20.6.12

DELIMA MERAH DI JABAL RAHMAH



          (Kesaksian Semut)
Novel Reliji
Maulana Syamsuri

Barisan semut-semut hitam itu amat panjang dan jumlahnya amat banyak, hingga ribuan, jantan dan betina. Mereka sedang mengusung bangkai anak belalang yang akan dipersembahkan kepada sang ratu mereka.
Abu Masyghul,semut jantan yang memimpin barisan semut itu melihat ada keluarga yang akan masuk ke rumah yang terletak di gang sempit itu. Salah seorang anggota keluarga yang akan masuk ke rumah itu, adalah seorang gadis berwajah bundar telur dan mengenakan jilbab,Retno Ramadhani.
“Berhenti!. Berhenti!,” Abu Masyghul memberi komando kepada koloni semut yang jumlahnya amat banyak.
Seketika barisan semut-semut hitam itu berhenti melangkah. Semua memandang ke arah keluarga yang akan masuk ke rumah yang terletak di gang sempit itu. Semua semut itu memandang ke arah kening gadis yang tampak bersih dan bersinar, tandanya kening gadis itu selalu dibasahi air wudhuk dan sujud di atas sajadah.  Semut-semut itu selalu jadi saksi semua gerak dan langkah penghuni rumah itu dan  merasa yakin, bahwa tamu mereka yang bakal memasuki rumah itu adalah  keluarga yang sakinah dan Islami. Semut-semut itu, terutama Abu Masyghul dan Ummu Naubah, semut betina yang selalu ada di sisinya,selalu menjadi saksi apapun yang terjadi di rumah itu,meskipun yang terjadi hanya sebuah jarum yang jatuh atau langkah kecoa atau nafas seekor nyamuk.
“Kita ucapkan selamat  datang kepada tamu baru kita!,” ucap Abu Masyghul.
“Marhaban ,ya Rahmah. Marhaban Ya. Annisa. Marhaban ,ya ummat Muhammad!,” kata-kata itu diucapkan oleh ribuan semut-semut hitam yang masih tetap dalam barisannya, namun berhenti melangkah.
“Ahlan wa sahlan, ya ikhwanul muslimah!,” Ummu Naubah menambahkan.
“Idzaa ijtama’a al-halaalu wa alharaamu ghuliba al-haraamu,” seekor semut yang misainya panjang dan hitam di sisi semut betina yang bertubuh gendut  itu menimpali.
Sepasang semut itu, Masyghul,semut jantan, dan Naubah,sang betina, serta ribuan semut-semut lainnya mengucap salam kepada seorang gadis dan kedua orang tuanya,serta seorang adik lelaki yang baru saja hijrah dari sebuah desa kawasan di sebelah selatan Yogya.  Masyghul dan Naubah, serta ribuan semut lainnya, tahu, bahwa seorang gadis berjilbab yang baru saja memasuki rumah di gang sempit itu adalah seorang gadis yang sangat taat pada agama dan selalu mengamalkan amar ma’ruf nahi mungkar sejak duduk di bangku pondok pesantren jauh di luar  di desanya..   Semut-semut itu tahu kalau malam sepi dan dingin gadis itu selalu bangun dan menghadap kiblat untuk sholat tahajud.
Itulah sebabnya,ketika gadis berjilbab itu, Mbak Retno Ramadhani, memasuki rumah yang terletak di gang sempit itu, semut-semut itu mengucapkan selamat datang kepadanya dan juga memberi tahu, bahwa kehidupan di sebuah kota metropolitan teramat keras dan kasar,tiada belas kasih, saling sikut-menyikut dan terkadang kerabat sendiri juga saling menzolimi. Di kota metropoilitan, tipu muslihat selalu dilakukan orang, kebohongan selalu ada. Juga kepalsuan. Apa lagi yang namanya munafik amat banyak jumlahnya. Dajjal sudah berserakan dimana-mana,seperti sampah. Kepalsuan dan kebohongan serta silat lidah lebih sering dilakukan pemimpin ketimbang kebaikan.
Itulah sebabnya semut-semut itu ketika mengucapkan selamat datang, mengutarakan tentang ushul fiqih yang bermakna, apabila yang halal dan haram itu menyatu,maka dikalahkanlah yang haram. Semut-semut hitam itu, terutama Masyghul dan Naubah ingin mengingatkan, bahwa keadaan hidup di sebuah kota besar, yang halal dan yang haram telah berkumpul menjadi satu.
Semut-semut itu, ketika berhenti mengusung bangkai anak belalang, ingin memperingatkan, agar Mbak Retno Ramadhani,seorang gadis yang dilahirkan pada bulan Ramadhan, yang baru saja menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren, agar ekstra hati-hati menjalani kehidupan di sebuah kota metropolitan. Jangan sampai tergelincir dan mencebur dalam lumpur, jangan sampai dihanyutkan air yang jorok, jangan sampai tersandung batu, jangan sampai terpijak duri, jangan sampai tersayat sembilu. Jangan sampai dihampiri para pelaku dajjal.
Hidup di sebuah kota besar harus jeli memilah-milah, mana yang halal dan mana yang haram,mana madu dan mana racun,mana coklat dan mana tahi kucing, mana sahabat dan mana musuh. Masih banyak dan masih amat banyak hal-hal yang harus dipilah-pilah. Sekuntum bunga harus dipilah dari tumpukan sampah. Kebaikan harus dipilah dari dajjal.
“Selamat datang Mbak Retno Ramadhani di sebuah kota besar. Selamat memulai kehidupan baru di sini dan berhati-hatilah melangkah,” itulah pesan dan amanah dua ekor semut yang sudah amat lama bersahabat, Masyghul  dan Naubah. Sepasang semut itu sudah amat akrab dan suatu saat mereka akan kawin.
Retno Ramadhani, gadis berjilbab itu, terbawa oleh langkah abinya yang malang, yang terkena pe-ha-ka dari sebuah fabrik yang collaps karena tidak mampu bersaing di sebuah kawasan selatan Yogya.. Syukurlah tragedi yang amat menyakitkan itu, pe-ha-ka terhadap abinya, Retno Ramadhani sudah menyelesaikan pelajarannya di sebuah pondok pesantren, sementara gaji sang abi sudah berbulan-bulan tersendat karena fabrik itu bangkrut. Sang abi hanya menerima pesangon yang tidak layak jumlahnya.
Syukurlah Mbak Retno adalah seorang siswi yang berprestasi di tempatnya menimba ilmu di sebuah pondok pesantren,jauh di luar desanyan sehingga selama menghuni pondok pesantren dia mendapat bea siswa. Sekarang, dengan membawa segudang ilmu di benaknya, dia bersama sang abi dan ummi, hijrah ke sebuah kota besar, hijrah meninggalkan suasana yang buruk untuk menjadi keadaan yang lebih baik.
Sekarang,setelah hijrah di sebuah kota metropolitan, dia mendapat kemudahan dari Allah, tenaganya dibutuhkan oleh keluarga Bu  Ainun yang suaminya bekerja di sebuah bank, untuk mengajar anak-anaknya membaca Al Qur’an dan sholat. Mbak Retno juga diminta melakukan hal yang sama di keluarga Bu  Amalia yang suaminya adalah seorang anggota Polisi.. Juga di rumah Bu Farida. Memberikan les di rumah-rumah warga yang hidup mampu merupakan penghasilan yang lumayan bagi gadis berwajah bundar telur itu.
Sepasang semut itu, Masyghul dan Naubah,selalu mengintip apa saja yang terjadi di rumah itu. Kedua semut itu melihat Bu Ainun suatu hari hadir di rumah yang dihuni Mbak Retno dengan membawa bingkisan..
Sepasang semut hitam itu mendengar tamu Mbak Retno berkata:
“Saya sangat berterima kasih ,sejak Mbak mengajar di rumah saya, nilai rapor anak saya untuk agama Islam sembilan puluh,”
“Alhamdulillah,” Mbak Retno ikut bersyukur.
Sepasang semut itu melihat wajah Mbak Retno Ramadhani berseri dan tersenyum. Apalagi ketika Bu Ainun memberinya bingkisan berisi sebuah jilbab berharga mahal.
Sepasang semut itupun tertegun lagi ketika hari-hari berikutnya penghuni rumah itu kedatangan tamu lagi, Bu Farida:
“Saya bersyukur, anak saya mendapat nilai seratus untuk mate-matika!”
Seperti halnya Bu Ainun, Bu Farida juga memberinya bingkisan sebuah tas kulit yang dibelinya di Singapura.
Sepasang semut itu berdecap-decap penuh rasa kagum:
            “Luar biasa. Lulusan pondok pesantren tidak hanya menguasai ilmu agama Islam, tapi juga mate-matika,”: terdengar ucapan Masyghul.
            “Pasti  Mbak Retno juga mahir berbahasa Inggeris, juga mengerti sejarah dan biologi,” sahut Naubah penuh rasa kagum. Pondok Pesantren memang sumber ilmu dan yang diajarkan disana tidak hanya bahasa Arab, tidak hanya tentang sholat, tidak hanya fikih dan hadist. Di sana juga diajarkan tentang jihad.  Di sana juga diajarkan tentang pelajaran seperti halnya di sekolah umum.
            Sepasang semut itu benar-benar ingin menyaksikan apa yang terjadi pada diri penghuni rumah itu. Ketika sedang mengusung sisa makanan di lantai,  Masyghul berkata kepada rekannya yang bertubuh gendut:
            “Lihat, Mbak Retno sedang melingkarkan cincin di jari manisnya. ,” Masyghul menunjuk ke arah Mbak Retno Ramadhani. “Mbak Retno sudah mampu membeli  cincin dari hasil mengajar..”
            “Ia tampak cantik sekali. Pasti suatu saat nanti Mbak Retno akan mendapatkan pacar seorang jejaka yang tampan dan mapan hidupnya.”
            “Mudah-mudahan seperti itu!”
            Hijrah yang dilakukan keluarga itu memang benar-benar membawa perubahan dari hal-hal yang buruk menjadi lebih baik. Sepasang semut itu melihat .Sang ummi pulang dari menjajakan jamu gendong dengan naik bajaj    membawa sebauh peswat tv. Acara yang paling digemari sang ummi pasti adalah acara syiar Islam di waktu fajar.
            “Tampaknya menjajakan jamu gendong keliling lorong demi lorong bagi sang ummi membawa berkah. Lihatlah,sang ummi sudah mampu membeli tivi berwarna.”
            “Jamunya memang laris dan dibutuhkan oleh perempuan yang baru bersalin, atau sopir truk dan buruh angkat di gudang untuk menghilangkan kelelahan.”
            Langganan sang ummi memang cukup banyak. Tiap pagi dia pasti ditunggu oleh para perempuan yang baru bersalin. Ia selalu ditunggu oleh para sopir atau para buruh angkat. Bahkan lelaki yang butuh keperkasaan juga selalu menenggak jamunya. Perempuan yang suaminya kawin lagi juga menunggunya untuk membeli jamu singset atau sari rapet.
            Sepasang semut itupun menyaksikan kemurahan rezeki dari Allah yang turun kepada keluarga penghuni rumah yang terletak di gang sempit itu. Semut-semut itupun menyaksikan sang abi pulang dari mendorong gerobaknya yang berisi minyak tanah dengan membawa bingkisan berisi kain sarung dan kemeja koko.
            “Sarung dan kemeja ini untuk sholat jum’at,” ujar sang abi kepada Mbak Retno Ramadhani yang didengar oleh sepasang semut itu.  Meskipun bekerja berat mendorong gerobak keliling lorong, namun bila waktunya sholat tiba lelaki itu pasti singgah di masjid.
            Semut-semut itu, meskipun terkadang sedang mengusung sisa makanan atau bangkai kecoa, selalu melihat sang abi tiap jumat cepat pulang lalu mandi sunat jum’at dan berangkat ke masjid sebelum azan berkumandang.
            Keluarga penghuni rumah itu memang keluarga sakinah. Sejak masih tinggal di desanya dan hidup miskin sebagai buruh fabrik yang sedang dilanda krisis, selalu dekat dengan Allah. Mereka tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai muslim.
            “Kita ikut bahagia, keluarga yang tinggal di rumah ini  senantiasa melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.,” itulah komentar Masyghul kepada pasangannya yang selalu ada di sisinya..
            “Semua anggota di rumah ini tidak mau berpangku tangan, tidak mau bermalas-malas. Mereka merasa mencari nafkah adalah ibadah,” sahut Naubah.
                                                            ***
            Apapun yang terjadi di rumah itu, meskipun hanya sebuah jarum yang jatuh di lantai, suaranya pasti didengar oleh semut-semut itu,pasti disaksikan oleh hewan kecil itu. Apalagi ketika di rumah itu hadir seorang lelaki muda yang tampan lalu Mbak Retno menyuguhkan kopi hangat.
            “Mudah-mudahan Bang Fadhil menyukai kopi buatan saya,”  kata-kata itulah yang didengar oleh sepasang semut dari bibir Mbak Retno yang mengintip dari bawah meja.
            “Tentu saja aku menyukainya. Kopi ini akan membuat aku kerasan hadir di rumah ini.”
            “Namanya Fadhil,nama yang bagus dan Islami. Orangnya juga gagah dan bukan seorang pengangguran.” Itulah komentar Naubah yang amat asyik mengintip kehadiran lelaki itu.
            Bang Fadhil meneguk kopi hangat di depannya dan mengunyah lemper yang dibuat sendiri oleh Mbak Retno Ramadhani. Sesaat kemudian, lelaki itu mengeluarkan kotak kecil dari dalam sakunya dan isinya ternyata sebuah kalung dengan mainannya sebuah delima merah. Indah sekali.
            Lelaki itu menatap wajah Mbak Retno dan berkata lirih:
            “Aku berharap kamu berkenan menerima hadiah ini,sebagai tanda aku ingin bersahabat denganmu. Tidak hanya sebagai sahabat, tetapi lebih dari itu.”
            “Tentu saja saya akan menerimanya dengan rasa syukur. Saya senang bertemu Bang Fadhil yang akan melindungi diri saya,” itulah kata-kata yang lahir dari celah bibir Mbak Retno yang tipis  dan didengar oleh sepasang semut yang mengintip di bawah meja.
            “Aku akan selalu datang kemari, aku akan selalu bersamamu.”
            Perlahan sekali, lelaki itu menghampiri Mbak Retno lalu melingkarkan kalung berhiaskan delima berwarna merah di leher Mbak Retno. Sepasang mata perempuan berjilbab itu terpejam ketika Bang Fadhil mengecup keningnya.
            “Terima kasih,” amat lirih suara itu lahir dari celah bibir Mbak Retno yang kemudian mencium tangan lelaki itu tandanya ia amat menghormati lelaki itu.
            Di depan Mbak Rento, disaksikan dua ekor semut hitam yang mengintip di bawah meja, lelaki itu bertutur bahwa dia berasal dari Sumatera, pernah kuliah di akademi perhotelan dan bercita-cita untuk bekerja di sebuah hotel bernuansa Islami yang akan dibangun di Serambi Makkah, di Medan , Pakanbaru, Batam , dan Palembang.
            Bang Fadhil juga bertutur, disamping kuliah dia juga belajar tentang Islam pada seorang mubaligh, Mualim Bukhari, seorang ulama yang sangat dihormati dan berasal dari rumpun Melayu.
            Di depan mata lelaki itu sudah terbayang bekerja di sebuah hotel bernuansa Islami, halaman hotel diteduhi pohon-pohon palm sejenis pohon kurma seperti di padang pasir, semua karyawan mengunakan busana muslim, yang perempuan berjilbab, yang lelaki mengenakan kemeja koko, bertopi putih dan makanan yang terhidang di hotel itu adalah makanan yang Islami. Musik yang dilantunkan juga bernuansa musik reliji. Tidak akan ada maksiat di hotel bernuansa Islami itu.
            “Tapi sayang, hotel itu tidak kunjung berdiri sampai sekarang, hingga aku harus tetirah kemari,” ujar lelaki itu lagi.
Tanpa malu-malu, lelaki itu juga berterus terang, sejak bermukim di kota metropolitan itu dia bekerja sebagai penarik ojeg.
            “Yang penting halal dan hasilnya juga lumayan. Langgananku sudah cukup banyak, dari mulai mengantar anak sekolah, pegawai negeri sipil, hingga ibu-ibu rumah tangga. Salah satu langganan yang paling setia adalah Bu Martha seorang pedagang permata yang duitnya banyak.
            “Cantikkah Bu Martha?” tanya Mbak Retno.
            Bang Fadhil mengangguk, Mbak Retno menatapnya dalam-dalam.
            “Bang Fadhil tidak rindu pada kampung halaman di Sumatera.”
            “Kerinduan selalu ada di hatiku,tetapi belum saatnya untuk pulang.”
            “Adakah seseorang yang dirindukan di sana?”
            Lelaki itu mengangguk.
            “Siapa?”
            “Mualim Bukhari. Lelaki Melayu itu banyak memberiku pelajaran tentang Islam, untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.”
            Mbak Retno tersenyum dan membiarkan lelaki itu menyentuh jari-jemari tangannya,lalu berkata lirih.
            “Nabi bersabda,bahwa dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita soleha!.”
            Mbak Retnno tersenyum lagi dan membiarkan jari tangannya dalam genggaman lelaki itu. Dari bibirnya lahir kata-kata:
            “Bang Fadhil ingin agar saya jadi muslimah seperti Masitah?. Atau seperti Nasibah Al Anshari,muslimah pertama yang diijinkan Rasulullah terjun ke medan perang?. Atau Bang Fadhil ingin agar saya jadi seperti Rubayi’ binti Mu’awidz yang jadi perawat di peperangan?. Atau seperti Ratu Balkis yang hidup mewah dan akhirnya bertekuk lutut di depan Nabi Sulaiman?”.
            Sebagai seorang perempuan yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren, Mbak Retno tahu persis wanita-wanita muslimah yang perjuangannya amat besar untuk menegakkan Islam,seperti Umu Sinan yang jadi penunjuk jalan ketika berkobar perang  Khaibar. Mbak Retno juga tidak pernah lupa nama  Ummu Ziyad Al-Asyia’yah kurir dan sekaligus sebagai srikandi di medan perang. Juga nama Ku’aibah binti Sa’ad yang terkenal menjadi perawat ketika perang dan ketika suasana damai. Nama  Rufaidah Al-Anshariyah yang menjadikan rumahnya sebagai klinik juga tetap diingat perempuan yang kini membiarkan jari tanganya digenggam Bang Fadhil.
            “Aku ingin kamu jadi salah satu diantara perempuan muslimah itu,” sahut Bang Fadhil.
            “Kalau demikian halnya saya ingin jadi perempuan seperti Ummu Sinan saja, yang merawat  Bang Fadhil kalau sakit atau lelah ..”
            Bang Fadhil amat senang mendengar kata-kata itu. Lelaki itu menarikkan tubuh Mbak Retno agar merebahkan kepala di dadanya yang tegar dan kekar. Sepasang  semut, Masyghul dan Naubah merasa malu untuk melihatnya, mereka menundukkan wajah.
            Ketika itulah Bang Fadhil membisikkan kata-kata, bahwa dia ingin menjadikan Mbak Retno sebagai isteri yang setia. Bang Fadhil juga mengatakan, bahwa ia ingin mengajak Mbak Retno menikah dan suatu saat membawanya pulang ke Sumatera, untuk bertemu ibunya dan juga untuk bertemu dengan Mualim Bukhari yang  sudah amat banyak memberinya ilmu tentang Islam.
            Lelaki tua dari rumpun suku Melayu itu pula yang memberinya ilmu bela diri agar selamat dari tusukan senjata tajam, yakni dengan sering-sering membaca ayat Al Qur’an surah At Taubah ayat 128-129.
            “Aku selalu mengamalkan ayat itu, karena menyadari kehidupan dikota besar penuh dengan kekerasan dan tiada belas kasih. Siapa tahu aku menghadapi musuh bersenjata, mudahan-mudahan dengan amalan itu, aku mendapat perlindungan dari-Nya.”
            “Mudah-mudahan Bang Fadhil selalu dekat dengan malaikat dan Allah!.”
            Lelaki itu membelai rambut Mbak Retno. Di telinga Mbak Retno, lelaki itu berbisik, andainya mereka sudah menikah dan mempunyai anak, ia berharap anak-anak yang lahir dari rahim Mbak Retno akan diberi nama bernuansa Melayu yang Islami,seperti Azmi, Anas, Nurul, atau Fadillah atau Nazlah.
            “Saya setuju saja!.”
            Mbak Retno membiarkan lelaki itu memeluknya. Sepasang semut, Masyghul dan Naubah masih tetap merasa malu memandang dua insan yang sedang merencanakan hari esok dalam sebuah perkawinan.
                                                            ***
            Takdir Tuhan pasti tidak akan terelakkan oleh manusia. Begitulah yang harus terjadi atas diri seorang lelaki muda kelahiran Sumatera , bang Fadhil. Lelaki gagah dari rumpun Melayu itu sudah dibekali ilmu bela diri, dia sudah diberi pelatihan yang cukup, sudah diberi ayat-ayat agar benda tajam tidak mampu melukai dirinya alias kekebalan diri. Tapi bila Tuhan menghendaki, harus terjadi kekebalan itu tidak akan berlaku.
            Senja itu, langit di atas kota masih gelap ditutupi mendung tebal,padahal sudah hampir sepanjang hari hujan amat deras turun dari langit yang kelabu.. Jalanan becek dan air sungai meluap ketika Bang Fadhil akan melewati jembatan untuk mengantarkan langganan yang paling setia dan pemurah, Bu Martha.
            Sungguh tidak diduganya ,bahwa senja itu Bang Fadhil akan menghadapi naas. Tidak ada firasat apapun. Di tengah jembatan, tiga orang lelaki mencegatnya. Bang Fadhil menginjak rem dan dua lelaki menodongkan pisau ke perut Bang Fadhil, dan seorang lagi menodong Bu Martha dan berusaha merebut tas sandang berisi sejumlah perhiasan dan uang.
            “Jangan melawan, nyawa anda akan terancam!,” ujar lelaki yang menghadang itu terhadap Bang Fadhil dan tampak wajahnya seram.
            “Serahkan tas ibu baik-baik, anda akan selamat!.” ujar lelaki yang menghunus belati ke perut Bu Martha.
            “Jangan!. Jangan berikan,Bu!,” teriak Bang Fadhil berusaha membela pelanggannya yang sudah bertahun-tahun amat baik dan pemurah hati  kepadanya.
            Bu Martha tampak ketakutan dan tubuhnya gemetar. Lelaki di depannya merebut tas itu dengan paksa dan Bu Martha tidak berdaya. Justru yang melakukan perlawanan adalah Bang Fadhil. Lelaki yang sudah dibekali ilmu bela diri itu berusaha menepiskan pisau yang sudah diarahkan ke perutnya.
            Perkelahian tidak terelakkan, satu lelaki, Bang Fadhil, harus melawan tiga lelaki yang semua bersenjata pisau mengkilat. Pada awalnya memang Bang Fadhil mampu mengelakkan tikaman pisau di tubuhnya. Namun keadaan lawan yang tidak seimbang menyebabkan Bang Fadhil terluka pada bagian punggungnya karena ditebas dengan kelewang..
            Dalam keadaan luka parah, Bang Fadhil tetap saja melakukan perlawanan. Dua tusukan harus dialaminya pada bagian perut. Darah amat banyak mengucur dan lelaki asal Sumatera itu tidak berdaya. Dalam keadaan luka parah, tubuh Bang Fadhil dibuang ke sungai yang sedang banjir dan airnya keruh. Tidak ada seorangpun yang menolong karena jembatan itu sedang sepi. Tubuh Bang Fadhil yang malang itu dihanyutkan air, sementara Bu Martha berteriak-teriak minta tolong. Lima orang yang sedang lewat terlambat memberikan pertolongan karena tas milik Bu Martha sudah dibawa kabur bersama sepeda motor milik Bang Fadhil. Hingga hari esok, hingga hari berikutnya mayat lelaki kelahiran Sumatera itu tetap tidak ditemukan, sudah hanyut hingga ke laut atau jadi mangsa buaya atau mahluk air lainnya.
            Peristiwa perampokan itu segera tersiar di media massa, baik di tv maupun di surat kabar. Sia-sia saja Bu Martha melaporkan hal itu ke polisi. Bu Martha merasa amat terpukul jiwanya, bukan karena harus kehilangan sejumlah uang dan permata dalam tasnya. Baginya kehilangan tas dan sejumlah uang serta permata miliknya amat kecil dibandingkan dengan harta yang dia miliki. Yang amat memukul jiwanya adalah tentang  jasad Bang Fadhil tidak ditemukan. Hilang dihanyutkan air hingga ke laut.
            Bu Martha amat sedih. Sudah lama perempuan itu mengenal lelaki asal Sumatera itu. Perempuan itu mengenal Ban Fadhil sebagai sosok lelaki yang simpatik dan baik, rajin beribadah. Dimanapun Bang Fadhil sedang berada, bila azan sudah terdengar dari puncak menara masjid, pasti lelaki itu berhenti untuk melakukan sholat. Bang Fadhil adalah sosok dermawan dan mudah mengulurkan tangan kepada pengemis yang menengadahkan tangan di depannya. Tidak ada yang tidak diberi uang.
            “Kasihan dia!. Kasihan!,” hanya itu yang mampu diucapkan Bu Martha dan menangis. Air matanya berderi-derai seperti hujan lebat. Perempuan itu merasa kematian Bang Fadhil disebabkan dirinya, ketika sedang mengantarnya ke rumah. Hati Bu Martha bagaikan ditusuk duri. Diapun berdoa kepada Tuhan agar jenazah Bang Fadhil ditemukan.
            Sebagai tanda simpati dan belasungkawa, Bu Martha mendatangi kerabat Bang Fadhil dan memberikan uang lima juta rupiah.  
            Air mata Bu Martha berderai,tapi air mata Mbak Retno Ramadhani lebih deras lagi.
            “Ya,Tuhan. Ya Robbi,kenapa hal ini harus terjadi pada diri seorang lelaki yang sangat kucintai?. Ya,Allah kenapa Engkau renggut nyawa calon suamiku?.”
            Ratapan panjang itu didengar oleh sepasang semut, Masyghul dan Naubah, juga ribuan semut yang tiap hari berbaris mencari makanan untuk ratunya. Masyghul dan Naubah juga merasakan kesedihan yang sangat dalam. Hatinya juga ikut hancur luluh. Sepasang semut itu juga menangis.
            “Kasihan, Mbak Retno. Dia telah kehilangan kekasih. Kasihan,rencananya untuk segera menikah gagal. Mbak Retno kehilangan harapan,”  terdengar suara semut jantan.
            “Semoga Tuhan memberinya pengganti seseorang yang dapat mengobati hatinya yang terluka. Semoga Tuhan memberinya pengganti seorang lelaki yang baik seperti Bang Fadhil,” semut betina, Naubah ,juga bersedih dan berdoa.
            Semut-semut itu ikut merasakan kesedihan di hati perempuan berjilbab itu. Semut memang mahluk yang amat peka dan perduli terhadap keadaan sekitar.
            Sepasang semut itu ikut terharu ketika air mata terus berderai di pipi Mbak Retno Ramadhani   Semut-semut itu melihat sepasang bibir Mbak Retno berkomat-kamit membaca sebaris ayat Qur-an yang selalu dibacakan orang pada saat tertimpah musyibah kematian: “Yaa ayyuhal laziina aamanuusta’iinuu bisshobri washsholah. Innallaha mashshobirin”
            “Kakak tahu makna ayat yang dilantunkan Mbak Retno?,” tanya Naubah kepada semut jantan yang tertegun sejak tadi.
            “Aku lupa!”
            “Maknanya, mengingatkan manusia yang beriman ketika tertimpa musyibah agar meminta pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat,sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
            Masyghul tercenung,tapi matanya masih menatap Mbak Rento yang bibirnya berkomat-kamit melantunkan ayat Qur’an lainnya:
            “Yaa ayyuhannafsul muthmainah irjii ilaa Rabbika radhiyatamardhiah fadkhulii fi ibaadi wadkhulii jannati.”
            Sepasang semut itu termangu karena tergugah mendengar ayat yang selalu dibacakan orang saat melepas jenazah untuk dimakamkan. Semut-semut itu memahami maknanya  yang berseru kepada jasad  yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan hati yang pasti lagi diredhoinya. Maka masuklah kedalam jamaah Allah dan masuklah ke surga.
            Naubah tidak mampu membendung air mata mendengar lantunan ayat itu,amat menyedihkan. Semutpun ingat kematian. Akan halnya Masyghul masih memandang ke arah Mbak Retno yang menyeka air mata dan berkata:
“Berhentilah menangis,Mbak Retno. Jangan merasa sedih terus. Kalau Mbak Rento ingat Bang Fadhil dan rindu padanya, sentuhlah kalung yang dihiasi delima merah pemberian Bang Fadhil dan dekaplah erat-erat di dadamu!.”
Mbak Retno seperti mendengar kata-kata itu. Dia menyentuh kalung pemberian Bang Fadhil,mendekap mainan delima merah lalu meletakkan di dadanya. Rindu dan kesedihan seperti terobati.
Kesedihan ada kalanya datang bertubi-tubi dan itulah yang harus diterima oleh gadis lulusan pondok pesantren itu. Dan kesedihan itu justru lebih besar daripada ketika kehilangan Bang Fadhil. Kesedihan itu terjadi di depan rumah Bu Amelia yang suaminya seorang aparat kepolisian. Ketika Mbak Retno datang ke rumah besar itu, pintu depan terbuka lebar. Tapi ketika  dia mengucap salam untuk masuk,untuk memberikan pelajaran bahasa Inggeris kepada putera Bu Amelia, tiba-tiba pintu depan dihempaskan kuat-kuat. Suaranya menggelegar. Mbak Retno amat terkejut.  Suara penghuni rumah itu didengar Mbak Retno lebih menggelegar lagi:
“Mulai hari ini tidak usah datang kemari lagi. Anak saya tidak boleh belajar lagi . Kami  takut anak kami  jadi teroris!”
Mbak Retno hanya mampu mengelus dada yang terasa amat perih. Bu Amelia tahu, Mbak Rento lulusan pondok pesantren. Sementara orang,terutama keluarga Polisi menganggap pondok pesantren adalah sarang teroris.  Anggapan miring dan penilaian yang keliru selalu ada dimana-mana, bahwa mereka yang menimba ilmu di pondok pesantren selalu dijejali dengan jihad untuk membunuh orang, untuk melakukan teror. Teror bom yang terjadi dimana-mana dan menewaskan banyak orang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang pernah belajar di pesantren dengan dalih jihad.
Pondok pesantren memang selalu menjadi korban fitnah!,” Masyghul memberikan komentar ketika Mbak Retno pulang dengan air mata berderai dan bercerita kepada  sang ummi  apa yang dialami di rumah Bu Amelia. Siapa yang tidak merasa sedih kalau banyak pondok pesantren digeledah dengan dalih untuk memburu teroris?.
Masih banyak warga negeri ini tidak menyadari, bahwa pesantren mempunyai kontribusi besar terhadap kemerdekaan republik ini. Pesantren sudah didirikan oleh para santri sejak negeri ini dijajah Belanda. Para penegak hukum,terutama aparat kepolisan lupa, bahwa para pejuang kemerdekaan negeri ini ketika melawan penjajah selalu diiringi doa para kiyai di pesantren. Bahkan hingga saat inipun para cendekiawan muslim banyak berasal dari pesantren. Amat banyak penduduk negeri ini tidak pernah membaca buku karya Raffles, Gubernur Jenderal Inggeris “The History of Java”. Padalah dalam buku itu dikemukakan bahwa para pejuang kemerdekaan dilakukan oleh para kiyai dan santi. Pikiran dan keringat serta darah para santri menjadi saksi bisu sejarah kemerdekaan negeri ini.
Para aparat itu lupa jasa Haji Samanhudi, juga lupa pada perjuangan HOS Tjokroamanito, K.H.Ahmad Dahlan dan segudang pejuang muslim lainnya. Negara ini seharusnya merasa berhutang budi kepada para kiyai dan santri.
Syukurlah kesedihan itu tidak terlalu lama melekat di dasar hati Mbak Retno. Hanya dua minggu setelah dirinya disambar fitnah yang amat keji itu. Pertolongan Tuhan datang kepadanya.  Mbak Retno dipanggil untuk menjadi guru di sebuah madrash tidak jauh dari tempat tinggalnya. Mbak Rento melakukan sujud syukur karena pertolongan Tuhan selalu datang kepadanya.
“Lihatlah,dengarlah, Mbak Retno bersyukur karena kebesaran Tuhan!,” cetus Naubah .
“Bagi keluarga sakinah,  malaikat dan  Tuhan selalu dekat!,” sahut Masyghul ikut bersyukur.
                                    ***
Mereka hanyalah sepasang semut hitam di antara sekian ribu semut-semut lainnya  yang tiap saat mengusung bangkai belalang atau sisa makanan yang terjatuh dari piring milik manusia penghuni  rumah  tua yang terletak di gang sempit itu.  Mereka adalah Ummu Naubah, semut betina dan Abu Masyghul, semut jantan, yang sudah amat lama saling bersama dalam suka dan duka, dalam hujan lebat, dalam suasana banjir dan banyak kawasan terendam air, atau dalam musim kemarau panjang dan debu menyesakkan nafas warga kota.
Mereka adalah sepasang mahluk kecil , tetapi memiliki semangat sebesar gunung, memiliki kebersamaan sebesar bukit, yang memiliki kesetiakawanan yang tidak pernah punah, yang tidak pernah berbohong, yang tidak pernah menyakiti sesama, yang tidak pernah melakukan demo menuntut kenaikan upah, padahal mereka hanyalah mahluk pekerja atau koloni yang sepanjang hari harus bekerja keras mencari dan mengangkut makanan untuk sang ratu. Mereka tidak pernah merebut sesuatu yang bukan milik mereka, dan  mereka tidak pernah  saling bersengketa, mereka tidak pernah berseteru lantaran merebutkan rezeki.  Semua makanan adalah milik bersama, semua rezeki adalah milik sesama mahluk semut. Mahluk semut tidak akan kelaparan untuk setahun mendatang karena makanan yang sangat cukup  disediakan oleh semut-semut koloni.
Lihatlah betapa mesranya mereka semua, tiap berpapasan satu dengan lainnya saling bersalaman atau saling melakukan tegur sapa dalam bahasa yang amat lembut dan penuh kasih sayang  atau tiap bertemu mereka saling mencium pipi.
Mereka hanyalah mahluk hitam yang amat kecil, tetapi Allah memuliakan mereka, lebih mulia dari badak yang bertampang besar, lebih mulia dari harimau  atau singa yang paling ditakuti di tengah rimba. Lalu sebagai tanda Tuhan memuliakan mahluk kecil  berwarna hitam itu, mahluk bernama semut-semut itu disebut-sebut dalam Al Qur’an, bahkan Tuhanpun memasukkan binatang kecil itu dalam sebuah surat bernama An  Naml yang  berjumlah 93  ayat, merupakan  ayat Makkiyyah dan pada ayat  l8 dan 19  terdapat perkataan semut. Tidak hanya itu, Nabi Suulaimanpun  ketika lewat bersama pasukannya yang bersenjata lengkap, yang siap  untuk bertempur dengan semangat tinggi, segera berhenti dan tersenyum kepada barisan semut yang sedang lewat. Dan pimpinan semut itu memperingatkan agar koloni semut itu masuk ke sarangnya  agar tidak terpijak oleh pasukan Nabi Sulaiman..  Bahkan Nabi Sulaimanpun tersenyum kitika  mendengar ucapan mahluk-mahluk kecil itu. Mahluk semut memang cerdik dan bahasanya dapat dimengerti oleh Nabi Sulaiman.
Meskipun hanya memiliki tubuh yang mungil, tapi semut-semut itu selalu mampu mencium makanan yang jatuh dibawah meja atau mampu mendeteksi bangkai belalang  untuk diusung ke sarang kemudian dipersembahkan kepada sang ratu. Tidak hanya itu, sepasang semut hitam itu, Ummu Naubah dan Abu Masyghul, juga selalu tahu bila ada benang terurai  di rumah  di tempat mereka membuat sarang.  Sepasang semut itu tahu, bila pemilik rumah di kawasan kelas bawah itu melantunkan ayat-ayat Qur’an usai sholat maghrib atau subuh.
Sepasang semut itu, Ummu Naubah dan Abu Masyghul juga selalu tahu  bila pemilik rumah tua  itu ada yang sakit tidak ke dokter,tapi berobat secara tradisional. Buah mungkudu,daun seledri, bawang putih dan ramuan jamu adalah obat-obat yang mujarab bagi keluarga itu ditambah doa dn jampi-jampi.
Ummu Naubah dan Abu Masyghul tertegun ketika hari itu mereka melihat sang abi dan ummi serta sang adik, penghuni rumah itu,  pagi-pagi meninggalkan rumah dengan membawa koper lalu berangkat ke stasiun kereta api untuk berangkat ke sebuah desa di selatan Yogya untuk menghadiri hajatan pesta mantu kerabatnya.  Sepasang semut hitam itu juga tahu persis yang tinggal di rumah itu hanya tinggal Mbak Retno. Tidak mungkin semua pergi ke Yogya, tidak mungkin rumah  yang sudah tua  itu dikosongkan, karena tv  milik mereka pasti akan digondol maling, pasti radio transistor mereka akan berpindah tempat.
       Kota metropolitian memang tidak selalu aman, maling ada dimana-mana, penjahat ada di setiap pelosok dan yang selalu menjadi sasaran utama  adalah rumah-rumah reot di kawasan kumuh atau di rumah-rumah di gang yang sempit. Justru rumah milik orang kaya amat jarang dimasuki  maling karena tiap saat dikawal satpam, padahal pemilik rumah mewah dikawasan mewah itu adalah maling berdasi yang menggerogoti harta milik negara yang dikutip dari rakyat rupiah demi rupiah.
      Tidak mungkin Mbak Retno  juga ikut ke Yogya karena ia harus mengajar di madrasah Istiqomah. Gaji sebagai guru adalah sebagai sumber kehidupan keluarga asal Jawa Tengah itu. Menjajakan  jamu  gendong hasilnya lumayan untuk menghidupi keluarga itu. Dan kehidupan sebagai penjual jamu jauh lebih lumayan daripada kehidupan pengamen atau penarik beca. Dan harta yang diperoleh pastilah lebih bersih dari pada penghasilan PNS yang  selalu menilep angka-angka proyek.   Setiap suap nasi yang didapat dari menjual  jamu jauh lebih bersih dari PNS yang pintar menyulap angka-angka. Rezeki dari menjual jamu, jauh lebih halal dari pada  penghasilan anggota legislatif yang selalu  membengkokkan peraturan dan membuat kuitansi fiktif.
                                                        ***
Sepasang  semut itu,  Abu Masyghul dan Ummu Naubah, keheranan ketika sore itu  Mbak Retno  tiba-tiba meratapi abi, ummi dan adik lelakinya. Rangkaian gerbong kereta api yang ditumpangi orang tua Mbak Retno ternyata anjlok dan belasan orang tewas serta puluhan luka-luka. Di antara mereka yang  bernasib malang dan tewas  adalah sang abi, ummi,seorang adiknya . Keluarga penjual jamu tradisional di kawasan gang sempit itu tewas setelah tubuh mereka terjepit dalam gerbong yang ringsek..  Kecelakaan kereta api memang sudah amat sering terjadi dan korban yang tewas serta luka-luka tidak terhitung lagi. Kecelakaan kapal laut yang mengangkut penumpang juga sudah amat  sering terjadi  di negeri ini. Bahkan pesawat udara yang jang jatuh tidak terhindarkan lagi.  Kecelakaan selalu ada di mana-mana, seperti halnya bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa, dan  tsunami  yang amat ganas itu.
Suasana rumah yang berada di kawasan gang sempit itupun segera menjadi ramai didatangi para tamu yang ingin menyampaikan bela sungkawa serta duka cita. Tenda yang sudah kumal, kotor, dan baunya tidak enak segera didirikan untuk melindungi tamu-tamu dari hujan atau panas terik. Tiga jenazah yang tewas  direnggut kecelakaan kereta api itupun dimandikan, dikafani, disholatkan lalu diantarkan ke kubur. Apa boleh buat, Mbak Retno harus  memecahkan tabungan yang terbuat dari tanah liat, karena harus membayar biaya setapak tanah pemakaman kepada pemerintah, juga membayar pengorek kubur, untuk membeli kain kafan dan honor bilal yang mengurusi fardhu kifayah. 
“Kasihan, Mbak Retno,”  keluh Ummu Naubah, sang semut betina yang memperhatikan  Mbak Retno terus menerus menangis dari kolong meja.
“Ya,kasihan. Tidak hanya Mbak Retno kehilangan ayah, ibu dan adiknya, padahal dia sudah kehilangan Bang Fadhil”, sahut Abu Masyghul yang selalu berdampingan ketika mengusung bangkai belalang atau ketika meperhatikan semua aktivitas penghuni rumah itu.
“Kehidupan manusia lebih rumit dari mahluk seperti kita. Kehidupan manusia selalu berkaitan dengan duit. Melahirkan anak di rumah sakit butuh duit, menyekolahkan anak juga butuh duit yang tidak sedikit. Bahkan ketika  meninggal, kuburan juga harus dibayar. Bahkan ustaz yang mengurusi fardhu kifayah juga perlu uang.  Mau kencing saja perlu uang. Yang tidak butuh duit hanya kentut dan batuk.” 
            “Bersyukurlah kita dilahirkan sebagai mahluk kecil.”  terdengar suara Ummu Naubah lirih.
            “Kita berbahagia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang namanya semut. Hidup tidak  butuh duit.”
            Ribuan semut-semut hitam yang bersarang di rumah tua itu berhenti mengusung bangkai anak jengkrik  ketika tiga jenazah  korban kecelakaan kereta api itu diusung untuk dikuburkan. Tiga keranda itu diberangkatkan ke kubur dengan iringan Fatihah tiga kali dan di selingi  ayat 27 hingga 30 surah Al Fajr. Mbak Retno pingsan dan untunglah disisinya berdiri para jiran tetangga yang selalu mendampinginya. Sesama manusia yang hidup di kelas bawah memang selalu akrab, selalu saling mengulurkan tangan, selalu memahami duka yang dialami tetangga lainnya.
            “Kasihan, Mbak Retno jadi sebatang kara,”  cetus Ummu Naubah lagi
            “Ia tidak kuat menghadapi kematian ayah, ibu dan adiknya,” sahut Abu  Masyghul.
            “Mbak Retno belum siap  untuk menerima kenyataan paling pahit dalam hidupnya.”
            “Andainya dia sudah kawin, pasti keadaan akan jauh berbeda.”
            “Kasihan , andainya Bang Fadhil tidak meninggal dunia yang dihabisi penjahat, tentu Mbak Retno sudah kawin,tentu tidak terlalu sedih,tentu ada yang menghiburnya. “
            Sepasang semut itu ingat kembali masa lalu ketika Mbak Retno selalu makan bakso bersama seorang lelaki kelahiran Sumatera  bernama Bang Fadhil. Sepasang semut itu tidak akan pernah lupa ketika lelaki muda yang bekerja sebagai penarik ojeg itu  selalu mengunjungi Mbak  Retno dan mereka duduk berdampingan. Sepasang semut itu selalu melihat Mbak Retno merebahkan kepalanya di dada lelaki itu. Semut-semut itupun selalu melihat lelaki itu membelai rambut Mbak Retno  dan memeluknya erat sekali. Sepasang semut yang selalu merayap di bawah meja itu selalu mendengar  kata-kata cinta dibisikkan lelaki kelahiran Sumatera itu di telinga Mbak Retno. Juga tentang kasih sayang dan rencana mereka untuk hidup bersama sebagai suami isteri.
            “Tapi Mbak Retno tidak akan kehilangan tempat tegak. Mbak Retno masih dapat melanjutkan karirnya sebagai guru. Dia masih memiliki tempat berpijak yang kukuh.. Meskipun yang diwariskan  ibunya  hanya pendidikan di pondok pesantren, tapi mampu untuk  membiayai hidup..”
            “Mudah-mudahan dia tidak putus asa.  Sayangnya usaha jamu gendong umminya tidak ada yang mewarisi,padahal usaha itu sudah mulai laris.”
            “Usaha jamu itu memang mendapat barokah dari  Tuhan. Semoga Mbak Retno tetap berpijak di bumi yang kukuh.”
            “Dan juga menemukan jodohnya, seorang lelaki yang mapan.  Mudah-mudahan  Mbak Retno menemukan seorang lelaki pengganti Bang Fadhil.”
            “Pegawai negerikah jodoh yang diharapkan Mbak Retno?”
            “Belum tentu.”
            “Pedagangkah?”
            “Mungkin,tapi bukan  pedagang kaki lima.”
            “Sopir angkutan umum?”
            “Tidak seperti itu. Pendidikan di pesantren memungkinkan untuk mendapatkan jodoh lelaki yang mapan.”
            “Ya,tidak mungkin kuli pelabuhan. Tidak mungkin kuli bongkar muat di pasar?”
            “Tuhan akan menurunkan jodoh yang baik kepadanya.. Mbak Retno belum terlalu tua, masih di bawah tiga puluh tahun dan wajahnya tidak terlalu jelek. Lihat matanya,. Lihat bibirnya, lihat hidungnya, semua bagus dan cantik.  Jarinya juga lentik.  Suatu saat hati lelaki akan terketuk dan jatuh cinta kepada Mbak Retno, lalu mereka menikah.”
            “Cuma sayangnya  kulit Mbak Retno hitam karena dibakar terik matahari ketika belajar di pondok pesantren yang jauh dari desa kelahirannya dulu..”
            Abu Masyghul menekur, sementara ketiga jenazah korban kecelakaan kereta api itu sudah diusung ke kubur dengan iringan para tetangga dan kerabat..
            “Kenapa termenung?,”  sapa  Naubah melirik sahabat kentalnya.
            “Ada sesuatu yang kupikirkan.”
            “Tentang apa?”
            “Tentang keadaan kita berdua.”
            “Kita adalah mahluk kecil. Kita adalah sepasang semut.  Kita adalah koloni yang harus bekerja, membuat sarang atau mencari makan untuk ratu.  Kita adalah bagian dari pasukan pekerja yang sepanjang hari harus  bekerja untuk mencari makan ratu kita pada hari-hari mendatang. Haruskah seperti itu selamanya?. Haruskah kita hanya bersama dalam keadaan seperti ini?. Tidakkah kita seperti manusia, yang lelaki bertemu  dengan  perempuan, kemudian saling mengasihi, saling menyayangi lalu menikah dan punya anak dan menikmati kebahagiaan hingga akhir hayat, hingga hari tua?”
            “Manusia memang  mahluk paling sempurna dan paling mulia diciptakan untuk menyembah Allah. Tapi semut juga lebih mulia dari pada harimau atau beruang. Mahluk kita ada dalam Qur’an, mahluk kita dikenal oleh Nabi Sulaiman, tidak seperti harimau dan beruang. Tidak seperti ulat bulu..”
            Ribuan semut-semut itu kembali melanjutkan tugasnya sebagai pasukan koloni yang bertugas membangun sarang  dan mengusung bangkai kecoa. Jantan dan betina tetap saling membahu bekerja sama tanpa perbedaan gender, tanpa perbedaan kasta, tanpa perbedaan martabat dan harga diri serta tanpa perbedaan sosial. Tapi dalam sebuah perkawinan,  semut jantan harus menerima takdir yang amat menyedihkan. Sebab  setiap semut yang berpasangan , saling memadu kasih sayang kemudian menikah, semut jantan harus menerima nasib paling malang, ia akan mati  beberapa saat  setelah perkawinan itu terjadi.  Tiap semut jantan akan segera mati  tidak lama setelah mereka kawin. Tiap semut jantan harus rela hidupnya berakhir setelah perkawinan berlangsung, sementara semut betina  berubah menjadi ratu  yang akan menghasilkan telur-telur puluhan  ribu butir kemudian akan menetaslah semut-semut generasi baru.
            Kasihan nasib semut jantan,kebahagiaannya hanya sesaat. Semut jantan rela hidupnya berakhir untuk kebahagiaan semut jantan.
            Hampir tidak disadari oleh para manusia, bahwa mahluk semut sudah ada di muka bumi sejak 80 juta tahun yang lalu dan semut-semut itu tidak kurang dari 8.800 spesies  merayap di permukaan bumi.  Para manusia  tidak menyadari, bahwa  populasi mahluk semut  terpadat di muka bumi. Perbandingannya  700 juta semut yang baru menetas, hanya 40 kelahiran manusia. 
Syukurlah Tuhan  telah memperingatkan umat manusia untuk mencontoh prilaku dan kehidupan semut. Tuhan memberi peringatan kepada manusia untuk menggali pelajaran dari kehidupan semut yang membuat sarang di bawah tanah, yang mencari makanan untuk persediaan  hingga setahun ke depan. Semut adalah mahluk kecil  yang sangat trampil, sangat tinggi sifat sosialnya dan sangat cerdas. Semut adalah hewan kecil yang tidak rakus, bahkan mereka sudah kenyang hanya setelah mencium bau makanan. Betapa amat beda dengan selera dan nafsu manusia yang tidak mengenal batas. Bersyukurlah mahluk semut yang tercantum dalam Qur’an surat An Naml yang isinya  tentang kisah semut dan  Nabi Sulaiman, tentang ratu Balqis ,juga  tentang burung hud-hud , serta kisah Nabi Shaleh dengan kaumnya , juga tentang  kisah Nabi Luth  dengan kelompoknya.
            “Aku sudah siap untuk meninggalkanmu andainya kita segera kawin,”  ujar  Abu Masyghul di sisi semut betina  yang amat ia cintai dan ia sayangi sepenuh hati. Semut betina itu selalu dalam pelukannya, terutama bila malam dingin atau ketika hujan turun sangat lebat seakan langit akan runtuh. Padahal sarang semut selalu dibangun oleh koloni semut amat rapi sehingga air hujan tidak mampu menembus sarangnya.
            “Jangan buru-buru pergi, aku belum siap kehilangan dirimu. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi.”  sahut semut betina.    
“Haruskah kita seperti ini terus?. Haruskah kita dalam kebersamaan tetapi tidak menikmati kebahagiaan sebenarnya dalam sebuah perkawinan?. Akan bagaimanakah masa depan kita nanti?. Haruskah aku terus menunggu tanpa suatu kepastian?”
            “Ya,  karena aku tidak ingin kehilangan dirimu dalam waktu dekat.”
            Semut jantan itu merunduk.  Sesaat lagi ia akan mati setelah kawin, itulah takdir untuk semut jantan. Tidak ada kehidupan yang lebih panjang bagi semut  jantan setelah ia kawin. Ia harus mati. Harus mati. Tidak ada kata tunggu. Tidak ada umur panjang bagi semut jantan!.
                                                       ***
            Sepasang  semut itu sedang mengusung sisa makanan yang jatuh dari atas piring  pemilik rumah di gang sempit itu. Sepasang semut itu tertegun ketika melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah itu dan pasti mereka bukanlah petugas ketertiban kota yang akan melakukan penggusuran rumah-rumah kumuh di sepanjang kali. Mereka yang turun dari mobil itu bukanlah aparat yang sanger. Mereka yang turun dari mobil itu tampak seperti amat berwibawa, lagi pula tidak disertai alat-alat berat yang namanya bulldozer atau exacapator untuk meruntuhkan rumah-rumah warga di kawasan kumuh .
            Tidak mungkin tamu yang datang itu untuk melakukan penggusuran, karena  mereka cuma enam orang.  Tiap aksi penggusuran, pasti yang datang adalah aparat yang jumlahnya belasan bahkan puluhan, sebab para petugas penggusuran pasti harus mengantisipasi akan terjadinya aksi penolakan atau perlawanan dari warga yang tidak ingin bangunan  rumahnya atau warungnya digusur aparat. Tidak jarang penggusuran diwarnai dengan lemparan batu. Bahkan aksi penggusuran yang dihadang warga dengan bertelanjang juga sering terjadi.
Mana mungkin aparat yang baru turun dari mobil itu  untuk melakukan penggusuran karena dua diantara pertugas itu adalah perempuan.
            “Kami  adalah petugas dari kereta api,”  salah seorang petugas yang datang mengenalkan dirinya kepada Mbak Retno.
            “Apakah anda datang membawa kabar buruk bagi warga di sini?,”  tanya Mbak Retno  gemetar dan tubuhnya bermandi peluh dingin karena takut.
            “Oh,tidak!. Sama sekali tidak ada  kabar buruk.”     
            “Artinya  tidak ada perintah penggusuran?”
            “Oh,tidak!. Jangan salah sangka!”
            Sepasang semut, Ummu Naubah dan sahabatnya, tersenyum dibawah kursi menyaksikan datangnya para tamu  berpakaian dinas itu. Telinganya cukup jelas mendengar suara pembicaraan Mbak Retno dan tamunya.
            “Justru kami datang untuk menyampaikan permohonan maaf dan bela sungkawa atas terjadinya kecelakaan kereta api yang merenggut nyawa ayah, ibu dan adik anda.,”  ujar salah seorang petugas dari perkeretaapian di negeri ini.
            Sepasang semut yang bersembunyi di bawah kursi itu melihat dua orang yang hadir itu berpakaian dinas asuransi.
            “Jiwa saya sangat terpukul oleh kejadian itu. Saya kehilangan segalanya. Saya menjadi sebatang kara sekarang,”  sahut Mbak Retno dan menunduk.
            “Kami mengerti perasaan anda. Kami mengerti kesedihan anda. Kecelakaan itu memang tidak dikehendaki oleh semua pihak. Karena itu kami datang mewakili perusahaan kereta api untuk mohon maaf”
            Sepasang semut dibawa kursi tamu itu masih sempat memperhatikan wajah Mbak Retno yang menunduk dan air mata berderai di pipinya.  Sepasang semut itu masih sempat melihat wajah Mbak Retno yang amat sedih dan entah kapan kesedihan itu akan berakhir. Kekasih tewas di tangan penjahat dan mayatnya dilempar ke sungai beberapa saat silam. Kini abi, ummi dan adiknya direnggut maut akibat kecelakaan kereta api.
         Di luar, anak-anak kecil bertubuh dekil, berpakaian kumuh, berkaki telanjang sedang bermain layang-layang. Bila ada layang-layang putus lalu mereka saling mengejar untuk meraih layang-layang itu dan tidak jarang mereka melompat pagar, atau memanjat tiang telepon. Di antara belasan anak-anak yang mengejar layang-layang itu hanya dua atau tiga orang yang masih duduk dibangku sekolah. Mereka adalah anak-anak yang tidak mampu disekolahkan orang tuanya yang umumnya adalah pemulung, pengamen, kuli bangunan, penarik ojeg atau pembantu rumah tangga.  Yang ayahnya maling juga ada karena tekanan hidup yang teramat sulit.
            Tidak ada kesedihan di hati kanak-kanak itu meskipun mereka tidak lagi bersekolah padahal dapat dipastikan mereka tidak memiliki masa depan. Mereka tidak perduli dengan masa depan yang kelam. Mereka tidak perduli dengan hari nanti yang gelap gulita. Tidak perduli pada suatu saat nanti mereka juga akan  jadi pemulung, jadi penarik beca, jadi sopir angkot atau jadi kuli bangunan yang sepanjang hari tubuh mereka dibakar teriknya matahari. Mereka tidak perduli akan masa depan  yang meskipun  kelak mereka hanya akan jadi tukang jambret yang akan babak belur dihajar massa atau dijebloskan dalam penjara karena tindak kejahatan yang dilakukannya.
            Sepasang semut itu masih sempat memperhatikan salah seorang  dari tamu-tamu  berpakaian dinas itu membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu.
            “Kami datang kemari untuk memberikan  bantuan dan santunan dari asuransi,”  ujar salah seorang tamu perempuan yang membuka tasnya.
            “Bantuan apa?”  tanya Retno polos.  Demi Tuhan, ia tidak menduga, bahwa kematian abi, ummi dan adiknya akan mendapatkan tebusan berupa pembayaran klaim asuransi dan bantuan pemakaman dari perusahaan kereta api.
            “Bantuan uang. Setiap penumpang kereta api yang memiliki karcis  adalah menjadi peserta asuransi dan berhak mendapatkan klaim,” ujar salah seorang tamu terhormat itu.
            Sepasang semut hitam dibawah kursi itu membelalakkan mata melihat tamu-tamu terhormat itu mengulurkan selembar cek bernilai tiga puluh juta  untuk tiga orang korban kecelakaan di atas gerbong kereta api.
            “Mbak Retno menerima rezeki nomplok!,”  ujar semut betina.
            “Bukan rezeki nomplok, tapi memang haknya. Sebenarnya uang sebesar itu masih belum setimpal dengan nyawa yang hilang sekaligus. Bayangkan, Mbak Retno tidak punya siapa-siapa lagi, tidak punya ayah, tidak punya ibu, tidak punya adik dan tidak punya kerabat lagi di sini.”
            Sepasang semut hitam itu tertegun. Ada perasaan sedih di hati sepasang semut hitam itu. Mereka adalah saksi dalam setiap gerak kehidupan di rumah  yang terletak di gang sempit itu. Sepasang semut itu melihat sendiri ketika sang abi,ummi  Mbak Retno melangkah keluar dari rumah untuk berangkat ke Yogya, lalu  sepasang semut itu juga melihat ketika tiga jenazah diangkut dengan mobil ambulans ke rumah itu. Semut-semut itu  melihat sendiri ketiga jenazah itu dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu diusung ke kubur. Hujanpun turun rintik-rintik ketika tiga jenazah itu diturunkan ke liang lahat lalu ditimbun dengan tanah.  Alampun seperti tidak rela, alampun seperti ikut berduka cita atas tragedi yang amat menyayat hati itu.       
            Sepasang semut hitam itupun menjadi saksi  ketika Mbak Retno menerima selembar cek bernilai tiga puluh juta sebagai pembayaran klaim asuransi kecelakaan. Kesaksian semut-semut hitam itupun terus berlanjut ketika Mbak Retno menerima uluran selembar  cek itu dengan diiringi derai air mata.
                                                      ***
            Rumah tua di gang sempit itu tidak pernah sepi sejak kecelakaan kereta api yang merenggut nyawa itu terjadi. Jiran tetangga, sesama keluarga  yang kurang mampu juga selalu berkunjung untuk menghibur  Mbak Retno. Bahkan wartawan juga selalu hadir untuk mengekspos berita tentang anjloknya gerbong kereta api. Apalagi kalangan LSM  banyak yang tiba-tiba hadir di rumah tua itu untuk mencari duit.
            Pihak keluarga  yang berasal dari desa di selatan Yogya juga  datang silih berganti. Sepasang semut hitam yang sudah lama  saling mengasihi di rumah itu harus berhati-hati karena tamu yang silih berganti, jangan sampai mereka terpijak lalu habislah nyawa mereka. Mereka selalu bersembunyi dibawah meja, dibawa kursi atau di sudut ruangan. Mereka cuma mengintip dari kejauhan dan ingin mengetahui apa yang terjadi di rumah itu.
            “Pindah saja ke Yogya,Retno,”  ajak salah seorang bibinya yang datang dari jauh.
            “Saya masih belum ingin meninggalkan tempat ini.” Sahut Mbak Retno yang didengar sayup-sayup oleh sepasang semut hitam yang sembunyi di dinding atas ruang depan.
            “Apa lagi yang kamu pertahankan di sini?. Kamu tidak punya sanak keluarga di sini. Siapa yang melindungi dirimu kalau terjadi sesuatu?”
            “Saya masih punya jiran tetangga di sini.  Semua baik-baik. Semua seperti saudara kandung.”
            “Tapi mereka kurang mampu. Apa yang dapat mereka lakukan kalau kamu jatuh sakit?”
            “Mereka memang hidup miskin, mereka kelas bawah, tapi mereka semua baik. Mereka mudah mengulurkan tangan kepada sesama.”
            “Bagaimana kalau suatu saat terjadi penggusuran?. Kemana kamu akan bernaung?. Dimana kamu akan tinggal kalau pemerintah membersihkan kawasan ini?. Apakah kamu akan tinggal di kolong jembatan?.”
            “Saya akan tetap di sini, apapun yang akan terjadi,”  sahut Mbak Retno dengan nada tanpa ragu.
            “Sebaiknya kamu pulang ke Yogya. Ingat disana kamu masih punya banyak kerabat yang selalu perduli kepadamu.”
            “Terima kasih atas semua kepedulian itu. Tapi perkenankan saya memilih nasib saya sendiri dan masa depan saya di sini.”
            “Kamu berdarah  Yogya,  seharusnya kamu memiliki hati yang lembut  dan mau menerima saran dari saudara dekatmu.”
            “Maafkan saya.”
            “Apa yang akan kamu lakukan di sini?. Apa yang dapat kamu lakukan di kawasan kelas bawah seperti ini?. Sudah lama abi dan ummimu bermukim di kawasan ini, tapi hidupnya tidak pernah berubah.”
            “Di sini kami banyak mengalami perubahan. Kami hijrah dari tempat yang buruk kepada keadaan yang lebih baik.Saya sudah terlalu mencintai tempat ini.”
            Tamu yang datang dari Selatan Yogya itu tertegun ketika mendengar penuturan Mbak Retno, bahwa di kota besar itu, Mbak Rento jadi guru di madrasah Istiqomah meskipun gajinya belum memadai. Dan abinya menjadi penjaja minyak tanah serta umminya jadi penjual jamu gendong.  Keeluarga itu sedang membangun mulai mapan meskipun dengan cara merayap.
            Sepasang semut hitam yang bersembunyi di atas ruang tamu rumah itu tetap membuka telinga lebar-lebar dan mendengar setiap pembicaraan  Mbak Retno dan kerabatnya dari desa di sekitar Yogya itu.
            “Di Yogya banyak yang dapat kamu lakukan untuk hidupmu.  Kamu baru menerima uang cukup banyak dari asuransi, kamu dapat membeli kebun salak pondoh siap panen untuk hidupmu.”
            Mbak Retno hanya termenung mendengar ucapan itu.
            “Kamu juga dapat membuka pabrik tempe di sana.”
            Mbak Retno hanya berdiam diri. Hanya menekur.
            “Terima kasih!,”   hanya itu ucapan Mbak Retno.
            “Lagi pula umurmu sudah hampir tiga puluh,Retno. Sudah waktunya kamu punya pasangan. Sudah waktunya kamu punya teman hidup.  Sudah waktunya kamu punya suami. Siapa tahu di sini jodohmu sangat jauh. Mungkin kalau kamu bermukim di Yogya, jodohmu akan sangat dekat. Kerabat dan kaum famili akan mencarikan jodohmu di sana nanti.”
            “Jodoh di tangan Tuhan, seperti halnya rezeki dan kematian. Biarlah saya menemukan jodoh di sini.”
            “Kapan?. Kapan kamu akan menemukan jodoh?. Kamu masih membujang terus.”
            “Nanti, suatu saat, Tuhan akan mendatangkan seseorang untuk jodoh saya.”
Tamu-tamu yang datang dari desa di selatan  Yogya itu tampak kecewa dan mereka hanya mampu memandang wajah Retno yang tertunduk.  Mereka amat ingin Retno kembali ke Yogya dan banyak yang  dapat dilakukan di sana untuk masa depannya. Sepasang semut hitam itu tetap saja membuka telinganya lebar-lebar agar tidak satu katapun yang tidak terdengar.
            “Saya sudah punya rencana,” tiba-tiba sepasang semut itu melihat Mbak Retno mengangkat wajahnya dan berkata kepada kerabatnya yang datang dari jauh.
            “Rencana apa?,”  tanya kerabatnya. “Mau membuka usaha lain?”
            “Tidak!,”  Retno menggelengkan kepala. “Di sini saya sudah jadi guru!”
            “Mau meninggalkan kawasan ini dan mencari tempat tinggal  baru  yang aman dari penggusuran?”
            “Tidak!. Saya akan tetap menjadi guru madrasah di sini. Pekerjaan itu sudah  sangat serasi dengan saya.”
            “Kami sudah dapat menduga,gajimu di madrasah itu pasti tidak seperti gaji manejer pabrik!.”
            “Ya. Saya harus hidup prihatin dan berhemat!”
            “Mampukah penghasilanmu dari madrasah itu sampai hari tua?”
            Mbak Retno  tidak segera menyahut dan sesaat ia menunduk. Ia membiarkan kerabatnya memperhatikan wajahnya.
            “Sejak abi dan ummimu meninggal, banyak famili cemas terhadap dirimu di sini karena kamu adalah seorang perempuan.”
            “Saya akan selalu baik-baik saja di sini.”
            “Ingat , kamu seorang perempuan yang punya keterbatasan.”
            “Saya merasa cukup tegar. Malaikat selalu menjaga diri saya.”
            “Kami meragukan, mampukah kamu hidup mandiri di sini?. Mampukah kamu hidup tanpa muhrim di kota besar yang penuh dengan tantangan?.”
            “Tuhan  bersama saya!”
            “Hatimu amat keras, Retno.”
            Mbak Retno hanya menghela nafas panjang. Di benaknya memang sudah penuh dengan rencana apa yang akan dilakukan pada hari-hari mendatang.
            “Apa yang akan kamu lakukan dengan uang santunan dari kereta api itu?.”
            “Saya akan pergi jauh.”, sahut Mbak Retno polos.
            “Pergi jauh kemana?”
            “Jauh sekali!”
            “Kemana?. Ke Sumatera?. Atau ke Kalimantan?. Adakah seseorang yang kamu harapkan di sana?”
            “Tidak ke Sumatera.”
            “Sulawesi?”
            “Juga tidak!”
            “Lalu pergi jauh hingga ke ujung langit?. Apa yang akan kamu lakukan di sana?”
            “Saya ingin pergi jauh ,  yang penuh dengan perjalanan suci. Saya akan menunaikan ibadah haji.”
            Kata-kata itu membuat tamu yang datang dari  kawasan Yogya itu amat kaget.
Tatapan matanya tajam terhadap Mbak Retno.
            “Kamu akan ke Tanah Suci?.  Kamu akan berangkat ke Makkah?”
            “Insya Allah!”   Mbak Retno berkata lembut.
            Sesaat tamu yang datang dari sekitar Yogya  itu tertegun dan keheranan. Rasanya Mbak Retno terlalu muda untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Rasanya keberangkatan ke Tanah Suci terlalu awal, karena  Mbak Retno belum menikah.
            “Kawasan ini memang untuk kelas bawah dan warganya pada umumnya kurang mampu. Tidak satupun penduduk di sini yang hidup mapan dan mampu, tapi majlis taklim selalu dilaksanakan di tempat ini. Meskipun warga di sini terbilang miskin, tapi selalu mendengar ceramah dari para ustadz. Meskipun yang disantap warga di sini hanya makanan sederhana, tapi mereka cukup sering menikmati santapan rohani. Hati saya tergugah untuk pergi ke Tanah Suci. Saya merasa mendapat panggilan yang amat serius untuk menginjakkan kaki di sana dan mendoakan abi dan ummi . Bukankah uang yang diberikan pihak kereta api karena didasari kematian abi dan ummi?. Sepantasnya kalau saya mendoakan mereka di Tanah Suci.  Sudah selayaknya abi dan ummi saya mendapatkan pengampunan dari  Allah.”
        Mbak Retno mengutarakan tempat-tempat berdoa yang selalu diaminkan malaikat dan dikabulkan Allah, seperti di depan multazam, di depan pancuran emas, di Arafah, di Jabal Rahmah, di tempat pelontaran jamrah, di tempat Sa’i, di pintu Marwah, di Masjid Nabawi apa lagi di Masjidil Haramdan yang setiap sholat fardhu mendapat ganjaran seratus ribu kali. Siapa yang tidak ingin mendapatkan pahala di sana?..
            Sepasang semut hitam itu tertegun  menyaksikan sikap Mbak Retno.  Dua ekor semut itu kagum  melihat keputusan Mbak Retno untuk pergi ke Tanah Suci. Selama ini dua ekor semut itu memang selalu menyaksikan Mbak Retno setelah menjadi penghuni rumah di gang sempit itu, lalu rajin menghadiri ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Haji Qomar.  Tanyalah ia tentang sifat-sifat yang wajib bagi Allah, seperti Al Wujud, Qidam, Baqoo serta  Al Mukhoolapatu Ta’ala lil Hawadis. Pasti Mbak Retno dapat menjawabnya dengan pas. Ia juga dapat menyebutkan dengan benar  tentang sifat Nafsiah, sifat Salbiah, sifat Ma’ani dan Ma’Nawiyah hingga Muttakalliman.
            “Pikirkankan matang-matang  rencana itu, Retno,” sahut tamu yang datang dari sekitar Yogya.
            “Sudah!  Saya sudah memikirkannya seribu kali. Hati saya memang benar-benar  terpanggil untuk ke Tanah Suci.  Siapa tahu doa saya untuk mendapatkan jodoh di Jabal Rahmah terkabul nanti.  Bukankah di tempat itu Nabi Adam Alaihissalam bertemu kembali dengan Siti Hawa setelah berpisah seratus tahun?”
            Panjang lebar  Mbak Retno memberi pengertian kepada kerabatnya, bahwa kepergian ke Tanah Suci akan lebih bermakna daripada membangun rumah atau untuk membuka usaha . Bukankah sudah ada landasan yang kukuh baginya?. Mbak Retno merasa berdiri di tempat yang tegar sebagai guru di madrasah. Dia merasa tidak berdiri di tempat yang rapuh. Tekad di hati perempuan yang kini sebatang kara itu memang sudah amat besar di dasar hatinya.  Tekadnya untuk menunaikan ibadah haji memang tidak mampu ditawar lagi. Tidak satupun yang mampu mencegah tekad itu. Meskipun Mbak Retno belum mempunyai pasangan, tapi ia selalu menghadiri majlis taklim.  Meskipun ia belum pernah menikah, tapi ia selalu hadir di surau untuk menghadiri pengajian. Meskipun ia belum pernah mempunyai  suami, tapi ia selalu menghadiri ceramah para ustadz. Perintah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima memang mutlak dilakukan bila seseorang  sudah mempunyai kemampuan dalam hal materi, juga dalam hal ilmu dan kesehatan. Bukankah uang santunan yang diberikan pihak perusahaan kereta api sudah cukup untuk membayar ONH?. Biarlah ia tetap menempati sebuah rumah tua di gang sempit itu. . Allah sudah  berjanji akan mengganti  segala biaya ke Tanah Suci meskipun dalam bentuk lain.  Iapun sudah bertekad, setelah pulang dari Makkah lalu tetap menjadi guru. Sebab hanya itu keahliannya.
            Mbak Retno benar-benar yakin,  nasibnya akan berubah setelah ia kembali dari Tanah Suci. Mungkin setelah kembali dari Tanah Suci ia bisa melanjutkan kuliah di IAIN .  Siapa tahu terbuka kesempatan untuk mengajar di Aliyah nanti. Mungkin doanya di Jabal Rahmah untuk mendapatkan jodoh dikabulkan Tuhan dan suaminya adalah seorang lelaki yang mempunyai pegangan hidup yang kokoh, yang mampu memberi nafkah cukup serta tempat tinggal yang layak.
            “Saya akan selalu ingat sabda Nabi, yang mengatakan  Alhajjul mabruru laisa jazaa illal  jannah qiila,bahwa  haji yang mabrur itu tidak lain balasannya adalah surga.” Ucapan itu membuat semua kerabat dan famili terdiam.  Siapa  yang tidak ingin menikmati hidup di surga pada hari kiamat nanti dengan segala kenikmatannya, dengan pohon-pohon kurma, delima dan bidadari-bidadari cantik?.
                                                               ***
            Rumah  tua di gang sempit   itu ramai didatangi para jiran tetangga dan kerabat ketika acara syukuran dilaksanakan menjelang keberangkatan  Mbak Retno ke Tanah Suci.  Sepasang semut hitam  yang biasanya mengusung bangkai belalang atau membawa bahan-bahan untuk sarangnya, tetap saja memperhatikan setiap gerak  Mbak Retno.  Ummu Naubah dan Abu Masyghul tetap saja melebarkan daun telinganya. Bahkan sepasang semut itu sudah bertekad, andainya  Mbak Rento berangkat ke Tanah Suci nanti, mereka berdua akan masuk dengan diam-diam ke dalam  koper, biar dapat ikut berangkat ke Tanah Suci.
            Meskipun Ummu Naubah  dan Abu Masyghul hanyalah mahluk halus berupa semut, tapi mereka berdua ingin ikut terbang ke Tanah Suci. Mereka sudah bertekad untuk masuk ke dalam tas atau koper milik Mbak Retno.   Mereka sepakat, meskipun mereka hanya mahluk yang bernama semut hitam,  tapi mereka sudah bertekad untuk menjejakkan kakinya di Tanah Suci bersama Mbak Retno.  Meskipun mereka hanya sepasang semut hitam yang belum terikat oleh sebuah perkawinan, tapi mereka ingin menjejakkan kakinya di Masjid   Nabawi yang amat indah itu.  Mereka ingin ikut Mbak Retno tawaf  keliling Ka’bah sebanyak tujuh kali, ingin ikut Mbak Rento   melaksanakan umroh, ingin ikut melaksanakan Sa’i, berjalan antara bukit Marwah dan Safa.   Meskipun mereka hanya mahluk halus berwarna hitam, tapi mereka berdua ingin menikmati sejuknya air zam-zam.
            Bahkan  semut jantan yang bernama Abu Masyghul sudah bertekad kawin di Tanah Suci, biarlah kodratnya terjadi disana, mati setelah kawin.  Biarlah Ummu Naubah  menjadi ratu dan bertelur di sana lalu pulang ke Tanah Air membawa anak-anak semut yang baru ditetaskan. Alangkah indahnya semua itu. Alangkah indahnya melakukan perkawinan di Tanah Suci.  Tidak semua semut-semut bisa melakukan perkawinan di sana. Padahal bangsa semut amat banyak jumlah dan jenisnya, seperti semut Formica yesensis  yang hidup di pantai Ishikari di Afrika, koloni yang memiliki lebih dari sejuta ratu dan tiga ratus enam juta pekerja. Memang mahluk semut adalah mahluk penjelajah yang selalu melakukan perjalanan. Semut pemotong daun atau Atta juga memiliki keunikan yang sama dengan  bangsa semut lainnya. Keunikan semut kayu lain lagi, ribuan semut koloni, mampu membangun  sebuah sarang berupa bukit hingga dua meter. Masih banyak jenis-jenis semut yang hidupnya selalu berdekatan dengan manusia, seperti semut beledru, dan semut legiun. Salah satu jenis semut yang paling populer adalah semut api dan ratunya mampu memproduksi  5.000 telur perhari dan mampu menetaskan 240.000 semut pekerja.  Mahluk kecil yang mampu bertahan hidup pada suhu udara 65 derjat celsius  adalah Namib ocymyrmex yang merupakan semut gurun
            Namun yang paling beruntung adalah Ummu Naubah dan Abu Masyghul yang sudah bersiap-siap untuk ikut Mbak Retno melakukan perjalanan ke Tanah Suci. Bahkan mereka sudah bertekad untuk melakukan perkawinan di sana.
            “Doakan kami di kawasan ini agar tidak terjadi penggusuran!,”  pinta salah seorang tetangga dekat Mbak Retno. Suara itu jelas terdengar oleh  sepasang semut itu.
            “Mudah-mudahan setelah ada warga disini yang menunaikan ibadah haji, pemerintah kasihan kepada kita semua dan membiarkan kita tetap bermukim di sini!”
            “Saya akan berdoa untuk kita semua,”   sahut Mbak Retno.
            “Doakan suami saya kembali dengan selamat,”  pinta salah seorang warga yang bermukim paling ujung kawasan gang sempit itu. “Sampai saat ini suami saya tidak tahu keberadaannya, tapi saya yakin ia masih hidup. Ia cuma pamit  untuk merantau ke Kalimantan dan bekerja di sana.”
            “Bagaimana kalau suami Mbak sudah menikah lagi di sana?.”
            “Doakanlah di Jabal Rahmah, agar suami saya tetap mencintai saya dan menyayangi anak-anaknya di sini!”
            “Saya akan mendoakannya!”
            Seorang ibu muncul di antara tamu-tamu yang sudah sejak tadi  lebih awal berkumpul. Air matanya tiba-tiba berderai ketika ia menyalami  Mbak Retno  yang sebentar lagi akan meninggalkan tanah air dan dua belas  jam kemudian menjejakkan  kakinya di Bandara Jeddah lalu menuju Madinah dan melaksanakan sholat arbain di masjid Nabawi.
            “Tolong doakan saya agar terlepas dari berbagai kesulitan,Mbak Retno,” pinta perempuan berkerudung putih itu.
            “Kita semua warga di sini masing-masing menghadapi berbagai kesulitan,” sahut Mbak Retno.
            “Tapi kesusahan saya sungguh luar biasa karena  satu-satunya anak yang lahir dari rahim saya saat ini mendekam di penjara.”
            “Apakah ia menganiaya seseorang?.”
            “Bukan menganiaya orang!”
            “Lalu apa kesalahannya?”
            “Anak saya tidak sanggup menderita. Anak saya tidak mampu hidup dalam kesederhanaan.  Ia menjual narkoba dan untungnya memang lumayan, hingga ia mampu membeli sepeda motor baru dan punya  pacar cantik. Sejak punya pacar cantik itu, pangsa pasar barang-barang haram itupun berubah  dari tempat-tempat paling kumuh  ke hotel berbintang. Tapi di hotel berbintang itulah ia terjebak aparat keamanan hingga saat ini ia masih meringkuk di penjara.  Saya mohon doa Mbak Retno di Makkah untuk kebebasannya.”
      Mbak Retno hanya mengangguk. Sesaat lagi ia akan berangkat ke Tanah Suci tapi ia harus membawa amanah yang terlalu banyak. Ia dititipi doa para tetangga dan kerabat,padahal  yang dimohon adalah berkaitan dengan dosa, dan juga kriminal, seperti berdagang benda haram yang namanya  narkoba. Yang suaminya menikah dengan perempuan lain dan yang memohon doa agar sang suami kembali lagi juga ada. Masih lumayan kalau dititipi doa seperti Bu Ratih agar dua anaknya  yang sudah berusia lebih tiga puluh mendapatkan jodoh. Padahal Mbak Retno sendiri juga  belum menemukan pasangannya dan hal itu yang sangat diharapkan pertolongan Tuhan. Mbak Retno berharap doanya untuk mendapatkan jodoh segera terkabul setelah kakinya terjejak di Tanah Suci nanti.
            Sepasang semut hitam, Ummu Naubah dan Abu Masyghul tetap saja termangu di antara semut-semut lainnya yang semua berhenti melangkah karena sesaat lagi penghuni rumah itu akan meningalkan rumah menuju Tanah Suci.  Ummu Naubah dan Abu Masyghul bersiap-siap untuk masuk  dalam koper di antara pakaian yang akan dibawa Mbak Retno ke Tanah Suci.
            “Tidak usah sembunyi di koper!,”  ujar semut betina.
            “Tapi tempat itu paling aman!”, sahut Abu Masyghul.
            “Kita  bersembunyi di tas tempat paspor saja!”
            “Kenapa harus di sana?”
            “Kalau dalam koper, pasti akan ditinggal di hotel. Padahal kita ingin melihat para jamaah haji melakukan umroh,kita ingin menyaksikan calon jamah melakukan tawaf, Sa’i, menggunting rambut dan juga menikmati air zam-zam. Kita harus jadi saksi perjalanan suci ini”
            “Bagaimana kalau Mbak Retno tahu ada dua ekor semut dalam tasnya?. Dia akan membunuh kita.”
            “Yakinlah ia tidak akan membunuh kita, karena ia menyadari, semut  adalah binatang yanbg dimuliakan Allah dan Nabi Sulaiman bersama pasukannya berhenti ketika barisan semut melintas. Bukankah Nabi Sulaiman tersenyum  berpapasan dengan mahluk-mahluk kecil seperti kita?”
            Semut jantan itu memberi ciuman di kening semut betina dengan penuh kasih sayang. Semut-semut itu tertegun ketika dua orang perempuan muncul lagi sebagai tamu dengan membawa bingkisan kecil. Dua orang perempuan itu adalah Bu Farida dan Bu Hafsah yang putera-puterinya belajar mengaji dari Mbak Retno. Kedua ibu rumah tangga itu menyampaikan amplop berisi uang.
            “Mudah-mudahan uang ini ada manfaatnya untuk belanja di Tanah Suci,” ujar Bu Farida.
            “Terima kasih,semoga Allah membalas kebaikan ibu. Saya berdoa semoga suatu saat ibu dapat menyusul jejak saya nanti!,” sahut Mbak Rento.
            “Amien!. Saya memang sudah berniat untuk berhaji. Insya Allah tahun depan.”
            Hanya sesaat lagi azan dikumandangkan untuk mengantar keberangkatan Mbak Retno dan koper berisi pakaian sudah dimasukkan dalam bagasi mobil, tapi masih ada tamu yang datang. Sebab  tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi, warga di pemukiman gang sempit itu  dapat menunaikan ibadah haji, padahal biaya untuk pergi kesana terlalu mahal, hingga setinggi langit. Seperti sebuah mukjizat yang sedang terjadi, seorang warga penghuni  rumah kelas bawah , dapat menunaikan rukun Islam yang kelima. Itupun dilakukan Mbak Retno karena ia mendapatkan santunan dari perusahaan kereta api  sabagai klaim asuransi atas kematian sang abi,ummi dan adiknya. Mana mungkin seorang guru di madrasah swasta yang gajinya tidak memadai  dapat mengumpul uang hingga tiga puluh juta rupiah.
            Dan tamu terakhir yang datang adalah seorang perempuan muda berselendang warna biru yang warnanya sudah pudar serta perutnya besar seperti nangka masak. Sepasang semut hitam, Ummu Naubah  dan Abu  Masyghul menduga, bahwa perempuan itu sedang hamil tujuh bulan.
            “Saya datang untuk mohon didoakan di Makkah,” ujar tamu yang datang dengan perut besar itu kepada Mbak Retno.                                                  
            “Apa yang harus saya doakan disana?,” Mbak Retno menatap tamunya dengan perasaan iba. Meskipun tinggal di tempat yang sama di kawasan kelas bawah itu, tapi Mbak Retno hampir tidak mengenal tamunya, bahkan merasa tidak sekalipun pernah bertemu dengannya.  Justru Mbak Retno menduga perempuan itu datang untuk mohon didoakan agar bayinya lahir dengan mudah dan selamat.  Masih sempat muncul di benak Mbak Retno, siapa suami perempuan ini?, pikirnya. Bagaimana pula andainya ia hamil tanpa pernikahan yang syah?. Tidak selayaknya mendoakan seorang perempuan hamil tanpa pernikahan yang syah.  Mbak Retno jadi ragu-ragu. Tapi dugaan itu ternyata keliru.
            “Saya tidak hamil,Mbak Retno. Demi Tuhan, saya tidak hamil. Bila perut saya besar, bukan karena saya berhubungan dengan lelaki. Demi Tuhan, saya belum menikah. Demi Tuhan, saya masih gadis suci!,” perempuan berkerudung  biru yang warnanya sudah pudar itu tampak berkata amat sungguh-sungguh.
            “Tapi bagaimana bisa terjadi perut Mbak seperti ini?,” Mbak Retno ingin tahu.
            “Demi Tuhan, bila perut saya besar, isinya bukanlah anak manusia, bukan berasal dari seorang lelaki, tapi karena kekuasaan Tuhan.”
            Masih sempat membersit di benak Mbak Retno, bahwa di dunia ini yang pernah terjadi seorang wanita hamil tanpa suami hanyalah Maryam yang mengandung bayi Nabi Isa Alaihissalam. Selebihnya ,setiap wanita hamil tanpa suami adalah akibat dosa, akibat perzinahan dan hal itu adalah dosa yang amat besar. Tapi sebelum Mbak Retno berkata apa-apa, tamunya berkata  perlahan dan amat serius:
            “Saya sedang sakit. Dalam perut saya ada sejenis daging,  ada sejenis tumor yang tiap hari bertambah besar. Saya tidak mampu untuk berobat. Saya tidak punya uang untuk biaya operasi di rumah sakit. Saya hanya mohon doa, semoga mukjizat  Tuhan  turun kepada saya dan penyakit saya sembuh. Saya berharap mukjizat Tuhan datang kepada saya dan daging yang ada dalam perut saya  hilang tanpa operasi, karena saya yakin, penyakit ini datangnya juga dari Allah.”
            Jauh di dasar hati Mbak Retno ada rasa haru  melihat penderitaan tamunya, seorang perempuan yang tidak mampu, tapi menderita tumor ganas dalam perutnya. Kanker ganas memang selalu ramah kepada perempuan meskipun dari kalangan orang miskin dan kelas bawah. Bila dilakukan pengobatan di rumah sakit dan dilakukan tindakan pembedahan, pasti biayanya puluhan juta. Mana mungkin seorang penghuni kawasan kelas bawah yang menderita tumor ganas mampu berobat ke rumah sakit.
            “Insya Allah , saya akan mendoakan!. Mudah-mudahan Tuhan menyembuhkan,”  hanya itu kata-kata yang  mampu  diucapkan Mbak Retno.     
            Azanpun segera dilantunkan orang dan terdengar amat syahdu. Mbak Retno tidak mampu membendung air mata. Ia akan melakukan perjalanan jauh dan lama, lebih dari satu bulan. Ia akan melakukan perjalanan yang suci dan penuh dengan nilai-nilai  ibadah. Sesaat lagi ia akan menjadi seorang musyafir.
            Sepasang semut hitam  itupun segera masuk ke dalam tas sandang yang tergantung di dada Mbak Retno. Sepasang semut kecil itu masih sempat pamitan kepada ratusan, bahkan ribuan hewan-hewan kecil yang status mereka adalah pasukan koloni yang mengusung makanan. Mereka saling berpelukan, mereka saling bersalaman. Sebentar lagi Ummu Naubah dan Abu Masyghul akan berpisah dengan para sahabatnya sesama mahluk kecil.
Sepasang hewan kecil itu masih sempat melihat orang-orang yang melepas keberangkatan Mbak Retno melambaikan tangan dan tidak mampu membendung air mata. Sepasang semut itu akan menjadi saksi bagi perjalanan Mbak Rento yang amat jauh dan suci.  Serangga kecil itu akan menjadi saksi semua ibadah yang dilakukan Mbak Retno  baik rukun haji, wajib , sunat-sunat dan semua hal-hal yang berkaitan dengan ibadah haji. Sepasang mahluk kecil mungil itu akan menjadi saksi ketika Mbak Retno melakukan perjalanan ziarah dari mulai Makam Baqi, Jabal Uhud, tempat berlangsungnya peperangan paling dahsyat dalam menegakkan Islam.
Sebelum kaki Mbak Retno menginjak tangga pesawat, sepasang semut hitam itu masih sempat mengintip dan melihat Mbak Rento menyentuh kalung yang berhiaskan delima merah dan bibirnya berkomat-kamit:
“Saya rindu padamu,Bang Fadhil. Saya sangat menyayangi Bang Fadhil. Saya ingin bertemu denganmu meskipun diakhirat. Hari ini saya memulai perjalanan yang sangat jauh dan saya rela mati di Tanah Suci kemudian kita bertemu di suatu tempat.”
Setetes demi setetes air mata berderai di pipi gadis itu. Masyghul dan Naubah menahan keharuan yang sangat mendalam di hati mereka.
Lihatlah, Mbak Rento teringat pada Bang Fadhil. Dia menyentuh kalung pemberian lelaki itu.”, terdengar suara Naubah.
“Mbak Retno rela mati di Madinah atau di Makkah, atau di Muzdalifah dan di Arafah kemudian bertemu dengan Bang Fadhil di alam akhirat.”
Dengan derai air mata di pipi. Mbak Retno menginjakkan kakinya di tangga pesawat. Hatinya terasa amat tenteram dan sejuk setelah menyentuh kalung pemberian Bang Fadhil yang berhiaskan delima merah.
Amat buru-buru Masyghul dan Naubah menyelinap lagi dalam tas diantara paspor dan dokumen perjalanan haji lainnya.
“Alhamdulillah,kita juga sedang musyafir. Kita akan menuju Tanah Suci,” cetus Naubah,semut betina berbadan gendut.
“Kita akan ikut sholat arbain,ikut tawaf, sya’i,wuquf  dan ikut meneguk sejuknya air zam-zam nanti. Dan kita akan kawin di tanah suci,” sahut Masyghul yang misainya panjang.
Semut betina di sisinya tersenyum,bahaga dan bersyukur.
                                                   ***
            Perjalanan  itu memang amat jauh, lebih dari sepuluh jam penerbangan. Rasanya tidak mungkin terjadi, seorang penghuni rumah di gang sempit dan hidup amat sederhana, kini sedang diterbangkan Allah menuju Jeddah, kemudian ke Madinah, solat arbain di Masjid Nabawi, lalu berangkat lagi menuju Makkah untuk tawaf , sa’i, tahalul, minum air zam,  melakukan wuquf di Padang Arafah dan melontar jamrah. Sungguh perjalanan musysafir itu penuh dengan nilai-nilai ibadah, yang tidak diperoleh di tempat lain.
            Sepasang semut hitam itu saling berpelukan erat dalam tas milik Mbak Retno yang berisi paspor dan dokumen lainnya ketika pesawat yang menerbangkan lima ratus calon jamaah haji mulai tinggal landas.  Dua ekor hewan kecil berwarna hitam itu masih sempat mendengar azan yang dilantunkan terdengar sayup-sayup di antara deru mesin pesawat.  Lima ratus calon jamaah haji itu semua berdoa, semua memuji kebesaran Allah. Karena keagungan Allah mereka dapat melakukan perjalanan jauh yang penuh dengan nilai sakral.
            “Bismillahi aamantu billahi  tawakkaltu Allahahi wala hawla wala  quwata illah billahi,”  doa yang dilantunkan  Mbak Retno ketika melangkahkan kakinya keluar dari rumah seakan masih terngiang di rongga telinga sepasang semut hitam itu. Dan ketika  pesawat mulai tinggal landas, ketika sudah tinggi di udara , sepasang bibir Mbak Retno juga melantunkan doa lagi  yang didengar sepasang semut hitam itu:
            “Bismillahi majraaha wa mursaaha, inna Rabbii la Ghafuurun rahiim. Subhaan Alladzi  sakhakhara lanaa haadza wamaa kunnaa lahuu mukriniin”       
Perlahan sekali Ummu Naubah   mengeluarkan kepalanya dan memandang keluar. Semua penumpang amat khusyuk melantunkan doa-doa sehingga tidak satupun  yang melihat sepasang semut hitam itu merayap keluar. Tidak ada seorang calhaj itu bicara soal politik, tidak seorangpun yang bicara tentang pemimpin negeri ini yang bobrok dan tentang kebohongan para politikus. Tidak ada calhaj yang bicara soal negara yang gagal memakmurkan penduduknya.
            “Hati-hati,Naubah . Kesalahan yang amat kecil dapat  berakibat fatal bagi kita,” semut jantan memperingatkan pasangannya. “Aku tidak ingin kehilangan kamu”
            “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu,”  sahut sang betina dan mereka saling berpandangan.
            “Kita harus selalu berdua sampai kapanpun,” bisik semut jantan.
            “Mungkinkah seperti itu?”
            “Kenapa tidak?”
            “Rasanya tidak mungkin. Untuk sementara waktu kita bisa saja saling berdua, saling menikmati kasih sayang. Tapi suatu saat ,setelah kita kawin, aku akan kehilangan kamu. Kamu akan mati setelah kita kawin. Bukankah itu takdir untuk mahluk seperti kita?. Bukankah setiap semut jantan akan mati beberapa saat setelah kawin?. Ah,betapa amat menyedihkan. Tapi kita harus menerima takdir itu.”
            “Ya, amat menyedihkan. Mungkin aku harus menangis pada saat perkawinan kita.”
            “Aku juga akan menitikkan air mata.”
            “Keajaiban Tuhan tidak akan terjadi pada  mahluk yang tidak berdaya seperti kita. Saling bekerja mencari rezeki, saling meyayangi, kemudian kawin  dan akhirnya setiap jantan akan  mati.”
            Sesaat kedua mahluk kecil itu termenung.  Hidup memang tidak selamanya indah, tidak selamanya  penuh dengan senyum. Ada kalanya kehidupan mahluk di bumi ini penuh derai air mata, apa lagi dalam kehidupan manusia. Apalagi dalam kehidupan manusia-manusia yang tinggal di kawasan kelas bawah di sekitar  tempat tinggal Mbak Retno yang kini sedang berada di perut  pesawat  menuju Jeddah.  Justru mereka yang tinggal di kawasan kelas bawah itu lebih banyak mengalami nasib malang, lebih banyak menderita karena  tekanan ekonomi, karena kesulitan hidup. Apalagi penyakit selalu menyerang warga, mulai dari batuk, diare, penyakit kulit dan demam berdarah. Bahkan yang menderita tumor di perut juga ada. Betapa mereka amat menderita.
Pesawat yang membawa lima ratus calon jamaah haji itu sudah berada di atas  awan , sudah amat tinggi, lebih dari 33.000 kaki di atas permukaan laut.  Daratan  tidak tampak lagi dan yang tampak di bawah terhempang  lautan yang maha luas. Awan putih berarak-arak dan berserakan sepanjang permukaan langit dan terlihat seperti sebuah pemandangan yang amat indah.
             Ummu Naubah masih sempat melirik kepada Mbak Retno dan sepasang bibirnya yang tipis berkomat-kamit.
            “Apa yang dilantunkan. Mbak Retno?,” tanya semut  jantan yang selalu berada di sisi Ummu Naubah setiap saat.
            “Mbak Retno pasti mengucap syukur kepada Allah.  Siapa menduga, bahwa  seorang guru di madrasah swasta yang gajinya kecil naik pesawat seperti ini. Siapa menyangka, bahwa warga yang hidupnya amat sederhana duduk di antara para pejabat, para pedagang, duduk di antara para perwira polisi dan Abri  yang semuanya terbang menuju Tanah Suci,” sahut Naubah.
            “Kita menjadi saksi atas semua yang dialami Mbak Retno. Andainya ia dapat berangkat ke Tanah Suci, kita menjadi saksi perjalanan panjang hidupnya yang penuh liku-liku, yang penuh dengan jurang terjal, bahkan penuh dengan duri yang menusuk ulu hatinya..”
            Sepasang semut itu memang sudah lama   menjadi penghuni rumah di gamg sempit  di kawasan kelas bawah itu, membuat sarang di sana dan mencari nafkah di sana, mengusung bangkai belalang di rumah itu  atau mengusung sisa makanan yang jatuh dari piring  pemilik rumah.
            Semut betina itu tahu pasti, bahwa kehidupan Mbak Retno penuh dengan empedu dan duri. Penuh derai air mata. Berkali-kali ia kehilangan. Kehilangan Bang Fadhil, kehilangan abi,ummi dan adiknya . Iapun pernah diterpa fitnah yang paling keji oleh seorang istri oknum polisi karena belajar di pondok pesantran sebagai sarang teroris.
 Dulu, ketika masih tinggal di selatan Yogya, abinya sempat mengalami kesulitan yang amat berat ketika terkena pe-ha-ka dari fabrik yang collaps. Sebelum hijrah ke kota metropolitan, kesulitan tumpang tindih dalam keluarga Mbak Retno. Dan ketika pertama kali menjejakkan kaki  di kota besar, abinya sempat menjadi penjajah minyak tanah dengan gerobak dorong. Lalu ibunya meracik jamu dan menggendongnya keliling lorong.
Syukurlah setelah hijrah, pertolongan Tuhan selalu datang pada keluarga itu. Hijrah dari  bagian selatan Yogya, nasib keluarga itu perlahan-lahan berubah. Sang abi tidak mau berpangku tangan dan yang pertama dibeli dadalah gerobak dorong untuk menjajakan minyak tanah. Sang ummi sendiri dengan sebuah bakul yang diboyong dari desanya, lalu menggendong jamu setiap hari.
Hijrah benar-benar membawa kebaikan bagi keluarga itu. Hijrah benar-benar membawa berkah ke arah kehidupan yang lebih baik. Mbak Retno  tidak sempat berbulan-bulan menganggur, padahal untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah kota Metropolitan penuh dengan persaingan dahsyat.
Untuk jadi kuli bangunan saja amat susah,apalagi  krisis ekonomi yang terjadi di negeri ini membuat orang-orang yang membangun rumah amat jarang. Bagi kuli bangunan ,seminggu bekerja, tetapi dua minggu kemudian menganggur .
            Kebutuhan hiduplah yang memaksa seorang perempuan asal sebuah desa tidak jauh dari Yogya itu menjadi  penjual jamu gendong. Ummu Naubah melihat sendiri bagaimana Mbak Retno membantu umminya meracik  kencur, kunyit, jahe, brotowali, temulawak, rempah-rempah dan ramuan lainnya untuk dijadikan jamu.  Dalam sebuah bakul yang tiap hari digendong umminya keliling kota, selalu ada jamu pegal linu, rempah ratus, jamu singset dan tidak  ketinggalan jamu kuat lelaki.
            Ummu Naubah juga jadi saksi dan selalu melihat sendiri, bahwa setiap hari, ketika matahari baru saja terbit, perempuan asal Jawa Tengah itu menggendong bakul jamunya menyusuri lorong-lorong sempit . Dan Tuhanpun memberinya kemurahan rezeki, langganannya amat banyak, mulai dari sopir truk, kuli bangunan, ibu-ibu hamil atau buruh pabrik. Perempuan asal desa tidak jauh dari Yogya itu hanya senyum-senyum kalau seorang sopir butuh  jamu  lelaki perkasa dan bukan  jamu lelah.
            “Wah, jamu buatan Mbak eeeenaaaak tenaaaan. Aku benar-benar perkasa sepanjang malam. Isteriku benar-benar kewalahan, padahal dia adalah isteri kedua,”  seorang sopir memuji keampuhan jamu yang disajikan ummi yang melahirkan Mbak Retno. Tentu saja jamu itu mendapat pujian karena diberi campuran ginseng.
            Tidak hanya sopir truk yang memuji keampuhan jamu hasil racikan perempuan itu. Seorang  perempuan yang berstatus isteri  pertama  juga memujinya:
            “Lumayan, suami saya jadi kerasan di rumah setelah saya minum jamu. Benar-benar rapet!,”  ujar perempuan itu  tanpa malu-malu dan mengacungkan jempol.
            Perempuan yang melahirkan Mbak Retno ke dunia hanya senyum-senyum.  Perempuan itu memang amat serasi menjadi pedagang jamu gendongan. Tiap hari langganannya bertambah terus. Tiap sore, bersama Retno ia menghitung uang  hasil menjual jamu gendong keliling pelosok kota. Lumayan untuk hidup.  Bahkan uang hasil menjual jamu gendong itu jauh lebih memadai ketimbang penghasilan suaminya sebagai penjaja minyak tanah dengan gerobak dorong.. Dari hasil menjual jamu gendong  itu, perempuan itu mampu membeli sebentuk cincin meskipun cuma lima  gram. Bila di lehernya melingkar sebuah kalung seberat  sepuluh gram juga dibeli dengan hasil menjual jamu gendong.  Sebuah pesawat televisi dan radio transistor itu juga dibeli dengan uang hasil menjual jamu gendong, bukan dari penghasilan suaminya.
            Tapi tidak selamanya jalan di depan selalu mulus, ada kalanya ada duri atau batu sandungan. Perempuan penjual jamu gendongan itu juga harus merasakan benturan keras, ia tersandung sebongkah batu besar. Ketika berjalan menjajakan jamu gendongnya, seorang perempuan  yang tampaknya baru saja bersalin  memanggilnya  dari seberang jalan. Jenis perempuan yang baru saja bersalin memang langganannya yang paling banyak.
            Ketika menyeberang jalan itulah, sebuah mobil mulus meluncur dengan kecepatan tinggi.  Tiba-tiba saja penjual jamu itu merasakan benturan keras dan sesaat kemudian ia tidak sadarkan diri. Luka-luka ditubuh perempuan penjual jamu gendong itu menyebabkan darah terlalu banyak mengalir dan berserakan di atas aspal dan ia tidak sadarkan diri. Botol-botol berisi jamu juga terlontar di tengah jalan, pecah dan belingnya berserakan. Semua jamu  yang digendongnya juga berserakan di aspal.
            Kasihan perempuan itu, tubuhnya berlumur darah, tapi masih ada orang-orang yang tega hati mengambil kesempatan.  Tiga orang anak muda yang baru saja menenggak minuman keras dan dengan berjalan sempoyongan menghampiri, bukan untuk menolongnya, tapi menggerayangi isi bakul yang terlontar di aspal. Semua uang disikat habis oleh tiga anak muda yang sedang teler itu kemudian mereka kabur.
            Tapi kebaikan terkadang juga  masih selalu ada di muka bumi ini. Sebuah mobil yang baru saja menabrak penjual jamu itu berusaha untuk lari.  Saat ini, dimana-mana tabrak lari masih selalu terjadi. Untunglah dua orang penarik ojeg melihat kecelakaan  itu  terjadi  lalu mengejar pelaku tabrak lari itu. Di sebuah simpang empat lampu merah sedang menyala dan semua kenderaanpun harus berhenti. Juga mobil sedan mulus yang baru saja menabrak penjual  jamu gendong juga harus berhenti . Sebuah batu sebesar tinju memecahkan kaca depan mobil itu dan memaksa pengemudinya untuk meminggirkan mobilnya. Sekelompok penarik ojeg  memaksa pengendera mobil itu harus bertanggung jawab.
            Bila penjual jamu gendong itu  harus terbaring di rumah sakit selama lebih dari seminggu, ia bersyukur tidak mengeluarkan uang satu senpun.  Belasan penarik ojeg mampu memaksa pelaku tabrak lari itu membuka dompetnya untuk menanggung semua biaya perawatan penjual jamu itu hingga sembuh. Tidak hanya itu, pelaku tabrak lari itu juga tidak berdaya mengelak  bila dipaksa untuk memberikan ganti rugi selama penjual jamu gendong itu tidak dapat mencari nafkah.
            Sejak itulah penjual jamu gendong itu tidak pernah lagi terlihat berjalan menyusuri lorong-lorong di kota dengan menggendong bakul jamu. Karena sejak itu ia sudah mengontrak  sebuah kios kecil di pinggir jalan, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ummi yang melahirkan Mbak Retno seperti mendapat petunjuk untuk membuka warung jamu meskipun kecil-kecilan.
                                                 ***
Pesawat berbadan lebar yang membawa lima ratus  calon jamaah haji itu masih terbang tinggi, masih di atas awan.  Pramugari  yang semuanya berpakaian muslimah  memberikan informasi, bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di bandara internasional Jeddah. Sesaat lagi para tamu-tamu Allah itu akan menjejakkan kakinya di Tanah Suci dan memulai ritual agung. Pramugari juga memberikan informasi, bahwa pesawat sedang terbang di atas ladang-ladang minyak milik Kerajaan Arab Saudi. Negeri Arab itu memang kaya raya karena hasil minyaknya. Tapi sumber kehidupan mereka tidak hanya dari minyak, mereka juga berdagang, mereka juga ada yang jadi guru atau dosen , juga ada yang menjadi petani.   Dulu memang  negeri itu amat gersang dan sejauh mata memandang yang tampak hanya gurun pasir dan binatang unta yang membawa  beban milik musyafir.
Sekarang keadaan sudah jauh berubah. Padang pasir yang luas sudah berubah menjadi lahan pertanian dan disana tumbuh bayam,  pare, pepaya, pisang, jeruk, semangka  , kacang panjang dan juga kurma. Buah pier juga ada di sana.
            Negeri Arab tidak lagi gersang, tidak lagi tandus, tapi sudah menjadi  negeri yang subur dan kaya raya.  Tuhan sudah menurunkan kemurahan rezeki kepada penduduk jazirah Arab yang dulu hanya ada gurun pasir.   Airpun melimpah dimana-mana. Negeri itu tidak pernah lagi merasa kekurangan air. Air laut sudah mampu disuling menjadi air bersih yang dapat dijadikan air minum, disamping negeri itu juga mengimpor air bersih dari negara lain.
            Sudah lebih sepuluh jam pesawat berbadan lebar itu menebus awan  dan lima ratusan penumpangnya tidak satupun yang ngobrol, tidak satupun yang membaca surat kabar atau majalah. Tidak seorangpun yang mengantuk. Mereka semua  khusuk membaca Qur’an, membaca doa-doa  atau kitab-kitab yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji.  Di tangan Mbak Retno sendiri ada kitab  At-Tadzkirah, sebuah kitab yang tebal dan merupakan bekal menghadapi kehidupan abadi di hari akhirat nanti.
            Mahluk kecil bernama semut itu asyik memperhatikan Mbak Retno  yang matanya tidak berkedip menelaah kitab itu dan  membaca, bahwa  kehidupan di dunia hanyalah  sebuah persinggahan dan tidak lama manusia bernaung di sini , hanya sesaat berteduh. Suatu saat, bahkan dalam waktu yang amat singkat, manusia akan meninggalkan persinggahan itu. Suatu kehidupan abadi akan dihadapi manusia di hari nanti, keabadian yang sesungguhnya dan dalam keabadian itu manusia hanya mendapatkan  salah satu dari dua pilihan. Yakni keabadian yang penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan atau  kesengsaraan yang berkekalan.  Dalam kitab itu  Mbak Retno juga menemukan sabda Rasululullah, bahwa  sikap terbaik  yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam menjalani kehidupan dengan imbauan , hiduplah di dunia seperti orang asing atau penyeberang jalan. Orang asing  tentu akan selalu sadar  bahwa dunia bukanlah milik kita sesungguhnya. Tidak ada  penyeberang jalan yang akan berlama-lama di tengah jalan yang diseberanginya.
            Karena itulah Imam Syamsuddin Al-Qurthubi mengingatkan  manusia dengan suguhan At –Tadzkirah  yang bermakna  sebuah peringatan   bagi ummat manusia.
            Lima ratus calon jamaah haji yang duduk di pesawat berbadan besar itu  bersiap-siap untuk turun, untuk menjejakkan kakinya di bandara internasional Jeddah. Seperti tidak henti-hentinya mereka melantunkan puji syukur  dan mengagungkan keesaan Allah. Mbak Rento juga ikut bersyukur, padahal hampir semua yang duduk di perut pesawat itu bersama pasangannya masing-masing. Kasihan hanya Mbak Retno yang sendiri, hanya bersama mukhrim buya angkat dari kantor agama.
            Mbak Retno masih sendiri, meskipun usianya sudah hampir  tiga puluh. Tidak ada yang melanjutkan usaha jamu sang ummi. Tidak ada yang mewarisi gerobak dorong untuk menjajakan minyak tanah sang abi. Kemana-mana cuma sendiri.  Pergi mengajar di madrasah juga sendiri, apalagi membeli sabun mandi atau pasta gigi. Kalau  sesekali ia menziarahi  kubur ummi  dan abinya di pemakaman umum juga sendiri.
            “Kasihan Mbak  Retno sendiri terus!,”  cetus Ummu Naubah yang masih berada diluar tas  sandang ketika melihat Mbak Retno melakukan sujud syukur. Selama dalam pesawat, semut betina itu tidak henti-hentinya mengagumi pemandangan indah di atas bumi Arab yang dulu gersang dan tandus. Abu Masyghul seperti enggan untuk bersembunyi dalam tas. Sepasang semut itu berleha-leha menyaksikan setiap gerak calhaj dalam perut pesawat.
            “Mbak Retno belum menemukan seseorang yang hilang dan teramat disayanginya!,”  cetus  sang jantan yang baru saja menenggak air bersih yang menetes dari minuman di tangan Mbak Retno dalam perut pesawat.. Sepasang semut hitam itu tidak merasa khawatir  akan kehausan dan kelaparan di tempat yang jauh dari tanah air. Akan selalu ada sisa makanan yuang jatuh dari tangan Mbak Retno. Akan selalu saja ada air yang menetes dari sisa minuman Mbak Retno dan itulah yang dinikmati oleh sepasang semut yang sudah lama saling menyayangi dan saling mengasihi.
            “Ya, Mbak Retno memang amat mencintai almarhum  Bang Fadhil. Mereka sudah sering pergi bersama. Mereka sudah sering makan bakso,”  sahut semut jantan  itu. “Kalau naik sepeda motor, Mbak Retno tidak lagi canggung melingkarkan tangannya di pinggang lelaki kelahiran Sumatera itu.”
            Sepasang semut hitam itu memang sudah lama ikut menjadi penghuni rumah tua di gang sempit di kawasan kelas bawah itu  bersama ribuan semut-semut lainnya yang berstatus sebagai koloni  pencari makanan bagi sang  ratu. Lalu sepasang semut hitam itu selalu menjadi saksi bagi setiap gerak kehidupan  semua penghui rumah  itu. Juga setiap liku-liku kehidupan Mbak Retno yang sudah melewati masa gadis remaja, hingga menjadi gadis berusia  hampir tiga puluh dan sudah terbang jauh  untuk melaksanakan ibadah haji.
            Ummu Naubah tahu persis, bahwa Mbak Retno selalu menerima kehadiran seorang lelaki  penarik ojeg bernama  Bang Fadhil yang berasal dari Sumatera. Ummu Naubah terkadang menunduk malu  bila Mbak Retno duduk berdampingan dengan lelaki itu dan membiarkan jari tangannya dibelai dengan mesra.  Apalagi bila Mbak Retno merebahkan kepala di dada lelaki itu dan Bang Fadhil membelai rambutnya dengan mesra dan penuh kasih sayang.
            Lalu Ummu Naubah ikut bahagia bila Mbak Retno  merasakan dengus nafas lelaki itu, juga merasakan detak-detak jantungnya dan juga detak-detak cintanya. Pastilah mereka bicara tentang cinta, pasti mereka bicara tentang kasih sayang, pastilah  mereka bicara tentang rencana masa depan, membina sebuah rumah tangga yang didasari cinta dan kasih sayang dalam perkawinan.
            Mbak Retno merasa tidak salah pilih meskipun lelaki calon teman hidupnya hanya sebagai penarik ojeg. Mbak Retno tampak pasrah. Harus memilih lelaki yang bagaimana lagi untuk calon suaminya sementara Mbak Retno sendiri hanya berasal dari keluarga penjual jamu dan sang abi hanya mantan buruh fabrik yang jadi korban pe-ha-ka?.  Mana mungkin seorang keturunan penjual jamu gendong yang pernah ditabrak mobil menginginkan jodoh seorang lelaki pegawai kantor gubernur. Mana mungkin seorang gadis sederhana yang bermukim di sebuah di gang sempit di kawasan kelas bawah mengharapkan jodoh seorang  lelaki guru SMA yang berpakaian rapi.  Mana mungkin gadis sederhana dari keluarga kurang mampu mimpi bersuamikan seorang lelaki  kaya.
            “Andainya Bang Fadhil tidak terbunuh pasti mereka sudah menikah,”  terdengar suara Ummu Naubah diantara deru mesin mobil yang membawanya dari bandara Internasional  King Abdul Aziz ke penginapan yang tidak jauh dari masjid Nabawi.
            “Memang Mbak Retno merasa bahwa lelaki asal Sumatera itu adalah pasangan yang paling cocok dan harmonis.” cetus Ummu Naubah lagi.  “Seharusnya mereka sudah menjadi pasangan suami istri yang paling berbahagia.”
            Sepasang mahluk kecil berwarna hitam yang selalu bersembunyi dalam tas berisi paspor dan kini dalam perjalanan menuju Madinah, sudah menjadi saksi betapa amat erat hubungan yang terjalin antara Mbak Retno dengan lelaki penarik ojeg itu.
Sepasang semut itu selalu terkenang masa lalu Mbak Retno.Tiap mengantar Mbak Retno pulang, pasti lelaki itu memeluknya, pasti lelaki itu memberikan ciuman di kening Mbak Retno. Mereka memang sudah amat akrab, mereka sudah merencanakan untuk menikah meskipun dalam suasana yang amat sederhana. Mereka sudah merencanakan, Mbak Retno tidak akan pulang ke desanya di sekitar Yogya dan lelaki itu tidak akan pulang ke Sumatera.  Lelaki itu akan tetap sebagai penarik ojeg   dan Mbak Retno akan tetap menjadi guru madrasah . Kalau mungkin dia akan melakukan pekerjaan sambilan,meracik jamu. Dalam soal meracik jamu, Mbak Retno memang sudah ahlinya.  Jangan tanya bagaimana meracik jamu galian singset, pasti ia akan mengerjakannya dengan mudah. Jangan tanya bagaimana membuat ramuan lelaki perksa, pastilah hasilnya membuat lelaki yang meminum jamu itu tetap seperti Arjuna. Apalagi dengan tambahan ginseng, pasti  khasiatnya luar biasa.
            Namun warna kehidupan yang amat keras di sebuah kota metropolitan menyebabkan Mbak Retno harus kehilangan seorang lelaki yang sangat ia cintai dan ia harapkan menjadi teman hidupnya. Lelaki penarik ojeg itu diminta untuk mengantarkan seorang perempuan muda dan cantik ke sebuah perumahan indah ketika malam itu ia baru pulang dari mengunjungi Mbak Retno.
            “Lelaki asal Sumatera itu mendapat  rezeki nomplok,”  cetus Ummu Naubah lagi ketika terkenang di tanah air yang sudah amat jauh ditinggalkan..  “Penumpangnya adalah perempuan kaya raya yang tiap hari dalam tasnya selalu berisi uang tunai, telepon genggam dan sejumlah permata karena ia memang seorang pedagang permata.”
            “Kemana saja tiap hari perempuan cantik itu selalu keluar rumah?”
            ”Kabarnya ia selalu mengunjungi masyarakat miskin lalu memberi bantuan.”
            ”Wah ,sungguh  baik hatinya!”
            ”Perempuan itu juga mengunjungi orang  yang dirawat di rumah sakit, terutama mereka  dari kalangan yang kurang mampu.”
            ”Juga membantu dalam hal pembiayaan?”
            “Ya!. Ia juga membantu memberikan modal kepada pengusaha tempe atau kepada pedagang kaki lima.”
            “Sulit dicari dermawan seperti itu.”
            ”Tapi kabarnya ia mempunyai maksud tertentu.”
            ”Maksud tertentu bagaimana?”
            ”Perempuan itu adalah non muslimah.  Segala bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin mempunyai  maksud tersembunyi.”
            ”Ia berharap, mereka yang hidup melarat  dan telah menikmati uluran tangannya  mau beralih akidah. Perempuan cantik dan kaya itu seakan membawa alat suntik dan secara perlahan sekali ia berusaha  agar orang-orang yang diberinya bantuan mau meninggalkan akidahnya sebagai muslim.”
            ”Memang begitulah cara agama lain melakukan teror terhadap ummat Islam. Dengan cara halus mereka menggembosi ummat muslim. Mudah-mudahan  tidak semudah itu ummat muslim akan terpengaruh oleh uluran tangannya. Tidak semudah itu ummat muslim menjadi murtad.”
            ”Ya, semoga setiap muslim memiliki sikap istiqomah yang kental.”
            ”Bang Fadhil pasti tahu benar, siapa saja orang-orang yang menerima uluran tangan perempuan cantik itu.”
            “Ya, Bang Fadhil tahu kemana harus mengantar perempuan kaya itu.  Sayang Bang Fadhil tidak menyadari, bahwa perempuan pedagang permata itu sudah lama dibuntuti tiga penjahat.” lanjut Abu Masyghul   mengingat tragedi  masa silam Mbak Rento. “Sampai suatu saat, ketika malam bertambah gelap apa lagi hujan gerimis, tiga orang penjahat menghadang Bang Fadhil  dan perempuan kaya itu.”
            “Ya, Bang Fadhil tidak mampu mengelak. Ia tidak rela langganannya ditodong dengan belati terhunus.  Perempuan itu adalah langganan tetap yang selalu baik hati dan tiap minta diantar ketempat tujuannya selalu memberi tips. Bang Fadhil juga tidak ingin kehilangan langganannya. Nalurinya merasa terpanggil untuk membela permpuan itu. Naluri Bang Fadhil merasa tergugah untuk membantu  pelanggannya yang selalu baik kepadanya.  Lelaki itu membela dengan tangan kosong  ketika tiga penjahat itu berusaha merampas tas milik perempuan  itu.  Bang Fadhil berusaha ikut mempertahankan sebuah tas milik penumpangnya yang berisi sejumlah permata dan uang tunai serta surat-surat berharga.”
      Lima tusukan belati cukup membuat lelaki asal Sumatera itu roboh berlumur darah. Perempuan yang selalu menjadi langganan tetap lelaki itu  akhirnya tidak berdaya mempertahankan hartanya.
            “Perempuan itu juga akhirnya hanya mampu berteriak minta tolong, tapi penjahat itu sudah  kabur,” tutur Ummu Naubah lagi.
            “Kasihan Bang Fadhil, karena membela langganannya dia menjadi korban. Tiga penjahat itu membuang tubuh Bang Fadhil ke dalam kali sementara sang perempuan malang itu dibiarkan terkapar di tempat sepi setelah diberi hadiah bogem mentah .”
            “Sejak itulah Mbak Retno kehilangan seseorang lelaki yang amat ia cintai. Sejak itu ia tidak pernah lagi bertemu Bang Fadhil  dan beranggapan, bahwa  lelaki yang ia harapkan jadi teman hidupnya dihanyutkan ke sungai.”
            “Kasihan Mbak Retno, hingga akhirnya ia tetap menyendiri hingga sekarang.”
            Lihatlah sepasang semutpun amat mengerti akan perasaan kasihan. Mahluk kecil itupun tahu pasti, sejak saat itu, tidak pernah ada lelaki yang menemani Mbak Retno.
Bila ada lelaki yang berusaha akrab dengannya, ia selalu menghindar karena lelaki itu selalu meminum minuman keras hingga mabuk. Juga pernah ada lelaki lain yang mendekat, tapi  ia juga menghindar karena lelaki itu seorang pemain judi. Kalaupun ada lelaki lain yang berusaha mendekatinya, Mbak Retno buru-buru menyingkir karena lelaki itu seorang pengangguran dan tampangnya malas bekerja, malas mencari razeki.  Lalu tidak pernah ada lagi lelaki yang selalu mengunjunginya. Tidak pernah lagi lelaki yang selalu mengantarnya berbelanja berbagai ramuan bahan membuat jamu mengunjunginya.  Mbak Retno menyendiri terus, hingga akhirnya langkahnya terbawa ke Tanah Suci.  Namun kenangan indah masa lalu bersama lelaki kelahiran Sumatera itu tetap melekat di dasar hatinya yang paling dalam.
            “Di Tanah Suci nanti, pasti Mbak Retno tidak hanya mendoakan kedua orang tuanya, tidak hanya mendoakan adiknya,tetapi juga mendoakan almarhum Bang Fadhil agar dosanya diampuni Tuhan, agar arwahnya tenteram di alam kubur, dan suatu saat bersama orang-orang yang beriman akan menjadi penghuni surga.”  tukas Ummu Naubah.
            “Kita akan ikut mengaminkan semua doa yang dilantunkan Mbak Retno.”
            Sepasang semut itu buru-buru kembali bersembunyi ke dalam tas tempat paspor milik Mbak Retno ketika awak pesawat mengumumkan agar seluruh penumpang mengenakan sabuk pengaman sebab pesawat akan segera mendarat di Bandara Internasional Jeddah.  
            Sesaat lagi roda-roda pesawat akan menyentuh landasan di negeri Arab Saudi, tapi Mbak Retno belum melepaskan sebuah kitab  di tangannya dan ia terlalu asyik menelaah bab tentang azab kubur yang sangat pedih bagi orang tidak beriman. Dalam kitab itu Mbak Retno menemukan hadis yang diriwayatkan  Al Bukhari dan Muslim, , sesungguhnya ,bahwa penghuni kubur itu benar-benar sedang disiksa  dan mereka  mendapat siksa bukan karena dosa-dosa besar. Salah satunya  karena  ketika hidupnya manusia suka mengadu domba dan lainnya karena manusia  tidak membersihkan diri dari kencingnya.
            Betapa sederhananya hadist itu, betapa amat sepele, hanya karena manusia  tidak membersihkan diri dari kencingnya, akan mendapat siksa  yang berat. Hidup manusia memang harus benar-benar bersih dari najis. Mbak Retno juga  sempat membaca tentang riwayat Rasulullah yang hampir terjatuh  dari punggung hewan yang dikenderainya. Ternyata  hewan yang bernama  baghal atau  peranakan  campuran  keledai dan kuda, hewan itu mendengar siksa kubur atas manusia yang banyak melakukan dosa-dosa. Ternyata hewanpun dapat mendengar siksa kubur bagi manusia, sementara manusia dan jin tidak mampu mendengarnya. Lapar dan haus akan berkepanjangan bagi penghuni neraka, sementara mereka berharap kepada orang-orang penghuni surga untuk meneteskan sedikit air. Tapi penghuni surga   mengharamkan pemberian apapun  kepada orang-orang kafir.
            Di kursi sebelah kanan Mbak  Retno duduk seorang perempuan setengah baya sedang membaca Qur’an surat  Al Qaari’ah yang bermakna tentang hari kiamat.  Bahwa pada hari kiamat, saat itu  semua isi bumi seperti  kupu-kupu yang beterbangan dan gunung-gunung  seperti batu yang dihambur-hamburkan.  Dan orang-orang yang banyak kebaikannya  maka ia akan berada dalam  suasana yang amat memuaskan, sementara orang-orang yang sedikit kebaikannya tempat kembalinya adalah neraka hawiyah  dan tempat itu adalah api yang sangat panas. Betapa amat menakutkan.    
                                                            ***
            Lima ratus penumpang pesawat itu segera bersujud syukur  di atas ubin tanpa alas. Mereka  mencium bumi ,ketika kaki mereka terjejak dibumi Arab Saudi, di erminal King Abdul Aziz..  Mereka telah selamat menempuh perjalanan yang teramat jauh, selama sepuluh jam, sungguh penerbangan yang amat nyaman tanpa rintangan yang berarti. Tidak ada satupun calon jamaah yang muntah atau mual, tidak satupun yang merasa masuk angin. Semua tampak segar dan bersemangat. Di pelataran bandara mereka melepas lelah di lantai  yang dialasi karpet. Meskipun yang diterima hanya nasi dalam kotak, tapi semua  menyantapnya dengan lahap.
            Seperti halnya para calon jamaah haji yang sedang menyantap makanan dan minuman, sepasang mahluk kecil  yamg bernama semut itu juga melepas lelah dan menghilangkan rasa hausnya, juga menyantap makanan meskipun yang mereka nikmati hanya makanan yang terjatuh di lantai. Semut hitam adalah mahluk kecil , sehingga makanan sekecil apapun akan membuat mereka kenyang dan mampu melakukan  aktivitas sepanjang hari.
            “Bersyukurlah kepada Tuhan, kita sudah sampai di negeri yang jauh!,” terdengar suara Abu Masyghul kepada teman betinanya.
            “Ya, aku bersyukur.”
            “Kita tidak sempat teraniaya, kita tidak sempat haus dan kelaparan .”
            “Berbahagialah kita dapat menjejakkan kaki di Tanah Suci seperti manusia. Mahluk seperti kita mempunyai kemuliaan sendiri. Bukankah Tuhan dalam surat  An Naml yang berarti semut berharap agar manusia meniru sifat dan sikap semut dalam menjalani kehidupannya?.”
            “Manusia  tidak akan membunuh mahluk seperti kita, selama kita tidak mengusik mereka.”
            “Untuk apa mahluk seperti kita mengusik kebahagiaan manusia?. Kita tidak pernah mencuri harta manusia meskipun hanya sebutir gula yang tersimpan. Kita akan mengambil gula milik manusia kalau sudah jatuh di lantai.”
            Semut-semut kecil berwarna hitam itu tidak pernah mengotori makanan manusia, tidak seperti mahluk yang namanya lalat yang selalu mengotori makanan manusia dan menyebarkan penyakit yang namanya diare atau typus serta penyakit berbahaya lainnya. Semut-semut kecil berwarna hitam seperti Abu Masyghul dan Ummu Naubah tidaklah sama dengan kecoa yang amat dibenci manusia karena jorok, karena keluar masuk lubang  toilet lalu berpindah ke dalam lemari makanan dan mengotorinya.
Kecoa adalah serangga yang menjijikkan. Semut-semut kecil berwarna hitam itu amat beda dengan nyamuk yang selalu mengusik manusia, yang selalu menggigit tubuh bayi sehingga terbangun. Tidak hanya itu, nyamuk selalu dibunuh manusia karena menyebarkan penyakit malaria atau demam berdarah. Nyamuk adalah  musuh manusia, beda dengan semut-semut hitam yang dalam Qur’an  harus menjadi contoh bagi manusia.
            Ummu Naubah dan Abu Masyghul  merasa amat bahagia ditakdirkan Tuhan sebagai mahluk yang bernama semut yang dimuliakan Tuhan, yang kehidupannya pantas menjadi contoh, juga dalam hal membangun sarang bertingkat-tingkat untuk menghadapi musim dingin. Golongan mahluk semut memiliki sistem kehidupan dan organisasi  serta kerja sama yang sangat baik dan lebih mementingkan kebersamaan. Ummu Naubah dan Abu Masyghul adalah sepasang semut yang paling berbahagia di antara jutaan  semut lainnya  yang ada di dunia. Mereka tidak lagi mengusung bangkai belalang atau mengusung bahan-bahan untuk sarang, tapi kini mereka sudah  menjejakkan kakinya di Jeddah dan sesaat lagi akan menempuh perjalanan jauh, hingga ratusan kilometer menuju Madinah  dan selama sembilan hari bersama jamaah lainnya melaksanakan solat arbain  di  Masjid Nabawi.
            Ummu Naubah  terkagum-kagum melihat suasana di Bandara Jeddah ,sebab pada musim haji, bandara ini adalah salah satu bandara yang paling sibuk di dunia. Bandara itu mampu menampung ratusan pesawat setiap hari dan hanya berselang beberapa menit terdengar pesawat mendarat atau tinggal landas. Sebab lebih dari tiga juta manusia akan hadir di sini untuk melaksanakan ibadah haji. Ribuan pesawat akan hadir di bandara ini.  Lebih tiga  juta  manusia akan hadir di Arafah, tua muda, kaya dan miskin, akan melaksanakan wuquf di gurun ini  untuk mendapatkan predikat haji.  Tidak ada beda kaya dan miskin di sini. Tidak ada beda pejabat dan rakyat jelata yang tinggal di kawasan kumuh. Semua  setara dan menerima pelayanan yang sama. Semua akan merasakan dinginnya udara  di Madinah yang terasa menyusup hingga ke sum-sum tulang. Semua akan merasakan panasnya terik matahari di Makkah hingga ubun-ubun bagaikan terbakar.
            “Mampukah kita bertahan di udara dingin?,”  tanya Ummu Naubah kepada sang jantan.
            “Yakinlah, kita akan mampu!” sahut semut jantan yang selalu tampak tegar dan enerjik. “Bukankah mahluk semut adalah mahluk yang paling meyakini kebesaran Allah dan selalu bertawakkal kepada-Nya. Tuhan akan melindungi kita di sini dan di mana saja.”
            “Mampukah kita  bertahan terhadap panas terik yang membakar di Makkah dan Arafah sementara manusia sendiri banyak yang  jatuh sakit, seperti hotstroke ?. Tidak jarang manusia masuk rumah sakit karena tidak tahan dengan udara amat dingin seperti di Madinah atau udara panas di Makkah.”
            “Mudah-mudahan kita juga selalu tegar hingga pulang ke tanah air dan dapat bercerita panjang lebar kepada semua sahabat. Mereka pasti akan terheran-heran. Mereka pasti akan tercengang, mahluk sekecil kita mampu  berjalan jauh, mampu menahan haus dan lapar, mampu melawan berbagai penderitaan, mampu menahan ancaman akan teraniaya.”
             Naubah membiarkan sang jantan memeluknya dengan kasih sayang. Sudah amat lama ia selalu merasakan dekapan hangat seperti itu. Sudah lama ia berharap semut jantan itu tidak hanya memeluknya, tidak hanya membelai tubuhnya, tapi juga menjadi teman hidupnya. Sayang kodratnya sebagai semut harus berlaku, semut jantan akan segera mati setelah kawin.  Itulah yang selalu terpikir di benaknya.  Itulah yang tidak ia inginkan. Ia tidak ingin kehilangan  Masyghul. Ia ingin selalu bersama pasangannya hingga akhir hayat.
                                                ***
            Perjalanan sejauh empat ratus delapan puluh delapan  kilometer dengan bus besar menuju kota Suci Madinah sungguh merupakan perjalanan yang tidak akan terlupakan. Jalanan mulus di antara gurun pasir dan pohon-pohon kurma.  Dari bibir para calon jamaah haji itu selalu dilantunkan ucapan-ucapan tentang kebesaran Allah.   Sejak dari bandara Jeddah , jalan raya mulai padat oleh bis-bis besar yang membawa jamaah dari berbagai penjuru tanah air dan juga dari berbagai penjuru dunia, seperti  Mesir, Irak, Iran, Libya, Pakistan, India, Malaysia, Brunei Darussalam, Bangladesh , bahkan juga Negara-negara Eropa, China dan Amerika. Semua merasa sebagai saudara  sekandung  yang memiliki martabat sama pula, sebab Islam mengajarkan semua kaum muslimin itu adalah bersaudara. Yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya hanyalah  taqwanya kepada Allah.
             Naubah tidak harus selamanya  sembunyi dalam tas berisi paspor, sesekali ia menampakan diri bersama sahabatnya. Sesekali ia keluar dari tas itu dan merayap  hingga ke pakaian serba putih yang dikenakan Mbak Retno.  Bahkan Mbak Retno terlalu asyik melantunkan kalimah-kalimah selawat dan pujian kepada Tuhan, sehingga ia tidak menyadari dua ekor semut hitam merayap di selendangnya yang juga  berwarna putih.  Dalam bis yang terus meluncur di jalan yang mulus menuju kota suci Madinah, dua ekor semut itu memperhatikan wajah Mbak Retno yang tampak anggun dan cantik mengenakan pakaian serba putih.
            Siapa menduga, bahwa seorang gadis berusia hampir tiga puluh tahun yang selama ini menghuni rumah di tua gang sempit di kawasan kelas bawah, saat itu sedang dalam bis besar menuju Madinah?. Siapa menyangka, bahwa seorang gadis yang biasanya hadir di depan kelas, hari itu sedang dalam perjalanan menuju Masjid Nabawi yang dirindukan dan dikagumi oleh jutaan ummat Islam?.
            “Sesaat lagi kita akan tiba di Madinah,”  terdengar suara Ummu Naubah perlahan kepada semut jantan di sisinya.
            “Kita pernah mendengar di maljis taklim yang selalu dihadiri Mbak Retno, bahwa sholat di masjid itu mendapat pahala seribu kali!,’ sahut semut jantan.
            “Pastilah Mbak Retno tidak mau melewatkan kesempatan emas itu!”
            Sepasang semut  itu masih merayap di selendang  yang menutupi rambut Mbak Retno. Dua ekor semut itu tetap saja melempar pandangan keluar dan pohon-pohon kurma tampak berjejer sepanjang jalan. Belasan mobil dalam perjalanan menuju kota Madinah itu     membentuk konvoi yang panjang.  Di belakang bis yang ditumpangi  Mbak Retno tampak bis besar yang ditumpangi jamaah berasal dari Bangladesh. Jamaah dari India juga tampak  jauh di belakang.  Pada musim haji seperti saat itu, jalur jalan Jeddah adalah jalan yang paling padat. Jamaah dari seluruh penjuru dunia pasti akan melewati  jalur jalan ini, kecuali  jamaah yang termasuk gelombang haji tahap dua yang langsung menuju Makkah, lalu setelah wuquf dan melontar jamrah baru menuju Madinah.
            Di tengah perjalanan , di tengah padang pasir,  bis-bis besar itu berhenti di sebuah restoran yang  terletak di Rabiq  dan Masturah  . Dan setiap jamaah disilakan turun untuk menikmati kopi atau teh susu  dan makanan  ringan,terutama roti. Yang berlari-lari menuju toilet juga banyak.  Udara dingin yang mulai terasa menyebabkan para jamaah sejak tadi menahan pipis.
            Mbak Retno juga  ke toilet untuk buang air yang menyenak dalam perutnya lalu ketika berdiri ia membenarkan letak selendangnya. Astaga!. Hampir saja semut jantan terlontar dari selendang itu. Untunglah semut jantan itu berpegang amat erat. Andainya semut jantan itu terlontar, pasti tubuhnya akan mencebur dalam lubang toilet ia akan tertinggal sendirian di tempat itu. Andainya ia sempat terlontar, Ummu Naubah  akan sendiri pula dan ia pasti akan menangis karena kehilangan sahabatnya, karena kehilangan calon kawan hidupnya.  
            Untuk menghangatkan tubuhnya Mbak Retno menikmati teh hangat dan roti tawar. Terasa amat nikmat ketika teh hangat dan sepotong roti melewati tenggorokannya. Di sudut tempat istirahat itu tampak jamaah dari Mesir juga sedang menikmati kopi hangat.  Jamaah dari Malaysia juga tampak di sana. Juga jamaah dari Brunei Darussalam yang tidak begitu banyak jumlahnya sedang menikmati kopi susu.
            Ketika Mbak Retno meneguk teh hangat, beberapa tetes menitik hingga ke bawah meja.  Tetesan teh hangat yang terjatuh di lantai tidak sia-sia, karena dua ekor semut hitam segera merayap kesana dan menghirupnya. Kedua semut itu menikmati teh manis dengan ucapan syukur.  Bahkan serpihan roti juga ikut jatuh dilantai dan menjadi santapan Ummu Naubah dan  semut jantan di sisinya.
            Dua ekor semut itu tertegun ketika mereka melihat jamaah dari India yang menikmati kopi bersama roti juga menyulut rokok dan asapnya mengepul tinggi. Hal-hal yang makruh juga terjadi di tengah perjalanan ke kota suci Madinah. Rokok adalah makruh, berpahala bila ditinggalkan dan tidak berdosa bila dilakukan. Bahkan yang mengharamkan rokok juga ada.
            Meskipun sedang menikmati teh hangat, tapi untaian tasbih selalu ada di tangan para jamaah itu. Meskipun sedang merasakan nikmat dari Allah, tapi mereka tidak lupa untuk mengagungkanNya. Seperti halnya  yang dilakukan  Mbak Retno Ramadhani, meskipun ia sedang menikmati teh hangat dan sepotong roti , tapi ia akan selalu ingat firman Allah  dalam  Surah Al Israa 13, bahwa : “Dari tiap-tiap manusia  Kami catatkan amal  perbuatannya pada lehernya. Tidak ada satupun perbuatan manusia yang jahat maupun yang baik lolos dari catatan itu dan pada hari berbangkit nanti akan dihisab”. Mbak Retno juga akan selalu ingat materi majlis taklim di surau tidak jauh dari rumahnya, bahwa setiap manusia  pada hari kiamat  akan dipanggil dengan sebutan namanya  dan  nama ayahnya. Karena itulah dalam hal memberi  nama anak selalu dianjurkan  dengan nama yang baik.  Sebab sebuah nama mengandung nilai doa.
            Mbak Retno juga tidak akan lupa ceramah tentang perbuatan manusia yang harus dipertanggung jawabkan pada hari kiamat nanti.  Perawi Hadist Muslim telah meriwayatkan dari Abu  Barzah  Al Aslamy, tentang sabda Rasul, bahwa  tidak akan bergeser  kedua telapak kaki  seseorang pada hari kiamat  sebelum dia  ditanya tentang 4 perkara, yakni tentang umurnya,  untuk apa dia  habiskan umurnya,  tentang tubuhnya untuk apa dia letihkan. Juga  tentang ilmunya untuk apa  ia lakukan dengan ilmu itu dan tentang  hartanya,  untuk apa  ia belanjakan dan dari mana ia peroleh harta itu.
            Udara masih terasa dingin meskipun matahari sudah di atas ubun-ubun ketika rombongan jamaah haji itu melanjutkan perjalanannya menuju Madinah. Kota suci itu memang sedang menghadapi musim dingin selama beberapa bulan. Suhu tidak lebih dari 5 derjat celcius menyebabkan tubuh orang menggigil meskipun di siang bolong, meskipun ditutupi jeket tebal.
            Sepasang semut itu merayap di kaki Mbak Retno, lalu berpegang pada gaunnya kemudian kembali masuk ke dalam tas berisi paspor dan dokumen haji lainnya. Bis besar it terus meluncur di jalan raya yang padat.
            Hanya lantunan rasa syukur yang terdengar dari celah bibir seorang gadis yang selama ini bermukim  di rumah di gang sempit di kawasasn kelas bawah itu, ketika kakinya terjejak di pintu Masjid  Nabawi yang masih dikunci. Beda dengan masjidil Haram yang tiap saat terbuka dan kapan saja bisa melaksanak tawaf, sa’i atau sholat serta minum air zam-zam. Pintu masjid Nabawi selalu dikunci pada jam tertentu. Hanya beberapa menit sebelum sholat fardhu dimulai, pintu masjid itu baru dibuka lebar-lebar.  Setengah jam lagi waktu subuh tiba, Mbak Rento sudah berada di depan pintu mesjid yang dimuliakan  setiap muslim di dunia. Ia beruntung pagi-pagi benar sudah antri di depan Bab Al Ustman, sebuah  pintu  dari beberapa pintu lainnya di masjid Nabawi. Jamaah lainnya  ada yang masuk lewat Bab Ar-Rahman atau Bab Ali Umar
            Betapa megah masjid  yang dibangun Rasulullah . Lampu-lampunya gemerlapan dan ketika azan subuh dilantunkan muazin, suaranya bergema kemana-mana. Lampu-lampu dan sound system di masjid itu  adalah yang terbaik di seluruh jagad raya. Tak perduli udara dingin menusuk ke sum-sum tulang, Mbak Retno dan jamaah sekamarnya lebih awal memasuki masjid yang paling megah itu.  Mbak Retno bersyukur selama di Madinah ia mendapatkan tempat menginap di sebuah hotel berbintang tiga, tidak jauh dari Masjid Nabawi, tidak jauh dari Hotel Al Andalus, hanya beberapa langkah dari pintu masjid.  Siapa yang menyangka, bahwa seorang gadis keturunan penjual jamu  yang biasa tidur di  di kawasan kelas bawah, lalu pada saat menunaikan ibadah haji tinggal di sebuah hotel berbintang?. Rahmat Tuhan telah datang kepadanya.  Kecelakaan kereta api yang merenggut nyawa abi, umminya dan adiknya telah mendatangkan rahmat baginya berupa pejalanan haji yang amat suci dan mulia.
            Sepasang semut itu amat bersyukur ketika mereka dapat menyaksikan Mbak Retno melakukan sholat tahyatul masjid di  Raudah, yakni sebuah tempat di antara mimbar nabi dengan makamnya dan doa manusia di tempat ini selalu dikabulkan Allah
Sebelum sholat, Mbak Rento menyentuh kalung berhiaskan mainan delimah merah di lehernya
“Lehatlah Mbak Rento menyentuh kalungnya,tandanya ia teringat pada bang Fahdil”, cetus Naubah.
“Mbak Retno pasti mendoakan Bang Fadhil,” sahut Masyghul/
. Meskipun bangku pondok pesantren sudah bertahun-tahun ditinggalkannya, tapi ia selalu ingat hadis Nabi yang dipelajarinya di kelas yang berbunyi , bahwa  Raudah adalah  sebuah tempat yang terletak antara rumah Muhammad dan mimbarnya adalah suatu taman dari taman-taman di surga.
            Sholat subuh di Masjid Nabawi sungguh amat khusu’. Tidak ada perasaan rindu rumah, tidak ada rasa rindu kepada para sahabat di kampung halaman.  Yang ada di benaknya hanya ingatan kepada Allah semata-mata.  Segala gerak tubuhnya ketika sholat subuh di masjid maha agung itu adalah  merupakan meditasi tertinggi.  Sholat merupakan  perjalanan  rohani menuju Allah.  Sebab  sholat merupakan akativitas  jiwa  yang  termasuk  dalam kajian ilmu psikologi transpersonal , karena sholat  adalah  proses perjalanan  spriritual  yang penuh makna  yang dilakukan manusia untuk bertemu Tuhan Semesta Alam. Sholat dapat membersihkan jiwa  dan juga menjernihkannya  serta mengangkat pelaku sholat  untuk mencapai  taraf kesadaran  yang  lebih tinggi dan pengalaman puncak.  Apalagi sholat itu dilakukan di sebuah masjid yang maha suci, yakni Masjid Nabawi.           
Mbak Retno akan selalu ingat Firman Allah dalam Qur’an surah  Al Mu’minun , bahwa sesungguhnya  beruntunglah  orang-orang  yang beriman yaitu orang-orang yang khusu’ dalam sholatnya.  Mbak Retno hanya keturunan penjual jamu gendong, tapi ketika ingat kematian abi dan uminya,ia selalu ingat Firman Allah dalam surat Al Baqarah, jadikanlah sabar dan sholat  sebagai penolongmu dan sesungguhnya  yang demikian itu  sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang yang  khusu’ dalam sholatnya, yakni orang-orang yang  meyakini, bahwa  mereka  akan menemui Tuhannya dan , bahwa mereka  kembali kepada-Nya.
Airmatapun tidak terbendung ketika ribuan jamaah mengakhiri sholat subuh kemudian beriringan melangkah menuju makam Rasulullah di sisi masjid itu. Semua menahan keharuan dalam dasar hati yang paling dalam akan perjuangan Rasulullah dalam menegakkan Islam. Andainya ajaran Islam tidak disampaikan oleh Nabi Muhammad, pasti dunia ini akan kacau balau dan kezaliman akan terjadi dimana-mana. Bila Islam tidak disampaikan, pasti kekejaman akan menimpa ummat manusia. Bila ajaran Islam tidak disampaikan kepada ummat manusia, pasti kebathilan ada dimana-mana dan  dunia ini akan diwarnai dengan dengan kejahilan. Wanita akan selalu dibunuh kalau Islam tidak  disampaikan oleh Rasululullah.  Perempuan akan menjadi mahluk yang paling hina bila Islam tidak ditegakkan.
Semua jamaah yang melakukan ziarah ke makam itu pasti akan terkenang segala perilaku Rasulullah yang pantas diteladani dan betapa berat perjuangannya. Dan semua jamaah pasti akan selalu ingat  sabdanya, bahwa setiap ummatnya yang menziarahi makamnya sama artinya telah menjadi  tamu Rasulullah ketika hidupnya. Betapa bahagia menjadi tamu Rasulullah ketika hidupnya.
“Hari ini Mbak Retno seakan menjadi tamu Rasulullah pada masa hidupnya,” desis Naubah.
Beruntunglah dua ekor semut yang merayap di di sehelai kain yang melekat di pakaian Mbak Retno. Dua ekor semut yang selalu ikut serta dalam perjalanan itu menjadi saksi hidup tentang segala apa yang dilakukan Mbak Retno selama menjejakkan kakinya di Tanah Suci. Siapa yang tidak merasa bahagia bisa menyaksikan sendiri menara At-Tasykiliyyah dan menara Al-Khasyabiyyah dan menara As-Sinjariyyah yang amat megah di sisi Masjid Nabawi yang amat megah itu?.
Dua ekor semut itu menjadi saksi, bahwa  perempuan yang berasal dari keluarga yang hidupnya sederhana itu menitikkan air mata di depan makam Rasulullah dan sahabatnya. Dan air mata setiap jamaah berderai  bagaikan hujan yang amat lebat.  Tidak satupun jamaah yang tidak menitikkan air mata ketika melintasi makam itu. Bahkan hati lelaki yang sekeras baja sekalipun pasti akan luluh ketika berada di sisi makam itu. Lelaki yang memiliki sifat paling  keras seperti batu cadas pasti akan mencair di sana.
Dua ekor semut berwarna hitam itu merasa sebagai mahluk kecil yang paling berbahagia bisa ikut rombongan ribuan manusia yang melaksanakan sholat subuh , yang ikut melaksanakan sholat arbain kemudian usai sholat lalu menziarahi makam Rasulullah.
Sebagai seorang perempuan yang pernah mengecap pendidikan di pondok pesantren, ia tahu betul liku-liku kehidupan Rasulullah Muhammad saw.  Tidak hanya riwayat hidupnya  ketika menerima wahyu di Jabal  Nur, tidak  hanya ketika bersembunyi   di Jabal Tsur ketika dikejar-kejar kaum Quraisy dan di sebuah gua Rasul ikut dilindungi oleh  labar-laba yang membangun sarangnya dan merpatipun bertelur di gua itu sehingga kaum Quraisy terkecoh.
Mbak Retno juga tahu  tentang para perempuan yang pernah dinikahi oleh beliau mulai dari Khadijah binti Khuwailid yang dinikahi  Rasul  sudah berusia 40 tahun berstatus janda, sementara Rasul sendiri baru  menginjak usia 25 tahun.  Setelah Khadijah wafat, Rasul menikah dengan Saudah binti Zam’ah bin Qais. Wanita satu-satunya yang berstatus gadis yang pernah dinikahi Rasul  adalah Aisyah binti Abu Bakar  dan pada saat itu usia Aisyah baru 6 tahun.   Rasul juga pernah menikahi  Hafsah binti Umar, lalu menyusul menikah dengan Ummu Salamah binti Abu Umayyah. Wanita soleha yang pernah berperan dalam kehidupan Rasul lainnya dan berstatus sebagai isteri  adalah Zainab binti Jahsy, Juwariyah binti Harits kemudian Ummu Habibah binti Abu Sufyan, menyusul Shafiya binti Huyyah dan terakhir adalah Maimunah binti Harits.
Tanyalah kepada Mbak Retno tentang putera-puteri Rasulullah, pasti ia akan menjawab dengan benar dan menyebut nama-nama Rukayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah serta Zainab, 
Tidak hanya makam Rasulullah yang diziarahi Mbak Retno, tapi juga makam Khalifah Abu Bakar Siddik. Juga tidak ketinggalan dikunjungi  Mbak Retno makam  Khalifah Umar bin Khattab, lalu berikutnya makam Khalifah Ustman bin Affan.
Air mata di pipi gadis berusia hampir tiga puluh itu  masih bersisa ketika ia melangkah kembali ke tempat menginapnya tidak jauh dari hotel Al Andalus.  Tapi sebelum ia melangkah masuk kamar di hotelnya, gadis yang berasal dari keluarga yang hidup sederhana itu berpapasan dengan seorang ibu yang menangis tersedu. Seperti ada sesuatu  yang terjadi pada dirinya atau mungkin terjadi  pada keluarganya di tanah air.
“Ayo kita ke kamar,Bu. Ayo kita sarapan besama-sama!,”  ajak Mbak Retno ramah. Gadis itu memang selalu ramah kepada siapa saja, apa lagi kepada tetangga atau pelanggan jamu umminya. . 
“Terima kasih!. Seteguk airpun tidak dapat melewati kerongkongan saya. Kabar yang saya terima dari rumah sungguh amat menyayat hati saya,”  sahut perempuan itu.
“Kabar dukacita?. Kabar tentang kematian yang ibu terima?,”  gadis berumur tiga puluh dari keluarga sederhana itu ingin tahu.
“Bukan!. Bukan kabar tentang kematian, tapi kabar tentang hal-hal yang membuat  hati saya sebagai perempuan hancur berkeping-keping.”
“Adakah sesuatu kejadian  atas keluarga ibu di rumah?”  tanya Mbak Rento lagi.
“Ya!. Kabar itu membuat hati saya benar-benar hancur. Rasanya saya ingin buru-buru pulang”
“Tidak mungkin ibu buru-buru pulang. Kita sedang melaksanakan ibadah haji, bahkan belum satupun rukun dan wajib haji kita laksanakan. Masih lama lagi kita harus tinggal di sini, jauh dari rumah. Pasrahkan semuanya kepada Allah, semoga apa yang terjadi di rumah ibu selalu dilindungi Allah.”
“Anak  gadis  saya satu-satunya masuk rumah sakit. Itulah yang membuat saya amat sedih. Itulah yang membuat saya ingin segera pulang”
“Tabahkan hati ibu. Tuhan akan melindungi anak gadis ibu!”
“Penyakitnya sudah amat serius dan harus segera masuk ruang bedah.”
“Penyakit apa yang diderita puteri ibu?”  gadis dari keluarga  kurang mampu itu menatap jamaah di depannya.
“Kanker payu dara!. Sungguh penyakit yang amat ditakuti semua orang terutama kaum  perempuan seperti kita.”
“Saya mengerti. Mudah-mudahan mukjizat Tuhan akan turun dan puteri ibu sembuh setelah menjalani operasi.”
Jamaah perempuan di depan Mbak Retno tersedu dan berusaha menyeka air mata di pipinya, tapi justru tangis itu semakin berderai.
“Anak saya adalah seorang gadis yang terbilang cantik dan mahasiwa Fakultas Hukum tingkat terakhir. Ia sedang menyusun skripsinya dan berharap segera lulus, tapi tumor ganas pada payu daranya membuat tugas-tugas kuliahnya terhalang. Enam bulan yang lalu sebuah payu daranya sudah diangkat.”
“Lalu tumor ganas itu datang lagi  dan datang lagi?”
“Begitulah tumor ganas, sudah dioperasi namun datang lagi. Bayangkan, ia seorang gadis remaja namun payu dara yang dimiliki hanya sebuah, lalu sekarang payu dara yang bersisa  itupun harus dibuang lagi. Sebentar lagi ia tidak akan memiliki payu dara, padahal bagi setiap perempuan, payu dara adalah keindahan.  Apa artinya hidup  bagi seorang gadis bila ia tidak memiliki payu dara lagi?. Hidupnya tidak punya arti apa-apa lagi. Ia akan sangat menderita.”
Mbak Retno hanya menghela nafas panjang. Ia ikut sedih. Ia dapat membayangkan betapa amat menderitanya seorang wanita bila ia tidak memiliki payu dara lagi. Bagaimana ia akan memberikan asi kepada anaknya kalau menikah nanti. Bagimana kalau suami menghendaki kemesraan dan making love?. Adakah seorang lelaki yang sudi menikahi perempuan yang tidak memiliki payu dara  lagi?.
Tidak hanya gadis berusia yng berusia hampir tiga puluh tahun yang berasal dari keturunan penjual jamu itu yang bersedih, tapi dua ekor semut hitam  yang selalu menyertai perjalanan ritual itu juga ikut merasakan kesedihan yang amat mendalam. Mbak Retno hanya berupaya menghibur jamaah di depannya agar tabah dan bersabar. Ia hanya mengimbau untuk selalu mendoakan puterinya agar bedah payu dara itu tidak menghadapi kendala dan semua berlangsung  dengan sukses. Semua yang terjadi adalah kehendak Allah, lalu kepada-Nya pula semua berpulang.
                                    ***
Sejak hari pertama menjejakkan kakinya  di kota suci Madinah, perempuan yang berasal dari keluarga kurang mampu itu merasakan perbedaan kondisi, suhu, masyarakat, pola hidup  dan makanan. Yang selalu dirasakan sama hanyalah dalam hal ibadah, terutama dalam hal sholat. Gadis berusia hampir tiga puluh tahun itu seakan mendapatkan rahmat, meskipun makanan yang tersedia rasanya berbeda dengan kebiasaan sehari-hari di tanah air, tetapi terasa amat lezat dan nikmat, semua dengan mudah ditelan. Beda dengan  yang dialami jamaah lainnya yang biasa hidup mewah, yang biasa menikmati makanan enak, lalu balasan Tuhan datang selama ia berada di Tanah Suci. Makanan khas Madinah, amat sulit untuk ditelan, terasa tidak enak, terasa mengganjal di kerongkongan.  Jamaah itu harus keluar hotel dan mencari makanan  yang bisa mengenyangkan perutnya. Untung ia menemukan restoran Malaysia yang menunya hampir mirip dengan makanan sehari-hari yang selalu dinikmati di tanah air.
Udara amat dingin tidak membuat Mbak Retno harus bermalas-malas melangkahkan kakinya ke Masjid Nabawi. Akan rugi besar bila sampai satu waktu sholat fardhu berjamaah tertinggal. Akan terasa rugi besar bila harus kehilangan pahala yang berlipat ganda, sebab satu kali sholat berjamaah di masjid besar itu akan mendapat ganjaran pahala seribu kali.
Itulah sebabnya, lima belas menit lagi menjelang waktu zuhur tiba, perempuan itu sudah berada di dalam masjid , lalu usai sholat membaca Qur’an  hingga waktu Ashar tiba. Maghrib juga begitu, usai sholat sunat tidak langsung pulang, tapi  membaca Qur’an atau mendengar ceramah di majlis taklim yang tidak pernah sepi di masjid itu.
Tiada waktu tanpa ibadah, itulah yang terjadi di Madinah. Tidak pernah ada keinginan untuk ke pasar, tidak pernah ada kehendak untuk membeli perhiasan, tidak pernah ada ada hasrat untuk membeli pakaian yang bagus-bagus. Tidak pernah tertarik hati perempuan itu untuk membeli karpet. Keluar dari masjid, setelah ziarah di makam Rasul, ia langsung masuk kamar di hotel, makan malam dan sujud syukur lalu tidur.
            Lelah membuat perempuan yang belum bersuami itu tidur lelap dan mimpi amat indah, seakan ia berada di sebuah taman bunga dan air mancur serta ikan-ikan berbagai jenis bermain amat riang. Dalam mimpi di taman itulah, ia seperti didatangi seorang lelaki gagah dan dijarinya ada seuntai tasbih. Ia tertegun  dan tidak mampu menatap mata lelaki gagah itu  dan iapun masih tetap tertunduk ketika lelaki itu mengulurkan tasbih kepadanya.
            “Aku tidak dapat memberimu apa-apa selain seuntai tasbih,” itulah kata-kata yang diucapkan lelaki gagah di taman itu.
            Mbak Ratno masih menunduk, masih tetap belum mampu mengangkat wajah, masih tetap belum mampu menatap pandangan lelaki itu, masih tetap belum mampu mengulurkan tangan untuk menerima  pemberian seuntai tasbih dari lelaki di depannya.
            “Terimalah, sayang. Terimalah pemberian ini,Retno!,”  terdengar lagi suara lelaki itu dalam mimpinya.
            Matanya masih terasa berat untuk menatap wajah lelaki itu, masih terasa berat tangannya untuk menerima  pemberian lelaki itu.  Lelaki gagah itu mendekat  dan amat dekat, hingga dengus nafasnya terasa di pipi Mbak Retno.
            “Terimalah pemberian ini ,sayang. Aku yakin seuntai tasbih lebih bermakna daripada seuntai emas.  Kamu dapat menghitung zikirmu, kamu dapat menghitung pujianmu terhadap Allah”
            Lelaki dalam mimpi itu masih sempat berkata, bahwa menyebut nama Allah, mengingat dzat-Nya dan mensyukuri nikmat dan karunia-Nya  adalah sesuatu yang fitrah bagi setiap hamba-Nya. Lelaki itu juga menyebut ayat Qur’an surat Al Imran ayat 41 yang bermakna Dan sebutlah nama Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah  diwaktu pagi dan petang.
            Perempuan sederhana itu masih tetap saja menunduk, tapi dadanya gemuruh, jantungnya berdetak keras, apalagi ketika lelaki itu menyentuh tangannya untuk menerima pemberian itu. Ia tidak berdaya ketika lelaki itu meletakkan seuntai tasbih di telapak tangannya.
            “Jangan menunduk terus,sayang.  Tidak bolehkah aku menatap sepasang matamu yang jernih dan indah?. Tidak bolehkah aku menatap wajahmu yang sejak dulu selalu kurindukan dan kusayangi?”
            Tetap saja perempuan yang lahir dari keluarga penjual jamu gendong itu menunduk. Hingga lelaki itu menyentuh ujung dagunya dan mengangkat wajahnya. Ia tidak  menunnduk lagi, tapi sepasang matanya terpejam  dan seuntai tasbih sudah berada di telapak tangannya.
            “Bukalah matamu,sayang,”  terdengar lagi suara lelaki itu.  Mbak Retno seperti pernah mendengar suara itu.    Bahkan ia  amat mengenal suara itu.
            “Tidak bolehkah aku menatap matamu yang teduh seperti air telaga?”, lelaki itu berbisik di telinganya dan memberinya ciuman di kening tanda kasih sayang.
            Anginpun berhembus sepoi di taman itu. Bunga mawar, bunga melati bergoyang-goyang dan dua ekor kupu-kupu bermain di kuntum bunga yang sedang mekar itu. Perlahan sekali  perempuan yang selama ini hidup amat sederhana itu membuka matanya.
Betapa ia amat kaget, betapa ia amat terkejut, karena lelaki yang memberinya seuntai tasbih memang amat dikenalnya. Sebuah nama segera tercetus dari celah bibirnya yang tipis tanpa lipstik;
            “Bang Fadhil?. Engkaukah,Bang Fadhil?”
            “Ya, aku adalah Fadhil , seseorang  yang pernah mencintaimu. Aku datang karena aku amat merindukanmu.”
            “Oh, aku juga amat merindukanmu.”
            Perempuan itu berusaha memeluk lelaki itu. Ia ingin rebah di dadanya  yang kekar lalu bersandar dan lelaki itu membelai rambutnya seperti dulu, ketika mereka masih sering betemu  dan memadu kasih sayang. Ia ingin seperti dulu, ketika tubuhnya terasa remuk dan membiarkan nafasnya sesak ketika lelaki itu memeluknya amat erat.
            Betapa amat menyedihkan ketika  perempuan keturunan penjual jamu gendong itu hanya memeluk angin. Tiba-tiba saja lelaki yang memberinya seuntai tasbih  menghilang.  Tiba-tiba saja lelaki itu lenyap, hilang entah kemana. Barulah Mbak Retno sadar, bahwa semua itu hanyalah mimpi indah, mimpi bertemu kembali dengan seorang lelaki yang dulu ia harapkan untuk menjadi suaminya  namun lelaki muda itu sudah mati di tangan penjahat.
            Oh,Tuhan mengapa ia harus hadir dalam mimpiku?. Mengapa ia datang dan memberiku seuntai tasbih?.  Mengapa aku mimpi bertemu kembali dengannya sementara ia sudah mati terbunuh oleh tiga orang penjahat?. Mbak Retno hanya menghela nafas panjang. Kerinduan memang amat  besar tumbuh di rongga hatinya yang paling dalam. Cintanya kepada lelaki kelahiran Sumatera itu memang amat besar di rongga dadanya melebih  segalanya. Tapi kerinduan itu tidak akan pernah terobati karena lelaki itu sudah terbunuh di tangan penjahat di sebuah tempat yang sepi kemudian tubuhnya dibuang ke pinggir kali.
            Perlahan sekali gadis itu menyentuh seuntai kalung di lerhnya yang berhiaskan delima merah. Dia mendekapnya dan sepasang bibirnya bergetar:
            “Aku rindu padamu,Bang Fadhil!”
            “Kasihan Mbak Retno!,”  terdengar suara  Ummu Naubah yang menjalar di pinggir tempat tidur dan menyaksikan perempuan itu mengusap dada karena rasa rindu terpendam amat dalam di sana.
            “Pertemuannya dengan Bang Fadhil hanya dalam mimpi!.”  sahut semut jantan  dan memandang  perempuan itu dengan perasaan iba yang amat dalam.
            “Ia  pasti merindukan lelaki itu. Ia pasti sangat ingin bertemu dengan seorang lelaki yang pernah ia harapkan untuk menjadi suaminya.”
            “Mana mungkin mereka bertemu lagi, karena lelaki itu memang sudah  mati terbunuh di tangan penjahat.”
            “Mereka akan bertemu di surga nanti!”
            “Kasihan Mbak Retno, kita ingin berbuat sesuatu, kita ingin menolongnya, tapi tidak berdaya.”
            Sepasang semut itu memperhatikan bibir perempuan itu  bergetar perlahan sekali:
            “Aku mencintaimu, Bang Fadhil. Aku tidak dapat melupakanmu. Aku tidak tahu sampai kapan aku merindukanmu. Aku tidak tahu sampai kapan aku berharap dapat menemukan seseorang yang amat mirip denganmu. Oh,Tuhan , lindungi hamba-Mu. Ya, Rabbi, tabahkan hatiku. Ya Allah, beri hamba-Mu kekuatan. Biarlah aku melupakannya.Kuatkan hatiku untuk tidak menyebut namanya lagi.”
            Perempuan yang berasal dari keluarga penjual jamu gendong itu mencoba untuk memejamkan mata, mencoba untuk melupakan lelaki yang pernah ia harapkan menjadi teman hidupnya.  Tapi amat sukar  baginya untuk memejamkan mata. Justru kenangan masa silam kembali bermain di pelupuk matanya seperti sebuah film  seleloid yang bertutur  tenang sebuah kisah tragis.
            Selalu hadir dalam benaknya,wajah seorang lelaki kelahiran Sumatera bernama Bang Fadhil memang selalu mengunjunginya dan  Mbak Retno memang selalu merebahkan kepala di dada lelaki itu  dan membiarkan tubuhnya remuk dalam dekapan lelaki itu.  Mereka sudah merencanakan untuk hidup bersama sebagai suami isteri.  Sebuah kalung berhiaskan mainan delima merah yang tetap melingkar di lehernya.
            Hanya tinggal beberapa minggu lagi pernikahan itu akan berlangsung. Saat-saat bahagia sudah  terbayang di pelupuk matanya. Sudah terbayang ketika ia hamil kemudian akan lahirlah seorang anak yang mungil dan ia berharap anaknya  meraih masa depan yang lebih mapan dan terhormat. Ia ingin anak yang lahir  nanti bukan lagi sebagai penjual jamu, bukan sebagai guru di madrasah,  dan kalau lahir bayi laki-laki jangan menjadi penarik ojek. Kehidupan anaknya harus lebih baik, harus lebih mapan. Harus mandiri.
            Tapi siapa menduga , bahwa pernikahan itu tidak akan pernah terjadi. Siapa menyangka, bahwa hidup bersama sebagai suami isteri hanya sebagai mimpi indah yang harus segera berakhir?. Ketika lelaki itu mengantar penumpang langganannya yang paling setia, di tengah jalan dihadang tiga pejahat. Lelaki itu tidak berdaya ketika   penjahat  yang menghadangnya menghunus belati dan berkali-kali menusuk dadanya, juga perutnya.  Lelaki kelahiran Sumatera itu tersungkur di tanah dan bersimbah darah kemudian tubuh yang penuh luka-luka itu dilempar ke pinggir sungai. Esok harinya tubuh yang malang itu sudah hilang. Pasti jenazah yang malang itu dibuang ke sungai lalu hanyut hingga ke laut dan menjadi santapan ikan-ikan penghuni laut. Atau jadi santapan  buaya yang mengadakan pesta.
            Mbak Retno hanya mampu berdoa, semoga mayat Bang Fadhil ditemukan orang lalu dimandikan, dikafani, disholatkan dan diantarkan ke kuburnya dengan iringan talkin dan doa-doa.  Mbak Retno hanya berdoa semoga dosa-dosanya diampuni. Semua amalannya diterima serta arwahnya ditempatkan yang sebaik-baiknya, yakni di surga.
            Biarlah lelaki itu menjadi penghuni surga dan abadi disana, karena Mbak Retno tahu pasti lelaki itu mati syahid, karena ia membela kebenaran, karena ia tewas ketika membasmi kezhaliman. Bukankah Bang Fadhil mati ketika  membantu mempertahankan harta benda milik penumpangnya?.
            Surga adalah sebuah tempat di akhirat yang menjadi idaman setiap manusia dan di dalamnya ada dua mata air yang memancar. Di tempat itu ada bidadari cantik yang menundukkan kepala, ada kenderaan yang berpelana dan tubuh pengenderanya selalu harum semerbak seperti bau kesturi. Di sana juga banyak buah-buahan seperti kurma dan delima. Di surga ada lautan, ada lautan susu dan juga lautan madu yang tidak pernah kering. Sungai Jaihan, Nil  dan Furat airnya sungguh jernih mengalir di tengah-tengah surga. Betapa amat nikmat hidup di sana.
            “Biarlah Bang Fadhil menikmati semua itu. Biarlah ia menikmati semua keindahan itu. Aku akan menyusulnya di hari nanti.”,  Mbak Retno selalu berkata begitu dalam hatinya.  Karena itulah perempuan itu selalu ingin menjadi muslimah yang baik, sekolahpun ia memilih di pondok pesantren . Ia bersyukur  bisa menyelesaikan pelajarannya dengan baik meskipun tiap hari harus menempuh jarak yang jauh,hingga wajahnya hitam. Untunglah sehelai jilbab selalu meneduhi wajahnya.
Anak-anak yang belajar di pondok pesanten itu pada umumnya adalah anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Mana ada anak-anak keturunan orang kaya mau masuk ponpres, pasti mereka memilih sekolah favorit yang biayanya amat mahal. Padahal di pondok pesantren itu diperoleh pelajaran yang amat bermanfaat untuk pedoman kehidupan. Disana setiap siswa dibina untuk menjadi manusia yang bertaqwa. Dan  sebagai muslimah yang bertaqwa, Mbak Retno selalu menjauhi segala larangan dan melaksanakan segala perintah agama.
Karena iapun ingin menyusul Bang Fadhil dalam surga.  Ingin selalu berbuat kebaikan terhadap sesama. Ia selalu sholat tepat waktu. Ia selalu bersedekah, ia selalu menghadiri majlis taklim, ia selalu ingin bersalurrahhim, ia tidak pernah melalaikan puasa dan membayar zakat. Itulah sebabnya ia selalu menyantuni anak yatim meskipun nilainya amat kecil dan terakhir ia ingin menunaikan ibadah haji. Tuhanpun mengabulkan semua doa itu. Allah mendengar permohonannya. Tuhan mengabulkan keinginannya dan kini kakinya terjejak di Madinah dan sekarangpun ia sedang  berbaring dan mimpi indah, mimpi bertemu dengan Bang Fadhil yang seakan  masih hidup. Semua disaksikan oleh dua ekor semut berwarna hitam, Ummu Naubah dan Abu Masyghul.
            Setelah semua jamaah haji di hotel itu tertidur lelap, setelah malam larut, barulah perempuan yang berasal dari keluarga kelas bawah itu memejamkan mata. Sepasang semut hitam itu menyentuh pipi perempuan itu seakan ingin membelainya, biar ia tidur  lelap dan terhindar dari mimpi buruk.
                                                     ***
            Mahluk mungil bernama semut itu amat beda dengan manusia ,semut selalu tahan terhadap rasa kantuk. Dua ekor semut di sisi Mbak Rento masih merayap perlahan ketika Mbak Retno memejamkan mata dan tidur lelap. Di manapun, ketika manusia sedang tidur nyenyak dan terbuai mimpi, semut-semut tetap bekerja keras karena sadar dirinya sebagai koloni yang senantiasa bekerja keras  mengusung makanan atau membuat sarang.
            Ketika itulah, ketika perempuan yang selama ini hidupnya amat sederhana  itu sedang  tidur nyenyak, kedua ekor semut itu merayap turun dari tempat tidur,  dan merayap  hingga ke pintu. Dari celah pintu kamar di hotel dekat hotel Andalus itu, dua ekor semut itu masih terus merayap ke kamar hotel lainnya, hingga ke kamar hotel yang dihuni oleh jamaah haji ONH Plus.
            Syukurlah ada sedikit celah di pintu hingga sepasang semut itu dapat menerobos masuk.
            “Malam sudah sangat larut, untuk apa kita ke kamar ini?,”  Ummu Naubah bertanya kepada semut jantan setelah mereka merayap masuk.
            “Banyak yang harus kita lihat,Naubah. Banyak yang ingin kita saksikan. Bukankah kita adalah mahluk semut yang menjadi saksi bagi orang-orang yang pergi menunaikan  haji?”
            Semut betina itu menghentikan langkah, seperti ragu-ragu. Semut jantan yang sudah jauh ke depan terpaksa melangkah mundur untuk mengajak sahabatnya masuk.
            “Aku lebih ingin keluar hotel ini dan melihat pemandangan lain!,”  semut betina menolak.
            “Esok malam masih ada waktu lagi. Malam ini kita melihat kamar-kamar yang dihuni oleh orang-orang kaya, apakah mereka membaca Qur’an atau bertasbih .”
            “Pasti mereka berzikir sepanjang malam!”
            “Belum tentu. Orang kaya belum tentu taat kepada Tuhan. Orang kaya belum tentu bertaqwa. Orang kaya belum tentu selalu berzikir, sebab waktunya lebih banyak untuk menghitung uang dan kekayaan.”
            “Yang pasti mereka tidak bermain catur di sini. Yang pasti mereka tidak mau main kartu di Tanah Suci.”
            “Makanya mari kita saksikan sendiri. Mari kita lihat apa yang mereka lakukan di kamarnya.”
            Sesaat semut betina menekur.
            “Ayo  kita masuk!,”  semut jantan mengajak sahabatnya untuk masuk  ke kamar hotel yang dihuni oleh jamaah ONH Plus.  Tentu saja suasananya amat berbeda dengan kamar hotel yang dihuni oleh jamaah biasa.  Sebab khusus untuk jamaah ONH Plus hanya berdua menempati satu kamar, hingga bebas mandi, bebas berwudhuk kapan saja, bebas membaca Qur’an, bebas melakukan sholat tahajud kapan saja. Beda dengan jamaah biasa yang menghuni kamar hingga enam atau delapan orang yang masing-masing harus  banyak bersabar diri. Bayangkan bila pagi hari menjelang subuh, masing-masing ingin ke toilet, sementara tujuh orang lainnya harus menunggu di depan kamar kecil itu.  Bayangkan bila salah  salah satu jamaah menderita diare dan selalu buang hajat ke toilet. Bayangkan bila ada yang menderita sembelit atau penyakit ambeyen  sehingga amat lama nongkrong  dan jamaah lainnya  harus sabar menunggu. Begitu juga dalam hal alat pendingin udara, ada jamaah yang tidak tahan dengan udara dingin dari AC, dan ada pula yang sudah terbiasa tidur dengan  kamar yang dilengkapi dengan pengatur suhu udara. Semua harus mengendalikan sabar diri. Dan terkadang sabar itulah yang tidak terkendali.
            Ya, Tuhan. Semut-semut itu tertegun ketika mereka memasuki kamar hotel yang ditempati oleh jamaah ONH Plus. Hanya dihuni oleh dua orang dan mereka adalah pasangan suami isteri. Dan malam itu  , ketika Ummu Naubah dan Abu Masyghul   masuk kamar itu, penghuni kamar itu bukan membaca Qur’an. Mereka bukan bertasbih memuji kebesaran Tuhan. Mereka bukan  berzikir. Mereka bukan  melakukan sholat tengah malam. Mereka justru tidak tidur tetapi menikmati kemesraan sebagaimana  layaknya suami isteri, seperti layaknya seorang suami memberi nafkah batin  kepada isterinya.
            “Jangan lakukan hal itu, Mas!,”  sang isteri berusaha menepis tangan suaminya yang membuka kancing-kancing daster sang isteri.  Ucapan  itu jelas  terdengar oleh Ummu Naubah dan sahabat  di sisinya          
“Kenapa?”
            “Tempat ini adalah tempat suci, tidak selayaknya kita  melakukannya.”
            “Kita adalah suami isteri,sayang. Tidak terlarang melakukan hubungan suami isteri di sini.”
            “Bukankah ini adalah kota suci?.”
            “Yang  tidak boleh kita lakukan disaat kita sedang berihram. Kita belum memasuki tahapan ihram. Kita masih berada di Madinah dianjurkan untuk melakukan sholat arbain. Tidak terlarang bagi suami isteri untuk melakukan hubungan mesra.”
            Sang isteri tersenyum.  Sepasang semut hitam  itu hanya tertegun, bahkan semut betina merasa malu ketika melihat sang suami melepas pakaian  sang  isteri  satu persatu.  Semut betina itu memejamkan mata, ketika sang jamaah haji laki-laki mulai membelai tubuh  isterinya, mengecupnya dengan kasih sayang.  Semut jantan masih sempat mendengar ucapan sang suami berkata kepada isterinya.
            “Sudah enam tahun kita kawin, tapi belum juga mendapatkan anak. Kita sudah cukup berusaha konsultasi dengan dokter ahli, tapi hasilnya  masih sia-sia. Siapa tahu kemesraan di Tanah Suci ini dapat memberi kita anugerah. Mudah-mudahan setelah kita menikmati kemesraan di sini  kita akan segera punya anak,”
            “Tapi ingat, cukup satu saja, sebab aku wanita karir. Bagaimana aku harus mengurus banyak anak kalau tiap hari aku harus di kantor.”, sahut sang isteri pasrah ketika suaminya mendekapnya amat erat.
            “Bukan satu, tapi dua.”
            “Dua?. Tidakkah terlalu repot mengurus dua anak bagi wanita bekerja?”
            “Kita cari pembantu. Mudah-mudahan kita mampu membayar baby sitter.”
            “Dua boleh saja, tapi anak kedua lahir setelah bayi pertama kita berumur lima tahun.”
            “Yang penting anak-anak itu lahir sebelum kita terlalu tua.”
            Sepasang suami isteri itu tersenyum dan mereka tenggelam dalam kemesraan, tenggelam dalam indahnya bersuami isteri. Sepasang semut di kamar itu berpaling dan melangkah pergi keluar kamar.
            “Naubah,” semut jantan memanggil sahabatnya.
            “Hmmm,”  semut betina hanya menyahut dalam gumam kecil.
            “Kapan kita seperti mereka?”
            “Kawin, maksudmu?”
            “Ya!”
            “Tunggu dulu. Ingatlah takdir atas diri mahkluk seperti kita.  Kamu akan segera mati setelah kita kawin. Kamu akan meninggalkan aku selamanya setelah kita melakukan perkawinan. Bagaimana diriku di negeri orang?. Mampukah aku bertahan sendiri?.”
            Semut jantan itu hanya menghela nafas panjang. Dua ekor semut itu meninggalkan jamaah haji yang sedang menikmati kemesraan sebagaimana layaknya suami isteri. Alangkah bahagianya  mereka, merencanakan punya anak di Tanah Suci.
            Sepasang semut itu merayap lagi, memasuki kamar demi kamar. Mereka benar-benar menjadi saksi apa yang dilakukan para jamaah haji di kamarnya. Kesaksian dua ekor semut itu akan benar-benar akurat, karena hewan kecil itu tidak pernah berbohong.
            Di kamar lain, dua ekor semut itu menemukan sepasang jamaah haji sedang makan sahur, karena esok mereka akan melakukan puasa sunat. Betapa amat kental ibadah sepasang jamaah haji itu, mereka melakukan puasa, mereka sudah melaksanakan sholat-sholat sunat, mereka selalu membaca Qur’an dan semuanya dilakukan dengan ikhlas.
            Di kamar lain , dua ekor semut itu melihat sepasang jamaah haji sedang  bertasbih, sementara di kamar sebelahnya melakukan zikir. Ada lagi jamaah yang sedang melakukan sholat tahajud di tengah malam yang sepi, ketika para jamaah tidur pulas di malam yang sepi dan dingin. Ada juga jamaah yang sedang melakukan sholat hajat karena berkeinginan agar usaha dagangnya berkembang pesat. Ada lagi jamaah yang melakukan sholat hajat agar anaknya yang sedang sakit diberikan kesembuhan.
            Namun di kamar lain, dua ekor semut itu  juga melihat jamaah perempuan yang sedang meratapi suaminya yang terbaring lemah karena sejak hari pertama hadir di kota suci Madinah suaminya langsung jatuh sakit dan terbaring. Belum ada satupun kegiatan ibadah  yang dilakukan suaminya. Tidak hanya terbaring, tetapi sang suami selalu mengigau agar terhindar dari pembunuhan.
            “Jangan bunuh aku!. Jangan bunuh aku!,”  ucapan itu selalu terdengar diucapkan lelaki yang terbaring di sisi isterinya.
            “Jangan mengigau terus,Pak. Cobalah ucapkan istighfar agar bapak terhindar dari bayangan buruk!,”  sang isteri selalu membujuk.
            “Tapi laki-laki itu menuju kemari dan menghunus rencong. Tutup pintu itu!. Tutup pintu itu agar pembunuh itu tidak memasuki kamar ini!.”
            “Pintu kamar sudah sejak siang tadi tertutup!”
            “Kunci rapat-rapat, agar siapapun tidak dapat masuk kemari!”
            “Sudah sejak tadi pintu ditutup dan terkunci. Tidak satupun orang yang dapat masuk.”
            “Kalau ada orang masuk usir mereka, siram mereka dengan air panas.”
            “Tidak ada siapapun yang masuk ke kamar kita.”
            Pintu kamar itu memang sudah tertutup dan terkunci sejak tadi dan tidak mungkin siapapun yang dapat masuk kecuali sepasang semut berwarna hitam. Ummu Naubah dan Abu Masyghul sengaja  masuk melalui celah jendela dan pasangan suami isteri itu tidak meyadari kehadiran mereka di kamar itu untuk menyaksikan apa yang mereka lakukan dan melihat apa yang sedang terjadi.
            “Lihat di luar sana,  ada seseorang yang membawa senjata yang akan menembak aku!”    terdengar suara lelaki yang terbaring dan tampak selalu amat gelisah
            “Di luar tidak ada siapapun kecuali jamaah yang baru melaksanakan sholat sunat.”
            “Lihat di sudut sana, ada perempuan membawa racun. Pasti perempuan itu ingin memberikan racun itu kepadaku.  Perempuan itu pasti ingin membunuhku juga!”
            “Tidak ada perempuan membawa racun di sini. Perempuan itu  pulang membawa seuntai tasbih bersama suaminya. Bukan racun.  Tidak ada yang bermaksud jahat terhadap kita.  Semua yang hadir di sini untuk menunaikan ibadah haji, tidak ada seorangpun yang bermaksud membunuh.”
            Lelaki itu diam sejenak ketika isterinya membasuh wajahnya dengan air zam-zam, tapi sejenak kemudian lelaki itu meronta lagi. Lelaki itu gelisah lagi.
            “Lihat jauh di sana, anak-anak kecil  membawa panah beracun!.  Pasti anak-anak itu juga ingin menghabisi aku dengan parah beracun!”
            “Astaga, penyakit apa yang bapak derita sehingga selalu merasa ada orang-orang yang akan membunuh?”
            “Usir jauh-jauh anak itu yang membawa panah beracun!”
            “Anak-anak itu tidak menuju kemari,Pak. Anak-anak itu adalah keluarga jamaah haji dari Mesir. Orang-orang Mesir menunaikan ibadah haji selalu membawa anak-anaknya, tapi bukan untuk bermaksud jahat, bukan untuk membunuh bapak.”
            “Tapi mereka akan membunuh aku!”
            “Mana mungkin anak-anak melakukan pembunuhan!.”
            Dua ekor semut itu terheran-heran melihat lelaki yang terbaring dan selalu mengigau, bahwa nyawanya akan dihabisi oleh orang lain. Di matanya selalu terbayang ada saja orang yang datang ingin melakukan penganiayaan  terhadap dirinya dan ingin menghabisi nyawanya.  Azab Tuhan sedang turun kepadanya karena dosa-dosanya di masa lalu. Sebab lelaki itu menunaikan ibadah haji tanpa terlebih dulu meminta ampun dari orang-orang yang pernah dizhalimi.  Manusia selalu tidak luput dari kekeliruan dan kesalahan dan dosa-dosa itu tidak akan mendapat pengampunan dari Allah sebelum manusia yang bersangkutan memberinya maaf.
            “Pasti ada hal-hal yang tidak beres dilakukannya ketika masih di tanah air, mungkin di kantornya, mungkin di sekitar tempat tinggalnya atau di sekitar tempatnya berniaga.” , terdengar suara semut jantan.
            “Untuk mendapatkan harta atau jabatan terkadang manusia selalu nekad berbuat zhalim, menempuh jalan halus untuk melumpuhkan pesaingnya. Dukun selalu berperan dalam merebut jabatan”  sahut semut betina dan masih memperhatikan lelaki yang sepanjang waktu terus gelisah  dan isterinya melakukan sholat hajat agar Tuhan memberi petunjuk, derita apa yang sedang dihadapi  suaminya.
            Petunjuk Tuhan itu memang akhirnya datang, meskipun amat lama lelaki itu mengakui terang terang akan dosanya dimasa lalu.
            “Bapak selalu merasa takut terhadap seseorang  akan membunuh bapak,”  ujar sang isteri selesai sholat hajat dua rakaat.
            “Ya, di sini banyak orang mengintai aku untuk menghabisi nyawaku.”
            “Sama sekali tidak ada,Pak. Semua orang  di sini hanya berniat untuk beribadah, tidak ada yang bermaksud jahat , apa lagi untuk membunuh.”
            “Ada!. Aku selalu melihat sendiri mereka membawa senjata, ada yang membawa parang, tombak, kapak, senjata api dan panah beracun.”
            “Bapak sedang menghadapi godaan iblis. Bapak sedang menghadapi azab Tuhan. Akuilah terus terang, adakah bapak menyakiti hati orang lain?. Pernahkah bapak menzhalimi orang lain?”
            “Tidak pernah!”
            “Pernah bapak menyakiti hati tetangga kita?”
            “Demi Tuhan, tidak!”
            “Pernahkah bapak menyakiti hati salah satu kerabat dan famili?”
            “Sama sekali tidak pernah!”
            “Menyakiti kawan sekantor juga tidak pernah?”
            “Rasanya tidak … tidak pernah….,” sang suami menyahut dengan gugup.
            “Sungguh-sungguh tidak pernah?” desak sang istri menatap suaminya amat tajam. ”Aku saja kalau memang ada!”
            “Tidak!”
            “Jangan bapak berbohong. Syetan dan iblis akan menyiksa bapak kalau bapak terus berbohong. Azab Tuhan akan menyiksa bapak. Bukankah bapak sudah dua tahun naik pangkat menjabat Pemimpin Proyek.  Adakah seseorang yang merasa sakit hati bapak menduduki jabatan itu?”
            ‘Tidak.  Rasanya tidak ada!”
            “Benar tidak ada?”
            “Sungguh?”
            “Sungguh mati.”
            “Jangan bapak berbohong.  Kita sedang berada di Tanah Suci, kita tidak boleh berbohong di sini.  Tuhan dan malaikat akan memperhatikan sikap bapak.  Kalau bapak berbohong,  balasan Tuhan akan datang.  Azab Tuhan sangat pedih.”
            Ucapan  itu membuat sang suami merasa takut.
            “Adakah seseorang yang merasa sakit hati ketika bapak dilantik menjadi Pimpro  di kantor bapak?”
            Sesaat lelaki yang selalu gelisah itu memikir-mikir.
            “Akuilah terus terang!, ” desak sang istri.
            “Rasanya memang ada…”, suara lelaki itu lirih.
            “Siapa?”
            Sesaat lelaki yang terbaring dan selalu merasa ketakutan dan senantiasa gelisah  itu terdiam.  Lelaki itu  seperti mengingat sesuatu.
            “Siapa yang merasa kecewa bapak naik pangkat?”, desak isterinya lagi.
            “Rasanya seperti Pak Arif.”
            “Siapa sebenarnya   Pak Arif itu?. Rekan sekerja bapak?”
            “Ya!”
            “Apakah Pak Arif lebih senior dari bapak sendiri?”
            “Ya!”
            “Kenapa bukan Pak Arif yang menjadi Pimpro?. Kenapa bapak yang akhirnya menjabat kedudukan itu?”
            Pertanyaan itu tidak mampu dijawab lelaki itu.   Istrinya terus menyelidik.
            “Hidup kita harus bersih dari dosa ,Pak. Harta yang dibawa pulang untuk anak istri juga harus terhindar dari  hal-hal subhat. Jangan ada setetespun barang haram yang dinikmati anak istri!”
            Ucapan itu hanya membuat lelaki itu termangu. Isterinya mengusap rambutnya dengan kasih sayang.
            “Saya berharap bapak dapat mengingat masa silam. Berapa orangkah yang dipromosikan untuk memangku jabatan Pimpro di kantor bapak?”
            “Dua!”
            “Bapak dan Pak Arif. Begitukah?”
            Lelaki itu tidak mampu menyahut, hanya mengangguk  kecil.
            “Dalam hal pengalaman, Pak Arif lebih matang , begitukah?”, sang istri bagaikan seorang hakim yang ingin mendapatkan bukti kesalahan seorang tersangka.
            Sekali lagi lelaki itu mengangguk.
            “Kenapa yang naik pangkat bukan Pak Arif?. Kenapa bapak yang menjadi Pimpro, sementara Pak Arif lebih senior?”
            “Pak Arif tiba-tiba sakit dan muntah darah.”
            “Sakit dengan tiba-tiba biasanya disebabkan hal-hal yang tidak wajar.  Bisa saja disebabkan perbuatan jahil, bisa juga akibat perbuatan zhalim atau cemburu. Apa kata dokter yang memeriksa Pak Arif?.”
            “Penyakitnya tidak ada!”
            “Kalau begitu Pak Arif sakit karena ulah manusia.”
            “Ya!”
            “Siapa manusia yang  membuat ia sakit?”
            “Entahlah!”
            “Adakah seseorang yang menjadi pesaingnya dalam jabatan itu?”
            “Mungkin sekali begitu”
            “Kalau demikian bapaklah yang berbuat begitu. Bapak berkali-kali ke dukun bukan untuk berobat, tapi untuk  membuat Pak Arif sakit, hingga bapaklah yang akhirnya menjabat Pimpro karena kursi di sana empuk.”
            Lelaki yang terbaring  itu tidak mampu menyahut. Ia memang telah melakukan kesalahan besar. Bila ia memangku jabatan Pemimpin Proyek di instansinya yang banyak duitnya telah ditempuh dengan cara yang amat keji. Ia telah pergi ke dukun dan meminta bantuan sang paranormal agar pesaingnya dilumpuhkan, agar tidak berdaya lagi.  Pak Arif akhirnya jatuh sakit amat tiba-tiba. Ia muntah darah dan beberapa minggu tingggal di rumah sakit tanpa diketahui penyakitnya. Iapun gugur sebagai calon Pimpro.
            “Kalau demikian, bapak telah menzhalimi orang lain.  Bapak harus mohon maaf kepada pak Arif.”. Sang isteri memberikan telepon genggamnya kepada suaminya.
            “Segeralah mohon keampunan agar bapak terhindar dari godaan syetan dan jin. Kalau bapak tidak segera mohon maaf, bapak akan celaka di Tanah Suci. Azab Tuhan akan terus berlangsung.”
            Lelaki itu  menolak telepon genggam yang diberikan istrinya. Ia menggeleng dan penyesalan jelas tergambar di wajahnya.
            “Silahkan bapak mohon mohon maaf kepada Pak Arif. Kasihan ia sangat menderita karena kezhaliman yang dilakukan temannya sekantonya sendiri.”  Istrinya tetap memberikan telepon genggamnya.
            “Ayo bicaralah dengan Pak Arif. Berterus teranglah dan mohon keampunan!”
            “Aku tidak dapat berbicara dengannya!”
            “Biarlah saya yang berbicara atas nama  diri bapak untuk mohon ampun!”
            “Pak Arif tidak dapat dihubungi lagi!”
            “Kenapa?. Karena ia sudah dipindahkan ke Kalimantan atau Papua?”
            “Tidak!”
            “Lalu dimana Pak Arif sekarang?.”
            “Pak Arif sudah meninggal”
            “Ya,ampun. Ya Allah, ampuni   dosa suamiku!”
            Perempuan itu amat kaget, jiwanya amat terpukul. Perempuan itu tidak menduga, bahwa suaminya telah melakukan kezhaliman yang amat besar. Suaminya telah melakukan perbuatan syirik yang sukar diampuni oleh Allah. Suami perempuan itu telah menyebabkan  pesaing dalam jabatannya sakit dan akhirnya meninggal. Sungguh tidak terduga, suaminya telah menyebabkan orang lain menemui kematian karena persaingan  jabatan. Lelaki itu telah menjadi pembunuh. Pantas selama di Madinah, ia selalu merasa seperti dikejar-kejar orang lain yang akan membunuhnya. Tidak satupun ibadah yang dapat dilakukan.  Bahkan sholatpun sama sekali tidak mampu dilakukannya. Lalu setelah tiba waktunya jamaah berangkat ke Makkah, tidak ada ibadah yang dilakukannya di sana. Kalaupun ia melakukan tawaf tujuh kali keliling ka’bah semua dengan membayar upah. Sa’i juga begitu. Ketika waktu wuquf tiba, ia tetap terbaring dalam mobil ambulans karena ia tidak mampu berdiri. Bahkan azab Tuhan memang  benar-benar dialaminya ketika ia berada di Tanah Suci, sampai akhirnya ia menemui kematian ketika melakukan ibadah pelontaran jamrah. Lelaki itu mati bagaikan kecoa yang terpijak oleh binatang ternak. Betapa amat hina.
            Sepasang semut hitam itu tertegun keheranan mendengar semua pengakuan lelaki yang terbaring dan selalu mengigau itu.
            “Demikianlah tingkah manusia, hanya karena menginginkan jabatan telah berbuat zhalim, menyingkirkan pesaingnya hingga menemui kematian,”  ujar semut jantan.
            “Hal seperti itulah yang tidak pernah   ada  dalam dunnia kehidupan semut,”  semut betina memberikan komentar
            “Kezhaliman selalu dilakukan manusia. Juga kebencian  dan permusuhan. Dajjal sudah merajalela dimana-mana!”
            Selalu terjadi dimana-mana, karena persaingan dagang, terkadang manusia nekad melakukan hal-hal yang keji. Seorang pengusaha restoran pergi ke paranormal  dan meminta bantuan agar restoran di sebelahnya tidak didatangi pembeli, lalu makanan yang terhidang selalu basi atau ada bangkai  kecoa dalam makanan itu. Pedagang sembako juga begitu, beras yang dijual selalu berbau minyak tanah. Pedagang bakso, menyebarkan isu bahwa pedagang bakso lainnya seolah-olah  diberi bumbu bangkai bayi manusia atau bangkai tikus.
            Sembilan hari bermukim di Madinah bagi Mbak Rento bagaikan mendapatkan rahmat.  Ia mampu menyelesaikan berbagai sholat sunat, iapun masih sempat menyelesaikan empat puluh satu kali  sholat fardhu berjamaah. Ia merasa  bahagia dapat berziarah ke maqam Baqi’ tempat keluarga Rasulullah dimakamkan, juga para syuhada yang gugur di peperangan Uhud, sebuah peperangan paling dahsyat ketika nabi menyebarkan ajaran Islam.
                                                ***
            Pada perang Uhud itulah banyak para syuhada gugur terkena anak panah musuh-musuh Islam. Bahkan pada perang Uhud itulah Nabi Muhammad sendiri ikut terluka. Rasulullah memimpin lansung peperangan itu dan menderita luka-luka di kepala dan wajahnya. Otot pangkal pahanya hampir terputus, bibirnya robek dan nabi terperosok ke dalam sebuah lubang yang cukup dalam hingga akhirnya beliau pingsan Berbahagialah dua ekor semut  itu ikut bersama Mbak Retno berziarah di Makam Baqi dan juga ke Jabal Uhud. Sepasang  semut itu amat berhati-hati bersembunyi di  balik selendang Mbak Retno Ramadhani ketika berada di Maqam Baqi. Ratusan  jamaah lainnya  juga melakukan ziarah yang sama.
            Sepasang semut itu tertegun ketika melihat ribuan makam berjejer dengan rapi tanpa diteduhi pohon kamboja, bahkan tidak satupun terlihat batu nisan. Setiap makam di Baqi hanya diberi tanda sebuah  batu sebesar tinju, tidak dibubuhi nama. Meskipun mereka yang dimakamkan di tempat itu adalah para  syuhada yang gugur pada pertempuran Uhud. Sama sekali tidak ada keistimewaan  baginya, tidak ada tempat istimewa bagi para pahlawan yang menegakkan Islam. Juga sahabat dan keluarga serta isteri-isteri Nabi diperlakukan sama, tidak ada nisan khusus. Tidak seperti di tanah air, kalau yang meninggal  dari kalangan masyarakat mampu, pasti kuburnya diberi nisan yang megah.
            Di makam Baqi inilah dikebumikan istri-istri Rasulullah, seperti Siti Aisyah binti Abubakar Shidiq, Siti Saudah binti Zam’ah Al Amiriyyah, Zainab  binti Khuzaimah dan Hubaibah Ramlah  binti Abu Sufyan. Di makam ini pula dikuburkan puteri-puteri Rasul, yakni Ummu Kultsum, Ruqoyyah dan Zainab.  Paman Rasul  Abbas bin Abdul Muthalib  juga dikuburkan di makam ini..
            Ribuan burung-burung merpati mencari makanan di makam Baqi,  mereka  terbang melayang-layang, lalu sekejap kemudian  turun di tanah, di antara gundukan makam dan mencari makanan. Karena itulah  dua ekor semut yang selalu ikut bersama Mbak Retno amat hati-hati bersembunyi di balik selendangnya karena tidak ingin terlihat oleh burung-burung merpati yang ribuan banyaknya. Sekali  semut-semut itu terlihat oleh burung merpati, pasti akan segera disambar, pasti mereka akan jadi santapan paling enak.
Ada perasaan takut di hati kedua ekor semut itu. Mereka berdua tidak ingin jadi santapan burung merpati di makam itu. Mereka masih ingin menyertai Mbak Retno menyelesaikan semua rukun dan wajib haji. Mereka, sepasang semut hitam itu, masih ingin meyaksikan Mbak Retno melakukan tawaf , ingin menyaksikan  perempuan itu sa’i, tahalul dan meneguk air zam-zam , wukuf serta melontar jamrah.
            Sepasang semut itu amat bersyukur  ketika mereka ikut ziarah ke  masjid Quba, sebuah masjid  yang pertama sekali dibangun oleh Rasulullah ketika dalam perjalanan hijrah ke Makkah . Masjid itu dibangun atas dasar taqwa dan Rasulullah sendiri ikut mengangkat  batu-batu besar sehingga tubuh beliau miring ketika berjalan karena batu-batu yang diangkatnya cukup berat. 
Dua ekor semut itupun masih merayap di selendang Mbak Retno ketika berziarah di Masjid  Al-Jum’ah dan di masjid inilah pertama sekali Rasulullah melaksanakan sholat jum’at bersama pengikutnya setelah hijrah.  Masjid Qiblatain  juga tidak luput dikunjungi Mbak Retno dan dua ekor semut itu tetap menyaksikannnya.
            Sungguh suatu hal yang membuat setiap orang yang menjejakkan kakinya di Tanah Suci  tercengang ketika melihat  lahan pertanian yang amat luas di negeri Arab yang selama ini dikenal orang sebagai tempat yang tandus dan gersang serta hamparan gurun pasir yang amat luas. Di negeri ini  ribuan hektar lahan telah disulap menjadi pusat pertanian yang terdiri dari kebun anggur, kurma, jeruk lemon, sankis,  zaitun, delima, pisang , aberikos, pear, jeruk sitrun , apel  dan banyak lagi. Buah labu, jagung, lobak, wijen, cabe, kacang tanah , buncis, kol, tebu dan bawang juga tumbuh di kawasan yang dulu merupakan gurun pasir yang  gersang. Semua sudah berubah. Arab Saudi kini adalah negara kaya dan bergelar negeri Petro Dolar.
                                                     ***
            Lantunan kalimah talbiah terdengar sepanjang jalan dari Masjid Bir Ali setelah para jamaah  mengenakan pakaian ihram yang serba putih dan sama sekali tidak mengenakan pakaian yang berjahit. Bahkan ribuan lelaki yang berpakaian ihram sama sekali tidak mengenakan pakaian dalam. Justru itulah yang berat dilaksanakan  oleh setiap jamaah lelaki,  sebab  tubuh mereka hanya ditutupi  dua helai  pakaian ihram , tidak diperkenankan menutup kepala dan tidak diperkenankan mencabut tetumbuhan, juga amat dilarang membunuh binatang.  Mereka juga dilarang mencukur rambut atau bulu yang tumbuh di badan. Bahkan memakai minyak wangi sama sekali sangat dilarang. Betapa amat sukar menjaga aurat lelaki. Namun yang sangat dipantangkan adalah bergaul dengan istri. Karena itulah setiap jamaah haji yang berpasangan dengan istrinya  harus  berusaha menjauhi hal-hal yang mengundang nafsu syahwat.  Bila larangan itu  dilanggar, maka jamaah yang melakukannya harus membayar dam atau denda yang amat berat.
            Seorang lelaki berkumis tampak sangat kewalahan  mengenakan pakaian ihram lalu setelah  dengan susah payah  lelaki itu berhasil melilitkan pakaian ihram di tubuhnya, tapi angin selalu membuat pakaian ihram itu berkibar dan terlihatlah auratnya. Angin tidak berhembus, tapi  ujung-ujung pakaian ihram itu selalu berkibar sehingga auratnya tidak tertutupi. Ternyata yang mengibarkan ujung pakaian ihram itu bukanlah angin, tapi iblis. Sebab iblis ingin mempermalukan lelaki berkumis itu di Tanah Suci, ketika ia sedang berihram. Hal itu terjadi karena hidup lelaki berkumis itu memang penuh dosa, ketika di Tanah Air ia selalu jajan, selalu menikmati kemesraan bersama perempuan lain tanpa pernikahan .
            “Labbaikallahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wan ni’mata laka wal mulka, laa syariika laka,” suara itu bergema dimana-mana. Terdengar amat syahdu sepanjang perjalanan itu.
            Rasanya setiap jamaah ingin cepat-cepat sampai di Makkah lalu melakukan tawaf selamat datang dan umroh.  Betapa semua jamaah amat merindukan tawaf dan sholat di Masjidil Haram yang  pahalanya dilipat gandakan Allah seratus ribu kali. Tidak satupun jamaah yang ngobrol, tidak satupun jamaah yang melakukan aktivitas lain kecuali membaca talbiah dan doa-doa. Bila ada jamaah yang tidur melulu dalam perjalanan dari Bir Ali menuju Makkah, karena hal itu merupakan hukuman Allah terhadap  dirinya.. Tentu saja balasan Tuhan datang kepadanya, karena  selama di tanah air, dia adalah anggota legislatif yang selalu ngorok kalau menghadiri sidang. Atau lebih banyak absen pada berbagai sidang ketimbang hadir, namun honornya tetap penuh.
            Dalam rombongan Mbak Retno juga ada seorang jamaah laki-laki yang sejak berangkat dari Bir Ali berkali-kali menguap terus, lalu tidur lelap dan ngorok, sementara jamaah lainnya melantunkan kalimah-kalimah  talbiah tanpa berhenti. Pantaslah jamaah itu tidur terus dan ngorok karena ia menunaikan ibadah haji dibiayai sepenuhnya oleh sebuah BUMN tempatnya bekeja. Lelaki itu tidak satu senpun mengeluarkan duit untuk berangkat ke Tanah Suci. Selama  di Madinah dan Makkah, aktifitasnya hanya tidur melalu, juga di Arafah dan di Mina. Sia-sia saja BUMN itu membiayai keberangkatannya ke Tanah Suci. Akan lebih bermanfaat bila BUMN itu membantu pembangunan sebuah madrasah karena amat banyak bocah-bocah muslim ketiadaan biaya untuk belajar.  
Sepasang bibir tipis Mbak Retno juga  tidak henti-hentinya melantunkan kalimat-kalimat talbiah.
            Ummu Naubah  sengaja keluar dari tempat persembunyiannya tanpa rasa takut lagi, karena setiap jamaah yang sedang berihram dilarang membunuh binatang dan dilarang mencabut  pepohonan.  Abu Masyghul   juga menampakkan dirinya ketika  bis besar itu sudah mendekati kota Makkah.  Para jamaah yang berpakaian serba putih sudah memadati kota Makkah.
            Mbak Retno melihat dua ekor semut di bajunya dan ingin menepisnya. Ia tidak sadar, bahwa semut itu sudah bersamanya sejak dari asrama haji di tanah air, sejak berada di pesawat, hingga ke Bandara King Abdul Aziz di  Jeddah, hingga ke Masjid Nabawi, hingga ke Makam Baqi, bahkan hingga bis besar itu memasuki kota Makkah.
            “Jangan tepiskan semut itu! Jangan bunuh dia!,” malaikat  memberi peringatan kepada Mbak Retno. Barulah perempuan itu sadar, bahwa saat jamaah haji melakukan  ihram tidak diperkenankan membunuh binatang. Suara itupun terdengar lagi, bahwa Nabi Sulaimanpun sangat menghormati barisan semut yang sedang lewat dan bersama pasukannya dan  Nabi Sulaiman berhenti seketika. Bahkan Nabi Sulaimanpun tertawa melihat semut-semut itu.  Tidak hanya itu yang diucapkan malaikat itu, Mbak Retno juga diingatkan, bahwa semut-semut itu ingin menyaksikan perjalanan ibadahnya.
Mbak Retno mengucap istighfar memohon keampunan. Syukurlah tangannya tidak sempat menepiskan semut-semut itu. Perempuan dari keturunan keluarga yang hidupnya  itu  tersenyum lagi ketika mendengar bisikan malaikat , bahwa dua ekor semut itu sudah menyertainya sejak ia masih di rumah.  Bahkan  hubungannya yang amat erat dengan almarhum lelaki kelahiran Sumatera itu  sudah sering dipantau semut-semut itu. Semua aktivitasnya di rumah yang dihuninya selalu disaksikan semut-semut itu. Juga ketika lelaki kelahiran Sumatera itu melingkarkan seuntai kalung yang dihiasi delima merah yang tetap melingkar di lehernya dan sesekali Mbak Rento menyentuhnya,apalagi kalau Mbak Retno Ramadhani merindukan lelaki itu.
            Semut-semut itu seakan mendapat perlindungan dan aman sekarang. Seenaknya ia berada di ujung baju Mbak Retno ketika melakukan tawaf tujuh kali keliling Ka’bah. Dua ekor semut itu juga seenaknya bergantung di selendang perempuan itu  ketika melakukan sholat dua rakaat di Hijir Ismail atau di Makam Ibrahim. Dua ekor semut itu seenaknya pula bergayutan di rambut Mbak Retno ketika  sa’i, juga ketika minum air zam-zam
            “Alhamdulillah, kita bagaikan meneguk air surga!,”  cetus Ummu Naubah  sesaat setelah ikut-ikutan meneguk air zam-zam padahal hanya beberapa tetes saja. Terasa amat nikmat, terasa amat sejuk, terasa hingga  ke seluruh tubuh. Semut-semut itu seperti mendapat kekuatan baru untuk bertahan hidup selama menjadi tamu Allah di Makkah, padahal udara teramat panas.
            “Tuhan selalu melindungi kita,” sahut Abu Masyghul ikut bersyukur. “Aku berharap setelah ini kita dapat kawin,sayang!”.  Semut jantan itu menyentuh pundak pasangannya dan membelainya dengan kasih sayang.  Sudah sangat lama jalinan cinta di antara kedua hewan kecil itu terjalin.  Sudah amat sering tangan semut jantan itu membelai tubuh kekasihnya dengan penuh kasih sayang. Seakan mereka tidak pernah berpisah sedetikpun. Mereka selalu bersama-sama.
            “Jangan dulu!”, sela semut betina.
            “Apa lagi yang harus ditunggu?   Kita sudah menyaksikan Mbak Retno sholat di masjid Nabawi, kita sudah menyaksikan ia ziarah ke Jabal Uhud dan ke Makam Baqi. Kita sudah menyaksikan Mbak Retno  tawaf mengelilingi Ka’bah dan meneguk air zam-zam!. Kita juga sudah ikut menikmati sejuknya air zam-zam.”
            “Masih banyak  lagi yang harus   dilakukan Mbak Retno. Prosesi ibadah haji masih sangat panjang. Bukankah haji itu diperoleh di Arafah pada saat wuquf nanti?”
            Sesaat semut jantan itu termenung. Sudah amat lama ia menantikan saat bahagia,  mengawini Ummu Naubah. Ia seakan lupa akan kodrat yang diturunkan Tuhan, bahwa setiap semut jantan akan mati sesaat setelah kawin dan semut betina akan jadi ratu yang pekerjaannya hanya bertelur.   Dalam waktu hanya beberapa hari semut betina yang sudah menjadi ratu akan mampu memproduksi  50.000 telur.
            “Ingatlah, bahwa perkawinan memang sesuatu yang diinginkan setiap mahluk. Perkawinan adalah sesesuatu yang diidamkan manusia dan juga mahluk lain, juga mahluk semut seperti kita. Tapi ingat kodrat mahluk semut seperti kita,  jenis jantan akan segera mati setelah perkawinan itu berlangsung.”
Sudah amat sering semut betina mengingatkan hal itu kepada pasangannya sebab ia tidak ingin kehilangan Abu Masyghul.
            Semut jantan itu termenung lagi sesaat. Ia ingin segera kawin dan menikmati kebahagiaan, tapi jauh di dasar hatinya ia ingin hidup lebih lama seperti manusia.  Semut jantan itu hanya menghela nafas panjang. Bagi semut jantan, kawin hanya kebahagian sesaat lalu mati. Kawin berarti adalah kematian. Alangkah tragisnya nasib semut..
            Kota Makkah tidak pernah sepi, tidak pernah tidur. Tiap saat jamaah terus bertambah dari segala  penjuru dunia.  Masjidil Haram memang tidak pernah ditutup. Pintu masjid itu sepanjang  waktu tetap terbuka. Tawaf dilakukan orang pada pagi hari, pada siang hari, ketika matahari terbenam atau ketika malam datang. Malampun tidak pernah gelap di sekitar masjid itu karena lampu-lampu yang gemerlapan  menerangi jamaah yang melakukan tawaf kemudian sa’i dan minum air zam-zam. Di Masjidil Haram ini jamaah tidak hanya tawaf, tapi juga membaca Qur’an, bertasbih, zikir dan mendengar ceramah  tentang Islam. 
            Hanya ketika terdengar azan sesaat kemudian orang-orang  yang melakukan tawaf atau sa’i mendadak berhenti lalu menyusun syaf untuk melaksanakan sholat fardhu. Semua memahami aturan itu, semua tertib.  Semua merasa bersaudara dan semua merasa memiliki harga diri dan martabat yang sama.  Menteripun sama-sama bersujud menghadap ka’bah. Para ilmuwan yang menyandang gelar dokter atau Phd, juga ikut bersimpuh di sini.
            Usai sholat Isa, Mbak Retno tidak langsung pulang, tetapi ia membaca Qur’an hampir satu juz, hingga matanya hampir  terpejam karena lelah dan ngantuk. Itulah sebabnya ketika masuk di kamarnya di hotel, ia langssung tidur dan lelap. Diam-diam dua ekor semut hitam yang selalu menyaksikan semua gerak Mbak Retno di sekitar Ka’bah, perlahan-lahan merayap keluar. Sepasang semut itu merayap hingga melewati pintu, hingga ke kamar hotel yang ditempati oleh  jamaah ONH Plus.       
“Astaghfirullah,”  Ummu Naubah mengucap istighfar ketika memasuki kamar itu ternyata penghuni  kamar itu bukan  berzikir atau bertasbih, tetapi sedang berusaha untuk melakukan hubungan suami istri.
“Kenapa,Naubah?. Apa yang kamu lihat?,”  tanya semut jantan kepada sahabatnya.
“Mereka sedang melakukan sesuatu yang tidak pantas!”, Ummu Naubah mundur beberapa langkah karena tidak ingin menyaksikan apa yang dilakukan oleh pasangan suami istri di kamar itu.
“Mereka adalah suami istri!”
“Benar, mereka adalah suami istri. Mereka lupa, bahwa  suami istri tidak boleh berhubungan badan pada saaat sedang ihram!”
Semut jantan itu manggut-manggut  dan menyadari, bahwa setiap jamaah dilarang melakukan berhubungan badan meskipun dengan istrinya sendiri  pada saat sedang berihram. Ada aturan tertentu, ada waktu-waktu tertentu seorang  suami boleh memberikan nafkah batin kepada istrinya.
Semut  betina mundur beberapa langkah lagi, tapi justru semut jantan  yang maju ke depan, untuk menyaksikan lebih dekat apa yang sedang dilakukan jamaah ONH Plus yang sedang berihram. Sang lelaki memang tidak mampu mengendalikan syahwatnya dan tidak pernah mendengar ceramah di majlis taklim. Bahkan ketika akan berangkat ke tanah suci, lelaki itu tidak sempat mengikuti bimbingan perjalanan haji karena kesibukannya mengurus perusahaan properti yang dimiliknya diberbagai kota. Apalagi perusahaannya sedang menghadapi kasus tanah dengan sekelompok warga yang memiliki sertifikat kepemilikan tanah itu. Warga menggugat perusahaan itu ke pengadilan, namun lelaki itu berusaha menyuap pihak pengadilan untuk memenangkan kasus itu.   
Nafsu berahinya memuncak ketika mereka  baru tiba di Makkah dan masih mengenakan pakaian ihram.  Ia berusaha membelai istrinya yang memang cantik dan masih amat muda.
            “Jangan!. Jangan lakukan itu!,”  sang istri berusaha mengelak dan menepis tangan suaminya yang membelai tubuhnya.
            “Aku sangat menginginkannya,sayang!”
            “Tapi kita tidak boleh melakukannya sekarang. Ingat, kita sedang berihram,” sang istri  berusaha mengingatkan. Sebab sang istri selalu menghadiri  majlis taklim, sebab sebelum keberangkatannya ke tanah suci sang istri selama 4 bulan ikut bimbingan haji.  Ia meronta ketika suaminya berusaha membelai tubuhnya, ketika suaminya memeluknya dan memberinya ciuman. Ia mengelak ketika suaminya berusaha membuka pakaiannya.
            “Jangan,Bang!  Jangan!,”  sang istri tetap saja meronta dan menghindar.
            “Jangan kecewakan aku malam ini. Aku sangat menghendakinya!”
            “Tidak!. Dosanya sangat besar!”
            “Tidak ada orang lain di kamar ini.”
            “Tapi Tuhan selalu melihat kita. Malaikat ada  di sekitar sini. Manusia memang tidak melihat kita melakukan hal itu, tapi Tuhan dan malaikat ada dimana-mana.”
            “Lupakan tentang dosa. Lupakan tentang malaikat!,”
            “Kita akan mendapat hukuman berat kalau kita melakukannya.”
            “Hukuman apa?”
            “Kita harus membayar dam!”
            “Apa itu dam?”  tanya sang suami masih berusaha membuka busana istrinya yang memang cantik dan bertubuh padat.
            “Kita harus membayar denda.”
            “Denda macam apa?. Uang?. Kita mampu membayarnya.”
            “Kita berdua harus membayar kifarat yang berat. Kita harus menyembelih seekor onta  atau lembu.”
            “Onta banyak di sini. Kita akan membelinya dan disembelih. Selesai bukan?”
            “Sebaiknya kita tidak melakukannya.”
            “Aku sangat menginginkannya,sayang,”  sang suami tetap membelai tubuh isterinya. “Aku suamimu, tidak bolehkah suami bergaul intiem dengn istrinya sendiri?”
            “Tunggulah sampai esok, sampai kita melakukan tawaf, sa’i dan tahalul. Kita bebas untuk melakukannya setelah itu.”
            “Aku tidak sanggup menanti sampai besok.”
            ”Kalau kita melakukannya sekarang, aku khawatir kita lalai membayar dam, Aku takut kita lalai menyembelih seekor unta.”
            ”Bagaimana kalau kita lalai?”
            ”Kita harus menggantinya dengan tujuh ekor kambing”
            ”Kalau hal itu juga lalai?”
            ”Kita harus harus puasa.”
            “Kalau tidak mampu berpuasa?”
            “Kita dapat menggantinya dengan memberi makan anak-anak yatim piatu atau fakir miskin.”
            “Bagaimana kalau hal itu juga tidak dapat dilakukan?.”
            Lelaki itu tetap berhasrat untuk melakukan hubungan badan dengan istrinya. Hasratnya sudah sangat memuncak. Ia tidak mampu mengendalikan syahwatnya yang sudah berapi-api. Ia sudah tidak mampu mengendalikan darah lelaki yang sudah berkobar-kobar. Lelaki itu berdalih  akan membayar dam dengan  menyembelih onta atau memberi makan anak yatim selama beberapa waktu.  Padahal lelaki itu sedang menghadapi permasalahan dengan perusahaan properti yang dimilikinya. Kredit bank atas nama perusahaan milik lelaki itu tidak terbayar, bahkan tanah seluas l5 hektar yang akan dijadikan perumahan sudah disita oleh bank karena kredit itu macet.
            Perusahaan milik lelaki itu  memang sedang terancam colleps. Terancam gulung tikar.  Bila dalam waktu beberapa minggu kredit bank tidak dapat diselesaikan, pasti asset lainnya  milik lelaki itu akan disita. Bahkan mobil mulus yang selalu dikenderai istrinya juga sudah dijadikan agunan untuk mendapat kredit baru.
            Nafsu yang bergelora dalam diri lelaki pengusaha properti itu memang  sudah memuncak, seperti ombak samudera. Apalagi lelaki itu adalah seseorang yang sudah terbiasa menggunakan obat-obat yang mengandung ginseng dan ramuan China untuk ketahanan seksual.
            Pakaian ihram yang melekat pada diri lelaki itu akhirnya ditanggalkan dan dibiarkan jatuh di lantai. Lelaki itu benar-benar tidak mampu mengendalikan syahwatnya yang sudah berapi-api. Apa lagi lelaki itu selalu menelan pil perkasa yang dibelinya dari seorang turis berasal dari Taiwan..
            Istrinya menangis ketika hubungan suami istri itu  berlangsung. Air matanya berderi-derai membasahi pipinya, membentuk sebuah anak sungai.
            “Jangan menangis,sayang. Kita adalah suami istri yang syah melakukan hubungan badan kapan saja.”
            “Tapi  sia-sia saja perjalanan kita ke Tanah Suci.”
            “Kenapa sia-sia?”
            “Karena kita telah melanggar larangan yang amat berat.”
            “Tahun depan kita berangkat lagi, untuk memperbaiki kesalahan kita.”
            “Tapi  kita harus membayar dam dengan segera.”
            “Dengan menyembelih seekor onta atau sapi?”
            “Ya!”
            “Mungkin aku tidak punya uang. Perusahaan kita sedang dililit kredit yang tidak terbayar.”
            “Kita harus menggantinya dengan berpuasa”
            ”Istrikah yang harus berpuasa?”
            “Tentu saja kita berdua yang harus melakukannya.”
            “Kita ganti saja dengan uang, dengan memberi makan anak-anak yatim!”
            “Bayarlah secepatnya agar kita terhindar dari dosa.”
            “Secepatnya?. Kita tidak punya uang yang cukup pada saat ini. Denda itu kita bayar di tanah air saja nanti.”
            “Tidak boleh seperti itu!”
            “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan tentang dosa.  Kita masih muda, kita belum menjadi nenek-nenek. Kita akan menyelesaikan semuanya setelah kita pulang nanti!”
            Air mata sang istri berderai-derai bagaikan hujan lebat.  Semut jantan yang sedang merayap di lantai hotel  itu tidak sanggup melihat hujan air mata di pipi perempuan itu.  Ia menemui semut betina yang menunggu di sela-sela pintu kamar.
            “Bagaimana jadinya?,”  Ummu Naunah ingin tahu.
            “Dosa itu benar-benar terjadi! Suaminya menolak membayar dam.”
            “Mereka berhubungan badan meskipun sedang berihram?”
            “Ya!”
            “Kamu melihatnya?”
            “Ya!”
            “Kamu tidak merasa malu dan ngeri?”
            “Aku hanya ingin tahu sampai dimana manusia berbuat dosa!”
            “Istrinya tidak berusaha menolak?. Padahal istrinya tampak alim dan sepertinya selalu menghadiri majlis taklim.”
            “Istrinya memang berusaha mengelak, berusaha menepis.”
            “Tidakkah istrinya berusaha keluar kamar?”
            “Kamar memang sudah dikunci suaminya. Istrinya tidak berdaya dan dosa yang amat besar itupun akhirnya terjadi.”
            “Mereka berdua terbenam dalam dosa yang sukar untuk ditebus. Sia-sia saja perjalanan mereka ke  Tanah Suci. Percuma saja mereka membuang biaya.”
            Semut betina itu tidak mampu membendung air mata. Semut betina itu menangis. Sebagai betina ia memahami kelemahan kaum perempuan.  Semua perempuan selalu tidak berdaya menghadapi kehendak lelaki. Perempuan selalu menyerah kepada kehendak lelaki. Perempuan selalu tidak berdaya bila dijerumuskan dalam dosa.
            Dengan air mata yang masih berderai sepasang semut itu kembali ke kamar yang dihuni Mbak Retno  yang masih tidur lelap.  Dua ekor semut itu menghirup air zam-zam yang tersisa di bawah meja. Sepasang semut itu juga menikmati sisa roti  dan ayam bakar yang  jatuh di bawah meja. Mereka segera berkemas-kemas masuk ke balik selendang yang melingkar di atas kepala  Mbak Retno.
                                                ***
            Jabal Rahmah sudah ramai  meskipun hari masih pagi ketika sepasang semut hitam itu tiba di sana yang menempel di ujung baju Mbak Retno. Usia hampir tiga puluh menyebabkan  perempuan yang berasal dari keluarga penjual jamu itu  dengan mudah menaiki tangga Jabal Rahmah. Langkahnya masih amat tegar karena ia benar-benar masih enerjik. Padahal masih banyak orang-orang muda  tidak mampu menaiki tangga bukit itu, langkahnya seperti diberati dosa.   Tidak semuanya jamaah dapat mencapai puncak bukit Jabal Rahmah yang dipercaya sebagai tempat yang mujarab untuk berdoa,  untuk mendapatkan jodoh. Sebab di Jabal Rahmah ini dulu Nabi Adam alaihissalam  bertemu kembali dengan Siti Hawa setelah berpisah lebih dari seratus tahun. Bayangkan, betapa amat berat  berpisah selama seratus tahun.
            Di depan tugu yang berdiri kokoh  di puncak bukit itu, Mbak Retno mengangkat tangannya dan ia memulai berdoa.  Tapi sebelum doa itu terucapkan dari celah bibirnya, tangisnya tiba-tiba berderai. Tiba-tiba saja perempuan dari keluarga yang berasal di Yogya  itu  ingat pada seorang  lelaki yang pernah dicintainya yang ia harapkan menjadi teman hidupnya. Ia ingat Bang Fadhil. Ia ingat kebaikannya, ingat cintanya yang amat dalam , ingat pendiriannya yang teguh dan ingat janjinya untuk segera menikah, tapi maut telah merenggutnya.   Seuntai kalung berhiaskan mainan delima merah masih melekat di lehernya..
            Mbak Retno masih mengangkat tangannya dan berusaha untuk melantunkan doa. Airmatapun masih membentuk sungai kecil di pipinya ketika ia menyebut nama Tuhan, juga menyebut nama Bang Fadhil. Setiap gerak bibirnya diperhatikan oleh dua pasang mata mahluk kecil, Ummu Naubah dan Abu Masyghul. Setiap kata yang tercetus dari bibir gadis berumur hampir tiga puluh itu didengar dua ekor semut yang sengaja keluar dari tempatnya bersembunyi. Derai air mata gadis itu juga menjadi perhatian dua ekor semut itu.
            “Ya,Allah. Ya,Rabbi. Ya, Rahman. Ya, Rahim. Ya, khoyul. Ya ,Qoyyum. Ya Dzal Jallali Wal Ikram . Hingga hari ini aku masih selalu menitikkan air mata. Hingga saat ini aku masih selalu menyebut nama Bang Fadhil. Aku sangat mencintainya, tapi Engkau lebih menyayanginya lagi sehingga Engkaupun memanggilnya untuk kembali ke sisi-Mu
            Ia telah meninggalkan aku untuk selamanya,padahal aku sangat mencintainya. Ia telah pergi untuk selamanya dan membiarkan aku dalam kesendirian. Ia telah pergi dan tidak akan pernah kembali dan membiarkan aku selalu dalam kerinduan.
            Di tempat ini, di Jabal Rahmah, aku mohon kepadaMu, perkenankan aku menemukan seseorang  yang baik seperti Bang Fadhil. Aku rela ia meninggalkan aku, tapi jangan biarkan aku selalu sendirian tanpa siapapun. Perkenankanlah aku mendapatkan seorang lelaki yang  mirip dengan Bang Fadhil. Izinkan aku mendapatkan seorang sahabat yang hatinya lembut dan penuh kasih sayang. Perkenankan aku mendapatkan seorang lelaki yang akan menjadi teman hidupku yang setia. Izinkan aku mendapatkan pengganti Bang Fadhil yang akan membahagiakan hidupku. Perkenankan aku mendapatkan seorang teman hidup  yang mengerti diriku, yang selalu di sisiku dalam suka dan duka.           
            Di sini, di Jabal Rahmah, di sini dulu Nabi Adam bertemu kembali dengan Siti Hawa setelah berpisah lebih dari seratus tahun, karena itulah aku memohon kepadaMu,  pertemukan pula aku dengan seseorang yang  dapat membangun sebuah kebahagiaan. Perkenankan aku mendapatkan jodoh yang baik. Jangan biarkan aku hidup dalam kesendirian. Pertemukan aku dengan  seseorang. Amien.”
            Ketika menyebut nama Bang Fadhil, tangan Mbak Retno menyentuh kalung yang melingkar di lehernya. Delima merah yang menjadi hiasan kalung itu tiba-tiba bersinar. Sepasang semut yang selalu mendampinginya selama di Tanah Suci melihat sinar yang amat indah dari mainan kalung itu. Abu masyghul terheran-heran .
            “Lihat,Naubah. Delima merah di kalung itu bersinar di leher Mbak Rento,” ujar Masyghul kepada semut betina di sisinya.
            “Malaikat melihat kalung itu. Tuhan mendengar  doa Mbak Rento. Insya Allah Tuhan akan mengabulkan doa itu dan suatu saat akan datang seseorang yang akan menggantikan Bang Fadhil di sisinya,”  sahut Naubah.
            Gadis itu tidak menyadari, ada mahluk lain mendengar ungkapan hatinya. Amat banyak malaikat mendengar doanya dan mengaminkannya. Bahkan dua ekor semut hitam  yang selalu bersamanya juga mengaminkan doa itu. Langitpun bagaikan tergetar mendengar doa  gadis itu. Apa lagi ketika di puncak Jabal Rahmah  itu dia menyentuh delima merah yang menjadi hiasan kalung itu. Angin  yang sedang berhembuspun mendengar doa itu dan menyebar kemana-mana agar seluruh malaikat mendengar dan mengaminkan doa itu. Awan putih yang berarak di langit biru, juga berarak-arak  menyebar  ke segala penjuru agar  seluruh malaikat di surga dan di bumi menyampaikan doa itu kepada Allah.
            Tuhanpun memang mendengar setiap kata  yang diucapkan gadis itu. Allah mendengar setiap kata-kata tentang kerinduan dan tentang  kasih sayang yang dilantunkan gadis dari keturunan keluarga penjual jamu gendong..
            Air mata masih mengalir dipipinya ketika gadis itu menuruni bukit yang masih dipenuhi jamaah yang berdoa memohon jodoh untuk anak-anak mereka, juga orang-orang yang memohon jodohnya sendiri. Seperti halnya doa seorang janda yang sudah tiga tahun menyendiri karena suaminya direnggut diabetes. Juga seorang gadis berumur empat puluh yang pacarnya direnggut kecelakaan lalu lintas. Masih ribuan, bahkan lebih banyak lagi orang-orang-orang dari seluruh pelosok dunia yang memohon jodoh di Jabal Rahmah itu.
            Kesedihan memang amat mendalam di dasar hati Mbak Retno sejak ia menjejakkan kakinya di  Jabal Rahmah.  Wajah almarhum Bang Fadhil selalu hadir di pelupuk matanya. Kerinduan  terhadap Bang Fadhil amat melekat di dasar hatinya,  padahal lelaki itu sudah direnggut maut karena tusukan belati oleh tiga orang penjahat.  Bagaimana mungkin ia dapat bertemu dengan seseorang yang sudah meninggal?. Mbak Retno berharap biarlah Bang Fadhil sudah meninggal, tapi Tuhan memperkenankan ia bertemu dengan seorang yang mirip Bang Fadhil, seorang lelaki yang penuh kasih sayang, seorang lelaki yang selalu sabar dan dapat membahagiakan hidupnya. Yang lebih ia harapkan adalah lelaki yang tidak pernah lalai dalam hal ibadah. Mbak Retno amat berharap ia dipertemukan Tuhan dengan lelaki yang beriman teguh, seperti halnya Bang Fadhil  yang dididik orang tuanya dengan pendidikan agama, juga didikan Mualim Bukhari di Sumatera.
Airmata masih bergulir di pipinya ketika ia hadir kembali di pelataran Masjidil Haram  dan ia amat bersyukur dapat menemukan tempat di depan Multazam, sebuah tempat yang dikenal sebagai tempat yang paling  makbul untuk berdoa. Sejenak ia bersimpuh, menatap Ka’bah dan pandangannya lurus ke arah Multazam.  Bibirnya berkomat-kamit melantunkan  zikir dan tasbih.  Sepasang semut hitam yang amat setia menemaninya  dan gadis itu tidak pernah lagi untuk berusaha menepiskan, apalagi untuk membunuhnya juga ikut bersimpuh di depan Multazam.  Ia  membiarkan semut itu menjalar diselendangnya, menjalar di lengan bajunya, bahkan menjalar di tangannya. Iapun membiarkan semut-semut itu merayap  di atas sajadah, tepat di depannya.  Dua ekor semut itu seperti ikut bersimpuh, ikut bersujud, ikut berdoa untuk Mbak Retno.  Sepasang semut itu amat ingin Mbak Retno menemukan kebahagiaannya. Dua ekor semut itu amat ingin Mbak Retno menemukan jodohnya, sebagai ganti Bang Fadhil yang sudah direnggut kematian.   Sepasang semut itu juga ingin Mbak Retno segera menemukan teman hidupnya dan tidak sendiri lagi. Kasihan kalau gadis itu sendiri terus sementara abi dan umminya serta adiknya sudah meninggalkannya karena kecelakaan kereta api.
            Tangan gadis itu menyentuh Qur’an dan membuka surat Ar Rahman. Ketika membaca surah itupun , sejenak bayangan wajah Bang Fadhil membersit di benaknya. Air matapun bergulir lagi di pipinya. Sekali lagi dan sekali lagi Mbak Retno menyentuh kalung pemberian Bang Fadhil di lehernya, tepat pada mainannya, delima merah.
            “Ya,Tuhan. Tabahkan hatiku , kuatkan jiwaku karena kehilangan seorang lelaki yang amat kucintai. Perkenankan aku mendapatkan penggantinya,” itulah doanya  ketika lembaran Qur’an sudah terbuka di depannya, tepat pada lembaran surah Ar Rahman.  Derai tangisnya menyebabkan setetes air mata jatuh di lembaran itu.
            Sebuah mukjizat Tuhan seakan turun ke muka bumi, turun di depan Ka’bah, tepat di depan Multazam. Sebuah jari  tangan yang kukuh   terlihat menjulur dan menyeka air mata yang membasahi lembaran Qur’an, tepat di surah Ar Rahman. Tidak hanya jari tangan yang menyeka tetesan air mata di lembaran Qur’an itu, tapi  Mbak Retno juga merasakan dengus nafas seorang lelaki. Mbak Retno juga mendengar bisikan seorang lelaki di telinga kanannya.
            “Jangan menangis terus, Retno.  Jangan menitikkan air mata lagi,sayang,”  tidak hanya Mbak Retno yang mendengar bisikan itu, dua ekor semut yang sedang bersimpuh di atas sajadah alasnya bersujud juga mendengar suara itu meskipun amat lirih.  Sepasang semut memang ditakdirkan Tuhan memiliki indra yang amat sensitif. Di atas kepala setiap semut seperti ada sebuah antenna sehingga dapat mencium bau makanan meskipun berada di tempat jauh. Setiap semut dapat menangkap getaran suara paling halus sekalipun.
            Mbak  Retno tidak mampu menoleh ke sisi kanannya dan matanya yang basah masih menatap lembaran Qur’an. Malaikatkah yang menghampiriku?. Malaikatkah yang datang menghampiriku pada saat ini?.  Darahnya berdesir-desir, jantungnya berdebar keras.
            “Ya,Tuhan. Adakah Engkau menurunkan malaikat  ke bumi  yang turun menghampiri diriku dan tangannya menyeka air mataku di lembaran Qur’an?,”  terdengar suara Mabk Retno.
            “Bukan!. Bukan malaikat!,’  terdengar lagi bisikan di telinga kanannya,bisikan seorang lelaki.
            “Manusiakah?”  tanya Mbak Retno dan masih menunduk, masih memandang ke  arah lembaran Qur’an di depannya.
            “Ya,manusia biasa!”
            “Manusia siapakah yang menghampiriku?”
            “Kau pasti mengenalnya, Retno.  Kau pasti sangat mengenalnya, karena kau sangat merindukannya.”
            “Siapa?,”  Mbak Retno belum mampu menoleh ke arah kanan.
            “Kau pasti mengenalnya!”
            Mbak Retno masih menunduk.
            “Jangan menunduk terus, tataplah aku,Retno. Bukankah kau merindukan seseorang sudah terlalu lama?. Sekarang mahluk yang amat kau rindukan itu ada di sisimu. Angkatlah wajahmu, tataplah aku!”
            Perlahan sekali  Mbak Retno mengangkat wajahnya, perlahan sekali ia memandang lelaki yang tiba-tiba hadir di sisinya.  Sebuah nama tiba-tiba saja tercetus dari celah bibirnya amat lirih.
            “Bang Fadhil!”
            Lelaki itu tersenyum, tapi  Mbak Retno merasakan tubuhnya gemetar. Ia bagaikan sedang mimpi.
            “Mimpikah aku?” cetus Mbak Retno lagi dan  tidak percaya pada tatapan matanya . Ia tidak percaya pada dirinya sendiri, bahwa di sisinya berdiri seorang lelaki kelahiran Sumatera yang dulu sudah mati ditusuk penjahat.
            “Kamu tidak mimpi, sayang.”
            “Tapi Bang Fadhil sudah lama meninggal.  Seseorang yang sudah almarhum tidak mungkin lagi hadir di sini.  Mayat Bang Fadhil sudah dibuang ke dalam sungai lalu orang-orang tidak dikenal itu menghanyutkan mayat itu hingga ke laut dan menjadi santapan buaya dan mahluk air lainnya.”
            “Itu tidak benar,Retno!, “sahut lelaki  gagah yang tiba-tiba muncul di sisinya. 
            “Bang Fadhil  sudah menghadap Tuhan. Tidak mungkin ia hadir di sini. Aku pasti sedang menghadapi malaikat yang  tampil menyamar sebagai Bang Fadhil”
            Airmatapun berderai lagi ketika lelaki itu tiba-tiba hadir di sisinya, menyeka air matanya dan berkata-kata kepadanya.  Mbak Retno  merasa tidak mungkin hal itu terjadi.  Ia merasa dalam mimpi. Ia merasa didatangi malaikat yang mirip dengan Bang Fadhil.  Iapun mengucapkan istighfar berkali-kali dan bibirnya bergetar lirih:
            “Ya,Tuhan. Jangan biarkan aku dalam keraguan. Jangan biarkan aku hanyut dalam mimpi indah. Tunjukkan kepadaku hal-hal yang sebenarnya. Malaikat apakah yang kini sedang berada di sisiku dan amat mirip dengan seorang lelaki yang pernah sangat kucintai, yakni Bang Fadhil?”
            Tiba-tiba saja  lelaki yang baru hadir di sisinya menyentuh jari-jari tangannya. Sentuhan itu terasa hangat, penuh kasih sayang, penuh cinta kasih yang sebenarnya. Sentuhan di jari tangannya terasa hangat, persis seperti sentuhan tangan Bang Fadhil ketika masih hidup dulu.  Ketika  jari tangan Mbak Retno diremas lelaki di sisinya juga ia rasakan semesra ketika Bang Fadhil meremasnya dulu, penuh kasih sayang. Dengus nafas yang ia rasakan di sisi telinganya juga persis dengus nafas Bang Fadhil ketika masih hidup dulu.
            “Malaikat apakah  yang  menggoda di sisiku?,”  ucapan itu terdengar berkali-kali, bergetar dari bibir Mbak Retno.
            “Demi Tuhan, yang hadir di sisimu bukan malaikat, tapi Bang Fadhil!”
            “Rasanya tidak mungkin!. Demi Tuhan tidak mungkin, karena ia sudah pergi untuk selamanya menghadap Tuhan. Ia sudah meninggal. Jenazahnya sudah hanyut hingga ke laut!””
            Perlahan sekali lelaki itu mendekatkan wajahnya dan dengan penuh kasih sayang lelaki itu mengecup keningnya.
            “Terimalah ciumanku,Retno. Tandanya aku benar-benar Bang Fadhil, tandanya aku belum mati, tandanya aku masih hidup  dan selalu memikirkan dirimu,”  terdengar suara lelaki itu.  Mbak Retno masih termangu,  masih ada perasaan ragu-ragu. Padahal suara itu benar-benar mirip dengan suara Bang Fadhil ketika masih hidup dulu.
            “Kau dengar suaraku,Retno?”
            Gadis itu mengangguk lirih.
            “Benar-benarkah kau dengar suaraku?”
            “Aku mendengarnya!”
            “Masih mirip suaraku yang dulu, bukan?”
            Sekali lagi gadis itu menangguk lirih.
            “Kamu rasakankah jari tanganmu kugenggam erat?”
            “Aku merasakannya,”  sahut Mbak Retno.
            “Masihkah kau rasakan sehangat dulu?”
Mbak Retno mengangguk dan membiarkan jari tangannya digenggam amat erat oleh lelaki  yang tiba-tiba hadir di sisinya.
            “Masihkah sehangat dulu?”
            “Ya!”
            Perlahan sekali  lelaki itu mencium pipi Mbak Retno dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih.
            “Kamu rasakan kecupanku,sayang”
            “Aku merasakannya”
            “Masihkah sehangat dulu?”
            Mbak Retno menggangguk.
            “Sekarang tataplah aku dalam-dalam!,”  pinta lelaki yang tiba-tiba saja muncul di sisinya seperti sebuah keajaiban. Seperti dalam mimpi. Kedatangan lelaki itu bagaikan kedatangan  malaikat yang turun ke bumi, apalagi saat itu ia sedang berada di dalam Masjidil Haram, tepat di depan Multazam dan semua doa dikabulkan di sana.
            Mbak Rento menatap wajah lelaki di sisinya.
            “Tataplah aku lebih lama!”
            Mbak Retno masih menatap amat dalam dan lebih lama. Ia mendengar suara lelaki itu lagi:
            “Masihkah seperti dulu?.”
            “Ya,masih seperti dulu. Tatapan mata Bang Fadhil masih amat dalam dan menembus hingga ke dasar hati saya yang paling dalam.”
            “Itu tandanya aku benar-benar Bang Fadhil yang kamu anggap sudah meninggal karena ditusuk penjahat. Itu tandanya kamu tidak mimpi, tapi yang kamu hadapi adalah kenyataan.  Yang ada disisimu bukanlah malaikat, tetapi Bang Fadhil yang selalu memikirkan dirimu dari tempat yang sangat jauh”
            Tiba-tiba saja Mbak Retno rebah di dada lelaki itu. Ia membiarkan lelaki itu mendekapnya erat dan mengusap rambutnya.
            “Dekapanmu masih seperti dulu,Bang Fadhil!”
            ”Itu tandanya  kamu tidak mimpi.”
“Apakah yang terjadi adalah sebuah keajaiban yang jarang terjadi di muka bumi?”
            “Tidak!. Yang kamu hadapi adalah dunia nyata. Kamu hanya menganggap aku sudah mati, padahal yang terjadi tidaklah demikian!”
            “Aku masih ingat benar  ketika malam itu Bang Fadhil mengantar penumpang langgananmu yang paling setia dan seorang dermawan, Bu  Martha,”  ucap Mbak Retno mengenang tragedi masa silam.
            “Ya, saat itu Bu Martha  memang membawa uang tunai dalam jumlah yang banyak dan juga sejumlah permata berharga jutaan rupiah. Penjahat memang sudah lama mengintai dirinya untuk dijadikan mangsa. Aku dan Bu Martha dihadang di tengah jalan yang sepi dekat jembatan.”
            “Dan Bu Martha tidak berdaya menghadapi tiga orang pejahat bersenjata?. Begitukah?”
            Lelaki itu mengangguk.
            “Aku hanya seorang penarik ojek. Kebaikan Bu Martha sungguh amat besar kurasakan. Aku tahu benar, Bu Martha adalah seorang bendahara sebuah gereja Katolik.  Bu Martha adalah seorang pengurus gereja dan kebaikan hatinya  sangat terkenal di kalangan para jamaat gereja itu. Kebaikannya juga diakui semua warga meskipun bukan penganut Nasrani. Sepantasnya aku melindungi dirinya dari pejahat itu. Nuraniku tergerak untuk menyelamatkan hartanya, untuk melindungi dirinya. Apalagi aku tahu benar, bahwa uang dalam tasnya bukanlah milik pribadi, tetapi milik ummat para jamaat gereja.”
                                     ***
Tangan lelaki itu masih menggenggam jari tangan Mbak Retno ketika bercerita pajang lebar tentang  penumpang langganannya yang bernama Bu Martha, seorang janda dan suaminya adalah seorang aktivis gereja tetapi meninggal ketika pesawat Cessna  yang ditumpangnya jatuh di Papua. Semua penumpang dan awak pesawat itu tewas dan jenazah mereka baru dapat dievakuasi lima hari kemudian karena kondisi medan  yang tidak bersahabat.  Selama ini ,sebelum kecelakaan pesawat itu terjadi , suami Bu Martha memang selalu menelusuri bumi Papua  sesuai dengan misi agamanya. Warga Papua yang selama ini menyembah pohon, patung, gua, gunung dan benda-benda lainnya akhirnya satu demi satu menjadi penganut Kristen. Jasa suami Bu Martha terhadap  agamanya amat besar.
Jamaat gereja masih memberi kepercayaan kepada Bu Martha sebagai pengganti suaminya, sebagai bendahara.  Bedanya, Bu Martha tidak pernah terbang menjelajah bumi Papua untuk misi agamanya. Tapi Bu Martha selalu hadir di gereja melaksanakan kebaktian minggu..
“Saya juga tidak menduga Bu Martha ternyata mengemban misi gereja. Saya tidak menduga, bahwa Bu Martha adalah seorang aktivis Kristiani!,”  cetus Mbak Retno menyela  kata-kata  Bang Fadhil.
            “Pada awalnya aku juga menganggapnya seorang muslimah.. Aku  menduga, bahwa Bu Martha adalah seorang muslimah yang baik hati, sampai suatu saat aku melihatnya keluar dari salah satu gereja. Bu Marthapun tidak ingin berbohong. Ia berterus terang tentang keyakinannya.  Ia berterus terang, bahwa ia bukan seorang penganut Islam, tapi aku tidak menyesalinya”
            Mbak Retno menekur dan membiarkan lelaki di sisinya melanjutkan kata-katanya tentang Bu Martha:
            “Saat itu aku ikut mempertahankan tas yang disandangnya karena didalamnya ada uang milik masyarakat jamaat gereja. Aku tidak memiliki senjata apapun sementara tiga orang penjahat yang menghadang bersenjatakan belati, pisau sepatu dan kelewang.”
            “Keberanian Bang Fadhil tiba-tiba timbul, begitukah?,”  tanya Mbak Retno.
            “Aku benar-benar tidak memikirkan risiko. Aku  tidak gentar sedikitpun  hingga perkelahian dua lawan satu berlangsung di tempat sepi, sementara seorang lagi penjahat  berusaha merebut tas milik Bu Martha.”
            “Lalu penjahat itu berhasil merebut tas itu?”
            “Bu Martha tidak berdaya.”
            “Lalu bagaimana Bang Fadhil menghadapi penjahat yang bersenjata itu?”
            “Aku melawan semampuku. Beberapa kali aku mampu mengelakkan tusukan belati. Tapi aku tidak berdaya ketika seorang penjahat lagi mengayunkan kelewang dari arah belakang. Aku tersungkur dan pada saat itu, sebilah belati  membuat ususku  terburai dan darahpun mengucur amat banyak.”
            “Saya mendengar kabar, bahwa jasad Bang Fadhil dibuang ke  sungai.”
            “Ya, aku tidak berdaya dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.”
            “ Media massa memberitakan, bahwa jasad Bang Fadhil dibuang ke sungai hingga dihanyutkan arus  ke laut lalu menjadi santapan buaya.”
            “Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi karena luka yang terlalu parah dan darah terlalu banyak mengucur.”
            “Saat itu saya menangis tidak henti-hentinya. Saya telah kehilangan dirimu.  Kepergianmu tanpa pamit dan andainya jasadmu ditemukan, pasti saya yang akan membawanya ke surau untuk dimandikan, untuk dikafani, untuk disholatkan kemudian dikembumikan dengan layak.”
            “Demi Tuhan,  aku seperti menghadapi sebuah keajaiban  Malaikat Izrail, belum ingin mendekat kepadaku. Tuhan masih melindungi diriku. Ternyata nyawaku masih ada dalam jasadku yang penuh luka tusukan, hingga kawan-kawan sesama penarik ojeg  memberikan pertolongan.  Pada saat itulah aku menyadari, bahwa tidak ada penarik ojeg yang hidup senang. Tidak ada penarik ojeg yang hidup kaya. Tapi  rasa persaudaraan amat besar dalam diri setiap penarik ojeg.  Semua merasa senasib sepenanggungan. Sesama penarik ojeg menyadari, bahwa pada saat rekannya dalam kesulitan, semua akan memberikan uluran tangan. Tidak kurang dari enam orang penarik ojeg  mengantar diriku ke rumah sakit  dan syukurlah pertolongan dokter segera datang. Aku membutuhkan transfusi darah yang tidak sedikit.”
            “Para penarik ojeg itukah yang memberikan sumbangan darah? Merekakah yang mencari dana untuk membeli darah yang saat ini amat mahal?”, Mbak Retno menyela lagi.
            “Bukan!. Bukan demikian.!”  ujar lelaki di sisi Mbak Retno lagi. “Mereka hanya mengantarku ke rumah sakit, tapi yang memberikan sumbangan darah dan dana adalah seorang dermawan.”
            “Siapakah dermawan itu?”
            “Dermawan itu adalah Bu Martha!”
            “Alhamdulillah, selalu ada saja orang-orang yang mengulurkan tangan kepada Bang Fadhil. Itu tandanya Bang Fadhil seorang umat yang baik.”.”
            “Bu Martha bukanlah  seorang  muslimah, tetapi kebaikannya sungguh amat besar terhadapku.  Ia tidak hanya  menyumbangkan darah, tidak hanya memberikan dana. Bu Martha juga memberikan doa.”
            “Doa secara Kristen, tentunya.”
            ‘’Ya.  Bu Martha meyakini   doa itu yang  menyembuhkan aku dari luka-luka parah.  Doa di gereja itu diyakininya  menolong aku terhindar dari kematian. Bu Martha tetap meyakini, bahwa Bapa di Surga telah menyelamatkan nyawaku dari kematian.”
            Sesaat Mbak Retno menekur lagi . Seorang non muslim telah mengulurkan tangan, telah membantu demikian banyak dan juga doa secara non muslim pula. Tetapi itulah pertolongan Tuhan. Tanpa pertolongan itu, pasti Bang Fadhil sudah benar-benar mati, sudah dihanyutkan arus sungai hingga ke laut, hingga jasadnya jadi santapan buaya.  Dan sekarang lelaki itu dalam keadaan segar bugar dan tiba-tiba muncul di sisi Mbak Retno ketika ia bersimpuh di depan Ka’bah, tepat di depan Multazam.  Doa Mbak Retno,doa  dua  ekor semut yang selalu menyertai perjalanan spiritual Mbak Retno benar-benar dikabulkan Tuhan.  Lelaki itu belum mati. Lelaki itu masih hidup karena pertolongan seorang perempuan yang berakidah lain.  Lelaki itu sekarang ada di sisi Mbak Retno dan menggenggam jari-jemari tangan Mbak Retno.
            “Amalan ilmu bela diri yang diberikan Mualim Bukhari tidak sia-sia kuamalkan,” cetus Bang Fadhil lagi. Dan Mbak Retno tetap ingat ucapan lelaki itu tentang amalan untuk menjaga diri,apalagi untuk hidup di sebuah kota besar. Dia ingat Bang Fadhil pernah berkata tentang surah At Taubah ayat 128-129.
            “Tanpa amalan itu nyawaku sudah melayang karena luka-luka yang kuderita.”
            “Syukurlah, Bang Fadhil berhutang budi kepada Ustaz Bukhari.”
            “Kamu juga harus maklum, bahwa Bu Martha pernah menolong menyelamatkan nyawaku sebagai ungkapan rasa syukur, bahwa tas miliknya yang penuh uang jamaah gereja dan sejumlah permata tidak sempat hilang. Penjahat yang menghadang kami ternyata mengalami nasib sial, mereka sedang mabuk hingga sepeda motornya menabrak bus dan polisipun menangkapnya. Tas milik Bu Martha ditemukan kembali dalam keadaan utuh.”
            “Pertolongan Tuhan selalu  ada saja dimanapun.”
            “Kebaikan Bu Martha memang amat banyak dan aku tidak pernah melupakannya. Setelah aku sehat, Bu Martha membawaku ke kampung halamannya dan aku juga diajak ke makam suaminya di Halmahera.”
            “Sungguh amat jauh kampung halaman Bu Martha.” cetus Mbak Retno.
            “Ya,sangat jauh. Tapi ia selalu pulang karena di  Halmahera ia juga memiliki usaha.”
            “Bang Fadhil ikut menaburkan bunga  di makam suami Bu Martha?,”  tanya Mbak Retno dan menatap wajah lelaki yang pernah dianggapnya sudah mati.
            “Ya, aku juga ikut menyiramkan air mawar. Kubur  itu  jadi menyebarkan bau harum. Dan tandanya suami Bu Martha adalah orang yang baik, sebagai panutan, sebagai pemuka agamanya di pedalaman Papua, kuburnya selalu bersih, tak ada seekorpun kecoa dan lalatpun tidak ada yang mendekat.”
            Sesaat Mbak Retno termenung. Dua ekor semut yang selalu berada di sisinya tertegun mendengar liku-liku perjalanan hidup yang dialami oleh lelaki  kelahiran Sumatera yang dikabarkan tewas di tangan penjahat, tetapi ternyata nyawanya masih bersisa, masih dilindungi Tuhan. Bahkan sekarang lelaki iu sedang berada di Tanah Suci lalu Tuhan mempertemukannya dengan Mbak Retno di depan Multazam,persis di depan Ka’bah. Sungguh seperti sebuah mukzizat.
            “Berhari-hari aku berada di Halmahera bersama Bu Martha.” ujar lelaki itu lagi.
            “Bang Fadhil tidak minta pulang?”
            “Bu Martha tetap meminta agar aku tidak buru-buru meninggalkannya. Apalagi saat itu ibunya sudah tua dan menderita stroke,padahal ibunya memiliki perkebunan lada dan pala, sementara ayahnya memiliki usaha  dibidang perhotelan yang sedang berkembang pesat.”
            “Kalau  begitu Bu Martha berasal dari keluarga yang sukses di daerah kelahirannya.”
“Tiap orang yang berasal dari bagian Timur pasti mengenal keluarga itu”
“Dan ibunya akhirnya meninggal di Halmahera?”
            “Ya!. Jamaat amat banyak saat mendiang ibunya diantar ke kubur.”
            “Ikutkah Bang Fadhil dalam acara pemakaman itu?”
            “Ya, aku hadir diantara iring-iringan panjang pengantar jenazah dan Bu Martha selalu berada di sisiku.”
            “Tangan Bu Martha berpegang pada lengan Bang Fadhil?,”
            “Ya,karena ia merasa tidak kuat ditinggalkan  ibunya.”
            Ada perasaan cemburu di dasar hati Mbak Retno, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan lelaki itu menuturkan pengalamannya.
            “Tiap hari minggu Bu Martha menghadiri kebaktian di gereja  dan selalu memintaku agar mengantarnya.”
            “Dan Bang Fadhil benar-benar mengantarnya?. Bang Fadhil tidak merasa sungkan karena Bang Fadhil adalah seorang Muslim yang taat beribadah sementara Bu Martha penganut agama lain?”
            “Aku memang mengantarnya, tapi hingga sampai pintu pagar gereja. Aku menjemputnya kembali setelah kebaktian selesai. Bu Martha selalu mengajakku makan siang di restoran setelah keluar dai gereja. Kami minum juis bersama dan lama berbincang-bincang. Tidak hanya itu, Bu Martha juga mengajakku ke pinggir laut.”
            “Apa yang dilakukan Bu Martha di pinggir laut?.”
            “Hanya duduk-duduk.”
            “Hanya itu?,”  Mbak Retno seperti menyelidik. Ada perasaan cemburu di dasar hatinya yang paling dalam.
            “Tidak!”
            “Lalu apa lagi yang dilakukannya?”
            ”Ia membuat istana dari pasir.”
            “Lalu apa yang dikatakannya tentang istana dari pasir yang dibangunnya?”
            ”Ia katakan ingin membangun sebuah istana untukku.”
            ”Hmmmm,”  Mbak Retno bergumam.  Rasa cemburu tumbuh semakin besar di rongga hatinya.
            ”Aku tidak mampu mengelak ketika ia merebahkan kepalanya di dadaku.”
            “Sepertinya Bu Martha  tertarik kepada Bang Fadhil.. Rasanya ia jatuh cinta kepada Bang Fadhil,”  sela Mbak Retno dengan perasaan cemburu yang semakin membesar  di relung hatinya.
            “Aku memang  merasakan hal itu. Aku tahu ia jatuh cinta kepadaku melalui sinar matanya yang menatapku teramat dalam hingga menembus hatiku. Apalagi ketika  di pantai, ketika kami duduk menghadap laut, ia merebahkan kepalanya di dadaku dan ia menarikkan tanganku agar aku membelai tubuhnya ,agar aku memeluknya .”
            “Bang Fadhil melakukannya?”  hati Mbak Retno semakin dibakar cemburu.
            “Aku melakukannya, karena aku  merasa berhutang budi kepadanya. Bukankah ia telah menyelamatkan diriku dari kematian?. Kalau tidak ada Bu Martha,aku sudah di alam akhirat.”
            “Bu Martha juga berharap Bang Fadhil menciumnya.”
            “Ia memang pasrah.”
            Mbak Retno seperti menahan tangis, tapi ia masih mampu membendung air mata agar tidak bergulir di pipinya.
“Saya amat sedih mendengarnya.  Sementara saya merasa kehilangan dirimu,  hati saya hancur berkeping-keping, tapi Bang Fadhil bersama orang lain.” sela Mbak Retno dan menahan tangis.
“Tunggu dulu,Retno. Aku belum selesai mengatakan segalanya tentang Bu Martha. Perjalanan hidupku bersama wanita non muslimah itu masih amat panjang  dan kamu harus mendengarnya.  Akupun harus mengatakan semuanya, karena aku sangat mencintaimu.”
            “Teruskan!. Saya akan mendengar setiap kata yang Bang Fadhil katakan tentang Bu Martha.” ucap Mbak Retno  dan yang mendengar penuturan itu tidak hanya Mbak Retno, tapi sepasang semut hitam yang duduk bersimpuh di depan Mbak Retno juga ikut mendengarnya.
            “Kamu tahu apa yang diharapkan  Bu Martha dariku?. Kamu tahu apa yang diinginkan perempuan kelahiran Halmahera itu dariku?,”  terdengar lagi suara lelaki kelahiran Sumatera itu.
            “Pasti yang diharapkan dari Bang Fadhi hanya setetes cinta. Yang  diinginkan darimu hanya setitik kasih sayangmu.”  sahut Mbak Retno.
            ‘Tidak!. Tidak hanya cinta. Tidak hanya kasih sayang.”
            “Lalu apa lagi yang diharapkan darimu?”
            “Sesuatu yang mustahil dapat kupenuhi?”
            “Apa yang dipintanya darimu?”
            “Ia berharap agar aku memeluk agamanya kemudian menikah”
            “Astaghfirullah,” gumam Mbak Retno. “Bu Martha berharap Bang Fadhil murtad. Dia meminta Bang Fadhil menjadi pemeluk Kristiani,”
“Yang sangat ia harapkan agar aku menjadi pemeluk agama yang dianutnya, agar aku menjadi pemeluk Kristen.”
“Ya, ampun!,”  bibir Mbak Retno berdecap-decap dan bulu romanya berdiri  mendengar ucapan itu.
            “Aku sama sekali tidak menduga hal-hal yang diharapkan dariku sejauh itu.”
            “Tidakkah hati Bang Fadhil memberontak karena keinginan Bu Martha?”
            “Sejak kecil , aku diasuh dan dididik oleh ayah bundaku untuk menjadi seorang muslim yang memiliki sifat istiqomah, aku sudah terbiasa untuk senantiasa berpegang teguh pada pendirian. Aku dilahirkan dari rahim keluarga yang taat pada Islam.”
            Di depan Mbak Rento, lelaki yang selama ini dianggap sudah mati itu mengucapkan ayat Qur’an  Surah Al Imran yang mengingatkan orang-orang yang beriman , bertakwalah kepada  Allah dengan sebenar-benar  takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali umat manusia  mati  melainkan  dalam keadaan  beragama Islam.
            “Ayat itu membuat takwa dalam diriku semakin kental dan tidak mungkin aku beralih akidah meskipun kebaikan dan pertolongan Bu Martha amat banyak. Aku tidak akan murtad meskipun ia sudah menyelamatkan nyawaku. Aku tidak akan ikut agamanya meskipun seandainya tidak ada Bu Martha aku sudah jadi penghuni kubur dan menjadi santapan cacing tanah.”
            “Aku kagum kepadamu,Bang Fadhil.  Sulit untuk kubayangkan bagaimana akhirnya kalau Bang Fadhil akhirnya beralih akidah dan menikah dengan Bu Martha.” cetus Mbak Retno dengan polos.
            “Aku menolak. Aku berusaha menghindar meskipun dengan cara yang paling lembut dan halus. Aku berusaha untuk menyingkir karena aku menganggap Bu Martha memiliki   misi khusus,apalagi suaminya  memang seorang misionaris yang selalu berkelana di Papua , sementara Bu Martha sendiri adalah seorang pengurus gereja yang fanatik. Ia selalu mondar-mandir antara Pulau Jawa dan Halmahera tidak hanya untuk urusan bisnisnya, tapi juga dalam rangka kepentingan agamanya.”
            “Saya bangga kepada Bang Fadhil..”
            “Tapi Bu Martha tidak ingin kehilangan diriku. Ia merasa cintanya terhadapku sudah teramat dalam.  Setelah  ibunya meninggal ia mengajakku untuk sama-sama mengelola salah satu hotel yang diwariskan dari ayahnya. Aku tidak mampu mengelak kalau sekedar untuk mengelola sebuah  hotel, tapi untuk pindah agama aku tetap berkata tidak.”
            “Dan hotel itu berkembang di tangan Bang Fadhil  bersama Bu Martha.”
            “Tanganku bersama Bu Martha memang dingin. Hotel itu berkembang pesat dan sempat membuka hotel lagi di Makassar dan Manado,”
            “Tangan Bang Fadhil memang dingin dan bertuah.”
            “Rasanya tidak sia-sia aku kuliah di jurusan pariwisata sehingga tidak canggung mengelola hotel. Tapi tidak hanya  itu. Bila ia berharap agar aku memeluk agamanya, justru aku juga berharap agar ia menjadi seorang muslimah, seperti hanya dirimu,Retno.  Sambil mengelola beberapa hotel, sedikit demi sedikit aku berusaha menggugah hatinya agar Bu Martha menjadi seorang penganut Islam. Tiap saat  aku selalu mengajarinya tentang ayat-ayat Qur’an.  Aku selalu mengatakan, bahwa Islam itu bersih. Islam itu suci. Islam itu indah. Islam itu lembut. Bahwa Islam itu manis.”
            “Tergugahkah hatinya?”
            “Itulah yang amat kusyukuri. Meskipun yang kuajarkan kepadanya hanya beberapa huruf, meskipun hanya alif, lam dan mim, tetapi maknanya meresap dalam hati sanubarinya, yakni  hanya Allah yang  mengetahui. Tanyalah ayat berikutnya dari surah Al Baqarah apa makna ayat kedua, pasti ia menjawab dengan pas, bahwa  itulah al Kitab. Tidak ada keraguan padanya , petunjuk bagi orang-orang  yang bertakwa.”    
            “Nur Ilahy telah masuk ke dalam sanubari Bu Martha. Itulah sebabnya ia mudah menyerap arti ayat-ayat Qur’an. “
            “Itulah yang membuat aku tidak ingin meninggalkannya.  Ia akhirnya berikrar mengucap dua kalimah syahadat. Ucapkanlah  surat Fatihah kepadanya, pasti ia akan berkata bahwa itu adalah Mahkota  Tuntunan Ilahi, bahwa itu adalah Ummul Qur’an, bahwa itu adalah Ummul Kitab  atau as Sab’ al Mathsani!”
            “Kukira langitpun  bergetar ketika Bu Martha akhirnya menjadi seorang muslimah.”
“Aku bangga dan aku bersyukur, seorang penganut Nasrani yang fanatik akhirnya menjadi seorang muslimah dan namanya  bukan lagi Bu Martha,”
“Lalu Bang Fadhil sendiri yang memberinya nama muslimah?”
”Ya, aku , namun mendapat restu dari para ulama yang bermukim di Halmahera. Nama  Bu Martha  menjadi  Ummi Masyitah.”
“Sebuah nama yang indah, nama seorang perempuan yang bersikap istiqomah dan rela dimasukkan ke kancah berisi air mendidih oleh Fir’aun demi imannya yang amat kukuh. Masyitah tetap teguh pendiriannya tidak mau mengakui Fir’aun sebagai Tuhan”
“Ia memang seorang Masyitah sejati. Betapa ia terlihat amat cantik ketika mengenakan jilbab.”
“Tidakkah ia merasa tersingkir dari ayah dan saudara-saudara lainnya yang masih non Islam?”
”Reaksi memang ada, tapi cuma sebatas riak-riak kecil dan belum sempat menjadi gelombang besar.”
Panjang lebar Bang Fadhil menuturkan tentang Bu Martha yang kemudian bernama Masyitah dan selalu hadir di masjid untuk menghadiri majlis taklim.
“Itulah yang kukagumi pada dirinya.  Ia benar-benar menjadi muslimah yang taat, dan jilbab tidak pernah lepas dari kepalanya.. Bahkan nama hotel yang dimilikinya juga dirubah menjadi hotel  Ar Rahman. Secara perlahan-lahan pekerja hotel non muslim diganti dan hotel itu terus berkembang amat pesat. Hampir tiap malam selalu penuh dengan tamu-tamu. Sebuah musholah juga segera dibangun di sisi hotel itu. Tiap tamu hotel merasa nyaman tinggal di hotel itu, bahkan mereka seakan tinggal di tengah hunian di padang pasir yang di sekitarnya ada pohon kurma.”
Bang Fadhil juga menuturkan tentang seorang tamu berkebangsaan Belanda yang menjadi langganan hotelnya hingga berbulan-bulan karena bule itu adalah mahasiswa pasca sarjana jurusan antropologi Universiteit Leiden dan sedang meneliti kebudayaan masyarakat Halmahera . Latar belakang pendidikan antropologi jurusan Asia Tenggara menyebabkan  lelaki berambut pirang itu  seakan sudah jatuh cinta terhadap Pulau Halmahera yang indah. Bang Fadhil juga menuturkan, bahwa ia selalu menyertai  Hollman van Nienhuys, lelaki berkebangsaan Belanda itu,  menjelajah pulau-pulau yang ada di bagian timur negeri ini. Bersama istrinya yang akhirnya bernama Masyitah , Bang Fadhil selalu menyertai lelaki berkebangsaan Belanda itu bersafari hingga ke Pulau Morotai, Pulau Bacan, Pulau Obi hingga Pulau Kasiruta.  
Sejak berkenalan dengan lelaki berkebangsaan Belanda mahasiswa pascasarjana antropologi itu Bang Fadhil jadi mengerti tentang tempat suci yang bernama  baileu. Di pulau-pulau sekitar Halmahera itu, Bang Fadhil terkadang ikut menghadiri upacara cuci negeri, yang hampir sama dengan bersih desa atau di Sumatera dikenal dengan upacara ritual  “tulak bala”. Bang Fadhil juga akhirnya tahu tentang adat “kain berkat”, yakni persembahan sehelai kain putih oleh pengantin lelaki  kepada kepala adat di tempat tinggal  mempelai perempuan dan hal  itu tidak boleh ditinggalkan.  Lalai pada pelaksanaan adat kain berkat ini  dapat menyebabkan pasangan yang baru menikah itu akan jatuh sakit dan meninggal. 
“Saya ikut gembira mendengar semua itu, meskipun hati saya tetap menangis karena kehilangan dirimu dan  tetap menganggapmu sudah tidak ada di dunia lagi. Andainya saya tahu Bang Fadhil sudah menikah dengan perempuan di Halmahera itu, pasti hati saya akan hancur berkeping-keping karena saya sangat mencintaimu”  Mbak Retno menunduk  dan dua ekor semut hitam yang bersimpuh di depannya juga merunduk. Semut-semut itu tetap menjadi saksi pada pertemuan kembali seorang gadis  dengan kekasihnya. Sungguh amat mirip  dengan pertemuan kembali  antara Nabi Adam dan Siti Hawa yang berpisah selama seratus tahun setelah mereka keluar dari surga.
“Maafkan aku,Retno. Aku tidak ingin mengecewakan isteriku yang akhirnya selalu kupanggil dengan nama Ummi Masyitah, namun di dasar hatiku selalu terkenang padamu. Aku tetap selalu menyebut namamu. Aku selalu merindukanmu. Namamu tetap lekat di dasar hatiku yang paling dalam. Aku yakin suatu saat akan bertemu kembali denganmu”
“Saya juga begitu, saya juga selalu menyebut namamu tiap saat.Kalung pemberian Bang Fadhil tidak pernah lepas dari leher saya. Dan di Jabal Rahmah kalung ini saya dekap erat-erat dan  saya memohon kepada Tuhan, agar saya mendapatkan ganti Bang Fadhil.”
“Aku tetap yakin, suatu saat Tuhan akan mempertemukan kita seperti Tuhan mempertemukan kembali Nabi Adam dengan Siti Hawa . Bukankah akhirnya kita bertemu di Masjidil Haram?. Bukankah kita bertemu kembali di depan Ka’bah, di depan Multazam ini?. Seperti pertemuan kembali Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah.”
“Saya amat bersyukur. Doa saya di Jabal Rahmah tidak sia-sia. Doa saya di sana dikabulkan Allah. Di puncak bukit itu saya selalu menyentuh kalung berhiaskan mainan delima merah pemberian Bang Fadhil”.
Lelaki gagah itu tersenyum dan bangga.
Mbak Retno tidak mampu mengelak ketika lelaki itu mendekapnya dan memeluknya erat sekali. Sepasang semut hitam yang masih bersimpuh di depan Mbak Retno menunduk malu.
“Aku berjanji  akan menikah denganmu!.” kata-kata itu diucapkan oleh Bang Fadhil di telinga  kanan Mbak Retno dan  lelaki itu menggenggam jari-jemari tangannya  amat erat.
            ”Tidak mungkin!. Sungguh tidak mungkin kita menikah karena sudah ada Ummi Masyitah  di sisimu!”
            “Ummi Masyitah   sudah pergi jauh.”
            “Pergi kemana?. Ia pergi ke Papua?. Ia pergi melanglang buana?”
            “Ia pergi sangat jauh sekali. Ia tidak akan pernah pulang kembali.”
            “Berterus teranglah kepada saya,Bang Fadhil. Kemana Ummi Masyitah  meninggalkanmu dan meninggalkan semua usahanya?”
            Lelaki itu tidak segera menyahut, seperti ada kesedihan yang amat besar  di dasar hatinya. 
            “Katakanlah dimana sekarang istrimu berada. Tidak bolehkah saya tahu keberadaan seseorang yang sudah menjadi  teman hidupmu?”
            “Terlalu berat bagiku untuk mengatakannya,Retno.”  Lelaki itu berkata dengan menunduk.
            “Kenapa berat?.” desak Mbak Retno dan menatap amat dalam wajah lelaki itu, seperti mencari sesuatu.  Lelaki itu menekur lagi, seperti tidak mampu berkata-kata.
            “Tidak bolehkah saya tahu apa yang terjadi?’
            “Ia tidak lagi di sisiku. Ia telah pergi jauh dan sangat jauh. Ia sudah kembali ke sisi Tuhan.”
            “Meninggal?”
            Lelaki itu menangguk lirih. Kesedihan yang amat dalam menggurati wajahnya yang tampan. Kumisnya dibentuk rapi. Sejak dulu lelaki itu memang selalu rapi dalam hal berpakaian, juga selalu merapikan kumisnya. Bila lelaki itu mengecup keningnya, kumis itu terasa menusuk kulitnya.
            “Meninggal seperti suaminya, kecelakaan pesawatkah?”
            Lelaki itu menggeleng.
            “Sakit?”
            “Ya!”
            “Tidakkah  Bang Fadhil berusaha membawanya  berobat ke Singapura atau ke Belanda?”
”Sia-sia.  Segala usaha dan upaya telah ditempuh, tetapi tidak berdaya. Ia meninggal karena serviks ganas yang menggerogoti rahimnya.”
Mbak Retno menghela nafas panjang. Setiap perempuan memang selalu dihadang dua penyakit yang mengerikan, yakni kanker serviks yang menyerang leher rahim dan tumor ganas di payu dara. Sudah amat banyak perempuan mati direnggut kanker serviks. Orang tidak lagi terkejut bila perempuan  tidak memiliki payu dara  lagi karena keduanya diangkat akibat kanker ganas. Masih lumayan bila wanita yang tidak memiliki payu dara, tapi masih hidup. Betapa malang nasib perempuan  bila payu daranya sudah diangkat tetapi nyawanya tidak tertolong.
“Tidak ada satupun rahasia dalam dirinya. Ia berterus terang tentang kekayaannya, tentang keadaan orang tuanya, dan tentang almarhum suaminya  yang selalu terbang menjelalah pulau Papua sebagai misionaris.  Hanya yang tidak pernah ia katakan, bahwa ia menyimpan benih-benih penyakit dalam rahimnya,yakni serviks.  Kanker itu mengganas setelah kami menikah dan akhirnya ia meninggal di pangkuanku.”
“Kasihan,” gumam Mbak Retno ikut merasa sedih.
“Ia meninggal sebagai seorang muslimah sejati. Meskipun sebelumnya ia adalah seorang penganut Nasrani, tapi di saat menghembuskan nafas teakhir,  kalimah Allah tergetar dari bibirnya yang lemah”
“Kasihan. Aku ikut bersedih. Aku ikut kehilangan.”
Dan lelaki itu masih sempat mengungkap, bahwa sudah banyak ia menyaksikan orang menghembuskan nafas terakhir, meskipun amalannya amat banyak, tetapi pada saat menghembuskan nafas terakhir sangat gelisah dan mengerang kesakitan. Pada saat roh akan meninggalkan jasad seseorang memang terasa sangat sakit, seperti kambing dikuliti hidup-hidup, hingga gelisah dan tidak jarang yang meraung kesakitan. Hingga kalimah terakhir yang diucapkan bukan zikrilah, tapi kalimah lain. Tapi pada saat istrinya, Ummi Masyitah yang pernah menjadi pemeluk agama lain menghembuskan nafas dengan amat tenang, dengan mengucapkan zikir.
“Ia memang seorang muslimah sejati,” terdengar lagi suara lelaki di sisi Mbak Retno.
“Tuhan akan menempatkan arwahnya disisi-Nya di tempat yang terbaik.”
“Aku berharap juga begitu. Allah sudah menyediakan tempat di surga untuknya.”
Lelaki yang berada di sisi Mbak Retno adalah seorang lelaki yang dibesarkan dengan didikan agama yang sangat ketat. Selama bertahun-tahun lelaki itu belajar ilmu tauhid, ilmu tasauf. Fikih dan masalah-masalah amar ma’ruf nahi mungkar dari seorang lelaki tua bernama Mualim Bukhari.  Bang Fadhil masih sempat mengungkap tentang  sabda Raululullah yang diriwayatkan  Abu Bakar bin Syaibah .dari Abu Hurairah, bahwa ada tiga golongan manusia yang pertama masuk surga dan tiga golongan pula yang pertama  dilemparkan ke dalam neraka. Tiga golongan pertama yang masuk surga adalah orang-orang yang  mati syahid, orang yang menjaga kehormatan  dan berusaha tetap menjaga  diri dari  maksiat,  dan budak yang tetap setia kepada tuannya dan beribadah dengan  sebaik-baiknya.
“Akankah Bang Fadhil kembali ke Halmahera?,”  Mbak Retno menatap wajah lelaki itu lagi.
“Tidak. Aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke sana.”
“Lalu bagaimana dengan usaha yang tinggal di sana?”
“Ketika kami menikah, Ummi Masytah sudah mempunyai seorang anak lelaki dari suaminya yang tewas di Papua.             Sebagian besar usaha itu diwariskan kepada puteranya. Aku hanya mendapatkan harta warisan sekedarnya.”
“Saya kagum kepadamu,Bang Risal.”
“Aku menerima apa adanya, hanya  cukup untuk modal membuka usaha sebuah biro perjalanan kecil-kecilan. Tahukah kamu, bahwa langganan yang selalu membeli tiket jurusan ke Halmahera adalah  Hollman van Nienhuys yang berbulan-bulan menelititi budaya orang-orang Halmahera yang unik itu?. Namun ada sesuatu yang tidak ternilai harganya yang ditinggalkan oleh Ummi Masyitah?”
“Emas?. Deposito di Bank?”
“Bukan berbentuk harta. Kalau tumpukan harta yang ditinggalkan, mungkin sekejap akan habis.”
“Benda apa yang ditinggalkannya di dunia ini?”
“Seorang anak lelaki yang diperolehnya dari perkawinannya dengan suami yang tewas di Papua. Ayah anak itu adalah misionaris yang menyebarkan agamanya di pedalaman Papua. Setelah suaminya meninggal anak itu dididik  agar mewariskan tugas-tugas ayahnya. Anak itu dididik di lingkungan  gereja.”
“Bakat itu memang sudah tampak sejak anak itu kecil?, Begitukah?”
“Ya!. Tapi setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan pesawat terbang, setelah ibunya menikah denganku, ibunya berusaha agar anak itu juga ikut menjadi muslim.”
“Memang demikiankah pada akhirnya?”
“Pada awalnya memang alot dan keras. Karena jiwa dan ajaran Nasrani memang sudah berakar amat dalam di jiwa raganya, tapi karena upaya yang amat keras dari ibunya, anak itu akhirnya mendapatkan Nur Ilahy. Ia menjadi seorang muslim.  Andainya ibunya meninggal, ia mewariskan sesuatu yang tidak ternilai, yakni seorang anak muslim padahal ayahnya adalah seorang pemuka agama lain”
“Jasamu ada di sana,Bang Fadhil.”
“Aku bersyukur sudah berbuat yang terbaik”
Lelaki itu menghela nafas panjang. Sesaat ia menekur dan memandang wajah Mbak Retno.
“Maukah kamu ikut mendoakan isteriku di tempat ini?”
“Kenapa tidak?. Aku akan mendoakan dengan ikhlas, seperti aku mendoakan abi dan ummi  yang direnggut kecelakaan kereta api.”
Di depan Ka’bah, persis di depan Multazam, Retno dan lelaki kelahiran Sumatera itu memulai doanya yang khusu’.   Sepasang semut hitam ,Ummu Naubah  dan Abu Masyghul juga  ikut berdoa . Ikut mengaminkan.
“Saya tidak punya siapa-siapa lagi sekarang ,Bang Fadhil,”  suara Mbak Retno seperti sebuah rintihan panjang.
“Aku sudah mendengarnya. Aku amat kasihan kepadamu. Itulah sebabnya aku mencarimu, hingga akhirnya kudengar kau berniat menunaikan Ibadah Haji. Aku harus menyusulmu. Aku bersumpah untuk mencarimu sampai bertemu meskipun aku mencarimu hingga ke ujung langit. Aku harus bertemu denganmu apapun yang terjadi, karena aku selalu menyebut namamu, karena aku selalu merindukanmu.”
“Saya  juga begitu!”
“Aku bertekad, diantara jutaan orang  di Tanah Suci ,aku  akan berhasil menemukanmu!”
Memang tidak sulit untuk mencari seseorang diantara jutaan orang yang menunaikan ibadah haji, dengan syarat diketahui nama embarkasi keberangkatan dan urutan keloter. Itulah sebabnya dengan pertolongan Tuhan, lelaki itu menemukan Mbak Retno di depan Ka’bah, persis di depan Multazam. Dan lelaki itu menemukan Mbak Retno sedang menangis. Betapa lelaki itu amat bersyukur.
Dan Mbak Retno lebih bersyukur lagi. Seseorang yang dianggapnya sudah mati ternyata masih segar bugar, masih tegar, bahkan keadaan hidupnya mapan. Liku-liku perjalanan hidup lelaki itu memang teramat panjang.  Menjadi korban pembantaian penjahat ternyata membawa hikmah yang amat besar baginya.  Bila tragedi itu tidak menimpa dirinya, mungkin ia tetap akan menjadi penarik  ojeg seumur hidupnya dan tetap  melarat.
“Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”  ujar lelaki itu setelah menekur sejenak.
“Tentang apa?. Adakah hal-hal yang sangat menyakitkan hati saya yang akan  saya dengar?”
“Tidak!,” lelaki itu menggeleng. 
“Saya sudah siap untuk mendengar hal-hal yang paling pahit. Saya sudah siap untuk mendengar hal-hal yang paling menakutkan, karena hidupku sudah terbiasa dengan kegetiran dan   goresan beling tajam.  Katakanlah apa saja meskipun hati saya akan terasa seperti tertusuk duri,”  Mbak Retno berkata polos.
“Aku tidak akan menyakiti hatimu lagi. Aku tidak akan meninggalkan kamu lagi.”
“Katakanlah sekarang,  saya siap untuk mendengarnya.”
“ Aku akan menikahimu. Kita akan kawin! Aku akan membahagiakanmu”
“Sungguh?”, Mbak Retno hampir tidak percaya dengan ucapan itu. Baru saja tangisnya berderai-derai karena ia ingat masa lalu, saat ia kehilangan lelaki itu. Sekarang, tiba-tiba saja lelaki itu  muncul bagaikan sebuah keajaiban, lalu mengajaknya menikah.
“Demi Tuhan, aku sungguhan!”
“Setelah kita pulang  ke tanah air?”
“Tidak!”
“Di sini? Di  Masjidil Haram ini?. Di depan Ka’bah ini?”, gadis itu masih ragu-ragu akan kebenaran ucapan  lelaki  yang baru muncul di sisinya setelah menghilang berbilang tahun.
“Ya, di sini, di Tanah Suci ini. Bukankah pernikahan di Tanah Suci tidak dilarang kecuali pada saat berihram?.  Yang penting semua syarat dan rukun nikah itu ada!”
Diam-diam sebelum kepergian lelaki itu ke Tanah Suci, ia menelusuri kawasan kelas bawah di sekitar tempat tinggal Mbak Retno. Ia mendengar informasi bahwa sang abi, ummi dan adiknya tewas karena kecelakaan kereta api lalu pihak asuransi membayar klaim  tiga puluh juta.  Lelaki itu juga memperoleh informasi,  bahwa Mbak  Retno menjadi pendidik di madrasah Istiqomah. Tidak hanya itu, lelaki itu juga memperoleh informasi  tentang rencana keberangkatan Mbak Retno ke Tanah Suci. Itulah sebabnya ia mendatangi kantor kelurahan, kemudian kantor urusan agama setempat untuk mendapatkan keterangan dan dokumen yang diperlukan untuk pernikahan. Semua itu sudah diperoleh lelaki itu, Semua sudah ditangan lelaki itu. Tidak ada lagi rintangan untuk melaksanakan pernikahan di Tanah Suci.
“Oh,Bang Fadhil. Semua seperti mimpi. Semua berjalan seperti sebuah keajaiban. Saya sangat bersyukur dan berbahagia sekali.”
Mbak Retno rebah di dada lelaki itu dan membiarkan tubuhnya  remuk dalam dekapan lelaki itu.
“Ada sesuatu yang kuminta darimu,”  terdengar bisik lelaki itu.
“Tentang apa?”
“Namamu.”
“Kenapa dengan namaku?
“Aku ingin menambahkan agar lebih beraroma muslimah.”
“Lalu saya harus merubah nama?. Bukankah sudah ada nama muslimah,yakni Ramadhani karena saya dilahirkan di bulan Ramadhan,tepat pada peringatan nuzulul Qur’an?.”
“Tidak harus merubah nama itu, tetapi menambahkan  sepotong nama, yakni Anisa, artinya perempuan.”
Mbak Retno rebah lagi di dada lelaki yang selama ini dianggapnya sudah mati namun seperti sebuah keajaiban tiba-tiba  lelaki itu hadir di sisinya,di depan Multazam.
“Suatu saat nanti aku akan membawamu ke Sumatera. Aku ingin memperlihatkan kampung halaman dan tanah kelahiranku yang merupakan desa orang-orang Melayu  di Sumatera.”
Lelaki itu menyebut  desa Kuta Galuh,tempat kelahirannya yang terletak di kawasan Serdang Bedagai yang banyak dihuni oleh masyarakat Melayu dan tidak jauh dari kota  kecil Perbaungan.  Di sana pernah berdiri dengan megah istana Sultan Serdang namun ketika  revolusi bergolak dan terjadi  politik bumi hangus, istana itu  ikut jadi abu.
Di atas tanah bekas istana Sultan Serdang itu kini sudah berdiri rumah-rumah rakyat biasa, bukan bangsawan Melayu.  
”Oh, saya ingin sekali bertemu dengan  kedua orang Bang Fadhil. Saya ingin sekali mencium tangan ibumu”.
Mbak Retno masih rebah di dada lelaki itu. Mereka memandang ke langit dan melihat  burung-burung merpati terbang di atas  Masjidil Haram. Seperti burung-burung itulah kedua keturunan Adam itu sekarang, berada di tempat yang sangat jauh dari kampung halaman. Namun di tempat jauh itulah mereka yang pernah terpisah oleh  kerasnya kehidupan  akhirnya bertemu lagi.    
                                                ***
Setetes  demi setetes air mata bergulir di pipi perempuan yang berasal dari keluarga penjual jamu gendong itu  ketika melangsungkan pernikahannya di  pelataran Masjidil Haram, disaksikan oleh amat banjak jamaah, disaksikan oleh burung-burung yang sedang terbang di atas masjid itu. Juga disaksikan oleh langit biru, disaksikan oleh awan putih yang berarak-arak, disaksikan oleh angin gurun yang sedang berhembus sepoi. Ikut juga menyaksikan  dua ekor semut hitam , Ummu Naubah dan Abu  Masyghul  . Bahkan banyak malaikat juga ikut menyaksikan pernikahan itu.  Saat itu Mbak Retno merasa sebagai  manusia yang  paling berbahagia di muka bumi ini.  Demi Tuhan, ia tidak menduga akan bertemu kembali dengan seorang lelaki idamannya  di Tanah Suci. Seperti sebuah keajaiban,  seperti sebuah mukjizat Tuhan.   
“Lihat air  mata  Mbak Retno,”  desis suara Ummu Naubah.
“Kenapa ia menangis padahal  pernikahan ini sudah amat lama dinantikannya?”
“Ia menitikkan air  mata karena kebahagiaannya, bukan kerena kesedihan.  Ia ingat segalanya, ingat  abi dan umminya yang sudah tidak ada  dan pasti  ia  ingat masa lalu yang sangat pahit dan pedih.”
“Kenapa pahit?. Kenapa pedih?”
“Ia kehilangan calon suaminya sangat lama, berbilang tahun, bahkan dianggapnya sudah mati”
“Doanya di Tanah Suci ini tidak sia-sia!”
“Itu tandanya Tuhan sangat menyayanginya. Pertolongan Tuhan datang di sini, di Tanah Suci ini”
            Lelaki yang kini sudah menjadi  suami Mbak Retno menyeka air mata di pipinya dan memberinya kecupan di kening sebagai tanda kasih sayang.
            “Saya  bahagia sekali,” desis  Mbak Retno lirih ketika rebah di dada lelaki itu.
            “Aku juga, tidak pernah kurasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya.”
            “Rahmat Tuhan telah datang kepada saya.”
            “Juga kepada kita berdua.”
            “Doa kita tidak sia-sia. Pernikahan kita disaksikan langit biru, disaksikan burung-burung, disaksikan angin yang berhembus dan disaksikan oleh malaikat-malaikat.”
            Sepasang manusia  yang kini sudah menjadi suami istri itu adalah  pasangan yang paling beruntung, yang paling banyak mendapatkan Rahmat Allah.. Para malaikatpun ikut mendoakan agar pasangan itu adalah pasangan suami istri yang sakinah mawaddah wa rahmah.  Seperti pasangan Rasulullah dengan Aisyah atau Khadijah,  atau seperti pasangan  Nabi Yusuf dengan Zulaiha yang amat cantik itu.  Tapi yang paling mirip  adalah seperti pasangan Adam dan Hawa yang pernah terpisah lebih dari seratus tahun, namum suatu ketika mereka bertemu kembali di Jabal Rahmah, setelah masing-masing menjalani kehidupan yang penuh dengan liku-liku dan beling tajam  atau duri-duri tajam.
            Mbak Retno juga begitu, mereka terpisah selama berbilang tahun  dan menganggap tidak akan pernah bertemu lagi karena lelaki  itu sudah mati, mayatnya sudah dilemparkan orang ke sungai lalu jadi santapan buaya di laut. Siapa menyangka keduanya akan bertemu lagi?.  Semua adalah kehendak  Tuhan.  Bila Allah memang berkehendak, apapun dapat terjadi dalam waktu sejenak.
            Sepasang semut hitam itu saling berpandangan ketika  Mbak Retno rebah  di dada suaminya. Sudah amat lama sepasang semut itu saling bersahabat, saling mengasihi, saling mencintai dan saling berharap menjadi pasangan suami istri. Mereka selalu bersama ketika masih menjadi semut pekerja bersama ribuan koloni lainnya mengusung bangkai kecoa atau mengusung   benda untuk bahan sarang mereka.
            Tangan semut jantan menyentuh tangan semut betina.
            “Naubah,” nama itu tercetus dari cela bibir semut jantan, seperti ada sesuatu yang diharapkannya.
            “Hmmmm,”  semut betina hanya bergumam lirih.
            “Mbak Retno sudah menemukan jodohnya. Ia berbahagia sekarang. Dia sudah menemukan seseorang yang hilang dan diduga sudah mati.”
            “Doanya memang  dikabulkan Tuhan.”
            “Bukankah kita juga ikut berdoa?. Kita juga menginginkan kebahagiaan seperti itu.”
            “Jangan samakan kebahagiaan kita kaum semut dengan Mbak Retno dan suaminya yang abadi hingga hari tua, hingga ke anak cucu. Kebahagiaan kita hanya sesaat.  Apa artinya kebahagiaan kalau hanya sesaat?. Apa artinya kita kawin lalu beberapa saat kemudian kamu meninggalkan aku sendiri?.  Bukankah masih banyak yang ingin kita saksikan di sini?. Perjalanan yang akan ditempuh Mbak Retno masih panjang. Bersama  suaminya ia harus melakukan wuquf di Arafah, mencari batu di Muzdalifah, melakukan pelontaran di Aqobah, Ula dan Wusta, lalu kembali kemari untuk melakukan tawaf wada’. Masih banyak yang harus  kita saksikan.”
            “Kapan lagi kita akan kawin?.”
            “Nanti, pada akhir perjalanan ibadah Mbak Rento.”
            “Akh, betapa amat lama, betapa amat  jauh  perjalanan ini. Rasanya aku tidak sabar untuk menikmati kebahagiaan sejati, yakni sebuah perkawinan.”
            “Aku berharap kamu bersabar. Bukankah Nabi Adam bersabar menunggu seratus tahun hingga dapat bertemu kembali dengan  Siti Hawa?. Bukankah Mbak Retno bersabar menunggu datangnya suami selama berbilang tahun dan akhirnya kebahagiaan itu datang?”
            Semut jantan menghela nafas panjang, seperti ada sebuah kekecewaan di hatinya. Ia memang sudah amat merindukan sebuah perkawinan sejati.
            Malam-malam yang penuh kebahagiaan  dinikmati oleh Mbak Retno bersama suaminya . Bulan madu dinikmatinya di Tanah Suci. Sepasang semut hitam itu merasa malu dan bersembunyi dalam tas paspor  bila pasangan suami isteri itu sedang menikmati kemesraan.  Bulan madu sepasang manusia itu dinikmati di tempat yang amat suci.  Betapa bahagianya mereka berdua. Tetapi kebahagiaan itu mereka peroleh tidak mudah. Kebahagiaan itu mereka nikmati setelah melalui perjalanan panjang. Kebahagiaan itu mereka nikmati setelah melewati duri-duri dan beling tajam.
            Kebahagiaan itu menjadi kenyataan setelah lelaki kelahiran Sumatera itu melanglang buana hingga ke Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya,  hingga menikah dengan seorang janda  yang pada awalnya penganut non muslimah.  Setelah janda itu meninggal direnggut ganasnya kanker serviks, barulah lelaki itu menjadi milik Mbak Retno sekarang.
            “Terkadang aku masih selalu terkenang dengan Ummi Masyitah,” cetus Bang Fadhil menyebut nama istrinya yang dulu masih bernama Bu Martha ketika mereka berbaring.
            “Bang Fadhil terkenang akan kecantikan wajah Ummi Masytah?,”  Mbak Retno menatap suaminya.
            “Tidak hanya itu.”
            “Lalu terkenang tentang apa?”
            “Usia kami jauh berbeda. Ummi Masyitah  sudah berusia empat puluh lima tahun dan aku jauh lebih muda.”
            ”Bukankah  Rasulullah juga begitu ketika pertama kalinya menikah dengan Siti Khadijah?.  Saat itu umur Khadijah sudah empat puluh  dan diberi julukan  konglomerat muslimah”
            ”Ya, juga sebagai bangsawan Quraisy yang kaya raya dan dermawan”.
            Sahut Bang Fadhil tersenyum.
            Sekarang Mbak Retno tidak sendiri lagi. Pergi sholat fardhu bersama suaminya, membaca Qur’an juga bersama-sama, bila Mbak Retno membaca, suaminya menyimak tentang tajwidnya. Begitu juga bila suaminya membaca kitab suci itu, bergantian  Mbak Retno yang memperhatikan tentang panjang pendeknya. Sesekali  lelaki kelahiran Sumatera itu menterjemahkan ayat-ayat yang dibaca Mbak Retno.  Seperti ayat yang baru saja dibaca Mbak Retno yakni surah Ar-Ruum ayat 41. Suaminya  langsung membacakan maknanya, Telah terjadi kerusakan di darat dan di laut sebab perbuatan tangan manusia, supaya Allah memberi tahu kepada mereka  sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.
            Sejak ratusan tahun yang silam, Tuhan sudah memberi  peringatan, bahwa di bumi ini, di darat, di laut, bahkan di udara telah terjadi kerusakan yang disebabkan tangan-tangan kotor dan nafsu manusia.  Manusia memang terkadang amat dikuasai nafsu. Hingga bumipun dirusak.
            Lelaki kelahiran Sumatera itu juga bertutur tentang terjemahan Surah Asy Syu’araa yang berarti penyair. Bahwa Allah menurunkan mukjizat kepada Nabi Musa dengan sebuah tongkat,lalu  tongkat itu  menelan ular-ular yang dibuat oleh para ahli sihir dedengkot Fir’aun.  Ketika Fir’aun mengejar Nabi Musa hingga ke pinggir laut, lalu tongkat itu pula yang menyelamatkan Nabi Musa dengan jalan memukulkan tongkat itu ke laut, lalu lautpun terbelah dua dan Fir’aun terjebak di dalamnya.
                                                ***
            Air matapun  berderai lagi ketika lebih dari tiga juta ummat melakukan wuquf di Arafah. Semua bersujud  di atas pasir yang hanya dilapisi karpet lalu melakukan munajat dengan Allah. Semua seperti melakukan dialog dengan Tuhan. Semua mengakui  dosa-dosa dan  kesalahan di depan Allah.  Pada saat itu Tuhan seakan-akan hadir di depan para jamaah haji yang jumlahnya lebih dari tiga juta orang dan datang dari seluruh penjuru dunia. Dan semua memohon keampunan. Di sini tidak ada dosa yang tidak diampuni. Tidak  ada dosa yang tidak mendapat maghfirah dari Tuhan.
            Mbak Retno dan suaminya menyadari, bahwa setelah melakukan wuquf, manusia merasa terbebas dari belenggu dosa. Di tempat ini para jamaah haji mengenakan pakaian ihram dan menanggalkan segala simbol-simbol keduniaan. Setiap jamaah pada saat di Arafah sangat dekat dengan Allah.  Sepasang  semut yang selalu bersama Mbak Retno, Ummu Naubah dan Abu Masyghul,  juga ikut merasakan sangat dekat dengan  Tuhan.  
            Udara di Arafah yang amat luas itu memang teramat panas, matahari seakan-akan berada tepat diubun-ubun. Tapi Mbak Retno dan suaminya tidak perduli dengan udara yang amat panas itu, seakan malaikat menyemprotkan air sejuk  di atas kepala mereka berdua. Di sisi mereka, seorang  lelaki setengah umur justru merasa seperti kedinginan, tubuhnya menggigil.
            “Aku tidak tahan di sini, aku tidak tahan,” keluh lelaki  yang menggigil kedinginan. “Ayo kita pulang!. Ayo kita pulang!”
            “Bapak harus istighfar. Kita sedang beribadah. Kita sedang melakukan  wuquf. Di sinilah tempatnya kita bermunajat kepada Allah.  Disinilah kita memohon keampunan,”  sambut istrinya.
            “Tapi aku tidak tahan,Bu.  Aku tidak tahan terlalu dingin. Perasaanku seperti sedang berada di puncak gunung es. Aku merasa bukan di Arafah, tapi seperti sedang berada di kutub yang sangat dingin.”
            Lelaki itu menunjuk ke arah timur dan tubuhnya masih terus menggigil kedinginan sementara semua jamaah sedang merasakan udara yang amat panas sehingga menyemprotkan air di atas kepala.
            “Lihatlah di sana burung-burung penguin sedang kedinginan, padahal mereka adalah binatang yang sudah biasa bermain salju, tapi pada hari ini mereka kedinginan seperti aku!,”  lelaki itu masih menunjuk ke arah timur dan yang tampak di pelupuk matanya adalah burung-burung penguin yang kedinginan,padahal mereka adalah para jamaah yang datang dari Bangladesh.
            “Lihatlah di sana, Bu. Di sebelah selatan beruang-beruang  es yang sedang menyusukan anaknya juga sedang kedinginan. Kasihan, anak-anak beruang es itu tidak dapat menyusu karena air susu induk beruang  itu sudah membeku karena udara yang sangat dingin.”
            “Astaga!. Mereka bukan beruang es yang kedinginan, tapi mereka adalah jamaah dari India yang sedang memohon keampunan dari Allah!”
            “Lihat di sana!,”  lelaki itu  menunjuk ke arah   barat “Di sana anjing-anjing laut juga kedinginan dan berlari ke daratan untuk  mencari tempat yang hangat”
            “Ya, Allah ampuni dosa suamiku di masa lalu.  Jangan biarkan ia  mengigau terus.”
            Lelaki itu tetap  saja kedinginan, tetap saja ia menggigil, padahal ia sedang mengenakan pakaian ihram. Lelaki itu tetap saja minta pulang ke tanah air. Ia minta pakaian ihram yang tidak dijahit pada dirinya ditukar dengan jeket tebal.
            ”Buka pakaian ihram ini,Bu. Aku tidak suka memakainya.  Aku tidak mau memakai  pakaian yang tidak berjahit ini.  Ambilkan jeketku,Bu.  Aku tidak tahan dingin! Ambilkan selimutku!”
            ”Ya, Allah. Mengapa harus terjadi seperti ini terhadap ayah anak-anakku?.”
            Lelaki itu tetap saja kedinginan, tetap saja meminta agar pakaian ihramnya diganti dengan jeket tebal dan minta tubuhnya diselimuti.
            ”Tidak boleh,Pak.  Kita sedang melakukan wuquf di Arafah. Bapak harus tetap mengenakan pakaian ihram  hingga mabit di Muzdalifah untuk mencari batu-batu kecil di sana kemudian melakukan pelontaran. Bapak baru boleh melepas pakaian ihram setelah  melakukan pelontaran terhadap jamrah di Mina nanti, setelah melakukan  tahalul.”
            Dengan amat sabar, sang istri membujuk  suaminya agar memperbanyak kesabaran , beristighfar serta berzikir.  Tapi lelaki itu tetap saja gelisah karena kedinginan.
            “Ayo,Bu!. Bawa aku menyingkir dari tempat ini.  Aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahan. Aku  akan mati di sini.  Aku akan terkapar karena kedinginan di tempat ini!”
            Lelaki itu tetap saja menunjuk ke arah barat, timur, utara, selatan dan segala penjuru. Di semua tempat yang tampak  adalah anjing-anjing laut, penguin, beruang es atau binatang lainnya yang semua menggigil kedinginan.  Padahal yang ada di sekitarnya adalah para jamaah dari berbagai negara, dari Afganistan, dari Mesir, Irak, Afrika Selatan dan negara-negara lainnya.  Semua sedang membaca Qur’an, mereka sedang membaca doa wuquf.  Mereka semua sedang memohon keampunan atas dosa-dosa di masa lalu  ketika di tanah air.
            Hanya lelaki setengah baya itu yang tidak berdoa.  Tidak satupun huruf Qur’an yang dibacanya. Ia tetap saja menggigil. Ia tetap saja tidak kerasan bersimpuh di Arafah. Bahkan ketika khutbah wuquf dikumandangkan, ia tetap saja menggigil dan meminta agar dibawa pergi ke tempat  lain untuk menghindari udara dingin. Ia tidak sempat memohon keampunan. Ia telah kehilangan kesempatan emas, padahal semua dosa diampuni  ketika melakukan wuquf di Arafah.  Orang-orang yang sakit parahpun harus berada di Padang Arafah meskipun mereka tergeletak tanpa daya di mobil ambulans. Orang-orang yang sakit  itu dengan posisi berbaring  dalam ambulans juga melantunkan doa-doa dan ayat-ayat Qur’an. Dengan tubuh terbaring lemah, orang-orang yang sedang sakit itu mendengar khutbah wuquf.
            Segumpal dosa memang melekat pada diri  lelaki yang terus gelisah dan kedinginan itu. . Lelaki itu adalah seorang pengusaha yang    sukses karena ketekunannya. Tapi lelaki itu telah melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Lelaki itu tidak pernah membayar zakat harta, padahal dalam hartanya terdapat harta orang lain, terdapat harta milik orang-orang fakir, miskin, mualaf, fisabilillah, orang yang berhutang dan banyak lagi. Bahkan  lelaki itu tidak pernah bersedekah,  ia tidak pernah menyumbang untuk membangun masjid atau madrasah.  Ia tidak pernah memberi bantuan kepada panitia MTQ yang datang ke rumahnya. 
Lelaki itu memiliki kekayaan yang lumayan, tetapi sama sekali tidak pernah  menunaikan kewajibannya membayar zakat harta. Lelaki itu tetap patuh membayar pajak kepada pemerintah. Tapi lelaki itu  selalu berdalih membayar pajak ke kantor Kas Negara dianggap sebagai zakat  hartanya.  Tidak hanya itu, ia juga memberikan sebagian hartanya untuk seorang perempuan cantik yang dikawininya dengan diam-diam. Dengan diam-diam pula ia membangun sebuah salon untuk isteri gelapnya dan juga sebuah bangunan untuk sanggar kebugaran jasmani.
            Itulah sebabnya akhirnya ia menerima azab dari Tuhan ketika ia sedang berada di Padang Arafah ketika melakukan wuquf.  Tidak hanya itu, sebuah toko miliknya terbakar habis. Si jago merah mengamuk dan memusnahkan barang-barang dagangannya.  Sebelum khutbah wuquf dikumandangkan, lelaki itu pingsan dan harus masuk ambulans. Kasihan istrinya.
            Azab Tuhan memang selalu datang ketika manusia melakukan ibadah haji.  Hakim yang selalu berlaku tidak adil, di tanah suci juga akan  menerima  azab. Anggota legislatif yang  tidak menyuarakan hati nurani rakyat kecil juga akan menerima hukuman dari Allah. Bahkan ustaz  yang menjual ayat-ayat Qur’an juga akan terjerat oleh azab Allah di sini.  Sesungguhnya azab dari Allah amat pedih. Orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat dari Allah, pasti akan menerima azab  yang sangat pedih.  Seperti lelaki yang selalu kedinginan di Padang Arafah itu.
            Akan halnya  Mbak Retno tidak sendiri lagi melakukan wuquf di padang pasir yang amat luas itu.  Keduanya seperti mendapat naungan dari malaikat sehingga tidak terlalu merasakan udara panas. Bersama suaminya ia membaca doa wuquf, suami melantunkan doa, Mbak Retno mengaminkan. Tidak hanya Mbak Retno yang mengaminkan doa itu, tetapi juga sepasang semut hitam yang sejak awal keberangkatannya ke Tanah Suci selalu berada di sisinya.
            Mbak Retno tidak mampu membendung tangis. Air matanya berderai-derai dan membuat anak sungai  yang airnya amat bening di pipinya.  Suaminya juga tidak mampu menahan tangis, apalagi ketika ia berdoa untuk almarhumah  isterinya  yang sudah amat banyak berbuat baik kepadanya.  Tidak hanya itu, Ummi Masyitah juga  sudah berkorban  yang tidak ternilai harganya, yakni  meninggalkan akidahnya  sebagai non muslimah  bersama seorang puteranya. 
            Tangan-tangan malaikat selalu dekat dengan Mbak Retno  bersama suaminya hampir pada setiap tempat. Juga ketika angin kencang berhembus di Padang Arafah menjelang keberangkatan seluruh jamaah untuk mabit Muzdalifah  dan mencari tujuh puluh batu-batu kecil  yang akan digunakan untuk melakukan pelontaran Aqobah, Ula dan Wusta sebagai  sarang iblis dan syetan.
            Tidak perlu tergesa-gesa mengejar bis yang akan membawa mereka ke  Muzdalifah. Mbak Retno berjalan amat santai dan berpegangan tangan  bersama suaminya naik ke bis besar dan dua tempat duduk  seakan sudah disediakan oleh malaikat.
            “Selamat tinggal Arafah tempat pembakaran dosa. Selamat tinggal padang Arafah tempat pengampunan semua dosa-dosa manusia.” . Itulah yang diucapkan Mbak Retno dan suaminya. Lebih tiga juta manusia mendapat pengampunan di tempat ini atas dosa-dosa masa lalunya.
            Tangan-tangan malaikat juga selalu dekat dengan mereka berdua  ketika mereka turun dari mobil di sebuah tempat di Muzdalifah. Amat mudah mereka mendapatkan tujuh puluh batu-batu kecil untuk melakukan pelontaran jamrah di Mina esok hari. Tidak pernah sekalipun mereka keliru memungut tahi unta. Tidak seperti jamaah lainnya yang  terkecoh, mengutip tahi unta yang dikira batu-batu kecil. Mbak Retno  selalu mendapatkan banyak kemudahan dari Allah.
Tidak hanya kemudahan, tetapi juga rahmat. Bukankah pertemuannya dengan lelaki kelahiran Sumatera itu adalah sebuah rahmat Tuhan yang tidak ternilai?. Bertemu kembali dengan seseorang yang diduga sudah mati terbunuh sekelompok penjahat.  Tuhan menyelamatkan nyawa lelaki itu. Tuhan melindunginya. Dan mempertemukannya kembali  dengan Mbak Retno.  Seperti sebuah keajaiban.
            Semut hitam itu masih tetap saja lekat di pakaian  Mbak Retno dan seekor lagi melekat di pakaian ihram Bang Fadhil. Semut hitam itu menyaksikan sendiri Mbak Retno dan suaminya mencari dan memungut batu-batu kecil dengan mudah. Semut hitam itu tertegun sejenak ketika mendengar suara anjing menyalak. Mbak Rento juga terheran-heran, mana mungkin di Tanah Suci ada seekor anjing.  Tapi hanya sesaat suara anjing menggonggong itu lenyap, lalu berganti dengan suara kucing mengeong. Apa yang dicari oleh kucing itu di tempat yang gelap  ini?, pikir Mbak  Retno  yang juga mendengar suara  kucing mengeong.             
Suara kucing itupun sejenak lenyap  lalu terdengar suara kambing jantan.  Siapa yang memelihara kambing di tempat ini?. Mengapa dibiarkan kambing berkeliaran di tengah malam  ketika para jamaah sedang mabit di tempat ini?. Bang Fadhil juga terheran-heran mendengar suara hewan-hewan itu.  Tapi semua akhirnya menyadari, bahwa suara hewan-hewan itu berasal dari seorang perempuan yang tampak seperti kesurupan. Tubuh perempuan itu kejang-kejang dan matanya membelalak lebar sementara anak lelaki yang menjadi muhrimnya berusaha menolong tetapi selalu ditepiskan dan terpental. Dalam diri perempuan itu seperti ada syetan jahat yang sedang mengganggunya ketika ia mabit di Muzdalifah dan mencari batu-batu kecil.  Dan yang diperolehnya bukan batu-batu kecil, tapi tahi unta yang sudah mengering. Perempuan malang itulah yang menirukan suara anjing, kambing dan kucing.
            Sesaat kemudian terdengar  perempuan itu  berteriak-teriak histeris kepada puteranya:
            ”Usir anjing itu jauh-jauh,Andi!. Usir binatang itu dan jangan biarkan dia mendekat.”
            ”Di sini tidak ada anjing,Bu!,”  sahut sang anak berusia tujuh belas tahun di sisinya.
            ”Tapi anjing itu akan menggigit ibu!”
            ”Tidak ada binatang apapun di sini!,” sahut  anak lelaki di sisi perempuan yang terus berteriak-teriak histeris.
            ”Kucing itu juga akan mencakar ibu,anakku!. Usir jauh-jauh kucing itu!”
            ”Astaga!. Di sini tidak ada kucing ,Bu.”
            ”Kambing itupun akan menanduk ibu.  Usir jauh-jauh semua binatang itu. Jangan biarkan binatang-binatang itu mendekati ibu!”
            ”Sama sekali tidak ada hewan apapun di sini,Bu.  Yang ada hanya jamaah yang sedang mabit dan mencari batu-batu kecil untuk melontar jamrah,” tegas sang anak.
            ”Tapi binatang-binatang itu  matanya sangat mengerikan. Lihatlah anjing itu, giginya sangat menakutkan. Lihat kucing itu cakarnya amat tajam . Lihat kambing itu tanduknya  panjang dan melirik ibu  untuk merobek perut ibu.”
            ”Ya,Allah.  Ibu harus istighfar. Tidak ada hewan apapun. Tempat ini adalah tempat suci, tidak mungkin  ada anjing atau kambing.”
            Perempuan itu tidak lagi berkata-kata, tidak lagi mendengar suara apapun, tapi ia meronta-ronta dan berusaha menyerang setiap orang yang mendekat. Matanya membelalak lebar membuat anak lelaki yang menyertainya ke Tanah Suci ketakutan. Jamaah lainnya  juga mendekat dan berusaha menenangkan perempuan yang tampak  seperti kemasukan syetan itu.  Tapi perempuan itu seperti  mendapat kekuatan gaib  sehingga orang-orang yang mendekat segera terpental karena gerakannya. Semua akhirnya menyingkir.
            ”Pergiiii!. Pergiiii!.  Jangan ganggu aku!,”  teriaknya.
            Dokter kloter segera dipanggil  untuk memberikan pertolongan. Mungkin dengan sebiji tablet penenang dapat  menolong perempuan yang tampak seperti kesurupan itu.  Tapi dokter  itupun terpental ketika perempuan itu meronta lagi.  Setiap  ada tangan yang menyentuh dirinya,  ia pasti meronta.   Ia pasti berteriak-teriak lagi. Dokter itupun akhirnya tidak berdaya menghadapi seorang perempuan yang  sedang kesurupan itu.         
            “Dalam kasus seperti ini pertolongan  secara medis tidak akan memberi manfaat, tapi harus dibantu dengan cara supranatural,”  ujar dokter itu.
            “Tapi bagaimana bisa mendapatkan pertolongan secara kebatinan di Tanah Suci?”
            Ucapan itu terdengar oleh Bang Fadhil yang pernah belajar berbagai ilmu dari Mualim H.Bukhari, tidak hanya ilmu tauhid, tidak hanya ilmu tasauf, tidak hanya ilmu-ilmu Qur’an dan hadist, tidak hanya tentang fadhilah tabligh, tidak hanya tentang kalimah-kalimah thayyibah, tapi juga tentang ilmu-ilmu kebatinan. Bang Fadhil juga pernah belajar untuk menjadi seorang shaman atau sejenis pawang. Lelaki itu  juga pernah mendapatkan pendidikan untuk menjadi seorang pawang dari Mualim H.Bukhri di kampung halamannya di Kuta Galuh, Sumatera.
            Bang Fadhil tahu persis, perempuan yang sedang berteriak-teriak histeris dan meronta-ronta itu sedang menderita polong atau puaka. Mana mungkin seseorang yang sedang menderita penyakit polong dapat diobati dengan cara kedokteran. Penyakit polong hanya dapat disembuhkan dengan cara kebatinan.  Penyakit polong hanya dapat disembuhkan oleh shaman atau pawang.
            Bang Fadhil segera mendatangi anak muda yang menyertai perempuan itu ke Tanah Suci.  Bang Fadhil berbisik kepada anak muda itu:
            “Ibumu sedang menderita polong. Penyembuhannya hanya dapat dilakukan secara kebatinan.”
            “Lalu apa yang dapat saya lakukan agar ibu saya sembuh?”
            “Aku akan membantu menyembuhkannya, tapi dengan satu syarat.”
            ”Syarat apa?.  Saya akan membayar  berapapun yang diminta, asalkan ibu saya dapat terhindar dari penyakit aneh seperti ini.”
            ”Tidak perlu membayar mahal.”
            ”Lalu saya harus memberikan apa?”
            ”Terus terang, ketika di tanah air, ketika masa lalu, ibumu pernah melakukan kesalahan terhadap seseorang , mintalah kepada ibumu untuk mengakui kesalahan itu.”
            ”Saya tahu persis  perjalanan hidup ibu saya.  Saya tahu persis segala hal-hal yang pernah dilakukan ibu saya. Saya tahu betul apa saja kesalahan ibu saya pada masa lalu.”
            ”Syukurlah kalau begitu, ibumu akan dapat disembuhkan dengan mudah.”
            Bang Fadhil menekur sejenak, seperti bersemedi layaknya. Lelaki itu seperti  sedang mengumpulkan semua kekuatannya.  Suami Mbak Retno seperti sedang memusatkan konsentrasi pikiran dan perhatiannya pada suatu titik, pada penyembuhan terhadap perempuan yang menderita polong.
            Seekor semut yang tetap menempel di pakaian ihram Bang Fadhil terheran-heran.  Semut yang menempel pada pakaian Mbak Retno juga tidak menduga, bahwa ternyata Bang Fadhil mempunyai simpanan tentang ilmu kebatinan.
            Sesaat kemudian Bang Fadhil membaca doa dalam bahasa Arab seperti yang diajarkan Mualim H.Bukhari kemudian diiringi mantera:
            ”Hei Si Tinjak, si Tertib.
            Ular dan lipan berkelementang
            Terbatuk terbersin,
            Berkat  aku menangkal polong
            Dengan bayang  hantu sekalian
            Asal  kau di Tanah Kang.

            Pulang kau ke Tanah Dengkang
            Datang kau menelentang
            Pulang kau meniarap
            Pulanglah kau kepada Jinjang engkau
            Hei Datuk Ulan, Datuk Putih
            Tetaplah engkau kepada tempat engkau
            Kepada hulu air paya berlendang
Berkat La illaha Illallah”
Bang Fadhil menyapukan air zam-zam di wajah perempuan yang  sedang kesurupan polong itu.  Tubuhnya yang tegang tiba-tiba lemah dan terkulai.   Sesaat kemudian membuka matanya. Ia benar-benar sembuh sekarang.
”Dimana aku?. Dimana aku?,”  ia tampak seperti kebingungan.
”Ibu sedang  mabit di Muzdalifah dan mencari batu-batu kecil untuk melempar syeitan di Mina besok.”
”Astagfirullah,”  perempuan yang baru sadar itu mengucap istighfar berkali-kali.
Dua ekor  semut juga ikut mendengar istighfar  perempuan itu. Dua ekor semut itu semakin kagum kepada Bang Fadhil yang mampu menyembuhkan penyakit polong.
            ”Mungkin di masa lalu ibu pernah melakukan kekeliruan terhadap seseorang sehingga menerima peringatan dari Tuhan ketika berada di Tanah Suci.”
            ”Rasanya tidak pernah.  Saya tidak pernah menyakiti hati orang lain,”  sahut perempuan yang sudah dapat duduk dengan tenang.
            ”Meskipun terhadap suami sendiri?,”  tanya Bang Fadhil.
            ”Terhadap suami mungkin saja.”
            ”Kesalahan dalam bentuk apa?”
            ”Sungguh tidak mungkin diceritakan kepada orang lain  karena sifatnya sangat pribadi.”
            ”Tapi ibu harus jujur mengakuinya. Ibu harus memohon keampunan dari Allah. Kalau ibu tidak mengakuinya, penyakit polong akan segera datang lagi dan lebih parah,mungkin tidak dapat disembuhkan.”
            Sesaat perempuan yang baru saja sadar dari gangguan syetan itu menekur:
            ”Ayo,Bu. Akuilah terus terang!, ” desak Bang Fadhil.
            ”Saya memang telah berbuat keliru terhadap suami saya.”
            ”Sejauh mana kekeliruan itu?”
            ”Hingga menyebabkan kematiannya.”
            Ucapan itu menyebabkan Bang Fadhil terkejut. Mbak Retno justru bergidik bulu romanya mendengar kata-kata itu.
            ”Teruskan,Bu. Teruskan dengan sejujurnya.”
            ”Selama hidup saya dua kali menikah. Yang pertama, ketika saya masih gadis suci, saya menikah dengan seorang duda yang sudah beranjak tua namun keadaan hidupnya lumayan.”
            ”Hartanya banyak, begitukah?”
            ”Ya. Ketika suami saya jatuh sakit, saya tidak ingin hidup melarat andainya suami saya meninggal. Saya menyarankan kepadanya  sebelum penyakitnya terlalu parah untuk menjadi peserta asuransi jiwa untuk Andi, satu-satunya anak kami.”
            ”Lalu suami ibu menjadi pemegang polis peserta asuransi  jiwa?”
            ”Ya!. Suami saya memang mencintai saya dan iapun tidak ingin saya serta anaknya menderita setelah ia meninggal nanti. Suami saya menjadi pemegang polis  tiga perusahaan asuransi jiwa dengan nilai  lima puluh ribu dolar dan ahli warisnya adalah saya sendiri dan anak saya.”
            Perempuan itu akhirnya bercerita tentang suaminya yang akhirnya menderita stroke dan dilarang makan garam, dilarang makan makanan yang megandung lemak tinggi. Tapi dengan diam-diam ia menyuguhkan makanan dengan garam tinggi, memberinya sop buntut, kari kambing, bahkan juga durian. Semua itu dilakukannya agar suaminya cepat meninggal kemudian perempuan itu menikah lagi dengan seorang lelaki muda.
            ”Suami ibu akhirnya meninggal?,” tanya Bang Fadhil.
            ”Ya, akhirnya ia meninggal.”
            ”Lalu ibu menerima klaim  asuransi setelah suami ibu meninggal?”
            ”Ya, sebanyak  lima puluh ribu dolar.”
            ”Lalu apa yang ibu lakukan dengan uang sebanyak itu?”
            ”Saya menikah dengan seorang bujangan yang masih muda.”
            ”Lamakah ibu menikah dengn bujangan itu?”
            ”Tidak lebih dari satu tahun, karena ia selingkuh  dengan seorang gadis kampungan.  Terus terang, saya mengusirnya bagaikan seekor kucing sakit. Ia angkat kaki tanpa membawa apapun selain pakaian yang melekat pada tubuhnya. Saya mengusirnya seperti  anjing yang lumpuh dan tidak berdaya”
            ”Hmmmm,”  Bang Fadhil dan Mbak Retno bergumam bersamaan. Pantaslah ketika mabit di Muzdalifah perempuan itu bertingkah seperti  kucing, atau seperti anjing.   Dua ekor semut yang ikut  mendengar pengakuan itu  berdecap-decap. Mereka merasa kasihan terhadap lelaki muda ,sang suami, yang diusir seperti kucing sakit atau seperti anjing yang lumpuh.
            ”Saya menyesal. Demi Tuhan saya menyesal telah mengusirnya seperti kucing sakit.  Saya tahu persis keadaan bekas suami saya sekarang, hidupnya miskin.Karena itulah saya menerima azab Tuhan di sini.”
            ”Berjanjilah kepada Tuhan, mumpung masih  di Tanah Suci ibu  memohon ampun dan maaf.”
            ”Saya berjanji.  Saya bersumpah akan mencium kakinya setelah pulang ke tanah air nanti, biar hidup saya tenteram.”
            Tandanya perempuan itu sangat menyesal, dari matanya menitik cairan bening. Perempuan itu menangis
***
              
Pertolongan Tuhan memang selalu datang  kepada  lelaki kelahiran Sumatera itu bersama Retno, istrinya, ketika mereka  berdua berjejal di antara lebih dari tiga juta   ummat menyerbu Aqobah dan melontar iblis di sana. Seperti dilindungi dan dituntun malaikat , Mbak Retno dan suaminya dengan mudah melontar sarang iblis itu. Padahal tiga juta lebih ummat manusia dari berbagai penjuru dunia menyerbu sekali gus dan berjejal di depan sarang syetan yang bernama Aqobah.. Tidak jarang jamaah yang terjatuh dan terpijak-pijak oleh jamaah lainnya yang terus berjejal. Tuan-tuan  tanah yang mendapatkan tanahnya dengan tidak melalui prosedur, di tempat ini pasti akan mengalami kesulitan dan mendapat azab Tuhan, jatuh lalu terinjak oleh jamaah lainnya hingga darah mengucur dari telinga dan mulut lalu akhirnya meninggal.  Pedagang yang melakukan kecurangan timbangan juga akan mendapat azab di sini.  Apalagi pemimpin yang tidak adil, hukuman Tuhan pasti tidak terelakkan.
            Alhamdulillah,  Mbak  Retno bisa melakukan pelontaran tiga hari berturut-turut karena ia mendapat kesempatan melakukan nafar sani.  Sepuasnya ia melontar iblis di sarangnya. Sepuasnya ia berdoa usai melakukan pelontaran itu.  Sementara banyak jamaah lainnya hanya mendapat kesempatan nafar awal, hanya dua hari melakukan pelontaran jamrah di tempat itu.
            Kembali ke Makkah untuk melakukan tawaf Ifadah biasanya  terkendala oleh kemacetan kenderaan  yang luar biasa. Jarak Mina dan Makkah tidak terlalu jauh, hanya 7 kilometer. Jarak yang tidak terlalu jauh dapat ditempuh dengan jalan kaki, tapi dengan kenderaan besar, bisa belasan jam karena padatnya jalanan oleh bis-bis besar mengangkut para  jamaah yang jutaan jumlahnya dan semua mengejar untuk melakukan tawaf Ifadah.
            Tapi tidak demikian halnya dengan kenderaan  yang ditumpangi Mbak Retno dan suaminya ketika meninggalkan Mina menuju Makkah.     Tidak sampai satu jam bis besar yang ditumpangi Mbak Retno bersama suaminya sudah memasuki kota Makkah dan langsung memasuki Masjidil Haram melalui pintu Babussalam , salah satu pintu dari sekian banyak pintu-pintu masjid yang amat diagungkan umat Islam seluruh dunia.
            Saat itu Masjidil Haram dipadati manusia lebih dari tiga juta orang yang melakukan tawaf Ifadah. Seperti tidak ada  celah sedikitpun untuk menyusup, untuk bersama-sama melakukan tawaf, tujuh kali keliling Ka’bah.
            “Rasanya sudah terlalu padat, bagaimana kalau kita tawaf di lantai dua?” terdengar suara lelaki kelahiran Sumatera itu kepada Mbak Rento.
            “Apa salahnya tawaf di atas?. Bukankah  pahalanya juga sama?”
            “Memang begitu, tapi jaraknya jadi sangat jauh. Belum tentu dapat selesai dua jam.”
            “Saya  merasa mampu.  Bukankah saya  belum jadi nenek-nenek bongkok?”
            “Aku bangga padamu!”
            Dari garis coklat, mereka berdua memulai langkah  untuk melakukan tawaf  Ifadah di lantai dua masjid itu.  Sepanjang jalan mengelilingi Ka’bah terdengar lantunan doa-doa tawaf. Dinding Ka’bah tetap berada di kiri mereka. Seekor  semut hitam  jantan  masih tetap bergayutan di baju Mbak Retno sementara semut betina merayap di lengan Bang Fadhil. Mereka saling berpasangan. Belum sempat lima kali keliling Ka’bah  Mbak Rento merasa haus dan mereka terpaksa istirahat untuk minum. Air zam-zam terasa amat sejuk dan segar membasahi kerongkongan.  Semut hitam itu juga sempat merayap turun dan ikut menikmati air zam-zam.  Semut-semut itu juga masih sempat berpapasan dengan semut-semut padang pasir.  Mereka saling   menyapa,  mereka saling tersenyum dan berciuman di pipi seperti umumnya tiap-tiap mahkluk semut bertemu dan berpapasan.
            Ruang sa’i juga amat padat dengan  manusia yang melakukan  perjalanan ulang alik  Safa dan  Marwah  .  Tidak ada celah sedikitpun  di ruang itu karena padatnya para jamaah yang melakukan perjalanan  Marwah – Safa atau sebaliknya.   Orang-orang yang sakit di atas kursi roda tubuhnya tergoyang-goyang karena didorong oleh orang kulit hitam  dengan cara berlari-lari.
            Doa-doa sa’i juga bergaung di sini.  Mbak Rento berjalan tampak santai, hanya pada garis hijau mereka berdua berlari-lari kecil. Untuk apa berlari tergesa-gesa kalau tidak ada yang diburu?. Di kaki bukit Marwah, sejenak sepasang manusia yang baru saja menjadi suami istri itu berhenti. Terkenang oleh mereka, betapa dulu Siti  Hajar berjalan kesana kemari tidak tentu arah  untuk  mencari sumber air di padang pasir sementara ia baru saja melahirkan seorang bayi. Betapa amat sulit mendapatkan sumber air  di tengah padang pasir  yang amat luas. Dimana-mana hanya gurun pasir dan pohon kurma, sementara perasaan haus semakin menyiksa. Pada saat itulah seorang anak yang dilahirkan Siti Hajar  menjejakkan tumitnya di atas padang pasir  berkali-kali.  Dan sebuah keajaiban Tuhan pada saat itu terjadi di bumi Makkah. Airpun mendadak muncrat dari bekas jejakkan kaki Ismail, putera Siti Hajar. Itulah sumur  zam-zam.
            Di kaki bukit Marwah itulah Mbak Rento meneguk air zam-zam lagi. Terasa amat sejuk dan segar, melegakan kerongkongan. Pada saat itulah, ketika Mbak Retno dan suaminya beristirahat di kaki bukit Marwah,  mereka melihat seorang perempuan setengah baya  mendorong seorang lelaki tua berjenggot panjang, kurus dan terbatuk-batuk yang duduk di atas kursi roda. Perempuan itu tampak kelelahan padahal masih beberapa kali lagi ia melakukan perjalanan ulang-alik dari Marwah ke Safa. Perempuan itu seperti amat kehausan dan hampir saja tersungkur di kaki bukit Marwah karena kehabisan tenaga.
            ”Aku tidak tahan lagi. Aku tidak kuat lagi,” keluh perempuan setengah baya itu dan terduduk di lantai.
Mbak Retno amat kasihan melihat perempuan itu, apa lagi lekaki yang didorong di kursi roda itu dalam keadaan lemah karena usianya yang sudah sangat tua.
”Ambilkan aku air!. Ambilkan aku air!,” pintanya.
Tidak seorangpun yang perduli.
”Aku sangat haus, ambilkan aku segelas air zam-zam!”
Tidak ada seorangpun yang perduli, padahal jamaah amat banyak dan saling  
berdesakan di tempat sa’i .
            Mbak Retno merasa amat kasihan, hatinya tersentuh untuk menolongnya apalagi terhadap sesama manusia. Apalagi terhadap sesama perempuan. Ia mengambil segelas air zam-zam dan mengulurkannya kepada perempuan yang amat kelelahan lalu perempuan itu meneguknya  perlahan-lahan setelah mengucapkan basmallah. Iapun mengucapkan alhamdallah  setelah segelas air zam-zam melewati kerongkongannya.
            ”Terima kasih,” ucap perempuan setengah baya itu kepada Mbak Retno yang sudah mengulurkan segelas air zam-zam. Perempuan yang tadinya amat kelelahan dan kehausan mendadak merasa segar dan seperti  mendapatkan tenaga baru.  Air zam-zam yang baru diteguknya seperti mengandung mukjizat. Perempuan itu sudah dapat tersenyum kepada Mbak Retno.
            Segelas lagi air zam-zam diberikan kepada seorang lelaki tua  berjenggot panjang yang duduk di atas kursi roda. Lelaki tua itu meneguknya dan batuk tidak lagi mengusiknya. Di atas kursi roda itu lelaki itu membaca doa-doa sa’i. Lelaki itu juga sudah dapat tersenyum kepada Mbak Retno dan mengucap terima kasih.
            ”Saya tidak berdaya. Saya tidak memiliki tenaga lagi, tapi isteri saya mendesak terus agar menemaninya ke Tanah Suci.” ujar lelaki itu polos.
            ”Saya yakin di sini  akan banyak sekali mendapatkan pertolongan, tidak hanya dari sesama manusia, tetapi dari para malaikat,”  ujar perempuan setengah baya yang tadi mengalami kelelahan dan kehausan.
            ”Bersyukurlah kepada Tuhan,”  sahut Mbak Retno.
            ”Tidak putus-putusnya saya bersyukur.  Di Tanah Suci ini saya juga bersyukur, bahwa saya akhirnya mendapatkan seorang suami padahal selama bertahun-tahun saya merindukan sebuah perkawinan,”  perempuan setengah baya itu  mulai menuturkan perjalanan hidupnya.
            ”Ibu baru menikah?”
            ”Setahun yang silam”
            ”Sebelumnya?”
            ”Saya pernah merencanakan sebuah perkawinan yang dilandasi dengan cinta kasih yang suci, tetapi kandas.”
            ”Kekasih ibu menginggal karena sakit?”
            ”Tidak!”  perempuan itu menggeleng lirih.
            ”Lalu pacar ibu waktu itu ingkar janji?”
            ”Bukan ingkar janji!”
            ”Direbut orang lainkah?”
            ”Sama sekali tidak!”
            ”Lalu kemana perginya kekasih ibu?”
            ”Tiga tahun lebih kami saling memadu kasih. Cinta kami sudah sangat mendalam dan kami sudah merencanakan untuk menikah. Tapi perpisahan  itu harus terjadi.”
            ”Calon suami ibu mengalami kecelakaan?”
            Perempuan setengah baya itu menggelengkan kepala lirih. Wajahnya mendadak sedih, seperti terkenang masa lalu yang amat pedih.
            ”Lalu apa yang terjadi?”
            ”Ia seorang aparat dan harus menjalankan tugasnya di kawasan konflik.”
            ”Ditugaskan di Poso atau Ambon?”
            ”Bukan di Indonesia bagian timur”
            “Lalu dimana?”
            “Ia ditugaskan di Aceh. Suami saya adalah seorang lelaki yang taat pada agama  dan ibadahnya tidak pernah terlalaikan. Bahkan setiap melaksanakan sholat fardhu ia selalu mencari masjid untuk sholat berjamaah  karena ia meyakini sholat berjamaah akan mendapatkan pahala dua puluh tujuh kali.”
            Perempuan setengah baya itu juga menuturkan, bahwa selama bertugas di kawasan Serambi Makkah yang sedang dilanda konflik suaminya selalu sholat berjamaah di masjid terdekat. Bahkan ketika imam masjid tidak ada, lelaki itulah yang menjadi imam.  Tapi suatu saat,  ketika baru saja melaksanakan sholat maghrib dan lelaki itu menjadi imam, ketika baru keluar dari pintu masjid, dua orang bersepeda motor tiba-tiba menembaknya.
            “Calon suami saya tersungkur mencium bumi dengan luka-luka di dadanya. Ia terbunuh dibumi Serambi Makkah. Ia terbunuh oleh sesama muslim, padahal sesama muslim  seharusnya bersaudara. Itulah kekejaman yang terjadi di Serambi Makkah.  Banyak sesama muslim terbunuh disana dan pelakunya adalah orang muslim sementara orang-orang dari etnis China lebih aman bermukim di sana.”
            Perempuan setengah baya itu tidak mampu  membendung air mata karena  hatinya teramat sedih mengenang masa lalu  yang manis tetapi berakhir amat pahit.
            “Sulit untuk melupakan tragedi itu. Hingga bertahun-tahun saya menyendiri terus. Syukurlah saya seorang karyawati di sebuah bank sehingga saya mampu meredam kesedihan selama bertahun-tahun, sampai saya menyadari benar, bahwa saya sangat mencintai Rasulullah dan mengamalkan semua ajarannya. Bukankah nikah itu adalah sunnahnya yang harus dipatuhi?.  Itulah sebabnya saya menikah walaupun dengan seorang lelaki yang sebenarnya sudah sangat tua dan uzur. Tapi saya berbahagia  dan saya juga berusaha untuk mencintainya. Saya merawatnya dengan baik  ketika ia terbaring akibat stroke. Syukurlah Tuhan memberinya kesembuhan  ketika kami akan berangkat ke Tanah Suci. Bahkan di sini, setelah suami saya meneguk air zam-zam ia merasa lebih  sehat.  Suami saya sudah dapat berjalan meskipun  tidak seperti dulu lagi. Banyak yang saya syukuri  selama saya berada di sini, terutama tentang kesehatan suami saya. Lihatlah, setelah ia meneguk air zam-zam, ia tampak segar dan enerjik.”
            Mbak Retno tersenyum mendengar penuturan  itu.
            ”Saya meyakini benar, bahwa seteguk air zam zam adalah obat yang paling ampuh.”
            ”Saya juga meyakini hal itu,”  sahut Mbak Retno polos  dan membalas senyum perempuan itu yang tidak lagi kelelahan. Mbak Retno  ingin mendengar penuturan lainnya tentang perjalanan hidup perempuan itu, tetapi perempuan itu segera bergegas untuk menyelesaikan sa’inya.  Lihatlah , perempuan itu tampak tegar ketika mendorong suaminya di atas kursi roda. Tubuh suaminya di atas kursi roda terasa amat ringan. Air zam-zam  benar-benar memiliki mukjizat. Dan lelaki berjanggut panjang itu melambaikan tangannya. Mbak Retno hanya tersenyum.
            Betapa amat menyedihkan perjalanan hidup  perempuan itu.  Hanya sesaat lagi akan menikah, lalu calon suaminya tewas di daerah konflik, diberondong tembakan oleh orang tidak dikenal. Alangkah getirnya hal-hal yang dialami perempuan itu, hingga bertahun-tahun menyendiri dan suatu saat akhirnya menikah dengan seorang lelaki tua.
            Sepasang semut, Ummu Naubah dan Abu Masyghul mendengar semua ucapan perempuan setengah baya itu. Sepasang semut itu juga menahan keharuan.  Itulah kehidupan manusia, saling berseteru, saling bermusuhan, hingga akhirnya korban-korban berjatuhan. Selagi bumi terbentang permusuhan sesama manusia tidak pernah reda  dan itulah yang tidak pernah terjadi dalam kehidupan semut.
                                                ***
            Mbak Retno dan suaminya meneguk air zam lagi-lagi. Amat lama  mereka berdua istirahat di kaki  Bukit Marwah dan orang-orang yang melakukan sa’i terus berjejal dan doa-doa terdengar bergaung di ruangan itu. Sesekali Bang Fadhil mengucap salam bila ada jamaah yang dikenalnya, terutama jamaah dari kawasan Halmahera. Meskipun saat ini mayoritas warga disana beragama Nasrani, tapi tiap tahun jamaah haji dari kawasan itu selalu saja ada.
            Ketika itulah, ketika Mbak Retno beristirahat di kaki Bukit Marwah, dua ekor semut saling berpandangan. Semut jantan memberi ciuman di kening semut betina.
            “Naubah!,”  sapa semut jantan.
            “Ya,Abu Masyghul!”
            “Sebentar lagi semua pelaksanaan Ibadah Haji akan berakhir  dan Mbak Retno bersama suaminya akan kembali ke Tanah Air.”
            “Ya,sebentar lagi mereka akan meninggalkan Tanah Suci”
            “Apa yang kita inginkan bersama, sudah waktunya kita lakukan disini.”
            “Artinya perkawinan kita.”
            “Ya,perkawinan adalah keinginan semua mahluk. Juga mahluk semut seperti kita.”
            “Lakukanlah!”
            “Kamu sudah siap?”
            Semut betina mengangguk. Lirih, Semut jantan mulai membelai tubuh sang betina, lalu menciumnya mesra sekali.  Terdengar suara Ummu Naubah amat lirih.
            “Aku juga sudah siap andainya setelah perkawinan kita aku akan kehilangan dirimu.”
            “Aku juga rela untuk pergi selamanya. Aku juga rela kamu tinggal  sendirian di muka bumi menjadi ratu dan bertelur.  Aku akan pergi membawa kebahagiaan  meskipun kebahagiaan itu harus berakhir dengan kematian.  Takdir kehidupan semut   memang demikian, pejantan harus mati sesaat setelah perkawinan berlangsung.  Dan semut-semut jantan tidak pernah menyesali ketentuan itu. Semut pejantan tidak pernah menyesali kodrat itu. Mereka rela mati sesaat setelah perkawinan dan membiarkan sang betina menjadi  ratu lalu  bertelur hingga ribuan butir.”
            Sepasang semut itu saling berpelukan, saling bermesraan dan kawin sebagaimana setiap mahluk kawin. Sepasang semut itupun menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya dan mereka melakukan hal itu di tanah suci, di kaki bukit Marwah. Perkawinan memang menjadi impian setiap mahluk hidup. Perkawinan itulah yang kini sedang berlangsung bagi sepasang semut yang senantiasa menjadi saksi perjalanan hidup Mbak Retno yang kini beristirahat setelah melakukan sa’i.
            “Jangan sedih andainya setelah perkawinan kita, aku harus pergi untuk selamanya. Kamu tidak akan kelaparan,Naubah. Sebab sebelum kematianku, aku sudah berusaha mencarikan bahan makanan untukmu, untuk waktu yang panjang.” bisik Abu Masyghul, semut jantan di telinga semut betina, Ummu Naubah.
            “Terima kasih, aku akan selalu merasa kamu tetap di sisiku meskipun kamu sudah meninggalkan aku untuk selamanya.”
            Sepasang semut hitam itu berpelukan lagi, amat erat. Perkawinan mahluk semut hanya berlangsung beberapa saat saja.
            “Kalau kamu kembali menjejakkan kaki di tanah air, sampaikan salamku kepada semua sahabat sesama semut,”  itulah pesan terakhir  semut jantan seusai melakukan perkawinan.
            “Aku akan menyampaikannya dengan baik, meskipun aku mengatakannya dengan derai air mata.”  sahut semut betina yang baru saja menikmati kemesraan bersama sang jantan, suaminya.
            “Kenapa harus dengan derai air mata?. Kenapa harus dengan tangisan?,”  sang jantan menatapnya amat dalam.
            “Karena  aku akan pulang sendiri. Karena yang menyertaiku hanya telur-telur yang kukandung.”
            Sang jantan melihat ada setetes air mata menitik.  Tangan sang jantan bergerak perlahan dan menyeka air mata itu.
            “Tidak usah menangis, karena perpisahan harus terjadi. Aku sudah rela menerima takdir ini.”
            Semut jantan itu memberikan ciuman di pipi sang betina. Sesaat lagi mereka akan berpisah, sang jantan mati sesuai kodratnya, lalu sang betina dengan membawa calon telur-telur dalam perutnya akan kembali ke tanah air.  Setiap semut jantan sudah tahu, bahwa ia pasti akan mati setelah melakukan perkawinan.
            Karena itulah semut jantan sebelum perkawinan itu berlangsung di kaki bukit Marwah, semut jantan harus bekerja keras. Ia mencari makanan sebanyak-banyaknya dan menyimpannya di dalam tas  milik  Hajjah Mbak Retno Ramadhani Anisa. Dalam tas yang berisi paspor dan dokumen perjalanan haji  ,sekarang terdapat  sisa makanan berupa serpihan kurma serta sisa makanan lainnya. Pemilik tas  itu tidak  menyadari, bahwa dalam tasnya ada makanan untuk persediaan semut  betina selama beberapa minggu bila sang jantan mati setelah melakukan perkawinan.  Semut bukanlah hewan yang rakus. Semut makan hanya sedikit sekali. Semut bukanlah mahluk seperti manusia  yang mempunyai selera makan yang tinggi. Hanya secuil makanan cukup untuk membuatnya kenyang dan mampu bertahan untuk hidup.  Bahkan semut merasa kenyang hanya dengan  mencium bau makanan.
Karena itulah, meskipun makanan serpihan kurma dan makanan   sisa lainnya   untuk persediaan beberapa minggu ke depan hampir tidak terlihat oleh mata manusia.  Hanya sedikit, hampir tidak tampak oleh mata manusia, tapi mampu untuk mengenyangkan perut seekor semut selama beberapa bulan. Bahkan untuk beberapa bulan, hingga semut betina mengerami telur-telurnya Hanya sedikit sekali, tapi mampu untuk persediaan  bagi semut betina selama beberapa  minggu.  Semut memang mahluk yang sangat hemat hidupnya. Hemat dan prihatin.
            Perkawinan  sepasang semut itu memang  saling dikehendaki sehingga  terasa amat indah, penuh kemesraan dan kasih sayang.  Perkawinan memang amat indah dan manis. Apalagi mereka melakukannya tanpa ragu lagi.  Kenapa harus ragu-ragu kalau semut jantan sudah mneyediakan makanannya untuk beberapa waktu ke depan?. Ummu Naubah akan berubah menjadi ratu yang setip hari mempunyai tugas hanya bertelur  kemudian mengeraminya sementara jantannya sudah mati. Itulah dunia kehidupan semut.
            Saat kematian bagi semut jantan itupun sudah sangat dekat. Tubuhnya mulai lemas. Ia mencoba untuk bersikap tenang ketika nyawanya perlahan  sekali  dipisahkan  dari jasadnya. Semut jantan itu tampak sudah pasrah menerima nasibnya, mati setelah perkawinan berlangsung. Ia rela menerima kematian itu. Semut jantan itu memandang kepada Ummu Naubah.
            “Aku akan meninggalkanmu sesaat  lagi, Ummu Naubah,”  bisik semut jantan.
            “Rasanya aku tidak kuat menghadapi kenyataan ini. Aku merasa tidak kuat untuk hidup tanpa dirimu.”
            “Tapi kita harus berpisah. Ajalku sudah sangat dekat. Aku sudah siap untuk meninggalkanmu. Dan kamu tidak perlu ragu-ragu untuk menghadapi hari-hari mendatang, sebab aku sudah menyediakan makananmu selama beberapa bulan ke depan.  Kamu tidak usah khawatir akan  kelaparan hidup sendiri!”    
            “Aku mohon doamu agar hatiku tabah dan kuat.”
            “Aku akan selalu mendoakanmu hingga nafasku terakhir.”
            “Cium aku untuk terakhir kalinya,”  pinta semut betina.
            Semut jantan mendekat dan memeluknya erat sekali lalu menciumnya.
            “Selamat tinggal , sayang!,” itulah  ucapan semut jantan yang terakhir kali.
            Semut betina tidak mampu berkata apapun. Hatinya terlalu rapuh, hatinya luluh dan hancur berkeping-keping. Seekor semut jantan yang menjadi sahabatnya,  setiap saat, sejak dari tanah air menyertai Mbak Retno melakukan ibadah haji sebentar lagi akan menghembuskan nafas terakhir.  Ummu Naubah merasa amat sedih pasangan hidupnya  akan pergi untuk selamanya padahal mereka baru sesaat  melakukan perkawinan.
            Perlahan sekali nyawa semut itu berpisah dari jasadnya. Kepergiannya diiringi derai air mata semut betina yang berusaha menahan kepiluan di dasar hatinya. Ia menyaksikan sendiri bagaimana saat-saat terakhir kehidupan pasangannya. Semut jantan itupun akhirnya mati di sisi semut betina. Perlahan sekali kematian itu terjadi. Semut jantan itu tidak merasakan sakit sedikitpun  ketika nyawanya dicabut.  
            Sekarang hanya tinggal semut betina sendiri yang akan berubah status menjadi ratu, yang tugasnya sehari-hari hanya bertelur dan makanpun sudah tersedia di sisinya yang dikumpulkan sang jantan sebelum kematiannya. Semut betina itu akan tetap menyaksikan Mbak Hajjah Retno melangkahkan kakinya pulang ke tanah air.
            Semut betina itu, tanpa semut jantan lagi,  masih sempat menyaksikan   perempuan yang berasal dari keluarga penjual jamu itu  menyempatkan dirinya untuk membeli oleh-oleh di Pasar , yang tidak jauh dari  Masjidil Haram.  Suasana Pasar   amat ramai luar biasa karena para jamaah yang berbelanja untuk oleh-oleh pulang ke tanah air.
            Dengan ditemani lelaki kelahiran Sumatera yang sudah menjadi suaminya,Mbak Retno  membeli belasan  tasbih, jilbab dan kopiah warna putih  dan kurma untuk oleh-oleh jiran tetangga dan sahabat serta kerabatnya. Tidak ada  benda-benda berharga mahal  yang dibeli Mbak Rento. Untaian tasbih dan jilbab serta buah kurma sudah merupakan oleh-oleh dari Tanah Suci  yang tidak ternilai harganya. Apalagi para tetangga , kerabat dan sahabat yang datang menyambut kepulangannya nanti akan meneguk air zam-zam  pasti mereka sangat bersyukur. Meskipun hanya setetes, apalagi seteguk air zam-zam, akan terasa sejuk dan  nikmat di kerongkongan.  Air zam-zam memang mengandung rahmat. Dan semua amanah dari jiran dan tetangga sudah dilaksanakannya di Tanah Suci. Semua titipan doa-doa khusus sudah dilakukannya  di berbagai tempat.
            “Selamat tinggal Masjidil Haram, selamat tinggal Ka’bah, selamat tinggal Telaga Zam-Zam, selamat tinggal Tanah Suci,”  itulah kata-kata yang tergetar dari bibir Mbak Retno dan suaminya  setelah ia melakukan tawaf selamat tinggal.  Mereka tidak mampu membendung air mata, mereka tidak mampu menahan tangis di saat akan meninggalkan Tanah Suci yang selalu dirindukan berjuta-juta ummat Islam di seluruh penjuru dunia.
Pesawat Garuda berbadan lebar menerbangkan Mbak Retno dan suaminya kembali ke Tanah Air. Dua orang jamaah haji yang meninggal dunia  dari rombongan   Bang Fadhil menyebabkan  Mbak Retno pindah pesawat dan bergabung dengan suaminya.  Tuhan benar-benar mempertemukan keduanya  untuk selamanya. Mereka tidak akan terpisah lagi. Seekor semut betina berwarna  hitam yang sedang bertelur juga ikut kembali ke Tanah Air. Semut betina itu juga tidak mampu menahan air mata. Semut betina itu menitikkan air mata meninggalkan Tanah Suci.   Ummu Naubah amat sedih karena pulang ke Tanah Air seorang diri, sementara sang jantan sudah mati meninggalkannya.
                                                ***
            Sebuah   mobil tua  sudah menunggu di halaman Asrama Haji  untuk menjemput Mbak Hajjah Rento pulang dari Tanah Suci. Ratusan mobil yang  parkir di halaman Asrama Haji itu pada umumnya adalah mobil-mobil bagus dan mahal ,sebab mereka yang berangkat ke Tanah Suci biasanya adalah orang-orang yang mampu hidupnya.  Hanya sebuah mobil tua  yang parkir di sana  karena  jamaah yang dijemput juga bukan berasal dari keluarga kaya, tapi seorang perempuan yang berasal dari keluarga amat sederhana, dari keluarga penjual jamu dan tinggalpun di rumah  gang sempit  di kawasan kelas bawah, di pinggiran sebuah kota Metropolitan.   Bahkan mobil tua itupun disewa dengan cara patungan oleh warga sekitar gang sempit ,tidak jauh dari pinggiran sungai.
            Belasan jiran tetangga dan keluarga serta kerabat yang menjemput mengulurkan tangan dan memberinya ciuman di pipi. Semua tampak amat gembira menyambut kepulangannya.  Dan semua terheran-heran karena Hajjah Retno pulang dari Tanah Suci tidak seorang diri, tetapi bersama seorang lelaki bernama Bang Fadhil yang pernah tersiar kabar ia sudah  mati di tangan para penjahat. Beberapa jiran tetangga memang sudah mengenal lelaki kelahiran Sumatera itu, ketika masih pacaran dengan Mbak Retno dulu.
            Jiran tetangga, kerabat dan sahabat seperti melihat sebuah keajaiban, seorang yang dikabarkan sudah mati, tenyata  kini muncul lagi bersama Mbak Rento pulang  dari Tanah Suci.  Bahkan lelaki yang sudah menjadi suami Mbak Rento sekarang tampak lebih  gagah berpakaian serba putih. Seuntai tasbih selalu ada di tangan kanan lelaki itu.
            “Rasanya kami tidak percaya, Mbak Hajjah!,”  semua berkata begitu kepada Mbak Retno.
            “Nanti  Bang Fadhil akan  bercerita apa yang telah terjadi sebenarnya. Terlalu panjang untuk diceritakan di sini.”
            Perempuan dari keluarga sederhana yang sekarang   menyandang gelar hajjah itu naik ke mobil tua yang sengaja   disewa oleh warga para tetangga Mbak Retno. Bang Fadhil duduk di sisinya tanpa canggung. Lelaki itu  memang sudah bertekad untuk  tinggal di rumah  yang dihuni Mbak Retno, lalu setelah beberapa hari kemudian  , lelaki itu akan memboyong Mbak Retno ke rumahnya yang lebih layak huni meskipun berukuran kecil.
            Tapi  mobil tua itu tidak segera berjalan, tidak segera meluncur keluar halaman Asrama Haji karena memang mesinnya sudah sangat rewel dan lebih sering mogok dari pada berjalan. Mobil tua itu terpaksa didorong lebih dulu baru mesinnya dapat hidup.  Namun sebelum mobil tua itu bergerak meninggalkan Asrama Haji, dua orang lelaki muda tiba-tiba muncul dan menghadang mereka.
            “Tunggu!!. Tunggu dulu!,” ujar salah seorang yang menghadang.
            “Maaf, kami ingin bertemu dan bicara dengan Bang Haji Fadhil,”  sapa salah seorang lelaki muda lainnya.
            Lelaki di sisi Mbak Hajjah Retno kaget. Ia tidak menduga sama sekali kepulangannya dari Tanah Suci, sebelum menginjakkan kakinya di rumah, dua orang yang sangat dikenalnya tiba-tiba menghadang. Bang Fadhil tahu, bahwa mereka adalah Rommy dan Leo, dua orang adik lelaki dari almarhumah isterinya yang semula bernama Martha alias Masyitah.  Bang Fadhil tahu benar ,bahwa kedua adik almarhumah isterinya   masih berakidah non muslim. Kedua adik almarhumah isterinya masih penganut Kristen yang fanatik dan tiap minggu hadir di gereja untuk mengikuti kebaktian minggu.  Mereka masih berstatus mahasiswa di sebuah Perguran Tinggi swasta yang berorientasi kepada agama non muslim.
            Bang Fadhil  yang sudah menyandang gelar haji turun dari mobil tua yang ditumpanginya dan seuntai tasbih ada di tangannya.
            “Selamat datang, Bang Fadhil,”  sapa Rommy dan Leo bersamaan. Tanpa ragu-ragu Bang Fadhil menerima uluran tangan kedua adik almarhumah istrinya.
            “Terima kasih ,Leo dan Rommy.”
            “Maafkan kami menemui Bang Fadhil di tempat ini.”
            “Tidak mengapa. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres,”  cetus  lelaki kelahiran Sumatera itu.  Berbagai dugaan timbul di benak lelaki itu.
            “Ya, papa sakit. Sudah tiga hari  papa terbaring di rumah sakit.  Sejak papa jatuh sakit, kami memboyongnya dari Halmahera kemari dan langsung masuk rumah sakit karena keadaannya  sangat  serius.”
Sesaat lelaki yang kini sudah menjadi suami Mbak Retno itu termenung. Seperti ada benang kusut di benaknya.
“Apa kata dokter?”
“Ginjal papa kambuh lagi”
Lelaki kelahiran Sumatera itu hanya mampu menghela nafas panjang. Bekas bapak mertuanya yang selama ini bermukim di Halmahera itu, kini sudah diboyong ke Jakarta dan harus menjalani rawat inap karena penyakit gagal ginjal yang sudah sangat lama dideritanya. Sejak dulu, lelaki berumur lebih setengah abad  itu memang tidak menghendaki kehadirannya. Sejak dulu lelaki warga asli Pulau Halmahera  itu memang sama sekali tidak mengharapkan Bang Fadhil menjadi  menantunya.    
            Lelaki itu adalah mertuanya, Alex Manuputty, tetapi jurang pemisah terasa amat dalam di antara mereka berdua, terutama karena  Bang Fadhil adalah seorang muslim dan mampu mempengaruhi istrinya berubah akidah dari seorang Nasrani menjadi seorang muslimah. Yang lebih membuat lelaki itu lebih murka lagi karena nama  hotel yang sudah dihibahkan kepada puterinya juga dirubah menjadi  Hotel Ar Rahman. Bahkan karyawan-karyawan hotel yang beragama Nasrani  secara perlahan-lahan ditiadakan dan kini semua pekerja di hotel itu adalah muslim,apalagi dibagian restorannya.
            Lelaki yang memiliki duit banyak sebagai pemilik hotel itu amat benci kepada Bang Fadhil. Tapi pada saat ia jatuh sakit, pada saat pinggangnya terasa amat ngilu, barulah kebencian itu berubah. Gagal ginjal membuatnya sangat tersiksa.
Apalagi ketika dokter yang merawatnya  menganjurkan kepada lelaki itu untuk melakukan transfalasi ginjal. Ia butuh seseorang yang mau mendonorkan satu ginjal kepadanya. Yang pasti adalah donor gainjal dari seseorang yang masih hidup dan sehat. Bukan ginjal orang yang sudah mati. Bukan ginjal seseorang yang sedang sekarat karena penyakit berat yang dideritanya.  Ginjal yang dianjurkan dokter adalah ginjal dari orang yang benar-benar sehat, meskipun dari keluarga miskin. Bahkan dokter juga menganjurkan transfalasi ginjal itu benar-benar ginjal yang tidak mengalami infeksi gigi dan mulut.
            Lelaki itu sudah keliling negeri ini untuk mencari seseorang  yang mau mendonorkan ginjalnya, tapi sia-sia. Ia mencarinya hingga ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusatenggara. Bahkan hingga ke Papua,tapi sia-sia. Bila ia menemukan seseorang yang bersedia memberikan ginjalnya adalah manusia yang berpenyakit dan hampir mati, seperti  penderita TBC, penderita Diabetes Melitus berat atau penderita Hepatitis. Tidak pernah ada orang yang benar-benar sehat yang mau mendonorkan  ginjalnya. Teramat sulit untuk mendapatkan ginjal dari orang yang masih hidup dan sehat. Kalaupun ada pendonor ginjal adalah laki-laki penderita hypertensi akut yang ginjalnya tidak lagi sehat.
            “Insya Allah saya dapat membantu papa mendapatkan donor ginjal,”  Bang Fadhil ingat benar ia pernah berkata seperti itu kepada mertuanya beberapa tahun yang silam. Bang Fadhil teringat masa lalunya ketika masih bermukim di Halmahera dan menjenguk mertuanya yang sakit.
            “Dari kalangan orang miskin?”  mertuanya  menatap wajah Bang Fadhil.
            “Bukan!”
            “Biasanya orang-orang muslim yang selalu menerima santunan zakat fitrah selalu butuh duit. Mungkin mereka butuh pertolongan. Saya akan menolongnya. Adakah dari keluarga fakir yang butuh pertolongan uang”
            “Tidak ada!”
            “Dari golongan orang-orang yang berhutang”.
            “Saya kira juga tidak ada.”
            “Dari kalangan mualaf?’.  Orang-orang mualaf biasanya sangat mengharapkan bantuan uang.  Kami akan menolongnya.”
            “Rasanya dari golongan itu juga tidak ada.”
“Dari kalangan fisabilillah?”
            “Orang-orang dari kelompok fisabilillah adalah kaum yang memiliki istiqomah. Mereka tidak pernah tergiur oleh kebendaan dan uang. Mereka tidak mudah menggadaikan imannya. Apalagi menjual ginjalnya.”
            “Atau yatim piatu mungkin?”
            “Yatim piatu adalah tanggung jawab setiap muslim. Semua kaum muslimin akan sangat marah kalau ada seseorang memintanya menjadi donor ginjal lalu membayarnya dengan uang.”
            “Musafir. Adakah musafir di negeri kita yang butuh uang?”
            Bang Fadhil hanya menggeleng lirih. Alangkah sombongnya lelaki ini, pikirnya. Karena duitnya banyak lalu seenaknya ingin membeli ginjal dari kalangan kaum muslimin yang fakir, miskin atau musafir. Orang Islam di negeri ini mamang banyak yang hidup miskin, tetapi  tidak semudah itu menggadaikan imannya.
            “Kalau papa benar-benar menghendaki, ada seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya.”
            “Panggil ia kemari.”
            “Tapi papa harus ingat, seseorang yang mau memberikan  ginjalnya kepada  papa adalah seorang pemabuk, seorang peminum berat dan mungkin juga pecandu narkoba”
            “Tentu saja tidak mungkin!”  lelaki kaya itu menolak.
            “Bersabarlah papa, sampai suatu saat saya menemukannnya.”
            “Bersabar hingga kapan?. Jangan tunggu papa meninggal baru seseorang yang mau jadi donor ginjal datang ke rumah ini.”
“Tidak terlalu lama.”
“Seminggu? Sebulan?  Atau setahun?”
“Insya Allah, setelah saya kembali dari Naik Haji!”
Lelaki yang dianggap tokoh di kawasan Indonesia Timur itu menghela nafas panjang karena kecewa, tapi ia tetap bersabar karena gagal ginjalnya belum terlalu parah. Masih ada kemungkinan dapat bertahan selama beberapa bulan lagi.
“Baiklah, papa akan menunggu.”
“Tapi dengan satu syarat.”  Bang Fadhil berkata lagi sejujurnya.
”Syarat berupa apa?
”Lelaki pendonor ginjal itu tidak menghendaki  imbalan uang.”
“Sungguh mengherankan. Apa pula yang dikehendakinya. Rumahkah?”, lelaki kaya itu menatap  wajah menantunya amat dalam.
“Bukan rumah!”
“Lalu apa?. Dia butuh  toko sembako untuk hidupnya”
Sang menantu menggeleng lagi.
“Apakah ia butuh pekerjaan dengan gaji yang lumayan?. Papa akan memberikannya.”
“Bukan!. Bukan itu yang dihendaki!.”
“Lalu apa?”
“Saya tidak dapat mengatakannya sekarang, tapi nanti, setelah saya pulang dari menunaikan rukun Islam yang kelima.”
Semua pembicaraan itu terngiang kembali di rongga telinga Bang Fadhil yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah air setelah kembali dari Tanah Suci.
“Papa selalu menyebut nama Bang Fadhil dan Papa sangat mengharapkan kehadiran Bang Fadhil di rumah sakit.” ujar lelaki yang menghadangnya.
Sesaat lelaki kelahiran Sumatera itu memikir-mikir. Ia baru saja sesaat menjejakkan kakinya di tanah air dan bermaksud untuk istirahat di rumah Mbak Retno, tetapi sekarang mendadak kedua  adik-adik  almarhumah istrinya menghadang dan mengharapkan kehadirannya di rumah sakit karena  papa mereka dalam keadaan terbaring lemah.  Istri pertama lelaki kelahiran Sumatera itu, Ummi Masyitah memang sudah meninggal dan  lelaki yang  kini terbaring di rumah sakit itu tetap sebagai mertuanya meskipun dulu tidak menyukai dirinya.
Lelaki itu memandang kepada Mbak Retno yang sudah duduk dalam mobil tua yang akan membawanya pulang ke rumahnya di kawasan gang sempit.
“Pulanglah ,Retno. Aku harus segera ke rumah sakit.”
‘Siapa yang sakit?”
“Mertuaku. Ia butuh bantuanku. Ia butuh kehadiranku. Ummi Masyitah memang sudah meninggal, tetapi ia masih tetap sebagai mertuaku dan aku merasa berkewajiban menjenguknya meskipun sesaat.”
“Aku ingin ikut!”
“Tidak usah. Bukankah di rumahmu ada acara penyambutan kepulanganmu? Jangan kecewakan mereka.  Nanti setelah  acara selesai, kalau aku belum pulang kamu boleh  menyusulku ke rumah sakit.”
Lelaki itu menyebutkan nama rumah sakit  di kawasa Jalan Gatot Subroto, sebuah rumah sakit mewah yang taripnya mahal. Hanya orang-orang yang hidupnya mampu dan kaya mampu dirawat di rumah sakit  itu.
                                    ***
            Ketika Bang Fadhil tiba di rumah sakit itu,lelaki yang dianggap tokoh masyarakat dan sangat dermawan di kawasan Halmahera itu terbaring lemah.
“Selamat datang di tanah air Fadhil.”  sapa lelaki yang terbaring itu  ketika Bang Fadhil sudah   tegak di sisi ranjang mertuanya  yang  terbaring tanpa daya.
“Saya bersyukur dapat bertemu kembali dengan papa!,” sahut Bang Fadhil.
“Terima kasih kamu sudah berkenan menjenguk papa  pada waktu yang sangat tepat .”
Bang Fadhil hanya tegak dan berdiam diri.
“Pada saat seperti ini, pada saat papa tidak berdaya, papa selalu ingat dirimu. Dokter tetap menyarankan agar ada seseorang  yang mau menjadi donor ginjal bagi papa.”
“Saya  akan tetap ingat janji saya.” sahut lelaki kelahiran Sumatera yang masih mengenakan pakaian serba putih dan seuntai tasbih selalu di jari  tangannya.
“Syukurlah kalau kamu masih ingat janji itu. Sekarang papa butuh bantuan itu. Sudahkah kamu bertemu dengan seseorang  yang mau memberikan ginjalnya untuk papa?”
Bang Fadhil mengangguk.
“Saya sudah  bertemu dan bicara dengannya.”
“Tentang kesediaannya?.”
“Ya”
“Juga tentang harganya?”
“Ya”
            “Berapa papa harus memberikan uang kepadanya?,”  tanya lelaki setengah tua yang uangnya banyak itu.
            “Harganya mahal.”
            “Berapa?.  Lima puluh juta?.”
            “Tidak semurah itu?
            “Seratus juta?”
            “Masih kurang.”
            “Dua ratus juta harus papa berikan kepadanya?”
            “Saya kira belum mencukupi, sebab seseorang yang memberikan satu ginjalnya kepada orang lain taruhannya adalah nyawa.”
            “Tiga ratus juta rupiah?. Rasanya papa masih mampu membayar semahal itu.” Lelaki kaya itu amat bersemangat. Ia belum ingin mati direnggut gagal ginjal. Ia ingin hidup lebih lama. Ia masih ingin tetap sebagai donator untuk misionaris yang menyebarkan agama Nasrani di tempat-tempat terpencil di  Papua.
            “Masih belum memadai.”
            “Harus berapakah papa memberikan uang kepadanya?”
            “Tidak terkira”
            “Sikapmu membuat papa tidak mengerti. Papa sedang sakit, papa sedang tidak berdaya, seharusnya kamu berterus terang kepada Papa. Apa yang harus papa berikan kepada seseorang yang berkenan menjadi pendonor ginjal buat papa.”, lelaki  yang terbaring itu penuh harap.
            “Papa mau mendengar kata-kata saya dengan tekun?”
            “Tentu saja!. Karena Papa memang  berharap segera sembuh dan hidup wajar tanpa beban penyakit seperti ini. Penyakit ini sangat menyiksa papa terlalu lama.”
            “Terus terang, Papa. Seseorang yang akan memberikan ginjalnya untuk papa tidak mengharapkan uang satu senpun, juga tidak mengharapkan rumah atau benda-benda berharga lainnya.”
            “Bantuan moral mungkin?. Pekerjaan?  Atau lapangan hidup lainnya?.”
            “Juga tidak!”
            “Lalu apa yang dipintanya?”
            “Ia seorang muslim.”
            “Kaya atau miskin?”
            “Sedang-sedang saja!”
            “Lalu apa yang dipintanya?. Papa berjanji apapun syarat yang dipintanya Papa akan berikan mskipun amat berat.”
            “Sungguh-sungguhkah papa berkata begitu?.  Apakah kata-kata itu benar-benar lahir dari dasar hati Papa yang paling dalam?”
            “Ya!.  Demi Tuhan dan demi Bapa di Surga.”
            “Pemilik ginjal itu sebenarnya adalah seorang muslim dan tidak selayaknya  diberikan kepada seseorang yang bukan muslim”
            Kata-kata itu membuat lelaki yang terbaring itu terdiam sesaat.
            “Lalu bagaimana jalan keluarnya karena Papa bukan seorang muslim?.”
            “Terus terang, lelaki yang ingin mendonorkan ginjalnya adalah manusia biasa, seorang muslim sejati. Ia juga ingin hidup wajar, ia ingin hidup sehat dan sempurna. Ia khawatir setelah memberikan ginjalnya kepada orang lain, lalu terjadi hal-hal yang membuat hidupnya berubah.”
            “Ia takut cacat?  Ia takut hidupnya tidak sempurna lagi?. Ia takut umurnya tidak panjang?. Ia takut tidak akan punya keturunan?”
            “Itu adalah salah satu hal yang dipertimbangkannya”
            “Dokter sudah  memberikan penjelasan, bahwa seseorang dengan satu ginjal dapat hidup normal, layak dan punya keturunan.”
            Lelaki  yang dilahirkan di Sumatera itu tertegun sejenak,tapi sesaat kemudian ia menatap wajah mertuanya yang tampak kurus dan pucat.
            “Papa ingin hidup layak juga,bukan?. Papa ingin hidup tenang juga,bukan?. Papa ingin hidup sehat,bukan?”
            “Tentu!. Hidup bebas dari penyakit. Hidup sehat dan rutinitas sehari-hari tidak mengalami gangguan apa-apa.”
            “Papa mau memenuhi permintaan lelaki pendonor gainjal itu ,bukan?. Yakinlah Papa, bahwa setelah papa mendapatkan ginjal  darinya, Papa akan hidup tenang dan sehat.”
            “Katakanlah, papa akan mendengarnya dan Papa akan mengabulkan segala yang dipintanya.”
            “Terus terang, permintaan itu akan sangat berat bagi Papa. Tapi Papa akan mendapatkan ketenangan hidup, bahkan juga kebahagiaan. Papa akan hidup layak dan normal sebagai mana manusia yang sehat.”
            “Demi Bapa di surga, Papa akan memenuhi permintaannya.”
            “Pintanya hanya satu, bukan berbentuk uang atau harta. Ia seorang muslim dan ia berharap bila suatu saat Papa hidup sehat karena ginjal yang diperoleh darinya , Papa juga harus menjadi muslim.”
            Kata-kata itu membuat lelaki  yang tidak berdaya itu  terdiam amat lama. Sukar baginya untuk mempertimbangkan permintaan itu.  Kata-kata itu   terdengar seperti petir yang menyambar kepalanya di siang bolong,di panas terik. Permintaan itu dirasakannya  terlalu mahal, lebih dari lima milyar rupiah. Sungguh tidak mungkin dikabulkan oleh seorang  yang memang bukan muslim. Apalagi bagi seorang Nasrani yang sangat fanatik. Apalagi selama ini ia dikenal sebagai  penyandang dana untuk kegiatan penyebaran Kristen di pedalaman Papua.
            “Rasanya tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin. Papa adalah seorang  Nasrani dan taat kepada ajaran  Jesus, bagaimana Papa mungkin akan meninggalkannya?. Sungguh tidak mungkin!.”
            “Semuanya terpulang kepada Papa sendiri. Kalau Papa merasa tidak mungkin memenuhi permintaan sang pendonor   ginjal itu  tidak menjadi persoalan, sebab ia merasa justru  organ pada dirinya masih tetap utuh. Ia hanya mau menyumbangkan ginjalnya tanpa bayaran satu senpun. Yang   dipintanya hanya orang yang membutuhkan ginjalnya mau menjadi seorang muslim. Tidak lebih dari itu.  Iapun akan mendoakan semoga yang menerima donor ginjalnya selalu sehat dan mendapat perlindungan dari Allah. Ia yakin benar, bahwa  ginjal yang didonorkan berasal dari seorang muslim, lalu setelah ginjal itu dimiliki orang lain, si penerima akan menjadi muslim pula. Mudah-mudahan Allah bersama malaikat-malaikatnya akan bersamanya serta selalu mendapat Rahmat sebesar-besarnya.”
            Kata-kata menyentuh dasar hati lelaki  yang terbaring tanpa daya itu.
Sesaat lelaki bertubuh kurus itu termenung.
            “Papa boleh memilih, hidup tanpa daya dan mungkin pula kehidupan Papa akan berakhir karena gagal ginjal. Atau segera sehat dan hidup layak setelah memperoleh ginjal baru, tapi Papa menjadi seorang muslim.”
            Lelaki yang terbaring itu semakin termenung.
            “Papa ingin sehat,bukan?”
            “Tentu!. Papa sudah tidak sanggup terbaring seperti ini. Sungguh sangat menderita. Papa sudah tidak sanggup lagi menahan sakit. Sakit ini seperti sebuah siksa yang berkepanjangan.”
“Siksa itu akan segera berakhir. Derita itu tidak akan papa rasakan lagi, bila pemberian ginjal orang lain melekat pada tubuh Papa. Tapi saya mohon dengan segala kerendahan hati, Papa dapat menjadi seorang muslim. Papa akan hidup sehat. Allah akan menyembuhkan penyakit papa.”
Kata-kata itu semakin  menggugah  hati lelaki yang terbaring dan ia menyeringai menahankan rasa sakit yang luar biasa pada bagian pinggangnya.  Lelaki itu benar-benar tersiksa oleh  penyakitnya.
            “Sampai kapan papa akan mampu bertahan dengan penyakit seperti ini?”
            “Rasanya tidak mampu. Terlalu berat siksa ini!”
            “Islam itu mulia,Papa. Setelah Papa menjadi seorang muslim, semua muslim akan menjadi saudara Papa.  Dan dalam setiap gerak muslim selalu diatur oleh Qur’an dan hadist sehingga tidak pernah merugikan orang lain, tidak pernah  memakan hak orang lain, dan  tidak akan pernah menyakiti orang lain. Kalau Papa sakit semua ummat muslim akan mendoakan kesembuhan Papa.”
            Kata-kata itupun semakin menggugah hati lelaki  yang sudah tidak berdaya itu.
            “Papa akan segera sehat. Papa akan kembali tegar seperti sedia kala!” tukas Bang Fadhil lagi.
Betapa lelaki yang terbaring itu ingin kembali hidup normal, tanpa siksaan rasa sakit sedikitpun.  Rasanya ia amat merindukan hidup bebas dari siksaan sakit yang berkepanjangan.
            Setelah beberapa saat lelaki itu berpikir dan menimbang-nimbang, apa lagi setelah siksaan rasa sakit  pada  pinggangnya semakin perih, lelaki itu menatap wajah menantunya yang baru menjejakkan kakinya dari Tanah Suci.  Penderitaannya semakin mendera.  Suaranya  lirih, tetapi pasti:
            “Papa  menerima tawaran itu. Bila Papa kembali sehat, Papa akan menjadi seorang muslim bersama dua orang anak papa,  Leo dan Rommy”
            “Terima kasih, Papa!’
            “Segera panggil orang itu kemari. Papa  akan mencium tangannya, papa akan mengatakan, bahwa Papa akan menjadi muslim bila Papa benar-benar sehat dan hidup normal.”
            “Orang yang akan mendonorkan ginjalnya sudah ada di sini,Papa.”
            “Mana?”, lelaki yang terbaring itu memandang keliling kamarnya, tetapi tidak ada orang lain selain menantunya.
            “Saya!.” Lelaki kelahiran Sumatera itu menunjuk dadanya sendiri.  “Menantu Papa sendiri yang akan memberikan sebuah ginjalnya untuk Papa. Mudah-mudahan Allah akan bersama kita.”
            Lelaki tanpa daya itu menggenggam jari tangan menantunya amat erat.  Ia seperti sedang  mencari sebuah tempat berpegang yang kukuh dan tegar. Lelaki itu sudah menemukan tempat berpegang yang amat tegar sekarang.
                                                ***
            Dokterpun segera datang untuk melakukan  pemindahan ginjal dari seorang menantu kepada mertuanya setelah kesehatan Bang Fadhil diperiksa amat teliti. Bang Fadhil memang benar-benar sehat. Bahkan pada bagian mulut dan gigipun tidak ada infeksi. Apalagi lelaki kelahiran Sumatera itu selalu menghindari makanan yang haram dan tidak jelas sumbernya.   Syukurlah ada seseorang yang bersedia mendonorkan ginjalnya kepada  lelaki yang terbaring lemah itu. Terlambat beberapa saat saja, kematian akan merenggut nyawanya. Kehadiran  Bang Fadhil memang benar-benar tepat waktu, seperti sebuah mukjizat, ia  menyelamatkan nyawa mertuanya.
            Sebagai  seorang istri yang sudah terikat oleh pernikahan yang syah  yang diredhoi oleh Allah,  ada  kontak batin antara  Mbak Hajjah Retno dan  suaminya yang sudah memasuki ruang bedah.  Perempuan yang baru saja kembali dari Tanah Suci itu merasa terpanggil untuk segera menjenguk suaminya.  Seperti ada dorongan gaib untuk segera melangkahkan kakinya menyusul suaminya yang kini terbaring di ruang operasi di sebuah rumah sakit di kawasan  Jalan Gatot Subroto.
            Jalanan macet menyebabkan perjalanan  perempuan yang bertempat tinggal di kawasan gang sempit itu ke rumah sakit lebih dari tiga jam. Perempuan itu kaget setengah mati ketika tiba di rumah sakit, suaminya sudah berada di ruang bedah.  Kepalanya seperti dipukul dengan palu godam.  Seekor semut hitam  yang mulai bertelur  dan selalu ikut dengan Mbak Retno hingga ke Tanah Suci  juga ikut dengannya dan menempel di bagian bawah gaun panjangnya. Semut betina yang sudah kehilangan pasangannya yang mati di Tanah Suci  itu juga ikut heran. Sudah terlalu banyak hal-hal yang disaksikan semut betina itu. Binatang kecil berwarna hitam itu seakan menjadi saksi dalam setiap gerak kehidupan Mbak Hajjah Retno.
            “Suami saya sehat dan segar bugar. Suami saya tidak menderita penyakit apapun. Tidak mungkin ia harus menjalani operasi!,”  keluhnya kepada petugas rumah sakit.
“Suami ibu memang tidak sakit. Suami ibu segar bugar,”  sahut petugas rumah sakit.
“Tapi kenapa tiba-tiba harus menjalani operasi?. Rasanya tidak mungkin. Sungguh tidak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi?” perasaan curiga  menyelinap dalam rongga hati perempuan yang hanya berpendidikan pomdok pesantren  itu.
“Suami ibu memberikan ginjalnya  kepada seseorang!. Suami ibu mendonorkan satu ginjalnya”  seorang dokter terpaksa memberikan penjelasan resmi dan menunjukkan sebuah surat pernyataan di atas kertas bermeterai  yang sudah ditanda tangani  Bang Fadhil.
“Donor  ginjal?.,”  perempuan berkerudung putih itu semakin tidak mengerti. Ia semakin bingung.  Meskipun pendidikannya hanya di pondok pesantren, tapi ia tahu, bahwa ginjal  adalah organ tubuh yang amat penting, hampir sama dengan jantung atau sama pentingnya dengan paru-paru. Apa yang akan terjadi kalau seseorang telah kehilangan salah satu ginjalnya?.   Mampukah ia bertahan hidup?.  Atau hidupnya hanya beberapa bulan?. Mungkin hanya beberapa minggu. Mungkin pula Bang Fadhil tidak akan berumur panjang. Akan menderitakah hidupnya?.
“Ibu tidak usah khawatir andainya suami ibu mendonorkan ginjalnya. Suami ibu masih akan tetap hidup sehat dan normal seperti sedia kala.”  sahut dokter lagi.
“Kenapa begitu mudahnya suami saya memberikan ginjalnya?. Mungkinkah ada suatu tekanan atau paksaan.”
“Tidak ada tekanan  dari siapapun, tidak ada paksaaan.”
”Saya merasa hal ini tidak mungkin terjadi.”
”Kenapa tidak mungkin?. Suami anda memberikannya dengan ikhlas.”
Lagi-lagi dokter itu menunjukkan surat pernyataan yang ditanda tangani suaminya. Tidak ada tekanan, tidak ada  unsur paksaan dari siapapun.
“Kepada siapa suami saya memberikan ginjalnya?.”
“Ibu boleh membaca sebuah nama yang menerima donor itu.”
Perempuan  berkerudung putih itu membaca sebuah nama, Alex Manuputty. Dan ia amat  kaget ketika membaca hubungan keluarga penerima donor ginjal itu dengan suaminya, sebagai mertua.  Ia mengerti sekarang.  Ia memahami apa yang sedang terjadi.  Bang Fadhil rela  mengorbankan salah satu ginjalnya kepada mertuanya. Betapa amat besar  pengorbanan itu, tidak dapat dinilai dengan  materi. Setinggi Bukit Uhudpun  uang yang diberikan sebagai pengganti sebuah ginjalnya masih belum memadai.
Sebesar apakah rasa hormat Bang Fadhil terhadap mertuamu?.  Pengorbanan apakah yang pernah Bang Fadhil terima dari mertuamu?, pikir  Mbak Retno  ketika ia termenung amat lama.  Sudahkah Bang Fadhil memikirkan dalam-dalam risiko yang akan terjadi  saat menjalani  operasi  ginjal?. Bagaimana kalau  dokter melakukan kecerobohan hingga opersi itu gagal?. Pasti akibatnya adalah kematian.  Aku tidak ingin kehilangan dirimu.  Kehilangan itu amat  menyakitkan. Mbak Retno berkata-kata sendiri  hingga seekor semut betina yang merayap di gaunnya ikut-ikutan berkata.,bahwa sikap Mbak Retno adalah benar, bahwa kehilangan itu amat menyakitkan.  Sayapun pernah merasa kehilangan . Sayapun pernah kehilangan Abu Masyghul dan kini harus hidup dalam kesendirian, sungguh amat  menyedihkan. Hampir saja semut betina itu menitikkan air mata ketika ia ingat kematian pasangannya.
            Seharusnya Bang Fadhil  menimbang-nimbangnya seribu kali. Bagaimana kalau dokter anastesi tidak mampu bekerja secara benar dan operasi itu gagal?. Seharusnya  bukan  Bang Fadhil  yang menjadi donor ginjal bagi mertuamu. Bukankah masih ada famili dan kerabat dekat lainnya?.  Bukankah mertuamu juga masih memiliki menantu yang lain?.  Bukankah mertuamu masih mempunyai anak-anak yang lain dan sehat?.Bukankah mertuamu masih punya anak Leo dan Rommy yang sehat dan gagah?.  Bukankah ia juga punya kemanakan  atau adik?. Kenapa bukan mereka yang menjadi donor ginjal?. Kenapa harus Bang Fadhil?. Kenapa?  Kenapa???. Berbagai pertanyaan  terlontar dari celah bibir perempuan yang baru saja  kembali dari Tanah Suci itu.
            Tiba-tiba saja air mata bergulir di pipinya yang mulus.  Demi Tuhan,  aku tidak rela.  Aku tidak ikhlas  suamiku memberikan satu ginjalnya kepada orang lain meskipun orang lain itu adalah mantan mertuanya. Aku tidak rela.  Aku takut kehilangan suamiku.  Aku takut, setelah ia mendonorkan ginjalnya lalu suamiku menjadi orang yang cacat!. Mbak Retno berkata sendiri  dan kata-kata itu   terdengar oleh seekor semut betina yang sedang mengandung.  Sungguh  amat mengharukan.  Semut betina itu memahami isi hati Mbak Retno. Semut betina itu ikut sedih, karena ia baru saja kehilangan sang jantan yang mati sesaat setelah mereka kawin.
            Lebih tiga jam operasi transfalasi ginjal itu berlangsung, namun belum ada tanda-tanda akan usai. Perempuan yang baru kembali menjejakkan  kakinya dari Tanah Suci itu semakin cemas.  Airmatanya  berderai lagi. Membentuk sungai kecil  di pipinya.  Dari celah bibirnya, ia melantunkan doa-doa semampunya.
            “Ya,Tuhan. Selamatkan suamiku.  Perkenankan ia hidup  lebih lama sebagai suamiku. Jangan renggut nyawanya. Jangan pisahkan kami.”
            Mbak Hajjah Retno semakin cemas bila ia ingat, bahwa  banyak operasi yang dilakukan para dokter mengalami kegagalan.  Mbak Retno selalu membaca di berbagai majalah dan surat kabar, bahwa ada operasi kanker leher rahim gagal dan sang pasien  akhirnya meninggal.  Apalagi operasi tumor otak, si penderita akhirnya meninggal beberapa saat setelah pembedahan.  Bahkan operasi prostat juga banyak menelan korban.  Penderita kanker usus juga banyak yang tewas di tangan dokter. Begitu juga dengan bedah caesar, belum tentu semuanya selamat.  Pasien yang  meninggal  setelah operasi  caesar  berlangsung  juga banyak, bahkan bayinya juga tidak tertolong. Apalagi dalam hal jantung, banyak pasien yang akhirnya tidak tertolong.  Mal praktek  yang dilakukan dokter banyak terjadi dimana-mana.
            Bila ingat hal itu. Mbak Retno semakin takut kehilangan suaminya.  Ia takut dokter melakukan kesalahan.    Salah satu dari tim , seperti dokter bedah atau dokter ahli anastesi yang melakukan kekeliruan seujung jarumpun akan berakibat fatal.  Operasi mengangkat ginjal sudah pasti risikonya sangat tinggi. Taruhannya adalah nyawa.
            Mbak Rento lebih khawatir lagi bila suaminya kekurangan darah, pasti akibatnya adalah kehilangan nyawa.
            ”Ya,Tuhan. Lindungi suamiku dari kematian.  Lindungi Bang Fadhil. Jangan pisahkan kami. Jangan Engkau renggut nyawanya.”  Itulah doanya berkali-kali.  ”Jangan biarkan ia kekurangan darah. Jangan biarkan kami berpisah lagi.”
            Airmatapun masih berderai  ketika  operasi pemindahan  ginjal itu berakhir dan jasad  lelaki kelahiran Sumatera itu masih terbaring lemah di atas tempat tidur yang didorong keluar dari ruang operasi.  Mbak Retno mencium kening suaminya yang terasa amat dingin.  Lelaki itu masih belum sadar.  Sepasang matanya masih tertutup rapat, wajahnya pucat dan selang infus  masih melekat pada tubuh lelaki kelahiran Sumatera itu.
Jasad lelaki yang terbaring itu dipindahkan ke ruangan perawatan intensif.
            ”Bang Fadhil,”  suara itu lirih terdengar dari celah bibir Mbak Retno. Lelaki itu masih belum mampu membuka mata  dan  sekali lagi Mbak Rento mencium kening suaminya. Masih tetap dingin.  Lelaki itu seakan kekurangan darah.
            ”Saya disisimu, Bang Fadhil. Saya akan selalu ada di sisimu apapun yang terjadi atas dirimu,”  bisiknya perlahan dan air mata yang mengalir dipipinya jatuh di wajah lelaki itu.
            ”Jangan tinggalkan saya,Bang Fadhil. Jangan tinggalkan saya sedetikpun. Saya sangat mencintaimu. Saya tidak mampu bertahan hidup tanpa dirimu.”
            Perlahan sekali lelaki  yang pernah menjadi korban pengeroyokan para penjahat itu membuka mata  tetapi ia masih amat lemah.  Ia  masih belum mampu berkata-kata. Tatapan matanya kosong. Wajahnya masih amat pucat, seperti orang mati.
            ”Bang Fadhil, saya di sini.  Saya ada di sisimu,”  terdengar  lagi suara Mbak Retno perlahan di telinga lelaki itu.
            ”Retno,”   nama itu terdengar dari celah bibir lelaki yang terbaring itu.  Dada Mbak Retno  terasa plong ketika terdengar namanya disebut lelaki itu. Ia mengucap syukur, bahwa  lelaki itu masih memiliki  sisa nafas.  Lelaki itu masih hidup.  Lelaki itu masih  memiliki nyawa meskipun   kini ginjalnya hanya tinggal satu.  Satu lagi ginjalnya sudah diberikan kepada seorang lelaki yang berstatus  sebagai mantan mertuanya.
            ”Saya sangat cemas  pada dirimu. Saya khawatir pada dirimu.”
            “Aku baik-baik saja, Retno.”
            “Syukurlah. Tuhan masih melindungi dirimu.”
            ”Aku merasa amat haus. Maukah  kau memberiku setetes air!,”  pinta lelaki itu dengan suara amat perlahan.
            Mbak Retno meraih segelas air, tetapi perawat yang masih berada di ruang itu segera mencegah.
            ”Jangan berikan air minum!”
            ”Tapi suami saya merasa sangat haus.  Ia hanya mohon setetes air saja!”
            ”Belum waktunya untuk diberikan!”
            ”Aku merasa seperti di padang pasir yang amat terik dan tidak ada air. Aku amat haus.”
            ”Bersabarlah sejenak. Sesaat lagi dokter akan mengizinkan  Bang Fadhil minum sepuasnya.  Bukankah Bang Fadhil baru saja merasakan  teriknya matahari di Padang Arafah dan kita berdua mampu bertahan dari panas dan haus?”
            Lelaki itu menghela nafas panjang.     Mbak Retno amat iba melihat sepasang bibir lelaki yang terbaring itu  amat kering dan merasakan haus yang amat sangat. Tapi begitulah setiap pasien  yang baru saja menjalani operasi, pasti merasa amat haus dan  tidak diperkenankan minum meskipun hanya setetes air hingga waktu tertentu.
            ”Aku baru saja merasa terbang melayang-layang di langit biru, melewati taman-taman yang indah dan di sana bunga-bunga aneka warna sedang mekar. Aku melihat kupu-kupu bermain amat gembira. Akupun merasa terbang di hutan belantara dan melihat burung-burung berbagai jenis bermain di dahan pohon.  Dan akupun merasa terbang melewati padang rumput yang amat luas dan aku melihat berbagai jenis ternak seperti kuda putih, sapi dan banyak sekali  rusa  sedang makan rumput.  Aku juga melihat anak-anak menggembalakan ternaknya   sambil bernyanyi.”
            ”Bang Fadhil ikut bernyanyi?”
            ”Ya, karena lagunya amat merdu.”
            ”Lagu apa?”
            ”Sri Mersing, sebuah lagu yang amat disenangi di kampung halamanku di Sumatera.  Lagu itu membuatku rindu kepada tanah kelahiranku.” Di pelupuk mata lelaki itu terbayang suasana kampung halamannya, Kuta Galuh di kawasan Serdang Bedagai.
            ”Bang Fadhil juga merasa melihat pantai yang indah?” tanya Mbak Retno dengan perasaan lega karena suaminya sudah lancar berkata-kata.
            ”Ya,aku melihat pantai yang indah sekali!”
            ”Bang Fadhil melihat orang duduk-duduk di pantai?.  Bang Fadhil melihat  perahu-perahu nelayan mengembangkan layarnya menuju pulang?”
            Lelaki itu menggeleng.
            ”Kenapa Bang Fadhil tidak melihat perahu nelayan pulang dari laut?. Kenapa Bang Fadhil tidak melihat orang duduk-duduk  di pantai berpasang-pasangan?”
            ”Aku melihat banyak sekali orang. Aku melihat di pantai itu sedang diadakan acara ritual jamuan laut. Mereka , warga desa yang umumnya  adalah nelayan sedang kenduri bersama memberi sesaji di pinggir laut, berupa kambing hitam, bunga rampai dan banyak lagi dengan harapan laut tidak menimbulkan tsunami. Mereka berharap dengan mengadakan ritual jamuan laut, agar laut   tidak akan  murka kepada para nelayan dan bersikap ramah serta memberi hasil ikan yang banyak. Ustazpun membaca doa di tepi laut itu.”
            ”Bang Fadhil tidak merasa ada di tengah  warga yang sedang mengadakan jamuan laut itu?.”
            ”Ya,aku berada di sana bersamamu dan ikut berdoa. Kita berdua duduk di samping ustaz yang melantunkan doa.”
            ”Syukurlah yang  Bang Fadhil  rasakan adalah sesuatu yang indah, taman bunga, padang rumput, dan pantai yang indah.  Tidak ada hal-hal yang menakutkan. Justru saya yang merasa amat takut dan cemas ketika Bang Fadhil menjalani operasi,”  ujar Mbak Retno dan menggenggam  jari tangan lelaki itu amat erat.
            ”Kenapa harus cemas?. Bukankah aku dalam keadaan sehat?. Aku tidak sakit,Retno. Aku  hanya memberikan salah satu ginjalku kepada mantan mertuaku yang memang membutuhkannya.. Tanpa ada seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya, ia akan segera kehilangan nyawa. Tanpa bantuan ginjalku ia akan pergi untuk selamanya dalam waktu yang tidak lama  lagi.”
            ”Itulah yang membuat saya cemas dan khawatir. Sebesar apakah rasa hormat dan cinta Bang Fadhil kepada mertuamu?.  Adakah sebesar Jabal Uhud yang pernah kita ziarahi di Madinah?.  Adakah sebesar Jabal Rahmah atau Jabal Nur?”
            ”Tidak hanya rasa cinta dan hormat kepada  mertuaku, tapi ada hal-hal lain.”
            ”Hal-hal lain apa?”
            ”Nanti akan kukatakan semuanya kepadamu setelah  aku merasa benar-benar kuat dan mengajakmu pulang ke Sumatera untuk melihat kampung halaman kelahiranku.”
            ”Tidak bolehkah saya mendengarnya sekarang?. Kenapa harus menunggu sampai kita pulang ke Sumatera?.”
            ”Terlalu panjang untuk mengatakannya,Retno.”
            ”Saya akan mendengarnya meskipun Bang Fadhil akan mengatakan semuanya hingga esok hari.”
            Lelaki itu menghela nafas panjang.  Seorang perawat masuk ke dalam ruangan itu dan memindahkan  lelaki itu dari ruang rawat intensif ke ruang rawat inap biasa.  Lelaki kelahiran Sumatera itu sudah sadar sepenuhnya dan sudah diperkenankan minum meskipun  hanya setetes demi setetes. Bahkan lelaki yang terbaring itu sudah mampu menggerakkan tangannya dan menyentuh jari-jemari tangan Retno dan menggenggamnya erat sekali.
            ”Bang Fadhil enggan mengatakan mengapa dengan mudah memberikan ginjalmu padahal risikonya amat tinggi?”
            Lelaki itu diam, hanya menghela nafas panjang.
            ”Adakah Bang Fadhil menerima sesuatu dari mertua sehingga  rela memberikan ginjalmu padahal risikonya amat tinggi?”
            Lelaki itu menggeleng.
            ”Sungguh Bang Fadhil tidak menerima uang ratusan juta untuk harga sebuah ginjal?”
            ”Aku punya harga diri,Retno.  Tidak semudah itu aku menjual salah satu organ tunbuhku. Aku punya prinsip.”
            ”Adakah  benda berharga  yang diberikan oleh mertuamu?”
            ”Demi Tuhan, tidak!”
            ”Lalu demi apa Bang Fadhil memberikan ginjal yang taruhannya adalah kematian?. Demi apa yang menyentuh hati Bang Fadhil untuk menolong mertua?”
            ”Terus terang, yang kuterima lebih dari uang lima milyar rupiah.  Yang kuterima  lebih dari segumpal emas, lebih dari setumpuk permata zamrud atau liontin. Sungguh tidak ternilai yang kuterima dari mertuaku.”
            ”Lalu dalam bentuk apa?”
            Lelaki itu  masih terbaring, tapi kekuatannya seakan cepat pulih, karena ia memang tidak sakit, karena ia dalam keadaan sehat  ketika memberikan ginjalnya kepada sang mertua  yang seharusnya akan segera meninggal bila tidak ada yang sudi mendonorkan ginjalnya.
            ”Katakanlah terus terang, apa yang diberikan mertuamu?”
            ”Akidah!. Sungguh hanya sebuah akidah. Hanya itu!. Tidak lebih dari suatu akidah!”
            ”Akidah?. Aku sungguh tidak mengerti!”
            Mbak Retno menatap wajah lelaki yang terbaring itu amat dalam, seperti mencari sesuatu di bola mata lelaki itu, seperti ingin menyelami isi hatinya yang paling dalam.
            ”Seperti halnya puterinya yang  pernah menjadi  teman hidupku dan sebelumnya adalah non muslimah,  begitu juga dengan bapak mertua adalah non muslim, bahkan seorang donator terkemuka untuk membiayai misionaris mengembangkan agamanya ke pedalaman Papua. Mertuaku adalah seorang  Nasrani yang sangat fanatik kepada agamanya.”
            ”Lalu apa  kaitannya dengan ginjalmu yang kini sudah hilang dari tubuhmu  dan melekat pada tubuh mertuamu?”
            ”Terus terang, ia memang ingin hidup lebih lama. Untuk bertahan hidup sehat dan normal, ia harus memiliki ginjal yang sehat. Ia butuh donor ginjal. Dari mana lagi ia mendapatkannya kalau tidak dari sang menantu?. Dari mana lagi ia memperoleh ginjal kalau tidak dariku?. ”
            Mbak Retno masih menatap sepasang mata lelaki kelahiran Sumatera  yang masih terbaring tapi sudah mampu berkata lebih banyak. Seekor semut betina yang sedang mengandung sejak tadi merayap di baju Mbak Retno masih tetap mendengar semua pembicaraan Mbak Rento dan suaminya.
            ”Lalu setelah ia sembuh dari penyakitnya ,sesudah mendapatkan donor ginjal, ia akan terjun lagi di Papua?.  Ia akan ikut secara langsung untuk mengembangkan agamanya?” tanya Mbak Retno ingin tahu.
            ”Tidak!. Tidak lagi. Justru sebaliknya.”  sahut lelaki itu dengan nada pasti.
            ”Ia tidak akan menjadi donor kegiatan pengembangan agama itu?”
            ”Ya!. Justru ia sudah berjanji, bahkan bersumpah, bila ia benar-benar sembuh dan hidup normal, ia akan beralih akidah. Ia akan menjadi seorang muslim seperti puterinya yang kunikahi dulu. Tidak hanya  mertuaku sendiri, tetapi bersama dua  puteranya ia akan menjadi pemeluk Islam.  Ia dan dua anaknya akan menjadi muslim sejati. ”
            ” Alhamdulillah,”  cetus Mbak Retno dan mencium tangan suaminya. Ada rasa kesyukuran di dasar hatinya yang paling dalam. Alex Manuputty, seorang lelaki yang selama ini dikenal sebagai penganut Nasrani yang fanatik, lalu setelah mendapatkan donor ginjal dan hidup sehat, ia beralih akidah, menjadi seorang muslim bersama dua anak-anaknya. Betapa tulus hati Bang Fadhil, betapa amat besar pengorbanannya. Sebuah ginjal miliknya telah didonorkan dengan imbalan  sebuah akidah.
            ”Aku memang tidak mendapatkan apapun  selain Rahmat belaka!,” ujar lelaki itu lagi polos.
            ”Saya ikut bersyukur.  Saya  benar-benar kagum kepada Bang Fadhil. Sekarang saya rela suamiku kehilangan  salah satu ginjalnya, tetapi sebagai imbalannya seseorang yang menerima donor ginjalmu menjadi muslim bersama dua puteranya.  Sungguh, merupakan Rahmat  yang jatuh ke telapak tangan kita  lebih besar dari Jabal Uhud, lebih besar dari Jabal Rahmah dan lebih besar dari Jabal Nur.”
            ”Aku merasa telah berbuat yang terbaik dalam hidupku!,”  cetus lelaki itu dan masih menggenggam jari tangan Mbak Retno  erat-erat.
            Mbak Hajjah Retno meletakkan kepalanya di  dada lelaki kelahiran Sumatera  yang kini sudah menjadi suaminya.  Hari itu, mereka telah mendapatkan Rahmat yang tidak tenilai harganya. Daun-daun pohon mahoni yang tumbuh di halaman rumah sakit itu bergoyang-goyang dibelai angin yang berhembus sepoi.  Burung-burungpun hinggap di rantingnya dan berkicau nyaring. Ada induk burung yang sedang mengajar  anaknya terbang dari satu ranting ke ranting yang lainnya.  Di langit awan putih berarak-arak ke arah barat. Langit biru dan sedang cerah.  Tidak ada mendung.
            Sepasang manusia itu bersyukur kepada Tuhan, bahwa proses transfalasi ginjal  berlangsung cepat dan tidak ada kendala apapun, karena  Bang Fadhil memang seorang lelaki sehat dan bertubuh tegar. Seekor semut betina yang sedang mengandung ikut bersyukur kepada Tuhan. Sesaat lagi  ia akan lahir  telur-telur calon koloni semut hitam hingga 50.000 atau l00.000 butir telur dalam waktu 20 hari. Semut betina yang selalu bersembunyi di balik selendang itu benar-benar telah menjadi saksi bagi Mbak Retno sejak dari Tanah Air menuju Tanah Suci  hingga pertemuan Mbak Retno dengan Bang Fadhil yang pernah dikabarkan terbunuh oleh para penjahat. Juga semut itu tetap menjadi saksi setelah Mbak Retno menjejakkan kakinya di Tanah Air. Juga menjadi saksi  ketika  Bang Fadhil memberikan sebuah ginjalnya kepada mertuanya dan akhirnya lelaki kelahiran Halmahera  itu menjadi muslim bersama dua puteranya.
            Rahmat yang amat besar telah turun ke muka bumi. Seorang pengusaha yang sukses kelahiran Pulau  Halmahera , Alex Manuputty telah menjadi seorang muslim sejati bersama dua puteranya. Dan sejak itu namanya bukan lagi Alex, tapi ia lebih senang dipanggil Anas.  Iapun menolak ketika anak-anaknya memanggilnya ”Papa”, tapi ia lebih senang dipanggil ”buya”  biar suasana Islami lebih terasa.
                                                ***
            Ayat-ayat  suci Al Qur’an terdengar dilantunkan dengan amat nyaring dari sebuah surau yang terletak di kawasan kelas bawah tidak jauh dari pinggiran sungai. Seekor semut betina yang selalu menyertai Mbak Retno hingga ke Tanah Suci, tercenung ketika mendengar bahwa ayat-ayat suci yang dilantunkan orang di kawasasan kumuh itu adalah sebagian dari surah An Naml ayat 18 yang bermakna:  ”Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: ”Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu ,agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya sedangkan mereka tidak menyadarinya. Maka dia tersenyum dan tertawa karena mendengar perkataan semut itu.”
            Ribuan semut dari berbagai jenis, ratu dan koloni, segera keluar dari sarangnya dan membentuk barisan yang rapi ketika mendengar ayat-ayat tentang semut yang tertera dalam Al Qur’an dibacakan manusia di sebuah acara syukuran atas rahmat Tuhan yang turun dari langit, yakni  acara mensyahadatkan tiga orang-orang yang semula beragama Nasrani. Padahal mereka adalah orang-orang yang terpandang di kampung halamannya di Pulau Halmahera.  Saat itu semut rangrang, semut beledru, semut api, semut permanen, semut madu,  semut  kayu, semut legiun, bahkan semut gurun, berhenti mengusung bangkai belalang dan semua memandang ke arah sebuah surau berukuran 6 x 9 meter  tetapi dipadati manusia. Bahkan tenda-tenda yang terpasang di sekeliling surau itu  tidak mampu  menampung orang-orang yang menghadiri upacara syukuran itu. 
            Acara ikrar dua kalimah syahadat itu disaksikan oleh banyak warga kawasan kelas bawah tidak jauh dari pinggiran sungai itu, juga pemuka agama dan  seorang ustaz juga berbicara menyampaikan tausiyah  dan bimbingan. Anas  Manuputty  bersama kedua puteranya merasakan semua tausiyah itu meresap dalam kalbunya. Apalagi  ketika ustaz yang berbicara itu menyampaikan tentang kemuliaan Nabi Muhammad ketika menolak tawaran sebuah gunung emas. Tuhan telah menawarkan  kepadanya untuk mengubah  bukit-bukit di sekitar Makkah  menjadi bukit emas, tapi Rasul menolak. Rasul  berkata:
            ”Ya,Allah, saya lebih senang hidup zuhud, sehari kenyang dan lapar pada hari berikutnya agar saya dapat mengingat-Mu apabila sedang lapar dan memujimu serta mensyukuri nikmat-Mu apabila sedang kenyang”
            Ucapan Muhammad itu sungguh melekat di dasar hati warga asal Halmahera yang paling dalam. Hatinya terasa amat sejuk. Tidak pernah lelaki yang sukses dalam niaga itu merasakan kedamaian dan kesejukan seperti saat itu. Ia merasa amat bahagia sebagai seorang muslim. Apalagi semua umat muslim itu  bersaudara.
            Sebagai tanda bersyukur mendapatkan kedamaian dan kesejukan dalam hatinya, lelaki itu membangun sebuah madrasah 6 lokal lengkap dengan ruang perpustakaan , ruang sholat dan lapangan olah raga. Madrasah itu diutamakan menampung anak-anak dari keluarga miskin, terutama yang bermukim di kawasan kelas bawah. Puluhan anak-anak keluarga miskin di kawasan kumuh itu memang tidak sempat menikmati pendidikan karena orang tua mereka yang pada umumnya pengamen, kuli bangunan, atau pemulung tidak mampu membiayai pendidikan.
            Itulah sebabnya pembangunan madrasah di kawasan  itu amat disyukuri masyarakat. Puluhan anak-anak berpakaian kumuh yang biasanya tiap hari bermain di tempat  pembuangan sampah sejak saat itu masuk kelas dan mulai belajar baca tulis, mate-matika, menggambar, dan pendidikan seni. Juga olahraga. Anak-anak itu hadir di kelas dengan pakaian kumuh dan sendal jepit  yang mereka peroleh dari  tempat pembuangan sampah.  Untuk membeli sendal jepit saja orang tua mereka tidak mampu, apalagi untuk membeli sepatu sekolah.
Siapa yang tidak ikut bersyukur bila melihat anak-anak jalanan yang tiap hari berkeliaran di pinggir jalan kini hadir di kelas dan belajar sholat?.
            Tenaga pengajar di madrasah itu, meskipun di dirikan di kawasan kelas bawah, tapi mereka pada umumnya adalah berlatar belakang pendidikan Fakultas Tarbiyah. Siapa lagi yang mencari tenaga pengajar itu kalau bukan Mbak Hajjah Retno yang sudah amat kenal dengan kawasan itu?. Enam orang tenaga pengajar di madrasah  itu sudah cukup memadai.
            Anak-anak berpakaian dekil itu sesungguhnya adalah anak-anak yang cerdas. Mereka cepat mengerti apa yang diajarkan para pendidiknya. Mereka cepat dapat mengenal huruf dan mereka cepat dapat menulis. Dalam hal belajar huruf Arab juga begitu. Mereka cepat dapat membaca aksara Arab dengan sistem Iqra’.  Begitu juga dalam hal belajar sholat, semua murid tampak antusias. Semua bersungguh-sungguh dan tidak seorangpun yang bercanda atau bersenda gurau ketika sedang mengikuti pelajaran sholat.  Mereka juga membuka telinga lebar-lebar ketika para guru membacakan hadis tentang sholat, bahwa  bangunan Islam ditegakkan di atas lima tiang, yakni ikrar dua kalimah sahadat,  sholat, zakat, ibadah haji, dan  puasa pada bulan ramadhan. Juga ditegaskan, bahwa sebaik amalan adalah sholat.
Anak-anak itu  mendengarkan amat sungguh-sungguh ketika di depan kelas guru mereka menceritakan  tentang Rasulullah yang  keluar dari rumahnya di musim dingin, waktu daun-daun berguguran. Beliau mengambil satu ranting dari  sebatang pohon  sehingga daun di  ranting dari pohon itupun berguguran. Kemudian Rsulullah bersabda kepada Abu Dzhar, bahwa sesungguhnya seorang hamba  yang muslim itu jika menunaikan sholat dengan ikhlas, maka  dosa-dosanya akan berguguran seperti gugurnya daun-daun itu dari pohonnya.
Siapa yang  tidak gembira melihat  kanak-kanak yang selama ini tiap hari hanya bermain atau mengejar layang-layang putus, tapi sekarang sudah dapat melantunkan azan?. Tiap  hari murid-murid yang belajar di madrasah yang dibangun oleh dermawan dari Halmahera itu bertambah terus. Gurunya juga ikut bertambah. Gajinya juga bertambah.
Madrasah itu dibangun memang pada saat yang amat tepat, sebab pada saat ini kegiatan  pemuka agama  lain  sedang berusaha memurtadkan sebanyak-banyaknya anak-anak muslim dari kalangan miskin. Apalagi anak-anak muslim dari kawasan yang tertimpa bencana, seperti yang terjadi di kawasan bencana  tanah longsor yang menelan banyak korban. Anak-anak yang kehilangan orang tuanya dibujuk oleh orang-orang tertentu untuk tinggal di panti asuhan. Akidah anak-anak itu mulai dibelokkan selama mereka tinggal di panti asuhan milik agama  non Islam.  Siapa yang tidak sedih, anak-anak yatim piatu yang ayah dan ibunya direnggut bencana alam lalu mereka secara perlahan-lahan dimurtadkan?.    
Tentu saja Mbak Hajjah Retno harus bekerja keras dan dengan cara seperti seorang diplomat mendatangi panti asuhan itu dan meminta  agar anak-anak yang dipungut dari lokasi tanah longsor itu dikembalikan ke tempat asalnya.  Pada awalnya pihak panti asuhan itu menolak dengan alasan  anak-anak yatim itu kelak akan terlantar hidupnya.  Tapi perempuan yang baru kembali dari Tanah Suci itu menjamin pendidikan anak-anak yatim itu dengan alasan, bahwa anak-anak yatim piatu adalah tanggung jawab semua umat Islam, apalagi sekarang sudah ada madrasah Al Amien yang memberikan pendidikan dengan gratis. Buku-buku jga gratis.
Tidak hanya anak-anak  yang berasal dari korban bencana alam yang dimurtadkan oleh LSM  dan lembaga-lembaga tertentu yang berorientasi non Islam , tetapi juga anak-anak jalanan yang hidupnya terlantar. Anak-anak jalanan yang belum menyadari arti akidah secara mendalam tentu  saja  akan mudah terbujuk dan menjadi penghuni panti asuhan.  Tapi syukurlah  perempuan dari keturunan penjual jamu itu bersama suaminya  memiliki  sepasang mata jeli  sehingga  perempuan berpakaian serba putih itu harus mendatangi panti-panti asuhan ,  untuk menjemput bocah-bocah yang tersesat itu. Banyak dan amat banyak bocah-bocah yang terjebak.  Bila para pemuka Islam tidak perduli, maka  kaum muslim akan kehilangan aset generasi penerusnya .  Syukurlah kehadiran madrasah Al Amien itu benar-benar  amat peduli dengan keadaan seperti itu.
Setiap  hari jum’at puluhan anak-anak para siswa madrasah itu hadir di masjid untuk melaksanakan sholat jum’at. Dan mereka melihat seorang lelaki kelahiran Halmahera yang baru menjadi muslim itu  berada pada barisan paling depan bersama kedua puteranya.  Itulah sebagai tanda, bahwa pengusaha asal Indonesia Timur itu benar-benar telah menjadi muslim sejati.  Juga sebagai  ungkapan syukur, bahwa ia sudah hidup sehat setelah menjalani transpalasi ginjal yang diperolehnya dari seorang lelaki kelahiran Sumatera.                                                    
            Bang Fadhil amat bersyukur, meskipun sekarang ia hidup dengan satu ginjal, tapi ia tidak pernah merasa was-was suatu saat akan menjadi manusia cacat atau menjadi manusia yang kurang sempurna.  Ia tetap berpasrah diri kepada Tuhan.  Bukankah semua datangnya dari Allah?. Bukankah ia mendonorkan satu ginjalnya kepada Buya Anas Manuputty dengan  satu iktikad yang paling mulia?. Dengan imbalan bukan uang, bukan emas atau materi lainnya, tapi dengan imbalan lelaki asal Halmahera itu bersedia menjadi seorang muslim. Alhamdulillah semua itu telah terwujud.
                                                ***
            Lelaki kelahiran Sumatera itu merasa sudah banyak berbuat  yang terbaik. Sudah waktunya, setelah sekian lama meninggalkan desa kelahirannya, Kuta Galuh, kini  ia merencanakan untuk pulang bersama Hajjah Retno Ramadhani Anisa. Apalagi setelah ia menerima telepon dari ibunya.
            ”Pulanglah, Fadhil, anakku. Ibu sangat merindukan dirimu. Sudah terlalu lama kamu meninggalkan ibu. Sekarang ibu sudah sangat tua dan lemah.  Sampai hatikah kamu membiarkan ibumu uzur dan tidak berdaya?.” itulah ucapan  ibunya via telepon seluler.
            ”Aku memang sudah berniat untuk pulang!,” sahut lelaki itu.
            ”Pulanglah secepatnya, anakku.  Jangan tunggu ibu meninggal baru kamu pulang dan kamu hanya menemukan jasad ibumu yang terbaring tidak bernyawa lagi. Ibu sudah sangat lama merindukan kepulanganmu,anakku.”
            ”Aku memang sudah berniat untuk pulang. Hanya menunggu waktu yang tepat, karena banyak hal-hal yang harus kulakukan.”
            ”Tunggu apa lagi?. Kamu menunggu setelah ibu meninggal baru pulang?”
            ”Bukan begitu. Kalaupun aku pulang tidak sendiri lagi.”
            ”Bersama istrimu?”
            ”Ya. Sudah siapkah ibu menerima kehadiran seorang menantu yang bukan orang Melayu?”
            ”Dulu memang ibu selalu berharap , bahwa seorang perempuan yang akan menjadi istrimu adalah sesama orang Melayu!”
            ”Mengapa harus Melayu?”
            ”Bukankah bagi setiap orang  Melayu, bahwa Islam adalah nomor wahid?. Bukankah orang disebut Melayu kalau ia beragama Islam, berbicara dengan bahasa Melayu  dan beradat istiadat Melayu?”
            ”Dalam hal Islam ibu tidak usah meragukannya.”
            ”Sundakah menantu ibu?. Betawikah?. Orang Jawakah yang akan kamu bawa pulang?. Atau orang Banjar?’
            ”Pokoknya Islam sejati. Ibadahnya tidak perlu ibu ragukan lagi. Untuk apa hanya Melayu yang ibu inginkan tetapi tidak dapat berbuat banyak untuk hidupnya dan untuk agamanya?.”
            ”Bawalah dia kemari. Biar dia mencium tangan ibu!”
            “Tidak lama lagi aku akan menjejakkan kaki di rumah ibu. Tidak lama lagi menantu ibu akan mencium tangan ibu. Dia akan bersujud di kaki ibu.””
            “Terus terang, banyak yang ibu inginkan darimu,anakku,”  terdengar lagi suara ibunya dari seberang.
            “Apa yang ibu inginkan dariku?”
            ”Yang jelas bukan uang, anakku. Sebab ibu masih mempunyai sandaran. Beberapa tahun setelah kepergianmu ke Jawa, adikmu Azizah menemukan jodohnya seorang lelaki yang boleh dikatakan lumayan hidupnya.”
            “Syukurlah kalau begitu.”
            “Tiap bulan ibu menerima uluran tangannya sehingga ibu tidak merasa sebatang kara dan tidak akan kelaparan.”
            “Lalu apa yang ibu inginkan dari anak lelaki ibu?”
            “Ibu hanya ingin kau hadir di sisiku pada saat aku menghadapi sakratul maut.  Ibu ingin menghembuskan nafas di pangkuanmu, anakku. Ibu ingin ketika  mati nanti, ketika aku melepas nafas terakhir  kamu ada di sisi ibu dan membisikkan kalimah-kalimah zikrullah di telinga ibu.”
            Kata-kata itu amat menggugah hati lelaki yang sudah amat lama meninggalkan ibundanya, yang sudah sangat lama berkelana di pulau Jawa hingga ke Halmahera. Sesaat ia termenung.
            “Kalau ibu meninggal nanti, ibu berharap yang akan menjadi imam sholat jenazah adalah kamu ,anakku. Sebab ibu tahu benar, kau adalah seorang anak lelaki yang solih, yang doanya selalu dikabulkan Tuhan. Ibu juga berharap  ketika jenazah ibu diantar ke kubur, kamu yang mengusungnya,anakku!”
            Lama lelaki itu tertegun mendengar ucapan sang ibu di seberang laut. Betapa sudah amat lama dan jauh lelaki itu meninggalkan ibundanya. Sekarang ibunya berbicara tentang kematian. Lelaki itu mendadak amat terharu dan sedih.
            ”Kamu dengar suara ibu,anakku?”
            ”Ya, aku mendengarnya!”
            ”Kenapa kamu diam saja?”
            ”Kata-kata ibu tentang kematian membuat aku sedih.”
            ”Setiap ibu yang sudah tua memang harus bicara tentang kematian.”
            ”Aku mendengarnya setiap kata yang ibu ucapkan.”
            ”Ketika jenazah ibu diturunkan ke liang lahad, ibu juga berharap kau yang menurukannya. Kamu yang  ibu harapkan mengurug lubang lahat ibu dengan tanah.”
            ”Aku akan selalu ingat kata-kata ibu.”
            ”Ibu juga berharap  kau yang melantunkan talkin untuk ibu.”
            ”Kenapa harus aku?.  Bukankah masih ada yang lainnya?. Bukankah masih ada Uwak Ulong Hamzah yang paling  disegani di Kuta Galuh?.”
            ”Doa yang paling makbul  adalah doa anak yang solih. Ibu tahu benar, hidupmu selalu lurus, jujur dan selalu menjalankan prinsip amar  ma’ruf  nahi mungkar. Terus terang ibu selalu ingat, bahwa dulu ibu selalu membacakan ayat Qur’an  surat Luqman ayat tujuh belas: ”Hai anakku. Dirikanlah sholat, perintahkan  manusia berbuat baik dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar dan bersabarlah  segala yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan-urusan  yang  diutamakan. Kamu ingatkah ayat itu?”
            ”Ya,aku selalu ingat hal itu.”
            ”Ibu yakin benar, dalam  perjalanan hidupmu di rantau orang, kau tetap menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.”
            ”Ya, aku selalu berbuat terbaik untuk diriku dan untuk orang lain.  Seorang perempuan yang sekarang jadi istriku juga seperti itu.”
            ”Syukurlah!”
            ”Tidak lama lagi aku akan sampai di rumah ibu. Sebentar lagi istriku akan mencium tangan  ibu dan bersujud.”
            ”Ibu menunggu. Terung terang yang sangat mengharapkan kepulanganmu tidak hanya ibu.”
”Siapa lagi?”
”Seorang sahabatmu.”
”Siapa?”
”Hanafi!”
Sesaat lelaki itu menekur dan berusaha mengingat semua kawan-kawan dan  sahabatnya,tapi tidak seorangpun      yang bernama Hanafi.
”Rasanya aku tidak punya sahabat bernama Hanafi!”
”Cobalah kau ingat, pasti kamu mengenalnya.”
Beberapa saat lelaki itu termenung, mengingat kembali semua sahabatnya ketika
masih duduk  di bangku Darul Ilmi, tidak seorangpun sahabat bernama Hanafi. Juga ketika belajar ilmu tauhid di rumah Mualim Haji Bukhari, juga tidak seorangpun bernama Hanafi.
            ”Demi Tuhan, tidak ada sahabatku bernama Hanafi.”
            ”Ada!. Mungkin kamu yang lupa!. Hanafi berkata kamu adalah sahabatnya yang paling dekat. Pulanglah dengan segera. Sahabatmu menantimu”
            Lama lelaki itu termenung.  Sudah  amat lama ia meninggalkan ibunya.  Lelaki itu tidak menyadari, bahwa semua pembicaraan dengan ibunya yang tinggal di desa Kuta Galuh Perbaungan didengar oleh seekor semut betina yang baru saja menetaskan telur-telurnya yang berjumlah ribuan semut-semut baru yang segera berbaur dengan puluhan ribu semut-semut lainnya untuk membentuk koloni baru.
                                                ***
            Semut betina yang baru saja menetaskan ribuan semut-semut angkatan koloni baru itu juga menyaksikan setetes demi setetes air mata bergulir di pipi Mbak Hajjah Retno yang menjejakkan kakinya di desa Kuta Galuh, ketika perempuan  itu mencium tangan ibu mertuanya.  Semut betina yang sudah menyaksikan seluruh perjalanan ibadah haji ke Tanah Suci, sekali lagi memastikan dirinya untuk ikut ke Sumatera. Ingin menyaksikan apa yang terjadi di kampung halaman Bang Fadhil.
            ”Selamat datang di rumah ibu, Anisa,”  ujar ibu yang melahirkan Bang Fadhil ketika Mbak Retno mencium tangannya.
            ”Saya sangat bahagia sekali dapat bertemu ibu.”  sahut Mbak Retno menyeka air mata di pipinya.
            ”Syukurlah kedatanganmu ketika ibu masih hidup. Kalau kalian datang pada tahun-tahun mendatang, mungkin ibu sudah tidak ada. Ibu merasa sudah sangat tua, sudah sangat uzur.”
            Semut betina yang bersembunyi dalam tas sandang Mbak Retno masih sempat melihat acara tepung tawar yang diberikan kepada Bang Fadhil dan Mbak Retno. Tepung tawar adalah adat kebesaran orang Melayu untuk menyambut kedatangan seseorang yang sangat dihormati, juga dilakukan orang terhadap pengantin baru,  khitanan atau terhadap seseorang yang baru saja terhindar dari bahaya maut.
            Ketika duduk dan ditepung tawari itulah Bang Fadhil  mengutarakan kepada Mbak Retno makna tepung tawar dan  yang berupa semangkuk air putih, bertih, beras putih, bunga rampai dan jeruk purut diiris-iris serta rincisan daun kalinjuhang, daun pepulut, daun ganda rusa dan daun sedingin.  Ketika itulah, ketika tepung tawar sedang dilaksanakan, seorang shaman atau seorang dukun terkemuka di desa itu membaca mantera untuk menjemput semangat:
            ”Nur Mani nama engkau
            Si Panca Awal nama aku
            Kabul berkat aku memakai doa
            Kundang Maya Cinta Berahi
            Bercinta kau pada aku
            Gila kau pada aku
            Gila siang , gila malam
            Gila 7 kali sehari
            Gila 7 kali semalam
            Pulanglah ke rumah engkau
            Pulanglah ke istana engkau
            Dengan berkat La Illaha Illlallah”
Sesaat  perempuan dari keluarga yang amat sederhana itu tertegun mendengar shaman atau sejenis pawang membaca mantera itu.
            ”Apa makna mantera itu?,”  tanya Mbak Retno kepada Bang Fadhil di sisinya.
            ”Itulah mantera memanggil semangat. Bukankah ibuku dan semua keluarga di sini pernah mendengar kabar, bahwa aku terbunuh di tangan penjahat dan tubuhku dibuang ke sungai dan jadi santapan buaya?. Ternyata sekarang aku masih segar bugar. Aku lolos dari bahaya besar, karena itu kepulanganku disambut dengan tepung tawar  dan memanggil semangat.”
            ”Aku senang sekali dengan adat-adat Melayu.”
            ”Kukira hanya orang Melayu yang paling kaya dengan adat istiadatnya.  Yang jelas semua orang Melayu adalah Islam dan tidak satupun adat-adat itu bertentangan dengan agama.”
            ”Hmmmm,” Mbak Retno hanya bergumam dan tersenyum.
            ”Kamu harus maklum ibuku memanggilmu dengan nama Anisa, bukan Retno.”
            ”Bukankah nama itu adalah pemberian Bang Fadhil?”
            ”Kau harus memaklumi, bahwa semua orang Melayu memberi  nama anak-anaknya beraroma Melayu, bernafaskan Islam, seperti  Malik, Hamzah, Anas, Azizi, Azmi,  Zaitun, Maimunah, Habibah, Hafsah, Hindun, Fatimah dan banyak lagi.”
            ”Juga Anisa, bukan?”  Mbak Retno tersenyum.  Lelaki itu mengangguk dan tersenyum.
            ”Tidak ada orang Melayu memberi nama anak-anaknya dengan nama kebarat-baratan.”
            ”Seperti Johni?. Seperti George?. Seperti Susan?. Seperti Alice?”
            ”Untuk apa memberi nama Johni kalau artinya  adalah kakus. Jim artinya Negro, George maknanya adalah sungguh mati dan Jimmi  bermakna linggis. Nama adalah doa yang melekat pada diri sang anak.”
            ”Saya mengerti.”
            ”Desa ini sudah jauh berubah karena kemajuan jaman. Lihat saja rumah-rumah warga sudah sangat bagus dan megah dengan cat warna-warni. Dulu di sini juga ada sebuah istana kesultanan, tetapi ketika revolusi meletus istana itu jadi abu karena serangan bumi  hangus.”
            ”Dan para bangsawannya juga hidup terpencar-pencar?”
            “Ya, bahkan tidak sedikit yang enggan  mengaku sebagai bangsawan. Buat apa jadi bangsawan  kalau memang tidak ada manfaatnya lagi. Istanapun sudah rata dengan tanah.”
            Lelaki itu juga mengatakan, bahwa di desa itu dulu anak-anak amat senang bermain permainan khas anak Melayu seperti bermain rimbang, congkak, main enjit-enjit semut dan alif cendong. Sekarang anak-anak Melayu tidak lagi menyukai permainan itu. Anak-anak Melayu sudah hanyut oleh kemajuan zaman dengan permainan di Time Zone atau play station di komputer. Padahal permainan khas anak-anak Melayu mendidik para anak-anak untuk cermat, pintar, teliti, mendidik agar cekatan dan selalu berlaku jujur.
            “Orang yang paling kurindukan di desa ini  adalah Mualim Haji Bukhari. Aku ingin mengujunginya bersama Anisa.”, cetus Bang Fadhil kepada ibunya setelah perempuan itu melepas kerinduan kepada anak dan menantunya.
            “Ia sudah meninggal  lima bulan  yang lalu. Ia meninggal pada usia delapan puluh tiga.”
            “Ya,Tuhan. Inna lillahi wa inna ilaihy rojiun,” cetus lelaki itu. Kesedihan yang amat mendalam menggores relung hatinya. Padahal ia ingin menyampaikan sekedar kurma, tasbih dan kemeja yang dibawanya dari Tanah Suci. Ia juga ingin mengatakan, bahwa ajarannya tentang majlis tabligh  sudah ia lakukan.
            ”Aku sangat merindukannya, biarlah yang kutemui hanya makamnya. Ia adalah seorang yang amat berjasa dalam hidupku.” ujar Bang Fahdil dengan nada sedih.
            Lelaki itu ingat benar,  dulu hampir tiap malam  hadir di rumah Mualim Bukhari, seorang ulama  yang paling terkemuka di desa itu. Muridnya belasan orang dan semua belajar tentang tauhid, semua belajar tentang amar ma’ruf nahi mungkar.Lelaki itu juga mengajarkan tentang ayat-ayat Thayyibah. Juga tentang fadhilah tabligh. Mualim itu pula yang selalu menganjurkan kepada muridnya agar bersahabat  dengan orang-orang saleh dan menyertai  majlis mereka. Mualim itu juga mengajarkan tentang Istiqomah. Lelaki itu ingat benar, ucapan Mualim Bukhari  belasan tahun silam, sesaat sebelum Bang Fadhil melangkahkan kakinya untuk merantau ke Jawa.
            ”Berhati-hatilah memilih orang pintar untuk belajar, juga dalam hal memilih ulama. Sebab di jaman modern ini terdapat dua jenis ulama, yakni ulama khoir,  ulama yang murni dan sejati dalam menyampaikan ayat-ayat Qur’an. Sementara ada lagi ulama suu’, yakni ulama  yang tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya. Ulama suu’ biasanya mengajarkan tentang akhlak dan sopan santun, tetapi  anak isterinya memamerkan aurat.  Itulah sebabnya di neraka terdapat amat banyak ulama, padahal mereka mengajarkan ayat-ayat Qur’an.”
            Bang Fadhil masih ingat benar, ketika lelaki berjenggot putih dan seuntai tasbih selalu ada di jari tangannya  itu menceritakan perjalanan Rasulullah ketika Isra’ Mi’raj dan oleh Allah diperlihatkan seorang ulama mengiris-iris bibirnya sendiri dengan gunting di neraka. Tentu saja Nabi Muhamamd Saw bertanya kepada malaikat yang menyertai perjalanan malam itu dan malaikatpun menjelaskan, bahwa itulah ulama suu’ yang tidak mengamalkan dakwahnya,terutama kepada keluarganya.
            ”Kamu ingat ketika kita ziarah ke Jabal Nur dan  mendaki bukit itu hingga ke celah batu tempat nabi kita menerima wahyu yang pertama kali?”  tanya Bang Fadhil kepada Mbak Retno  dan suara itu didengar oleh semut betina yang selalu menyertai perjalanan mereka hingga ke Tanah Suci, hingga ke pedalaman Sumatera, hingga ke desa Kuta Galuh, desa kelahiran lelaki itu.
            ”Ya, aku tidak akan pernah lupa  ada seorang lelaki tergelincir di bukit itu dan terhempas di  dasar bukit. Tubuhnya penuh luka dan bibirnya bagai tersayat-sayat, persis seperti penghuni neraka yang disaksikan nabi kita ketika Isra’ Mi’raj.”  sahut Mbak Retno.
            Bang Fadhil tidak akan pernah lupa nasihat Mualim Bukhari yang menganjurkan agar  terlebih dulu memperbaiki diri sendiri sebelum menyampaikan dakwah. Sebab hadis nabi sudah  mengingatkan,  bahwa azab Tuhan lebih cepat turun kepada ulama jahat daripada orang-orang awam  yang berdosa.
                                                            ***
            Bila lelaki itu berjalan di antara deretan pusara di pemakaman keluarga Melayu itu, kesedihan mulai menggurati hatinya. Langkahnya terhenti  di sisi sebuah makam. Tangan Mbak Retno berpegang di tangan Bang Fadhil. Seekor semut betina yang baru saja menetaskan telur-telurnya, ikut menyertai mereka dan melekat di kaki celana Bang Fadhil.
            Lihatlah, tandanya Mualim  Bukhari adalah seorang ulama zuhud, makamnya amat sederhana, tidak disemen, tidak dipasang  keramik, hanya berupa gundukan tanah dan hanya ditandai sebuah batu sebesar kepala bayi. Sungguh mirip ribuan makam yang ada di Baqi, yang terletak tidak jauh dari Masjid Nabawi,padahal mereka yang terbaring di makam  itu  adalah keluarga Rasulullah, bahkan juga para syuhada yang gugur di pertempuran Uhud.
Makam almarhum Mualim Bukhari  selalu bersih, tidak ada satupun kecoa, tidak ada tikus, apalagi binatang berbisa bersarang di atas gundukan tanah itu.
            Di atas makam itu Bang Fadhil menaburkan  bunga segar dan menyiramnya dengan air mawar sehingga makam itu menyebarkan bau harum semerbak. Di sisi makam itu Bang Fadhil membacakan doa-doa  untuk Mualim  Bukhari yang sudah amat banyak memberikan bekal hidup bagi dirinya.
            Berbekal ilmu dari Mualim Bukhari, Bang Fadhil mampu menggugah hati Bu Martha yang semula adalah penganut Nasrani yang fanatik namun akhirnya menjadi seorang muslimah dengan nama Ummi Masyitah. Juga dengan bekal dari lelaki tua berjenggot panjang itu  Bang Fadhil  mampu menggugah hati seorang lelaki bernama Alex Manuputty yang semula adalah penyandang dana pengembangan Nasrani  di Papua, hingga akhirnya lelaki itu juga menjadi seorang muslim bersama dua anaknya meskipun  Bang Fadhil harus memberikan salah satu ginjalnya. Sekarang Bang Fadhil hanya memiliki satu ginjal, tapi ia merasa cukup sehat dan enerjik tanpa kesulitan apapun.
Dulu lelaki tua itu selalu mengkhawatirkan, bahwa suatu saat lagu-lagu khas Melayu seperti Jalak Lenteng, Dayung Senandung, Makan Sirih, Sri Mersing, Gunung Banang, Burung Putih dan Kuala Deli tidak lagi dinyanyikan orang. Khalayak akan lebih suka kepada lagu-lagu modern. Kesenian tari juga akan mengalami nasib yang sama,  tidak akan diperdulikan orang.  Dan kenyataan itu memang benar. Orang ramai kini lebih senang menikmati karaoke. Orang ramai tidak lagi menyukai kesenian yang bernama Makyong atau Menora dan Mendu. Orang lebih suka nonton film di tempat mewah seperti di Sinema 21. Orangpun  lebih suka berjam-jam duduk di depan layar kaca nonton sinetron  yang sama sekali tidak berkualitas
            Ketika membacakan  doa-doa di atas makam Mualim Bukhari itulah air mata mengalir di pipi lelaki itu. Ia amat sedih tidak dapat hadir ketika Mualim Bukhari meninggal dunia pada usia delapan puluh tiga tahun. Sepanjang  umurnya yang hampir satu abad itu dihabiskan untuk mengajarkan ayar-ayat Qur’an, hadist dan ilmu tauhid, ilmu tasauf serta amar ma’ruf nahi mungkar dan tentang fadhilah berbagai amalan.
            Bang Fadhil amat merasakan, bahwa semua ajaran almarhum Mualim Bukhari amat bermanfaat untuk menjalani kehidupannya. Ia selalu berjalan lurus. Ia tidak pernah menikmati rezeki yang tidak halal, bahkan yang berbau subhat, sama sekali dijauhi oleh Bang Fadhil. Lelaki itu selalu berbuat baik kepada sesama. Lelaki itu selalu bersikap hormat kepada orang lain yang lebih tua, apalagi budaya Melayu amat melekat dalam kehidupannya. Setiap orang Melayu harus menyegerakan tiga hal yang diajarkan Rasulullah, yakni menyegerakan sholat di awal waktu, jenazah segera diantar ke kuburnya dan segera menikahkan anak gadisnya.
            Bang Fadhil  amat sedih, ketika lelaki berjanggut panjang itu meninggal ia tidak sempat mengantarkannya ke kubur. Selama ini dalam hatinya, ia sudah berjanji  bila suatu saat lelaki tua itu meninggal ia akan mengusung kerandanya hingga ke pemakaman, ia juga berjanji untuk ikut serta menurunkan jenazah lelaki zuhud itu ke liang lahatnya. Ia akan ikut menimbun liang lahatnya dengan tanah.  Ia akan ikut membaca talkin dan doa-doa untuk lelaki yang selalu menghindari kecintaan terhadap dunia.
            Sekarang lelaki itu sudah meninggal. Bang Fadhil tidak sempat ikut serta memandikannya, tidak ikut mensholatkannya, tidak sempat mengusung kerandanya, apalagi menurunkan jenazahnya ke liang lahat. Padahal ketika kerandanya diusung terasa amat ringan dan langitpun kelam agar para pengantar jenazah itu terhindar dari panas terik.  Letak tanah pemakaman itu cukup jauh, tetapi pengantar jenazah seakan hanya melangkah beberapa langkah saja. Tidak seorangpun yang kelelahan. Tidak seorangpun yang merasa haus. Itulah tandanya Mualim Bukhari adalah orang yang baik dan zuhud. Bang Fadhil amat menyesal.  Ia hanya dapat menitikkan air mata di makam lelaki tua itu.
            ”Maafkan saya,Mualim. Maafkan saya,” ujarnya berkali-kali di depan makam lelaki tua itu. ”Bila saya tidak hadir pada saat Mualim meninggal, bukan karena saya terlalu mengejar isi dunia, tapi karena mengurusi umat, terutama umat yang masih bocah yang akidahnya terancam akan dimurtadkan oleh agama lain.”
            Di depan gundukan tanah yang sudah kering itulah Bang Fadhil seakan bermunajat kepada gurunya, bahwa ia tidak bermaksud mengejar kepentingan dunia, tetapi justru ia sedang berjuang agar orang-orang non muslim dapat memeluk agama Islam dan anak-anak muslim sendiri terhindar dari murtad. Seperti hal-hal yang pernah dilakukannya, Bu Martha menjadi muslimah, kemudian Papa Alex Manuputty juga menjadi muslim sejati bersama dua puteranya. Juga tentang telah didirikannya madrasah enam lokal dan banyak anak-anak jalanan dibina keimanannya di sana. Juga tentang anak-anak muslim yang sudah dimurtadkan dapat ditarik kembali.
            ”Maafkan saya!. Maafkan saya!,” ucap Bang Fadhil terbata-bata dan air matanya berderai-derai. Lelaki itu mencium gundukan tanah di depannya, hingga  tanah itu basah oleh air mata Bang Fadhil. Mbak Hajjah Retno juga  tidak mampu membendung air matanya. Ia ikut menangis. Airmata sepasang suami istri itu berderai-derai membasahi gundukan tanah di pemakaman umum itu.
Ketika itulah, seekor semut hitam keluar dari ujung celana panjang Bang Fadhil dan menjalar di sisi gundukan tanah di pemakaman itu. Semut hitam yang sudah melakukan perjalanan musyafir hingga ke Tanah Suci itu seperti ingin membangun sarang di sisi makam itu. Dan ketika itulah ,ketika beberapa saat Bang Fadhil dan istrinya mencium gundukan tanah di depannya, tanpa disadari, seorang lelaki berambut pirang dan sepasang matanya biru  tiba-tiba berdiri di belakang mereka. Lalu terdengar suaranya:
            ”Aku yang hadir di rumah itu ketika almarhum Mualim Bukhari meninggal. Aku yang berada di sana dan ikut memandikannya, ikut mengkafani, ikut mensholatkannya dan ikut mengusung kerandanya, lalu ikut menurunkan jenazah almarhum ke liang lahatnya. Aku juga ikut mentalkinkannya,” 
            Bang Fadhil segera  mengangkat keningnya yang melekat di gundukan tanah di depannya. Ia segera menoleh ke belakang.  Sesaat ia tertegun melihat seorang lelaki asing,lelaki bule,  di belakang dirinya.  Ia segera ingat lelaki itu pernah menginap di hotel yang di kelolanya ketika masih di Halmahera. Dan lelaki itu adalah Hollman van Nienhuys., seorang mahasiwa pascasarjana dari Universiteit Leiden. Bang Fadhil juga ingat ketika ia selalu menemani lelaki itu menyeberang hingga ke pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera.
            Sekarang kenapa lelaki asal Netherlands itu ada di sini?. Mengapa bule itu ada di makam ini?, pikirnya.
            ”Hollman Nienhuys! . Mengapa kamu ada di makam ini?,”  Bang Fadhil menyapa lelaki  bermata biru itu  lalu memeluknya.
            ”Jangan panggil aku Hollman.” lelaki itu menolak.
            ”Lalu aku harus memanggilmu dengan nama siapa?”  Bang Fadhil terheran-heran.
            ”Panggil saya dengan nama Hanafi?”  sahut lelaki berambut pirang itu       
            ”Nama itu adalah nama muslim, nama salah seorang dari empat imam besar Islam.”
            ”Aku juga seorang muslim. Salahkah bila aku amat senang dipanggil dengan nama itu.”
            ”Pantas  ketika ibuku menyebut nama itu, aku mengatakan sama sekali tidak mengenal nama itu. Siapa yang memberi nama itu?”  Bang Fadhil menatap wajah lelaki itu.
            ”Terus terang, aku bangga dengan nama itu  dan yang memberiku nama itu adalah almarhum yang terbaring di bawah makam ini. ”
            ”Maksudmu Mualim Haji Bukhari?”  semakin tajam mata Bang Fadhil menatap wajah lelaki itu. Ia tidak percaya dengan ucapan lelaki asal Belanda itu.
            ”Ya, benar. Bukankah ketika Bang Fadhil masih berada di Halmahera selalu bercerita tentang seorang Mualim bernama Bukhari?.  Itulah orang  yang pertama kucari ketika aku menjejakkan kaki di Sumatera.  Aku sangat bersyukur mendapatkan nara sumber yang sulit dicari tandingannya di kawasan ini kecuali almarhum Mualim Bukhari”
            Panjang lebar lelaki berdarah Belanda itu menuturkan, bahwa ia amat mengagumi dunia Melayu yang tidak pernah hilang di bumi.
            ”Ada hal-hal yang saya kagumi dalam dunia Melayu, terutama tentang falsafah hidupnya, bahwa Adat bersendikan  syaraq dan syaraq bersendikan Kitabullah,” ujar lelaki itu setelah menuturkan pengalamannya selama bermukim di Sumatera untuk melengkapi tesisnya tentang kehidupan puak Melayu yang banyak mendiami pesisir Sumatera, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, hingga Thailand Selatan.
            Sekarang lelaki yang kini menjadi seorang muslim dan bernama Hanafi itu sedang bersiap-siap untuk pulang  ke negerinya di Netherlands setelah berbulan-bulan melakukan berbagai penelitian di Sumatera. Dalam tasnya penuh berisi amat banyak catatan. Apalagi dalam laptop yang selalu dibawa kemana-mana, penuh berisi  catatan tentang  acara tepung tawar, tentang arti tepak sirih, tentang arti balai pulut, tentang alat-alat musik tradisional Melayu seperti rebab, gendang, gedombak, geduk, gong, serunai ,gambang, ceracap, kesi dan rebana. Apa lagi tentang adat istiadat perkawinan tidak satupun yang luput dari perhatiannya. Juga tentang musik dan tari  tradisional Melayu  seperti Menora, Makyong, Mendu dan Bangsawan . Dalam adat Melayu, seorang raja belum resmi dan tidak syah ditabalkan sebelum dimainkan musik ”Nobat Raja”. Musik nobat raja dikenal sebagai super natural power. Hal itu  juga tidak luput dalam catatan lelaki berambut pirang yang kini bernama Hanafi dan amat mengagumi Mualim Bukhari.
            Tidak hanya itu. Berbagai jenis senjata tradisional yang selalu menjadi kebanggaan puak Melayu pada masa  dulu seperti keris Melayu, kerambit, badik, serampang, bawar, semumu, tumbuk lada, lembing dan serunjang juga tertulis dalam laptop milik lelaki bule itu. Bahkan makanan khas Melayu seperti anyang pakis, botok kampung, bubur pedas, gulai terung sembam, gulai lodeh, asinan betik dan asam glugur juga jadi catatan lelaki itu, malah  lelaki itu amat menyukai makanan itu. Apalagi tentang acara ritual seperti jamuan laut, tolak bala, tarian lukah dan mandi berminyak.
            Yang paling penting dalam catatan bagi lelaki bule itu adalah tentang silsilah kesultanan  yang diawali dengan Tuanku Sri  Paduka Gocah Pahlawan  di abad ke 17 dan menikah dengan Puteri Nang Baluan dari kesultanan Sunggal.   Menyusul Tuanku Umar Kejeruan Junjungan yang berhasil menaklukkan kerajaan Deli, Serdang, Langkat, Batu Bara dan Asahan. Namun Raja Siak telah berhasil membunuhnya di awal  tahun l700. Kesultanan Serdang digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Alamsyah yang  memerintah  tahun 1767-1817. Sultan Serdang yang ketiga adalah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah yang memerintah tahun 1817-1850 dan pada masa itu  kerajaan ini memproduksi kapal-kapal kayu  dan tanaman laga puyuh  menyebabkan kesultanan itu menjadi makmur. Beberapa sultan berikutnya silih berganti memimpin kerajaan Serdang, seperti Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah, lalu digantikan Sultan Sulaiman Syariful  Alamsyah. Setelah kemerdekaan kerajaan Serdang masih mempunyai sultan yang bernama Tengku Putera  Mahkota Rajih Anwar yang menjabat di tahun 1946 hingga 1960.
            ”Aku hadir di sini untuk pamit kepada almarhum Mualim Bukhari yang amat besar jasanya kepadaku. Atas segala ajaran dan petunjuknya aku akhirnya menjadi seorang muslim. Namun yang sangat kukagumi pada dirinya  adalah tentang kesederhanaannya, juga tentang  sifat zuhud pada dirinya, sifat yang mengenyampingkan urusan dunia. Semasa hidupnya ia tetap berpakaian serba putih dan seuntai tasbih selalu ada di tangannya. Siapa menduga, bahwa dalam diri seorang lelaki yang amat sederhana itu ternyata dia adalah seorang bangsawan dengan gelar Tengku.?”  ujar lelaki bule itu lagi.  ”Saya amat mengaguminya karena bertahun-tahun beliau  membaur dengan orang awam.”


            ”Beliau merasa gelar itu tidak perlu dipamerkan. Ia tetap berprinsip, bahwa semua manusia itu sama dan  yang membedakan satu dengan lainnya adalah  takwanya,”  sahut Bang Fadhil.
            Lelaki yang kini bernama Hanafi itu menghampiri gundukan tanah dan dibawahnya terbaring jasad Mualim Bukhari yang dikagumi amat banyak orang.  Lelaki itu sujud dan mencium gundukan tanah dan mengucapkan kata-kata pamit.
            ”Saya pulang,Mualim.  Hari ini saya meninggalkan bumi Melayu yang tidak akan  terlupakan dalam hidup saya. Suatu saat, saya akan menjejakkan  kaki kembali di sini dan mungkin saya akan menikah dengan seorang gadis Melayu.”
            Sekarang lelaki asal Belanda itu pamit untuk pulang ke negerinya dan ia meninggalkan air mata di makam itu. Setetes demi setetes air mata lelaki bule itu  bergulir  dan membasahi makam itu.  Seekor semut betina, Ummu Naubah,  yang sudah amat jauh melanglang buana  sudah selesai membuat sarangnya di sisi gundukan tanah itu.  Kalau ia mati karena usianya, ia memang amat ingin kuburnya ada di sisi makam lelaki  yang amat banyak dikagumi banyak orang.***
                                    Oleh-oleh dari berhaji tahun 2001 dan Umroh 2010



                                                     ---o0o---       

No comments:

Post a Comment