup lebih lama tanpa siksa batin yang berkepanjangan. Ia tidak lagi merasa dalam alam yang gelap gulita. Sekarang sudah ada seberkas sinar di depannya. Ia tidak lagi merasa terbelenggu.
******
S
|
EPERTI sebuah keajiaban, usai kepala kerbau diturunkan ke laut, usai tabur bunga dan doa dilantunkan,Ombak laut si Selat Malaka itu tampak tenang, bahkan seperti tak bergerak. Yang terlihat hanya pernik-pernik buih yang berkilau di terpa matahari pagi.
Laut yang kotor pun mendadak terlihat bening. Tumpahan minyak mendadak lenyap. Ikan-ikan yang selama ini menghilang dan menghindar ke tengah mulai menampakkan diri dan berenang ke tepian. Angin pun tidak lagi berhembus kencang, tapi berhembus sepoi dan terasa segar di tubuh.
Tentu saja tidak ada lagi gelombang besar. Tentu saja tidak ada lagi angin ribut. Tentu saja tidak ada lagi warga yang terkena wabah. Tidak ada lagi gelombang Tsunami yang merobohkan puluhan rumah di desa pantai itu. Sebab tidak ada lagi dosa dalam rahim seorang perempuan desa itu yang bernama Maimunah. Gumpalan dosa itu sudah terkubur. Namun lelaki yang menyebabkan dosa itu terjadi, masih mendekam dibalik tembok penjara. “Ya Robbi. Biarkan selamanya dia mendekam disana. Biarkan dia diserang penyakit typhus dan mati di penjara. Aku tidak ingin bertemu lagi dengannya!” itulah doa Munah dalam hati.
Seperti mukjizat, desa pantai itu tidak lagi menyebarkan bau busuk. Tidak tampak lagi kotoran di sepanjang pantai itu, apalagi yang namanya tahi anjing atau tinja. Desa pantai itu benar-benar bersih. Karena diri Maimunah juga kembali bersih dari gumpalan dosa. Rumah yang robohpun sudah dibangun kembali dan warga amat bersyukur berbagai pihak ikut peduli memberikan bantuan semen, batu bata, seng, papan dan banyak lagi.
Warga di sepanjang pantai itu memang tidak perlu direlokasi. Semua pasti menolok bila dipindahkan, sebab semua nelayan itu sangat mencintai desa kelahirannya. Mereka tetap leluasa menatap laut dan memandang Selat Malaka. Untuk apa dilakukan relokasi kalau badai Tsunamai tidak akan pernah datang lagi selamanya. Untuk apa warga dipindahkan ketempat lain kalau desa di sepanjang pantai itu tenteram serta jauh dari segala penyakit dan bala?. Selain dana memindahkan pemukiman nelayan itu amat besar, juga hasilnya juga sia-sia. Sebab warga akan tetap memilih bertahan di desa leluhurnya yang sudah dihuni sejak nenek moyang mereka. Apalagi disaat krisis seperti ini, dana akan sulit dicari. Kalaupun dana diperoleh dana pasti akan menjadi sumber korupsi. Sebab mental pejabat di negeri ini masih tetap seperti rongsokan. Duit negara, duit rakyat seenaknya digeragoti . tidak perlu untuk masyarakat kelas bawah atau pengungsi. Untuk negara yang sebenarnya adalah uang rakyat memang paling nikmat untuk di gerayanginya.
Puluhan penduduk desa yang rumahnya dirobahkan badai Tsunami kini sudah dibangun kembali. Maimunah juga ikut bekerja keras menegakkan rumahnya yang roboh.
Seperti umumnya orang-orang Melayu bila medirikan rumah, diatas tiang itu digantungkan setandan pisang emas, kelapa tumbuh, buah kundur, rincian tepung tawar, lapik warna warni serta bendera. Bair penghuni rumah-rumah itu terhindar dari bala , mendapatkan kemurahan rezeki serta selalu sehat.
Dulu sebelum badai Tsunami mengamuk di desa itu, ketika masyarakat mendirikan rumah juga berbuat hal yang sama. Pada awalnya, selama bertahun-tahun penghuni rumah-rumah di sepanjang pantai itu, selalu terhindar dari bencana dan malapetaka. Jauh dari segala penyakit.
Tapi bukannya syarat-syarat mendirikan rumah itu tidak lagi ampuh menoloka penyakit dan bala hingga rumah yang jumlahnya puluhan disapu bersih oleh gelombang dahysat itu. Semua itu dosa yang dilakukan oleh lelaki muda bernama Jingga di tengah laut. Padahal bicara jorok atau porno amat dilarang di tengah laut. Apalagi yang dilakukan adalah dosa yang teramat besar dan sukar dimaafkan. Ia menodai dan sekaligus mengotori seorang gadis yang amat di cintanya di tengah laut, di atas sebuah perahu bermotor. Pastilah laut dan semua mahluk air amat murka.
Pada hari-hari mendatang, pasti rumah-rumah milik nelayan di sepanjang pantai itu tidak pernah lagi di terjang badai dahysat. Maling pun tidak akan memasuki kawasan pantai itu. Ular dan binatang berbisa lainnya akan takut memasuki rumah penduduk. Apalagi sudah dilakukan doa bersama dan jamu laut yang amat khidmat.
Wajah-wajah ceria dan gembira tampak di wajah para nelayan ketika pada hari-hari selanjutnya setelah jamu laut itu, setelah tidak ada lagi gumpulan dosa di rahim Maimunah, mereka mendapatkan ikan lebih besar dari hari-hari sebelumnya. Anak istri mereka menyambut senyum ceria dan syukur kepada Tuhan. Tiap kambing melahirkan dua ekor anak, ayam pun bertelur lebih selusin.
Di Puskesmas tempat Dr. Husnah di tugaskan juga benar-benar sepi. Tidak ada satupun orang yang datang untuk berobat. Seminggu dokter muda itu tidak kedatangan pasien hingga ia hanya duduk membaca majalah atau bercanda dengan dua perawatnya. Desa di tepi pantai itu benar-benar bersih.
*******
S
|
ELAMAT tinggal emak, selamat tinggal ayah dan adik-adik. Selamat tinggal desa kelahiranku tercinta. Air mata berderai di pipi Maimunah ketika Ferry yang ditumpanginya bersama belasan TKI lainnya mulai bergerak meninggalkan pelabuhan kecil itu menyeberang lautan menuju port Kelang di Malaysia. Ia melambai-lambaikan tangan kepada emak dan kaum kerabat yang mengantarnya kepelabuhan.
Aku akan selalu merundukan desa ini. Aku akan selalu merindukan debur ombak yang tidak pernah berhenti. Aku akan selalu rindu kepada kawan-kawan bermain ketika bocah berenang di pantai. Lama Maimunah berkomat-komit ketika ferry itu mulai menambah kecepatannya meninggalkan pantai.
Sehari sebelum ia berangkat menuju negeri serumpun Melayu itu, ia masih sempat pamit kepada kaum kerabat dan kawan-kawan dekatnya. Bahkan ia sengaja menyempatkan diriuntuk pamit kepada Dr. Husnah dan puskesmas itu benar-benar sepi. Tidak ada lagi penduduk yang sakit, sehingga Maimunah dan dokter muda itu sempat ngobrol panjang lebar. Dokter kelahiran Sungai Mati itu memberikan nasehat panjang lebar, agar Munah ekstra hati-hati di negeri orang. Mungkin keadaan di sana tidak seindah yang dibayangkan.
“Yang paling penting, jangan tinggal shalat lima waktu dan membaca Qur’an karena penduduk negeri itu ummnyan adalah muslim yang sejati!”, tutur dokter muda itu.
“Insya Allah, saya akan melakukannya!.”
“Mudah-mudahan Tuhan melindungimu dan majikanmu akan sayang kepadamu serta tidak akan berbuat sewenang-wenang?”
Munah menggangguk dan mengaminkan.
“Hati-hati kalau mengirim uang dari negeri itu untuk orang tua!, lanjut dokter muda itu memberi nasehat.
“Itulah yang saya pikirkan, bagaimana caranya agar selamat mengirim uang gaji saya untuk emak.” Keluh Munah.
“Kenapa harus susah?. Kirimkan saja ke rekening saya, mudah-mudahan akan sampai ke tangan ibu mu secepatnya. Dokter muda itu memberikan nomornya di salah satu Bank terbesar.
“Terima kasih. Sepertinya saya selalu mendapatkan kemudahan dari Tuhan.”
“Mudah-mudahan untuk selanjutnya Tuhan akan memberimu kemudahan dan pelindungan.”
“Amin!.” Munah mencium tangan dokter muda yang hatinya amat mulia itu.
Bila Munah sudah diatas Ferry dan menmyeberangkannya ke negeri semenanjung itu, iapun teringat dokter muda yang sudah merawatnya ketika ia mengalami pendarahan.
Munah banyak berpamitan kepada kawan dan kerabat dekat, tapi terhadap Jingga, ia sama sekali tidak ingin bertemu. Jingga tiak perlu tahu ia bergi jauh dan lama di negeri orang.
“Biarkan dia mendekam di penjara lebih lama. Biarkan mati disana!,” geruytunya dalam hati. Ia memang terhadap Jingga tidak usah bebas lagi. Kalaupun bebas biarlah di tabrak mobil. Atau dikeroyok massa ketika melakukan pemerasan terhadap sopir truk pengangkat ikan atau sembako. Kalau mungkin biarlah tubuhnya dibakar hidup-hidup oleh massa yang marah karena ulahnya yang meresahkan masyarakat.
Tadi, ketika Munah akan menaiki tangga kapal Ferry ia mendengar suara yang memangil-manggil namanya.
“Munaaaaaah!.Munaaaaaah!. tungguuuuu!.”
Langkah Munah tertegun dan menoleh ke arah datangnya suara yang memanggil namanya. Di kejauhan terlihat Alang, sahabat kental Jingga yang memang selalu berkeliaran di pelabuhan kecil itu. Sabar, bahwa memanggil adalah sahabat Jingga, Munah mempercepat langkahnya dan buru-buru masuk ke dalam Ferry.
“Munaaaaah!. Tungguuuuu!”. Suara itu terus bergema, tapi ia tidak perduli. Ia tidak menoleh lagi, ia benci suara itu. Ia lebih benci lagi kepada Jingga yang sudah menolehkan beling hitam ke rongga hatinya.
Seperti halnya Jingga, Alang juga memiliki hati sekeras baja, iapun sama Jingga, selalu melakukan pemerasan terhadap sopir truk, anak buah kapal ikan atau pedagang di seluruh pelabuhan itu.
Lelaki itu berusaha mengejar Munah dan berusaha menerobos masuk ke kapal. Tapi petugas segera melarangnya. Tentu saja petugas kapal tidak memperkenankan lelaki itu masuk karena tidak memiliki tiket dan posport.
“Saya ingin bertemu Munah! Saya ingin menyampaikan pesan penting kepadanya. Biarkan saya masuk, “ pintanya dan meronta.
Tidak ada jalan lain, petugas kapal segera menghubungi polisi dan dalam waktu beberapa menit saja dua orang polisi segera mengamankan preman yang datang dari pesan lelaki penghuni penjara bernama Jingga.
Ketika kapal Ferry itu melewati pulau Simardan, Munah melambaikan tangannya walaupun di pulau itu tidak ada orang. Sebab pulau itu dan pulau-pulau kecil lainnyadi sekitar Teluk Nibung tampak indah dan Munah tidak akan melihatnya lagi selama dua atau tiga tahun dan muingkin lebih lama, selama ia mengais ringgit di negeri semenanjung Malaysia. Pipinya terasa hangat, tanpa ia sadari air matanya menitik ketika melihat pulau-pulau kecil di sekitar pantai itu, seakan Munah tidak akan pernah kembali dan tidak akan pernah melihatnya.
Tanpa berkedip sepasang mata Munah yang teduh itu menatap laut luas, biru dan tampak seperti tidak bertepi. Pantai Teluk Nibung dan desanya sudah jauh tertinggal. Ferry itu sudah mulai menerobos ombak besar dan terguncang keras. Sebagian penumpang sudah mulai pening karena ombak besar dan angin kencang.
Tapi seorang gadis yang dilahirkan dari keluarga nelayan yang bermukim di pinggir laut, gencang ombak betapi puin amat besar, ia akan mempu bertahan. Sebab ombak dan gelombang adalah sahabat abadi. Lemparkanlah ia ketengah laut, pasti akan mampu berenang ke tepian ia tidak akan pernah tenggelam dan tidak akan pernah mati di laut.
Sama hal dengan Jingga yang masih mendekam dalam penjara, juga seorang anak nelayan yang tanggu. Lelaki itu tidak akan pernah tenggelam di tengah laut, tapi ketika ia mendekam dalam penjara, ia benar-benar pasrah kepada keadaan. Sebab mendekam di penjara sama halnya seperti dalam nereka. Lelaki itu tidak tahan dengan bau kencing dan kotoran manusia di selnya yang sempit. Jingga tidak tahan serangan nyamuk yang menggigit tangan, kaki, hidung, dan pelupuk matanya. Nyamuk-nyamuk itu seakan ingin membunuh seorang lelaki berlumur dosa yang sangat sukar dimaafkan.
Tidak hanya nyamuk yang ingin menghabisi nyawa lelaki itu, kecoa pun menyusup masuk ke celananya. Bahkan lipan ingin menggigit lehernya, untunglah Jingga segera tersentak dari tidur lalu binatang berbisa itu. selama lelaki itu menghuni sel, sudah tiga kali ia membunuh lipan. Karena amat marah, kecoa yang tidak berdosa juga mati ditangannya. Ia tidak ingin satupun binatang yang mengusiknya meskipun hanya kecoa dan cecak, apalagi nyamuk yang terasa pedih menggigit.
Bau kencing dan tinja membuat lelaki itu merasa perutnya mual, tapi lelaki itu merasa dirinya paling berkuasa, merasa di penjara itu dirinya adalah raja. Bila ada narapidana baru, pasti disuruh membersihkan WC, tapi juga disuruh memijit-mijit seluruh badannya.’
Namun lelaki yang paling berkuasa di penjara itu, lelaki yang merasa dirinya raja di sel itu, harus menyerah kepada nyamuk.
Ia jatuh sakit, kepalanya seperti dipukul-pukul dengan palu, tubuhnya menggigil sepanjang malam karena demam tinggi.
Meskipun lelaki itu sedang sakit, tidak seorang pun yang peduli.
Petugas penjara menggiringnya ke klinik LP dan tangan lelaki itu diborgol karena di khwatirksan akan kabur.
Tubuhnya masih menggigil ketika sahabat kentalnya menjenguk dan membawa nasi bungkus dengan lauk ayam goreng, rokok dan kopi.
Sejak menjadi penghuni bui, mana pernah lelaki itu makan dengan lauk ayam goreng dan Gudang Garam, apalagi kopi hangat. Bahkan terlalu sering catu nasinya basi dan terkadang bangai cecak ada didalam nasinya. Itulah lembaga permasyarakatan di negeri yang elok ini.
“Kau sakit, Jingga?,” sahabat kentalnya menatap dengan sedih.
“Ya!. Mimpiku teramat buruk!”
“Mimpi apa?”
“Munah tidak memberiku maaf dan lari jauh!”
“Benar mimpimu, Jingga. Karena Munah memang sudah pergi jauh!”, ujar Alang yang melihat Munah naik Ferry menuju Port Kelang.
“Pergi jauh?. Kemana? Kau melihatnya sendiri?”
“Munah tidak disini lagi. Ia sudah di seberang lautan!”
“Malaysia? Begitukah?”
Sahabat lelaki kental itu menggangguk.
“Kau tidak main-main?. Kau sungguhan?. Kau melihatnya?”
Lelaki didepan sel itu mengangguk lirih. Ia amat iba melihat tubuh sahabatnya kurus menggigil.
Tiba-tiba saja Jingga mencekeram lengan sahabatnya dan mengguncang amat keras. Suaranya menggelegar karena kesal dan marah.
“Kenapa kau biarkan Munah pergi, Alang? Kenapa tidak kau kejar?”
“Aku sudah mengejarnya!”
“Kenapa tidak kau tarikkan tubuhnya dan membawanya pulang?Kenapa tidak kau seret kemari?”
“Munah sudah naik ferry!”
“Kau harus menerobos sampai ke dalam kapal itu dan menyeretnya keluar!” teriak Jingga dan msih mengguncang lengan sahabatnya amat keras. Tubuh Alang terguncang-guncang.
“Aku tidak punya tiket dan posport. Aku dihalangi petugas kapal”
“Kau laki-laki, Alang!. Percuma saja kau membawa pisau belati. Kenapa tidak kau tusuk petugas kapal itu dengan pisaumu?. Kau laki-laki. Kau harus berani. Tusuk saja petigas kapal itu. percuma kau laki-laki!. Percuma kau jadi sahabatku!. Percuma!!!! Percuma!!!!,” teriak lelaki itu menggelegar di rumah penjara itu.
Jingga tidak lagi mengguncang lengan sahabat kentanya, tapi mencekik lehernya hingga sahabatnya sesak nafas dan hampir mati ditangan Jingga. Meskipun ia sedang menderita demam, tapi tenaganya masih kuat. Bila tidak dicegah sesama kawan-kawan penghuni sel itu, Alang akan mati tercekik ditangannya.
”Jangan bunuh sahabatmu!. Jangan bunuh dia!” ujar kawan-kawan sesama narapidana ketika berusaha melepaskan tangan Jingga yang menggepit leher sahabatnya sendiri.
“Kalau kau cekik sahabatnyamu sendiri sampai mati, tidak ada orang lain peduli kepadamu. Siapa lagi yang mengirimimu rokok dan nasi?, ujar seorang penghuni sel itu yhang di vonis du tahun karena merampas sepeda motor dan melukai korbannya dengan piasu sepatu.
Sesaat lagi ia menekur. Ia amat sedih mendengar, bahwa seorang gadis yang amat dicintai sudah berangkat sebagai te-ka-i ke Malaysia.
“Aku khawatir dirinya di negeri orang, Alang!” keluh Jingga.
“tidak usah khawatir. Munah berangkat sebagai te-ka-i resmi. Ia memiliki pasport, ia punya dokumen lengkap!”
“Aku takut Munah dianiaya maniannya!”
“Mudah-mudahan Tuhan melindunginya!”
Aku takut, sungguh aku takut dia diperkosa majikannya. Sebab Munah adalah perempuan dan cantik. Demi Tuhan, aku takut!. Demi Tuhan, aku tidak rela ia bekerja di negeri orang.”
“Salahmu sendiri, Jingga. Kenapa kau tetap jadi preman?. Kenapa kau tidak berusaha mencari pekerjaan lain?. Kenapa kau tetap minum. Kenapa kau tetap mabuk? Itulah yang dibenci Munah.”
“Aku menyesal.........”suara lelaki itu lirih.
“Doakan Munah baik-baik di sana dan pulang degan selamat...”
“Buat apa dia pulang kalau dia sudah rusak?”
“Kenapa rudak?. Apanya yang rusak?”
“Aku takut dia akan jadi pelacur!”
“Jangan beruk sangka begitu, Jingga. Buang jauh-jauh dugaan buruk itu. Munah pergi hanya untuk mengubah nasibnya.”
“Aku tahu, ribuan perempuan menjual diri di sana.”
“Tapi Munah tidak akan begitu. Munah gadis baik-baik dan selalu dekat dengan Tuhannya. Hanya kau dan aku yang selalu jauh dengan Tuhan.”
“Aku tidak ingin kabar buruk tentang dirinya, apalagi kalau sampai ada yang mengatakan ia menjadi pelacur!”
“Tidak !. Munah tidak akan begitu. Di dadanya ada iman yang kukuh, tidak seperti kita yang ada dalam dada kita hanya minuman keras!. Yang ada didada kita hanya dosa!”.
Sesaat lelaki menekur.
“Percayalah,. Munah akan baik-baik disana. Bahkan kudengar ia sudah berjanji akan mengirim uang untuk memperbaiki mesjid. Bukankah itu tanda jiwanya amat mulia dan niatnya suci.”
Kelaki penghuni sel itu termenung lagi. Terbayang dipelupuk matanya serabut wajah Munah yang lembut dan teduh. Bulu matanya lentik, hidungnya kecil dan mancung,bibirnya tipis dan ada lesung pipit di pipinya kalau Munah tertawa. Ia memang amat cantik dan lemah lembut. Sifat keibuan amat menonjol dalam dirinya. Itulah yang membuat Jingga tergila-gila kepada gadis itu, sementara Jingga sendiri adalah seorang preman, sikapnya kasar, pemabuk dan selalu melakukan berbagai pemerasan terhadap sopir truk, pedagang kaki lima dan selalu meresahkan masyarakat.
Seraut wajah cantik itu kini dirindukan lelaki penghuni sel itu.
“Bantu aku, Alang!”, pinta lelaki yang sedang demam itu.
“Bantu?”
“Bantu aku lari dari sini. Aku benar-benar jemu dengan neraka ini!”
“Penjara bukan hotel, Jingga. Pantas kalau kau bulan lagi kau bebas!”.
“Aku tak sanggup lagi, Alang. Aku mau kabur. Dan penghuni seluruh sel ini, aku akan tambah parah. Aku akan mati disini. Demi Tuhan, aku tidak akan mati di penjara. Bantu aku keluar dari penjara ini. Semua penghuni sel ini juga ingin kabur!”.
“Sulit, Jingga. Resikonya terlalu besar!”
“Kau laki-kali!. Ajak Sangkot, Lokot, Si Kolok, Uban, Ucok Tanduk dan kawan-kawan kita lainnya masih banyak lagi. Bawa mereka semua kemari dan sekap petugas penjara itu kalau perlu ikat dikursinya dan ambil kunci sel ini. Tidak sulit kalau kau ajak kawan-kawan kita. Mereka semua pemberani, Alang”.
Sahabat kental itu memikir-mikir. Terlalu sulit untuk menolong Jingga melarikan diri dari penjara itu. meskipun ia mengajak dua puluh orang sesama preman, tapi untuk menghadapi petugas yang bersenjata tidak mudah.
“Aku tidak sanggup, Jingga. Aku tidak sanggjup. Kalau kau melarikan diri, pasti peluru yang akan bicara. Yang lari pasti akan ditembak. Anjing-anjing pelacak akan mencabik tubuhmnu, memakan dagingmu dan kau akan mati!. Bersabarlah sampai saatnya bebas!,” panjang lebar sahabatnya memberikan nasehat.
“Aku sakit, Jingga, aku rindu pada Munah!”
“Kalau kau sakit, aku akan datang lagi membawa obat-obatan. Aku selalu datang menjengukmu disini. Kalau kau menderita, aku akan juga ikut merasakan sakitnya. Tapi untuk membantumu melarikan diri, demi Tuhan, aku tidak sanggup.....”
Kedua lelaki itu menekur. Hari esok mereka akan tetap gelap gulita. Masa depan kedua lelaki itu tetap akan suram.
Tidak hanya Jingga yang merasakan dirinya di sekap dineraka, tidak dia sendiri yang merindukan alam bebas. Semua penghuni sel itu ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan pengab dan bau kencing serta tinja menyebabkan seluru isi sel itu mau cepat-cepat kabur dari nereka itu.
Seperti halnya Eddy pentul yang terlibat penjualan narkoba ingin rasanya menjebal tembok penjara itu dan menghirup udara bebas. Atau seperti Udin Gantole yang terlibat pencurian sepeda motor dan hampir saja jadi abu karena di bakar massa, juga ingin hengkang dari sel itu. Apa lagi Amat Kadut yang terlibat perkosaan terhadap siswa SLTP juga bercendana untuk kabur.
Masih puluhan penghuni bui yang pernah mereka lakukan indakan kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan, pemalsuan obat, pemerkosaan dan penipuan serta kejahatan lainnya ingin bersama-sama membobol tembok dan lari. Biarlah aparat meletuskan pelurunya.
Tapi untuk membobol tembok penjara tidaklah semudah membobol dan meruntuhkan pabrik milik warga cina ketika kerusuhan beberapa waktu yang lalu. Untuk lari dari sel itu terlalu sulit, sebab aparat penjara itu sementara melakukan patroli dan melakukan rezia barang-barang kiriman dari luar. Jangan samapi pisau atau gergaji yang lolos. Bahkan obeng kecil pun tidak diperkenankan masuk ke dalam.
Sudah puluhan benda-benda tajam yang berusaha diseludupkan diantara makanan kiriman dari luar tertangkap petugas. Untuk lari dengan menjeboil dinding penjara memang teramat sulit dilakukan. Kalaupun mereka lolos, peluru akan segera meletus dari menara petugas. Masih puluhan aparat dengan senjata siap untuk ditembakkan senantiasa siaga menjaga kaburnya para penghuni lembaga permasyarakatan itu. juga anjing-anjing pelacak.
******
T
|
UHAN memang selalu memberikan perlindungan dan kemudahan kepada umat yang selalu dekat dengan-Nya, yang selalu melantunkan kebesaran-Nya yang selalu istiqomah dan yang selalu melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Begitu pula dengan Maimunah yang di lahirkan di desa nelayan yang terletak dipinggir pantai menghadap ke Selat Malaka. Tidak henti-hentinya ia bersyukur kepada Tuhan, pada saat mengais ringgit di negeri orang. Ia mendapatkan majikan keluarga Melayu yang baik.
Mana mungkin ia dianiaya oleh majikannya. Mana mungkin ia selalu dipukul atau dimaki-maki dengan kasar. Apa lagi sampai diperkosa. Sebab majikannya adalah keluarga muslim yang juga amat taat kepada agama. Majikannya yang memiliki beberapa buah toko elektronik di Shah Alam, Taman Sri Gombak, Batu Caves, Ipoh, Petaling jaya dan Kuala Lumpur itu adalah seorang pedagang dan pelaku bisnis yang tiap tahun menyerahkan zakat hartanya.
Apa lagi Maimunah amat sayang kepada kanak-kanak, dapat menggunakan kompor gas, mengerti masakan Melayu dan mengerti tugas-tugasnya sebagai pembantu rumah tangga, majikannya amat sayang kepadanya.
Tiap hari Maimunah diberi keleluasan untuk shalat, untuk membaca Al-qur’an, bahkan untuk istirahat dan tidur siang. Munah amat senang dirumah amat besar itu, seperti diraumah kerabat sendiri di tanah air. Apa lagi anak-anak yang diasuhnya hanya tiga orang dan tidak pernah sekalipun ia mendapatkan kelakuan kasar. Sebab anak-anak sang majikan menyadari kehidupan Munah di rumah besar itu bukan sebagai budak, tapi sebagai pembantu.
Syukur pada-Mu, Tuhan. Fajar sudah terbit dalam kehidupan baru bagiku dan hal itu kurasakan di negeri orang, di negeri serumpun Melayu, Malaysia. Tidak henti-hentinya gadis yang berasal dari sebauh desa nelayan yang menghadap ke Selat Malaka di Asahan itu bersyukur dan memuji kebesaran Tuhan.
Gadis itu tidak merasa terasing, tidak merasa canggung, bahkan ia merasa seperti di negeri sendiri. Ia pun bebas menikmati siaran TV, membaca majalah, bahkan juga menggunakan pesawat telepon. Tapi Munah tahu diri, ia harus membatasi keleluasaan yang diberikan kepadanya. Sebab ia sadar, bahwa dirinya tidak lebih dari seorang pembantu, tidak lebih dari orang TKI yang derajat dan martabatnya yang selalu dipandang amat rendah.
Bertemu dengan kawan-kawan sesama TKI dari tanah air adalah saat-saat yang paling menggembirakan. Seperti pertemuaannya dengan Rohaya, yang berasal dari Kabupaten Asahan. Gadis itu memeluk Maumunah amat erat.
“Kau baik-baik saja, Munah?”
Munah hanya mengangguk karena tidak mampu berkata-kata. Pertemuan dengan sahabat lama sesama TKI menyebabkan ia amat terharu dan tidak mempu membendung air mata. Munah tersedak.
“Dan kau bagaimana? Kau tampak kurus dan pucat,” cetus Munah setelah memperhatikan sahabatnya sejak ujung rambut hingga kakinya.
“Rasanya aku ingin pulang, Munah,” sahut sahabatnya.
“Kenapa?”
“Aku diperlakukan semena-mena oleh majikanku. Banyak hal yang tidak pantas harus kukerjakan”.
“Kau dianiaya? Begitukah?”
“Diania memang tidak!”
“Lalu kenapa merasa tidak kerasan?”
“Pantaskah seorang muslimah seperti kita membuang kotoran anjing. Lebih parah kalau kita disuruh memandikan anjing herder kesayangan mereka.”
“Bersabarlah Rohaya. Kau harus berterus terangan. Bahwa kau seorang muslimah yang tidak boleh memandikan anjing.”
“Mereka tidak mau mengerti,”
“Lalu kau mau pulang kampung?. Kau memilih tetap hidup didesa kita dan hidup melarat terus?. Kau tidak mau merobah nasib di sini?. Kau tidak ingin membantu ayahmu yang sakit paru-paru?”
“Aku sedang memikirkannya. Hari-hari selanjutnya, kalau kau disuruh memandikan herder itu lagi, aku terpaksa meminta bantu sopir di rumah meski-pun aku memberi upah lima ringgit.” Tutur sahabat Munah dengan wajah sedih.
“Kau pintar dan Tuhan memberikan jalan keluar. Kau dapat terus bekerja di sini”.
Penuturan Atun lain lagi, ketika bertemu di terminl Pudu Raya.
“Kau beruntung, Munah. Nasibmu benar-benar baik, mendapat majikan yang baik hati dan tidak ada masalah apa-apa”. Ujar Atur yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Taman Sri Gombak Batu Caves.
“Apa yng dilakukan majikanmu?” tanya Munah.
“Majikanku biasa-biasa saja sepanjang tugas-jugas rumah tangga kulaksanakan dengan baik.”
“Lalu maumu bagaimana lagi?”
“Dirumah ini seperti ada serigala yang amat ganas.”
“Serigala? Serigala macama apa yang ada di negeri yang amat bersih ini?”
“Kecoa puin tidak ada. Bahkan sampah hampir tidak pernah terlihat!”
“Serigala yang wujudnya adalah manusia!”
“Aku tidak mengerti maksudmu, Atun!”
“Di rumah itu ada tukang kebun, berasal dari Bangladesh. Wajahnya amat seram, kalau memandangku persis serigala lapar.”
“Ia pasti tertarik padamu, karena kau cantik.”
“Kalau hanya tertarik adalah soal biasa, tapi ia berusaha menciumku. Ia berusaha memelukku.”
“Hati-hati, Atun. Suatu saat mungkin dia memperkosamu.”
“Itulah yang amat kutakutkan, aku tidak mau hal itu terjadi atas diriku.”
“Selalu menghindar kalau ia mendekat.”
“Sekarang tiap saat dalam saku pakaianku selalu ada pisau lipat. Kapan laki-laki bertopeng serigala dari Bangladesh itu mendekat, akan kutusukan perutnya atau dadanya, tepat jantungnya. Bair dia mampus. Biar dia mati!”
Didepan Munah gadis sahabatnya mengeluarkan belati dari kantong jeannya.
“Kau nekad menjadi pembunuh, Atun?”
“Apa boleh buat, dari pada diriku jadi korban perkosaan laknat itu!”
“Kalau kau tusuk ia dan mati, kau akan masuk bui, Atun. Kau akan digantung”
“Aku sudah siap uintuk digantung. Tapi aku berharap hari-hari mendatang laki-laki kelahiran Bangladesh itu tidak akan mengulangi perbauatannya.”
“Dia takut? Atau dia sudah sadar?”
“Bukan begitu! Soalnya majikanku adalah seorang duda, karena istrinya tewas dalam kecelakaan mobil dan meninggalkan dua anak yang masih kecil-kecil. Karena itulah rumah selalu sepi, sehingga tukang sapu kebun kelahiran Bangladesh itu leluasa. Sebentar lagi majikanku akan menikah dengan gadis asal Malaka, sebentar lagi rumah itu tidak akan pernah sepi lagi karena sudah ada nyonya rumah. Kalau tukang kebun itu berbuat macam-macam lagi, aku tidak perlju menusuk perusnya, tapi nyonya rumah akan mengusirnya seperti anjing!”
“Syukurlah kalau kau terhindar dari sebuah malapetaka!”
Selama mengais ringgit di negeri orang, tidak ada saat-saat yang paling mengembirakan selain pada sangat bertemu dan bercanda dengan kawan-kawan lama yang berasal dari kampung halaman. Munah tidak hanya bertemu dengan Rohaya, tidak hanya bertemu dengan Atun, serta Zaenab. Munah juga bertemu dengan Bahar, seorang lelaki muda yang pernah jadi kawan akrab Jingga, yang kini masih mendekam dalam sel.
Bahar juga selalu mabuk dan pulang larut malam atau tidur dipelantaraan terminal bis juga pernah. Memeras pedagang kaki lima disekitar pelabuhan itu juga suah berulang kali dilakukan lelaki itu.
Tapi bahar tidak seperti Jingga yang tidak mau merobah nasibnya. Bahar sudah bersumpah tidak menenggak minuman keras lagi. Ia sudah bersumpah untuk tidak mabuk lagi. Malah ia pun bersumpah. Tuhan akan mengutuknya bila meminta uang dengan paksa dari sopir truk atau pedagang kaki lima ia rela mati di tabrak mobil. Apalagi seorang gadis cantik bernama Fatimah selalu memberinya dorongan untuk hidup wajar, bersih dari dosa dan hidup terhormat.
Bahar benar-benar sudah berubah. Tidak seperti Jingga, sebab Jingga memiliki hati sekeras batu cadas yang berlumut.
“Kau, Bahar? Kau sudah ada disini?”, cetus Munah ketika mereka bertemu di Mesjid Negara, disini terdapat makam Dr. Tun Abd. Razak. Munah memang selalu diajak majikannya bila sabtu atau minggu sekedar sang majikan bersantai-santai bersama anak-anaknya. Pulang dari mengunjungi Taman Burung, mereka mampir di Mesjid negara untuk shalat Ashar.
Di Mesjid yang amat megah itulah Munah tidak menduga akan bertemu dengan kawan sekampungnya, Bahar, mantan preman Teluk Nibung.
“Kau pikir aku masih di Asahan dan terus mabuk, Munah? Aku bukan Bahar yang dulu selalu menenggak minuman keras bersama Jingga”.
“Aku ikut gembira, kau sudah berubah.”
“Kalau aku berubah bukan karena siapa-siapa, tapi karena Fatimah”.
“Hatimu mulia, Bahar. Hatimu jadi cair karena himmbauan seorang gadis yang sangat kau cintai.”
“Aku juga ingin merubah nasib disini, mengais ringgit di negeri orang. Aku sudah bersumpah untuk tidak pulang sebelum dapat membangun rumah orangtuaku yang sekarang hampir roboh. Aku bersumpah untuk tidak pulang sebelum mendapatkan ringgit yang cukup memulai hidup baru bersama Fatimah,” tugas lelaki itu dan menyulut Dunhill.
“Hatimu benar-benar mulai, Bahar.”
“Aku juga membawa pesan khusus dari Jingga.”
“Untuk apa lagi kau dengarkan pesan itu, Bahar.
Aku juga tidak ingin mendengarnya lagi. Aku tidak pernah menyebut namanya lagi. Bahkan aku berharap ia terserang malaria dalam sel lalu mati. Atau ia melarikan diri dari penjara dan dadanya ditembus peluru aparat penjara.”
“Mana mungkin ia tertembak!” sahut Bahar.
“Kenapa tidak mungkin. Cobalah ia lari, cobalah ia kabur dari penjara itu, pasti ia diberondong peluru. Ia akan mati. Ndan aku berharap hal itu terjadi atas dirinya.” Munah berkata-kata amat serius.
“Sejak kecil, Jingga adalah sahabatku, Munah. Aku tahu benar isi hatinya, juga isi badannya.”
“Isi badanny?, aku juga tahu, Cuma ada alkohol!”.
“Aku serius, Munah. Aku tahu benar, ketika Jingga selalu hadir dirumah guru silat. Aku juga melihat sendiri dia bertapa di pulau.”
“Menuntut ilmu batin, maksudmu?”
“Ya! Lelaki di depan Munah menenggak.
“Jingga mengisi tubuhnya dengan ilmu batin.
Ambillah golok yang paling tajam dan tebaslah batang lehernya, Jingga tidak akan terluka karena tidak sia-sia dia menuntut ilmu kebal dan bertapa berbulan –bulan. Peluru juga tidak akan mampu melukai dirinya!”.
“Tapi kekebalan dirinya tidak ada manfaatnya bagi Jingga, bukan?. Dia tetap meringkuk di penjara.”
“Jingga sudah bebas, Munah. Ia tetap pesan untukmu!”
“Tidak usahkan pesan itu kepadaku, Bahar. Aku tidak akan mendengarnya. Aku sudah melupakannnya.”, sahut Munah dan berpaling. Bahkan Munah berusaha untuk meranjak menjauhi Bahar, tapi laki-laki itu segera menyentuh tangannya.
“Tunggu, Munah. Pesan Jingga amat penting dan kau harus mendengarkannya. Jingga sudah bebas. Dia tidak lagi minum, dia tidak lagi mabuk. Dia tidak lagi jadi preman!”
“Bohong! Bohong. Laki-laki berhati batu tidak akan pernah berubah!”.
“Dengar, Munah!. Percayalah padaku, ia benar-benar tobat. Jingga juga ingin seperti aku, meninggalkan mabuk-mabukan dan hidup secara layak!”.
“Bohong!”
Apapun yang dikatakan Bahar, Munah tidak akan pernah percaya. Sebab Munah tetap menganggap hati Jingga adalah batu gunung yang amat keras.
“Kata Jingga berencana untuk bekerja di sebuah kapal motor!”
“Perusahaan mana yang mau menerima seorang laki-laki pemabuk seperti Jingga?.”
“Katanya ia akan bekerja disebuah kapal motor pengangkut minyak. Aku yakin hal itu akan jadi kenyataan. Dia akan meninggalkan dunianya yang gelap!”
“Mau jadi apa di kapal itu?. Nahkoda?. Kapten?. Atau sebagai tukang sapu?”
“Jadi juru masak juga tiak mengapa, Munah.
Yang penting ia bekerja dan mendapatkan uang secara halal.”
“Aku tidak mengharapkan lagi, Bahar. Bahkan kalau Jingga akhirnya bekerja di kapal yang mengangkut minyak, aku berharap kapal itu terbakar. Katakanlah tubuhnya tidak dapat ditembus pleluru atau tidak dapat ditebas dengan parang, tapi ia akan mati hangus dan jadi abu kalau kapal itu terbakar.”
“Jangan seburuk itu do’amu, Munah. Bagaimanapun Jingga adalah sahabatku yang paling akrab dan kau juga pernah berhubungan amat mesra dengannya.”
“Semua sudah berakhir. Hatiku terlalu luka oleh perbuatannya yang tidak pernah kumaafkan.”
“Maksudnya perbuatannya di tenagah laut yang menyebabkan desa kita ditimpa berbagai bala dan akhirnya gelombang Tsunami menghancurkan desa kita?”
“Jangan sebut itu lagi, Bahar. Sebab aku akan menangis lagi!”
Munah menunduk. Wajahnya yang cantik justru terlihat lebih cantik saat ia bersedih. Bahar memperhatikannya amat dalam.
“Ada lagi yang ingin kusampaikan kepadamu Munah!”, terdengar suara lelaki kelahiran Asahan itu.
“Apa lagi? Kau ingin mengatakan, bahwa ia akan menyusulku kemari?. Jingga akan ditangkap sebagai pendatang haram dan dicambuk. Dia akan diusir!”
“Bukan!. Bukan tentang itu!”
“Lalu tentang apa?”. Munah menatap wajah lelaki yang pernah jadi preman disekitar Teluk Nibung itu.
“Tentang ibumu dan tentang Mesjid Nurul Huda!”
“Aku sudah tahu, ibuku baik-baik saja dan kiriman dariku sudah sampai di tangannya!”
“Benar!. Juga kiriman untuk pembantu perbaikan Mesjid itu juga sudah sampai. Mesjid itu sekarang direnovasi dengan biaya darimu dan kawan-kawanmu lainnya.”
“Terima kasih, kau sudah menyampaikan kabar itu, tapi kabar tentang Jingga aku sama sekali aku tidak mengharapnya. Aku jujstru berharap seumur hidupnya dalam penjara atau mati setelah ia bekerja di kapal karena kapal itu terbakar atau menabrak karang!”
Masih banyak yang ingin dikatakan lelaki itu, tapi Munah harus segera meninggalkannya karena ia harus segera pulang bersama-sama anak majikannya.
Kadang-kadang terbayang dipelupuk matanya suasana ditanah air, di desanya yang terletak di Asahan dan menghadap ke laut lepas, ke Selat Malaka yang amat ramai di layari kapal-kapal niaga.
Terbayang dipelupuk mata gadis itu ia tentgang ibunya yang amat bersyukur dan bergembira menerima kiriman ringgit dari anaknmya. Tidak henti-hentinya sang ibu yang sudah memasukan usia senja itu berdoa untuk puterinya di negeri orang.
Juga terbayang dipelupuk matanya tentang Mesjid Nurul Huda yang kini sedang direnovasi besar-besaran. Kiriman uang dari Maimunh dan para TKI lainnya amat besar manfaatnya. Kalau Munah pulang mnanti, mesjid itu sudah bagus, tempat whuduknya sudah dilapisi keramik, dinding mar-mar dan di sisi mesjid itu sedang dibangun menara setinggi lima belas meter. Dari puncak menara itu nanti akan dipasang pengeras suara dan azan akan terdengar hingga ketengah laut, hingga terdengar oleh para nelayan yang masih diatas perahunya untuk bergegas pulang dan shalat berjamaah.
Rasanya Maimunah tidak sabar untuk segera melihat menara mesjid yang menjulang tinggi menentang langit. Tidak sia-sia Munah mengais ringgit di negeri seberang itu. warga desanya amat bersyukur banya warga desanya merubah nasib di negeri orang. Dan ringit yang di peroleh mereka tidak di gunakan untu foya-foya, tapi untuk membangun rumah orang tuanya, juga untuk merenovasi mesjid.
Yang tidak bersyukur adalah laki-laki yang bernama Jingga yang baru saja menghirup udara bebasnya setelah meringkuk di lembaga permasyarakatan. Laki-laki itu justru amat menentang Maimunah ke negeri jiran itu. bhkan dari celah bibirnya yang hitam itu terlontar kata-kata ancaman yang tidak enak didengar telinga.
“Awas, Munah! Kalau kudengar kabar yang tidak baik tentang dirimu, kalau pulang akan kubenamkan kepalanya ke dasar laut!”
Jingga selalu berkata-kata sendiri, seperti berkata kepada angin lalu, bair ancaman itu sampai ketelinga Maimunah. Biar Munah takut berbuat hal-hal yang yang keji.
“Ingat, Munah. Sekali saja kudengar ada hal-hal yang tidak beres kalau lakukan disanan, akan kupulas batang lehermu!”
Seribu ancaman yang diucapkannya kepada angin lalu, atau kepada awan yang berarak-arak di langit. Karena itulah setiap ada TKI yang baru pulang dari negeri seberang itu, Jingga selalu mendatangkannya. Seperti Mardiah yang bertempat tinggal dekat perbatasan Labuhan Batu, Jingga nekad menemuinya.
“Pernah bertemu Maimunah?” tanya Jingga kepada Mardiah yang baru saja menjejakkan kakinya di kampung halaman setelah dua tahun mengais ringgit dikawasan Selangor.
“Sekali bertemu, tapi tidak lama,” sahut Mardiah yng mengenakan kaca mata hitam, gaun berharga mahal hingga tas tangan buatan Eropa, apa lagi sepatu yang melekati dikakinya juga buatan Eropa. Untaian gelang melingkar di kakinya. Bau parfumnya sudah tercium dari jarak belasan meter.
Begitulah adanya TKI yang mengais ringgit. Pulang ketanah air dengan mambawa segepok ringgit. Gajinya yang lebih dari lumayan menyebabkan setiap TKI mampu membeli perhisan emas, mampu membeli parfum berharga mahal, sepatu dan tas tangan buatan paris. Seorang TKI yang baru pulang dari negeri seberang pastilah keadaannya jauh lebih lumayan dari pada pegawai Negeri golongan III dan pendidikan sarjana. Pada hal TKI yang baru menjejaki kakinya di kampung halamannya hanya mengecup pendidikan kelas II SLTP dan bekerjapun sebagai pembantu rumah tanga yang terkadang di suruh majikannya untuk membersihkan kotoran anjing ataui memandikan binatang haram itu.
“Sesama te-ka-i biasaya selalu bertemu atau sering mengabari melalui telepon!. Tutur Mardiah lagi dengan wajah ceria kembali kekampung halaman.
“Bagaimana keadaan Maimunah?” tatap Jingga tajam dan menyelidik.
“Dia baik-baik saja!”
“Pekerjaannya?”
“Juga bisa saja. Masih saja Maimunah mendapat majikan orang Melayu yang taat kepada agama. Dia tidak pernah di suruh memandikan anjing!”
“Apakah dia selalu dirumah?”
“Tentu,! Sahut Maridah dan membiarkan kaca mata hitam tetap bertenggar di batang hidungnya.
“Tiap te-ka-i tidak dapat pergi sembarangan kecuali bersama majikannya atau anak-anaknya!”
“Tidak pernah terlihat Munah pergi bersama seorang?,” lelaki itu tetap menyelidiki.
“Bersama seseorang siapa?”
“Laki-laki tentunya!”
“Demi Tuhan, aku tidak pernah melihatnya. Munah sangat disayangi majikannya. Dia adalah te-ka-i yang paling beruntung dan bernasib paling baik.”
Jingga merasa lega. Dadanya terasa lapang. Tidak didengarnya hal-hal yang tidak beres.
“Sampaikan pesanku, agar ia menjaga dirinya baik-baik!”, ucap Jingga sungguh-sungguh.
“Tanpa pesan itupun Munah tetap menjaga dirinya baik-baik. Malaikat pun seakan menjaga dirinyha dengan baik”.
“Aku tidak ingin Munah tergelincir .....”
“Tergelicir bagaimana maksudmu?”
“Jangan sampai salah arah!”
“Salah arah bagaimana? Jangan tuduh yang bukan-bukan. Lemparkan juah-jauh bayangan buruk itu! justru otakmu yang kotor, Jingga!”
“Munah cantik, pasti banyak orang yang akan tertarik dan simpati padanya. Apalagi te-ka-i laki-laki yang jauh dari istrinya pasti ingin mendekatinya.”
“Jangan teruskan kata-kata itu, Jingga! Itulah ucapan yang sangat tidak ingin didengar oleh setiap te-ka-i. Jangan beranggap buruk kepada te-ka-i!”
Wajah Mardiah merah padam karena prasangka buruk yang diucapkan Jingga.
“Aku tidak ingin.........”, Jingga ingin berkata-kata lagi tentang Maimunah, tapi Mardiah marah dan menngancam:
“Jangan teruskan kata-kata tentang dugaan buruk itu. Atau kau lebih baik meninggalkan rumah ini!”
Kata-kata itu membuat lelaki itu terdiam dan tersipu. Ia mohon diri tapi sebelum melangkah pergi, sepasang matanya masih sempat memperhatikan empat koper yang penuh berisi berbagai jenis barang, mulai dari pakaian, alat-alat kosmetika, elektronika, dan banyak lagi.
Masih belum puas dengan ungkapan yang diucapkan Mardiah lelaki itu mendatang seorang lagi TKI yang sudah seminggu kembali ke kampung halamannya di kecamatan Air Putih Inderapura.
Seperti halnya Mardiah, Erna yang ibunya sakit-sakitan itu juga pulang dari Malaysia lebih mirip seorang seleberitis yang bergelimang duit.
“Tidak usah takut Munah berbuat yang baik di sana!,” Erna sudah tahu apa yang ingin ditanyakan Jingga, itu sebabnya dia yang lebih dahulu berbicara.
“Sebagai lelaki yang sangat mencintainya, sebenarnya aku tidak rela ia pergi jauh. Tapi Munah keras kepala!”
“Aku sudah tahu apa yang terjadi, Jingga ia pantas pergi jauh, ia pantas meninggalkanmu karena dia tahu di sisimu ia akan menghadapi hari esok yang gelap!”
“Tapi aku ingin seperti dulu lagi!. Aku akan hidup ajar dan terhormat. Minggu depan aku sudah mulai bekerja. Minggu depan aku sudah diatas kapal!”
“Sudah terlambat, Jingga. Pintu hatinya sudah tertutup rapat dan tidak ada sedikit celah untukmu!” tandas Erna dan membuat wajah lelaki itu merah seperti tomat masak.
Lelaki itu tidak dapat lebih lama berada di rumah Erna yang kini sudah direnovasi yang biayanya belasan juta dan uangnya dari hasil Erna menmgais ringgit di negeri jiran itu. sebab kata-kata gadis itu amat menyudutkan Jingga sebagai laki-laki berhati batu.
Tidak semua aroma wangi yang sampai dirongga hidung Jingga. Ada kalanya bau busuk juga tercium olehnya. Begitu juga tentang perilaku TKI di negeri jiran itu. apa lagi yang membawa kabar miring itu adalah seorang lelaki mantan TKI yang sempat dideporttasi dari negeri itu setelah menjalani hukuman lebih dari setahun akibat penghasut para buruh pabruk ditempat bekerjanya untuk melakukan demo dan mogok total. Lelaki itu menganggap negeri orang yang amat ketat menegakan hukum itu sebagai negerinya sendiri yang aparat hukumnya kedodoran.
“Tidak semua perempuan yang bekerja di sana perilakunya baik!” ujar Ridwan yang kini menganggur setelah di usir dari negeri jiran itu.
“Yang perilakunya miring juga banyak?, Begitukah?, tanya Jingga.
“Benar.! Aku melihat sendiri di Chow Kit, di Central Marketdan tempat-tempat hiburan para TKI berkeliaran dan berpasangan. Kemana lagi mereka akhirnya melangkah kalau tidak ke hotel dan menikmati kehangatan serta kemesraan? Enak saja mereka melakukannya karena juah dari famili dan kawan-kawan. Jauh dari istri!”
“Itulah yang tidak ingin kudengar, Ridwan!” sahut Jingga mulai risih.
“Banyak! Banyak sekali bangsa kita yang tidak mengindahkan martabat dan derajat kewanitaannya. Aku sendiri malu melihat kenyataan itu. bangsaku menjual diri dan menjual kehormatannya!,” sambung mantan TKI yang pernah mendekam di bui tidak jauh dari terminal bas Pudu Raya, karena menghasut buruh pabrik untuk unjuk rasa.
“Aku sudah menduga hal itu terjadi!”
“Kalau Munah pulang nanti, tanyalah tentang kawannya yang bernama Farida yang berasal dari langkat.”
“Apa yang dilakukan Farida di sana?”
“Farida memang bukan seorang te-ka-i yang baik, bukan bekerja yang jujur. Di rumah majikannya ia tergiur melihat emas berlian dan tahu harganya pasti puluhan ribu ringgit.”
“Dan Farida mencurinya?”
“Ya.! Ia tidak menyadari, bahwa mencuri emas berlian itu hanya menyebabkan ia harus mengalami kesulitan yang tidak kepalang tanggung. Ia kabur dari rumah majikannya, sementara pasport tidak ada di tangannya. Uang hasil menjual emas berlian curian itu habis untuk biaya tidur di hotel lannya. Mau apalagi kalau tidak berbuat hal-hal yang tak terpuji.”
“Mencuri? Itukah yang dilakukanya?”
“Ya!. Profesi itupun dilakukannya dengan tidak tenang karena ia tidak lagi memiliki pasport. Ia harus menghindar dari intaian polisi Kerajaan. Ia harus menghadapi hukuman berat kalau tertangkap. Dari hari kehari ruang geraknya semakin sempit dan terjepit, sampai akhirnya masuk hutan.”
“Sampai saat ini Farida masik keluar masuk hutan.”
“Tidak! Bila dia dapat lolos dari hutan, yang menolongnya adalah para buruh perkebunan kelapa sawit yang umumnya adalah bangsa kita.
Akulah salah seorang yang menolongnya dan berhasil menghantarnya ke Port Kelang. Dengan perahu motor yang biasanya mengangkut kayu gelondongan ia pulang kampung . tapi sayang, tidak ada satupun yang menduga, bahwa Farida tidak segera pulang ke desanya. Ia malu kepada keluarganya gagal membawa segumpal ringgit pulang. Kabar terakhir yang kudengar, ia ada di pulau Batam!”
“Juga dilembah hutan, “ tanya Jingga ingin tahu.
“Tentu saja!, sebab ia tidak mempunyai keterampilan lain.”
“Kukira masih banyak TKI yang mengalami nasib seperti Farida, ingin merubahj nasib di negeri orang, tapi terjerumus dalam lembah yang teramat dalam dan jorok.”
“Ya, masih amat banyak. Tapi Munah tidak begitu, aku yakin benar. Malaikat ikut menjaga dirinya, sehingga kita tidak perlu cemas dan khawatir. Ia tetap menjunjung tinggi martabat kaumnya dan juga bangsanya!”
Dada Jingga terasa plongdan lapang. Lelaki itu tidak mendengarhal-hal yang tidak keras atas diri Maimunahdi negeri orang selama mengais ringgit di sana.
******
S
|
EORANG perempuan dengan predikat TKI telah terjerumus ke dalam lembah hitam yang paling dalam dan kotor. Mungkin masih ada dua atau tiga perempuan lain mengalami nasib yang sama, menjual kehormatan dan martabat dirinya sebagai perempuan lacur di negeri orang. Mungkin ada lagi puluhan orang turut terjerumus ke lembah hitam.
Tapi masih ribuan, bahkan banyak jumlahnya para TKI yang berhasil meraih nasib yang labih baik di negeri jiran itu. seperti halnya Maimunah yang mampu mengirim uang untuk ibunya dan rumanya yang pernah di porak porandakan golombang Tsunami, kini suah berubah menjadi sebuah rumah yang kukuh, beratap genting, berlantai keramik dan isi rumah itu juga banyak.
Tidak hanya uang untuk ibunya, tidak hanya uang untuk membangun rumah yang pernah di landa gelombang Tsunami yang ganas itu, tapi gadis berwajah bundar telur juga mengirim uang biaya renovasi Mesjid Nurul Huda yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Lihatlah, menara mesjid itu sudah hampir rampung. Pengeras suara sudah di pasang di puncak manara yang tingginya 15 meter dan bila magrib atau subuh, azan terdengar hingga ke tengah laut.
Masih ribuan, masih amat banyak TKI yang berhasil mengais ringgit dan membawa manfaat yang amat besar bagi keluarganya, bagi desa kelahirannya, bahkan juga untuk bangsa ini, para TKI telah menyumbangkan devisa yang tidak sedikit jumlahnya, padahal negeri ini sedang dilanda krisis yang tidak kunjung berakhir. Meskipun pimpinan negeri ini sudah berganti, tapi republik ini tetap terpuruk. Rakyatnya tetap melarat.
Masih banyak mesjid-mesjid di luar desa nelayan di tepi pantai itu yang di bangun atau direnovasi dengan biaya sumbangan ringgit para TKI yang berhasil merubah nasibnya di negeri orang.
Masih banyak para ibu atau ayah yang menderita penyakit paru-paru atau penyakit kronis lainnya dapat dirawat dengan baik dan sembuh sementara biaya perawatannya yang amat mahal di peroleh dari anak-anaknya yang bekerja di negeri orang.
Bahkan banyak petani melarat dapat duduk diperguruan tinggi yang dibiaya kakaknya dari Trangganu atau Selangor dan Sabah juga ada. Bahkan anak nelayan miskin dapat bekerja dikantor Bupati dengan memberikan uang sogok dua puluh lima juta dan biaya itu dikirim kakaknya dari Arab Saudi.
Jangan remehkan TKI yang mengais rezeki di negeri orang, tiap tahun mereka menyumbangkan devisa yang tidak sedikit jumlahnya untuk negeri ini yang sedang porak poranda keadaannya.
Kasihan bila ada TKI yang sedang mengais rezeki ditempat jauh, di negeri orang, diseberang lautan, tapi akhirnya menjadi kornban fitnah yang amat keji. Seperti yang dialami Kalsum yang desanya juga menghadap ke Selat Malaka dan tidak jauh dari tempat tinggal Maimunah.
Emak, ayah dan segenap kerabat memberi restu dan dorongan pada saat Kalsum akan berangkat ke Malaysia. Satu-satunya orang yang tidak memberikan rest, bahkan amat keras mencegahnya hanya seorang lelaki bernama Kahar, seorang sopir truk yang biasaya membawa muatan ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan untuk diangkujt ke kota.
Cintanya yang amat besar terhadap Kalsum menyebabkan ia harus bekerja keras. Terkadang truk besar itu berangkat menjelang matahari terbenam dan subuh esok hari baru sampai di tempat tujuan. Ia tidak perduli pada udara malam dan embun pagi yang dingin merasuk hingga ke sum-sum tulang. Baginya embun dan angin malam yang dingin sudah menjadi sahabatnya.
Dari hasil kerja keras itulah Kahar mampu membeli sebidang tanah yang terletak tidak jauh dari Mesjid Al-Hidayah. Tahun-tahun mendatang, bila saatnya ia menikah dengan Kalsum, ia merencanakan diatas sebidang tanah dekat mesjid itu sudah terbangun sebuah rumah. Untuk menikmati saat-saat indah bulan madu yang amat manis bersama Ummi Kalsum.
Tapi sebelum mimpi indah itu menjadi kenyataan, gadis idaman sudah berangkat ke Malaka dan bekerja disebuh perusahaan Kamera, tanpa menghiraukan lelaki itu berkali-kali mencegah kepergiaannya ke negeri seberang itu.
Sudah dau tahun Ummi Kalsum mengais ringgit di negeri seberang itu dan diatas tanah dekat Mesjid Al-Hidayah itu sudah berdiri sebuah rumah permanen dan pemilikinya adalah pasangan pengantin baru Kahar – Salbiah, sahabat Kalsum sendiri.
Kepergian Kalsum menyebabkan yang tumbuh di hati lelaki sopir truk pengangkut ikan itu bukan lagi cinta dan kasih sayang yang tulus, tapi dendam yang membara, juga kebencian.
Itulah sebabnya ketika dihalaman Mesjid Al-Hidayah terlihat gundukan pasir dan bata bata serta batu beton, Kahar segera mendatangi Ustadz Hamzah, nazir Mesjid itu. apa lagi lelaki itu tahu, mesjid itu akan direnovasi dengan biaya dari sumbangan para TKI dan salah seorang yang memberikan sumbangan paling istimewa adalah Ummi Kalsum.
Sebuah rumah ibadah tidak layak kalau dibangun dengan uang haram, Ustadz!,” benar lelaki itu mendatangi pengurus mesjid Al-Hidayah yang akan dipugar. Padahal laki-laki itu tidak pernah hadir di Mesjid.
“Uang haram?” pengurus mesjid itu terheran-heran.
“Ya, jelas uang haram!”
Nazir mesjid itu heran.
“Jelas mesjid itu menerima sumbangan dari gaji para te-ka-i, tidak semua te-ka-i itu baik. Ada yang dianiaya dan tidak sedikit yang jadi korbanperkosaan. Mau apa lagi kalau tidak menjual diri di negeri orang?”
Lelaki sopir pengangkut ikan itu mengeluarkan selembar koran bekas yang terbit tiga bulan yang lalu, yang sudah amat kusam dan kotor. Dalam surat kabar itu memang tertera tentang TKI yang menjadi pelacur karena berbagai masalah yang di hadapi para TKI itu. dan dal;am berita di koran itu tidak ada sama sekali disebujt nama Ummi Kalsum dan kawan-kawan asal desa itu.
“Saya berharap kembalikan saja sumbangan itu karena sudah jelas diperoleh dengan cara yang amat kotor dan amat menjijikan,” ujar lelaki itu lagi setelah memberi bumbu-bumbu penyedap tentang berita surat kabar itu.
Lama pengurus mesjid itu berpikir.
“Kalau hanya sekedar semen, pasir dan besi beton, saya dapat membantu!”
Lelaki itu mengeluarkan uang tunai dua juta dari dompetnya dan memberikannya kepada Ustadz Hamzah.
“Ini sumbangan saya yang sudah jelas asal-usulnya, benar-benar dari gaji saya sebagai sopir!” ujar lelaki itu. pengurus mesjid yang sedang direnovasi itu menerima uluran uang itu, padahal ia tidak tahu, bahwa sang sopir itu mendapatkan uang dengan jalan yang tidak selayaknya. Tiap kali truknya mengangkut tong-tong berisi ikan segar, di tengah jalan pasti sopir itu menguras lima atau enam kilo ikan dari setiap tong ikan yang dibawanya.
Persis seperti bajing loncat, sopir nakal itu menjual hasil curiannya kepada pedagang ikan di pasar tradisional. Pantas duitnya banyak.
Pantas sopir itu mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah permanen diatasnya. Pantas ia mempu memberikan sumbangan dua juta rupiah untuk pemugaran mesjid dan menyarankan agar sumbangan dari Ummi Kalsum di kembalikan.
Dan yang dilakukannya itu hanya sampai batas itu. sopir truk itu mengajak belasan anak-anak muda desa itu makan di restoran dan menenggak minuman keras.
“Ingat sebentar lagi Kalsum akan pulang. Kalian tahu apa yang akan dilakukannya di negeri orang?. Dia menjual diri bersama-sama kawan-kawannya. Kalau ia pulang, ia akan membawa dosa ke kampung kita. Dosa itu akan mendapat kutukan Tuhan. Desa ini akan mendapatkan bala, seperti dosa tetangga kita yang warganya diserang wabah penyakit, ternak mati dan terakhir perak poranda karena Tuhan mendatangi gelombang Tsunami. Semua itu karena dosa!. Dosa!. Dosaaaa!”, amat bersemangat sopir truk menghasut belasan anak muda warga desanya agar benci terhadap Kalsum.
Dengan modal surat kabar berkas yang sudah lusuh dan kotor itu, sopir truk itu menyebarkan fitnah tentgang Kalsum dan kawan-kawannya yang seolah-olah sudah menjadi pelacur di negeri orang.
“Jangan biarkan Kalsum membawa dosa. Usir dia!, ujar sopir itu lagi.
“Ya, kita tidak ingin desa kita diterpa gelombang Tsunami seperti desa tetangga kita!.” Sahut anak-anak muda itu.
“Kita usir dia!. Usir diaaaaaa!”
Belasan anak-anak muda yang otaknya sudah dipengaruhi alkohol sepakat untuk mengusir bila Kalsum pulang dari Malaysia nanti.
Kasihan gadis berkulit sawo matan gitu. Ketika ia turun dari Ferry yang membawa pulang ke tanah air, ketika bis yang dicarter oleh sepuluh orang TKI itu, diperbatasan desanya dihadang oleh belasan anak-anak muda yang wajahnya merah karena terbakar alkohol.
Rombongan itu disambut dengan yel-yel dan teriakan kotor yang amat menyakitkan rongga telinga..
“Jangan bawa dosa ke desa kami!”, teriak salah seorang.
“Tidak ada tempat bagi pelacur di desa kami!”, sahut yang lain.
“Desa kami akan ditelan Tsunami kalau ada dosa di sini!”
Masih banyak lagi kata-kata yang amat keji dan kotor dilontarkan anak-anak muda itu. bis carteran itu tidak mampu menerobos belasan anak muda yang sengaja melakukan unjuk rasa menentang kepulangan para TKI itu. padahal tidak seorang pun diantara mereka yang pernah melakukan hal-hal yang tidak terpuji selama di negeri orang. Mereka hanya bekerja di perusahaan industri kamera dan sebagainya dan sebagian lagi di industri elektronika. Mareka adalah TKI yang resmi dan bekerja amat ulet. Mereka hanya korban fitrah dari seorang lelaki yang profesinya sebagai sopir truk pengangkut ikan dan cintanya tidak terbalas lalu dendam dan kebencian amat membara dalam dadanya.
Kasihan, Ummi Kalsum benar-benar tidak dapat menginjakkan kakinya kembali ke desa kelahirannya, di desa pantai yang menghadap ke Selat Malaka itu. sebuah tasnya sempat dijarah oleh anak-anak muda yang telah memakan fitnah yang amat keji dan kejam. Untunglah Bis carteran itu segera memutar haluan dan meninggalkan desa itu. apa boleh buat, Ummi Kalsum yang perilakunya amat sopan dan taat beribadah itu terpaksa menumpang dirumah kakaknya di kawasan Tanjum Tiram. Yang membuat hatinya hancur berkeping-keping adalah sumbangan untuk memugar mesjid Nurul Huda dikembalikan karena dianggap sebagai hasil menjual diri dan kehormatannya. Air matanya berderai-derai. Padahal uang itu benar-benar halal, dari gajinya.
******
K
|
ABAR sedih dan derai air mata yang di alami Umi Kalsum juga sampai ke rongga telinga ribuan TKI yang tersebar diberbagai tempat, di Selangor, Shan Alam, pulau pirang, Ipoh, Kedah, Batu Cadas, Sabah dan banyak lagi.
Maimunah juga mendengar kabar sedih itu. ia menundukan kepala dan mengusap dadanya yang tiba-tiba terasa perih. Akankah kepedihan seperti itu harus kaualami? Akankah terjadi fitnah yang teramat keji itu atas diriku?Akankah Jingga menyebarkan fitnahseperti itu kepada setiap penduduk desaku?. Akankah aku dilarang menginjakkan kakiku di desa kelahiranku sendiri karena penduduk sudah termakan fitnah yang disebarkan Jingga?
Maimunah berkata-kata sendiri. Sesaat ia ingin Jingga yang hatinya sekeras batu gunung. Ingat sifatnya yang amat kasar. Apalagi kalau ingin laki-laki itu mempunyai ilmu hitam dan kebal yang menyebabkan laki-laki itu menjadi sombong dan angkuh. Kepada peluru pun ia tidak takut.
“Tidak, Munah!. Hal itu tidak akan terjadi pada dirimu!, “ terdengar suara Azizah yang juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
“Apakah aku akan bunuh diri kalau hal seperti itu terjadi atas diriku?” keluh Maimunah.
“Yakinlah. Kau tidak akan mengalami seperti itu. bukankah sumbangan untuk mesjid Nurul Huda tidak dikembalikan kepadamu?. Mesjid itu sudah bagus, menaranya sudah selesai. Azan dari puncak menara itu terdengar sampai ke desa seberang, hingga ke tengah laut.”
“Tapi Jingga adalah laki-laki keras kepala dan tidak takut kepada siapapun. Ia juga dapat menyebarkan fitnah tentang diriku!”
“Tidak usah khawatir. Bukankah kudengar Jingga sudah bersumpah untuk hidup layak dan terhormat?”
“Rasanya lebih baik ia tetap di penjara. Biar ia mati di sana karena malaria!”
“Tidak harus begitu. Memang sudah waktunya ia bebas dan memulai kehidupan baru. Malah kudengar kabar terakhir, Jingga sudah bekerja di sebuah perusahaan besar. Jingga dipercaya untuk mengantar bahan bakar ke beberapa pabrik pengolahan kayu dan gajinya lumayan!”
“Terlalu sulit untuk kubayangkan apakah dia sudah benar-benar beruibah, atau tetap seperti dulu yang hatinya sekeras bau gunung.”
“Mudah-mudahan dia tidak seperti dulu lagi, Munah. Sebab ia ingin membuatmu bahagia dan hidup wajar serta terhormat. Sudah ada pegangan hidupnya yang kukuh dan kau tidak harus khawatir lagi.”
Munah hanya menghela n afas panjang. Ia sudah terlanjur mengikis cinta dihatinya terhadap lelaki itu. sebab ia merasa seorang lelaki yang hatinya sekeras batu gunung tidak akan pernah berubah. Batu gunung itu tidak akan pernah bergeser meskipun hujan lebat dan angin kencang. Hatinya tetap saja kotor.
“Jingga tetap menanti kepulanganmu, Munah!” ujar sahabat lagi. “Dia ingin mencium kakimu dan mohon maaf!”
“Aku sudah bersumpah!”, sahut Munah.
“Bersumpah bagaimana?”
“Aku sudah terlanjur menutup pintu hatiku rapat-rapat. Aku sudah bersumpah, lebih baik ia mati!”
“Kalau Tuhan tetap memperkenankan ia hidup bagaimana? Hidup atau mati bagi seorang bukan kehendak manusia, tapi di tangan Tuhan.” Sahabatnya memberi nasehat panjang lebar. Karena Azizah melihat dengan mata kepala sendiri ketika diberi kesempatan pulang kekampung halaman, ia selalu melihat Jingga keluar masuk kantor sebuah perusahaan yang cukup bonafide milik seorang perusahaan non pribumi yang matanya sipit.
“Kalau ia masih hidup, kalau ia masih di sana, lebih aku tidak usah pulang.”
“Justru hatimu hatimu yang sekeras baja, Munah. Tidak mungkin te-ka-i seperti kita seumur hidup di sini. Begitu kontrak kerja berakhir, kita harus angkat kaki dari negeri ini. Mau kemana lagi kalau tidak pulang ke Asahan?”
“Aku merasa lebih baik kapal yang membawa kita pulang tenggelam di tengah laut dan aku rela lebih baik jasadku terkubur di dasar samudera dari pada harus mendampingi lelaki seperti Jingga!”.
“Jangan berpikir seperti itu. berdoalah semoga Tuhan merubah sifat yang dimiliki Jingga selama ini”
Munah hanya menekur, tapi hatinya tetap berkata-kata, bahwa ia merasa lebih baik tidak usah pulang ke desanya atau mati tenggelam di tengah laut, kalau lelaki bernama Jingga masih ada di desanya.
Apapun yang dikatakan orang tentang Jingga, bahwa lelaki itu sudah berubah, bahwa lelaki itu sudah bekerja, tapi pintu dan jendela hati Munah sudah tertutup amat rapat. Padahal Jingga memang bukan lagi seorang preman disekitar pelabuhan kecil itu. lelaki itu bukan lagi seorang pengangguran. Ia tidak pernah lagi meminta uang dengan paksa dari pedagang kaki lima atau sopir angkuatan di sekitar terminal.
Lelaki itu memang sudah mempunyai andalan untuk hidupnya, untuk hari esoknya bersama seorang gadis yang kini sedang mangis ringgit di negeri orang.
Tubuhnya yang tegar, kemahirannya dalam ilmu bela diri, serta kabar tentang dirinya yang kebal terhadap peluru dan senjata tajam membawa hikmah yang sangat besar bagi lelaki itu. ia diincar oleh seorang pengusaha yang memiliki beberapa perusahaan industri yang ada disekitar pantai itu.
Tentu saja Jingga menolak ketika ia ditawari untuk menjadi satpam perusahaan itu. sebab ia tidak ingin dijadikan poin diperusahaan itu. sebab tubuhnya yang tegar serta kemahirannya dalam ilmu bela diri dan kekebalan yang dimilikinya pasti ia mampu menghadapi berbagai oknum yang datang ke perusahaan itu. sebab saat ini memiliki sebuah perusahaan, apalagi pemiliknya non pribumi yang bermata sipit, pasti akan jadi sapi perah. Berbagai oknum silih berganti datang untuk meminta uang dengan dalih berbagai kegiatan. Dan yang datang tidak hanya dari OKP, tapi juga aparat, petugas pajak dan banyak lagi. Bahkan demo atau tindakan anarkis sektu-waktu dapat saja terjadi yang diringi dengan pengarahan. Jingga pasti mampu menghadapinya. Meskipun ditusuk batang lehernya ditebas dengan golok, bahkan peluru yang meletus tidak akan mampu melukai lelaki itu.
Tapi Jingga mempunyai harga diri. Ia tidak mau jadi Satpam. Ia ingin pekerjaan yang lebih terhormat. Pekerjaan apalagi yang cocok bagi seorang lelaki yang hanya mengecap pendidikan kelas lima SD?. Mau ditempatkan dibagian akuntansipasti Jingga bujta sama sekali buta dalam nhal ilmu pemasaran.
Sebagai seorang lelaki yang dilahirkan dari keluarga nelayan, sebagai anak laut, Jingga amat bersyukur ketika diberikan tugas untuk menjadi nahkoda perahu motor yang mengangkut bahan bakar untuk mensuplai tiga buah industri dipinggir laut itu.
Jingga amat bngga dengan tugas itu. ia selalu berada ditengah laut sebab ombak dan gelombang adalah sahabat anak nelayan. Setiap anak laut, tidak akan pernah takut kepada terpaan badai. Setiap anak yang lahir ditepi pantai, tidak akan pernah takut kepada gelombang besar, meskipun perahu motor itu berangkat di tengah malam yang dingin dan anginpun berhembus amat kencang.
******
S
|
EPERTI malam itu, ketika pelabuhan itu sedang sepi, lengang, gelap gulita dan angin pun berhembus kecang dari arah laut, sepuluh orang sedang memuat puluhan drum berukuran besar yang penuh bahan bakar solar ke perut sebuah perahu motor.
Meskipun sebagai nahkoda, Jingga ikut turun tangan memuat drum bermuatan solar itu keperahunya, karena ia seperti tidak sabar untuk segera membelah gelombang, tidak perduli pasang sedang naik dengan anginpun sangat kencang.
“Ayo dorong!,” teriak Jingga memecah kesunyian malam dan langit hanya ada bulan sabit yang hampir tenggelam. Segugus bintang baru saja b ersembunyi dibalik mendung tipis. Malam itu, dipelabuhan kecil itu, ketika awak perahu motor itu sedang menaikan muatan, cuaca benar-benar gelap, sepi dan angin.
“”Ayo teriiiiiiiiiiiiiik!” teriak Jingga lagi kepada dua laki-laki berkulit hitam legamyang ada diatas perahu menaikkan drum yang amat berat itu dengan bantuan tali. Jingga sendiri ada dibawah dan tubuhnya bermandi keringat meskipun mlam amat dingin. Tenaganya benar-benar diperas untuk memuat lebih dari 50 drum penuh minyak solar itu agar dapat segera selesai kemudian dibayar.
Pengiriman bahan bakar solar itu memang dilakukan dengan cara yang amat sederhana dan tradisonal, padahal seharusnya dengan menggunakan tanker.
“Teriiiiiiiik!!!,” teriknya berkali-kali memberi komando.
Satu demi satu drum penuh solar itu naik ke perahu motor itu. tapi nasib apes harus terjadi pada awal tugas Jingga di perahu motor itu. seutas tali yang menarik drum-drum penuh muatan solar itu ternyata sudah lapuk. Sebauh drum yang amat berat menggelinding ke bawah. Pada hal drum itu amat berat berisi penuh solar.
Tiap benda yang tertimpa pasti akan remuk atau hancur. Apalagi yang tertimpa adalaha tubuh manusia.
“Awassssssssssss!!!. Menyingkir, Jingga!,” teriak awak perahu yang ada diatas dan memegang tali yang putus.
Tapi Jingga tidak sempat menyingkir, karena drum yang beratnya hampir 200 kg itu mengelinding amat cepatdan nasib lelaki itu di hari pertama bekerja di kapal motor itu benar-benar apes.
Tubuh lelaki itu ditimpa drum penuh muatan solar yang meluncur di atas perahu motor. Terdengar jeritan awak perahu motor itu ketika melihat betapa amat mengerikan tubuh Jingga di tabrak benda yang menggelinding amat cepat.
Tubuh laki-laki itu terjatuh dan kawa-kawanya menganggap tamatlah riwayat seorang lelaki bernama Jingga. Semua menganggap tubuh Jingga sudah remuk.
Semua mengira tubuh lelaki itu sudah hancur, lumut rata dengan tanah. Persis seperti bangkai ayam yang ditabrak mobil, pasti tulang-tukangnya hancur dan bulunya berserakan. Ususnyha juga terbuai keluar. Begitu juga dengan tubuh Jingga. Pasti perutnta terbuai. Pasti darahnya amat banyak mengucur memerahi daratan pelabahan kecil yang sedang sepi.
Tapi sebuah keajaiban telah terjadi di sisi perahu motor yang sesaat lagi akan berangkat membelah ombak besar. Tubuh Jingga memang terjatuh ketika ditimpa drum bermuatan penuh solar, dan sebatang tubuh itu sama sekali tidak bergerak.
Semua manusia yang ada diperahu motor itu menduga nyawa Jingga sudah lepas dari jasadnya. Semua menganggap Jingga sudah mati di timpa drum yang amat berat. Tulang-tulangnya pasti remuk dan kepalanya pasti pecah.
Sangkot, seorang lelaki berkulit hitam legam itu segera turun dari perahu dan memeluk tubuh yang terkapar itu. ia segera memeluk tubuh yang tidak bergerak lagi. Sebab ia menyebabkan kecelakaan itu.
“Maaf aku, Jingga!. Ampuni aku!. Aku tidak bermaksud mencelakakan dirimu!, ujar lelaki itu.
Semua anak buah perahu motor itu segera menghampiri tubuh yang terbujur dan mereka menganggap tidak mungkin lagi Jingga hidup.
Tapi berlahan-lahan tubuh yang tegar itu menggeliat.
“Jingga!. Jingga!. Kau masih hidup?,” cetus salah seorang.
“Hanya keajaiblah yang menyelamatkan diriku!”.
Perlahan-lahan pula Jingga duduk dan akhirnya bangkit. Laki-laki itu belum mati. Laki-laki itu masih bernyawa. Tulangnya tidak remuk ditimpa drum penuh solar. Tubuh lelaki itu belum remuk. Lelaki itu sama sekali tidak terluka. Bahkan tulangnya tidak patah sama sekali. Setetes darah pun tidak terlihat mengucur. Yang ada hanya keringat.
“Kau masih hidup?. Kau tidak terluka?.” Tanya seorang lagi dan menyentuh tubuh Jingga. Kepalanya masih utuh.
“Kau tidak apa-apa?. Kau selamat?” sambung yang lain. Semua memnyentuh tubuh Jingga karena mereka tidak yakin, bahwa Jingga masih bernafas dan tidak ada luka di tubuhnya.
“Aku masih hidup!. Aku masih bernafas?” darah merah masih mengalir dalam tubuhku!” teriaknya dan mengepal tinjunya seperti lelaki yang teramat sombong bau memang dari sebuah perkelahian yang mengundang maut.
Semua tercengang karena tidak ada tulang yang patah, tiak ada luka seujung jarum pun, tidak ada setetes darahpun yang mengucur.
“Bersyukurlah kepada Tuhan, sebuah keajaiban sudah menyelamatkan dirimu dari kematian!,” imbauan salah seorang awak perahu motor itu.
“Bukan!. Bukan keajaiban yang membantu diriku!” ujar Jingga dalan perjalanan beberapa langkah.
“Lalu siapa yang menyelamatkan dirimu kalau bukan Tuhan?,” tanya awak perahu motor itu terheran-heran.
“Tidak sia-sia sejak umur delapan tahun aku mennuntut ilmu. Tidak sia-sia dalam diriku di isi oleh seorang guru yang umurnya seratus dua puluh tahun!”, ujar Jingga di depan perahu itu.
Kata-kata itu membuat awak kapal itu mengerti, itu memiliki ilmu gaib, bahwa seorang lelaki itu seorang pesilat yang paling ampuh, bahwa lelaki itu mempunyai ilmu kebal. Salah saorang awak kapal yang tahu benar tentang diri Jingga, segera berbisik kepada lelaki disebelahnya.
“Peluru tidak akan mempu menembus tubuhnya. Pedang yang paling tajam pun tidak akan mampu melukai tubuhnya!”, ujar lelaki itu yang memang tahupersis Jingga pernah belajar ilmu hitam dari seorang guru ternama yang meninggal pada usia seratus dua puluh tahun.
“Luar biasa!,” guman awak perahu motor itu bersamaan.
“kalau Jingga tidak punya simpanan pasti tubuhnya sudah hancur ditimpa drum itu”, guman salah seorang.
“Kalau tubuhnya kosong, pasti sudah hancur dan lumat!” sambung yang lain.
“Kalau begitu, dia bukan sembarang orang!”
“Hati-hati terhadap orang seperti itu. sekali tangannya mengenai kita, pasti langsung pingsan atau masuk liang kubur!”
“Kita bangga punya kawan seperti itu, setidak-tidaknya dapat melindungi kita!”
“Kalau sang gurunya masih hidup, aku mau juga belajar seperti Jingga, biar tidak dapat ditembus peluru. Bair tidak mampan di tebas clurit!”
Berbagai komentar terlempar dari awak perahu motor itu, dan lebih dari 50 drumpenuh solar sudah seluruhnya termuat dalam perahu motor itu.
Tidak sia-sia lelaki itu belajar selama bertahun-tahun dalam ilmu bela diri. Sang guru sudah mengisi tubuh Jingga dengan perisai yang melindungi dirinya dari peluru, benda tajam dan benturan serta pukulan yang mengenai dirinya. Sekarang terbukti keampuhannya, Jingga tidak terluka sedikit pun tubuh tertimpa benda yang teramat berat. Pukullah kepalanya dengan palu godam, di dadanya, tepat dijantungnya, ia tidak akan terluka. Dan bahkan belasan peluru yang diarahkan tepat di jasadnya, lelaki itu tidak akan roboh. Tidak sia-sia Jingga sempat bertapa di sebuah pulau kecil.
Sayang guru yang sudah memberinya ilmu kebal sudah meninggal pada usia seratus dua puluh tahun. Sayang, Jingga belum sempat belajar ilmu menghilang dari sang maha guru. Andainya ia sempat belajar ilmu itu, pasti polisi tidak akan mempu menangkap dirinya seandainya dia merampok Bank.
Mesin perahu motor itu sudah dihidupkan dan angin laut berhembus semangkin kencang membawa udara dingin. Malam masih gelap gulita. Bulat sabit sudah menghilang. Mendung tipis masih tampak di langit. Perahu motor yang mengangkut lebih dari 50 drum bermuatan bahan bakar solar itu sedang bersiap-siap untuk segera lego jangkar kemudian berlayar membelah kensunyian malam, memacah ombak dan gelombang.
Tapi sebelum perahu motor itu bergerak, nahkodanya seorang lelaki bertubuh tegar berdiri di ujung buritan. Tanganya meraih golok tajam dan mengacungkan golok itu kelangit. Jingga berdoa untuk keselamatan pelayaran perdanannya.
Semua awak perahu bermotor itu memperhatikan setiap nahkodanya dengan mata yang tidak berkedip. Semua terheran-heran melihat Jingga berdoa dengan caranya sendiri, dengan terlebih dulu mengancung-ancungkan golok kearah langit. Begitulah lelaki yang pernah menganut ajaran ilmu hitam, berdoa kearah langit, seperti memanggil syetan atau dedemit atau makhluk halus lainya. Lama bibirnya berkomat-kamit membaca doa-doa seperti yang diajarkan sang gurunya yang memang sakti.
“Hai lauuuuuut. Hai gelombang. Hai ombaaaaaaaak. Lindungi perjalananku malam ini!,” teriak lelaki yang takut kepada peluru.
“Hai jembalng air. Hai hantu laut. Hai elang perkasa, kabarkan kepadaku bila dalam pelayaran ini ada makhluk yang merintangi!,” teriaknya lagi dengan suara yang amat kuat. Ia menebas goloknya bebera kali kesamping kanan.
“Hai segala jin yang ada dilangit, dorong aku ketempat tujuan dengan selamat!” teriaknya lagi dan berkali-kali pula menebaskan golok tajam itu kearah kiri.
Doa lelaki itu teramat panjang. Ia menyebujt segala mahluk yang ada di udara, agar menyatu dalam dirinya . ia juga mengajak segala Jin dan mahluk halus lainnya dalam pelayaran itu. jingga seperti amat takut ada sesuatu yang merintangi perjalanannya di tengah laut, di Selat Malaka yang paling ramai dilintasi kapal-kapal niaga dari segala penjuru dunia.
Tidak sedikitpun, tidak sekalipun, lelaki itu menyebut kebesaran Tuhan yang menjadikannya. Ia lebih percaya kepada segala Jin dan segala mahluk halus lainnya yang akan melindungi dirinya. Itulah Jingga yang tidak terluka oleh hujaman kapak atau peluru sekali pun. Dan perahu motor bermuatan minyak solar itu pun mulai bergerak meninggalkan dermaga kemudian menerjang ombang dan gelombang. Tidak dihiraukan oleh seluruh awak perahu itu angin malam yang amat dingin.
Perahu motor itu sengaja berlayar malam hari, seperti ada hal-hal yang harus dihindari dalam pelayarannya yang membawa bahan bakar solar yang terkadang amat langka di temapt-tempat depot pengisian bahan bakar.
******
B
|
ILA saat pelayar perdananya lelaki itu berdosa dengan mengacung-acungkan golok ke arah langit, ketika berlayar pulang lelaki iti melambai-lambaikan uang perolehannya, seperti memarkan hasil jerih payah keringatnya kepada langit , kepada awan bergerak, pada burung elang yang mencari mangsa. Jingga benar-benar amt riang dengan segepok uang yang diperolehnya.
Di buritan perahu bermotor itu, Jingga bersuara keras dan membiarkan seluruh awak perahu terheran-heran melihat tingkahnya.
“Hai angiiiin! Hai awan di langit. Katakan kepada Munah, aku bukan seperti dulu lagi. Hai elang perkasa, sampaikan kepada Maimunah, aku bukan lagi preman terkutuk. Aku sudah bekerja. Aku sudah dapat mencari uang. Uaang! Uaaaang!!! Sekarang uang sudah ditanganku!! Ini uang, Munah. Ini uaaang!!!”
Berkali-laki lelaki itu seperti orang sinting melambai-lambaikan uang ditangannya ke langit. Angin pun tidak perduli. Awan pun tidak ada yang menoleh kepadanya. Apa lagi burung elang yang sedang berpasangan terbang mencari mangsanya di tengah laut itu, tidak seorang pun yang peduli.
Lembaran-lembaran uang di tangan lelaki itu masih di lambai-lambaikan ke langit, pertanda kegembiraan hatinya, juga pertanda kerunduaannya kepada seorang perempuan berwajah bundar telur bernama Maimunah yang kini masih mengais rezeki di negeri seberang.
Berkali-kali Jingga memanggil nama itu.
“Aku bukan Jingga dulu lagi, Munah!. Aku bukan Jingga yang tidak memiliki pekerjaan. Aku bukan lagi seorang pengangguran. Aku bukan lagi preman. Aku bukan lagi seorang laki-laki yang suka meminta duit dari sopir truk atau pedagang kaki lima. Aku bekerja!. Aku punya duit sekarang, Munah!.”
Tidak henti-hentinya lelaki itu melambaikan uang di tangannya ke arah langit. Tidak henti-hentinya lelaki itu menyebut nama seorang gadis yang amat mengguh hatinya.
“Pulanglah, Munah! Pulaaaang!,” teriak itu amat panjang, tapi tidak ada yang peduli. Bahkan kawan-kawannya sesama awak perahu tidak lagi perduli kepadanya.
“Akan kubangun sebuah rumah bagus untukmu, Munah!. Untuk kita. Akan kudirikan sebauh istana yang menghadap ke laut untuk anak-anak kita. Kita akan memandang ombak laut dari puncak istana itu. kita akan mendengar nyanyian ombak dari puncak istana itu. aku menunggumu, Munah!. Aku rindu padamu!!!.”
Perahu motor itu terus meluncur menerjang ombak menuju arah pantai. Sebentar lagi semua awak perahu motor itu akan tidur lelap setelah sepanjang malam memuat drum-drum berisi bahan bakar minyak. Sebentar lagi awak perahu motor itu akan menenggak kopi hangat setelah sepanjang malam tubuh mereka di guncang ombak laut yang sedang pasang. Sesaat lagi mereka akan tenggelam dalam pelukan sang kekasih mereka setelah sepanjang malam tubuh mereka diterpa angin kencang dan udara dingin.
Tiap awak perahu motor itu sudah mengantongi uang sekarang, sebab mereka telah bekerja sepanjang malam tanpa mengenal lelah. Mereka mengantongi banyak uang setelah melakukan pekerjaan yang penuh dengan resiko dan resiko yang mereka hadapi bukan tenggelam di laut, tapi tertangkap aparat keamanan laut. Sebab apa yang mereka lakukan adalah sebuah pelanggaran hukum. Mereka adalah para penyelundup bahan bakar dan di tengah luat sebuah kapal tanker sudah menunggu kiriman bahan bakar itu.
Itulah sebabnya sepanjang pelayaran menuju ke tengah laut itu penuh dengan perasaan tegang. Sebab mata setiap awak perahu harus jeli memandang ke segala penjuru, siapa tahu ada kapal patroli yang membuntuti. Siapa lagi yang menjadi otak penyulupan bahan bakar itu kalau bukan seorang pengusaha non pribumi yang berkedok memasok solar kepada industri dihilir sungai Asahan ? Kalaupun laki-laki non pribumi itu memiliki pabrik pengolahan minyak goreng yang tidak terlalu banyak membutuhkan pasokan bahan bakar solar. Jingga adalah tangan kanannya.
Itu sebabnya lelaki non pribumi itumengincar Jingga, Sebab ia tahu, Jingga punay ilmu batin, ia tahu Jingga bukan lelaki sembarangan. Lelaki pengusaha itu tahu Jingga tidak akan tembus oleh peluru yang ditembakkan polisi. Itu sebabnya lelaki bermata sipit itu merekrut Jingga untuk menjadi nahkoda perahu motor yang akan mengantar puluhan ribu ton bahan bakar solar ke tengah laut dan di sana sebuah kapal tanker berbendera Singapura sudah menunggu.
Andainya kepergok kapal patroli, Jingga dapat melompat ke laut bersama seluruh awak perahu itu. tidak ada rasa takut dihatinya.
“Kalau perlu bakar saja perahu motor tua itu!. Bair polisi kehilangan jejak. Biar perahu motor itu seperti tidak bertuan!,” itulah pesan lelaki non pribumi saat memberinya pengarahan sebelu Jingga pertama kalinya berlayar.
Dan pelayaran perdana itu memang benar-benar berhasil. Tidak ada polisi perairan yang mengintai. Tidak ada aparat pelabuhan yang tehu tentang keberangkatan perahu bermotor itu karena pelayaran itu pun di lakukan pada malam hari, kateika pelabuhan sedang sepi, ketika anak-anak manusia sedang lelap dalam tidurnya dan mimpi indah.
Sekarang, setelah puluhan kali pelayaran ke tengah laut itu tanpa rintangan, tanpa dikejar aparat keamanan laut, Jingga memiliki banyak uang. Ia ingin segara Munah pulang.
“Tidak ada gunanya lagi kau mengais ringit di negeri orang, Munah. Aku bisa mencari uang banyak kalau itu yang kau inginkan!,” Jingga selalu berkata kepada angin lalu, atau kepada sepasang burung elang laut yang terbang rendah.
Tapi ia sadar, angin tidak pernah perduli pada pesannya. Ia pun sadar, bahwa sepasang elang laut itu enggan dititipi pesan. Jingga terpaksa mendatangi Zahara yang akan kembali ke negeri jiran itu setelah cutinya berakhir.
“Begitu aku, Zahara!” pinta Jingga yang sengaja menemui gadis itu yang sedang mengemasi kembali untuk mengais ringgit ke negeri semenanjung itu.
“Apa yang harus kalau lakukan untukmu!” gadis itu memandang sebuah tas yang sengaja dibawa Jingga dan isinya adalah lembaran-lembaran uang.
“Katanya kepada Munah agar ia segera pulang. Ia tidak perlu bekerja ditempat jauh, karena aku mampu membahagiakan hidupnya!”
Lelaki itu membuka tas yang dibawanya dengan isinya tidak hanya uang tapi juga perhiasan emas.
“Katakan kepada Munah, semua ini kuperoleh dengan keringatku sebagai nahkoda kapal. Katakan kepada Munah, sebentar lagi akan kubangun sebuah rumah untuknya!”
“Cukup hanya itu yang harus kukatakan kepada Munah?” gadis yang sudah dua tahun bermukim di Johor Baru itu menatapnya dalam-dalam, seakan ingin membuktikan, apakah hati lelaki itu benar-benar bersih, atau penuh kotorasan atau bau busuk.
“Katakan aku bukan Jingga yang dulu lagi. Aku sangat mengharap kepulunganny!”
“Okey, Jingga. Pesan itu pasti akan kusampaikan ke telinga Munah. Tapi jawabnya aku sudah tahu, bahwa ia akan lebih baik memilih lebih baik mati tenggelam dilaut bila pulang dari sana ternyata kau masih hidup!”
Ucapan itu amat menyakinkan hati. Tapi lelaki itu merasa hatin ya tergores beling tajam. Ia sadar perlakuannya yang lalu di tengah laut sehingga Tuhan opun menurunkan bala, desa itu diterjang gelombang Tsunami yang memporak porandakan desa itu.
“Katakan aku akan mohon maaf padanya!” pinta Jingga lagi.
“Kau menyesal!?”
Lelaki itu mengangguk lirih.
“Katakan aku ingin mencium kakinya!”
Masih ada sedikit celah di hati Munah untuk menerima permohon maafmu!”
Jingga pulang dengan penuh harapan hari Munah akan terguguh untuk kembali ke tanah air dan Jingga benar-benar akan mencium ujung kakinya. Ia tampak gagah dan simpatik diatas sepeda motor besar “Honda Tiger” dan pakaiannya rapi, jangan tangannya berharga mahal, kalung emas tiga puluh gram melingkar di lehernhya. Ia mirip anak muda kalangan selebritis. Hanya otaknya masih tetap kotor.
Tiba di rumah lelaki itu tertegun karena seorang gadis cantik bermata sendu sudah menantinya sejak tadi. Sisa tangis masih tampak di matanya.
“Saya mohon bantuan Bang Jingga.” Ucap gadis itu, Nurul Aini, dan wajahnya teramat sendu. Ada kesedihan yang amat mendalam menggurati wajahnya yang cantik.
“Bantuan apa?” Jingga menatap wajah cantik itu.
Gadis yang masih amat muda itu menunduk, seperti amat berat untuk mengatakan isi hatinya.
“Ayo katakan, bantuan apa yang kau minta?” desak Jingga.
“Emak sakit dan harus menjalani operasi..............” suara gadis itu lirih, hampir tidak terdengar.
“Operasi? Sakit apa?”Jingga masih menatap wajah cantik itu.
“Kata dokter kanker payudara.....”
Sesaat Jingga menekur. Tiba-tiba saja lelaki yang hatinya sekeras batu gunung menjadi amat lembut seperti kapas, ketika gadis cantik itu didepannya menangis tersedu-sedu.
“Oh Tuhan. Kenapa sakit itu di derita emak yang amat melarat dan tinggal di desa serta apapun tidak kami miliki?. Kenapa penyakit itu kau timpakan kepada orang-orang kota yang hartanya melimpah? Kenapa penyakit mengerikan itu tiak kau timpakan kepada istir para pejabat yang uangnya ada dimana-mana dan uang itu tidak jelas asal usulnya? Kenapa penyakit yang amat ditakuti itu Engkau berikan kepada ibu melarat yang suaminya hanya seorang nelayan? Kenapa tidak Engkau timpakan kepada istri para konglemerat atau istri para wakil rakyat yang hidupnya bergelimang kemewahan?”
Gadis cantik itu mengeluh panjang diantara isak tangisnya. Jingga benar-benar itu sedih, apalagi keluhan gadis itu. mengapa harus perempuan msikin yang menderita penyakit tumor payudara. Kasihan!.
Jingga benar-benar merasa iba dan hatinya tergugah.
“Berapa aku harus membantu, Aini?”
“Lima ratus ribu!”
Sesaat Jingga memikir-mikir. Selama ini hatinya memang sekeras batu gunung, tapi untuk membantu seorang yang sedang dalam kesulitan, hatinya benar-benar terbuka. Hatinya menjadi amat lembut melihat seseorang dihimpit kesusahan, apalagi sedang sakit dan kematian pastilah menantinya. Benar-benar kasihan.
Jingga membuka tasnya. Tanpa ragu-ragu lelaki itu mengulurkan tangan bukan lima ratus rubu, tapi dua juta. Lihatlah, betapa amat mulia hatinya nahkoda perahu bermotor itu sekarang.
Dengan tangan gemetar, gadis belasan tahun yang wajahnya cantik itu menerima uluran uang dari Jingga.
“Te.................te..............terima kasih,” gadis itu hampir tidak mampu menggerakan sepasang bibirnya yang tipis.
Gadis itu mohon diri dan air mata masih berderai di pipinya. Langkahnya gontai ketika meninggalkan rumah Jingga yang mulia dipugar. Hati Jingga masih rapuh melihat langkah gadis itu.
“Tunggu, Aini!. Tunggu!, teriak lelaki itu.
Langkah gadis itu terhenti sejenak dan menoleh kebelakang.
“Kau mau kemana dengan uang itu?” Jingga menghampiri gadis itu.
“Kemana lagi kalau tidak ke rumah sakit?”
“ Ke rumah sakit malam-malam seperti ini?”
“Ya!. Semua dalam keadaan mendesak. Dalam keadaan seperti apapun saya harus memberikan uang ini kepada emak yang berbaring lemah di rumah sakit Kartini!”
Gadis yang sedang bersedih itu benar-benar menerima uluran tangan seorang lelaki yang baik hati.
“Ayo abang antar!. Rumah sakit Kartini teramat jauh dari sini!” lelaki itu menawarkan jasa-jasa baiknya dan menghidupkan sepeda motor besar honda Tiger. Gadis itu merasa canggung duduk di sadal belakang dan berpegang pada lenagn lelaki itu. sepeda motor itu menembus udara malam yang dingin.
Hati lelaki itu semakin rapuh ketika melihat tubuh seorang perempuan terbaring tanpa daya di rumah sakit itu. Derita keluarga nelayan ikut dirasakan oleh semua anak-anak nelayan di desa itu, juga dirasakan oleh Jingga yang kini menjadi nahkoda perahu bermotor dan kehidupannya sudah amat terangkat.
Menolong sesama keluarga nelayan adalah kewajiban, pikir lelaki itu. sama halnya bila perahu orang nelayan terbalik, nelayan lain tidak akan membiarkannya tenggelam. Sesama nelayan selalu saling mengasihi, saling menolong dan saling merasakan segala penderitaannya. Lebih satu jam lelaki itu berada di rumah sakit itu, di sisi seorang perempuan yang suaminyasepanjang hari selalu berada di tengah laut, kini harus menunggu disisinya. Entah siapa yang mencari nafhak untuk keluarga esok hari. Kehidupan nelayan masih amat menyedihkan. Jingga menyadari hal itu.
Jingga mohon diri dengan hati menhan rasa haru yang teramat dalam. Seorang lelaki yang tubuhnya tidak dapat dilukai denagan kapak atau golok karena kebal, juga punya rasa kasihan yang amat besar dihatinya.
“Saya ikut, Bang Jingga!,” cetus gadis itu tanpa canggung lagi.
“Pulang?”
“Ya, pulang! Adik saya yang masih kecil tidak ada yang menemaninya di rumah!”
Sepeda motor besar Honda Tiger itupun meluncur lagi dalam kegelapan malam yang amat dingin, karena embun pun sudah turun ke bumi. Tanpa canggung gadis itu berpegang di pinggang Jingga.
“Stop!. Berhenrti, Bang!” teriak gadis remaja yang wajahnya cantik itu ketika lewat di depan sebuah cafe.
“Kenapa? Ada sesuatu yang jatuh?” tanya Jingga ketika menginjak rem sepeda motor yang meluncur amat kencang.
“Tidak!” sahut gadis itu dan masih memeluk pinggangnya.
“Lalu kenapa minta berhenti?”
“ Saya haus dan lapar. Maukah Bang Jingga menemani saya sekedar minum kopi dan makan sebuah kue?. Sejak pagi saya tidak makan dan minum pun tidak sempat sama sekali.” Gadis cantik itu berkata lugu.
Jingga semakin kasihan. Lelaki itu membelokan sepeda motornya ke halaman cafe, padahal tempat itu sudah amat sepi. Bahkan sebagian pintu-pintu sudah ditutup. Pengunjungnya hanya tinggal Jingga dan seorang gadis yang ibunya sedang terbaring di rumah sakit.
Lelaki itu memesan dua gelas kopi dan kue. Baru saja dua gelas kopi dan kue diletakkan pelayanan cafe, gadis itu menguknya. Gadis itu benar-benar haus. Benar-benar lapar. Dan benar-benar sedang di lilit kesusahan.
Malam semakin larut, embun pun semakin banyak turun kebumi dan udara makin dingin menusuk hingga ke sum-sum tulang. Tapi lelaki itu masih dalam cafe bersama seorang gadis yang wajahnya sendu. Tidak ada orang lain. Hanya mereka berdua dan cahaya lampu di cafe hanya remang-remang.
“Ayo kita pulang!” ajak lelaki itu ketika melihat arloji tanganya. Sudah jam satu tengah malam. Ia un semakin merasakan dinginnya udara malam dan embun dini hari. Lelaki itu menguap.
“Tunggu!” sahut gadis itu.
“Perjalanan kita masih amat jauh!”
“Sebentar lagi!”
“Apa yang harus ditunggu lagi?”
“Kita menunggu terbitnya fajar di tempat ini!”
“Aini!” Jingga merasa heran melihat sikap gadis belasan tuhan itu.
“Saya ingin di sini sesaat lagi. Kalau mungkin lebih lama lagi!” gadis itu berkata polos. Bibirnya yang tergetar tampak amat indah dalam keremanagan lampu-lampu cafe.
“Abang jadi tak mengerti sikapmu, Aini!”
Sebelum lelaki itu selesai berkata-kata, Aini mendadak rebah di dada lelaki itu. berdesair darah dalam tubuh lelaki itu karena ia merasakan kelembuatan tubuh gadis berwajah cantik itu.
Darahnya mendadak gemuruh, lebih gemuruh dari suara mesin perahu motor yang selalu dibawanya ke tengah laut bermuatan penuh bahan bakan solar dan sebuah kapal tanker berbendera asing sudahj menunggu disana. Siapapun orangnya, setiap lelaki, pasti akan merasakan dadanya gemuruh dan darahnya berdebar-bedar bila seorang gadis berwajah cantik dan masih amat muda tiba-tiba rebah didadanya, apalagi gadis itu nmenggeliat tubuhnya. Darah Jingga berdesir-desir.
“Bawalah Aini pergi jauh, Bang Jingga,” suara gadis itu lirih dan masih rebah didadanya.
“Pergi jauh? Kemana?” darah lelaki itu makin gemuruh.
“Kemana saja abang kehendaki!”
“Untuk apa pergi jauh?”
“Disana abang bisa berbuat apa saja terhadap Aini. Disanalah abang boleh menyentuh tubuh Aini!”
Jingga heran melihat gadis yang masih rebah didadanya dan menggeliat tubuhnya yang molek dan padat itu.
“Kamu mimpi, Aini?”
“Tidak!”desah gadis itu lirih, hampir tidak terdengar.
“Kamu mengigau?”
Gadis itu menggeleng.
“Kamu sakit?”
“Tidak!”
“Mabuk?”
“Tidak!”
“Kamu benar-benar sadar?”
Gadis itu mengangguk. Meskipun lelaki itu merasakan debaran jantung yang amat keras, tapi ia masih tetap heran melihat sikap gadis yang tiba-tiba saja rebah di dadanya di sebuah cafe yang sepi dan di tengah malam yang amat dingin.
“Bawalah saya kemana saja sekarang!”
“Untuk apa? Bukankan emak sedang sakit?”
“Abang bolh berbuat apa saja terhadap Aini. Abang boleh mencium saya. Memeluk saya erat-erat dan saya tidak meronta. Saya pasrah............”
Perlahan sekali, tangan gadis itu menyentuh tangan Jingga dan meletakan diatas puncak dadanya yang indah, yang padat dan lembut. Darah lelaki itu semakin gemuruh.
“Ayo, Bang, peluklah tubuh Aini. Dekap saya perlahan sekali, tangan gadis itu menyentuh tangan Jingga dan meletakan diatas puncak dadanya yang indah, yang padat dan lembut. Darah lelaki itu semakin gemuruh.
“Ayo, Bang, peluklah tubuh Aini. Dekap saya erat-erat....,”pinta gadis yang bersandar di dadanya dan benar-benar pasrah.
Jingga mendekap tubuh gadis di depannya.
“Dekaplah yang erat, seerat-eratnya. Biarlah tubuh saya remuk!”
Jingga memeluk tubuh Aini semakin erat. Darahnya makin gemuruh lagi. Nafasnya tak lagi teratur. Berahinya bergelora.
“Ciumlah saya!.” Pinta gadis itu dengan suara amat lirih.
Jingga mendekatkan wajahnya dan bibirnya hampir saja menyentuh bibir yang tipis dan merekah itu. betapa indah bentuk bibir gadis itu dan mengundang gairah semua lelaki. Apalagi lelaki sepertyi Jingga.
“Ayo, bang!. Kecuplah saya!”
Lelaki itu semakin mendekatkan wajahnya. Bibirnya mulai menyentuh sepasang bibir indah itu. Aini sudah pasrah. Pasrah kepada seorang lelaki yang telah bermurah hati memberi pinjaman dua juta rupiah. Siapa yang punya uang dua juta rupiah saat ini?. Nelayan mana yang dengan mudah memberi pinjaman uang sebanyak itu?
Disaat negeri ini porak poranda ditimpa bandai krisis berkepanjangan amat jarang orang mempunyai uang simpanan dua juta, apalagi dikalangan warga nelayan penghasilannya dari melaut hanya pas-pasan untuk hidup dan nafkah keluarga dari hari ke hari . bahkan terkadang untuk membayar uang SPP atau uang buku anaknya di sekolah dasar, nelayan itu tidak punya uang. Apalagi dua juta dan Jingga semjudah itu memberinya.
Jingga sudah meletakkan bibirnya di atas bibir indah itu, tapi sebelum ia mengecupnya amat lama, tiba-tiba ia tersentak. Nalurinya seperti mencegahnya untuk tidak melumatkan sepasang bibir indah itu, padahal darahjnya sebagai lelaki sudah amat gumuruh.
“Jingga, Jingga! Jangan kecup bibir indah itu!. jangan kau lumatkan bibir molek itu!, “suara halus itu terdengar di rongga telinga kanannya. Dan suara halus itu adlah suara nalurinya.
Jingga terpaksa mengangkat wajahnya. Padahal gadis itu sudah memejamkan matanya. Ia sudah rela Jingga berbuat apa saja terhadapnya, tidak hanya memeluknya, tapi lebih dari itu. sungguh lebih dari itu!.
“Bang Jingga,” desis lirih suara gadis itu.
“Hmmmm,” Jingga hanya mampu bergumam pendek, karena darahnya sebagai lelaki tetap saja gemuruh. Jantungnya tetap saja berdebar amat keras, memukul-mukul dadanya.
“Kenapa tiba-tiba abang merasa ragu-ragu?” mata gadis itu sudah amat sayu.
“Aini....!” Jingga mampu menyebutkan nama gadis yang baru saja menerima uluran yang dua juta rupiah dari tangannya.
“Ayo teruskan! Dekap saja lebih erat. Peluk saja lebih lama. Cium saya dengan mesra. Saya lelaki itu merasakan desah nafasnya tidak teratur lagi. Darahnya yang gemuruh menyebabkan ia ingin berbuat lebih jauh. Ia ingin memeluk tubuh dan ingin melakukan sesuatu lebih jauh lagi. Tapi masih ada suara halus di rongga telinga kanannya, suara naluruinya sendiri, yang mengingatkan dirinya agar tidak berbuat jauh terhadap gadis itu.
“Ayo Bang. Dekap saya!. Peluk saya!. Cium saya!” pinta gadis itu lagi. Bahkan gadis itu meraih tangan lelaki itu sekali lagidan meletakkannya diatas puncak dadanya yang padat namun amat lembut.
“Aini......”
“Saya pasrah!”
“Kenapa tiba-tiba saja kau pasrah kepada abang? Kenapa tiba-tiba saja kau mengajak kita berbuat seperti ini? Bukankah emak sedang sakit dan terbaring lemah di rumah sakit?”
“Justru itulah saya pasrah malam ini. Lakukanlah apa saja terhadap saya!”
“Kenapa tiba-tiba kamuj bersikap begitu?”
“Karena Bang Jingga berbuat baik terhadap emak. Dan abang sudah memberi kami pinjaman dua juta. Dari mana kami dapat memperoleh uang sebanyak itu meskipun hutang?”
“Abang memang ingin membantu!”
“Bantuan itu terlalu besar untuk keluarga nelayan, hutang dua juta sama dengan nyawa, Bang. Dari mana keluarga kami dapat mengembalikan uang sebanyak itu? kami tidak sanggup...........” tiba-tiba saja air mata gadis itu berderai seperti hujan lebat.
“Lalu karena itu kamu pasrah dirimu?”
“Ya!” amat pelan gadis itu mengangguk. Air mata masih berderai di pipinya yang mulus. Diri saya sebagai penebusnya meskipun dengan hati teramat berat untuk pasrah.....”
Sebagai tanda pasrah dirinya, gadis itulah yang menanggalkan kancing kemeja Jingga.
Jingga tetap diam. Kasihan gadisdari keluarga nelayan itu. ia benar-benar asrah, semi menebus hutang keluarganya. Masih untung lelaki disisinya adalah lelaki yang masih berpikir panjang. Bila lelaki lain, mungkin lelaki itu sudah mendekapnya amat erat, sudah melumutkan bibirnya, mungkin lelaki itu sudah membuka semua pakaian yang menutupi tubuh indah itu kemudian terjadilah segalanya. Akan hilanglah kehormatan seorang gadis demi menebus hutang yang hanya bernilai dua juta. Bagi warga kota dua juta tidak berarti apa-apa, tapi bagi warga nelayan yang melarat jumlah itu amat berat, seakan hutang nyawa. Lihatlah Aini, sampai tega menyerahkan diri dan kehormatan serta kesucian dirinya hanya untuk menebus hutang itu.
“Kita tidak boleh melakannya, Aini.....” ucap Jingga lirih.
“Kenapa?. Tempat ini sepi. Kamar juga ada!”
“Jingga! Kita tidak boleh berbuat terlalu jauh!”
“Kalau saya hamil, saya akan menggugurkannya. Ayo lakukan apa saja.!”
Jinggi menggeleng lirih. Ia tetap mendengar bisikan nalurinya dirongga telinga kanan.
“Ingat, Jingga! Sekali lagi kau lakukan hal-hal yang tidak sepantasnya terhadap seorang seorang gadis yang amat polos itu, desamu akan ditimpa bencana yang lebih dahsyat. Yang akan terjadi bukan hanya wabah penyakit dan ternak-ternak mati, tidak hanya badai dahsyat Tunamai yang akan memporak porandakan desamu, tapi juga gempa yang paling mengerikan yang akan menenggelamkan desamu!” suara itu halus, tapi terdengar jelas oleh lalaki itu. “Desamu akan terkubur!”
Itulah sebabnya Jingga tidak berbuat apa-apa meskipun gadis didepannya sudah benar-benar pasrah dan sudah membuka kancing bajunya.
“Bang Jingga takut saya hamil?,” tanya gadis lugu itu dan masih meletakkan tangannya di puncak dadanya yang padat.
“Tidak!” Jingga menyahut pendek.
“Jadi takut apa?”
“Kita tidak boleh melakukannya, Aini! Tidak boleh!”
“Kenapa?”
“Kalau kita melakukannya, kalau kita berbuat terlanjut alam akan sangat murka....”
“Alam akan sangat murka?”
“Ya” lelaki itu tidak menyebut Tuhan yang murka, tapi alam. Lelaki itu memang sangat jauh dari Tuhan.
“Murka bagaimana?”
“penduduk desa kita akn diserang berbagai jenis wabah penyakit. Ternak-ternak akan mati. Badai dahsyat akan datang.
“Seperti bencana yang lalu?” gadis itu menatap Jingga .” Dan korban akan bergelimpangan?”
“Orang-orang akan mati, lalu setelah badai Tsunami akan terjadi lagi gempa yang paling mengerikan. Desa kita akan tenggelam ke dasar tanah. Ratusan oprang akan terkubur hidup-hidup.!”
“Betapa sangat mengerikan!”
“Aku tidak ingin bencana itu datang lagi!. Cukuplah sekali badai Tsunami itu menghancurkan desa kita!”
“Keluarga saya juga tidak ingin terjadinya bencana lagi!”
Jingga hanya menghela nafas panjang. Ia masih mampu mencegah menyusupnya syetan dalam dirinya. Bila syetan sudah masuk, maka akan terjadilah segalanya. Bila syetan itu masuk dalam dadanya, gadis itu akan kehilangan kesucian dirinya. Dan merenggutnya adalah Jingga. Tuhan masih melindungi kesucian gadis yang teramat lugu.
“Terima kasih, Bang Jingga. Hatimu teramat mulia. Tidak akan pernah ada seorang lelaki yang memiliki hati teramat mulia seperti Bang Jingga.”
Gadis cantik itu mengancingkannya kembali blusnya. Perlahan ia bangkit dan tidak lagi bersandar didada lelaki itu.
“Terima kasih atas ketulusanmu, Bang Jingga!”
Di malam yang dingin, ketika embun pagi sudah menyelimuti akam sekitar cafe yang sepi itu, seorang gadis telah selamat dari dosa yang teramat besar. Ia tidak sempat kehilangan kehormatannya. Ia tidak sempat kehilangan kesucian dirinya sebagai seorang gadis. Dan desa itu juga terhindar dari bencana. Tidak pernah lagi warga yang diserang wabah. Puskesmas yang ada di desa itu juga sepi sepanjang hati. Dr Husnah yang dilahirkan diKawasan Sungai Mati itu lebih banyak menganggur dan membaca buku atau majalah. Bahkan ia terkadang sempat membawa Alwa pepaya dan Anyang Pakis, makanan Khas Melayu.
Desa itu tidak pernah lagi ditimpa bencana gelombang Tsunami yang amat mengerikan itu. gempa pun tidak pernah terjadi. Semua nelayan dengan tenang pergi ke laut dan hasilnya lumayan. Dan nelayan yang memilihara kambing amat bersyukur karena kambing-kamb ing itu sekali melahirkan dua anak kambing. Yang memilihara ayam juga begitu, satu induk bertelur sepuluh dan menetas semua. Dan di tepi pantai yang menghadap ke Selat Malaka itu benar- benar terhindar dari malapetaka karena dosa tidak pernah lagi terjadi disana.
Bila ibu Nurul Aini pulang dari rumah sakit dan sembuh, gadis itu mengundang Jingga untuk makan siang bersama-sama keluarga nelayan itu. Jingga amat lahap menikamti ayam goreng yang dimasak gadis itu. Aini tampak semakin cantik.
******
K
|
EBAIKAN hati Jingga tidak hanya terhadap keluarga gadis cantik itu. hatinya selalu terbuka untuk membantu orang-orang yang sedang diterpa kesulitan dan kesusahan. Seperti halnya terhadao keluarga Mahmud yang akan mengawani anak dan butuh uang. Jingga dengan mudah mengulurkan tangan dan membuka dompet. Apalagi keluarga sesama nelayan, hatinya selalu terbuka untuk membantu. Seperti terhadap keluarga Pak Yacub yang akan mengkhitankan puteranya, algi-lagi butuh pinjaman uang dan kepada siapa lagi ia menghadap kalau tidak terhadap lelaki mantan preman itu.
Apa lagi bila ada keluarga nelayan yang tertimpa musibah kematian, pasti yang pertama hadir di rumah duka itu adalah lelaki yang kini jadi nahkoda perahu motor itu. lelaki itulah yang biasanya membuka dompet untuk membeli segala kebutuhan fardhu kifayah, mulai dengan kain kafan secukupnya, bunga, air mawar, tikar, payung, pandan dan dua keping papan penutup liang lahat. Bahkan upah dua orang menggali kubur juga dari Jingga. Apa lagi makanan dan minuman juga dari lelaki itu, mulai dari kopi, nasi dengan lauk rendang kue lemper atau tahu sumedang. Bila ada penggali kubur menikmati kopi hangat dan kue-kue yang amat lezat, di desa nelayan yang terletak menghadap ke Selat Malaka itu karena yang memberinya adalah Jingga.
Dalam mengusung kerenda, lelaki itu juga ikut turun tangan. Lelaki itu memang lagi Jingga yang dulu yang selalu meresahkan masyarakatkarena meminta uang keamanan dengan paksa dari sopir angkot atau pedagang kaki lima.
Nama Jingga menjadi amat harum dan lekat dibibir warga desa itu. kebaikan hatinya, ketulusannya, mudah mengulurkan tangan, gampang membuka dompet dan segala kebaikan melekat pada dirinya. Bahkan ketik aseorang perempuan meninggal akibat gagal melahirkan karena menderita eklampsia, nama Jingga disebut orang. Sebab lelaki itu yang membeli kain kafan dan papan penutup liang lahat. Hingga kekompleks pemakaman pun nama Jingga benar diingat orang, disebut dimana-mana.
Bukankah nama Maimunah yang menyumbang dana membangun menara mesjid setinggi 15 meter hingga suara azan terdengar sampai ke desa seberang, hingga ke tengah laut juga terdengar, nama itu tidak pernah disebut orang lagi. Nama itu seakan tenggelamkarena harumnya nama seorang lelaki yang mudah membuka dompet membantu keluarga nelayan yang sedang dalam kesulitan.
“Warga desa kini bersyukur ada seorang lelaki dermawan seperti Jingga!,” ujar Pak Tohar yang usianya delapan puluh tahun dan mengacungkan jempol tangan kanannya tanda ia sangat kagum kepada laki-laki mantan preman desa pantai itu.
“Carilah orang seperti itu di desa lain, orang tidak akan menemukannya!,” seorang anak muda menimpali.
“Tuhan telah membuka pintu hatinya,” sambung yang lain.
“Jingga benar-benar bukan yang dulu lagi!”, sambung ustadz Munir yang selalu menjadi imam di mesjid Istiqomah.
“Tuhan telah berkenan membuka pintu hatinya untuk tobat!” sahut seseorang yang juga selalu hadir di mesjid benar itu.
“Semoga Jingga tetap pada pendiriannya sekarang, tetap istiqomah!,” yang lain memberikan komentar lagi. Mudah-mudahan Tuhan menambah rezekinya agar Jingga tetap berkenan membantu keluarga kita yang kesulitan.”
Tidak hanya lelaki di mesjid itu yang mendoakan agar Jingga mendapatkan tambahan rezeki, tetapi masih banyak warga desa itu yang ikut mendoakannya. Nama lelaki yang kini menjadi nahkoda perahu motor itu semakin harum, semakin sering disebut oang dimana-mana. Nama Jingga karena kebaikannya, semakin lekat di bibir warga nelayan itu. dimanapun namanya selalu dipuji orang.
Lelaki itu memang benar-benar baik dan pemurah serta mau mengusang jenazah. Siapa menduga, bahwa seorang lelaki yang dulu selalu meresahkan masyarakat, lebih sering mabuk, namun sekarang benar-benar sudah berubah? Uluran tangannya sudah banyak dirasakan warga desa di pinggir laut itu.
Tapi lelaki yang kini menjadi nahkoda perahu motor itu tidak pernah sama sekali memberikan sumbang untuk mesjid. Lelaki yang duitnya sekarang tebal itu, tidak pernah membuka dompetnya untuk mejelis ta’lim. Lelaki yang selalu memberi pinjaman kepada orang-orang yang kesusahan itu, sama sekali tidak pernah memberikan sumbangan untuk isra’Mi’raj atau hari-hari besar islam lainnya. Bahkan ketika berlangsung MTQ, ia baru-baru pergi ketika dua orang remaja puteri ingin meminta bantuan dana.
Lelaki yang kini hidupnya makmur itu sama sekali tidak pernah perduli untuk kegiatan keagamaan, apa lagi yang namanya untuk mesjid dan majelis ta’lim. Sebab ia benar-benar sadar, bahwa uang yang diperolehnya dengan tidak wajar, dengan cara menyulupkan bahan bakar minyak ke tengah laut dan sebuat tanker berbendera Singapura sudah menunggu disana. Lelaki itu benar-benar sada, bahwa caranya mendapatkan uang tidak halal dan melanggar hukum.
Itulah sebabnya ia sama sekali tidak perduli dan tidak pernah membantu pembangunan mesjid atau MTQ. Sebab lelaki itu merasa, tidak selayaknya mesjid atau kegiatan keagamaan dan ibadah ternodai oleh dana yang diperoleh dengan jalan yang tidak syah.kesucian mesjid, majelis ta’lim atau MTQ. Akan ternodai oleh uang hasil perbuatan melanggar hukum. Jingga tidak mau!. Lelaki mantan pereman itu memang seperti batu gunung yang amat keras, tapi sisi baiknya juga ada. Ajaklah dia ketempat hiburan yang ada wanita penghibur, yang akan menghangatkan suasana, lelaki itu pasti menolak. Apalagi kelembah hitam, di hotel-hotel disana tersedia perempuan yang gampang dijak untuk berbuat apa saja, Jingga pasti ogah!. Sebab bila ia bergaul intim diatas ranjang bersama perempuan penghibur itu, pasti hukum karma akan menimpanya. Pasti seorang gadis yang amat dicintainya dan saat ini sedang mengais ringgit di negeri orang akan berbuat seperti itu. apalagi ditempat yang jauh, di seberang lautan, siapa yang melihat kalau Maimunah bersama lelaki lain di hotel?. Tidak jarang terjadi pasangan sesama TKI derdua-dua di hotel. Suah amat sering terdengar TKI merasa kesepian di negeri Hang Tuah itu dan kemana lagi kalau tidak mencari pasangannya? Istri juah, suami diseberang lautan!
Malah banyak TKI yang bermasalah dengan enggan pulang ke Tanah Air menjadi wanita penghibur di negeri ringgit itu. Jingga pernah membaca koran bekas, daerah yang menjadi gudang para TKI menjual kehormatannya adalah di sebelah timur negeri jiran itu, yakni Sabah. Dan orang memberinya julukan negeri Bawah Angin, sebuah negeri yang gemerlap kepuasan kepada kaum lelaki. Ribuan wanita yang menjajakan diri ada di Negeri Bawah Angin itu. Jingga tidak ingin seorang gadis yang dicintanya terbawa angin ke negeri bagian timur itu.
Dan Jingg yakin, bahwa Munah adalah seorang TKI resmi yang didukung dengan dokumen dan izin yang lengkap. Apalagi Jingga mendengar dari sesama TKI, bahwa Munah mendapat majikan keluarga muslim yang baik.
Malah kabar yang terakhir yang sampai ke rongga telinganya, Munah dipercaya majikannya untuk menjaga tiga orang anak-anaknya selama majikannya melaksanakan ibadah umroh ke tanah suci. Majikannya tidak menitipkan anak-anak kepada saudara-saudaranya, tapi kepada pembantu yang berasal dari Indonesia, dari Kabupaten Asahan.
Bukankah hal itu adalah amanah yang amat besar?. Majikanya tidak ragu-ragu pergi jauh ke Mesir, Istambul, Bagdad, hingga ke Yaman.
“Jagalah anak-anak majikanmudengan baik, Munah. Biar mereka selalu melindungi dirimu di negeri orang!,” terkadang lelaki nahkoda perahu motor itu berpesan kepada angin lalu, atau kepada awan yang berarak, atau kepada elang laut yang terbang tinggi. “Aku selalu menggumu, Munah!. Aku selalu merindukan kepulanganmu. Begitu kau pulang dan menjejakan kakimu di desa kita, aku langsung mencium ujung kakimu!” ujar lelaki itu lagi kepada elang laut yang melayang-layang seperti mengajakannya bercanda!”.
“Aku tidak seperti dulu lagi, Munah!. Aku sudah menjauhi minuman keras dan mengharamkannya. Aku rajin sekarang mencari nafkah untuk kebahagiaan kita. Akupun ingin berbuat baik kepada siapa saja! Kita akan hidup bahagia nanti!”.
Bila ada seorang lelaki yang paling benci kepada alkohol, bila ada seorang yang paling benci kepada tempat-tempat hiburan apalagi yang menyediakan perempuan yang menawarkan kehangatan, itulah Jingga yang kini benar-benar sudah berobah. Bukankah sebsuah kebaikan bila lelaki itu mau mengusung keranda orang mati? Dia pula yang membuka dompet untuk keperluan fardhu kjifayahnya seperti kin kafan, air mawar, payung dan papan penutup liang lahat!.
Hanya cara mencari nafkah belum bersih dari dosa. Sebab pekerjaannya adalah menjadi nahkoda perahu motor yang membawa puluhan ton bahan bakar solar ke tengah laut ada sebuah tanker berbendera asing sudah menunggu di sana.
Namun dalam menjauhi dosa, lelaki mantan preman itulah yang paling jijik untuk melakukannya. Ia ingin menjauhi dosa meskipun sekecil butiran pasir. Seakan ia ingin menebus dosa-dosa dan perbuatannya yang dulu amat meresahkan masyarakat. Ia benar-benar ingin menebusnya. Bahkan dalam hal mencari untuk meninggalkan perahu motor itu. lelaki itu sudah merencanakan, bila ia sudah mampu membeli sebuah mobil kijang, ia akan meninggalkan perahu motor itu.
Dengan kijang itu Jingga akan mengangkat ikan ke kota. Jingga akan menjadi juragan ikan. Supaya haji Brohim tidak lagi memonologi pembelian ikan dari para nelayan dan mematok harga semuanya. Supaya juragan itu tidak lagi jadi rentenir di pantai itu. cita-citanya yang amat mulia itu sudah ada dalam benaknya. Hidupnya akan bersih dari dosa nanti.
Itulah sebabnya ketika kawan-kawannya sesama awak perhu motor itu mengajaknya ke diskotik, Jingga menolok. Kemana lagi para awak perahu motor itu pergi untuk menghamburkan uangnya uang diperoleh dengan jalan melanggar hukum itu kalau tidak ke tempat hiburan dan menikmati hangatnya perempuan malam?.
Tapi Jingga sama sekali tidak mau. Ia amat benci tempat itu.
“Ayo, Jingga. Ada pandangan baru yang masih duduk dikelas dua es-em-u. Cantiknya bukan main,” ajak Songkot yang tubuhnya hitam legam.
“Badannya bahenol!,” sambung kawannya.
“Ayo, Jingga. Mumpung Munah di negeri orang. Kalau Munah Pulang, kau pasti tidak bisa berbuat apa-apa lagi!,” bujuk yang lainnya.
“Aku sudah terlanjur bersumpah untuk tidak melangkah ke sana!,” Jingga menyahut pendek dan meneguk kopi yang amat kental. Hanya kopi hangat itulah yang selalu melewati tenggorokannya. Minuman keras sudah amat lama diharamkannya. Melihatnya saja, Jingga mau muntah, apalagi menenggaknya.
“Hanya sekarang kau dapat menikmati kesenangan, Jingga. Setelah kau kawin dengan Munah pasti tidak akan dapat berkutik!,” bujuk kawannya lagi.
Jingga tetap menggelengkan kepala dan menyulut Gudang Garam. Hanya rokok dan kapi yang selalu menghibur dirinya sekarang. Atau menghitung hari kapan saatnya ia berhenti berlayar membawa perahu motor bermuatan solar itu. atau menghitung hari, kapan Munah pulang kemudian mereka menikah.
“Hebat kau saekarang, Jingga!,” Sangkot bercanda. “Sejaka kapan kau mengisi dadamu dengan iman?. Bukankah selama ini isinya hanya alkohol?”.
“Kau mau jadi ustadz setelah kita tidak berlayar lagi,” Alang ikut-ikutan bercanda. Tetapi mantan pereman yang kebal peluru itu tidak pernah marah dengan canda sahabat-sahabatnya.
“Aku yakin untuk seorang seperti kau, tempat yang paling indah sudah tersedia di sorga!”.
“Amin!,” Jingga menyahut pendek dan mengepulkan asap rokoknya tinggi-tinggi. Lelaki itupun meneguk kopi hangatnya ketika semua sahabatnya pergi ke diskotek dan esok baru kembali. Biarlah mereka menghabiskan uangnya di tempat hiburan. Biarlah mereka msuk ke hotel dan menikmati malam-malam yang hangat bersama pasangannya yang dubawanya dari diskotek itu.
Lelaki itu kembali menghitung waktu. Waktu kapan saatnya ia tidak lagi berlayar membawa muatan bahan bakar solar yang diseludupkan ke sebuah kapal tanker di tengah laut. Pekerjaan itu terlalu penuh dengan resiko yang amat berbahaya. Tiap saat aparat keamanan perairan selalu mengintai. Sekali kepergok patroli polisi perairan, atau aparat terkait lainnya, penjara menantinya.
Itu sebabnya lelaki itu selalu memberangkatkan perahu motor itu di tengah malam sepi dan dingin serta embun pun sudah turun ke bumi. Lebih baik lagi bial hujan turun, pantai itu makin sepi dari aparat keamanan.
Hanya tinggal dua atau tiga kali lagi lelaki itu membawa perahu motor bermuatan bahan bakar itu, lalu meninggalkannya sama sekali. Ia akan membeli sebuah mobil kijang, lelaki itu akan jadi pemilik angkutan yang akan membawa hasil pantai itu ke kota. Ia akan membawa minyak goreng, mie instan, sabun, beras, gula dan barang-barang kebutuhan warga nelayan sehari-hari dari kota. Munah pasti senang dengan pekerjaan itu. lelaki memang ingin benar-benar membahagiakan Maimunah. Ia sudah bersumpah untuk hidup wajar, terhormat, bahagia dan bersih dari dosa. Betapa mulia cita-cita itu.
Sambil menegak kopi hangat dan mengepul asap rokok kereteknya, lelaki itu juga menghitungwaktu, kapan saatnya Maimunah pulang ke tanah air. Sudah amat dekat gadis itu akan pulang dari mengais rezeki dari negeri Hang Tuah itu. lalu setelah itu, Munah tidak akan pernah pergi jauh lagi. Munah akan jadi ibu rumah tangga sejati, yang akan selalu di sisi suami dan anak-anaknya.
******
K
|
EBAHAGIAAN itu hanya tinggal sejengkal lagi akan tercapai di tangan lelaki itu. bahkan kebahagiaan itu sudah terbayang dipelupuk mata dan lelaki itu tidak akan mlepaskannya lagi. Rasanya ia menggenggam gugusan bintang-bintang yang sedang bersinar di langit biru.
Tapi lelaki itu merasa amat mengantuk dan tidur lelap, justru mimpinya bukan tentang menggapai segugus bintang pagi, tapi mimpi yang amat buruk dan menakutkan.
Dalam mimpi itu semua awak perahu motor itu menolok untuk diajak memuatkan puluhan drum bermuatan bahan bakar solar.
“Kami belum ingin berlayar malam ini,” ujar salah seorang seperti aktivis yang meminpin gelombang demo dalam mimpi itu.
“Kami belum puas berada di darat!,” sambung yang lain.
“Kami masih ingin menikmati hiburan,” yang lainnya ikut bicara dan di pipi awak kapal itu tampak ada lipstik melekat, tanda baru saja bermesraan dengan wanita penghibur.
“Kalian butuh uang atau hiburan?,” teriak Jingga amat marah.
“Kami masih punya uang!,” serentak awak perahu motor itu menyahut dan masing-masing mengeluarkan uang dari dalam saku pakaiannya. Mereka mengacungkan uang itu.
“Uang untuk hari esok, tolol!!!,” lelaki semaakin marahkarena perintanhya sebagai nahkoda tidak dihiraukan awak perahu motor itu.
“Hari esok?. Pintar kau berkhotbah sekarang Jingga!”, balas awk perahu motor itu. “Biarlah hari esok itu untukmu, Jingga!.”
Salah seorang mendekati lelaki itu. rambut lelaki itu mulai memutih, tandanya lelaki itu mulai memasuki hari tua. Dalam setiap pelayaran, lelaki itulah yang paling penakut. Melihat kapal di kejauhan saja ia ketakutan karena mengira kapal aparat perairan yang melakukan patroli padahal kapal itu hanya kapal ikan.
“Kau tidak melihat awan hitam di sebelah timur itu, Jingga?, itu tandanya akan ada badai dahsyat di tengah laut!”
“Anak nelayan selalu tidak takut kepada ombak dan badai!,” balas Jingga membakar semangat. “Anak nelayan tidak akan pernah takut tenggelam di tengah laut!. Setiap anak nelayan selalu gagah perkasa menerjang ombak!”
“Kami tidak ikut!. Kami tidak ikut!’ teriak mereka bersamaan.
“Kami tidak akan berlayar!”
Jingga amat marah karena anak buahnya membangkang. Matanya merah. Darahnya gemuruh.
“Kalian sungguh-sungguh tidak mau berlayar? Kalian sungguh-sungguh tidak mau uang?”
“Kami masih punya uaaaaaaaaang!”, semua awak perahu motor itu menyahut serentak. Semua kompak. Lelaki yang pernah belajar ilmu kebal itu benar-benar tidak mampu mengendalikan amarahnya dalam dadanya.
“Baik!. Kalau kalian tidak mau berlayar, ini hadiah untuk kalian!”
Sebagai seorang laki-laki yang pernah belajar ilmuj silat serta tenaga gaib dan ilmu kebal. Lelaki itu dengan sekuat tenaganya menendang salah satu drum berisi penuh minyak solar. Tentu saja tendangan itu berbeda dengan tendangan lelaki biasa yang tidak punya ilmu apa-apa.
Seperti bola yang ditendang oleh gelandang kanan, drum itu melayang tinggi dan jatuh dekat awak perahu yang sedang melakukan unjuk rasa menentang untuk tidak berlayar.
Drum berisi bahan bakar itu jatuh dibawah dan terbakar.suaranya mirip bom berkeuatan tinggi dan menyemburkan api. Semua awak perahu motor yang sedang melakukan mogok itu terbakar hangus. Tapi ledakan dan api yang dahsyat itu membangunkan semua warga pelabuhan itu. Aparat pelabuhan dan perairan juga terbangun dari tidur lelap. Mereka segera mengamankan tempat itu dan melepaskan seretetan tembakkan. Amat mengerikan. Jingga terbangun dari tidurnya oleh mimpi yang amat burukitu. Hanya mimpi buruk, pikir lelaki itu dan mengusap matanya. Dan ia yakin, awak perahu motor itu semua masih setia kepadanya. Jantungnya berdebar keras, seperti memukul-mukul. Lelaki itu menenggak air putih bair jantungnya berhenti gemuruh dan berusaha memejamkan matanya. Ia memeluk guling. Hanya gulingan itu selalu menemani tidur.
Syukurlah mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan bagi lelaki itu. mimpi buruk memang merupakan firasat atau tanda-tanda, tapi bukan untuk Jingga, yang selalu menghitung hari, namun untuk kawan-kawannya yang selalu menghambur-hamburkan uangnya di tempat hiburan.
Yang dibawa pulang dari tempat-tempat hiburan oleh awak perahu motor itu tidak hanya kelelahan, tidak hanya rasa mengantuk, tidak hanya bau alkohol, tapi juga benih-benih penyakit. Tentu saja bukan benih penyakit biasa seperti flu atau diare. Penyakit apa lagi yang didapat dari tempat-tempat bermain cinta kalau bukan gonorhoea, shyplys atau herves? Bahkan juga terkadang ada yang mengidap HIV/AIDS. Sebab lebih delapan puluh persen para pekerja seksual komersial itu memang mengidap kuman-kuman dan bakteri penyakit kelamin itu.
Seorang anak perahu motor yang bertubuh hitam legam itu setiap pipis pasti mengadu kesakitan karena air seninya bercampur nanah, itulah gonorhoea atau kencing nanah. Seorang lagiu alat vitalnya di tumbuhi bisul-bisul bernanah, juga ketiaknya, leher dan hidungnya. Itulah shyplys.
Batapa penyakit itu amat menjijikan. Lebih parah lagi penyakit itu dapat menular kepada keluarga di rumah. Kasihan anak-anak muda yang berasal dari keluarga nelayan itu, biasanya mereka amat lugu, takuit kepada dosa, rajin beribadah, pintar mengaji, namun uang yang banyak dimilikinya telah menyeret mereka dalam kehidupan yang melewati batas dan sebenarnya ke arah poran poranda.
Ciri khas anak nelayan lebih luntur dari tubuh anak muda yang bermukim di desa pantai yang menghadap ke Selat Malaka itu.
Tapi masih banyak anak-anak nelayan yang tetap mampu mempertahankan pola hidupnya yang sangat tradisional. Mereka tetap lugu, mereka tetap sebagai anak nelayan yang taat beribadah dan didadanya selalu ada benteng iman yang amat tangguh. Tidak hanya itu, anak nelayan selalu tidak mau menyakiti hati orang lain. Untuk mencubit saja mereka tidak mau melakukannya. Untuk mencabut sehelai ramput pun dari halaman rumah tetangga mereka tidak mau. Sebab penderitaan dan kesusahan sesama keluarga nelayan adalah penderitaannya juga.
Jangan coba-coba mencolek istri seorang nelayan, esok laut akan sepi karena seluruh nelayan akan membawa golok untuk menebus kehormatan keluarganya. Perempuian adalah sosok yang paling dihormati disepanjang tepian laut.
“Jangan bawa penyakit itu ke tengah laut. Jin laut akan marah dan mahluk berpenyakit di tengah laut!,” ujar Jingga melarang para awak perahu motor yang berpenyakit gonorhoea itu.
“Elang laut pun ikut merasa jijik, bahkan juga marah. Mungkin ditengah laut nantiburung-burung itu akan menyambar dan mencengkeramkan kuku-kukunya yang amat tajam ke tubuh kalian!.” Awak perahu yang tidak mau ikut-ikutan mendatangi tempat hiburan ikut memberikan nasehat. Dan para awak perahu motor yang sudah dijangkiti bakteri penyakit kelamin itu hanya mampu menyesali dirinya.
******
M
|
IMPI-MIMPI buruk memang selalu mengusik tidur lelaki nahkoda perahu motor itu. tidah hanya mimpi tentang perahunya yang meledak terbakar, tapi juga mimpinya disambar burung elang raksasa dan kuku-kuku elang raksasa itu mencengkeram dirinya. Elang itu membawanya terbang amat tinggi lalu mencabik-cabik tubuh lelaki itu. elang itu menjadikan tubuhnya lelaki seperti memangsanya yang paling lezat.
Malam-malam berikutnya, mimpi buruk tentang dirinya juga hadir lagi dalam tidurnya, apa lagi setiap malam jum’at, pasti mimpi buruk itu datang lagi. Lelaki yang pernah menjerumuskan seorang gadis yang amat dicintainya.. Maimunah dalam dosa, seakan menghadapi gunung meletus dan gempa pun mengguncang bumi amat keras dan gunung itu memuntahkan lahar panas.
Lelaki yang pernah berbuat dosa di tengah laut itu memang mempunyai ilmu kebal dan benda-benda kebal seperti belati, kapak, golok, dan juga peluru memang tidak akan mampu melakui dirinya. Tapi terhadap benda lain, yang mungkin lebih lembut, pasti akan mampu merobohkan tubuhnya. Seperti dalam mimpi buruk itu, ketika gunung meletus, lelaki itu diterpa lahar panas yang menghanguskan dirinya.
“Ampin!. Ampuuuuun! Jangan bunuh saya!. Bairkan saya hidup!,” lelaki itu berteriak-teriak di tengah malam yang sepi dan dingin, ketika semua orang tertidur lelap.
Tentu saja teriakan itu membangunkan orang lain.
“Jingga!. Bangun!. Bangun, Jingga!,” sahabatnya mengguncang tubuhnya yang kekar dan segar.
Jingga terbangun dan nafasnya ngos-ngosan, seperti kehabisan nafas. Seperti kerta api listrik dan arus listrik tiba-tiba padam. Lelaki itu seperti ke bingunan dan mencari sesuatu.
”Apa yang kau cari, Jingga?” tanya sahabatnya keheranan.
“Aku mencari tempat aman!. Gunung merapi itu meletus amat mengerikan!”
“Kau mimpi, Jingga!. Mimpimu pasti amat buruk!”
Untunglah sahabatnya menmgerti apa yang harus dilakukan untuk menolong kawannya yang sedang mimpi teramat buruk. Barulah Jingga tampak tenang dan menmghela nafas panjang setelah diberi air putuh.
“Kau mimpi buruk, Jingga”
“Ya,!” lelaki itu mengangguk didepan para sahabatnya yang mengelilingi dirinya.
“Mimpi apa?”
Gunung meletus dan lahar panas memusnahkan segalanya. Dunia seperti kiamat.”
“Nah sebelum tidur bacalah shalawat Nabi, ayat kursi dan basuhlah mukamu dengan air putih, biar tidurnya tenang dan semua jin serta iblis tidak menggumu!”
Jingga hanya menghela nafas panjang dan teramat dalam. Ingin rasanya ia mendatangi “Sang Guru” yang telah mengajarnya ilmu bela diri dan ilmu batin dan membuat dirinya kebal, tapi “sang Guru” sudah lama meninggaldunia. Padahal Jingga ingin bertanya apa makna mimpi yang hampit tiap malam mengusik tidurnya, hingga hampir tiap malam ia tidak dapat tidur nyenyak.
Tapi mimpi buruk itu hanya tentang dirinya sendiri. Tentang Maimunah sesekali wajah gadis cantik yang kini sedang mengais ringgit di negeri Hang Tuah itu, terkadang juga hadir dalam mimpinya. Tapi dalam mimpi itu, Maimunah dalam baik-baik saja.
Andainya Maimunah hadir dalam mimpinya, selalu yang indah-indah. Maimunah sedang memetik anggur merah sambil melantunkan “Senandung Asahan”, lagu khas anak-anak pinggir laut. Alangkah bahagianya Maimunah memetik anggur merah hingga keranjangnya yang berwarna keemasan penuh oleh anggur-anggur yang amat manis rasanya. Dan Jingga juga ingin merasakan anggur merah yang dipetik seorang gadis yang dicintainya disebuah taman.
Malam-malam berikutnya Maimunah tidak lagi memetik anggur merah, tapi bersama anak-anak majikannya bermain di depan air mancur dan gemercik air terdengar seperti sebuah kidung yang amat merdu. Alangkah merdunya ketika Maimunah melantunkan “Shalawat Badar” bersama-sama dengan anak-anak majikannya, sementara orang tua anak itu sedang melaksanakan tawaf keliling Ka’bah dan Sa’i dalam kerangkan Ibadah Umroh, hingga ke Cairo melihat Pyramid dan Spinx.
Tidak pernah sekalipun Maimunah mengalami hal-hal yang buruk dalam mimpi lelaki itu. Justru yang selalu mimpi dicabik-cabik elang raksasa atau dilanda lahar panas ketika gunung meletus adalah Jingga sendiri.
Bahkan dalam mimpi itu, Maimunah tidur dijaga oleh bidadari cantik sepanjang malam dan kamar itu harum semerbak. Mata bidadari itu tidak sepicing pun terpejam, karena takut ada seekor nyamuk mendekat. Lihatlah bidadari cantik itu tidak memperkenankan seekor nyamuk pun mengigit tubuh Maimunah. Apalagi semut yang paling kecil pun cepat-cepat di halau agar tidak mendekat.
“Itu tandanya Maimunah di jaga oleh malaikat sepanjang hari, sepanjang malam!.” Itulah komentar para sahabatnya sesama awak perahu motor ketika Jingga bercerita tentang mimpinya bertemu Maimunah.
“Itu tandanya Maimunah di negeri orang mengalami nasib yang baik, sementara te-ka-i lainnya menghadapi berbagai masalah, ada yang dianiaya majikan, diperkosa, bahkan diusir seperti anjing. Di negeri itu ada kalanya seekor kucing lebih bermartabat ketimang te-ka-i !” ujar sahabat lelaki itu.
“Nah, kalau Maimunah pulang nanti, pasti ia semakin putuh kulitnya, semkin ceria, padat dan cantik. Karena malaikat selalu memayungi dirinya agar kulitnya tidak terbakar matahari!”
Dan dada lelaki itu terasa lapang dan plong mendengar komentar sahabatnya tentang Maimunah. Apalagi Jingga bercerita tentang mimpi berikutnya, ketika Maimunah bermain disebuah taman di Bandar Antar Bangsa Kuala Lumpur, seorang lelaki memtik sekuntum bunga mawar merah dan memberikannya ke tangan Maimunah.
“Tapi Maimunah menolak pemberian bunga dari lelaki itu, padahal lelaki itu kaya, seorang konglomerat, gagah dan tutur sapanya sopan,” ujar Jingga. “Munah berlari amat jauh menghindar dari lelaki itu!”
“Tahukah kau apa arti mimpin itu, Jingga?” tanya Ibunya yang mendengar tentang mimpi puteranya. “Itu tandanya Munah tidak mudah tergoda, oleh berbagai godaan. Kau tidak perlu meragukan dirinya. Emak senang kalau Munah pulang dan kau segera menikah dengannya!”
Kaka-kata itupun membuat dadanya terasa sejuk. Semua mengatakan, bahwa Munah baik-baiknya di negeri jiran itu, bahwa Munah mendapat majikan yang sangat baik hati, bahwa Munah selalu mendapat perlindungan dan kemudahan dari Allah.
Angin sejuk memang selalu dirasakan lelaki itu yang berhembus dari arah negeri Hang Tuah itu. Angin sejuk yang membawa kabar tentang kebaikan dan kebahagiaan dari seberang laut. Munah selalu baik-baik saja, bahwa mendapat kepercayaan penuh untuk menjaga putera-puteri majikannya ketika sang majikannya melaksanakan Ibadah Umrah hingga ke Mesir dan kota-kota lainnya yang memiliki sejarah kebesaran islam.
Syukurlah Maimunah seorang te-ka-i yang bernasib mujur, sementara masih ribuan lainnya menghadapi masalah yang melilit. Apalagi ketika disebuah kilang mendadak melutus aksi ratusan TKI yang terbukti sebagai pengguna obat-obat terlarang jenis narkoba. Pihak kerajaan segera melakukan berbagai kebijakan dan tindakan keras terhadap semua TKI. Aksi itu memang buntutn ya teramat panjang. Hanya karena ulah gelintir kecil TKI, semua TKI harus merasakan. Hingga kerajaan negeri itu memberlakukan undang-undang baru, menerapkan hukum cambuk dan kurungan bagi pendaqtang haram. Semua anak-anak negeri ini yang sedang mengais ringgit disana bergidik mendengar kabar itu dan bersiap-siap untuk angkat kaki dari sana.
Hukum cambuk, betapa amat mengerikan. Sebab yang biasanya dicambuk hanya hewan seperti kambing, sapi, kerbau atau kuda. Hukum cambuk sungguh tidak pantas dilakukan terhadap manusia. Sungguh merendahkan dan meremehkan martabat bangsa dari negeri ini yamg seda\ng porak poranda karena diterpa berbagai krisis berkepanjangan dan tingkah elit politik yang gemar jual kecap.
Rasanya martabat seekor kucing lebih tinggi dari te-ka-i, karena kucing tidak pernah di cambuk di negeri Hang Tuah itu.
Ratuan ribu te-ka-i harusnya berlari terbirit-birit meninggal negeri ringgit itu. ribuan orang sengsara ditempat-tempat penumpangan karena mereka tidak punya apa-apa lagi untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Yang kelaparan, yang sakit, yang mati tidak terbilang lagi banyaknya.
Itulah sebuah tragedi yang amat memilikan di negeri yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tapi rakyatnya miskin karena salah urus. Karena pejabat negeri ini tidak berhati mulia, tidak memiliki kesadaran berbangsa yang tinggi. Mereka hanya bermental gurem!.
Tiap orang akan menunduk sedih, atau mengusap dada yang terasa amat perih karena mendengar kabar, bahwa ribuan perempuan-perempuan dari negeri yang ekonominya sedang terpuruk ini menjadi pelacur dibagian timur negeri Hang Tuah itu, yakni Sabah. Hancurlah sudah martabat bangsa dari negeri yang berbudaya amat tinggi. Bodoh, miskin, pelacuran, korupsi, kejahatan, hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya, itulah yang mengisi negeri ini.
Betapa amat sedih bila saat ini banyak orang yang merasa malu dilahirkan sebagai bangsa Indonesia.
Bila ingat berbagai tragedi yang teramat pahit yang dialami ribuan te-ka-i, Jingga berharap Maimunah cepat pulang ke Tanah Air. Pulang dan ia mencium ujung kaki gadis itu, mengajaknya menikah.
Lelaki itu berharap, sebelum menginjakkan kaki di desa kelahirannya, Jingga tidak berlayar lagi membawa perahu motor bermuatan solar itu ke tengah laut. Ia berharap, ketika Maimunah kembali ke kampung halamannya, Jingga tidak lagi mencari rezeki dengan jalan yang tiudak halal. Ia ingin dirinya benar-benar bersih.
Bila Munah pulang nanti, Jingga tidak lagi ber buat dosa meskipun kecil butiran pasir. Ia berharap sebentar lagi ia sudah membeli sebuah mobil Kijang bekas untuk mengangkut hasil ikan ke kota. Sesaat lagi, ia akan menjadi juragan ikan dan jalan hidupnya benar-benar lurus.
******
M
|
ENDUNG gelap menutupi permukaan langit di atas pantai itu ketika perahu motor itu bersiap-siap untuk lego jangkar dan puluhan drum berisi bahan bakar solar itu sudah hampir seluruhnya dinaikkan.
Seorang awak perahu motor itu mendadak berhenti memuat drum itu ketika ia melihat sepasang elang berkali-kali terbang rendah mengitari perahu motor itu.
“Hey, Kolok!,” teriak Jingga memberi peringatan. “Apa yang kau perhatikan?. Kita harus segera berangkat. Sebentar lagi fajar akan terbit!”
“Burung itu!”, lelaki itu menunjuk ke arah sepasang burung elang yang terbang rendah.”Elang itu berkali-kali mengitari perahu kita. Lihatlah elang itu memberi tanda!”
“Tolol kamu, Kokok. Kenapa baru sekarang kau meliaht elang terbang rendah?”
“Tapi suaranya seperti memberi tahu!”
“Bodoh!,” hardik Jingga lagi. “Kenapa baru sekarang kau dengar suara burung elang? Ayo cepat naikkan drum itu. cepaaaaat!”
Tiba-tiba sepasang elang laut itu hinggap di atas drum-drum berisi bahan bakar solar untuk dibawa ke tengah laut dan sebuah kapal tanker berbendera asing sudah menunggu.
“Lihat, Jingga!. Burung itu mencakar-cakar drum itu. dia seperti memberi isyarat, drum, itu tidak boleh diangkut ke tengah laut!”
“Akh, persyetan dengan elang itu!”
Elang laut itu masih mengais-ngais drum bermuatan bahan bakar solar itu, benar-benar seperti memberi isyarat agar drum itu tidak di angkut ke tengah laut. Tapi Jingga benar-benar tidak perduli, benar-benar tidak mengerti isyarat itu.
Jingga marah dan memungut sebuah batu dari lantar dermaga.
Lelaki itu melempar elang itu, padahal ke datangannya keparahu itu memberi isyarat, bahwa malapetaka sedang mengintai di tengah laut. Elang itu seperti memberi tahu, bahwa kalau perahu motor itu tetap berlayar, bencana akan menghadang.
“Bangsat, hai elang laut!!!,” batu yang dilemparkan Jingga tepat mengenai burung itu lalu menggelepar, kemudian jatuh ke laut. Kasihan elang itu, padahal ia datang untuk memberi tahu, bahwa bahaya akan menghadang bila perahu motor itu tetap berlayar ke tengah laut.
“Kau lihat, elang itu sudah mampus? Tidak ada lagi yang mengganggu. Ayo lekas naikkan drum itu. Lekas!”
Awak perahu itu segera menaikkan drum-drum itu. tapi sebelum semuanya drum itu naik, kilat menyambar diiringi petir yang menggelegar. Dan bangkai burung elang itu hilang timbul karena dipermainkan ombak laut yuang sedang pasang. Tidak seorang pun yang perduli pada nasibnya.
Betapa lelaki itu telah melakukan sebuah kekejaman. Elang tidak berdosa itu mati ditangan seorang lelaki perkasa dan tenaganya bukan tenaga biasa, sebab dibantu dengan tenaga dalam. Sebab tubuh lelaki itu sudah diberi “isi” oleh gurunya. Letakkanlah sekrang beras 50 kg, bila Jingga menendangnya, karung beras itu akan terlempar puluhan meter. Bahkan seonggok batu gunung, bila disepak Jingga, batu gunung itu akan hancur berkeping-keping dan berserak dimana-mana.
Semua awak perahu itu tertegun lagi tidak hanya karena elang yang mati, tapi juga karena petir yang mengguncang bumi.
“Kenapa berhenti?,” teriak Jingga lagi.
“Petir itu!”sahaut awak perahu itu.
“Bodoh!. Petir adalah hal yang biasa!”
“Hujan lebat akan turun!”
“Perahu ini tidak akan terhalang hanya karena hujan lebat!”
“Tapi badai juga akan terjadi!”
“Anak nelayan tidak boleh takut menengtang badai! Ayo cepat naikkan drum-drum itu!,”Jingga memberi peringatan lagi. Semua bekerja lagi dengan siap. Tapi salah seorang berkata kepada kawannya.
“Aneh bulu kudukku bergidik terus, seperti ada hantu!”
“Bukan hantu, tapi tanda-tanda akan terjadi sesuatu.”
“Bersiaplah untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi!”
“Bersiaplah melompat ke laut!” kata-kata itu tidak didengar Jingga yang bersiap-siap melepas jangkar. Angin berhembus kencang .
Gerimis mulai turun dan angin yang berhembus dari arah laut terasa lebih kencang dan dingin. Di langit tidak terlihat satupun bintang. Laut itu benar-benar gelap dan senyap. Yang terdengar hanya debur ombak dan desau angin. Atau suara batuk seorang awak perahu motor yang sedang menderita flu, tapi Jingga memaksanya untuk tetap berlayar.
“Rasanya aku tidak tahan,”keluh seorang awak perahu yang selalu memegang dadanya setiap ia terbatuk. Rasanya lebih nikmat aku tidur dari pada uang!”
“Aneh, aku juga enggan berlayar malam ini,” sahut lelaki di sisinya.”perasaanku tidak enak.”
“Memang lebih nikmat tidur!”, sambung yang lain ketika menaikkan drum terakhir keatas perahu itu.
“Sebentar lagi tidurlah sepuas-puasnya!. Karena ini pelayaran kita terakhir yang penuh dengan resiko!”
Seluruh muatan sudah naik ke atas perahu motor yang sama sekali tidak menggunakan penerangan, karena semua lampu dimatikan. Perahu motor bermuatan bahan bakar itu memang harus berlayar dalam gelap, karena tidak ingin terlihat oleh siapapun, karena mereka menyeludupkan bahan bakar solar ke tengah laut dan disana sudah menunggu sebuah kapal tanker berbendera asing.
Jingga sudah naik ke atas perahu motor yang saat itumemuat drum-drum berisi bahan bakar solar melebihi kapasitas, ia sudah berdiri didepan kemudi dan sesaat lagi perahu motor itu akan lego jangkar kemudian menderu ke tengah laut dalam keadaan tanpa lampu dan laut pun gelap gulita.
Tidak seperti biasanya, pada pelayaran malam itu, yang tepat m alam jum’at dan terakhir kalinya, awak perahu motor itu seakan memiliki nyali yang sama, memeiliki yang sama pula. Semua awak perahu itu seperti was-was untuk berlayar. Seperti ada nyali yang membisikkan kata-kata agar mereka tidak berlayar. Semua merasakan hal yang sama dan semua masih berdiri dipinggir dermaga, di sisi perahu motor itu. tidak satupun awak perahu yang naik. Semua merasa seperti langlah mereka di berati sesuatu, seperti diberati sebongkah batu.
“Aneh, aku seperti mencium bauj kemenyan!” ujar salah seorang awak perahu yang paling tua.
“Ya, seperti bau aneh!” sahut lelaki sebelahnya.
“Dulu ayahku mengajarkan, jengan ke laut kalau mencium bau kemeyan, karena di tengah laut akan timbul seekor naga besar dan kapal besar apapun akan terbalik bila melewatinya,!” ujar awak perahu motor yang paling tua itu lagi bersungguh-sungguh.
“Dengar!,” sela awak motor yang berkumis lebat.”Aku seperti mendengar tangisan bayi yang nyaring dan panjang!”
“Ya, aneh kalaui di laut seperti ini ada bau kemeyan dan tangisan bayi.”
“Itu tandan ya kita tidak boleh berlayar!”
“Itu petanda yang kurang baik!”
“Bulu romaku terus menerus berdiri!” sambung salah seorang awak yang tampak amat cemas.
“Aku tidak pernah merasa cemas seperti ini, padahal aku dilahirkan dan dibesarkan di laut. Sebaiknya malam ini kita memang menunda pelayaran ini.!”
Bau kemeyan itupun masih terus tercium oleh para awaqk perahu motor itu. dan tangis bayi itu pun sayp-sayup terus terdengar. Mereka jadi teringat tentang orang-orang yang meminta pesugihan atau kekayaan pada ratu laut. Mereka memang cepat jadi kaya, itulah sebabnya ditengah laut selalu terdengar tangis bayi yang sedang disantap oleh ratu laut.
Semua awak perahu itu masih tetap berdiri di pinggir dermaga, di sisi dinding perahu motor mereka. Ingin rasanya merasa menunda pelayaran itu, hingga esok malam. Tapi tidak mungkin, sikap Jingga benar-benar sekeras batu gunung. Sekali bertekad untuk berlayar, jangan sekali-kali dibantah. Ia akan melemparkan awak perahu yang membangkang ke tengah laut. Dan semsua tahu, tenaga Jingga benar-benar luar biasa karena stenaga dalam yang dimiliki lelaki itu. sekali Jingga melemparkan awak perahu yang membangkang akan sampai ketengah laut yang paling dalam. Jingga benar-benar amat ditakuti.
Dan nahkoda perahu motor itu amat marak ketika melihat ke belakang dan tidak satu pun awaak perahu diatas, tapi semua ada dibawah, tetap berada didarat.
“Hai. Apa yang kalian tungg? Ayo naik!. Kita diburu waktu!,” teriak sasng nahkoda dengan suara amat keras. Tapi tidak ada reaksi, tidak satupun bergerak. Semua diam.
“Kalian menunggu kemarahanku? Ha?,” tiba-tiba saja Jingga melompat turun. Salah seorang awak perahu itu di dorong ke atas perahu hingga tubuhnya membentur drum yang penuh bahan bakar solar. Sekali lagi Jingga berbuat hal yang sama, barulah semua awak perahu itu naik keperahu. Barulah jangkar dilepas dan perahu motor itu mulai bergerak memecah ombak di malam yang dingin. Dan gelap gulita karena semua lampu perahu motor itu memang sengaja dimatikan, karena sengaja pelayaramn itu dilakukan dalam gelap agar tidak terlihat oleh siapapun, apalagi oleh aparat keamanan perairan.
Hujan mulai turun. Tidak ada suara apa-apa selain debur ombak, gemercik air hujan dan deru perahu mesin motor itu, ditambah debar jantung para awak perahu yang berdebur-debur lebih keras dari biasanya. Sebab dihati para awak perahu motor itu ada rasa was-was dan takut. Bahkan takut kepada ombak besar, bukan takut kepada badai dan angin ribut, juga bukan takut kepada naga yang menghalangi pelayaran itu. mereka teramat takut kepada aparat keamanan perairan yang selalu mengadakan patroli disekitar laut itu. sekali mereka kepergok menyeludup bahan bakar solar itu, sepasang gari menanti mereka. Sekali perahu motor itu tercium polisi perairan, penjara akan menanti mereka. Bila mereka lari, pasti peluru akan menghujam mereka. Pasti dada mereka akn ditembus peluru dan darah memerahi lauit, padahal laut adala sahabat mereka. Awak kapal itu tidak sampai hati melihat laut tempat mereka bermain dan bercanda ketika kecil, menjadi merah oleh darah mereka sendiri.
Perahu motor yang memuat bahan bakar lebih dari kapasitas itu meluncur dengan kecepan tinggi menuju tengah laut, menuju batas perairan internasional dan kapal-kapal dagang dari berbagai negara amat ramai berlayar disana. Sesekali perahu motor yang berlayar tanpa lampu itu terguncang karena ombak besar.
Nahkoda perahu motor itu masih berdiri didepan kemudi dan wajahnya tanpa serius dan tegang. Tidak pernah ada senyum ceria sejak perahu motor itu bergerak meninggalkan dermaga. Sepasang matanya amat jeli, seperti mata burung elang yang selalu dapat mengintai mangsanya dari tempat yang amat jauh.
Begitu juga dengan lelaki itu. ia selalu dapat melihat kapal patroli yang mengejarnya dan perahu motor itu akan menghindar dibalik pulau kecil di sepanjang pantai Asahan itu.
Sesaat lelaki yang memegang kemudi itu memandang awak perahu. Lelaki itu tertegun karena semua awak perahu yang diam. Semua murung. Semua termenung dan cemas. Padahal selalam ini, setiap berlayar awak perahu itu bergembira ria karena akan segera menmdapat segepok uang. Mana ada lagi cara yang paling mudah untuk mendapatkan segepok duit selain ikut perahu motor yang membawa bahan bakar solar.
Biasanya setiap berlayar, para awak perahu itu bernyanyi atau bertepuk tangan. Bahkan ada yang berjoget ada karena luapan kegembiraan. Tapi kali ini, pada pelayar tepat malam jum’at itu, pada pelayar terakhir mereka, tidak seorang pun bernyanyi, tidak ada yang beretepuk tangandan tidak ada yang berjoget.padahal mereka sudah merencanakan, hari-hari yang akan datang mereka tidak berada lagi diperahu motor yang sudah puluhan kali menyeludupkan bahan bakar solar. Seperti halnya Jingga, semua awak perahu motor itu sudah mengumpul uang. Ada yang merencanakan membuat warung nasi, ada yang mau berdagang sembako, ada lagi yang mau menjadi agen surat kabar dan majalah. Bahkan salah seorang mau membuka bengkel. Seperti halnya Jingga, mereka juga ingin hidup layak, bersih dari perbuatan yang melanggar hukum dan berbagia bersama keluarganya tanpa merasa taku dikejar-kejar aparat keamanan.
“Hei, mana suara kalian?”, teriak sang nahkoda diantara debur ombak dan gemuruh mesin perahu.
Tidak ada sahutan. Semua diam. Semua lesu.
“Ayo, Kolok!. Mana suaramu? Ayo tarik dangdut!”
Lelaki yang dipanggil si kolok tidak menyahut, tetap dalam kebisuannya.
“Ayo lagukan Tenda Biru!”
Tidak ada sahutan. Semua tetap membisu dan kaku. Tidak ada seorang pun besemangat pada pelayaran malam jum’at dan terakhir itu. semua lesu. Seperti salju yang membeku.
“Ayo!. Nyanyikan lagu Kuce-Kuce Tahe!,” teriak nahkoda yang semangat lagu India.
Masih tetap saja belum ada sahutan, Jingga terpaksa menyanyikan lagu Hindustan iru sendiri saja dan berharap semua awak perahu ikut bernyanyi dan bergembira. Tapi semua diam, menyebabkan lagu itu tidak selesai dinyanyikan lelaki itu.
“Kenapa terus diam?. Kenapa semua jadi lesu. Adakah setan atau jin laut yang membungkam mulut kalian? Ha?”
Masih tidak ada sahutan. Jingga m arah dan berteriak lagi.
“Adakah jembalang air yang membuat kalian tidak bersemangat? Akan kuusir jin itu!. akan kutebas lehar jembalang air itu!”
Sesaat kemudian lelaki itu meraih golok tajam yang selalu ada dekat kemudi perahu motor yang kelebihan muatan hingga perahu itu berlayar agak miring. Lelaki itu mengibas-ibaskan golok itu ke kanan dan ke kiri. Tapi tetapi saja awak perahu itu diam dan lesu.
“Kenapa tetap diam? Kenapa tetap bisuuuuuuuuuuuu?” teriak lelaki itu lebih keras karena ia benar-benar marah. Dalam kegelapan, lelaki itu beranjak dari depan kemudi dan menghampiri satu awak perahu itu. tampak semua berwajah pucat.
“Kalian khawatiran?,” teriak sang nahkoda.
Tidak ada yang berani menyahut.
“Kalian takut?. Takut malam ini kita akan kepergok patroli?”
“Ya! Kami ada merasa firasat yang kurang baik. Lebih baik kita memutar haluan!” seorang awak perahu yang paling tua memberi saran.
“Tidak! Anak-anak laut, anak-anak nelayan, amat pantang berlayar surut. Sekali berlayar. Harus terus berlayar,” sahut nahkoda.
”Artinya kalau ada patroli kita lari dan membiarkan kita ditembaki?”
“Aku sudah memperhitungkan semua apapun yang terjadi. Kalau kalian ada merasa firasat, bahwa sesuatu akan terjadi, akan juga merasa hal yang sama. Tiap udara yang kuhirup dalam tiap nafasku mengabarkan akan ada keajaiban malam ini!”
Kata-kata itu hanya membuat lutut semua awak perahu itu gemetar ketakutan.
“Itu artinya kita semua akan masuk penjara? Begitukah?”
“Aku tidak akan membiarkan kalian satupun penghuni neraka itu!. kalian dengar itu?”
Dalam kegelapan awak perahu itu mengangguk. Dan perahju motor yang berlayar tanpa lampu itu terus membelah ombak.
“Awasi terus arah barat dan timur!” nahkoda perahu motor itu memberi perintah. “Katakan kepadaku bila ada yang mendekat meskipun hanya seekor burung elang! Akan kupatahkan batang leher elang itu.!”
“Kalian patroli? Kalau polisi? Mampukah kita menghindar?” masih awak perahu yang paling tua yang berbicara dengan Jingga yang hatinya sekeras batu gunung dan punya ilmu simpanan itu.
“Aku yang menghadapi. Kalian boleh terjun ke laut dan sembunyi di pulau-pulau kecil itu. besok pagi akan tersiar kabar , dua kapal terbakar, meledak dan tenggelam. Satu kapal patroli dan satu lagi bermuatan minyak solar. Belasan polisi tewas, tetapi aku tidak termasuk disana. Kalian dengar itu? Ha?”
Awak perahu motor itu mengangguk-angangguk. Mereka siap untuk terjun ke laut dan bersembunyi dipualau-pulau kecil disekitar perairan di Selat Malaka itu. dan meraka tahu apa yang dilakukan nahkoda perahu motor itu. sebab para awak perahu motor itu tahu benar, bahwa Jingga bukan lelaki biasa. Mereka tahu benar bahwa dalam tubuh laki-laki itu ada “isinya” dan kapak pun tidak mampu melukainya, juga peluru!.
Semua sudah ada dalam kepala lelaki yang dilahirkan ditepi laut, di sebuah desa yang terletak di Kabupaten Asahan itu. lelaki yang dilahirkan dari keluarga nelayan miskin itu memang dianugerahi keberanian luar biasa, ditambah ilmu hitam yang dipelajari bertahun-tahun dan 3 bulan bertapa di hutan di sebuah pulau kecil tanpa penghuni.
Lelaki itu tidak akan membiarkan kawan-kawannya masuk penjara, bila aparat keamanan atau polisi perairan menyergap perahu motor yang bermuatan bahan bakar solar untuk diseludupkan. Ia sudah memberi perintah agar semua terjun kelaut bila ada petugas keamanan mendekat. Bair mereka sembunyi dipulau-pulau kecil di Selat Malaka itu dan aman.
Lalu lelaki yang memiliki ilmu kebat itu sendiri yang akan menghadapi aparat keamanan perairan itu. Padahal aparat keamanan perairan dalam patrolinya selalu menggunakan kapal cepat dan paling tidak berjumlah sepuluh orang. Jingga akan menghadapinya sendiri!.
Perahu motor itu terus membelah laut dengan kecepatan maksimum, tapi perahu itu tetap saja bergerak lamban, bukan saja karena ombak besar, bukan karena angin kencang, tapi karena sarat dengan muatan yang melebihi kapasitas.
Semua awak perahu memandang jauh dengan tatapan mata yang amat jeli. Bahkan derai ombak danm buih yang dipermainkan gelombang menjadi perhatian yang amat serius, siapa tahu dibalik buih itu ada kapal petugas keamanan laut.
Malam jum’at itu benar-benar merupakan pelayaran yang amat menegangkan semua awak perahu. Sebab semuanya merasakan ada tanda-tanda dan firasat akan terjadi sesuatu. Rasanya pelayaran seperti lebih baik bertemua naga yang tiba-tiba muncul dari dasar laut lalu menenggelamkan perahu motor itu pecah berkeping-kepinmg.
“Lebih baik perahu ini pecah disambar ekor sang naga dan kita semua tenggelam, dari pada harus disergap polisi. Kita akan dihujani tembakan!” ujar salah seorang awak kapal yang sedang flu dan sebentar-bentar ia batuk.
“Berdoalah yang akan kita temui adalah seekor naga, bukan patroli!,” sahut awak perahu lain.
“Atau perahu itu lebih baik menabrak karang dan kita semuanya akan mampus dari pada disergap polisis!”
Tapi tidak pernah ada naga yang tiba-tiba muncul dari dasar laut lalu menggulungkan perahu itu hingga porak poranda dan akhirnya tenggelam. Tidak ada karang disekitar laut itu yang ada hanyalah pulau-pulau kecil yang memuat laut di Selat Malaka itu tampak indah. Dan yang lebih sering ada ialah kapal patroli aparat keamanan laujt yang sering memergoki kapal-kapal berbendera asing sedang mencari ikan diperairan negri ini.
Seorang awak perahu yang ditugaskan mengawasi disekita laut itu, tiba-tiba saja berteriak.
“Aku melihat ada sesuatu disebelah barat!”
“Melihat apa? Naga?” tanya awak perahu yang berkumis tebal.
“Bukan naga! Tapi sesuatu yang bergerak!”
“Buih?”
“Tidak usah bergurau!. Kita dalam keadaan terancam!”
Semua mata awak perahu motor itu segera melemparkan pandangan ke jauhan dan disebelah barat, mereka memang melihat sesuatu yang bergerak. Bukan seekor naga yang akan membalikan dan memporak porandakan perahu itu, tapi sesuatu yang beggerak cepat. Malam itu teramat gelap, hujan terus turun dari langit dan angin pun berhembus kencang dan amat dingin. Pandangan mata biasa hanya mampu beberapa meter saja karena gelap, tapi mata setiap anak laut, mata anak-anak dari keluarga nelayan, pasti mampu menebus gelap, mampu memandang sesuatu yang jaraknya teramat jauh, meskipuin di ujung langit.
Nahkoda perahu motor itu segera berdiri dan untuk memastikan benda apa yang tampak diarah barat. Ia memandang dengan amat hati-hati dibantu dengan nyalinya sebagai seorang yang terlatih dalam ilmu bela diri dan juga sebagai orang yang memiliki tenaga dalam. Lelaki itu segera menghela nafas panjang.
“Kita sedang dikejar.!” Cetusnya dengan suara yang amat serius.
“Polisi?” tanya salah seorang awak perahu yang tiba-tiba saja ketakutan. Sebab penjara menanti mereka sebagai penyeludup bahan bakar yang sesungguhnya terlarang.
“Artinya kita akan tertangkap?” tanya yang lain.
“Mereka mengejar dengan kapal kecepatan tinggi. Sayang perahu itu sangat lamban. Muatan kita terlalu sarat, hingga tidak dapat menghindari!” Jingga menjelaskan.
“Kita lemparkan saja sebagian drum-drum ini ke tengah laut, biar kita mampu menghindari!” salah seorang perahu motor usul.
“Sudah terlambat!” cerus Jingga.”Biarkan semua isi perahu ini pada tempatnya.”
“Lalu bagaimana kalau polisi itu menyergap kita?”
“Aku yang akan menghadapi, kalian boleh terjun kelaut. Bukankah laut adalah sahabat kita sejak kecil? Bukankah selalu memberi rezeki kepada ayah dan nenek moyang kita? Laut akan melindung kalian semua!.”
Semua memandang kearah barat, semua merasa cemas dan takut. Dan sesuatu yang bergerak dikejauhan disebelah barat, tampak semakin dekat.
“Bersiap-siaplah untuk terjun.!” Jingga memberi perintah.
“Dan kau?”
“Aku akan menghadapi para petugas itu!”
“Sendiri?”
“Ya!. Sendiri!”
“Kami tidak tidak meninggalkanmu sendiri!”
Meskipun diliputi perasaan cemas dan takut, tapi para awak perahu itu tidak tega meninggalkan Jingga sendiri menghadapi polisi keamanan laut itu. Sebab mereka merasa kebahagiaan Jingga adalah kebahagiaan mereka juga. Begitu juga bila Jingga harus merasakan kesulitan adalah kesulitan mereka juga. Jingga adalah sahabat dalam suka dan duka. Juga dalam keadaan paling getir sekali pujn. Rasanya mereka tidak tega meninggalkan Jingga dalam perahu motor yang mambawa bahan bakar solar itu dan sebentar lagi polisi perairan akan menyergapnya karena tidak memiliki dokumen apapun. Bahkan berlayarpun dimalam gelap tanpa lampu.
“Lihat sebelah timur!”
Semua menoleh kearah timur. Sama-sama dalam kegelapan malam dan hujan lebat, mereka melihat sesuatu yang bergerak. Muncul sebuah kapal polisi perairan yang bergerak sangat cepat.
“Kita sudah dikepung!”, teriak salah seorang awak perahu yang lututnya gemetar karena ketakutan.
Penyeludupan yang sudah puluhan kali berlangsung itu memang sudah tercium aparat. Itulah sebabnya, di malam jum’at itu, ketika malam gelap, ketika hujan lebat sedang turun, dan ketika ombak sedang besar dan ketika angin berhembus kencang, tiga buah kapal polisi perairan melakukan penyergapan.
Jingga berusaha menambah kecepatan perahu motor itu, tapi sia-sia. Muatan yang terlalu sarat dan melebihi kapasitas menyebabkan perahu itu tetap bergerak amat lamban. Tidak mungkin lagi perahu motor itu menghindari penyergapan aparat keamanan laut.
Bila kilat menyambar, tampak 3 buah kapal patroli yang semakin dekat. Moncong senapan sudah muatan diarahkan kepada perahu motor yang penuh muatan bahan bakar solar yang berlayar tanpa lampu itu.
“Ayo cepat terjun!. Terjuuuun!,” teriak Jingga memberi perintah karena 3 buah kapal petugas keamanan laut itu sudah semakin dekat.
Para awak perahu motor itu ragu-ragu, karena mereka tidak tega meninggalkan Jingga sendiri.
“Ayo cepat melompat ke laut!. Lompaaaaaaat!. Atau kalian memilih lebih baik tertangkap dan masuk penjara?. Kalian lebih senang masuk neraka?. Ayi terjuuuuun!”
Jingga mendorong salah seorang awak perahu ke tengah laut. Lalu lainnya mencebur dan menyelam. Mereka adalah laki-laki yang dilahirkan dari keluarga nelayan, mereka adalah perenang-perenang tengguh, meskipun harus melawan ombak besar dan air laut pun amat dingin. Mereka segera menyelam ketika tiga kapal patroli menyalakan lampu-lampu sorot untuk memburu mereka yang terjun ke laut dari perahu motor yang melakukan penyeludupan bahan bakr itu. lampu sorot itu hanya menerangi ombak dan buih-buih di tengah laut. Sebab awak perahu motor itu berada di bawah permukaan air lalu berenang kearah pulau-pulau kecil di Selat Malaka itu, tidak jauh dari pulau Simardan.
Mereka masih memandang kearah perahu motor itu dan tampak Jingga menyalakan api setelah menaburkan bensin ke semua lantai perahu motor itu. sebentar lagi, peahu motor yang bermuatan ton solar itu akan terbakar hebat kemudian meledek.
Dan otak lelaki itu terus juga bekerja, ia akan mengarahkan perahu yang terbakar itu ke arah kapal milik polisi perairan. Muatan ratusan ribu ton bahan bakar akan menjadi perahu motor itu bagaikan sebauh bom yang mempunyai daya ledak amat tinggi. Kapal patrili perairan itu juga akan ikut meledak setelah di terjang perahu motor yang dikemukan Jingga.
Tapi sayang, Jingga benar-benar keliru dalam perhitungan. Sebab kapal milik aparat itu tidak hanya satu. Masih ada dua lagi kapal bermuatan puluhan orang-orang yang berseragam dan bersenjata lengkap serta dalam posisi mengepung perahu motor penyeludup bahan bakar solar itu. dan yang akan menyergapkan itu memang dilakukan oleh gabungan berbagai kesatuan.
Lampu-lampu sorot amat menyilaukan mata Jingga yang sedang menyulut api juntuk membakar dan meledakan perahu motor itu. kemudian perahu motor itu sudah diputar, tepat diarahkan kepada salah satu kapal petugas keamanan laut itu.
Sebentar lagi akan terjadi tubrukan dua kapal yang amat mngerikan. Pasti keduanya akan meledak!!!” terdengar suara dari pengeras suara salah satu kapal patroli.
Tidak ada sahutan.
“Sekali lagi kami mohon anda menyerah!!” sekali lagi suara itu terdengar dari arah kapal polisi. Juga tidak ada sahutan. Tiga kali terdengar peringatan itu tidak diabaikan, ketika kapal itu mendekat. Tapi tidak seorang pun aparat yang m enyadari bahwa sebuah perahu motor yang akan disergap sudah mualai terbakar dan arah perahu motor itu tertuju kearah salah satu kapal petugas.
Perhitungan Jingga benar-benar tepat. Perahu motor yang sedang terbakar itu segera menabrak kapal polisi dan keduanya meledak.
Api menjulang tinggi. Laut yang semua legap gulita tiba-tiba menjadi terang benderang karena dua kapal saling tabrakan kemudian meledak. Kobaran api menjulang tinggi ke langit. Akan halnya nahkoda perahu motor itu sudah terjen ke laut. Amat lama Jingga menyelam dalam laut dan lampu-lampu sorot dua kapal yang melakukan penyergapan itu hanya menerangi ombak dan buih air laut.
“Kami harap anda menyerah. Bila tidak menyerah kami akan menembak!” teriakan dan peringatan dari kapal patroli tidak didengar lelaki itu, karena ia masih menyelam dibawah permukaan air laut.
Bila tubuhnya muncul dipermukaan air, lampu-lampu sorot yang terang berderang terarah kepadanya.
“Menyeraaaaaaaaaaaaaaah!. Kami harap anda menyerah atau kami tembak!” peringatan itu sampai ketelinga lelaki itu. tapi ia tidak akan menyerah. Jingga tetap berenang menjauh kapal penyergap itu.
Tembakan terdengar dimalam yang gelap itu. Jingga tidak peduli. Bila tembakkan kedua terdengar lagi, ia pun menyelam lagi. Tembakan ketiga tidak lagi ke udara, tapi ditujukan kepada dirinya. Bahkan lelaki yang memang memiliki simpanan ilmu kebal pada dirinya di hujani tembakan bertubi-tubi dari geledak kapal patroli itu.
Air mendadak menjadi merah bercampur darah. Jingga merasakan peluru yang menmdesing-desing, tapi tidak satu pun peluru yang melukai dirinya. Dadanya seakan dilapisi dengan pakaian anti peluru sebab dalam dirinya memang ada ilmu kebal yang dipelajarin ya bertahun-tahun dan bertapa di pulau yang sepi. Ilmu itu benar-benar ampuh.
Bila air laut berwarna merah bercampur darah, b ukanlah dari tubuh lelaki perkasa itu. seekor pari sebesar jendela yang baru muncul dari dasar air mengambang. Ikan pari besar itu mati dan mengambang. Akan halnya Jingga, lelaki itu berenang ke arah sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Lelaki itu selamat dari sergapan itu dilakukan oleh gabungan berbagai kesatuan aparat dengan menggunakan tiga kapal penyergan. Dan salah satu kapal itu bernasib sial, terbakar dan meledak setelah setelah ditabrak perahu motor yang memang diarahkan ke kapal itu.
******
F
|
AJAR sudah terbit dan langit berwarna merah ketika lelaki bertubuh kekar itu menjejakkan kakinya diatas pasir pulau kecil yang tidak berpenghuni itu. yang ada hanya monyet, tupai, musang, dan burung-burung, ular yang amat berbisa, penyu dan binatang kecil lainnya. Buaya yang berjemur di pulau itu juga ada.
“Selamat datang dipulau kecil ini, wahai sahabat!”, seekor burung yang bulunya indah berkicau menyambut kedatangannya. Ketika bocah dulu, pulau itu adalah tempatnya bermain. Bersama belasan kanak-kanak lainnya Jingga selalu melakukan lomba berenang dari pulau ke pulau kecil lainnya di Selat Malaka itu. ia sudah amat kenal dengan suasana dan seluk beluk pulau kecil itu.
Nafas lelaki itu ngos-ngosan karena berenang terlalu jauh diantara desingan pulau. Sesaat dia terbaring menelungkup untuk melepas lelah.
“Jingga terlalu lama dipulau ini, wahai sahabat!” seekor monyet berbadan besar berkata-kata kepadanya.”Sebab aparat itu akan terus mengejarmu hingga ke ujung langit.”
Kupu-kupu pun amat kasihan pada lelaki yang kelelahan setelah dikejar dan diberondong dengan tembakan.
“Aparat keamanan itu akan sampai kemari sebentar lagi. Mereka akan membawa anjing pelacak. Engkau tidak akan mempu menghadapi anjing-anjing pelacak itu. tubuhmu tidak akan terluka oleh serentetan tembakan, tapi tubuhmu akan tercabik-cabik oleh anjing pelacak itu. segeralah menyingkir!” seekor burung pelatuk ikut memberinya peringatan. Sesaat lelaki itu tertegun. Tubuhnya masih telungkup di pasir putuh yang dulu adalah tempatnya bermain bersama belasan anak-anak nelayan lainnya.
“Berangkatlah dari sebelah selatan pulau ini, sebab aparat akan datang dari arah utara bersama an jing-anjing leacak.!”
Seekor elang ikut merasa kasihan kepada lelaki itu dan memberi petunjuk. Pulau kecil yang terletak di Selat Malaka itu memang tidak dihuni manusia, tapi semua binatang merasa kasihan kepada lelaki yang kini buron itu.
Perlahan sekali lelaki itu bangkit. Meskipun amat lelah meskipun kakinya untuk melangkah lagi untuk segera meninggalkan pulau kecil itu. Jingga berjalan kearah selatan karena aparat yang akan menyergapnya akan datang dari arah utara pulau kecil itu.
Burung-burung yang sedang terbang pun seperti mengabarkan kepada lelaki itu, bahwa aparat menegak hukum sedang mengadakan penyiaran setiap pulau sekitar laut itu. tidak ada sejengkal pun tempat yang terlewatkan oleh langkah aparat penegak hukum itu. kalau melihat ada gundukan daun-daun kering disekitar pulau-pulau kecil itu periksa mata teliti apakah dibawah tumpukan daun ada seorang pelaku penyeludupan bahan bakar solar bersembunyi dibawahnya.
Apalagi dibalik semak-semak pasti dimasuki para petugas itu. Empat ekor anjing pelacak ikut membantu penyisiran itu. Apalagi bila terdapat gua atau lubang dalam tanah apsti diteliti.
“Ayo cepatlah melangkah wahai anak muda! Sebab aparat keamanan dengan anjing-anjing pelacaknya sudah hampir sampai di pulau ini dari arah utara!”, burung pelatuk itu memberi tahu kepada lelaki yang sudah melakukan pelanggaran hukum cukup berat, sebagai penyeludup bahan bakar.
Lelaki muda itu memperceat langkahnya, padahal ia harus melewati semak belukar yang terkadang amat sukar dilewati. Tubuhnya memang tidak dapat dilukai dengan golok, kapak atau peluru. Namun terhadap ranting-ranting pohon yang runcing, tubuh lelaki itu tergores. Kekabalan pada dirinya hanya berlaku untuk logam atau sejenisnya. Lelaki perkasa itu akan mengaduh kesakitan bila dipukul dengan kayu. Pukullah tengkuknya dengan tebu hitam, Jingga pasti tersungkur mencium tanah dan mati.
Langkah lelaki itu semakin cepat untuk menghindari aparat bersenjata yang semakin dekat dipulau kecil itu. saat berjalan cepatpun, saat lelaki itu sedang buron, bayang-bayang seorang gadis yang mengais ringgit di negeri Hang Tuah itu, hadir dipeluk matanya.
Sebentar lagi, sesaat lagi, gadis itu, Maimunah akan menginjakkan kakinya kembali ke desa kelahirannya yang terletak di pinggir pantai dan menghadap ke Selat Malaka itu.
“Aku tidak akan tertangkap, Munah! Abang tidak akan menjadi penghuni sel. Abang tidak akan menjadi penghuni neraka itu. abangpun masih punya uang yang cukup untuk kita menikah dan untuk memulai kehidupan baru. Abang akan mencium ujung kakimu, Munah!” lelaki itu berkata-kata sendiri saat berlari kearah selatan pulau kecil itu.
Ranting-ranting semak dari semak belukar yang patah masih terus menggores tubuhnya. Itulah tanda-tanda kebesaran Tuhan. Meskipun tidak seorang tidak terlukai oleh kapak, golok atau peluru, tapi terhadap ranting pohon yang patah, luka tampak di tubuh lelaki itu.
Dulu, lelaki itu ketika masih bocah, pulau kecil tanpa penghuni itu adalah tempat bermain. Bersama belasan anak-anak nelayan lainnya. Lelaki itu hafal benar setiap liku dipulau itu. lelaki itu ada sarang penyu dibawah pasir dan dia tidak akan memijaknya. Apalagi terhadap sarang burung, ia tidak akan mengusiknya. Semua satwa dipulau itu tidak pernah diusik karena satwa itu adalah sahabatnya.
Sekali ini, ketika lelaki itu sedang buron, langkahnya teramat panjang, sebab ia akan menghindari penyergapan aparat penegak hukum yang membawa anjing pelacak. Itulah sebabnya, langkahnya teramat panjang dan tidak peduli apa yang ada didepannya.
Lelaki itu tidak menyadari didepannya ada tumpukan daundaun kering dan dibawahnya ada sarang ular yang amat berbisa, ulau bakau. Tentu saja mahluk yang amat berbahaya itu amat marah rumahnya di pijak manusia yang sedang dalam ketakutan.
Induk ular sebesar ibu jari kaki itu mematuk kaki lelaki itu dan Jingga tidak sempat mengelak. Bisa ular yang amat berbahaya itu pun segera mengalir di dalam darah lelaki itu, mengalir hingga ke paru-paru dan jantungnya.
Hanya dalam beberapa detik saja , lelaki itu merasakan sakit yang laur biasa pada luka bekas gigitan ular berbisa itu, juga kepada seluruh tubuhnya. Sebab bisa ular itu sudah menjalar sampai ke jantungnya.
Lelaki itu mengambil getah pohon bakau dan memoleskan pada bekas gigitan ular itu dengan air laut dan diiringi mantra-mantra yang diajarkan oleh ayahnya. Tapi mantar-mantra yang diajarkan oleh nenek moyang nelayan tidak lagi ampuh dan apapun yang dilakukan tidak lagi ampuh untuk mengobati bisa ular yang segera mejalar keseluruh tubuhnya.
Andai ia tidak berbuat dosa terhadap Maimunah di tengah laut, pasti ular itu tidak akan mengigitnya. Pasti bisa ular yang paling ganaspun akan menjadi tawar setelah dibasuh dengan air laut dan getah pohon bakau yang diiringi mantra-mantra.
Dalam waktu hanya beberapa menit saja setelah lelaki itu di gigit ular bakau, ia merasakan seluruh tubuhnya amat panas, seperti dalam air mendidih dan didalam tubuhnya seakan dicincang dengan parang yang amat tajam. Dan tubuhnya yang amat panas itu menyebabkan ia mencabur ke laut, namun rasa panas itu makin menjadi-jadi. Jingga merasa dirinya seperti direbus dalam sebuah kancah yang berisi air mendidih.
Rasanya sakit tidak tertahankan menyebabkan lelaki itu berteriak historis.
“Aku belum ingin mati. Aku belum ingin matiiiiiiiii!!!” suara itu bergaung diantara debur ombak. Elang laut pun mendengar teriakan itu. semua binatang yang menghuni pulau-pulau kecil di sekitar Teluk Nibung itu juga mendengar suara itu, tapi tidak satupun yang peduli.
“Tolong aku, Jembalang air! Tolong aku, angin yang berhembus, tolong aku, wahai penghuni bumi. Toloooooooong!!!” teriak historis terus terdengar. Lelaki yang malang itu merasa tubuhnya semakin lemah, semakin panas dan ia kehabisan tenaga. Kematian akhirnya menjeput lelaki itu setelah ia merendam dirinya dalam air laut. Padahal selama ini kapak, golok dan peluru sekalipun tidak mampu melukai dirinya. Tapi ia harus menyerah kepada seekor ular bakau yang amat berbisa, padahal ular itu hanya sebesar ibu jari kaki. Itulah tandanya kekuasaan Tuhan. Lelaki yang paling perkasa pun akhirnya mati.
Esok pagi, jenazah Jingga di temukan oleh para nelayan yang sedang berlayar ke tengah laut. Jenazah itu ditemukan persis di tempat itu dulu ia melakukan dosa yang amat besar terhadap Maimunah hingga hamil. Dan hanya beberapa meter dari tempat itu, satu jam yang lalu, sebuah ferry yang membawa puluahan TKI pulang ke desa kelahiranya lewat dengan perlahan. Salah seorang penumpangnya adalah Maimunah.
Air mata berderai di pipi gadis yang baru saja kembali dari mengais ringgit dari negeri Hang Tuah ketika ia menaburkan bunga-bunga segar dan harum diatas pusara lelaki yang baru dikuburkan di kompleks pemakaman itu.
“Maimunah pulang, Bang! Munah pulang untukmu!’ bisikan diantara tangisnya, diantara derai-derai daun pohon kemboja yang dipermainkan angin.
Maimunah pernah membenci lelaki itu, tapi ia juga pernah mencintainya. Karena itulah doanya amat panjang untuk lelaki itu. burung pipit yang hinggap diranting pohon kemboja ikut bersedih ketika melihat cairan bening bergulir dari pipi Maimunah dan setetes demi setetes air matanya jatuh diatas gundukan tanah yang masih basah. Jengkrik yang sedang bermain diatas pusara itu juga menundukkan kepala. Dan awan yang berarak dilangit biru meneduhi gadis malang itu dari sengatan panas matahari. Amat banyak mahluk penghuni bumi yang merasakan kasihan pada gadis yang dilahirkan di desa nelayan yang menghadap ke Selat Malaka itu.
.......ôôôôôô.......
No comments:
Post a Comment