(Kesaksian
Semut)
Novel
Reliji
Maulana
Syamsuri
Barisan semut-semut hitam itu amat panjang dan jumlahnya amat
banyak, hingga ribuan, jantan dan betina. Mereka sedang mengusung bangkai anak
belalang yang akan dipersembahkan kepada sang ratu mereka.
Abu Masyghul,semut
jantan yang memimpin barisan semut itu melihat ada keluarga yang akan masuk ke
rumah yang terletak di gang sempit itu. Salah seorang anggota keluarga yang
akan masuk ke rumah itu, adalah seorang gadis berwajah bundar telur dan mengenakan
jilbab,Retno Ramadhani.
“Berhenti!. Berhenti!,”
Abu Masyghul memberi komando kepada koloni semut yang jumlahnya amat banyak.
Seketika
barisan semut-semut hitam itu berhenti melangkah. Semua memandang ke arah
keluarga yang akan masuk ke rumah yang terletak di gang sempit itu. Semua semut
itu memandang ke arah kening gadis yang tampak bersih dan bersinar, tandanya
kening gadis itu selalu dibasahi air wudhuk dan sujud di atas sajadah. Semut-semut itu selalu jadi saksi semua gera k dan langkah
penghuni rumah itu dan merasa yakin,
bahwa tamu mereka yang bakal memasuki rumah itu adalah keluarga yang sakinah dan Islami. Semut-semut
itu, terutama Abu Masyghul dan Ummu Naubah, semut betina yang selalu ada di
sisinya,selalu menjadi saksi apapun yang terjadi di rumah itu,meskipun yang terjadi
hanya sebuah jarum yang jatuh atau langkah kecoa atau nafas seekor nyamuk.
“Kita ucapkan
selamat datang kepada tamu baru kita!,”
ucap Abu Masyghul.
“Marhaban ,ya
Rahmah. Marhaban Ya. Annisa. Marhaban ,ya ummat Muhammad!,” kata-kata itu
diucapkan oleh ribuan semut-semut hitam yang masih tetap dalam bari sannya, namun berhenti melangkah.
“Ahlan wa sahlan,
ya ikhwanul muslimah!,” Ummu Naubah menambahkan.
“Idzaa ijtama’a
al-halaalu wa alharaamu ghuliba al-haraamu,” seekor semut yang misainya panjang
dan hitam di sisi semut betina yang bertubuh gendut itu menimpali.
Sepasang semut
itu, Masyghul,semut jantan, dan Naubah,sang betina, serta ribuan semut-semut
lainnya mengucap salam kepada seorang gadis dan kedua orang tuanya,serta
seorang adik lelaki yang baru saja hijrah dari sebuah desa kawasan di sebelah
selatan Yogya. Masyghul dan Naubah, serta
ribuan semut lainnya, tahu, bahwa seorang gadis berjilbab yang baru saja
memasuki rumah di gang sempit itu adalah seorang gadis yang sangat taat pada
agama dan selalu mengamalkan amar ma’ruf nahi mungkar sejak duduk di bangku
pondok pesantren jauh di luar di
desanya.. Semut-semut itu tahu kalau
malam sepi dan dingin gadis itu selalu bangun dan menghadap kiblat untuk sholat
tahajud.
Itulah
sebabnya,ketika gadis berjilbab itu, Mbak Retno Ramadhani, memasuki rumah yang
terletak di gang sempit itu, semut-semut itu mengucapkan selamat datang kepadanya
dan juga memberi tahu, bahwa kehidupan di sebuah kota
metropolitan teramat keras dan kasar,tiada belas kasih, saling sikut-menyikut
dan terkadang kerabat sendiri juga saling menzolimi. Di kota metropoilitan, tipu muslihat selalu
dilakukan orang, kebohongan selalu ada. Juga kepalsuan. Apa lagi yang namanya
munafik amat banyak jumlahnya. Dajjal sudah berserakan dimana-mana,seperti
sampah. Kepalsuan dan kebohongan serta silat lidah lebih sering dilakukan
pemimpin ketimbang kebaikan.
Itulah
sebabnya semut-semut itu ketika mengucapkan selamat datang, mengutarakan tentang
ushul fiqih yang bermakna, apabila yang halal dan haram itu menyatu,maka
dikalahkanlah yang haram. Semut-semut hitam itu, terutama Masyghul dan Naubah
ingin mengingatkan, bahwa keadaan hidup di sebuah kota besar, yang halal dan yang haram telah
berkumpul menjadi satu.
Semut-semut
itu, ketika berhenti mengusung bangkai anak belalang, ingin memperingatkan,
agar Mbak Retno Ramadhani,seorang gadis yang dilahirkan pada bulan Ramadhan,
yang baru saja menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren, agar ekstra
hati-hati menjalani kehidupan di sebuah kota metropolitan. Jangan sampai
tergelincir dan mencebur dalam lumpur, jangan sampai dihanyutkan air yang
jorok, jangan sampai tersandung batu, jangan sampai terpijak duri, jangan
sampai tersayat sembilu. Jangan sampai dihampiri para pelaku dajjal.
Hidup di
sebuah kota
besar harus jeli memilah-milah, mana yang halal dan mana yang haram,mana madu
dan mana racun,mana coklat dan mana tahi kucing, mana sahabat dan mana musuh.
Masih banyak dan masih amat banyak hal-hal yang harus dipilah-pilah. Sekuntum
bunga harus dipilah dari tumpukan sampah. Kebaikan harus dipilah dari dajjal.
“Selamat
datang Mbak Retno Ramadhani di sebuah kota
besar. Selamat memulai kehidupan baru di sini dan berhati-hatilah melangkah,”
itulah pesan dan amanah dua ekor semut yang sudah amat lama bersahabat,
Masyghul dan Naubah. Sepasang semut itu
sudah amat akrab dan suatu saat mereka akan kawin.
Retno
Ramadhani, gadis berjilbab itu, terbawa oleh langkah abinya yang malang , yang terkena
pe-ha-ka dari sebuah fabrik yang collaps karena tidak mampu bersaing di sebuah
kawasan selatan Yogya.. Syukurlah tragedi yang amat menyakitkan itu, pe-ha-ka terhadap abinya, Retno
Ramadhani sudah menyelesaikan pelajarannya di sebuah pondok pesantren, sementara
gaji sang abi sudah berbulan-bulan tersendat karena fabrik itu bangkrut. Sang
abi hanya menerima pesangon yang tidak layak jumlahnya.
Sekarang,setelah
hijrah di sebuah kota
metropolitan, dia mendapat kemudahan dari Allah, tenaganya dibutuhkan oleh
keluarga Bu Ainun yang suaminya bekerja
di sebuah bank, untuk mengajar anak-anaknya membaca Al Qur’an dan sholat. Mbak
Retno juga diminta melakukan hal yang sama di keluarga Bu Amalia yang suaminya adalah seorang anggota
Polisi.. Juga di rumah Bu Farida. Memberikan les di rumah-rumah warga yang
hidup mampu merupakan penghasilan yang lumayan bagi gadis berwajah bundar telur
itu.
Sepasang semut
itu, Masyghul dan Naubah,selalu mengintip apa saja yang terjadi di rumah itu.
Kedua semut itu melihat Bu Ainun suatu hari hadir di rumah yang dihuni Mbak
Retno dengan membawa bingkisan..
Sepasang semut
hitam itu menden gar
tamu Mbak Retno berkata:
“Saya sangat berterima
kasih ,sejak Mbak mengajar di rumah saya, nilai rapor anak saya untuk agama
Islam sembilan puluh,”
“Alhamdulillah,”
Mbak Retno ikut bersyukur.
Sepasang semut
itu melihat wajah Mbak Retno Ramadhani berseri dan tersenyum. Apalagi ketika Bu
Ainun memberinya bingkisan berisi sebuah jilbab berharga mahal.
Sepasang semut
itupun tertegun lagi ketika hari-hari berikutnya penghuni rumah itu kedatangan
tamu lagi, Bu Farida:
“Saya
bersyukur, anak saya mendapat nilai seratus untuk mate-matika!”
Seperti halnya
Bu Ainun, Bu Farida juga memberinya bingkisan sebuah tas kulit yang dibelinya
di Singapura.
Sepasang semut
itu berdecap-decap penuh rasa kagum:
“Luar
biasa. Lulusan pondok pesantren tidak hanya menguasai ilmu agama Islam, tapi
juga mate-matika,”: terdengar ucapan Masyghul.
“Pasti
Mbak Retno juga mahir berbahasa
Inggeris, juga mengerti sejarah dan biologi,” sahut Naubah penuh rasa kagum. Pondok
Pesantren memang sumber ilmu dan yang diajarkan disana tidak hanya bahasa Arab,
tidak hanya tentang sholat, tidak hanya fikih dan hadist. Di sana juga diajarkan tentang jihad. Di sana
juga diajarkan tentang pelajaran seperti halnya di sekolah umum.
Sepasang
semut itu benar-benar ingin menyaksikan apa yang terjadi pada diri penghuni
rumah itu. Ketika sedang mengusung sisa makanan di lantai, Masyghul berkata kepada rekannya yang bertubuh
gendut:
“Lihat , Mb ak
Retno sedang melingkarkan cincin di jari manisnya. ,” Masyghul menunjuk ke arah
Mbak Retno Ramadhani. “Mbak Retno sudah mampu membeli cincin dari hasil mengajar..”
“Ia
tampa k cantik
sekali. Pasti suatu saat nanti Mbak Retno akan mendapatkan pacar seorang jejaka
yang tampa n dan
mapan hidupnya.”
“Mudah-mudahan
seperti itu!”
Hijrah
yang dilakukan keluarga itu memang benar-benar membawa peru bahan dari
hal-hal yang buruk menjadi lebih baik. Sepasang semut itu melihat .Sang ummi
pulang dari menjajakan jamu gendong dengan naik bajaj membawa sebauh peswat tv. Acara yang paling
digemari sang ummi pasti adalah acara syiar Islam di waktu fajar.
“Tampaknya
menjajakan jamu gendong keliling lorong demi lorong bagi sang ummi membawa
berkah. Lihatlah,sang ummi sudah mampu membeli tivi berwarna.”
“Jamunya
memang laris dan dibutuhkan oleh perempuan yang baru bersalin, atau sopir truk
dan buruh angkat di gudang untuk menghilangkan kelelahan.”
Langganan
sang ummi memang cukup banyak. Tiap pagi dia pasti ditunggu oleh para perempuan
yang baru bersalin. Ia selalu ditunggu oleh para sopir atau para buruh angkat. Bahkan
lelaki yang butuh keperkasaan juga selalu menenggak jamunya. Perempuan yang
suaminya kawin lagi juga menunggunya untuk membeli jamu singset atau sari
rapet.
Sepasang
semut itupun menyaksikan kemurahan rezeki dari Allah yang turun kepada keluarga
penghuni rumah yang terletak di gang sempit itu. Semut-semut itupun menyaksikan
sang abi pulang dari mendorong gerobaknya yang berisi minyak tanah dengan
membawa bingkisan berisi kain sarung dan kemeja koko.
“Sarung
dan kemeja ini untuk sholat jum’at,” ujar sang abi kepada Mbak Retno Ramadhani
yang didengar oleh sepasang semut itu.
Meskipun bekerja berat mendorong gerobak keliling lorong, namun bila
waktunya sholat tiba lelaki itu pasti singgah di masjid.
Semut-semut
itu, meskipun terkadang sedang mengusung sisa makanan atau bangkai kecoa,
selalu melihat sang abi tiap jumat cepat pulang lalu mandi sunat jum’at dan
berangkat ke masjid sebelum azan berkumandang.
Keluarga
penghuni rumah itu memang keluarga sakinah. Sejak masih tinggal di desanya dan
hidup miskin sebagai buruh fabrik yang sedang dilanda krisis, selalu dekat
dengan Allah. Mereka tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai muslim.
“Kita
ikut bahagia, keluarga yang tinggal di rumah ini senantiasa melaksanakan amar ma’ruf nahi
mungkar.,” itulah komentar Masyghul kepada pasangannya yang selalu ada di
sisinya..
“Semua
anggota di rumah ini tidak mau berpangku tangan, tidak mau bermalas-malas.
Mereka merasa mencari nafkah adalah ibadah,” sahut Naubah.
***
Apapun yang terjadi di rumah itu, meskipun hanya sebuah jarum
yang jatuh di lantai, suaranya pasti didengar oleh semut-semut itu,pasti
disaksikan oleh hewan kecil itu. Apalagi ketika di rumah itu hadir seorang
lelaki muda yang tampa n
lalu Mbak Retno menyuguhkan kopi hangat.
“Mudah-mudahan
Bang Fadhil menyukai kopi buatan saya,”
kata-kata itulah yang didengar oleh sepasang semut dari bibir Mbak Retno
yang mengintip dari bawah meja.
“Tentu
saja aku menyukainya. Kopi ini akan membuat aku kerasan hadir di rumah ini.”
“Nam anya
Fadhil,nama yang bagus dan Islami. Oran gnya
juga gagah dan bukan seorang pengangguran.” Itulah komentar Naubah yang amat
asyik mengintip kehadiran lelaki itu.
Bang
Fadhil meneguk kopi hangat di depannya dan mengunyah lemper yang dibuat sendiri
oleh Mbak Retno Ramadhani. Sesaat kemudian, lelaki itu mengeluarkan kota k kecil dari dalam sakunya dan isinya ternyata sebuah
kalung dengan mainannya sebuah del ima
merah. Ind ah
sekali.
Lelaki
itu menatap wajah Mbak Retno dan berkata lirih:
“Aku
berharap kamu berkenan menerima hadiah ini,sebagai tanda aku ingin bersahabat
denganmu. Tidak hanya sebagai sahabat, tetapi lebih dari itu.”
“Tentu
saja saya akan menerimanya dengan rasa syukur. Saya senang bertemu Bang Fadhil
yang akan melindungi diri saya,” itulah kata-kata yang lahir dari celah bibir
Mbak Retno yang tipis dan didengar oleh
sepasang semut yang mengintip di bawah meja.
“Aku
akan selalu datang kemari, aku akan selalu bersamamu.”
Perlahan
sekali, lelaki itu menghampiri Mbak Retno lalu melingkarkan kalung berhiaskan del ima berwarna merah di
leher Mbak Retno. Sepasang mata perempuan berjilbab itu terpejam ketika Bang
Fadhil mengecup keningnya.
“Terima
kasih,” amat lirih suara itu lahir dari celah bibir Mbak Retno yang kemudian
mencium tangan lelaki itu tandanya ia amat menghormati lelaki itu.
Di
depan Mbak Rento, disaksikan dua ekor semut hitam yang mengintip di bawah meja,
lelaki itu bertutur bahwa dia berasal dari Sumatera, pernah kuliah di akademi
perhotelan dan bercita-cita untuk bekerja di sebuah hotel bernuansa Islami yang
akan dibangun di Serambi Makkah, di Medan , Pakanbaru, Batam , dan Palembang.
Bang
Fadhil juga bertutur, disamping kuliah dia juga belajar tentang Islam pada
seorang mubaligh, Mualim Bukhari, seorang ulama yang sangat dihormati dan
berasal dari rumpun Melayu.
Di
depan mata lelaki itu sudah terbayang bekerja di sebuah hotel bernuansa Islami,
halaman hotel diteduhi pohon-pohon palm sejenis pohon kurma seperti di padang pasir, semua
karyawan mengunakan busana muslim, yang perempuan berjilbab, yang lelaki
mengenakan kemeja koko, bertopi putih dan makanan yang terhidang di hotel itu
adalah makanan yang Islami. Musik yang dilantunkan juga bernuansa musik reliji.
Tidak akan ada maksiat di hotel bernuansa Islami itu.
“Tapi
sayang, hotel itu tidak kunjung berdiri sampai sekarang, hingga aku harus
tetirah kemari,” ujar lelaki itu lagi.
Tanpa
malu-malu, lelaki itu juga berterus terang, sejak bermukim di kota metropolitan itu dia bekerja sebagai
penarik ojeg.
“Yang
penting halal dan hasilnya juga lumayan. Langgananku sudah cukup banyak, dari
mulai mengantar anak sekolah, pegawai negeri sipil, hingga ibu-ibu rumah
tangga. Salah satu langganan yang paling setia adalah Bu Martha seorang
pedagang permata yang duitnya banyak.
“Cantikkah
Bu Martha?” tanya Mbak Retno.
Bang
Fadhil mengangguk, Mbak Retno menatapnya dalam-dalam.
“Bang
Fadhil tidak rindu pada kampung halaman di Sumatera.”
“Kerinduan
selalu ada di hatiku,tetapi belum saatnya untuk pulang.”
“Ada kah seseorang yang dirindukan di sana ?”
Lelaki
itu mengangguk.
“Siapa?”
“Mualim
Bukhari. Lelaki Melayu itu banyak memberiku pelajaran tentang Islam, untuk
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.”
Mbak
Retno tersenyum dan membiarkan lelaki itu menyentuh jari-jemari tangannya,lalu
berkata lirih.
“Nabi
bersabda,bahwa dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita
soleha!.”
Mbak
Retnno tersenyum lagi dan membiarkan jari tangannya dalam genggaman lelaki itu.
Dari bibirnya lahir kata-kata:
“Bang
Fadhil ingin agar saya jadi muslimah seperti Masitah?. Atau seperti Nasibah Al
Anshari,muslimah pertama yang diijinkan Rasulullah terjun ke medan perang?. Atau Bang Fadhil ingin agar
saya jadi seperti Rubayi’ binti Mu’awidz yang jadi perawat di peperangan?. Atau
seperti Ratu Balkis yang hidup mewah dan akhirnya bertekuk lutut di depan Nabi
Sulaiman?”.
Sebagai
seorang perempuan yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren, Mbak Retno tahu
persis wanita-wanita muslimah yang perjuangannya amat besar untuk menegakkan
Islam,seperti Umu Sinan yang jadi penunjuk jalan ketika berkobar perang Khaibar. Mbak Retno juga tidak pernah lupa
nama Ummu Ziyad Al-Asyia’yah kurir dan
sekaligus sebagai srikandi di medan
perang. Juga nama Ku’aibah binti Sa’ad yang terkenal menjadi perawat ketika
perang dan ketika suasana damai. Nam a Rufaidah Al-Anshariyah yang menjadikan rumahnya
sebagai klinik juga tetap diingat perempuan yang kini membiarkan jari tanganya
digenggam Bang Fadhil.
“Aku
ingin kamu jadi salah satu diantara perempuan muslimah itu,” sahut Bang Fadhil.
“Kalau
demikian halnya saya ingin jadi perempuan seperti Ummu Sinan saja, yang merawat
Bang Fadhil kalau sakit atau lelah ..”
Bang
Fadhil amat senang menden gar
kata-kata itu. Lelaki itu menarikkan tubuh Mbak Retno agar merebahkan kepala di
dadanya yang tegar dan kekar. Sepasang
semut, Masyghul dan Naubah merasa malu untuk melihatnya, mereka
menundukkan wajah.
Ketika
itulah Bang Fadhil membisikkan kata-kata, bahwa dia ingin menjadikan Mbak Retno
sebagai isteri yang setia. Bang Fadhil juga mengatakan, bahwa ia ingin mengajak
Mbak Retno menikah dan suatu saat membawanya pulang ke Sumatera, untuk bertemu
ibunya dan juga untuk bertemu dengan Mualim Bukhari yang sudah amat banyak memberinya ilmu tentang
Islam.
Lelaki
tua dari rumpun suku Melayu itu pula yang memberinya ilmu bela diri agar
selamat dari tusukan senjata tajam, yakni dengan sering-sering membaca ayat Al
Qur’an surah At Taubah ayat 128-129.
“Aku
selalu mengamalkan ayat itu, karena menyadari kehidupan dikota besar penuh
dengan kekerasan dan tiada belas kasih. Siapa tahu aku menghadapi musuh
bersenjata, mudahan-mudahan dengan amalan itu, aku mendapat perlindungan dari-Nya.”
“Mudah-mudahan
Bang Fadhil selalu dekat dengan malaikat dan Allah!.”
Lelaki
itu membelai rambut Mbak Retno. Di telinga Mbak Retno, lelaki itu berbisik,
andainya mereka sudah menikah dan mempunyai anak, ia berharap anak-anak yang
lahir dari rahim Mbak Retno akan diberi nama bernuansa Melayu yang
Islami,seperti Azmi, Anas, Nurul, atau Fadillah atau Nazlah.
“Saya
setuju saja!.”
Mbak
Retno membiarkan lelaki itu memeluknya. Sepasang semut, Masyghul dan Naubah
masih tetap merasa malu memandang dua insan yang sedang merencanakan hari esok
dalam sebuah perkawinan.
***
Takdir Tuhan pasti tidak akan terelakkan oleh manusia.
Begitulah yang harus terjadi atas diri seorang lelaki muda kelahiran Sumatera ,
bang Fadhil. Lelaki gagah dari rumpun Melayu itu sudah dibekali ilmu bela diri,
dia sudah diberi pelatihan yang cukup, sudah diberi ayat-ayat agar benda tajam
tidak mampu melukai dirinya alias kekebalan diri. Tapi bila Tuhan menghendaki,
harus terjadi kekebalan itu tidak akan berlaku.
Senja
itu, langit di atas kota
masih gela p ditutupi mendung tebal,padahal sudah
hampir sepanjang hari hujan amat deras turun dari langit yang kelabu.. Jalanan
becek dan air sungai meluap ketika Bang Fadhil akan melewati jembatan untuk
mengantarkan langganan yang paling setia dan pemurah, Bu Martha.
Sungguh
tidak diduganya ,bahwa senja itu Bang Fadhil akan menghadapi naas. Tidak ada
firasat apapun. Di tengah jembatan, tiga oran g
lelaki mencegatnya. Bang Fadhil menginjak rem dan dua lelaki menodongkan pisa u ke peru t
Bang Fadhil, dan seorang lagi menodong Bu Martha dan berusaha merebut tas
sandang berisi sejumlah perhiasan dan uang.
“Jangan
melawan, nyawa anda akan terancam!,” ujar lelaki yang menghadang itu terhadap
Bang Fadhil dan tampak wajahnya seram.
“Serahkan
tas ibu baik-baik, anda akan selamat!.” ujar lelaki yang menghunus belati ke peru t Bu
Martha.
“Jangan!.
Jangan berikan,Bu!,” teriak Bang Fadhil berusaha membela pelanggannya yang
sudah bertahun-tahun amat baik dan pemurah hati kepadanya.
Bu
Martha tampa k
ketakutan dan tubuhnya gemetar. Lelaki di depannya merebut tas itu dengan paksa
dan Bu Martha tidak berdaya. Justru yang melakukan perlawanan adalah Bang
Fadhil. Lelaki yang sudah dibekali ilmu bela diri itu berusaha menepiskan pisa u yang sudah
diarahkan ke perutnya.
Perkelahian
tidak terelakkan, satu lelaki, Bang Fadhil, harus melawan tiga lelaki yang
semua bersenjata pisa u
mengkilat. Pada awalnya memang Bang Fadhil mampu mengelakkan tikaman pisa u di tubuhnya. Nam un keadaan
lawan yang tidak seimbang menyebabkan Bang Fadhil terluka pada bagian
punggungnya karena ditebas dengan kelewang..
Dalam
keadaan luka parah, Bang Fadhil tetap saja melakukan perlawanan. Dua tusukan
harus dialaminya pada bagian peru t.
Darah amat banyak mengucur dan lelaki asal Sumatera itu tidak berdaya. Dalam
keadaan luka parah, tubuh Bang Fadhil dibuang ke sungai yang sedang banjir dan
airnya keruh. Tidak ada seorangpun yang menolong karena jembatan itu sedang
sepi. Tubuh Bang Fadhil yang malang
itu dihanyutkan air, sementara Bu Martha berteriak-teriak minta tolong. Lima oran g
yang sedang lewat terlambat memberikan pertolongan karena tas milik Bu Martha
sudah dibawa kabur bersama sepeda motor milik Bang Fadhil. Hingga hari esok,
hingga hari berikutnya mayat lelaki kelahiran Sumatera itu tetap tidak
ditemukan, sudah hanyut hingga ke laut atau jadi mangsa buaya atau mahluk air
lainnya.
Peristiwa
perampokan itu segera tersiar di media massa , baik
di tv maupun di surat
kabar. Sia-sia saja Bu Martha melaporkan hal itu ke polisi. Bu Martha merasa
amat terpukul jiwanya, bukan karena harus kehilangan sejumlah uang dan permata
dalam tasnya. Baginya kehilangan tas dan sejumlah uang serta permata miliknya
amat kecil dibandingkan dengan harta yang dia miliki. Yang amat memukul jiwanya
adalah tentang jasad Bang Fadhil tidak
ditemukan. Hilang dihanyutkan air hingga ke laut.
Bu
Martha amat sedih. Sudah lama perempuan itu mengenal lelaki asal Sumatera itu.
Perempuan itu mengenal Ban Fadhil sebagai sosok lelaki yang simpatik dan baik,
rajin beribadah. Dimanapun Bang Fadhil sedang berada, bila azan sudah terdengar
dari puncak menara masjid, pasti lelaki itu berhenti untuk melakukan sholat.
Bang Fadhil adalah sosok dermawan dan mudah mengulurkan tangan kepada pengemis
yang menengadahkan tangan di depannya. Tidak ada yang tidak diberi uang.
“Kasihan
dia!. Kasihan!,” hanya itu yang mampu diucapkan Bu Martha dan menangis. Air
matanya berderi-derai seperti hujan lebat. Perempuan itu merasa kematian Bang
Fadhil disebabkan dirinya, ketika sedang mengantarnya ke rumah. Hati Bu Martha
bagaikan ditusuk duri. Diapun berdoa kepada Tuhan agar jena zah Bang Fadhil ditemukan.
Sebagai
tanda simpati dan belasungkawa, Bu Martha mendatangi kerabat Bang Fadhil dan
memberikan uang lima
juta rupiah.
Air
mata Bu Martha berderai,tapi air mata Mbak Retno Ramadhani lebih deras lagi.
“Ya,Tuhan.
Ya Robbi,kenapa hal ini harus terjadi pada diri seorang lelaki yang sangat
kucintai?. Ya,Allah kenapa Engkau renggut nyawa calon suamiku?.”
Ratapan
panjang itu didengar oleh sepasang semut, Masyghul dan Naubah, juga ribuan
semut yang tiap hari berbaris mencari makanan untuk ratunya. Masyghul dan
Naubah juga merasakan kesedihan yang sangat dalam. Hatinya juga ikut hancur
luluh. Sepasang semut itu juga menangis.
“Kasihan , Mb ak
Retno. Dia telah kehilangan kekasih. Kasihan,rencananya untuk segera menikah
gagal. Mbak Retno kehilangan harapan,”
terdengar suara semut jantan.
“Semoga
Tuhan memberinya pengganti seseorang yang dapat mengobati hatinya yang terluka.
Semoga Tuhan memberinya pengganti seorang lelaki yang baik seperti Bang
Fadhil,” semut betina, Naubah ,juga bersedih dan berdoa.
Semut-semut
itu ikut merasakan kesedihan di hati perempuan berjilbab itu. Semut memang
mahluk yang amat peka dan perduli terhadap keadaan sekitar.
Sepasang
semut itu ikut terharu ketika air mata terus berderai di pipi Mbak Retno
Ramadhani Semut-semut itu melihat
sepasang bibir Mbak Retno berkomat-kamit membaca sebaris ayat Qur-an yang
selalu dibacakan orang pada saat tertimpah musyibah kematian: “Yaa ayyuhal
laziina aamanuusta’iinuu bisshobri washsholah. Inn allaha
mashshobirin”
“Kakak
tahu makna ayat yang dilantunkan Mbak Retno?,” tanya Naubah kepada semut jantan
yang tertegun sejak tadi.
“Aku
lupa!”
“Maknanya,
mengingatkan manusia yang beriman ketika tertimpa musyibah agar meminta
pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat,sesungguhnya Allah bersama oran g-orang yang sabar.”
Masyghul
tercenung,tapi matanya masih menatap Mbak Rento yang bibirnya berkomat-kamit
melantunkan ayat Qur’an lainnya:
“Yaa
ayyuhannafsul muthmainah irjii ilaa Rabbika radhiyatamardhiah fadkhulii fi ibaadi
wadkhulii jannati.”
Sepasang
semut itu termangu karena tergugah menden gar
ayat yang selalu dibacakan oran g saat melepas jena zah untuk dimakamkan.
Semut-semut itu memahami maknanya yang
berseru kepada jasad yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan hati yang pasti lagi diredhoinya. Maka
masuklah kedalam jamaah Allah dan masuklah ke surga.
Naubah
tidak mampu membendung air mata menden gar
lantunan ayat itu,amat menyedihkan. Semutpun ingat kematian. Akan halnya
Masyghul masih memandang ke arah Mbak Retno yang menyeka air mata dan berkata:
“Berhentilah
menangis,Mbak Retno. Jangan merasa sedih terus. Kalau
Mb ak Rento ingat Bang Fadhil dan rindu
padanya, sentuhlah kalung yang dihiasi del ima
merah pemberian Bang Fadhil dan dekaplah erat-erat di dadamu!.”
Mbak Retno
seperti menden gar
kata-kata itu. Dia menyentuh kalung pemberian Bang Fadhil,mendekap mainan del ima merah lalu
meletakkan di dadanya. Rindu dan kesedihan seperti terobati.
Kesedihan ada
kalanya datang bertubi-tubi dan itulah yang harus diterima oleh gadis lulusan
pondok pesantren itu. Dan kesedihan itu justru lebih besar daripada ketika
kehilangan Bang Fadhil. Kesedihan itu terjadi di depan rumah Bu Amelia yang
suaminya seorang aparat kepolisian. Ketika
Mb ak Retno datang ke rumah besar
itu, pintu depan terbuka lebar. Tapi ketika
dia mengucap salam untuk masuk,untuk memberikan pelajaran bahasa
Inggeris kepada putera Bu Amelia, tiba-tiba pintu depan dihempaskan kuat-kuat.
Suaranya menggelegar. Mbak Retno amat terkejut.
Suara penghuni rumah itu didengar Mbak Retno lebih menggelegar lagi:
“Mulai hari
ini tidak usa h
datang kemari lagi. Anak saya tidak boleh belajar lagi . Kami takut anak kami jadi teroris!”
Mbak Retno
hanya mampu mengelus dada yang terasa amat perih. Bu Amelia tahu, Mbak Rento
lulusan pondok pesantren. Sementara orang,terutama keluarga Po lisi
menganggap pondok pesantren adalah sarang teroris. Anggapan miring dan penilaian yang keliru
selalu ada dimana-mana, bahwa mereka yang menimba ilmu di pondok pesantren
selalu dijejali dengan jihad untuk membunuh orang, untuk melakukan teror. Teror
bom yang terjadi dimana-mana dan menewaskan banyak orang pada umumnya dilakukan
oleh orang-orang yang pernah belajar di pesantren dengan dalih jihad.
“Po ndok pesantren memang selalu menjadi korban fitnah!,”
Masyghul memberikan komentar ketika Mbak Retno pulang dengan air mata berderai
dan bercerita kepada sang ummi apa yang dialami di rumah Bu Amelia. Siapa
yang tidak merasa sedih kalau banyak pondok pesantren digeledah dengan dalih
untuk memburu teroris?.
Masih banyak
warga negeri ini tidak menyadari, bahwa pesantren mempunyai kontribusi besar
terhadap kemerdekaan republik ini. Pesantren sudah didirikan oleh para santri
sejak negeri ini dijajah Belanda. Para penegak
hukum,terutama aparat kepolisan lupa, bahwa para pejuang kemerdekaan negeri ini
ketika melawan penjajah selalu diiringi doa para kiyai di pesantren. Bahkan
hingga saat inipun para cendekiawan muslim banyak berasal dari pesantren. Amat
banyak penduduk negeri ini tidak pernah membaca buku karya Raffles, Gubernur
Jenderal Inggeris “The History of Java”. Padalah dalam buku itu dikemukakan
bahwa para pejuang kemerdekaan dilakukan oleh para kiyai dan santi. Pikiran dan
keringat serta darah para santri menjadi saksi bisu sejarah kemerdekaan negeri
ini.
Syukurlah
kesedihan itu tidak terlalu lama melekat di dasar hati Mbak Retno. Hanya dua
minggu setelah dirinya disambar fitnah yang amat keji itu. Pertolongan Tuhan
datang kepadanya. Mbak Retno dipanggil
untuk menjadi guru di sebuah madrash tidak jauh dari tempat tinggalnya. Mbak
Rento melakukan sujud syukur karena pertolongan Tuhan selalu datang kepadanya.
“Lihatlah,dengarlah,
Mbak Retno bersyukur karena kebesaran Tuhan!,” cetus Naubah .
“Bagi keluarga
sakinah, malaikat dan Tuhan selalu dekat!,” sahut Masyghul ikut
bersyukur.
***
Mereka hanyalah
sepasang semut hitam di antara sekian ribu semut-semut lainnya yang tiap saat mengusung bangkai belalang atau
sisa makanan yang terjatuh dari piring milik manusia penghuni rumah tua
yang terletak di gang sempit itu. Mereka
adalah Ummu Naubah, semut betina dan Abu Masyghul, semut jantan, yang sudah
amat lama saling bersama dalam suka dan duka, dalam hujan lebat, dalam suasana
banjir dan banyak kawasan terendam air, atau dalam musim kemarau panjang dan
debu menyesakkan nafas warga kota.
Mereka adalah
sepasang mahluk kecil , tetapi memiliki semangat sebesar gunung, memiliki
kebersamaan sebesar bukit, yang memiliki kesetiakawanan yang tidak pernah
punah, yang tidak pernah berbohong, yang tidak pernah menyakiti sesama, yang
tidak pernah melakukan demo menuntut kenaikan upah, padahal mereka hanyalah
mahluk pekerja atau koloni yang sepanjang hari harus bekerja keras mencari dan
mengangkut makanan untuk sang ratu. Mereka tidak pernah merebut sesuatu yang
bukan milik mereka, dan mereka tidak
pernah saling bersengketa, mereka tidak
pernah berseteru lantaran merebutkan rezeki.
Semua makanan adalah milik bersama, semua rezeki adalah milik sesama
mahluk semut. Mahluk semut tidak akan kelaparan untuk setahun mendatang karena
makanan yang sangat cukup disediakan
oleh semut-semut koloni.
Lihatlah betapa mesranya mereka semua, tiap berpapasan satu dengan
lainnya saling bersalaman atau saling melakukan tegur sapa dalam bahasa yang amat
lembut dan penuh kasih sayang atau tiap bertemu
mereka saling mencium pipi.
Mereka hanyalah mahluk hitam yang amat kecil, tetapi Allah memuliakan
mereka, lebih mulia dari badak yang bertampang besar, lebih mulia dari harimau atau singa yang paling ditakuti di tengah
rimba. Lalu sebagai tanda Tuhan memuliakan mahluk kecil berwarna hitam itu, mahluk bernama
semut-semut itu disebut-sebut dalam Al Qur’an, bahkan Tuhanpun memasukkan
binatang kecil itu dalam sebuah surat
bernama An Naml yang berjumlah 93
ayat, merupakan ayat Makkiyyah
dan pada ayat l8 dan 19 terdapat perkataan semut. Tidak hanya itu,
Nabi Suulaimanpun ketika lewat bersama
pasukannya yang bersenjata lengkap, yang siap
untuk bertempur dengan semangat tinggi, segera berhenti dan tersenyum
kepada barisan semut yang sedang lewat. Dan pimpinan semut itu memperingatkan
agar koloni semut itu masuk ke sarangnya
agar tidak terpijak oleh pasukan Nabi Sulaiman.. Bahkan Nabi Sulaimanpun tersenyum kitika mendengar ucapan mahluk-mahluk kecil itu.
Mahluk semut memang cerdik dan bahasanya dapat dimengerti oleh Nabi Sulaiman.
Meskipun hanya memiliki tubuh yang mungil, tapi semut-semut itu selalu
mampu mencium makanan yang jatuh dibawah meja atau mampu mendeteksi bangkai
belalang untuk diusung ke sarang
kemudian dipersembahkan kepada sang ratu. Tidak hanya itu, sepasang semut hitam
itu, Ummu Naubah dan Abu Masyghul, juga selalu tahu bila ada benang terurai di rumah
di tempat mereka membuat sarang.
Sepasang semut itu tahu, bila pemilik rumah di kawasan kelas bawah itu
melantunkan ayat-ayat Qur’an usai sholat maghrib atau subuh.
Sepasang semut itu, Ummu Naubah dan Abu Masyghul juga selalu tahu bila pemilik rumah tua itu ada yang sakit tidak ke dokter,tapi
berobat secara tradisional. Buah mungkudu,daun seledri, bawang putih dan ramuan
jamu adalah obat-obat yang mujarab bagi keluarga itu ditambah doa dn
jampi-jampi.
Ummu Naubah dan Abu Masyghul tertegun ketika hari itu mereka melihat sang
abi dan ummi serta sang adik, penghuni rumah itu, pagi-pagi meninggalkan rumah dengan membawa
koper lalu berangkat ke stasiun kereta api untuk berangkat ke sebuah desa di
selatan Yogya untuk menghadiri hajatan pesta mantu kerabatnya. Sepasang semut hitam itu juga tahu persis
yang tinggal di rumah itu hanya tinggal Mbak Retno. Tidak mungkin semua pergi
ke Yogya, tidak mungkin rumah yang sudah
tua itu dikosongkan, karena tv milik mereka pasti akan digondol maling, pasti
radio transistor mereka akan berpindah tempat.
Tidak mungkin Mbak Retno juga ikut ke Yogya karena ia harus mengajar
di madrasah Istiqomah. Gaji sebagai guru adalah sebagai sumber kehidupan
keluarga asal Jawa Tengah itu. Menjajakan jamu gendong hasilnya lumayan untuk menghidupi
keluarga itu. Dan kehidupan sebagai penjual jamu jauh lebih lumayan daripada
kehidupan pengamen atau penarik beca. Dan harta yang diperoleh pastilah lebih
bersih dari pada penghasilan PNS yang
selalu menilep angka-angka proyek.
Setiap suap nasi yang didapat dari menjual jamu jauh lebih bersih dari PNS yang pintar
menyulap angka-angka. Rezeki dari menjual jamu, jauh lebih halal dari pada penghasilan anggota legislatif yang selalu membengkokkan peraturan dan membuat kuitansi
fiktif.
***
Sepasang semut itu,
Abu Masyghul dan Ummu Naubah, keheranan ketika sore itu Mbak Retno tiba-tiba meratapi abi, ummi dan adik lelakinya.
Rangkaian gerbong kereta api yang ditumpangi orang tua Mbak Retno ternyata
anjlok dan belasan orang tewas serta puluhan luka-luka. Di antara mereka
yang bernasib malang dan tewas adalah sang abi, ummi,seorang adiknya . Keluarga
penjual jamu tradisional di kawasan gang sempit itu tewas setelah tubuh mereka
terjepit dalam gerbong yang ringsek..
Kecelakaan kereta api memang sudah amat sering terjadi dan korban yang
tewas serta luka-luka tidak terhitung lagi. Kecelakaan kapal laut yang
mengangkut penumpang juga sudah amat
sering terjadi di negeri ini.
Bahkan pesawat udara yang jang jatuh tidak terhindarkan lagi. Kecelakaan selalu ada di mana-mana, seperti
halnya bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa, dan tsunami
yang amat ganas itu.
Suasana rumah yang berada di kawasan gang sempit itupun segera menjadi
ramai didatangi para tamu yang ingin menyampaikan bela sungkawa serta duka
cita. Tenda yang sudah kumal, kotor, dan baunya tidak enak segera didirikan
untuk melindungi tamu-tamu dari hujan atau panas terik. Tiga jenazah yang
tewas direnggut kecelakaan kereta api
itupun dimandikan, dikafani, disholatkan lalu diantarkan ke kubur. Apa boleh
buat, Mbak Retno harus memecahkan
tabungan yang terbuat dari tanah liat, karena harus membayar biaya setapak
tanah pemakaman kepada pemerintah, juga membayar pengorek kubur, untuk membeli
kain kafan dan honor bilal yang mengurusi fardhu kifayah.
“Kasihan, Mbak Retno,” keluh Ummu
Naubah, sang semut betina yang memperhatikan
Mbak Retno terus menerus menangis dari kolong meja.
“Ya,kasihan. Tidak hanya Mbak Retno kehilangan ayah, ibu dan adiknya,
padahal dia sudah kehilangan Bang Fadhil”, sahut Abu Masyghul yang selalu
berdampingan ketika mengusung bangkai belalang atau ketika meperhatikan semua
aktivitas penghuni rumah itu.
“Kehidupan manusia lebih rumit
dari mahluk seperti kita. Kehidupan manusia selalu berkaitan dengan
duit. Melahirkan anak di rumah sakit butuh duit, menyekolahkan anak juga butuh
duit yang tidak sedikit. Bahkan ketika
meninggal, kuburan juga harus dibayar. Bahkan ustaz yang mengurusi
fardhu kifayah juga perlu uang. Mau
kencing saja perlu uang. Yang tidak butuh duit hanya kentut dan batuk.”
“Bersyukurlah kita dilahirkan
sebagai mahluk kecil.” terdengar suara Ummu Naubah lirih.
“Kita
berbahagia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang namanya semut. Hidup tidak butuh duit.”
Ribuan semut-semut hitam yang
bersarang di rumah tua itu berhenti mengusung bangkai anak jengkrik ketika tiga jenazah korban kecelakaan kereta api itu diusung untuk
dikuburkan. Tiga keranda itu diberangkatkan ke kubur dengan iringan Fatihah
tiga kali dan di selingi ayat 27 hingga
30 surah Al Fajr. Mbak Retno pingsan dan untunglah disisinya berdiri para jiran
tetangga yang selalu mendampinginya. Sesama manusia yang hidup di kelas bawah
memang selalu akrab, selalu saling mengulurkan tangan, selalu memahami duka
yang dialami tetangga lainnya.
“Kasihan, Mbak Retno jadi sebatang
kara,” cetus Ummu Naubah lagi
“Ia tidak kuat menghadapi kematian
ayah, ibu dan adiknya,” sahut Abu
Masyghul.
“Mbak Retno belum siap untuk menerima kenyataan paling pahit dalam
hidupnya.”
“Andainya dia sudah kawin, pasti
keadaan akan jauh berbeda.”
“Kasihan , andainya Bang Fadhil
tidak meninggal dunia yang dihabisi penjahat, tentu Mbak Retno sudah
kawin,tentu tidak terlalu sedih,tentu ada yang menghiburnya. “
Sepasang semut itu ingat kembali masa
lalu ketika Mbak Retno selalu makan bakso bersama seorang lelaki kelahiran
Sumatera bernama Bang Fadhil. Sepasang
semut itu tidak akan pernah lupa ketika lelaki muda yang bekerja sebagai
penarik ojeg itu selalu mengunjungi
Mbak Retno dan mereka duduk
berdampingan. Sepasang semut itu selalu melihat Mbak Retno merebahkan kepalanya
di dada lelaki itu. Semut-semut itupun selalu melihat lelaki itu membelai
rambut Mbak Retno dan memeluknya erat
sekali. Sepasang semut yang selalu merayap di bawah meja itu selalu
mendengar kata-kata cinta dibisikkan
lelaki kelahiran Sumatera itu di telinga Mbak Retno. Juga tentang kasih sayang
dan rencana mereka untuk hidup bersama sebagai suami isteri.
“Tapi Mbak Retno tidak akan kehilangan
tempat tegak. Mbak Retno masih dapat melanjutkan karirnya sebagai guru. Dia
masih memiliki tempat berpijak yang kukuh.. Meskipun yang diwariskan ibunya
hanya pendidikan di pondok pesantren, tapi mampu untuk membiayai hidup..”
“Mudah-mudahan dia tidak putus
asa. Sayangnya usaha jamu gendong
umminya tidak ada yang mewarisi,padahal usa ha itu sudah mulai laris.”
“Usa ha jamu itu memang mendapat
barokah dari Tuhan. Semoga Mbak Retno
tetap berpijak di bumi yang kukuh.”
“Dan juga menemukan jodohnya, seorang lelaki yang mapan. Mudah-mudahan
Mbak Retno menemukan seorang lelaki pengganti Bang Fadhil.”
“Pegawai
negerikah jodoh yang diharapkan Mbak Retno?”
“Belum
tentu.”
“Pedagangkah?”
“Mungkin,tapi bukan pedagang kaki lima .”
“Sopir angkutan umum?”
“Tidak seperti itu. Pendidikan di
pesantren memungkinkan untuk mendapatkan jodoh lelaki yang mapan.”
“Ya,tidak mungkin kuli pelabuhan.
Tidak mungkin kuli bongkar muat di pasar?”
“Tuhan akan menurunkan jodoh yang
baik kepadanya.. Mbak Retno belum terlalu tua, masih di bawah tiga puluh tahun
dan wajahnya tidak terlalu jelek. Lihat matanya,. Lihat bibirnya, lihat
hidungnya, semua bagus dan cantik.
Jarinya juga lentik. Suatu saat
hati lelaki akan terketuk dan jatuh cinta kepada Mbak Retno, lalu mereka
menikah.”
“Cuma sayangnya kulit Mbak Retno hitam karena dibakar terik
matahari ketika belajar di pondok pesantren yang jauh dari desa kelahirannya
dulu..”
Abu Masyghul menekur, sementara
ketiga jenazah korban kecelakaan kereta api itu sudah diusung ke kubur dengan
iringan para tetangga dan kerabat..
“Kenapa termenung?,” sapa Naubah melirik sahabat kentalnya.
“Ada sesuatu yang kupikirkan.”
“Tentang apa?”
“Tentang keadaan kita berdua.”
“Kita adalah mahluk kecil. Kita
adalah sepasang semut. Kita adalah
koloni yang harus bekerja, membuat sarang atau mencari makan untuk ratu. Kita adalah bagian dari pasukan pekerja yang
sepanjang hari harus bekerja untuk
mencari makan ratu kita pada hari-hari mendatang. Haruskah seperti itu
selamanya?. Haruskah kita hanya bersama dalam keadaan seperti ini?. Tidakkah
kita seperti manusia, yang lelaki bertemu
dengan perempuan, kemudian saling
mengasihi, saling menyayangi lalu menikah dan punya anak dan menikmati kebahagiaan
hingga akhir hayat, hingga hari tua?”
“Manusia memang mahluk paling sempurna dan paling mulia
diciptakan untuk menyembah Allah. Tapi semut juga lebih mulia dari pada harimau
atau beruang. Mahluk kita ada dalam Qur’an, mahluk kita dikenal oleh Nabi
Sulaiman, tidak seperti harimau dan beruang. Tidak seperti ulat bulu..”
Ribuan semut-semut itu kembali
melanjutkan tugasnya sebagai pasukan koloni yang bertugas membangun sarang dan mengusung bangkai kecoa. Jantan dan betina tetap saling membahu bekerja
sama tanpa perbedaan gender, tanpa perbedaan kasta, tanpa perbedaan martabat
dan harga diri serta tanpa perbedaan sosial. Tapi dalam sebuah
perkawinan, semut jantan harus menerima
takdir yang amat menyedihkan. Sebab setiap semut yang berpasangan , saling memadu kasih
sayang kemudian menikah, semut jantan harus menerima nasib paling malang , ia akan mati beberapa saat
setelah perkawinan itu terjadi.
Tiap semut jantan akan segera mati
tidak lama setelah mereka kawin. Tiap semut jantan harus rela hidupnya
berakhir setelah perkawinan berlangsung, sementara semut betina berubah menjadi ratu yang akan menghasilkan telur-telur
puluhan ribu butir kemudian akan menetaslah
semut-semut generasi baru.
Kasihan nasib semut
jantan,kebahagiaannya hanya sesaat. Semut jantan rela hidupnya berakhir untuk
kebahagiaan semut jantan.
Hampir tidak disadari oleh para
manusia, bahwa mahluk semut sudah ada di muka bumi sejak 80 juta tahun yang
lalu dan semut-semut itu tidak kurang dari 8.800 spesies merayap di permukaan bumi. Para
manusia tidak menyadari, bahwa populasi mahluk semut terpadat di muka bumi. Perbandingannya 700 juta semut yang baru menetas, hanya 40
kelahiran manusia.
Syukurlah Tuhan telah
memperingatkan umat manusia untuk mencontoh prilaku dan kehidupan semut. Tuhan
memberi peringatan kepada manusia untuk menggali pelajaran dari kehidupan semut
yang membuat sarang di bawah tanah, yang mencari makanan untuk persediaan hingga setahun ke depan. Semut adalah mahluk
kecil yang sangat trampil, sangat tinggi
sifat sosialnya dan sangat cerdas. Semut adalah hewan kecil yang tidak rakus,
bahkan mereka sudah kenyang hanya setelah mencium bau makanan. Betapa amat beda
dengan selera dan nafsu manusia yang tidak mengenal batas. Bersyukurlah mahluk
semut yang tercantum dalam Qur’an surat An Naml yang isinya tentang kisah semut dan Nabi Sulaiman, tentang ratu Balqis ,juga tentang burung hud-hud , serta kisah Nabi
Shaleh dengan kaumnya , juga tentang kisah Nabi Luth dengan kelompoknya.
“Aku sudah siap untuk meninggalkanmu
andainya kita segera kawin,” ujar Abu Masyghul di sisi semut betina yang amat ia cintai dan ia sayangi sepenuh
hati. Semut betina itu selalu dalam pelukannya, terutama bila malam dingin atau
ketika hujan turun sangat lebat seakan langit akan runtuh. Padahal sarang semut
selalu dibangun oleh koloni semut amat rapi sehingga air hujan tidak mampu
menembus sarangnya.
“Jangan buru-buru pergi, aku belum siap kehilangan dirimu. Aku masih ingin
bersamamu lebih lama lagi.” sahut semut
betina.
“Haruskah kita seperti ini
terus?. Haruskah kita dalam kebersamaan tetapi tidak menikmati kebahagiaan
sebenarnya dalam sebuah perkawinan?. Akan bagaimanakah masa depan kita nanti?.
Haruskah aku terus menunggu tanpa suatu kepastian?”
“Ya, karena aku tidak ingin kehilangan dirimu
dalam waktu dekat.”
Semut jantan itu merunduk. Sesaat lagi ia akan mati setelah kawin,
itulah takdir untuk semut jantan. Tidak ada kehidupan yang lebih panjang bagi
semut jantan setelah ia kawin. Ia harus
mati. Harus mati. Tidak ada kata tunggu. Tidak ada umur panjang bagi semut
jantan!.
***
Sepasang semut itu
sedang mengusung sisa makanan yang jatuh dari atas piring pemilik rumah di gang sempit itu. Sepasang
semut itu tertegun ketika melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah itu dan
pasti mereka bukanlah petugas ketertiban kota
yang akan melakukan penggusuran rumah-rumah kumuh di sepanjang kali. Mereka
yang turun dari mobil itu bukanlah aparat yang sanger. Mereka yang turun dari
mobil itu tampak seperti amat berwibawa, lagi pula tidak disertai alat-alat
berat yang namanya bulldozer atau exacapator untuk meruntuhkan rumah-rumah
warga di kawasan kumuh .
Tidak mungkin tamu yang datang itu
untuk melakukan penggusuran, karena
mereka cuma enam orang. Tiap aksi
penggusuran, pasti yang datang adalah aparat yang jumlahnya belasan bahkan
puluhan, sebab para petugas penggusuran pasti harus mengantisipasi akan
terjadinya aksi penolakan atau perlawanan dari warga yang tidak ingin
bangunan rumahnya atau warungnya digusur
aparat. Tidak jarang penggusuran diwarnai dengan lemparan batu. Bahkan aksi
penggusuran yang dihadang warga dengan bertelanjang juga sering terjadi.
Mana mungkin aparat yang baru turun dari mobil itu untuk melakukan penggusuran karena dua
diantara pertugas itu adalah perempuan.
“Kami adalah petugas dari kereta api,” salah seorang petugas yang datang mengenalkan
dirinya kepada Mbak Retno.
“Apakah anda datang membawa kabar
buruk bagi warga di sini?,” tanya Mbak
Retno gemetar dan tubuhnya bermandi
peluh dingin karena takut.
“Oh,tidak!. Sama sekali tidak
ada kabar buruk.”
“Artinya tidak ada perintah penggusuran?”
“Oh,tidak!. Jangan salah sangka!”
Sepasang semut, Ummu Naubah dan
sahabatnya, tersenyum dibawah kursi menyaksikan datangnya para tamu berpakaian dinas itu. Telinganya cukup jelas
mendengar suara pembicaraan Mbak Retno dan tamunya.
“Justru kami datang untuk
menyampaikan permohonan maaf dan bela sungkawa atas terjadinya kecelakaan
kereta api yang merenggut nyawa ayah, ibu dan adik anda.,” ujar salah seorang petugas dari
perkeretaapian di negeri ini.
Sepasang semut yang bersembunyi di
bawah kursi itu melihat dua oran g
yang hadir itu berpakaian dinas asuransi.
“Jiwa saya sangat terpukul oleh kejadian itu. Saya kehilangan
segalanya. Saya menjadi sebatang kara sekarang,” sahut Mbak Retno dan menunduk.
“Kami mengerti perasaan anda. Kami
mengerti kesedihan anda. Kecelakaan itu memang tidak dikehendaki oleh semua
pihak. Karena itu kami datang
mewakili perusahaan kereta api untuk mohon maaf”
Sepasang semut dibawa kursi
tamu itu masih sempat memperhatikan wajah Mbak Retno yang menunduk dan air mata
berderai di pipinya. Sepasang semut itu
masih sempat melihat wajah Mbak Retno yang amat sedih dan entah kapan kesedihan
itu akan berakhir. Kekasih tewas di tangan penjahat dan mayatnya dilempar ke
sungai beberapa saat silam. Kini abi, ummi dan adiknya direnggut maut akibat
kecelakaan kereta api.
Di luar, anak-anak kecil bertubuh
dekil, berpakaian kumuh, berkaki telanjang sedang bermain layang-layang. Bila
ada layang-layang putus lalu mereka saling mengejar untuk meraih layang-layang
itu dan tidak jarang mereka melompat pagar, atau memanjat tiang telepon. Di
antara belasan anak-anak yang mengejar layang-layang itu hanya dua atau tiga
orang yang masih duduk dibangku sekolah. Mereka adalah anak-anak yang tidak
mampu disekolahkan orang tuanya yang umumnya adalah pemulung, pengamen, kuli
bangunan, penarik ojeg atau pembantu rumah tangga. Yang
ayahnya maling juga ada karena tekanan hidup yang teramat sulit.
Tidak
ada kesedihan di hati kanak-kanak itu meskipun mereka tidak lagi bersekolah
padahal dapat dipastikan mereka tidak memiliki masa depan. Mereka tidak
perduli dengan masa depan yang kelam. Mereka tidak perduli dengan hari nanti
yang gelap gulita. Tidak perduli pada suatu saat nanti mereka juga akan jadi pemulung, jadi penarik beca, jadi sopir
angkot atau jadi kuli bangunan yang sepanjang hari tubuh mereka dibakar
teriknya matahari. Mereka tidak perduli akan masa depan yang meskipun kelak mereka hanya akan jadi tukang jambret
yang akan babak belur dihajar massa
atau dijebloskan dalam penjara karena tindak kejahatan yang dilakukannya.
Sepasang semut itu masih sempat
memperhatikan salah seorang dari
tamu-tamu berpakaian dinas itu membuka
tasnya dan mengeluarkan sesuatu.
“Kami datang kemari untuk
memberikan bantuan dan santunan dari
asuransi,” ujar salah seorang tamu
perempuan yang membuka tasnya.
“Bantuan apa?” tanya Retno polos. Demi
Tuhan , ia tidak
menduga, bahwa kematian abi, ummi dan adiknya akan mendapatkan tebusan berupa
pembayaran klaim asuransi dan bantuan pemakaman dari perusahaan kereta api.
“Bantuan uang. Setiap penumpang
kereta api yang memiliki karcis adalah
menjadi peserta asuransi dan berhak mendapatkan klaim,” ujar salah seorang tamu
terhormat itu.
Sepasang semut hitam dibawah kursi
itu membelalakkan mata melihat tamu-tamu terhormat itu mengulurkan selembar cek
bernilai tiga puluh juta untuk tiga
orang korban kecelakaan di atas gerbong kereta api.
“Mbak Retno menerima rezeki
nomplok!,” ujar semut betina.
“Bukan rezeki nomplok, tapi memang
haknya. Sebenarnya uang sebesar itu masih belum setimpal dengan nyawa yang
hilang sekaligus. Bayangkan, Mbak Retno tidak punya siapa-siapa lagi, tidak punya
ayah, tidak punya ibu, tidak punya adik dan tidak punya kerabat lagi di sini.”
Sepasang semut hitam itu tertegun. Ada perasaan sedih di hati
sepasang semut hitam itu. Mereka adalah saksi dalam setiap gerak kehidupan di
rumah yang terletak di gang sempit itu.
Sepasang semut itu melihat sendiri ketika sang abi,ummi Mbak Retno melangkah keluar dari rumah untuk
berangkat ke Yogya, lalu sepasang semut
itu juga melihat ketika tiga jenazah diangkut dengan mobil ambulans ke rumah
itu. Semut-semut itu melihat sendiri
ketiga jenazah itu dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu diusung ke kubur.
Hujanpun turun rintik-rintik ketika tiga jenazah itu diturunkan ke liang lahat
lalu ditimbun dengan tanah. Alampun seperti tidak rela, alampun seperti
ikut berduka cita atas tragedi yang amat menyayat hati itu.
Sepasang
semut hitam itupun menjadi saksi ketika
Mbak Retno menerima selembar cek bernilai tiga puluh juta sebagai pembayaran
klaim asuransi kecelakaan. Kesaksian semut-semut hitam itupun terus
berlanjut ketika Mbak Retno menerima uluran selembar cek itu dengan diiringi derai air mata.
***
Rumah tua di gang sempit itu tidak pernah sepi sejak
kecelakaan kereta api yang merenggut nyawa itu terjadi. Jiran tetangga, sesama
keluarga yang kurang mampu juga selalu
berkunjung untuk menghibur Mbak Retno.
Bahkan wartawan juga selalu hadir untuk mengekspos berita tentang anjloknya
gerbong kereta api. Apalagi kalangan LSM
banyak yang tiba-tiba hadir di rumah tua itu untuk mencari duit.
Pihak keluarga yang berasal dari desa di selatan Yogya
juga datang silih berganti. Sepasang
semut hitam yang sudah lama saling
mengasihi di rumah itu harus berhati-hati karena tamu yang silih berganti,
jangan sampai mereka terpijak lalu habislah nyawa mereka. Mereka selalu
bersembunyi dibawah meja, dibawa kursi atau di sudut ruangan. Mereka cuma
mengintip dari kejauhan dan ingin mengetahui apa yang terjadi di rumah itu.
“Pindah saja ke Yogya,Retno,” ajak salah seorang bibinya yang datang dari
jauh.
“Saya masih belum ingin meninggalkan
tempat ini.” Sahut Mbak Retno yang didengar sayup-sayup oleh sepasang semut
hitam yang sembunyi di dinding atas ruang depan.
“Apa lagi yang kamu pertahankan di
sini?. Kamu tidak punya sanak keluarga di sini. Siapa yang melindungi dirimu
kalau terjadi sesuatu?”
“Saya masih punya jiran tetangga di sini.
Semua baik-baik. Semua seperti saudara kandung.”
“Tapi
mereka kurang mampu. Apa yang dapat mereka lakukan kalau kamu jatuh sakit?”
“Mereka memang hidup miskin, mereka
kelas bawah, tapi mereka semua baik. Mereka mudah mengulurkan tangan kepada sesama.”
“Bagaimana kalau suatu saat terjadi
penggusuran?. Kemana kamu akan bernaung?. Dimana kamu akan tinggal kalau
pemerintah membersihkan kawasan ini?. Apakah kamu akan tinggal di kolong
jembatan?.”
“Saya akan tetap di sini, apapun
yang akan terjadi,” sahut Mbak Retno
dengan nada tanpa ragu.
“Sebaiknya kamu pulang ke Yogya.
Ingat disana kamu masih punya banyak kerabat yang selalu perduli kepadamu.”
“Terima kasih atas semua kepedulian
itu. Tapi perkenankan saya memilih nasib saya sendiri dan masa depan saya di
sini.”
“Kamu berdarah Yogya,
seharusnya kamu memiliki hati yang lembut dan mau menerima saran dari saudara dekatmu.”
“Maafkan saya.”
“Apa yang akan kamu lakukan di
sini?. Apa yang dapat kamu lakukan
di kawasan kelas bawah seperti ini?. Sudah lama abi dan ummimu bermukim di
kawasan ini, tapi hidupnya tidak pernah berubah.”
“Di sini kami banyak mengalami
perubahan. Kami hijrah dari tempat yang buruk kepada keadaan yang lebih baik.Saya
sudah terlalu mencintai tempat ini.”
Tamu yang datang dari Selatan Yogya
itu tertegun ketika menden gar
penuturan Mbak Retno, bahwa di kota besar itu, Mbak Rento jadi guru di madrasah
Istiqomah meskipun gajinya belum memadai. Dan abinya menjadi penjaja minyak
tanah serta umminya jadi penjual jamu gendong.
Keeluarga itu sedang membangun mulai mapan meskipun dengan cara merayap.
Sepasang semut hitam yang
bersembunyi di atas ruang tamu rumah itu tetap membuka telinga lebar-lebar dan
mendengar setiap pembicaraan Mbak Retno
dan kerabatnya dari desa di sekitar Yogya itu.
“Di Yogya banyak yang dapat kamu
lakukan untuk hidupmu. Kamu baru
menerima uang cukup banyak dari asuransi, kamu dapat membeli kebun salak pondoh
siap panen untuk hidupmu.”
Mbak Retno hanya termenung mendengar
ucapan itu.
“Kamu juga dapat membuka pabrik tempe di sana .”
Mbak Retno hanya berdiam diri. Hanya
menekur.
“Terima kasih!,” hanya itu ucapan Mbak Retno.
“Lagi pula umurmu sudah hampir tiga
puluh,Retno. Sudah waktunya kamu punya pasangan. Sudah waktunya kamu punya
teman hidup. Sudah waktunya kamu punya
suami. Siapa tahu di sini jodohmu sangat jauh. Mungkin kalau kamu bermukim di
Yogya, jodohmu akan sangat dekat. Kerabat dan kaum famili akan mencarikan
jodohmu di sana
nanti.”
“Jodoh di tangan Tuhan, seperti
halnya rezeki dan kematian. Biarlah saya menemukan jodoh di sini.”
“Kapan?. Kapan kamu akan menemukan
jodoh?. Kamu masih membujang terus.”
“Nanti, suatu saat, Tuhan akan mendatangkan seseorang untuk jodoh saya.”
Tamu-tamu yang datang dari
desa di selatan Yogya itu tampak kecewa
dan mereka hanya mampu memandang wajah Retno yang tertunduk. Mereka amat ingin Retno kembali ke Yogya dan banyak yang dapat dilakukan di sana untuk masa depannya. Sepasang
semut hitam itu tetap saja membuka telinganya lebar-lebar agar tidak satu katapun
yang tidak terdengar.
“Saya sudah punya rencana,”
tiba-tiba sepasang semut itu melihat Mbak Retno mengangkat wajahnya dan berkata
kepada kerabatnya yang datang dari jauh.
“Rencana apa?,” tanya kerabatnya. “Mau membuka usaha lain?”
“Tidak!,” Retno menggelengkan kepala. “Di sini saya
sudah jadi guru!”
“Mau meninggalkan kawasan ini dan
mencari tempat tinggal baru yang aman dari penggusuran?”
“Tidak!. Saya akan tetap menjadi guru
madrasah di sini. Pekerjaan itu sudah sangat serasi dengan saya.”
“Kami sudah dapat menduga,gajimu di
madrasah itu pasti tidak seperti gaji manejer pabrik!.”
“Ya. Saya harus hidup prihatin dan
berhemat!”
“Mampukah penghasilanmu dari
madrasah itu sampai hari tua?”
Mbak Retno tidak segera menyahut dan sesaat ia menunduk.
Ia membiarkan kerabatnya memperhatikan wajahnya.
“Sejak abi dan ummimu meninggal,
banyak famili cemas terhadap dirimu di sini karena kamu adalah seorang
perempuan.”
“Saya akan selalu baik-baik saja di
sini.”
“Ingat , kamu seorang perempuan yang punya keterbatasan.”
“Saya
merasa cukup tegar. Malaikat selalu menjaga diri saya.”
“Kami meragukan, mampukah kamu hidup
mandiri di sini?. Mampukah kamu hidup tanpa muhrim di kota besar yang penuh dengan tantangan?.”
“Tuhan bersama saya!”
“Hatimu amat keras, Retno.”
Mbak Retno hanya menghela nafas
panjang. Di benaknya memang sudah penuh dengan rencana apa yang akan dilakukan
pada hari-hari mendatang.
“Apa yang akan kamu lakukan dengan
uang santunan dari kereta api itu?.”
“Saya akan pergi jauh.”, sahut Mbak
Retno polos.
“Pergi jauh kemana?”
“Jauh sekali!”
“Kemana?. Ke Sumatera?. Atau ke Kalimantan ?. Adakah seseorang yang kamu harapkan di sana ?”
“Tidak ke Sumatera.”
“Sulawesi ?”
“Juga tidak!”
“Lalu pergi jauh hingga ke ujung
langit?. Apa yang akan kamu lakukan di sana ?”
“Saya ingin pergi jauh , yang penuh dengan perjalanan suci. Saya akan
menunaikan ibadah haji.”
Kata-kata itu membuat tamu yang
datang dari kawasan Yogya itu amat
kaget.
Tatapan matanya
tajam terhadap Mbak Retno.
“Kamu akan ke Tanah Suci?. Kamu akan berangkat ke Makkah?”
“Insya Allah!” Mbak Retno berkata lembut.
Sesaat tamu yang datang dari sekitar
Yogya itu tertegun dan keheranan. Rasanya
Mbak Retno terlalu muda untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Rasanya
keberangkatan ke Tanah Suci terlalu awal, karena Mbak Retno belum menikah.
“Kawasan ini memang untuk kelas
bawah dan warganya pada umumnya kurang mampu. Tidak satupun penduduk di sini
yang hidup mapan dan mampu, tapi majlis taklim selalu dilaksanakan di tempat
ini. Meskipun warga di sini terbilang miskin, tapi selalu mendengar ceramah
dari para ustadz. Meskipun yang disantap warga di sini hanya makanan sederhana,
tapi mereka cukup sering menikmati santapan rohani. Hati saya tergugah untuk
pergi ke Tanah Suci. Saya merasa mendapat panggilan yang amat serius untuk
menginjakkan kaki di sana
dan mendoakan abi dan ummi . Bukankah uang yang diberikan pihak kereta api
karena didasari kematian abi dan ummi?. Sepantasnya kalau saya mendoakan mereka
di Tanah Suci. Sudah selayaknya abi dan
ummi saya mendapatkan pengampunan dari
Allah.”
Mbak Retno mengutarakan tempat-tempat
berdoa yang selalu diaminkan malaikat dan dikabulkan Allah, seperti di depan
multazam, di depan pancuran emas, di Arafah, di Jabal Rahmah, di tempat pelontaran
jamrah, di tempat Sa’i, di pintu Marwah, di Masjid Nabawi apa lagi di Masjidil
Haramdan yang setiap sholat fardhu mendapat ganjaran seratus ribu kali. Siapa
yang tidak ingin mendapatkan pahala di sana ?..
Sepasang semut hitam itu
tertegun menyaksikan sikap Mbak
Retno. Dua ekor semut itu kagum melihat keputusan Mbak Retno untuk pergi ke
Tanah Suci. Selama ini dua ekor semut itu memang selalu menyaksikan Mbak Retno
setelah menjadi penghuni rumah di gang sempit itu, lalu rajin menghadiri
ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Haji Qomar. Tanyalah ia tentang sifat-sifat yang wajib
bagi Allah, seperti Al Wujud, Qidam, Baqoo serta Al Mukhoolapatu Ta’ala lil Hawadis. Pasti
Mbak Retno dapat menjawabnya dengan pas. Ia juga dapat menyebutkan dengan
benar tentang sifat Nafsiah, sifat Salbiah,
sifat Ma’ani dan Ma’Nawiyah hingga Muttakalliman.
“Pikirkankan matang-matang rencana itu, Retno,” sahut tamu yang datang
dari sekitar Yogya.
“Sudah! Saya sudah memikirkannya seribu kali. Hati
saya memang benar-benar terpanggil untuk
ke Tanah Suci. Siapa tahu doa saya untuk
mendapatkan jodoh di Jabal Rahmah terkabul nanti. Bukankah di tempat itu Nabi Adam Alaihissalam
bertemu kembali dengan Siti Hawa setelah berpisah seratus tahun?”
Panjang lebar Mbak Retno memberi pengertian kepada
kerabatnya, bahwa kepergian ke Tanah Suci akan lebih bermakna daripada
membangun rumah atau untuk membuka usaha . Bukankah sudah ada landasan yang
kukuh baginya?. Mbak Retno merasa berdiri di tempat yang tegar sebagai guru di
madrasah. Dia merasa tidak berdiri di tempat yang rapuh. Tekad di hati
perempuan yang kini sebatang kara itu memang sudah amat besar di dasar hatinya. Tekadnya untuk menunaikan ibadah haji memang
tidak mampu ditawar lagi. Tidak satupun yang mampu mencegah tekad itu. Meskipun
Mbak Retno belum mempunyai pasangan, tapi ia selalu menghadiri majlis
taklim. Meskipun ia belum pernah menikah,
tapi ia selalu hadir di surau untuk menghadiri pengajian. Meskipun ia belum
pernah mempunyai suami, tapi ia selalu
menghadiri ceramah para ustadz. Perintah untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima memang mutlak dilakukan bila seseorang
sudah mempunyai kemampuan dalam hal materi, juga dalam hal ilmu dan
kesehatan. Bukankah uang santunan yang diberikan pihak perusahaan kereta api
sudah cukup untuk membayar ONH?. Biarlah ia tetap menempati sebuah rumah tua di
gang sempit itu. . Allah sudah berjanji
akan mengganti segala biaya ke Tanah Suci
meskipun dalam bentuk lain. Iapun sudah
bertekad, setelah pulang dari Makkah lalu tetap menjadi guru. Sebab hanya itu
keahliannya.
Mbak Retno benar-benar yakin, nasibnya akan berubah setelah ia kembali dari
Tanah Suci. Mungkin setelah kembali dari Tanah Suci ia bisa melanjutkan kuliah
di IAIN . Siapa tahu terbuka kesempatan
untuk mengajar di Aliyah nanti. Mungkin doanya di Jabal Rahmah untuk
mendapatkan jodoh dikabulkan Tuhan dan suaminya adalah seorang lelaki yang
mempunyai pegangan hidup yang kokoh, yang mampu memberi nafkah cukup serta
tempat tinggal yang layak.
“Saya akan selalu ingat sabda Nabi,
yang mengatakan Alhajjul mabruru laisa
jazaa illal jannah qiila,bahwa haji yang mabrur itu tidak lain balasannya
adalah surga.” Ucapan itu membuat semua kerabat dan famili terdiam. Siapa
yang tidak ingin menikmati hidup di surga pada hari kiamat nanti dengan
segala kenikmatannya, dengan pohon-pohon kurma, delima dan bidadari-bidadari
cantik?.
***
Rumah tua di gang
sempit itu ramai didatangi para jiran tetangga dan
kerabat ketika acara syukuran dilaksanakan menjelang keberangkatan Mbak Retno ke Tanah Suci. Sepasang semut hitam yang biasanya mengusung bangkai belalang atau
membawa bahan-bahan untuk sarangnya, tetap saja memperhatikan setiap gerak Mbak Retno.
Ummu Naubah dan Abu Masyghul tetap saja melebarkan daun telinganya.
Bahkan sepasang semut itu sudah bertekad, andainya Mbak Rento berangkat ke Tanah Suci nanti, mereka
berdua akan masuk dengan diam-diam ke dalam
koper, biar dapat ikut berangkat ke Tanah Suci.
Meskipun Ummu Naubah dan Abu Masyghul hanyalah mahluk halus berupa
semut, tapi mereka berdua ingin ikut terbang ke Tanah Suci. Mereka sudah bertekad untuk masuk ke dalam tas
atau koper milik Mbak Retno. Mereka
sepakat, meskipun mereka hanya mahluk yang bernama semut hitam, tapi mereka sudah bertekad untuk menjejakkan
kakinya di Tanah Suci bersama Mbak Retno.
Meskipun mereka hanya sepasang semut hitam yang belum terikat oleh
sebuah perkawinan, tapi mereka ingin menjejakkan kakinya di Masjid Nabawi yang amat indah itu. Mereka ingin ikut Mbak Retno tawaf keliling Ka’bah sebanyak tujuh kali, ingin
ikut Mbak Rento melaksanakan umroh,
ingin ikut melaksanakan Sa’i, berjalan antara bukit Marwah dan Safa. Meskipun mereka hanya mahluk halus
berwarna hitam, tapi mereka berdua ingin menikmati sejuknya air zam-zam.
Bahkan semut jantan yang bernama Abu Masyghul sudah
bertekad kawin di Tanah Suci, biarlah kodratnya terjadi disana, mati setelah
kawin. Biarlah Ummu Naubah menjadi ratu dan bertelur di sana lalu pulang ke Tanah Air membawa anak-anak
semut yang baru ditetaskan. Alangkah indahnya semua itu. Alangkah indahnya
melakukan perkawinan di Tanah Suci. Tidak semua semut-semut bisa melakukan
perkawinan di sana. Padahal bangsa semut amat banyak jumlah dan jenisnya, seperti
semut Formica yesensis yang hidup di
pantai Ishikari di Afrika, koloni yang memiliki lebih dari sejuta ratu dan tiga
ratus enam juta pekerja. Memang mahluk semut adalah mahluk penjelajah yang
selalu melakukan perjalanan. Semut pemotong daun atau Atta juga memiliki
keunikan yang sama dengan bangsa semut
lainnya. Keunikan semut kayu lain lagi, ribuan semut koloni, mampu
membangun sebuah sarang berupa bukit
hingga dua meter. Masih banyak jenis-jenis semut yang hidupnya selalu
berdekatan dengan manusia, seperti semut beledru, dan semut legiun. Salah satu
jenis semut yang paling populer adalah semut api dan ratunya mampu
memproduksi 5.000 telur perhari dan
mampu menetaskan 240.000 semut pekerja.
Mahluk kecil yang mampu bertahan hidup pada suhu udara 65 derjat
celsius adalah Namib ocymyrmex yang
merupakan semut gurun
Namun
yang paling beruntung adalah Ummu Naubah dan Abu Masyghul yang sudah
bersiap-siap untuk ikut Mbak Retno melakukan perjalanan ke Tanah Suci. Bahkan
mereka sudah bertekad untuk melakukan perkawinan di sana.
“Doakan
kami di kawasan ini agar tidak terjadi penggusuran!,” pinta salah seorang tetangga dekat Mbak Retno.
Suara itu jelas terdengar oleh sepasang
semut itu.
“Mudah-mudahan
setelah ada warga disini yang menunaikan ibadah haji, pemerintah kasihan kepada
kita semua dan membiarkan kita tetap bermukim di sini!”
“Saya
akan berdoa untuk kita semua,” sahut
Mbak Retno.
“Doakan suami saya kembali dengan
selamat,” pinta salah seorang warga yang
bermukim paling ujung kawasan gang sempit itu. “Sampai saat ini suami saya
tidak tahu keberadaannya, tapi saya yakin ia masih hidup. Ia cuma pamit untuk merantau ke Kalimantan dan bekerja di sana .”
“Bagaimana kalau suami Mbak sudah
menikah lagi di sana ?.”
“Doakanlah di Jabal Rahmah, agar
suami saya tetap mencintai saya dan menyayangi anak-anaknya di sini!”
“Saya akan mendoakannya!”
Seorang ibu muncul di antara
tamu-tamu yang sudah sejak tadi lebih
awal berkumpul. Air matanya tiba-tiba berderai ketika ia menyalami Mbak Retno
yang sebentar lagi akan meninggalkan tanah air dan dua belas jam kemudian menjejakkan kakinya di Bandara Jeddah lalu menuju Madinah
dan melaksanakan sholat arbain di masjid Nabawi.
“Tolong doakan saya agar terlepas
dari berbagai kesulitan,Mbak Retno,” pinta perempuan berkerudung putih itu.
“Kita semua warga di sini
masing-masing menghadapi berbagai kesulitan,” sahut Mbak Retno.
“Tapi kesusahan saya sungguh luar
biasa karena satu-satunya anak yang
lahir dari rahim saya saat ini mendekam di penjara.”
“Apakah ia menganiaya seseorang?.”
“Bukan menganiaya orang!”
“Lalu apa kesalahannya?”
“Anak saya tidak sanggup menderita.
Anak saya tidak mampu hidup dalam kesederhanaan. Ia menjual narkoba dan untungnya memang
lumayan, hingga ia mampu membeli sepeda motor baru dan punya pacar cantik. Sejak punya pacar cantik itu,
pangsa pasar barang-barang haram itupun berubah
dari tempat-tempat paling kumuh
ke hotel berbintang. Tapi di hotel berbintang itulah ia terjebak aparat
keamanan hingga saat ini ia masih meringkuk di penjara. Saya mohon doa Mbak Retno di Makkah untuk
kebebasannya.”
Mbak Retno hanya mengangguk. Sesaat lagi
ia akan berangkat ke Tanah Suci tapi ia harus membawa amanah yang terlalu
banyak. Ia dititipi doa para tetangga dan kerabat,padahal yang dimohon adalah berkaitan dengan dosa,
dan juga kriminal, seperti berdagang benda haram yang namanya narkoba. Yang suaminya menikah dengan
perempuan lain dan yang memohon doa agar sang suami kembali lagi juga ada.
Masih lumayan kalau dititipi doa seperti Bu Ratih agar dua anaknya yang sudah berusia lebih tiga puluh
mendapatkan jodoh. Padahal Mbak Retno sendiri juga belum menemukan pasangannya dan hal itu yang
sangat diharapkan pertolongan Tuhan. Mbak Retno berharap doanya untuk mendapatkan
jodoh segera terkabul setelah kakinya terjejak di Tanah Suci nanti.
Sepasang semut hitam, Ummu Naubah
dan Abu Masyghul tetap saja termangu di antara semut-semut lainnya yang semua
berhenti melangkah karena sesaat lagi penghuni rumah itu akan meningalkan rumah
menuju Tanah Suci. Ummu Naubah dan Abu
Masyghul bersiap-siap untuk masuk dalam
koper di antara pakaian yang akan dibawa Mbak Retno ke Tanah Suci.
“Tidak usah sembunyi di
koper!,” ujar semut betina.
“Tapi tempat itu paling aman!”, sahut Abu Masyghul.
“Kita
bersembunyi di tas tempat paspor saja!”
“Kenapa harus di sana ?”
“Kalau dalam koper, pasti akan
ditinggal di hotel. Padahal kita ingin melihat para jamaah haji melakukan
umroh,kita ingin menyaksikan calon jamah melakukan tawaf, Sa’i, menggunting
rambut dan juga menikmati air zam-zam. Kita harus jadi saksi perjalanan suci
ini”
“Bagaimana kalau Mbak Retno tahu ada
dua ekor semut dalam tasnya?. Dia akan membunuh kita.”
“Yakinlah ia tidak akan membunuh
kita, karena ia menyadari, semut adalah
binatang yanbg dimuliakan Allah dan Nabi Sulaiman bersama pasukannya berhenti
ketika barisan semut melintas. Bukankah Nabi Sulaiman tersenyum berpapasan dengan mahluk-mahluk kecil seperti
kita?”
Semut jantan itu memberi ciuman di
kening semut betina dengan penuh kasih sayang. Semut-semut itu tertegun ketika
dua oran g
perempuan muncul lagi sebagai tamu dengan membawa bingkisan kecil. Dua oran g perempuan itu
adalah Bu Farida dan Bu Hafsah yang putera-puterinya belajar mengaji dari Mbak
Retno. Kedua ibu rumah tangga itu menyampaikan amplop berisi uang.
“Mudah-mudahan uang ini ada
manfaatnya untuk belanja di Tanah Suci,” ujar Bu Farida.
“Terima kasih,semoga Allah membalas
kebaikan ibu. Saya berdoa semoga suatu saat ibu dapat menyusul jejak saya
nanti!,” sahut Mbak Rento.
“Amien!. Saya memang sudah berniat
untuk berhaji. Insya Allah tahun depan.”
Hanya sesaat lagi azan
dikumandangkan untuk mengantar keberangkatan Mbak Retno dan koper berisi
pakaian sudah dimasukkan dalam bagasi mobil, tapi masih ada tamu yang datang. Sebab
tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi,
warga di pemukiman gang sempit itu dapat
menunaikan ibadah haji, padahal biaya untuk pergi kesana terlalu mahal, hingga
setinggi langit. Seperti sebuah mukjizat yang sedang terjadi, seorang warga
penghuni rumah kelas bawah , dapat
menunaikan rukun Islam yang kelima. Itupun dilakukan Mbak Retno karena ia
mendapatkan santunan dari perusahaan kereta api
sabagai klaim asuransi atas kematian sang abi,ummi dan adiknya. Mana
mungkin seorang guru di madrasah swasta yang gajinya tidak memadai dapat mengumpul uang hingga tiga puluh juta
rupiah.
Dan tamu terakhir yang datang adalah
seorang perempuan muda berselendang warna biru yang warnanya sudah pudar serta
perutnya besar seperti nangka masak. Sepasang semut hitam, Ummu Naubah dan Abu
Masyghul menduga, bahwa perempuan itu sedang hamil tujuh bulan.
“Saya datang untuk mohon didoakan di
Makkah,” ujar tamu yang datang dengan perut besar itu kepada Mbak Retno.
“Apa yang harus saya doakan
disana?,” Mbak Retno menatap tamunya dengan perasaan iba. Meskipun tinggal di
tempat yang sama di kawasan kelas bawah itu, tapi Mbak Retno hampir tidak
mengenal tamunya, bahkan merasa tidak sekalipun pernah bertemu dengannya. Justru Mbak Retno menduga perempuan itu
datang untuk mohon didoakan agar bayinya lahir dengan mudah dan selamat. Masih sempat muncul di benak Mbak Retno,
siapa suami perempuan ini?, pikirnya. Bagaimana pula andainya ia hamil tanpa
pernikahan yang syah?. Tidak selayaknya mendoakan seorang perempuan hamil tanpa
pernikahan yang syah. Mbak Retno jadi
ragu-ragu. Tapi dugaan itu ternyata keliru.
“Saya tidak hamil,Mbak Retno. Demi
Tuhan, saya tidak hamil. Bila perut saya besar, bukan karena saya berhubungan
dengan lelaki. Demi Tuhan, saya belum menikah. Demi Tuhan, saya masih gadis
suci!,” perempuan berkerudung biru yang
warnanya sudah pudar itu tampak berkata amat sungguh-sungguh.
“Tapi bagaimana bisa terjadi perut
Mbak seperti ini?,” Mbak Retno ingin tahu.
“Demi Tuhan, bila perut saya besar,
isinya bukanlah anak manusia, bukan berasal dari seorang lelaki, tapi karena
kekuasaan Tuhan.”
Masih sempat membersit di benak Mbak
Retno, bahwa di dunia ini yang pernah terjadi seorang wanita hamil tanpa suami
hanyalah Maryam yang mengandung bayi Nabi Isa Alaihissalam. Selebihnya ,setiap
wanita hamil tanpa suami adalah akibat dosa, akibat perzinahan dan hal itu
adalah dosa yang amat besar. Tapi sebelum Mbak Retno berkata apa-apa, tamunya
berkata perlahan dan amat serius:
“Saya sedang sakit. Dalam perut saya
ada sejenis daging, ada sejenis tumor
yang tiap hari bertambah besar. Saya tidak mampu untuk berobat. Saya tidak
punya uang untuk biaya operasi di rumah sakit. Saya hanya mohon doa, semoga
mukjizat Tuhan turun kepada saya dan penyakit saya sembuh.
Saya berharap mukjizat Tuhan datang kepada saya dan daging yang ada dalam perut
saya hilang tanpa operasi, karena saya
yakin, penyakit ini datangnya juga dari Allah.”
Jauh di dasar hati Mbak Retno ada
rasa haru melihat penderitaan tamunya,
seorang perempuan yang tidak mampu, tapi menderita tumor ganas dalam perutnya.
Kanker ganas memang selalu ramah kepada perempuan meskipun dari kalangan orang
miskin dan kelas bawah. Bila dilakukan pengobatan di rumah sakit dan dilakukan tindakan
pembedahan, pasti biayanya puluhan juta. Mana mungkin seorang penghuni kawasan
kelas bawah yang menderita tumor ganas mampu berobat ke rumah sakit.
“Insya Allah , saya akan mendoakan!.
Mudah-mudahan Tuhan menyembuhkan,” hanya
itu kata-kata yang mampu diucapkan Mbak Retno.
Azanpun segera dilantunkan orang dan
terdengar amat syahdu. Mbak Retno tidak mampu membendung air mata. Ia akan
melakukan perjalanan jauh dan lama, lebih dari satu bulan. Ia akan melakukan
perjalanan yang suci dan penuh dengan nilai-nilai ibadah. Sesaat lagi ia akan menjadi seorang
musyafir.
Sepasang semut hitam itupun segera masuk ke dalam tas sandang yang
tergantung di dada Mbak Retno. Sepasang semut kecil itu masih sempat pamitan
kepada ratusan, bahkan ribuan hewan-hewan kecil yang status mereka adalah
pasukan koloni yang mengusung makanan. Mereka saling berpelukan, mereka saling
bersalaman. Sebentar lagi Ummu Naubah dan Abu Masyghul akan berpisah dengan
para sahabatnya sesama mahluk kecil.
Sepasang hewan kecil itu masih sempat melihat orang-orang yang melepas
keberangkatan Mbak Retno melambaikan tangan dan tidak mampu membendung air
mata. Sepasang semut itu akan menjadi saksi bagi perjalanan Mbak Rento yang
amat jauh dan suci. Serangga kecil itu
akan menjadi saksi semua ibadah yang dilakukan Mbak Retno baik rukun haji, wajib , sunat-sunat dan
semua hal-hal yang berkaitan dengan ibadah haji. Sepasang mahluk kecil mungil
itu akan menjadi saksi ketika Mbak Retno melakukan perjalanan ziarah dari mulai
Makam Baqi, Jabal Uhud, tempat berlangsungnya peperangan paling dahsyat dalam
menegakkan Islam.
“Saya rindu padamu,Bang Fadhil. Saya sangat menyayangi Bang Fadhil. Saya
ingin bertemu denganmu meskipun diakhirat. Hari ini saya memulai perjalanan
yang sangat jauh dan saya rela mati di Tanah Suci kemudian kita bertemu di
suatu tempat.”
Setetes demi setetes air mata berderai di pipi gadis itu. Masyghul dan
Naubah menahan keharuan yang sangat mendalam di hati mereka.
“Lihatlah , Mb ak Rento teringat pada Bang Fadhil. Dia
menyentuh kalung pemberian lelaki itu.”, terdengar suara Naubah.
“Mbak Retno rela mati di Madinah atau di Makkah, atau di Muzdalifah dan
di Arafah kemudian bertemu dengan Bang Fadhil di alam akhirat.”
Dengan derai air mata di pipi. Mbak Retno menginjakkan kakinya di tangga
pesawat. Hatinya terasa amat tenteram dan sejuk setelah menyentuh kalung
pemberian Bang Fadhil yang berhiaskan del ima
merah.
Amat buru-buru Masyghul dan Naubah menyelinap lagi dalam tas diantara
paspor dan dokumen perjalanan haji lainnya.
“Alhamdulillah,kita juga sedang musyafir. Kita akan menuju Tanah Suci,”
cetus Naubah,semut betina berbadan gendut.
“Kita akan ikut sholat arbain,ikut tawaf, sya’i,wuquf dan ikut meneguk sejuknya air zam-zam nanti.
Dan kita akan kawin di tanah suci,” sahut Masyghul yang misainya panjang.
Semut betina di sisinya tersenyum,bahaga dan bersyukur.
***
Perjalanan itu
memang amat jauh, lebih dari sepuluh jam penerbangan. Rasanya tidak mungkin terjadi,
seorang penghuni rumah di gang sempit dan hidup amat sederhana, kini sedang
diterbangkan Allah menuju Jeddah, kemudian ke Madinah, solat arbain di Masjid
Nabawi, lalu berangkat lagi menuju Makkah untuk tawaf , sa’i, tahalul, minum
air zam, melakukan wuquf di Padang
Arafah dan melontar jamrah. Sungguh perjalanan musysafir itu penuh dengan nilai-nilai
ibadah, yang tidak diperoleh di tempat lain.
Sepasang semut hitam itu saling
berpelukan erat dalam tas milik Mbak Retno yang berisi paspor dan dokumen lainnya
ketika pesawat yang menerbangkan lima
ratus calon jamaah haji mulai tinggal landas.
Dua ekor hewan kecil berwarna hitam itu masih sempat mendengar azan yang
dilantunkan terdengar sayup-sayup di antara deru mesin pesawat. Lima
ratus calon jamaah haji itu semua berdoa, semua memuji kebesaran Allah. Karena
keagungan Allah mereka dapat melakukan perjalanan jauh yang penuh dengan nilai
sakral.
“Bismillahi aamantu billahi tawakkaltu Allahahi wala hawla wala quwata illah billahi,” doa yang dilantunkan Mbak Retno ketika melangkahkan kakinya keluar
dari rumah seakan masih terngiang di rongga telinga sepasang semut hitam itu.
Dan ketika pesawat mulai tinggal landas,
ketika sudah tinggi di udara , sepasang bibir Mbak Retno juga melantunkan doa
lagi yang didengar sepasang semut hitam
itu:
“Bismillahi majraaha wa mursaaha,
inna Rabbii la Ghafuurun rahiim. Subhaan Alladzi sakhakhara lanaa haadza wamaa kunnaa lahuu
mukriniin”
Perlahan sekali Ummu Naubah mengeluarkan kepalanya dan memandang keluar.
Semua penumpang amat khusyuk melantunkan doa-doa sehingga tidak satupun yang melihat sepasang semut hitam itu merayap
keluar. Tidak ada seorang calhaj itu bicara soal politik, tidak seorangpun yang
bicara tentang pemimpin negeri ini yang bobrok dan tentang kebohongan para
politikus. Tidak ada calhaj yang bicara soal negara yang gagal memakmurkan
penduduknya.
“Hati-hati,Naubah . Kesalahan yang amat kecil dapat berakibat fatal bagi kita,” semut jantan
memperingatkan pasangannya. “Aku tidak ingin kehilangan kamu”
“Aku juga tidak ingin kehilangan
kamu,” sahut sang betina dan mereka
saling berpandangan.
“Kita harus selalu berdua sampai
kapanpun,” bisik semut jantan.
“Mungkinkah seperti itu?”
“Kenapa tidak?”
“Rasanya tidak mungkin. Untuk
sementara waktu kita bisa saja saling berdua, saling menikmati kasih sayang. Tapi suatu saat ,setelah kita kawin, aku akan
kehilangan kamu. Kamu akan mati setelah kita kawin. Bukankah itu takdir
untuk mahluk seperti kita?. Bukankah
setiap semut jantan akan mati beberapa saat setelah kawin?. Ah,betapa
amat menyedihkan. Tapi kita harus menerima takdir itu.”
“Ya, amat menyedihkan. Mungkin aku
harus menangis pada saat perkawinan kita.”
“Aku juga akan menitikkan air mata.”
“Keajaiban Tuhan tidak akan terjadi
pada mahluk yang tidak berdaya seperti
kita. Saling bekerja mencari rezeki,
saling meyayangi, kemudian kawin dan akhirnya
setiap jantan akan mati.”
Sesaat
kedua mahluk kecil itu termenung. Hidup
memang tidak selamanya indah, tidak selamanya
penuh dengan senyum. Ada
kalanya kehidupan mahluk di bumi ini penuh derai air mata, apa lagi dalam
kehidupan manusia. Apalagi dalam kehidupan manusia-manusia yang tinggal di
kawasan kelas bawah di sekitar tempat
tinggal Mbak Retno yang kini sedang berada di perut pesawat menuju Jeddah.
Justru mereka yang tinggal di kawasan kelas bawah itu lebih banyak
mengalami nasib malang ,
lebih banyak menderita karena tekanan
ekonomi, karena kesulitan hidup. Apalagi penyakit selalu menyerang warga, mulai
dari batuk, diare, penyakit kulit dan demam berdarah. Bahkan yang menderita
tumor di perut juga ada. Betapa mereka amat menderita.
Pesawat yang membawa lima
ratus calon jamaah haji itu sudah berada di atas awan , sudah amat tinggi, lebih dari 33.000
kaki di atas permukaan laut.
Daratan tidak tampak lagi dan
yang tampak di bawah terhempang lautan
yang maha luas. Awan putih berarak-arak dan berserakan sepanjang permukaan
langit dan terlihat seperti sebuah pemandangan yang amat indah.
Ummu Naubah masih sempat melirik kepada Mbak
Retno dan sepasang bibirnya yang tipis berkomat-kamit.
“Apa yang dilantunkan. Mbak Retno?,”
tanya semut jantan yang selalu berada di
sisi Ummu Naubah setiap saat.
“Mbak Retno pasti mengucap syukur
kepada Allah. Siapa menduga, bahwa seorang guru di madrasah swasta yang gajinya
kecil naik pesawat seperti ini. Siapa menyangka, bahwa warga yang hidupnya amat
sederhana duduk di antara para pejabat, para pedagang, duduk di antara para
perwira polisi dan Abri yang semuanya
terbang menuju Tanah Suci,” sahut Naubah.
“Kita menjadi saksi atas semua yang
dialami Mbak Retno. Andainya ia dapat berangkat ke Tanah Suci, kita menjadi
saksi perjalanan panjang hidupnya yang penuh liku-liku, yang penuh dengan
jurang terjal, bahkan penuh dengan duri yang menusuk ulu hatinya..”
Sepasang semut itu memang sudah
lama menjadi penghuni rumah di gamg sempit di kawasan kelas bawah itu, membuat sarang di sana dan mencari nafkah di sana , mengusung bangkai belalang di rumah
itu atau mengusung sisa makanan yang
jatuh dari piring pemilik rumah.
Semut betina itu tahu pasti, bahwa
kehidupan Mbak Retno penuh dengan empedu dan duri. Penuh derai air mata.
Berkali-kali ia kehilangan. Kehilangan Bang Fadhil, kehilangan abi,ummi dan
adiknya . Iapun pernah diterpa fitnah yang paling keji oleh seorang istri oknum
polisi karena belajar di pondok pesantran sebagai sarang teroris.
Dulu, ketika masih tinggal di
selatan Yogya, abinya sempat mengalami kesulitan yang amat berat ketika terkena
pe-ha-ka dari fabrik yang collaps. Sebelum hijrah ke kota metropolitan, kesulitan tumpang tindih
dalam keluarga Mbak Retno. Dan ketika pertama kali menjejakkan kaki di kota
besar, abinya sempat menjadi penjajah minyak tanah dengan gerobak dorong. Lalu
ibunya meracik jamu dan menggendongnya keliling lorong.
Syukurlah setelah hijrah, pertolongan Tuhan selalu datang pada keluarga
itu. Hijrah dari bagian selatan Yogya, nasib
keluarga itu perlahan-lahan berubah. Sang abi tidak mau berpangku tangan dan
yang pertama dibeli dadalah gerobak dorong untuk menjajakan minyak tanah. Sang
ummi sendiri dengan sebuah bakul yang diboyong dari desanya, lalu menggendong
jamu setiap hari.
Hijrah benar-benar membawa kebaikan bagi keluarga itu. Hijrah benar-benar
membawa berkah ke arah kehidupan yang lebih baik. Mbak Retno tidak sempat berbulan-bulan menganggur, padahal
untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah kota
Metropolitan penuh dengan persaingan dahsyat.
Untuk jadi kuli bangunan saja amat susah,apalagi krisis ekonomi yang terjadi di negeri ini membuat
orang-orang yang membangun rumah amat jarang. Bagi kuli bangunan ,seminggu
bekerja, tetapi dua minggu kemudian menganggur .
Kebutuhan hiduplah yang memaksa
seorang perempuan asal sebuah desa tidak jauh dari Yogya itu menjadi penjual jamu gendong. Ummu Naubah melihat
sendiri bagaimana Mbak Retno membantu umminya meracik kencur, kunyit, jahe, brotowali, temulawak,
rempah-rempah dan ramuan lainnya untuk dijadikan jamu. Dalam sebuah bakul yang tiap hari digendong
umminya keliling kota ,
selalu ada jamu pegal linu, rempah ratus, jamu singset dan tidak ketinggalan jamu kuat lelaki.
Ummu Naubah juga jadi saksi dan
selalu melihat sendiri, bahwa setiap hari, ketika matahari baru saja terbit,
perempuan asal Jawa Tengah itu menggendong bakul jamunya menyusuri
lorong-lorong sempit . Dan Tuhanpun memberinya kemurahan rezeki, langganannya
amat banyak, mulai dari sopir truk, kuli bangunan, ibu-ibu hamil atau buruh
pabrik. Perempuan asal desa tidak jauh dari Yogya itu hanya senyum-senyum kalau
seorang sopir butuh jamu lelaki perkasa dan bukan jamu lelah.
“Wah, jamu buatan Mbak eeeenaaaak
tenaaaan. Aku benar-benar perkasa sepanjang malam. Isteriku benar-benar
kewalahan, padahal dia adalah isteri kedua,”
seorang sopir memuji keampuhan jamu yang disajikan ummi yang melahirkan
Mbak Retno. Tentu saja jamu itu mendapat pujian karena diberi campuran ginseng.
Tidak hanya sopir truk yang memuji
keampuhan jamu hasil racikan perempuan itu. Seorang perempuan yang berstatus isteri pertama
juga memujinya:
“Lumayan, suami saya jadi kerasan di
rumah setelah saya minum jamu. Benar-benar rapet!,” ujar perempuan itu tanpa malu-malu dan mengacungkan jempol.
Perempuan yang melahirkan Mbak Retno
ke dunia hanya senyum-senyum. Perempuan
itu memang amat serasi menjadi pedagang jamu gendongan. Tiap hari langganannya
bertambah terus. Tiap sore, bersama Retno ia menghitung uang hasil menjual jamu gendong keliling pelosok kota . Lumayan untuk
hidup. Bahkan uang hasil menjual jamu
gendong itu jauh lebih memadai ketimbang penghasilan suaminya sebagai penjaja
minyak tanah dengan gerobak dorong.. Dari hasil menjual jamu gendong itu, perempuan itu mampu membeli sebentuk cincin
meskipun cuma lima
gram. Bila di lehernya melingkar sebuah
kalung seberat sepuluh gram juga dibeli
dengan hasil menjual jamu gendong. Sebuah
pesawat televisi dan radio transistor itu juga dibeli dengan uang hasil menjual
jamu gendong, bukan dari penghasilan suaminya.
Tapi tidak selamanya jalan di depan
selalu mulus, ada kalanya ada duri atau batu sandungan. Perempuan penjual jamu
gendongan itu juga harus merasakan benturan keras, ia tersandung sebongkah batu
besar. Ketika berjalan menjajakan jamu gendongnya, seorang perempuan yang tampaknya baru saja bersalin memanggilnya
dari seberang jalan. Jenis perempuan yang baru saja bersalin memang
langganannya yang paling banyak.
Ketika menyeberang jalan itulah,
sebuah mobil mulus meluncur dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba saja penjual jamu itu merasakan
benturan keras dan sesaat kemudian ia tidak sadarkan diri. Luka-luka ditubuh
perempuan penjual jamu gendong itu menyebabkan darah terlalu banyak mengalir
dan berserakan di atas aspal dan ia tidak sadarkan diri. Botol-botol berisi
jamu juga terlontar di tengah jalan, pecah dan belingnya berserakan. Semua
jamu yang digendongnya juga berserakan
di aspal.
Kasihan perempuan itu, tubuhnya
berlumur darah, tapi masih ada orang-orang yang tega hati mengambil kesempatan. Tiga orang anak muda yang baru saja menenggak
minuman keras dan dengan berjalan sempoyongan menghampiri, bukan untuk
menolongnya, tapi menggerayangi isi bakul yang terlontar di aspal. Semua uang
disikat habis oleh tiga anak muda yang sedang teler itu kemudian mereka kabur.
Tapi kebaikan terkadang juga masih selalu ada di muka bumi ini. Sebuah mobil
yang baru saja menabrak penjual jamu itu berusaha untuk lari. Saat ini, dimana-mana tabrak lari masih selalu
terjadi. Untunglah dua orang penarik ojeg melihat kecelakaan itu
terjadi lalu mengejar pelaku
tabrak lari itu. Di sebuah simpang empat lampu merah sedang menyala dan semua
kenderaanpun harus berhenti. Juga mobil sedan mulus yang baru saja menabrak
penjual jamu gendong juga harus berhenti
. Sebuah batu sebesar tinju memecahkan kaca depan mobil itu dan memaksa
pengemudinya untuk meminggirkan mobilnya. Sekelompok penarik ojeg memaksa pengendera mobil itu harus
bertanggung jawab.
Bila penjual jamu gendong itu harus terbaring di rumah sakit selama lebih
dari seminggu, ia bersyukur tidak mengeluarkan uang satu senpun. Belasan penarik ojeg mampu memaksa pelaku
tabrak lari itu membuka dompetnya untuk menanggung semua biaya perawatan
penjual jamu itu hingga sembuh. Tidak hanya itu, pelaku tabrak lari itu juga
tidak berdaya mengelak bila dipaksa
untuk memberikan ganti rugi selama penjual jamu gendong itu tidak dapat mencari
nafkah.
Sejak itulah penjual jamu gendong
itu tidak pernah lagi terlihat berjalan menyusuri lorong-lorong di kota dengan menggendong
bakul jamu. Karena sejak itu ia sudah mengontrak sebuah kios kecil di pinggir jalan, tidak jauh
dari tempat tinggalnya. Ummi yang melahirkan Mbak Retno seperti mendapat
petunjuk untuk membuka warung jamu meskipun kecil-kecilan.
***
Pesawat
berbadan lebar yang membawa lima
ratus calon jamaah haji itu masih
terbang tinggi, masih di atas awan.
Pramugari yang semuanya
berpakaian muslimah memberikan
informasi, bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di bandara internasional Jeddah.
Sesaat lagi para tamu-tamu Allah itu akan menjejakkan kakinya di Tanah Suci dan
memulai ritual agung. Pramugari juga memberikan informasi, bahwa pesawat sedang
terbang di atas ladang-ladang minyak milik Kerajaan Arab Saudi. Negeri Arab itu
memang kaya raya karena hasil minyaknya. Tapi sumber kehidupan mereka tidak
hanya dari minyak, mereka juga berdagang, mereka juga ada yang jadi guru atau
dosen , juga ada yang menjadi petani.
Dulu memang negeri itu amat
gersang dan sejauh mata memandang yang tampak hanya gurun pasir dan binatang
unta yang membawa beban milik musyafir.
Sekarang keadaan sudah jauh
berubah. Padang pasir yang luas sudah berubah menjadi lahan pertanian dan
disana tumbuh bayam, pare, pepaya,
pisang, jeruk, semangka , kacang panjang
dan juga kurma. Buah pier juga ada di sana.
Negeri
Arab tidak lagi gersang, tidak lagi tandus, tapi sudah menjadi negeri yang subur dan kaya raya. Tuhan sudah menurunkan kemurahan
rezeki kepada penduduk jazirah Arab yang dulu hanya ada gurun pasir. Airpun melimpah dimana-mana. Negeri itu tidak
pernah lagi merasa kekurangan air. Air laut sudah mampu disuling menjadi air
bersih yang dapat dijadikan air minum, disamping negeri itu juga mengimpor air
bersih dari negara lain.
Sudah lebih sepuluh jam pesawat
berbadan lebar itu menebus awan dan lima ratusan penumpangnya tidak satupun yang ngobrol,
tidak satupun yang membaca surat
kabar atau majalah. Tidak seorangpun yang mengantuk. Mereka semua khusuk membaca Qur’an, membaca doa-doa atau kitab-kitab yang berkaitan dengan
pelaksanaan ibadah haji. Di tangan Mbak
Retno sendiri ada kitab At-Tadzkirah,
sebuah kitab yang tebal dan merupakan bekal menghadapi kehidupan abadi di hari
akhirat nanti.
Mahluk kecil bernama semut itu asyik
memperhatikan Mbak Retno yang matanya
tidak berkedip menelaah kitab itu dan
membaca, bahwa kehidupan di dunia
hanyalah sebuah persinggahan dan tidak
lama manusia bernaung di sini , hanya sesaat berteduh. Suatu saat, bahkan dalam
waktu yang amat singkat, manusia akan meninggalkan persinggahan itu. Suatu
kehidupan abadi akan dihadapi manusia di hari nanti, keabadian yang
sesungguhnya dan dalam keabadian itu manusia hanya mendapatkan salah satu dari dua pilihan. Yakni keabadian
yang penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan atau kesengsaraan yang berkekalan. Dalam kitab itu Mbak Retno juga menemukan sabda Rasululullah,
bahwa sikap terbaik yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
menjalani kehidupan dengan imbauan , hiduplah di dunia seperti orang asing atau
penyeberang jalan. Orang asing tentu
akan selalu sadar bahwa dunia bukanlah
milik kita sesungguhnya. Tidak ada
penyeberang jalan yang akan berlama-lama di tengah jalan yang
diseberanginya.
Karena itulah Imam Syamsuddin
Al-Qurthubi mengingatkan manusia dengan
suguhan At –Tadzkirah yang bermakna sebuah peringatan bagi ummat manusia.
Mbak Retno masih sendiri, meskipun
usianya sudah hampir tiga puluh. Tidak
ada yang melanjutkan usaha jamu sang ummi. Tidak ada yang mewarisi gerobak
dorong untuk menjajakan minyak tanah sang abi. Kemana-mana cuma sendiri. Pergi mengajar di madrasah juga sendiri,
apalagi membeli sabun mandi atau pasta gigi. Kalau sesekali ia menziarahi kubur ummi
dan abinya di pemakaman umum juga sendiri.
“Kasihan Mbak Retno sendiri terus!,” cetus Ummu Naubah yang masih berada diluar tas sandang ketika melihat Mbak Retno melakukan
sujud syukur. Selama dalam pesawat, semut betina itu tidak henti-hentinya
mengagumi pemandangan indah di atas bumi Arab yang dulu gersang dan tandus. Abu
Masyghul seperti enggan untuk bersembunyi dalam tas. Sepasang semut itu
berleha-leha menyaksikan setiap gera k calhaj dalam
peru t
pesawat.
“Mbak Retno belum menemukan
seseorang yang hilang dan teramat disayanginya!,” cetus
sang jantan yang baru saja menenggak air bersih yang menetes dari minuman
di tangan Mbak Retno dalam perut pesawat.. Sepasang semut hitam itu tidak
merasa khawatir akan kehausan dan
kelaparan di tempat yang jauh dari tanah air. Akan selalu ada sisa makanan
yuang jatuh dari tangan Mbak Retno. Akan selalu saja ada air yang menetes dari
sisa minuman Mbak Retno dan itulah yang dinikmati oleh sepasang semut yang sudah
lama saling menyayangi dan saling mengasihi.
“Ya, Mbak Retno memang amat
mencintai almarhum Bang Fadhil. Mereka
sudah sering pergi bersama. Mereka sudah sering makan bakso,” sahut semut jantan itu. “Kalau naik sepeda motor, Mbak Retno
tidak lagi canggung melingkarkan tangannya di pinggang lelaki kelahiran
Sumatera itu.”
Sepasang semut hitam itu memang
sudah lama ikut menjadi penghuni rumah tua di gang sempit di kawasan kelas
bawah itu bersama ribuan semut-semut
lainnya yang berstatus sebagai koloni
pencari makanan bagi sang ratu.
Lalu sepasang semut hitam itu selalu menjadi saksi bagi setiap gerak kehidupan semua penghui rumah itu. Juga setiap liku-liku kehidupan Mbak Retno
yang sudah melewati masa gadis remaja, hingga menjadi gadis berusia hampir tiga puluh dan sudah terbang jauh untuk melaksanakan ibadah haji.
Ummu Naubah tahu persis, bahwa Mbak
Retno selalu menerima kehadiran seorang lelaki
penarik ojeg bernama Bang Fadhil
yang berasal dari Sumatera. Ummu Naubah terkadang menunduk malu bila Mbak Retno duduk berdampingan dengan
lelaki itu dan membiarkan jari tangannya dibelai dengan mesra. Apalagi bila Mbak Retno merebahkan kepala di
dada lelaki itu dan Bang Fadhil membelai rambutnya dengan mesra dan penuh kasih
sayang.
Lalu Ummu Naubah ikut bahagia bila
Mbak Retno merasakan dengus nafas lelaki
itu, juga merasakan detak-detak jantungnya dan juga detak-detak cintanya. Pastilah
mereka bicara tentang cinta, pasti mereka bicara tentang kasih sayang,
pastilah mereka bicara tentang rencana
masa depan, membina sebuah rumah tangga yang didasari cinta dan kasih sayang
dalam perkawinan.
Mbak Retno merasa tidak salah pilih
meskipun lelaki calon teman hidupnya hanya sebagai penarik ojeg. Mbak Retno
tampak pasrah. Harus memilih lelaki yang bagaimana lagi untuk calon suaminya
sementara Mbak Retno sendiri hanya berasal dari keluarga penjual jamu dan sang
abi hanya mantan buruh fabrik yang jadi korban pe-ha-ka?. Mana mungkin seorang keturunan penjual jamu
gendong yang pernah ditabrak mobil menginginkan jodoh seorang lelaki pegawai
kantor gubernur. Mana mungkin seorang gadis sederhana yang bermukim di sebuah
di gang sempit di kawasan kelas bawah mengharapkan jodoh seorang lelaki guru SMA yang berpakaian rapi. Mana mungkin gadis sederhana dari keluarga
kurang mampu mimpi bersuamikan seorang lelaki
kaya.
“Andainya Bang Fadhil tidak terbunuh
pasti mereka sudah menikah,” terdengar
suara Ummu Naubah diantara deru mesin mobil yang membawanya dari bandara
Internasional King Abdul Aziz ke
penginapan yang tidak jauh dari masjid Nabawi.
“Memang Mbak Retno merasa bahwa
lelaki asal Sumatera itu adalah pasangan yang paling cocok dan harmonis.” cetus
Ummu Naubah lagi. “Seharusnya mereka sudah
menjadi pasangan suami istri yang paling berbahagia.”
Sepasang mahluk kecil berwarna hitam
yang selalu bersembunyi dalam tas berisi paspor dan kini dalam perjalanan
menuju Madinah, sudah menjadi saksi betapa amat erat hubungan yang terjalin
antara Mbak Retno dengan lelaki penarik ojeg itu.
Sepasang semut itu selalu terkenang masa lalu Mbak Retno.Tiap mengantar
Mbak Retno pulang, pasti lelaki itu memeluknya, pasti lelaki itu memberikan
ciuman di kening Mbak Retno. Mereka memang sudah amat akrab, mereka sudah merencanakan
untuk menikah meskipun dalam suasana yang amat sederhana. Mereka sudah merencanakan,
Mbak Retno tidak akan pulang ke desanya di sekitar Yogya dan lelaki itu tidak
akan pulang ke Sumatera. Lelaki itu akan
tetap sebagai penarik ojeg dan Mbak
Retno akan tetap menjadi guru madrasah . Kalau mungkin dia akan melakukan
pekerjaan sambilan,meracik jamu. Dalam soal meracik jamu, Mbak Retno memang
sudah ahlinya. Jangan tanya bagaimana
meracik jamu galian singset, pasti ia akan mengerjakannya dengan mudah. Jangan
tanya bagaimana membuat ramuan lelaki perksa, pastilah hasilnya membuat lelaki
yang meminum jamu itu tetap seperti Arjuna. Apalagi dengan tambahan ginseng,
pasti khasiatnya luar biasa.
Namun warna kehidupan yang amat keras
di sebuah kota
metropolitan menyebabkan Mbak Retno harus kehilangan seorang lelaki yang sangat
ia cintai dan ia harapkan menjadi teman hidupnya. Lelaki penarik ojeg itu
diminta untuk mengantarkan seorang perempuan muda dan cantik ke sebuah
perumahan indah ketika malam itu ia baru pulang dari mengunjungi Mbak Retno.
“Lelaki asal Sumatera itu
mendapat rezeki nomplok,” cetus Ummu Naubah lagi ketika terkenang di
tanah air yang sudah amat jauh ditinggalkan.. “Penumpangnya adalah perempuan kaya raya yang
tiap hari dalam tasnya selalu berisi uang tunai, telepon genggam dan sejumlah
permata karena ia memang seorang pedagang permata.”
“Kemana saja tiap hari perempuan cantik itu selalu keluar rumah?”
”Kabarnya
ia selalu mengunjungi masyarakat miskin lalu memberi bantuan.”
”Wah
,sungguh baik hatinya!”
”Perempuan
itu juga mengunjungi orang yang dirawat
di rumah sakit, terutama mereka dari
kalangan yang kurang mampu.”
”Juga membantu dalam hal
pembiayaan?”
“Ya!.
Ia juga membantu memberikan modal kepada pengusaha tempe atau kepada pedagang
kaki lima.”
“Sulit dicari dermawan seperti itu.”
”Tapi
kabarnya ia mempunyai maksud tertentu.”
”Maksud
tertentu bagaimana?”
”Perempuan itu adalah non muslimah. Segala bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin mempunyai maksud tersembunyi.”
”Ia
berharap, mereka yang hidup melarat dan
telah menikmati uluran tangannya mau
beralih akidah. Perempuan cantik dan kaya itu seakan membawa alat suntik dan
secara perlahan sekali ia berusaha agar
orang-orang yang diberinya bantuan mau meninggalkan akidahnya sebagai muslim.”
”Memang
begitulah cara agama lain melakukan teror terhadap ummat Islam. Dengan cara
halus mereka menggembosi ummat muslim. Mudah-mudahan tidak semudah itu ummat muslim akan
terpengaruh oleh uluran tangannya. Tidak semudah itu ummat muslim menjadi
murtad.”
”Ya,
semoga setiap muslim memiliki sikap istiqomah yang kental.”
”Bang
Fadhil pasti tahu benar, siapa saja orang-orang yang menerima uluran tangan
perempuan cantik itu.”
“Ya,
Bang Fadhil tahu kemana harus mengantar perempuan kaya itu. Sayang Bang Fadhil tidak menyadari, bahwa
perempuan pedagang permata itu sudah lama dibuntuti tiga penjahat.” lanjut Abu
Masyghul mengingat tragedi masa silam Mbak Rento. “Sampai suatu saat, ketika
malam bertambah gelap apa lagi hujan gerimis, tiga orang penjahat menghadang
Bang Fadhil dan perempuan kaya itu.”
“Ya,
Bang Fadhil tidak mampu mengelak. Ia tidak rela langganannya ditodong
dengan belati terhunus. Perempuan itu
adalah langganan tetap yang selalu baik hati dan tiap minta diantar ketempat
tujuannya selalu memberi tips. Bang Fadhil juga tidak ingin kehilangan
langganannya. Nalurinya merasa terpanggil untuk membela permpuan itu. Naluri
Bang Fadhil merasa tergugah untuk membantu
pelanggannya yang selalu baik kepadanya.
Lelaki itu membela dengan tangan kosong
ketika tiga penjahat itu berusaha merampas tas milik perempuan itu.
Bang Fadhil berusaha ikut mempertahankan sebuah tas milik penumpangnya
yang berisi sejumlah permata dan uang tunai serta surat-surat berharga.”
“Perempuan itu juga akhirnya hanya
mampu berteriak minta tolong, tapi penjahat itu sudah kabur,” tutur Ummu Naubah lagi.
“Kasihan Bang Fadhil, karena membela langganannya dia menjadi korban. Tiga
penjahat itu membuang tubuh Bang Fadhil ke dalam kali sementara sang perempuan
malang itu dibiarkan terkapar di tempat sepi setelah diberi hadiah bogem mentah
.”
“Sejak
itulah Mbak Retno kehilangan seseorang lelaki yang amat ia cintai. Sejak itu ia
tidak pernah lagi bertemu Bang Fadhil
dan beranggapan, bahwa lelaki
yang ia harapkan jadi teman hidupnya dihanyutkan ke sungai.”
“Kasihan
Mbak Retno, hingga akhirnya ia tetap menyendiri hingga sekarang.”
Lihatlah
sepasang semutpun amat mengerti akan perasaan kasihan. Mahluk kecil itupun tahu
pasti, sejak saat itu, tidak pernah ada lelaki yang menemani Mbak Retno.
Bila ada lelaki
yang berusaha akrab dengannya, ia selalu menghindar karena lelaki itu selalu
meminum minuman keras hingga mabuk. Juga pernah ada lelaki lain yang mendekat,
tapi ia juga menghindar karena lelaki
itu seorang pemain judi. Kalaupun ada lelaki lain yang berusaha mendekatinya,
Mbak Retno buru-buru menyingkir karena lelaki itu seorang pengangguran dan
tampangnya malas bekerja, malas mencari razeki.
Lalu tidak pernah ada lagi lelaki yang selalu mengunjunginya. Tidak
pernah lagi lelaki yang selalu mengantarnya berbelanja berbagai ramuan bahan
membuat jamu mengunjunginya. Mbak Retno
menyendiri terus, hingga akhirnya langkahnya terbawa ke Tanah Suci. Namun kenangan indah masa lalu bersama lelaki
kelahiran Sumatera itu tetap melekat di dasar hatinya yang paling dalam.
“Di Tanah Suci nanti, pasti Mbak Retno
tidak hanya mendoakan kedua orang tuanya, tidak hanya mendoakan adiknya,tetapi
juga mendoakan almarhum Bang Fadhil agar dosanya diampuni Tuhan, agar arwahnya
tenteram di alam kubur, dan suatu saat bersama orang-orang yang beriman akan
menjadi penghuni surga.” tukas Ummu Naubah.
“Kita akan ikut mengaminkan semua
doa yang dilantunkan Mbak Retno.”
Sepasang semut itu buru-buru kembali
bersembunyi ke dalam tas tempat paspor milik Mbak Retno ketika awak pesawat
mengumumkan agar seluruh penumpang mengenakan sabuk pengaman sebab pesawat akan
segera mendarat di Bandara Internasional Jeddah.
Sesaat lagi roda-roda pesawat akan
menyentuh landasan di negeri Arab Saudi, tapi Mbak Retno belum melepaskan sebuah
kitab di tangannya dan ia terlalu asyik
menelaah bab tentang azab kubur yang sangat pedih bagi orang tidak beriman.
Dalam kitab itu Mbak Retno menemukan hadis yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, , sesungguhnya ,bahwa
penghuni kubur itu benar-benar sedang disiksa
dan mereka mendapat siksa bukan
karena dosa-dosa besar. Salah satunya
karena ketika hidupnya manusia
suka mengadu domba dan lainnya karena manusia
tidak membersihkan diri dari kencingnya.
Betapa sederhananya hadist itu,
betapa amat sepele, hanya karena manusia
tidak membersihkan diri dari kencingnya, akan mendapat siksa yang berat. Hidup manusia memang harus
benar-benar bersih dari najis. Mbak Retno juga
sempat membaca tentang riwayat Rasulullah yang hampir terjatuh dari punggung hewan yang dikenderainya.
Ternyata hewan yang bernama baghal atau
peranakan campuran keledai dan kuda, hewan itu mendengar siksa
kubur atas manusia yang banyak melakukan dosa-dosa. Ternyata hewanpun dapat
mendengar siksa kubur bagi manusia, sementara manusia dan jin tidak mampu
mendengarnya. Lapar dan haus akan berkepanjangan bagi penghuni neraka, sementara
mereka berharap kepada orang-orang penghuni surga untuk meneteskan sedikit air.
Tapi penghuni surga mengharamkan pemberian apapun kepada orang-orang kafir.
Di
kursi sebelah kanan Mbak Retno duduk
seorang perempuan setengah baya sedang membaca Qur’an surat
Al Qaari’ah yang bermakna tentang hari kiamat. Bahwa pada hari kiamat, saat itu semua isi bumi seperti kupu-kupu yang beterbangan dan gunung-gunung seperti batu yang dihambur-hamburkan. Dan orang-orang yang banyak kebaikannya maka ia akan berada dalam suasana yang amat memuaskan, sementara
orang-orang yang sedikit kebaikannya tempat kembalinya adalah neraka
hawiyah dan tempat itu adalah api yang
sangat panas. Betapa amat menakutkan.
***
Seperti halnya para calon jamaah haji
yang sedang menyantap makanan dan minuman, sepasang mahluk kecil yamg bernama semut itu juga melepas lelah dan
menghilangkan rasa hausnya, juga menyantap makanan meskipun yang mereka nikmati
hanya makanan yang terjatuh di lantai. Semut hitam adalah mahluk kecil ,
sehingga makanan sekecil apapun akan membuat mereka kenyang dan mampu
melakukan aktivitas sepanjang hari.
“Bersyukurlah kepada Tuhan, kita
sudah sampai di negeri yang jauh!,” terdengar suara Abu Masyghul kepada teman
betinanya.
“Ya, aku bersyukur.”
“Kita tidak sempat teraniaya, kita
tidak sempat haus dan kelaparan .”
“Berbahagialah kita dapat
menjejakkan kaki di Tanah Suci seperti manusia. Mahluk seperti kita mempunyai
kemuliaan sendiri. Bukankah Tuhan dalam surat An Naml yang berarti semut berharap agar
manusia meniru sifat dan sikap semut dalam menjalani kehidupannya?.”
“Manusia tidak akan membunuh mahluk seperti kita,
selama kita tidak mengusik mereka.”
“Untuk apa mahluk seperti kita mengusik kebahagiaan manusia?. Kita
tidak pernah mencuri harta manusia meskipun hanya sebutir gula yang tersimpan. Kita akan mengambil gula milik manusia kalau
sudah jatuh di lantai.”
Semut-semut
kecil berwarna hitam itu tidak pernah mengotori makanan manusia, tidak seperti
mahluk yang namanya lalat yang selalu mengotori makanan manusia dan menyebarkan
penyakit yang namanya diare atau typus serta penyakit berbahaya lainnya.
Semut-semut kecil berwarna hitam seperti Abu Masyghul dan Ummu Naubah tidaklah
sama dengan kecoa yang amat dibenci manusia karena jorok, karena keluar masuk
lubang toilet lalu berpindah ke dalam
lemari makanan dan mengotorinya.
Kecoa adalah serangga yang
menjijikkan. Semut-semut kecil berwarna hitam itu amat beda dengan
nyamuk yang selalu mengusik manusia, yang selalu menggigit tubuh bayi sehingga
terbangun. Tidak hanya itu, nyamuk selalu dibunuh manusia karena menyebarkan
penyakit malaria atau demam berdarah. Nyamuk adalah musuh manusia, beda dengan semut-semut hitam
yang dalam Qur’an harus menjadi contoh
bagi manusia.
Ummu Naubah dan Abu Masyghul merasa amat bahagia ditakdirkan Tuhan sebagai
mahluk yang bernama semut yang dimuliakan Tuhan, yang kehidupannya pantas
menjadi contoh, juga dalam hal membangun sarang bertingkat-tingkat untuk
menghadapi musim dingin. Golongan mahluk semut memiliki sistem kehidupan dan
organisasi serta kerja sama yang sangat
baik dan lebih mementingkan kebersamaan. Ummu Naubah dan Abu Masyghul adalah
sepasang semut yang paling berbahagia di antara jutaan semut lainnya
yang ada di dunia. Mereka tidak lagi mengusung bangkai belalang atau
mengusung bahan-bahan untuk sarang, tapi kini mereka sudah menjejakkan kakinya di Jeddah dan sesaat lagi
akan menempuh perjalanan jauh, hingga ratusan kilometer menuju Madinah dan selama sembilan hari bersama jamaah lainnya
melaksanakan solat arbain di Masjid Nabawi.
Ummu Naubah terkagum-kagum melihat suasana di Bandara Jeddah
,sebab pada musim haji, bandara ini adalah salah satu bandara yang paling sibuk
di dunia. Bandara itu mampu menampung ratusan pesawat setiap hari dan hanya
berselang beberapa menit terdengar pesawat mendarat atau tinggal landas. Sebab
lebih dari tiga juta manusia akan hadir di sini untuk melaksanakan ibadah haji.
Ribuan pesawat akan hadir di bandara ini.
Lebih tiga juta manusia akan hadir di Arafah, tua muda, kaya
dan miskin, akan melaksanakan wuquf di gurun ini untuk mendapatkan predikat haji. Tidak ada beda kaya dan miskin di sini. Tidak ada beda pejabat dan rakyat jelata
yang tinggal di kawasan kumuh. Semua
setara dan menerima pelayanan yang sama. Semua akan merasakan dinginnya
udara di Madinah yang terasa menyusup
hingga ke sum-sum tulang. Semua akan merasakan panasnya terik matahari di
Makkah hingga ubun-ubun bagaikan terbakar.
“Mampukah kita bertahan di udara
dingin?,” tanya Ummu Naubah kepada sang
jantan.
“Yakinlah, kita akan mampu!” sahut semut jantan yang selalu tampak tegar
dan enerjik. “Bukankah mahluk semut adalah mahluk yang paling meyakini
kebesaran Allah dan selalu bertawakkal kepada-Nya. Tuhan akan melindungi kita
di sini dan di mana saja.”
“Mampukah
kita bertahan terhadap panas terik yang
membakar di Makkah dan Arafah sementara manusia sendiri banyak yang jatuh sakit, seperti hotstroke ?. Tidak jarang
manusia masuk rumah sakit karena tidak tahan dengan udara amat dingin seperti
di Madinah atau udara panas di Makkah.”
“Mudah-mudahan
kita juga selalu tegar hingga pulang ke tanah air dan dapat bercerita panjang
lebar kepada semua sahabat. Mereka pasti akan terheran-heran. Mereka pasti akan
tercengang, mahluk sekecil kita mampu berjalan
jauh, mampu menahan haus dan lapar, mampu melawan berbagai penderitaan, mampu
menahan ancaman akan teraniaya.”
Naubah membiarkan sang jantan memeluknya
dengan kasih sayang. Sudah amat lama ia selalu merasakan dekapan hangat seperti
itu. Sudah lama ia berharap semut jantan itu tidak hanya memeluknya, tidak
hanya membelai tubuhnya, tapi juga menjadi teman hidupnya. Sayang kodratnya
sebagai semut harus berlaku, semut jantan akan segera mati setelah kawin. Itulah yang selalu terpikir di benaknya. Itulah yang tidak ia inginkan. Ia tidak ingin
kehilangan Masyghul. Ia ingin selalu
bersama pasangannya hingga akhir hayat.
***
Perjalanan sejauh empat ratus delapan puluh delapan kilometer dengan bus besar menuju kota Suci Madinah sungguh
merupakan perjalanan yang tidak akan terlupakan. Jalanan mulus di antara gurun pasir dan
pohon-pohon kurma. Dari bibir para calon
jamaah haji itu selalu dilantunkan ucapan-ucapan tentang kebesaran Allah. Sejak dari bandara Jeddah , jalan raya mulai
padat oleh bis-bis besar yang membawa jamaah dari berbagai penjuru tanah air
dan juga dari berbagai penjuru dunia, seperti Mesir, Irak, Iran, Libya, Pakistan, India,
Malaysia, Brunei Darussalam, Bangladesh , bahkan juga Negara-negara Eropa,
China dan Amerika. Semua merasa sebagai saudara sekandung
yang memiliki martabat sama pula, sebab Islam mengajarkan semua kaum
muslimin itu adalah bersaudara. Yang membedakan satu manusia dengan manusia
lainnya hanyalah taqwanya kepada Allah.
Naubah tidak harus selamanya sembunyi dalam tas berisi paspor, sesekali ia
menampakan diri bersama sahabatnya. Sesekali ia keluar dari tas itu dan
merayap hingga ke pakaian serba putih
yang dikenakan Mbak Retno. Bahkan Mbak
Retno terlalu asyik melantunkan kalimah-kalimah selawat dan pujian kepada Tuhan,
sehingga ia tidak menyadari dua ekor semut hitam merayap di selendangnya yang
juga berwarna putih. Dalam bis yang terus meluncur di jalan yang
mulus menuju kota
suci Madinah, dua ekor semut itu memperhatikan wajah Mbak Retno yang tampak
anggun dan cantik mengenakan pakaian serba putih.
Siapa menduga, bahwa seorang gadis
berusia hampir tiga puluh tahun yang selama ini menghuni rumah di tua gang
sempit di kawasan kelas bawah, saat itu sedang dalam bis besar menuju Madinah?.
Siapa menyangka, bahwa seorang gadis yang biasanya hadir di depan kelas, hari
itu sedang dalam perjalanan menuju Masjid Nabawi yang dirindukan dan dikagumi
oleh jutaan ummat Islam?.
“Sesaat lagi kita akan tiba di
Madinah,” terdengar suara Ummu Naubah
perlahan kepada semut jantan di sisinya.
“Kita pernah mendengar di maljis
taklim yang selalu dihadiri Mbak Retno, bahwa sholat di masjid itu mendapat
pahala seribu kali!,’ sahut semut jantan.
“Pastilah Mbak Retno tidak mau
melewatkan kesempatan emas itu!”
Sepasang semut itu masih merayap di selendang yang menutupi rambut Mbak Retno. Dua ekor
semut itu tetap saja melempar pandangan keluar dan pohon-pohon kurma tampak
berjejer sepanjang jalan. Belasan mobil dalam perjalanan menuju kota Madinah itu membentuk konvoi yang panjang. Di belakang bis yang ditumpangi Mbak Retno tampak bis besar yang ditumpangi
jamaah berasal dari Bangladesh .
Jamaah dari India
juga tampak jauh di belakang. Pada musim haji seperti saat itu, jalur jalan
Jeddah adalah jalan yang paling padat. Jamaah dari seluruh penjuru dunia pasti
akan melewati jalur jalan ini,
kecuali jamaah yang termasuk gelombang
haji tahap dua yang langsung menuju Makkah, lalu setelah wuquf dan melontar
jamrah baru menuju Madinah.
Di tengah perjalanan , di tengah padang pasir, bis-bis besar itu berhenti di sebuah restoran
yang terletak di Rabiq dan Masturah
. Dan setiap jamaah disilakan
turun untuk menikmati kopi atau teh susu
dan makanan ringan,terutama roti.
Yang berlari-lari menuju toilet juga banyak. Udara dingin yang mulai terasa menyebabkan para
jamaah sejak tadi menahan pipis.
Mbak Retno juga ke toilet untuk buang air yang menyenak dalam
perutnya lalu ketika berdiri ia membenarkan letak selendangnya. Astaga!. Hampir
saja semut jantan terlontar dari selendang itu. Untunglah semut jantan itu
berpegang amat erat. Andainya semut
jantan itu terlontar, pasti tubuhnya akan mencebur dalam lubang toilet ia akan
tertinggal sendirian di tempat itu. Andainya ia sempat terlontar, Ummu Naubah akan sendiri pula dan ia pasti akan menangis
karena kehilangan sahabatnya, karena kehilangan calon kawan hidupnya.
Untuk
menghangatkan tubuhnya Mbak Retno menikmati teh hangat dan roti tawar. Terasa
amat nikmat ketika teh hangat dan sepotong roti melewati tenggorokannya. Di
sudut tempat istirahat itu tampak jamaah dari Mesir juga sedang menikmati kopi
hangat. Jamaah dari Malaysia juga tampak
di sana. Juga jamaah dari Brunei Darussalam yang tidak begitu banyak jumlahnya
sedang menikmati kopi susu.
Ketika
Mbak Retno meneguk teh hangat, beberapa tetes menitik hingga ke bawah
meja. Tetesan teh hangat yang terjatuh
di lantai tidak sia-sia, karena dua ekor semut hitam segera merayap kesana dan
menghirupnya. Kedua semut itu menikmati teh manis dengan ucapan syukur. Bahkan
serpihan roti juga ikut jatuh dilantai dan menjadi santapan Ummu Naubah dan semut jantan di sisinya.
Dua
ekor semut itu tertegun ketika mereka melihat jamaah dari India yang menikmati
kopi bersama roti juga menyulut rokok dan asapnya mengepul tinggi. Hal-hal
yang makruh juga terjadi di tengah perjalanan ke kota suci Madinah. Rokok adalah makruh,
berpahala bila ditinggalkan dan tidak berdosa bila dilakukan. Bahkan yang
mengharamkan rokok juga ada.
Meskipun sedang menikmati teh
hangat, tapi untaian tasbih selalu ada di tangan para jamaah itu. Meskipun
sedang merasakan nikmat dari Allah, tapi mereka tidak lupa untuk mengagungkanNya.
Seperti halnya yang dilakukan Mbak Retno Ramadhani, meskipun ia sedang
menikmati teh hangat dan sepotong roti , tapi ia akan selalu ingat firman
Allah dalam Surah Al Israa 13, bahwa : “Dari tiap-tiap
manusia Kami catatkan amal perbuatannya pada lehernya. Tidak ada satupun
perbuatan manusia yang jahat maupun yang baik lolos dari catatan itu dan pada
hari berbangkit nanti akan dihisab”. Mbak Retno juga akan selalu ingat materi
majlis taklim di surau tidak jauh dari rumahnya, bahwa setiap manusia pada hari kiamat akan dipanggil dengan sebutan namanya dan
nama ayahnya. Karena itulah dalam hal memberi nama anak selalu dianjurkan dengan nama yang baik. Sebab sebuah nama mengandung nilai doa.
Mbak Retno juga tidak akan lupa ceramah
tentang perbuatan manusia yang harus dipertanggung jawabkan pada hari kiamat
nanti. Perawi Hadist Muslim telah
meriwayatkan dari Abu Barzah Al Aslamy, tentang sabda Rasul, bahwa tidak akan bergeser kedua telapak kaki seseorang pada hari kiamat sebelum dia
ditanya tentang 4 perkara, yakni tentang umurnya, untuk apa dia
habiskan umurnya, tentang tubuhnya
untuk apa dia letihkan. Juga tentang ilmunya
untuk apa ia lakukan dengan ilmu itu dan
tentang hartanya, untuk apa
ia belanjakan dan dari mana ia peroleh harta itu.
Udara masih terasa dingin meskipun
matahari sudah di atas ubun-ubun ketika rombongan jamaah haji itu melanjutkan
perjalanannya menuju Madinah. Kota
suci itu memang sedang menghadapi musim dingin selama beberapa bulan. Suhu
tidak lebih dari 5 derjat celcius menyebabkan tubuh orang menggigil meskipun di
siang bolong, meskipun ditutupi jeket tebal.
Sepasang semut itu merayap di kaki
Mbak Retno, lalu berpegang pada gaunnya kemudian kembali masuk ke dalam tas
berisi paspor dan dokumen haji lainnya. Bis besar it terus meluncur di jalan
raya yang padat.
Hanya lantunan rasa syukur yang
terdengar dari celah bibir seorang gadis yang selama ini bermukim di rumah di gang sempit di kawasasn kelas
bawah itu, ketika kakinya terjejak di pintu Masjid Nabawi yang masih dikunci. Beda dengan
masjidil Haram yang tiap saat terbuka dan kapan saja bisa melaksanak tawaf, sa’i
atau sholat serta minum air zam-zam. Pintu masjid Nabawi selalu dikunci pada
jam tertentu. Hanya beberapa menit sebelum sholat fardhu dimulai, pintu masjid
itu baru dibuka lebar-lebar. Setengah
jam lagi waktu subuh tiba, Mbak Rento sudah berada di depan pintu mesjid yang
dimuliakan setiap muslim di dunia. Ia
beruntung pagi-pagi benar sudah antri di depan Bab Al Ustman, sebuah pintu
dari beberapa pintu lainnya di masjid Nabawi. Jamaah lainnya ada yang masuk lewat Bab Ar-Rahman atau Bab
Ali Umar
Betapa megah masjid yang dibangun Rasulullah . Lampu-lampunya
gemerlapan dan ketika azan subuh dilantunkan muazin, suaranya bergema
kemana-mana. Lampu-lampu dan sound system di masjid itu adalah yang terbaik di seluruh jagad raya. Tak
perduli udara dingin menusuk ke sum-sum tulang, Mbak Retno dan jamaah
sekamarnya lebih awal memasuki masjid yang paling megah itu. Mbak Retno bersyukur selama di Madinah ia
mendapatkan tempat menginap di sebuah hotel berbintang tiga, tidak jauh dari
Masjid Nabawi, tidak jauh dari Hotel Al Andalus, hanya beberapa langkah dari
pintu masjid. Siapa yang menyangka,
bahwa seorang gadis keturunan penjual jamu
yang biasa tidur di di kawasan kelas
bawah, lalu pada saat menunaikan ibadah haji tinggal di sebuah hotel berbintang?.
Rahmat Tuhan telah datang kepadanya.
Kecelakaan kereta api yang merenggut nyawa abi, umminya dan adiknya
telah mendatangkan rahmat baginya berupa pejalanan haji yang amat suci dan
mulia.
Sepasang semut itu amat bersyukur
ketika mereka dapat menyaksikan Mbak Retno melakukan sholat tahyatul masjid
di Raudah, yakni sebuah tempat di antara
mimbar nabi dengan makamnya dan doa manusia di tempat ini selalu dikabulkan
Allah
Sebelum sholat, Mbak Rento menyentuh kalung berhiaskan mainan delimah
merah di lehernya
“Lehatlah Mbak Rento menyentuh kalungnya,tandanya ia teringat pada bang
Fahdil”, cetus Naubah.
“Mbak Retno pasti mendoakan Bang Fadhil,” sahut Masyghul/
. Meskipun bangku pondok pesantren sudah bertahun-tahun ditinggalkannya,
tapi ia selalu ingat hadis Nabi yang dipelajarinya di kelas yang berbunyi ,
bahwa Raudah adalah sebuah tempat yang terletak antara rumah
Muhammad dan mimbarnya adalah suatu taman dari taman-taman di surga.
Sholat subuh di Masjid Nabawi
sungguh amat khusu’. Tidak ada perasaan rindu rumah, tidak ada rasa rindu
kepada para sahabat di kampung halaman.
Yang ada di benaknya hanya ingatan kepada Allah semata-mata. Segala gerak tubuhnya ketika sholat subuh di
masjid maha agung itu adalah merupakan
meditasi tertinggi. Sholat merupakan perjalanan
rohani menuju Allah. Sebab sholat merupakan akativitas jiwa
yang termasuk dalam kajian ilmu psikologi transpersonal ,
karena sholat adalah proses perjalanan spriritual
yang penuh makna yang dilakukan
manusia untuk bertemu Tuhan Semesta Alam. Sholat dapat membersihkan jiwa dan juga menjernihkannya serta mengangkat pelaku sholat untuk mencapai taraf kesadaran yang
lebih tinggi dan pengalaman puncak.
Apalagi sholat itu dilakukan di sebuah masjid yang maha suci, yakni
Masjid Nabawi.
Mbak Retno akan selalu ingat Firman Allah dalam Qur’an surah Al Mu’minun , bahwa sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman yaitu
orang-orang yang khusu’ dalam sholatnya.
Mbak Retno hanya keturunan penjual jamu gendong, tapi ketika ingat
kematian abi dan uminya,ia selalu ingat Firman Allah dalam surat Al Baqarah,
jadikanlah sabar dan sholat sebagai
penolongmu dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusu’ dalam sholatnya,
yakni orang-orang yang meyakini,
bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan , bahwa mereka kembali kepada-Nya.
Airmatapun tidak terbendung ketika ribuan jamaah mengakhiri sholat subuh
kemudian beriringan melangkah menuju makam Rasulullah di sisi masjid itu. Semua
menahan keharuan dalam dasar hati yang paling dalam akan perjuangan Rasulullah
dalam menegakkan Islam. Andainya ajaran Islam tidak disampaikan oleh Nabi
Muhammad, pasti dunia ini akan kacau balau dan kezaliman akan terjadi
dimana-mana. Bila Islam tidak disampaikan, pasti kekejaman akan menimpa ummat manusia.
Bila ajaran Islam tidak disampaikan kepada ummat manusia, pasti kebathilan ada
dimana-mana dan dunia ini akan diwarnai
dengan dengan kejahilan. Wanita akan selalu dibunuh kalau Islam tidak disampaikan oleh Rasululullah. Perempuan
akan menjadi mahluk yang paling hina bila Islam tidak ditegakkan.
Semua jamaah yang melakukan ziarah ke makam itu pasti akan terkenang
segala perilaku Rasulullah yang pantas diteladani dan betapa berat
perjuangannya. Dan semua jamaah pasti akan selalu ingat sabdanya, bahwa setiap ummatnya yang
menziarahi makamnya sama artinya telah menjadi
tamu Rasulullah ketika hidupnya. Betapa bahagia menjadi tamu Rasulullah
ketika hidupnya.
“Hari ini Mbak Retno seakan menjadi tamu Rasulullah pada masa hidupnya,”
desis Naubah.
Beruntunglah dua ekor semut yang merayap di di sehelai kain yang melekat
di pakaian Mbak Retno. Dua ekor semut yang selalu ikut serta dalam perjalanan
itu menjadi saksi hidup tentang segala apa yang dilakukan Mbak Retno selama
menjejakkan kakinya di Tanah Suci. Siapa yang tidak merasa bahagia bisa
menyaksikan sendiri menara At-Tasykiliyyah dan menara Al-Khasyabiyyah dan
menara As-Sinjariyyah yang amat megah di sisi Masjid Nabawi yang amat megah
itu?.
Dua ekor semut itu menjadi saksi, bahwa perempuan yang berasal dari keluarga yang
hidupnya sederhana itu menitikkan air mata di depan makam Rasulullah dan sahabatnya.
Dan air mata setiap jamaah berderai bagaikan
hujan yang amat lebat. Tidak satupun
jamaah yang tidak menitikkan air mata ketika melintasi makam itu. Bahkan hati
lelaki yang sekeras baja sekalipun pasti akan luluh ketika berada di sisi makam
itu. Lelaki yang memiliki sifat paling
keras seperti batu cadas pasti akan mencair di sana .
Dua ekor semut berwarna hitam itu merasa sebagai mahluk kecil yang paling
berbahagia bisa ikut rombongan ribuan manusia yang melaksanakan sholat subuh ,
yang ikut melaksanakan sholat arbain kemudian usai sholat lalu menziarahi makam
Rasulullah.
Sebagai seorang perempuan yang pernah mengecap pendidikan di pondok
pesantren, ia tahu betul liku-liku kehidupan
Rasulullah Muhammad saw. Tidak hanya
riwayat hidupnya ketika menerima wahyu
di Jabal Nur, tidak hanya ketika bersembunyi di
Jabal Tsur ketika dikejar-kejar kaum Quraisy dan di sebuah gua Rasul ikut
dilindungi oleh labar-laba yang membangun
sarangnya dan merpatipun bertelur di gua itu sehingga kaum Quraisy terkecoh.
Mbak Retno juga tahu tentang para
perempuan yang pernah dinikahi oleh beliau mulai dari Khadijah binti Khuwailid
yang dinikahi Rasul sudah berusia 40 tahun berstatus janda,
sementara Rasul sendiri baru menginjak
usia 25 tahun. Setelah Khadijah wafat,
Rasul menikah dengan Saudah binti Zam’ah bin Qais. Wanita satu-satunya yang
berstatus gadis yang pernah dinikahi Rasul
adalah Aisyah binti Abu Bakar dan
pada saat itu usia Aisyah baru 6 tahun.
Rasul juga pernah menikahi Hafsah
binti Umar, lalu menyusul menikah dengan Ummu Salamah binti Abu Umayyah. Wanita
soleha yang pernah berperan dalam kehidupan Rasul lainnya dan berstatus sebagai
isteri adalah Zainab binti Jahsy,
Juwariyah binti Harits kemudian Ummu Habibah binti Abu Sufyan, menyusul Shafiya
binti Huyyah dan terakhir adalah Maimunah binti Harits.
Tanyalah kepada Mbak Retno tentang putera-puteri Rasulullah, pasti ia
akan menjawab dengan benar dan menyebut nama-nama Rukayyah, Ummu Kultsum dan
Fatimah serta Zainab,
Tidak hanya makam Rasulullah yang diziarahi Mbak Retno, tapi juga makam
Khalifah Abu Bakar Siddik. Juga tidak ketinggalan dikunjungi Mbak Retno makam Khalifah Umar bin Khattab, lalu berikutnya
makam Khalifah Ustman bin Affan.
Air mata di pipi gadis berusia hampir tiga puluh itu masih bersisa ketika ia melangkah kembali ke
tempat menginapnya tidak jauh dari hotel Al Andalus. Tapi sebelum ia melangkah masuk kamar di
hotelnya, gadis yang berasal dari keluarga yang hidup sederhana itu berpapasan
dengan seorang ibu yang menangis tersedu. Seperti ada sesuatu yang terjadi pada dirinya atau mungkin
terjadi pada keluarganya di tanah air.
“Ayo kita ke kamar,Bu. Ayo kita sarapan besama-sama!,” ajak Mbak Retno ramah. Gadis itu memang
selalu ramah kepada siapa saja, apa lagi kepada tetangga atau pelanggan jamu
umminya. .
“Terima kasih!. Seteguk airpun tidak dapat melewati kerongkongan saya.
Kabar yang saya terima dari rumah sungguh amat menyayat hati saya,” sahut perempuan itu.
“Kabar dukacita?. Kabar tentang kematian yang ibu terima?,” gadis berumur tiga puluh dari keluarga
sederhana itu ingin tahu.
“Bukan!. Bukan kabar tentang kematian, tapi kabar tentang hal-hal yang
membuat hati saya sebagai perempuan
hancur berkeping-keping.”
“Adakah sesuatu kejadian atas
keluarga ibu di rumah?” tanya Mbak Rento
lagi.
“Ya!. Kabar itu membuat hati
saya benar-benar hancur. Rasanya saya ingin buru-buru pulang”
“Tidak mungkin ibu buru-buru pulang. Kita sedang melaksanakan ibadah
haji, bahkan belum satupun rukun dan wajib haji kita laksanakan. Masih lama lagi kita harus tinggal di sini, jauh
dari rumah. Pasrahkan semuanya kepada Allah, semoga apa yang terjadi di rumah
ibu selalu dilindungi Allah.”
“Anak gadis saya satu-satunya masuk rumah sakit. Itulah
yang membuat saya amat sedih. Itulah yang membuat saya ingin segera pulang”
“Tabahkan hati ibu. Tuhan akan melindungi anak gadis ibu!”
“Penyakitnya sudah amat serius dan harus segera masuk ruang bedah.”
“Penyakit apa yang diderita puteri ibu?”
gadis dari keluarga kurang mampu
itu menatap jamaah di depannya.
“Kanker payu dara!. Sungguh
penyakit yang amat ditakuti semua orang terutama kaum perempuan seperti kita.”
“Saya mengerti. Mudah-mudahan mukjizat Tuhan akan turun dan puteri ibu
sembuh setelah menjalani operasi.”
Jamaah perempuan di depan Mbak Retno tersedu dan berusaha menyeka air
mata di pipinya, tapi justru tangis itu semakin berderai.
“Anak saya adalah seorang gadis yang terbilang cantik dan mahasiwa
Fakultas Hukum tingkat terakhir. Ia sedang menyusun skripsinya dan berharap
segera lulus, tapi tumor ganas pada payu daranya membuat tugas-tugas kuliahnya
terhalang. Enam bulan yang lalu sebuah payu daranya sudah diangkat.”
“Lalu tumor ganas itu datang lagi
dan datang lagi?”
“Begitulah tumor ganas, sudah dioperasi namun datang lagi. Bayangkan, ia
seorang gadis remaja namun payu dara yang dimiliki hanya sebuah, lalu sekarang
payu dara yang bersisa itupun harus
dibuang lagi. Sebentar lagi ia tidak akan memiliki payu dara, padahal bagi
setiap perempuan, payu dara adalah keindahan.
Apa artinya hidup bagi seorang
gadis bila ia tidak memiliki payu dara lagi?. Hidupnya tidak punya arti apa-apa
lagi. Ia akan sangat menderita.”
Mbak Retno hanya menghela nafas panjang. Ia ikut sedih. Ia dapat membayangkan
betapa amat menderitanya seorang wanita bila ia tidak memiliki payu dara lagi.
Bagaimana ia akan memberikan asi kepada anaknya kalau menikah nanti. Bagimana
kalau suami menghendaki kemesraan dan making love?. Adakah seorang lelaki yang
sudi menikahi perempuan yang tidak memiliki payu dara lagi?.
Tidak hanya gadis berusia yng berusia hampir tiga puluh tahun yang
berasal dari keturunan penjual jamu itu yang bersedih, tapi dua ekor semut
hitam yang selalu menyertai perjalanan
ritual itu juga ikut merasakan kesedihan yang amat mendalam. Mbak Retno hanya
berupaya menghibur jamaah di depannya agar tabah dan bersabar. Ia hanya
mengimbau untuk selalu mendoakan puterinya agar bedah payu dara itu tidak
menghadapi kendala dan semua berlangsung
dengan sukses. Semua yang terjadi adalah kehendak Allah, lalu kepada-Nya
pula semua berpulang.
***
Sejak
hari pertama menjejakkan kakinya di kota suci Madinah,
perempuan yang berasal dari keluarga kurang mampu itu merasakan perbedaan kondisi,
suhu, masyarakat, pola hidup dan
makanan. Yang selalu dirasakan sama hanyalah dalam hal ibadah, terutama dalam
hal sholat. Gadis berusia hampir tiga puluh tahun itu seakan mendapatkan
rahmat, meskipun makanan yang tersedia rasanya berbeda dengan kebiasaan
sehari-hari di tanah air, tetapi terasa amat lezat dan nikmat, semua dengan
mudah ditelan. Beda dengan yang dialami
jamaah lainnya yang biasa hidup mewah, yang biasa menikmati makanan enak, lalu
balasan Tuhan datang selama ia berada di Tanah Suci. Makanan khas Madinah, amat
sulit untuk ditelan, terasa tidak enak, terasa mengganjal di kerongkongan. Jamaah itu harus keluar hotel dan mencari
makanan yang bisa mengenyangkan perutnya.
Untung ia menemukan restoran Malaysia
yang menunya hampir mirip dengan makanan sehari-hari yang selalu dinikmati di
tanah air.
Udara amat dingin tidak membuat Mbak Retno harus bermalas-malas
melangkahkan kakinya ke Masjid Nabawi. Akan rugi besar bila sampai satu waktu
sholat fardhu berjamaah tertinggal. Akan terasa rugi besar bila harus
kehilangan pahala yang berlipat ganda, sebab satu kali sholat berjamaah di
masjid besar itu akan mendapat ganjaran pahala seribu kali.
Itulah sebabnya, lima
belas menit lagi menjelang waktu zuhur tiba, perempuan itu sudah berada di
dalam masjid , lalu usai sholat membaca Qur’an
hingga waktu Ashar tiba. Maghrib juga begitu, usai sholat sunat tidak
langsung pulang, tapi membaca Qur’an
atau mendengar ceramah di majlis taklim yang tidak pernah sepi di masjid itu.
Tiada waktu tanpa ibadah, itulah yang terjadi di Madinah. Tidak pernah
ada keinginan untuk ke pasar, tidak pernah ada kehendak untuk membeli
perhiasan, tidak pernah ada ada hasrat untuk membeli pakaian yang bagus-bagus.
Tidak pernah tertarik hati perempuan itu untuk membeli karpet. Keluar dari
masjid, setelah ziarah di makam Rasul, ia langsung masuk kamar di hotel, makan
malam dan sujud syukur lalu tidur.
Lelah membuat perempuan yang belum
bersuami itu tidur lelap dan mimpi amat indah, seakan ia berada di sebuah taman
bunga dan air mancur serta ikan-ikan berbagai jenis bermain amat riang. Dalam
mimpi di taman itulah, ia seperti didatangi seorang lelaki gagah dan dijarinya
ada seuntai tasbih. Ia tertegun dan
tidak mampu menatap mata lelaki gagah itu
dan iapun masih tetap tertunduk ketika lelaki itu mengulurkan tasbih
kepadanya.
“Aku tidak dapat memberimu apa-apa
selain seuntai tasbih,” itulah kata-kata yang diucapkan lelaki gagah di taman
itu.
Mbak Ratno masih menunduk, masih
tetap belum mampu mengangkat wajah, masih tetap belum mampu menatap pandangan
lelaki itu, masih tetap belum mampu mengulurkan tangan untuk menerima pemberian seuntai tasbih dari lelaki di
depannya.
“Terimalah, sayang. Terimalah
pemberian ini,Retno!,” terdengar lagi
suara lelaki itu dalam mimpinya.
Matanya masih terasa berat untuk
menatap wajah lelaki itu, masih terasa berat tangannya untuk menerima pemberian lelaki itu. Lelaki gagah itu mendekat dan amat dekat, hingga dengus nafasnya terasa
di pipi Mbak Retno.
“Terimalah pemberian ini ,sayang.
Aku yakin seuntai tasbih lebih bermakna daripada seuntai emas. Kamu dapat menghitung zikirmu, kamu dapat
menghitung pujianmu terhadap Allah”
Lelaki dalam mimpi itu masih sempat
berkata, bahwa menyebut nama Allah, mengingat dzat-Nya dan mensyukuri nikmat
dan karunia-Nya adalah sesuatu yang
fitrah bagi setiap hamba-Nya. Lelaki itu juga menyebut ayat Qur’an surat Al Imran ayat 41
yang bermakna Dan sebutlah nama Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta
bertasbihlah diwaktu pagi dan petang.
Perempuan sederhana itu masih tetap
saja menunduk, tapi dadanya gemuruh, jantungnya berdetak keras, apalagi ketika
lelaki itu menyentuh tangannya untuk menerima pemberian itu. Ia tidak berdaya
ketika lelaki itu meletakkan seuntai tasbih di telapak tangannya.
“Jangan menunduk terus,sayang. Tidak bolehkah aku menatap sepasang matamu
yang jernih dan indah?. Tidak bolehkah aku menatap wajahmu yang sejak dulu
selalu kurindukan dan kusayangi?”
Tetap saja perempuan yang lahir dari
keluarga penjual jamu gendong itu menunduk. Hingga lelaki itu menyentuh ujung
dagunya dan mengangkat wajahnya. Ia tidak menunnduk lagi, tapi sepasang matanya
terpejam dan seuntai tasbih sudah berada
di telapak tangannya.
“Bukalah matamu,sayang,” terdengar lagi suara lelaki itu. Mbak Retno seperti pernah mendengar suara
itu. Bahkan ia
amat mengenal suara itu.
“Tidak bolehkah aku menatap matamu
yang teduh seperti air telaga?”, lelaki itu berbisik di telinganya dan memberinya
ciuman di kening tanda kasih sayang.
Anginpun berhembus sepoi di taman itu. Bunga mawar, bunga melati
bergoyang-goyang dan dua ekor kupu-kupu bermain di kuntum bunga yang sedang
mekar itu. Perlahan sekali
perempuan yang selama ini hidup amat sederhana itu membuka matanya.
Betapa ia amat kaget, betapa ia amat terkejut, karena lelaki yang memberinya
seuntai tasbih memang amat dikenalnya. Sebuah nama segera tercetus dari celah bibirnya
yang tipis tanpa lipstik;
“Bang Fadhil?. Engkaukah,Bang Fadhil?”
“Ya,
aku adalah Fadhil , seseorang yang
pernah mencintaimu. Aku datang karena aku amat merindukanmu.”
“Oh,
aku juga amat merindukanmu.”
Perempuan itu berusaha memeluk
lelaki itu. Ia ingin rebah di dadanya yang kekar lalu bersandar dan lelaki itu
membelai rambutnya seperti dulu, ketika mereka masih sering betemu dan memadu kasih sayang. Ia ingin seperti
dulu, ketika tubuhnya terasa remuk dan membiarkan nafasnya sesak ketika lelaki
itu memeluknya amat erat.
Betapa amat menyedihkan ketika perempuan keturunan penjual jamu gendong itu
hanya memeluk angin. Tiba-tiba saja lelaki yang memberinya seuntai tasbih menghilang.
Tiba-tiba saja lelaki itu lenyap, hilang entah kemana. Barulah Mbak
Retno sadar, bahwa semua itu hanyalah mimpi indah, mimpi bertemu kembali dengan
seorang lelaki yang dulu ia harapkan untuk menjadi suaminya namun lelaki muda itu sudah mati di tangan
penjahat.
Oh,Tuhan mengapa ia harus hadir
dalam mimpiku?. Mengapa ia datang dan memberiku seuntai tasbih?. Mengapa aku mimpi bertemu kembali dengannya
sementara ia sudah mati terbunuh oleh tiga orang penjahat?. Mbak Retno hanya
menghela nafas panjang. Kerinduan
memang amat besar tumbuh di rongga hatinya
yang paling dalam. Cintanya kepada lelaki kelahiran Sumatera itu memang
amat besar di rongga dadanya melebih
segalanya. Tapi kerinduan itu tidak akan pernah terobati karena lelaki
itu sudah terbunuh di tangan penjahat di sebuah tempat yang sepi kemudian
tubuhnya dibuang ke pinggir kali.
Perlahan sekali gadis itu menyentuh
seuntai kalung di lerhnya yang berhiaskan del ima merah. Dia mendekapnya dan sepasang
bibirnya bergetar:
“Aku rindu padamu,Bang Fadhil!”
“Kasihan Mbak Retno!,” terdengar suara Ummu Naubah yang menjalar di pinggir tempat
tidur dan menyaksikan perempuan itu mengusap dada karena rasa rindu terpendam
amat dalam di sana .
“Pertemuannya dengan Bang Fadhil hanya dalam mimpi!.” sahut semut jantan dan memandang
perempuan itu dengan perasaan iba yang amat dalam.
“Ia
pasti merindukan lelaki itu. Ia pasti sangat ingin bertemu dengan
seorang lelaki yang pernah ia harapkan untuk menjadi suaminya.”
“Mana mungkin mereka bertemu lagi,
karena lelaki itu memang sudah mati
terbunuh di tangan penjahat.”
“Mereka akan bertemu di surga nanti!”
“Kasihan
Mbak Retno, kita ingin berbuat sesuatu, kita ingin menolongnya, tapi tidak
berdaya.”
Sepasang semut itu memperhatikan
bibir perempuan itu bergetar perlahan
sekali:
“Aku mencintaimu, Bang Fadhil. Aku
tidak dapat melupakanmu. Aku tidak tahu sampai kapan aku merindukanmu. Aku
tidak tahu sampai kapan aku berharap dapat menemukan seseorang yang amat mirip
denganmu. Oh,Tuhan , lindungi hamba-Mu. Ya, Rabbi, tabahkan hatiku. Ya Allah,
beri hamba-Mu kekuatan. Biarlah aku melupakannya.Kuatkan hatiku untuk tidak
menyebut namanya lagi.”
Perempuan yang berasal dari keluarga
penjual jamu gendong itu mencoba untuk memejamkan mata, mencoba untuk melupakan
lelaki yang pernah ia harapkan menjadi teman hidupnya. Tapi amat sukar baginya untuk memejamkan mata. Justru
kenangan masa silam kembali bermain di pelupuk matanya seperti sebuah film seleloid yang bertutur tenang sebuah kisah tragis.
Selalu hadir dalam benaknya,wajah
seorang lelaki kelahiran Sumatera bernama Bang Fadhil memang selalu
mengunjunginya dan Mbak Retno memang
selalu merebahkan kepala di dada lelaki itu
dan membiarkan tubuhnya remuk dalam dekapan lelaki itu. Mereka sudah merencanakan untuk hidup bersama
sebagai suami isteri. Sebuah kalung
berhiaskan mainan delima merah yang tetap melingkar di lehernya.
Hanya tinggal beberapa minggu lagi
pernikahan itu akan berlangsung. Saat-saat bahagia sudah terbayang di pelupuk matanya. Sudah terbayang
ketika ia hamil kemudian akan lahirlah seorang anak yang mungil dan ia berharap
anaknya meraih masa depan yang lebih
mapan dan terhormat. Ia ingin anak yang lahir
nanti bukan lagi sebagai penjual jamu, bukan sebagai guru di madrasah, dan kalau lahir bayi laki-laki jangan menjadi
penarik ojek. Kehidupan anaknya harus lebih baik, harus lebih mapan. Harus
mandiri.
Tapi siapa menduga , bahwa
pernikahan itu tidak akan pernah terjadi. Siapa menyangka, bahwa hidup bersama
sebagai suami isteri hanya sebagai mimpi indah yang harus segera berakhir?.
Ketika lelaki itu mengantar penumpang langganannya yang paling setia, di tengah
jalan dihadang tiga pejahat. Lelaki itu tidak berdaya ketika penjahat
yang menghadangnya menghunus belati dan berkali-kali menusuk dadanya,
juga perutnya. Lelaki kelahiran Sumatera
itu tersungkur di tanah dan bersimbah darah kemudian tubuh yang penuh luka-luka
itu dilempar ke pinggir sungai. Esok harinya tubuh yang malang itu sudah hilang. Pasti jenazah yang malang itu dibuang ke
sungai lalu hanyut hingga ke laut dan menjadi santapan ikan-ikan penghuni laut.
Atau jadi santapan buaya yang mengadakan
pesta.
Mbak Retno hanya mampu berdoa,
semoga mayat Bang Fadhil ditemukan orang lalu dimandikan, dikafani, disholatkan
dan diantarkan ke kuburnya dengan iringan talkin dan doa-doa. Mbak Retno hanya berdoa semoga dosa-dosanya
diampuni. Semua amalannya diterima serta arwahnya ditempatkan yang
sebaik-baiknya, yakni di surga.
Biarlah
lelaki itu menjadi penghuni surga dan abadi disana, karena Mbak Retno tahu
pasti lelaki itu mati syahid, karena ia membela kebenaran, karena ia tewas
ketika membasmi kezhaliman. Bukankah Bang Fadhil mati ketika membantu mempertahankan harta benda milik
penumpangnya?.
Surga adalah sebuah tempat di
akhirat yang menjadi idaman setiap manusia dan di dalamnya ada dua mata air
yang memancar. Di tempat itu ada bidadari cantik yang menundukkan kepala, ada
kenderaan yang berpelana dan tubuh pengenderanya selalu harum semerbak seperti
bau kesturi. Di sana
juga banyak buah-buahan seperti kurma dan delima. Di surga ada lautan, ada
lautan susu dan juga lautan madu yang tidak pernah kering. Sungai Jaihan,
Nil dan Furat airnya sungguh jernih
mengalir di tengah-tengah surga. Betapa amat nikmat hidup di sana .
“Biarlah Bang Fadhil menikmati semua
itu. Biarlah ia menikmati semua keindahan itu. Aku akan menyusulnya di hari
nanti.”, Mbak Retno selalu berkata
begitu dalam hatinya. Karena itulah
perempuan itu selalu ingin menjadi muslimah yang baik, sekolahpun ia memilih di
pondok pesantren . Ia bersyukur bisa
menyelesaikan pelajarannya dengan baik meskipun tiap hari harus menempuh jarak
yang jauh,hingga wajahnya hitam. Untunglah sehelai jilbab selalu meneduhi
wajahnya.
Anak-anak yang belajar di pondok pesanten itu pada umumnya adalah
anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Mana ada anak-anak keturunan orang
kaya mau masuk ponpres, pasti mereka memilih sekolah favorit yang biayanya amat
mahal. Padahal di pondok pesantren itu diperoleh pelajaran yang amat bermanfaat
untuk pedoman kehidupan. Disana setiap siswa dibina untuk menjadi manusia yang
bertaqwa. Dan sebagai muslimah yang
bertaqwa, Mbak Retno selalu menjauhi segala larangan dan melaksanakan segala
perintah agama.
Karena iapun ingin menyusul Bang Fadhil dalam surga. Ingin selalu berbuat kebaikan terhadap sesama.
Ia selalu sholat tepat waktu. Ia selalu bersedekah, ia selalu menghadiri majlis
taklim, ia selalu ingin bersalurrahhim, ia tidak pernah melalaikan puasa dan
membayar zakat. Itulah sebabnya ia selalu menyantuni anak yatim meskipun
nilainya amat kecil dan terakhir ia ingin menunaikan ibadah haji. Tuhanpun
mengabulkan semua doa itu. Allah mendengar permohonannya. Tuhan mengabulkan
keinginannya dan kini kakinya terjejak di Madinah dan sekarangpun ia
sedang berbaring dan mimpi indah, mimpi
bertemu dengan Bang Fadhil yang seakan
masih hidup. Semua disaksikan oleh dua ekor semut berwarna hitam, Ummu
Naubah dan Abu Masyghul.
Setelah semua jamaah haji di hotel
itu tertidur lelap, setelah malam larut, barulah perempuan yang berasal dari
keluarga kelas bawah itu memejamkan mata. Sepasang semut hitam itu menyentuh
pipi perempuan itu seakan ingin membelainya, biar ia tidur lelap dan terhindar dari mimpi buruk.
***
Mahluk mungil bernama semut itu amat beda dengan manusia
,semut selalu tahan terhadap rasa kantuk. Dua ekor semut di sisi Mbak Rento
masih merayap perlahan ketika Mbak Retno memejamkan mata dan tidur lelap. Di
manapun, ketika manusia sedang tidur nyenyak dan terbuai mimpi, semut-semut
tetap bekerja keras karena sadar dirinya sebagai koloni yang senantiasa bekerja
keras mengusung makanan atau membuat
sarang.
Ketika itulah, ketika perempuan yang
selama ini hidupnya amat sederhana itu
sedang tidur nyenyak, kedua ekor semut
itu merayap turun dari tempat tidur, dan
merayap hingga ke pintu. Dari celah
pintu kamar di hotel dekat hotel Andalus itu, dua ekor semut itu masih terus
merayap ke kamar hotel lainnya, hingga ke kamar hotel yang dihuni oleh jamaah
haji ONH Plus.
Syukurlah ada sedikit celah di pintu
hingga sepasang semut itu dapat menerobos masuk.
“Malam sudah sangat larut, untuk apa
kita ke kamar ini?,” Ummu Naubah bertanya
kepada semut jantan setelah mereka merayap masuk.
“Banyak yang harus kita lihat,Naubah. Banyak yang ingin kita saksikan.
Bukankah kita adalah mahluk semut yang menjadi saksi bagi orang-orang yang
pergi menunaikan haji?”
Semut betina itu menghentikan
langkah, seperti ragu-ragu. Semut jantan yang sudah jauh ke depan terpaksa
melangkah mundur untuk mengajak sahabatnya masuk.
“Aku lebih ingin keluar hotel ini
dan melihat pemandangan lain!,” semut
betina menolak.
“Esok malam masih ada waktu lagi.
Malam ini kita melihat kamar-kamar yang dihuni oleh orang-orang kaya, apakah
mereka membaca Qur’an atau bertasbih .”
“Pasti mereka berzikir sepanjang
malam!”
“Belum tentu. Orang kaya belum tentu
taat kepada Tuhan. Orang kaya belum tentu bertaqwa. Orang kaya belum tentu
selalu berzikir, sebab waktunya lebih banyak untuk menghitung uang dan kekayaan.”
“Yang pasti mereka tidak bermain
catur di sini. Yang pasti mereka
tidak mau main kartu di Tanah Suci.”
“Makanya
mari kita saksikan sendiri. Mari kita lihat apa yang mereka lakukan di
kamarnya.”
Sesaat
semut betina menekur.
“Ayo kita masuk!,” semut jantan mengajak sahabatnya untuk
masuk ke kamar hotel yang dihuni oleh
jamaah ONH Plus. Tentu saja suasananya
amat berbeda dengan kamar hotel yang dihuni oleh jamaah biasa. Sebab khusus untuk jamaah ONH Plus hanya
berdua menempati satu kamar, hingga bebas mandi, bebas berwudhuk kapan saja,
bebas membaca Qur’an, bebas melakukan sholat tahajud kapan saja. Beda dengan
jamaah biasa yang menghuni kamar hingga enam atau delapan orang yang
masing-masing harus banyak bersabar
diri. Bayangkan bila pagi hari menjelang subuh, masing-masing ingin ke toilet,
sementara tujuh orang lainnya harus menunggu di depan kamar kecil itu. Bayangkan bila salah salah satu jamaah menderita diare dan selalu
buang hajat ke toilet. Bayangkan bila ada yang menderita sembelit atau penyakit
ambeyen sehingga amat lama nongkrong dan jamaah lainnya harus sabar menunggu. Begitu juga dalam hal
alat pendingin udara, ada jamaah yang tidak tahan dengan udara dingin dari AC,
dan ada pula yang sudah terbiasa tidur dengan
kamar yang dilengkapi dengan pengatur suhu udara. Semua harus
mengendalikan sabar diri. Dan terkadang sabar itulah yang tidak terkendali.
Ya, Tuhan. Semut-semut itu tertegun
ketika mereka memasuki kamar hotel yang ditempati oleh jamaah ONH Plus. Hanya
dihuni oleh dua orang dan mereka adalah pasangan suami isteri. Dan malam
itu , ketika Ummu Naubah dan Abu
Masyghul masuk kamar itu, penghuni
kamar itu bukan membaca Qur’an. Mereka bukan bertasbih memuji kebesaran Tuhan.
Mereka bukan berzikir. Mereka bukan melakukan sholat tengah malam. Mereka justru
tidak tidur tetapi menikmati kemesraan sebagaimana layaknya suami isteri, seperti layaknya
seorang suami memberi nafkah batin
kepada isterinya.
“Jangan lakukan hal itu, Mas!,” sang isteri berusaha menepis tangan suaminya
yang membuka kancing-kancing daster sang isteri. Ucapan
itu jelas terdengar oleh Ummu
Naubah dan sahabat di sisinya
“Kenapa?”
“Tempat ini adalah tempat suci,
tidak selayaknya kita melakukannya.”
“Kita adalah suami isteri,sayang. Tidak terlarang melakukan hubungan suami isteri
di sini.”
“Bukankah
ini adalah kota
suci?.”
“Yang tidak boleh kita lakukan
disaat kita sedang berihram. Kita belum memasuki tahapan ihram. Kita masih berada di Madinah
dianjurkan untuk melakukan sholat arbain. Tidak terlarang bagi suami isteri
untuk melakukan hubungan mesra.”
Sang isteri tersenyum. Sepasang semut hitam itu hanya tertegun, bahkan semut betina merasa
malu ketika melihat sang suami melepas pakaian
sang isteri satu persatu.
Semut betina itu memejamkan mata, ketika sang jamaah haji laki-laki
mulai membelai tubuh isterinya,
mengecupnya dengan kasih sayang. Semut
jantan masih sempat mendengar ucapan sang suami berkata kepada isterinya.
“Sudah enam tahun kita kawin, tapi
belum juga mendapatkan anak. Kita sudah cukup berusaha konsultasi dengan dokter
ahli, tapi hasilnya masih sia-sia. Siapa
tahu kemesraan di Tanah Suci ini dapat memberi kita anugerah. Mudah-mudahan
setelah kita menikmati kemesraan di sini
kita akan segera punya anak,”
“Tapi ingat, cukup satu saja, sebab
aku wanita karir. Bagaimana aku harus mengurus banyak anak kalau tiap hari aku
harus di kantor.”, sahut sang isteri pasrah ketika suaminya mendekapnya amat
erat.
“Bukan satu, tapi dua.”
“Dua?. Tidakkah terlalu repot
mengurus dua anak bagi wanita bekerja?”
“Kita cari pembantu. Mudah-mudahan
kita mampu membayar baby sitter.”
“Dua boleh saja, tapi anak kedua
lahir setelah bayi pertama kita berumur lima
tahun.”
“Yang penting anak-anak itu lahir
sebelum kita terlalu tua.”
Sepasang suami isteri itu tersenyum
dan mereka tenggelam dalam kemesraan, tenggelam dalam indahnya bersuami isteri.
Sepasang semut di kamar itu berpaling dan melangkah pergi keluar kamar.
“Naubah,” semut jantan memanggil
sahabatnya.
“Hmmm,” semut betina hanya menyahut dalam gumam
kecil.
“Kapan kita seperti mereka?”
“Kawin, maksudmu?”
“Ya!”
“Tunggu dulu. Ingatlah takdir atas diri mahkluk seperti
kita. Kamu akan segera mati
setelah kita kawin. Kamu akan meninggalkan aku selamanya setelah kita melakukan
perkawinan. Bagaimana diriku di negeri orang?. Mampukah aku bertahan sendiri?.”
Semut jantan itu hanya menghela
nafas panjang. Dua ekor semut itu meninggalkan jamaah haji yang sedang
menikmati kemesraan sebagaimana layaknya suami isteri. Alangkah bahagianya mereka, merencanakan punya anak di Tanah Suci.
Sepasang semut itu merayap lagi, memasuki
kamar demi kamar. Mereka benar-benar menjadi saksi apa yang dilakukan para
jamaah haji di kamarnya. Kesaksian dua ekor semut itu akan benar-benar akurat, karena hewan kecil
itu tidak pernah berbohong.
Di kamar lain, dua ekor semut itu
menemukan sepasang jamaah haji sedang makan sahur, karena esok mereka akan
melakukan puasa sunat. Betapa amat kental ibadah sepasang jamaah haji itu,
mereka melakukan puasa, mereka sudah melaksanakan sholat-sholat sunat, mereka
selalu membaca Qur’an dan semuanya dilakukan dengan ikhlas.
Di kamar lain , dua ekor semut itu
melihat sepasang jamaah haji sedang
bertasbih, sementara di kamar sebelahnya melakukan zikir. Ada lagi jamaah yang
sedang melakukan sholat tahajud di tengah malam yang sepi, ketika para jamaah
tidur pulas di malam yang sepi dan dingin. Ada juga jamaah yang sedang melakukan sholat
hajat karena berkeinginan agar usaha dagangnya berkembang pesat. Ada lagi jamaah yang
melakukan sholat hajat agar anaknya yang sedang sakit diberikan kesembuhan.
Namun di kamar lain, dua ekor semut
itu juga melihat jamaah perempuan yang
sedang meratapi suaminya yang terbaring lemah karena sejak hari pertama hadir
di kota suci
Madinah suaminya langsung jatuh sakit dan terbaring. Belum ada satupun kegiatan
ibadah yang dilakukan suaminya. Tidak
hanya terbaring, tetapi sang suami selalu mengigau agar terhindar dari
pembunuhan.
“Jangan bunuh aku!. Jangan bunuh
aku!,” ucapan itu selalu terdengar
diucapkan lelaki yang terbaring di sisi isterinya.
“Jangan mengigau terus,Pak. Cobalah
ucapkan istighfar agar bapak terhindar dari bayangan buruk!,” sang isteri selalu membujuk.
“Tapi laki-laki itu menuju kemari
dan menghunus rencong. Tutup pintu itu!. Tutup pintu itu agar pembunuh itu
tidak memasuki kamar ini!.”
“Pintu kamar sudah sejak siang tadi
tertutup!”
“Kunci rapat-rapat, agar siapapun tidak dapat masuk kemari!”
“Sudah
sejak tadi pintu ditutup dan terkunci. Tidak satupun orang yang dapat masuk.”
“Kalau
ada orang masuk usir mereka, siram mereka dengan air panas.”
“Tidak
ada siapapun yang masuk ke kamar kita.”
Pintu kamar itu memang sudah
tertutup dan terkunci sejak tadi dan tidak mungkin siapapun yang dapat masuk
kecuali sepasang semut berwarna hitam. Ummu Naubah dan Abu Masyghul sengaja masuk melalui celah jendela dan pasangan suami
isteri itu tidak meyadari kehadiran mereka di kamar itu untuk menyaksikan apa
yang mereka lakukan dan melihat apa yang sedang terjadi.
“Lihat di luar sana ,
ada seseorang yang membawa senjata yang akan menembak aku!” terdengar suara lelaki yang terbaring dan
tampak selalu amat gelisah
“Di luar tidak ada siapapun kecuali
jamaah yang baru melaksanakan sholat sunat.”
“Lihat di sudut sana, ada perempuan membawa racun. Pasti perempuan itu
ingin memberikan racun itu kepadaku.
Perempuan itu pasti ingin membunuhku juga!”
“Tidak
ada perempuan membawa racun di sini. Perempuan itu pulang membawa seuntai tasbih bersama
suaminya. Bukan racun. Tidak ada yang
bermaksud jahat terhadap kita. Semua
yang hadir di sini untuk menunaikan ibadah haji, tidak ada seorangpun yang
bermaksud membunuh.”
Lelaki itu diam sejenak ketika
isterinya membasuh wajahnya dengan air zam-zam, tapi sejenak kemudian lelaki
itu meronta lagi. Lelaki itu gelisah lagi.
“Lihat jauh di sana , anak-anak kecil membawa panah beracun!. Pasti anak-anak itu juga ingin menghabisi aku
dengan parah beracun!”
“Astaga, penyakit apa yang bapak derita
sehingga selalu merasa ada orang-orang yang akan membunuh?”
“Usir jauh-jauh anak itu yang
membawa panah beracun!”
“Anak-anak itu tidak menuju
kemari,Pak. Anak-anak itu adalah keluarga jamaah haji dari Mesir. Orang-orang
Mesir menunaikan ibadah haji selalu membawa anak-anaknya, tapi bukan untuk
bermaksud jahat, bukan untuk membunuh bapak.”
“Tapi mereka akan membunuh aku!”
“Mana mungkin anak-anak melakukan
pembunuhan!.”
Dua ekor semut itu terheran-heran
melihat lelaki yang terbaring dan selalu mengigau, bahwa nyawanya akan dihabisi
oleh orang lain. Di matanya selalu terbayang ada saja orang yang datang ingin
melakukan penganiayaan terhadap dirinya
dan ingin menghabisi nyawanya. Azab
Tuhan sedang turun kepadanya karena dosa-dosanya di masa lalu. Sebab lelaki itu
menunaikan ibadah haji tanpa terlebih dulu meminta ampun dari orang-orang yang
pernah dizhalimi. Manusia selalu tidak
luput dari kekeliruan dan kesalahan dan dosa-dosa itu tidak akan mendapat
pengampunan dari Allah sebelum manusia yang bersangkutan memberinya maaf.
“Pasti ada hal-hal yang tidak beres
dilakukannya ketika masih di tanah air, mungkin di kantornya, mungkin di
sekitar tempat tinggalnya atau di sekitar tempatnya berniaga.” , terdengar
suara semut jantan.
“Untuk mendapatkan harta atau
jabatan terkadang manusia selalu nekad berbuat zhalim, menempuh jalan halus
untuk melumpuhkan pesaingnya. Dukun selalu berperan dalam merebut jabatan” sahut semut betina dan masih memperhatikan
lelaki yang sepanjang waktu terus gelisah dan isterinya melakukan sholat hajat agar Tuhan
memberi petunjuk, derita apa yang sedang dihadapi suaminya.
Petunjuk Tuhan itu memang akhirnya
datang, meskipun amat lama lelaki itu mengakui terang terang akan dosanya
dimasa lalu.
“Bapak selalu merasa takut terhadap seseorang akan membunuh bapak,” ujar sang isteri selesai sholat hajat dua rakaat.
“Ya, di sini banyak orang mengintai
aku untuk menghabisi nyawaku.”
“Sama sekali tidak ada,Pak. Semua
orang di sini hanya berniat untuk
beribadah, tidak ada yang bermaksud jahat , apa lagi untuk membunuh.”
“Ada !. Aku selalu melihat sendiri mereka membawa
senjata, ada yang membawa parang, tombak, kapak, senjata api dan panah
beracun.”
“Bapak sedang menghadapi godaan iblis. Bapak sedang menghadapi azab Tuhan.
Akuilah terus terang, adakah bapak menyakiti hati orang lain?. Pernahkah bapak
menzhalimi orang lain?”
“Tidak
pernah!”
“Pernah
bapak menyakiti hati tetangga kita?”
“Demi
Tuhan, tidak!”
“Pernahkah bapak menyakiti hati
salah satu kerabat dan famili?”
“Sama sekali tidak pernah!”
“Menyakiti kawan sekantor juga tidak
pernah?”
“Rasanya tidak … tidak pernah….,” sang suami menyahut dengan gugup.
“Sungguh-sungguh
tidak pernah?” desak sang istri menatap suaminya amat tajam. ”Aku saja kalau
memang ada!”
“Tidak!”
“Jangan bapak berbohong. Syetan dan
iblis akan menyiksa bapak kalau bapak terus berbohong. Azab Tuhan akan menyiksa
bapak. Bukankah bapak sudah dua tahun naik pangkat menjabat Pemimpin
Proyek. Adakah seseorang yang merasa
sakit hati bapak menduduki jabatan itu?”
‘Tidak. Rasanya tidak ada!”
“Benar tidak ada?”
“Sungguh?”
“Sungguh mati.”
“Jangan bapak berbohong. Kita sedang berada di Tanah Suci, kita tidak
boleh berbohong di sini. Tuhan dan
malaikat akan memperhatikan sikap bapak.
Kalau bapak berbohong, balasan
Tuhan akan datang. Azab Tuhan sangat
pedih.”
Ucapan itu membuat sang suami merasa takut.
“Adakah seseorang yang merasa sakit
hati ketika bapak dilantik menjadi Pimpro
di kantor bapak?”
Sesaat lelaki yang selalu gelisah
itu memikir-mikir.
“Akuilah terus terang!, ” desak sang
istri.
“Rasanya memang ada…”, suara lelaki
itu lirih.
“Siapa?”
Sesaat lelaki yang terbaring dan
selalu merasa ketakutan dan senantiasa gelisah itu terdiam.
Lelaki itu seperti mengingat
sesuatu.
“Siapa yang merasa kecewa bapak naik
pangkat?”, desak isterinya lagi.
“Rasanya seperti Pak Arif.”
“Siapa sebenarnya Pak Arif itu?. Rekan sekerja bapak?”
“Ya!”
“Apakah Pak Arif lebih senior dari
bapak sendiri?”
“Ya!”
“Kenapa bukan Pak Arif yang menjadi
Pimpro?. Kenapa bapak yang akhirnya menjabat kedudukan itu?”
Pertanyaan itu tidak mampu dijawab lelaki
itu. Istrinya terus menyelidik.
“Hidup kita harus bersih dari dosa
,Pak. Harta yang dibawa pulang untuk anak istri juga harus terhindar dari hal-hal subhat. Jangan ada setetespun barang
haram yang dinikmati anak istri!”
Ucapan itu hanya membuat lelaki itu
termangu. Isterinya mengusap rambutnya dengan kasih sayang.
“Saya berharap bapak dapat mengingat
masa silam. Berapa orangkah yang dipromosikan untuk memangku jabatan Pimpro di
kantor bapak?”
“Dua!”
“Bapak dan Pak Arif. Begitukah?”
Lelaki itu tidak mampu menyahut,
hanya mengangguk kecil.
“Dalam hal pengalaman, Pak Arif
lebih matang , begitukah?”, sang istri bagaikan seorang hakim yang ingin
mendapatkan bukti kesalahan seorang tersangka.
Sekali lagi lelaki itu mengangguk.
“Kenapa yang naik pangkat bukan Pak
Arif?. Kenapa bapak yang menjadi Pimpro, sementara Pak Arif lebih senior?”
“Pak Arif tiba-tiba sakit dan muntah
darah.”
“Sakit dengan tiba-tiba biasanya
disebabkan hal-hal yang tidak wajar.
Bisa saja disebabkan perbuatan jahil, bisa juga akibat perbuatan zhalim
atau cemburu. Apa kata dokter yang memeriksa Pak Arif?.”
“Penyakitnya tidak ada!”
“Kalau begitu Pak Arif sakit karena
ulah manusia.”
“Ya!”
“Siapa manusia yang membuat ia sakit?”
“Entahlah!”
“Adakah seseorang yang menjadi pesaingnya
dalam jabatan itu?”
“Mungkin sekali begitu”
“Kalau demikian bapaklah yang
berbuat begitu. Bapak berkali-kali ke dukun bukan untuk berobat, tapi
untuk membuat Pak Arif sakit, hingga bapaklah
yang akhirnya menjabat Pimpro karena kursi di sana empuk.”
Lelaki yang terbaring itu tidak
mampu menyahut. Ia memang telah melakukan kesalahan besar. Bila ia memangku
jabatan Pemimpin Proyek di instansinya yang banyak duitnya telah ditempuh
dengan cara yang amat keji. Ia telah pergi ke dukun dan meminta bantuan sang
paranormal agar pesaingnya dilumpuhkan, agar tidak berdaya lagi. Pak Arif akhirnya jatuh sakit amat tiba-tiba.
Ia muntah darah dan beberapa minggu tingggal di rumah sakit tanpa diketahui
penyakitnya. Iapun gugur sebagai calon Pimpro.
“Kalau demikian, bapak telah menzhalimi
orang lain. Bapak harus mohon maaf kepada pak Arif.”. Sang
isteri memberikan telepon genggamnya kepada suaminya.
“Segeralah
mohon keampunan agar bapak terhindar dari godaan syetan dan jin. Kalau bapak
tidak segera mohon maaf, bapak akan celaka di Tanah Suci. Azab Tuhan akan terus
berlangsung.”
Lelaki
itu menolak telepon genggam yang
diberikan istrinya. Ia menggeleng dan penyesalan jelas tergambar di wajahnya.
“Silahkan
bapak mohon mohon maaf kepada Pak Arif. Kasihan ia sangat menderita karena kezhaliman
yang dilakukan temannya sekantonya sendiri.”
Istrinya tetap memberikan telepon genggamnya.
“Ayo bicaralah dengan Pak Arif. Berterus teranglah dan mohon keampunan!”
“Aku tidak dapat berbicara dengannya!”
“Biarlah
saya yang berbicara atas nama diri bapak
untuk mohon ampun!”
“Pak
Arif tidak dapat dihubungi lagi!”
“Kenapa?. Karena ia sudah
dipindahkan ke Kalimantan atau Papua?”
“Tidak!”
“Lalu dimana Pak Arif sekarang?.”
“Pak Arif sudah meninggal”
“Ya,ampun. Ya Allah, ampuni dosa suamiku!”
Perempuan itu amat kaget, jiwanya
amat terpukul. Perempuan itu tidak menduga, bahwa suaminya telah melakukan kezhaliman
yang amat besar. Suaminya telah melakukan perbuatan syirik yang sukar diampuni
oleh Allah. Suami perempuan itu telah menyebabkan pesaing dalam jabatannya sakit dan akhirnya
meninggal. Sungguh tidak terduga, suaminya telah menyebabkan orang lain menemui
kematian karena persaingan jabatan.
Lelaki itu telah menjadi pembunuh. Pantas selama di Madinah , ia
selalu merasa seperti dikejar-kejar orang lain yang akan membunuhnya. Tidak
satupun ibadah yang dapat dilakukan.
Bahkan sholatpun sama sekali tidak mampu dilakukannya. Lalu setelah tiba
waktunya jamaah berangkat ke Makkah, tidak ada ibadah yang dilakukannya di sana . Kalaupun ia
melakukan tawaf tujuh kali keliling ka’bah semua dengan membayar upah. Sa’i
juga begitu. Ketika waktu wuquf tiba, ia tetap terbaring dalam mobil ambulans
karena ia tidak mampu berdiri. Bahkan azab Tuhan memang benar-benar dialaminya ketika ia berada di
Tanah Suci, sampai akhirnya ia menemui kematian ketika melakukan ibadah
pelontaran jamrah. Lelaki itu mati bagaikan kecoa yang terpijak oleh binatang
ternak. Betapa amat hina.
Sepasang semut hitam itu tertegun
keheranan mendengar semua pengakuan lelaki yang terbaring dan selalu mengigau
itu.
“Demikianlah tingkah manusia, hanya
karena menginginkan jabatan telah berbuat zhalim, menyingkirkan pesaingnya
hingga menemui kematian,” ujar semut
jantan.
“Hal seperti itulah yang tidak pernah ada
dalam dunnia kehidupan semut,”
semut betina memberikan komentar
“Kezhaliman
selalu dilakukan manusia. Juga kebencian
dan permusuhan. Dajjal sudah merajalela dimana-mana!”
Selalu terjadi dimana-mana, karena
persaingan dagang, terkadang manusia nekad melakukan hal-hal yang keji. Seorang
pengusaha restoran pergi ke paranormal
dan meminta bantuan agar restoran di sebelahnya tidak didatangi pembeli,
lalu makanan yang terhidang selalu basi atau ada bangkai kecoa dalam makanan itu. Pedagang sembako juga
begitu, beras yang dijual selalu berbau minyak tanah. Pedagang bakso,
menyebarkan isu bahwa pedagang bakso lainnya seolah-olah diberi bumbu bangkai bayi manusia atau
bangkai tikus.
Sembilan hari bermukim di Madinah
bagi Mbak Rento bagaikan mendapatkan rahmat.
Ia mampu menyelesaikan berbagai sholat sunat, iapun masih sempat menyelesaikan
empat puluh satu kali sholat fardhu
berjamaah. Ia merasa bahagia dapat berziarah
ke maqam Baqi’ tempat keluarga Rasulullah dimakamkan, juga para syuhada yang
gugur di peperangan Uhud, sebuah peperangan paling dahsyat ketika nabi
menyebarkan ajaran Islam.
***
Pada perang Uhud itulah banyak para syuhada gugur terkena
anak panah musuh-musuh Islam. Bahkan pada perang Uhud itulah Nabi Muhammad
sendiri ikut terluka. Rasulullah memimpin lansung peperangan itu dan menderita
luka-luka di kepala dan wajahnya. Otot pangkal pahanya hampir terputus,
bibirnya robek dan nabi terperosok ke dalam sebuah lubang yang cukup dalam
hingga akhirnya beliau pingsan Berbahagialah dua ekor semut itu ikut bersama Mbak Retno berziarah di
Makam Baqi dan juga ke Jabal Uhud. Sepasang
semut itu amat berhati-hati bersembunyi di balik selendang Mbak Retno Ramadhani ketika
berada di Maqam Baqi. Ratusan jamaah
lainnya juga melakukan ziarah yang sama.
Sepasang semut itu tertegun ketika
melihat ribuan makam berjejer dengan rapi tanpa diteduhi pohon kamboja, bahkan
tidak satupun terlihat batu nisan. Setiap makam di Baqi hanya diberi tanda
sebuah batu sebesar tinju, tidak
dibubuhi nama. Meskipun mereka yang dimakamkan di tempat itu adalah para syuhada yang gugur pada pertempuran Uhud. Sama
sekali tidak ada keistimewaan baginya,
tidak ada tempat istimewa bagi para pahlawan yang menegakkan Islam. Juga sahabat dan keluarga serta isteri-isteri
Nabi diperlakukan sama, tidak ada nisan khusus. Tidak seperti di tanah air, kalau
yang meninggal dari kalangan masyarakat
mampu, pasti kuburnya diberi nisan yang megah.
Di
makam Baqi inilah dikebumikan istri-istri Rasulullah, seperti Siti Aisyah binti
Abubakar Shidiq, Siti Saudah binti Zam’ah Al Amiriyyah, Zainab binti Khuzaimah dan Hubaibah Ramlah binti Abu Sufyan. Di makam ini pula
dikuburkan puteri-puteri Rasul, yakni Ummu Kultsum, Ruqoyyah dan Zainab. Paman Rasul Abbas bin Abdul Muthalib juga dikuburkan di makam ini..
Ribuan burung-burung merpati mencari
makanan di makam Baqi, mereka terbang melayang-layang, lalu sekejap
kemudian turun di tanah, di antara
gundukan makam dan mencari makanan. Karena itulah dua ekor semut yang selalu ikut bersama Mbak
Retno amat hati-hati bersembunyi di balik selendangnya karena tidak ingin
terlihat oleh burung-burung merpati yang ribuan banyaknya. Sekali semut-semut itu terlihat oleh burung merpati,
pasti akan segera disambar, pasti mereka akan jadi santapan paling enak.
Sepasang semut itu amat
bersyukur ketika mereka ikut ziarah
ke masjid Quba, sebuah masjid yang pertama sekali dibangun oleh Rasulullah
ketika dalam perjalanan hijrah ke Makkah . Masjid itu dibangun atas dasar taqwa
dan Rasulullah sendiri ikut mengangkat
batu-batu besar sehingga tubuh beliau miring ketika berjalan karena
batu-batu yang diangkatnya cukup berat.
Dua ekor semut itupun masih merayap di selendang Mbak Retno ketika
berziarah di Masjid Al-Jum’ah dan di
masjid inilah pertama sekali Rasulullah melaksanakan sholat jum’at bersama
pengikutnya setelah hijrah. Masjid
Qiblatain juga tidak luput dikunjungi
Mbak Retno dan dua ekor semut itu tetap menyaksikannnya.
Sungguh suatu hal yang membuat
setiap orang yang menjejakkan kakinya di Tanah Suci tercengang ketika melihat lahan pertanian yang amat luas di negeri Arab
yang selama ini dikenal orang sebagai tempat yang tandus dan gersang serta hamparan
gurun pasir yang amat luas. Di negeri ini
ribuan hektar lahan telah disulap menjadi pusat pertanian yang terdiri dari
kebun anggur, kurma, jeruk lemon, sankis,
zaitun, delima, pisang , aberikos, pear, jeruk sitrun , apel dan banyak lagi. Buah labu, jagung, lobak,
wijen, cabe, kacang tanah , buncis, kol, tebu dan bawang juga tumbuh di kawasan
yang dulu merupakan gurun pasir yang
gersang. Semua sudah berubah. Arab Saudi kini adalah negara kaya dan
bergelar negeri Petro Dolar.
***
Lantunan kalimah talbiah terdengar sepanjang jalan dari Masjid
Bir Ali setelah para jamaah mengenakan
pakaian ihram yang serba putih dan sama sekali tidak mengenakan pakaian yang
berjahit. Bahkan ribuan lelaki yang berpakaian ihram sama sekali tidak
mengenakan pakaian dalam. Justru itulah yang berat dilaksanakan oleh setiap jamaah lelaki, sebab tubuh mereka hanya ditutupi dua helai pakaian ihram , tidak diperkenankan menutup
kepala dan tidak diperkenankan mencabut tetumbuhan, juga amat dilarang membunuh
binatang. Mereka juga dilarang mencukur
rambut atau bulu yang tumbuh di badan. Bahkan memakai minyak wangi sama sekali sangat dilarang. Betapa amat sukar
menjaga aurat lelaki. Namun
yang sangat dipantangkan adalah bergaul dengan istri. Karena itulah setiap
jamaah haji yang berpasangan dengan istrinya
harus berusaha menjauhi hal-hal
yang mengundang nafsu syahwat. Bila
larangan itu dilanggar, maka jamaah yang
melakukannya harus membayar dam atau denda yang amat berat.
Seorang
lelaki berkumis tampak sangat kewalahan
mengenakan pakaian ihram lalu setelah
dengan susah payah lelaki itu
berhasil melilitkan pakaian ihram di tubuhnya, tapi angin selalu membuat
pakaian ihram itu berkibar dan terlihatlah auratnya. Angin tidak berhembus,
tapi ujung-ujung pakaian ihram itu
selalu berkibar sehingga auratnya tidak tertutupi. Ternyata yang mengibarkan
ujung pakaian ihram itu bukanlah angin, tapi iblis. Sebab iblis ingin mempermalukan
lelaki berkumis itu di Tanah Suci, ketika ia sedang berihram. Hal itu terjadi
karena hidup lelaki berkumis itu memang penuh dosa, ketika di Tanah Air ia
selalu jajan, selalu menikmati kemesraan bersama perempuan lain tanpa
pernikahan .
“Labbaikallahumma
labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wan ni’mata laka wal
mulka, laa syariika laka,” suara itu bergema dimana-mana. Terdengar amat syahdu
sepanjang perjalanan itu.
Rasanya
setiap jamaah ingin cepat-cepat sampai di Makkah lalu melakukan tawaf selamat
datang dan umroh. Betapa semua jamaah
amat merindukan tawaf dan sholat di Masjidil Haram yang pahalanya dilipat gandakan Allah seratus ribu
kali. Tidak satupun jamaah yang ngobrol, tidak satupun jamaah yang melakukan
aktivitas lain kecuali membaca talbiah dan doa-doa. Bila ada jamaah yang tidur
melulu dalam perjalanan dari Bir Ali menuju Makkah, karena hal itu merupakan
hukuman Allah terhadap dirinya.. Tentu
saja balasan Tuhan datang kepadanya, karena
selama di tanah air, dia adalah anggota legislatif yang selalu ngorok
kalau menghadiri sidang. Atau lebih banyak absen pada berbagai sidang ketimbang
hadir, namun honornya tetap penuh.
Dalam
rombongan Mbak Retno juga ada seorang jamaah laki-laki yang sejak berangkat
dari Bir Ali berkali-kali menguap terus, lalu tidur lelap dan ngorok, sementara
jamaah lainnya melantunkan kalimah-kalimah
talbiah tanpa berhenti. Pantaslah jamaah itu tidur terus dan ngorok
karena ia menunaikan ibadah haji dibiayai sepenuhnya oleh sebuah BUMN tempatnya
bekeja. Lelaki itu tidak satu senpun mengeluarkan duit untuk berangkat ke Tanah
Suci. Selama di Madinah dan Makkah,
aktifitasnya hanya tidur melalu, juga di Arafah dan di Mina. Sia-sia saja BUMN
itu membiayai keberangkatannya ke Tanah Suci. Akan lebih bermanfaat bila BUMN
itu membantu pembangunan sebuah madrasah karena amat banyak bocah-bocah muslim
ketiadaan biaya untuk belajar.
Sepasang bibir tipis Mbak
Retno juga tidak henti-hentinya
melantunkan kalimat-kalimat talbiah.
Ummu
Naubah sengaja keluar dari tempat
persembunyiannya tanpa rasa takut lagi, karena setiap jamaah yang sedang
berihram dilarang membunuh binatang dan dilarang mencabut pepohonan.
Abu Masyghul juga menampakkan
dirinya ketika bis besar itu sudah
mendekati kota Makkah. Para jamaah yang berpakaian
serba putih sudah memadati kota Makkah.
Mbak
Retno melihat dua ekor semut di bajunya dan ingin menepisnya. Ia tidak sadar,
bahwa semut itu sudah bersamanya sejak dari asrama haji di tanah air, sejak
berada di pesawat, hingga ke Bandara King Abdul Aziz di Jeddah, hingga ke Masjid Nabawi, hingga ke
Makam Baqi, bahkan hingga bis besar itu memasuki kota Makkah.
“Jangan
tepiskan semut itu! Jangan bunuh dia!,” malaikat memberi peringatan kepada Mbak Retno. Barulah
perempuan itu sadar, bahwa saat jamaah haji melakukan ihram tidak diperkenankan membunuh binatang.
Suara itupun terdengar lagi, bahwa Nabi Sulaimanpun sangat menghormati barisan
semut yang sedang lewat dan bersama pasukannya dan Nabi Sulaiman berhenti seketika. Bahkan Nabi
Sulaimanpun tertawa melihat semut-semut itu.
Tidak hanya itu yang diucapkan malaikat itu, Mbak Retno juga diingatkan,
bahwa semut-semut itu ingin menyaksikan perjalanan ibadahnya.
Mbak Retno mengucap istighfar memohon keampunan. Syukurlah tangannya
tidak sempat menepiskan semut-semut itu. Perempuan dari keturunan keluarga yang
hidupnya itu tersenyum lagi ketika mendengar bisikan
malaikat , bahwa dua ekor semut itu sudah menyertainya sejak ia masih di rumah. Bahkan
hubungannya yang amat erat dengan almarhum lelaki kelahiran Sumatera itu sudah sering dipantau semut-semut itu. Semua
aktivitasnya di rumah yang dihuninya selalu disaksikan semut-semut itu. Juga
ketika lelaki kelahiran Sumatera itu melingkarkan seuntai kalung yang dihiasi
delima merah yang tetap melingkar di lehernya dan sesekali Mbak Rento
menyentuhnya,apalagi kalau Mbak Retno Ramadhani merindukan lelaki itu.
Semut-semut itu seakan mendapat
perlindungan dan aman sekarang. Seenaknya ia berada di ujung baju Mbak Retno
ketika melakukan tawaf tujuh kali keliling Ka’bah. Dua ekor semut itu juga
seenaknya bergantung di selendang perempuan itu ketika melakukan sholat dua rakaat di Hijir
Ismail atau di Makam Ibrahim. Dua ekor semut itu seenaknya pula bergayutan di
rambut Mbak Retno ketika sa’i, juga
ketika minum air zam-zam
“Alhamdulillah, kita bagaikan
meneguk air surga!,” cetus Ummu Naubah sesaat setelah ikut-ikutan meneguk air
zam-zam padahal hanya beberapa tetes saja. Terasa amat nikmat, terasa amat
sejuk, terasa hingga ke seluruh tubuh.
Semut-semut itu seperti mendapat kekuatan baru untuk bertahan hidup selama
menjadi tamu Allah di Makkah, padahal udara teramat panas.
“Tuhan selalu melindungi kita,”
sahut Abu Masyghul ikut bersyukur. “Aku berharap setelah ini kita dapat
kawin,sayang!”. Semut jantan itu
menyentuh pundak pasangannya dan membelainya dengan kasih sayang. Sudah
sangat lama jalinan cinta di antara kedua hewan kecil itu terjalin. Sudah amat sering tangan semut jantan itu
membelai tubuh kekasihnya dengan penuh kasih sayang. Seakan mereka tidak pernah
berpisah sedetikpun. Mereka selalu bersama-sama.
“Jangan
dulu!”, sela semut betina.
“Apa
lagi yang harus ditunggu? Kita sudah
menyaksikan Mbak Retno sholat di masjid Nabawi, kita sudah menyaksikan ia ziarah
ke Jabal Uhud dan ke Makam Baqi. Kita sudah menyaksikan Mbak Retno tawaf mengelilingi Ka’bah dan meneguk air
zam-zam!. Kita juga sudah ikut menikmati sejuknya air zam-zam.”
“Masih banyak lagi yang harus dilakukan Mbak Retno. Prosesi ibadah haji
masih sangat panjang. Bukankah haji itu diperoleh di Arafah pada saat wuquf
nanti?”
Sesaat semut jantan itu termenung. Sudah amat lama ia menantikan saat
bahagia, mengawini Ummu Naubah. Ia
seakan lupa akan kodrat yang diturunkan Tuhan, bahwa setiap semut jantan akan
mati sesaat setelah kawin dan semut betina akan jadi ratu yang pekerjaannya
hanya bertelur. Dalam waktu hanya
beberapa hari semut betina yang sudah menjadi ratu akan mampu memproduksi 50.000 telur.
“Ingatlah,
bahwa perkawinan memang sesuatu yang diinginkan setiap mahluk. Perkawinan
adalah sesesuatu yang diidamkan manusia dan juga mahluk lain, juga mahluk semut
seperti kita. Tapi ingat kodrat mahluk semut seperti kita, jenis jantan akan segera mati setelah perkawinan
itu berlangsung.”
Sudah amat sering semut betina mengingatkan hal itu kepada pasangannya
sebab ia tidak ingin kehilangan Abu Masyghul.
Semut jantan itu termenung lagi
sesaat. Ia ingin segera kawin dan menikmati kebahagiaan, tapi jauh di dasar
hatinya ia ingin hidup lebih lama seperti manusia. Semut jantan itu hanya menghela nafas panjang.
Bagi semut jantan, kawin hanya kebahagian sesaat lalu mati. Kawin berarti
adalah kematian. Alangkah tragisnya nasib semut..
Kota Makkah tidak pernah sepi, tidak
pernah tidur. Tiap saat jamaah terus bertambah dari segala penjuru dunia.
Masjidil Haram memang tidak pernah ditutup. Pintu masjid itu
sepanjang waktu tetap terbuka. Tawaf
dilakukan orang pada pagi hari, pada siang hari, ketika matahari terbenam atau
ketika malam datang. Malampun tidak pernah gelap di sekitar masjid itu karena
lampu-lampu yang gemerlapan menerangi
jamaah yang melakukan tawaf kemudian sa’i dan minum air zam-zam. Di Masjidil
Haram ini jamaah tidak hanya tawaf, tapi juga membaca Qur’an, bertasbih, zikir
dan mendengar ceramah tentang
Islam.
Hanya ketika terdengar azan sesaat kemudian
orang-orang yang melakukan tawaf atau sa’i
mendadak berhenti lalu menyusun syaf untuk melaksanakan sholat fardhu. Semua
memahami aturan itu, semua tertib. Semua merasa bersaudara dan semua merasa
memiliki harga diri dan martabat yang sama.
Menteripun sama-sama bersujud menghadap ka’bah. Para ilmuwan yang
menyandang gelar dokter atau Phd, juga ikut bersimpuh di sini.
Usai
sholat Isa, Mbak Retno tidak langsung pulang, tetapi ia membaca Qur’an hampir
satu juz, hingga matanya hampir terpejam
karena lelah dan ngantuk. Itulah sebabnya ketika masuk di kamarnya di hotel, ia
langssung tidur dan lelap. Diam-diam dua ekor semut hitam yang selalu menyaksikan
semua gerak Mbak Retno di sekitar Ka’bah, perlahan-lahan merayap keluar.
Sepasang semut itu merayap hingga melewati pintu, hingga ke kamar hotel yang
ditempati oleh jamaah ONH Plus.
“Astaghfirullah,” Ummu Naubah mengucap istighfar ketika
memasuki kamar itu ternyata penghuni
kamar itu bukan berzikir atau
bertasbih, tetapi sedang berusaha untuk melakukan hubungan suami istri.
“Kenapa,Naubah?. Apa yang kamu lihat?,”
tanya semut jantan kepada sahabatnya.
“Mereka sedang melakukan sesuatu yang tidak pantas!”, Ummu Naubah mundur
beberapa langkah karena tidak ingin menyaksikan apa yang dilakukan oleh pasangan
suami istri di kamar itu.
“Mereka adalah suami istri!”
“Benar, mereka adalah suami istri. Mereka lupa, bahwa suami istri tidak boleh berhubungan badan
pada saaat sedang ihram!”
Semut jantan itu manggut-manggut
dan menyadari, bahwa setiap jamaah dilarang melakukan berhubungan badan
meskipun dengan istrinya sendiri pada
saat sedang berihram. Ada aturan
tertentu, ada waktu-waktu tertentu seorang suami boleh memberikan nafkah batin kepada istrinya.
Semut betina mundur beberapa langkah lagi, tapi
justru semut jantan yang maju ke depan,
untuk menyaksikan lebih dekat apa yang sedang dilakukan jamaah ONH Plus yang
sedang berihram. Sang lelaki memang tidak mampu mengendalikan syahwatnya
dan tidak pernah mendengar ceramah di majlis taklim. Bahkan ketika akan
berangkat ke tanah suci, lelaki itu tidak sempat mengikuti bimbingan perjalanan
haji karena kesibukannya mengurus perusahaan properti yang dimiliknya
diberbagai kota .
Apalagi perusahaannya sedang menghadapi kasus tanah dengan sekelompok warga
yang memiliki sertifikat kepemilikan tanah itu. Warga menggugat perusahaan itu
ke pengadilan, namun lelaki itu berusaha menyuap pihak pengadilan untuk
memenangkan kasus itu.
Nafsu berahinya memuncak ketika mereka
baru tiba di Makkah dan masih mengenakan pakaian ihram. Ia berusaha membelai istrinya yang memang
cantik dan masih amat muda.
“Jangan!. Jangan lakukan itu!,” sang istri berusaha mengelak dan menepis
tangan suaminya yang membelai tubuhnya.
“Aku sangat menginginkannya,sayang!”
“Tapi kita tidak boleh melakukannya
sekarang. Ingat, kita sedang berihram,” sang istri berusaha mengingatkan. Sebab sang istri
selalu menghadiri majlis taklim, sebab
sebelum keberangkatannya ke tanah suci sang istri selama 4 bulan ikut bimbingan
haji. Ia meronta ketika suaminya berusaha
membelai tubuhnya, ketika suaminya memeluknya dan memberinya ciuman. Ia
mengelak ketika suaminya berusaha membuka pakaiannya.
“Jangan,Bang! Jangan!,”
sang istri tetap saja meronta dan menghindar.
“Jangan kecewakan aku malam ini. Aku
sangat menghendakinya!”
“Tidak!. Dosanya sangat besar!”
“Tidak ada orang lain di kamar ini.”
“Tapi Tuhan selalu melihat kita. Malaikat ada di sekitar sini. Manusia memang tidak melihat
kita melakukan hal itu, tapi Tuhan dan malaikat ada dimana-mana.”
“Lupakan
tentang dosa. Lupakan tentang malaikat!,”
“Kita akan mendapat hukuman berat kalau kita melakukannya.”
“Hukuman
apa?”
“Kita harus membayar dam!”
“Apa itu dam?” tanya sang suami masih berusaha membuka
busana istrinya yang memang cantik dan bertubuh padat.
“Kita harus membayar denda.”
“Denda macam apa?. Uang?. Kita mampu
membayarnya.”
“Kita berdua harus membayar kifarat
yang berat. Kita harus menyembelih seekor onta
atau lembu.”
“Onta banyak di sini. Kita akan
membelinya dan disembelih. Selesai bukan?”
“Sebaiknya kita tidak melakukannya.”
“Aku sangat menginginkannya,sayang,” sang suami tetap membelai tubuh isterinya.
“Aku suamimu, tidak bolehkah suami bergaul intiem dengn istrinya sendiri?”
“Tunggulah sampai esok, sampai kita
melakukan tawaf, sa’i dan tahalul. Kita bebas untuk melakukannya setelah itu.”
“Aku tidak sanggup menanti sampai besok.”
”Kalau
kita melakukannya sekarang, aku khawatir kita lalai membayar dam, Aku takut
kita lalai menyembelih seekor unta.”
”Bagaimana
kalau kita lalai?”
”Kita harus menggantinya dengan tujuh ekor
kambing”
”Kalau hal itu juga lalai?”
”Kita
harus harus puasa.”
“Kalau
tidak mampu berpuasa?”
“Kita
dapat menggantinya dengan memberi makan anak-anak yatim piatu atau fakir miskin.”
“Bagaimana
kalau hal itu juga tidak dapat dilakukan?.”
Lelaki
itu tetap berhasrat untuk melakukan hubungan badan dengan istrinya. Hasratnya
sudah sangat memuncak. Ia tidak mampu mengendalikan syahwatnya yang sudah
berapi-api. Ia sudah tidak mampu mengendalikan darah lelaki yang sudah
berkobar-kobar. Lelaki itu berdalih akan
membayar dam dengan menyembelih onta
atau memberi makan anak yatim selama beberapa waktu. Padahal lelaki itu sedang menghadapi
permasalahan dengan perusahaan properti yang dimilikinya. Kredit bank atas nama
perusahaan milik lelaki itu tidak terbayar, bahkan tanah seluas l5 hektar yang
akan dijadikan perumahan sudah disita oleh bank karena kredit itu macet.
Perusahaan milik lelaki itu memang sedang terancam colleps. Terancam
gulung tikar. Bila dalam waktu beberapa
minggu kredit bank tidak dapat diselesaikan, pasti asset lainnya milik lelaki itu akan disita. Bahkan mobil
mulus yang selalu dikenderai istrinya juga sudah dijadikan agunan untuk
mendapat kredit baru.
Nafsu yang bergelora dalam diri
lelaki pengusaha properti itu memang
sudah memuncak, seperti ombak samudera. Apalagi lelaki itu adalah
seseorang yang sudah terbiasa menggunakan obat-obat yang mengandung ginseng dan
ramuan China
untuk ketahanan seksual.
Pakaian ihram yang melekat pada diri
lelaki itu akhirnya ditanggalkan dan dibiarkan jatuh di lantai. Lelaki itu
benar-benar tidak mampu mengendalikan syahwatnya yang sudah berapi-api. Apa
lagi lelaki itu selalu menelan pil perkasa yang dibelinya dari seorang turis
berasal dari Taiwan ..
Istrinya menangis ketika hubungan
suami istri itu berlangsung. Air matanya
berderi-derai membasahi pipinya, membentuk sebuah anak sungai.
“Jangan menangis,sayang. Kita adalah
suami istri yang syah melakukan hubungan badan kapan saja.”
“Tapi sia-sia saja perjalanan kita
ke Tanah Suci.”
“Kenapa
sia-sia?”
“Karena kita telah melanggar larangan yang amat berat.”
“Tahun
depan kita berangkat lagi, untuk memperbaiki kesalahan kita.”
“Tapi kita harus membayar dam dengan segera.”
“Dengan menyembelih seekor onta atau sapi?”
“Ya!”
“Mungkin aku tidak punya uang.
Perusahaan kita sedang dililit kredit yang tidak terbayar.”
“Kita harus menggantinya dengan berpuasa”
”Istrikah
yang harus berpuasa?”
“Tentu
saja kita berdua yang harus melakukannya.”
“Kita
ganti saja dengan uang, dengan memberi makan anak-anak yatim!”
“Bayarlah
secepatnya agar kita terhindar dari dosa.”
“Secepatnya?. Kita tidak punya uang
yang cukup pada saat ini. Denda itu kita bayar di tanah air saja nanti.”
“Tidak boleh seperti itu!”
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan
tentang dosa. Kita masih muda, kita
belum menjadi nenek-nenek. Kita akan menyelesaikan semuanya setelah kita pulang
nanti!”
Air mata sang istri berderai-derai
bagaikan hujan lebat. Semut jantan yang
sedang merayap di lantai hotel itu tidak
sanggup melihat hujan air mata di pipi perempuan itu. Ia menemui semut betina yang menunggu di
sela-sela pintu kamar.
“Bagaimana jadinya?,” Ummu Naunah
ingin tahu.
“Dosa itu benar-benar terjadi! Suaminya
menolak membayar dam.”
“Mereka
berhubungan badan meskipun sedang berihram?”
“Ya!”
“Kamu melihatnya?”
“Ya!”
“Kamu tidak merasa malu dan ngeri?”
“Aku
hanya ingin tahu sampai dimana manusia berbuat dosa!”
“Istrinya tidak berusaha menolak?.
Padahal istrinya tampak alim dan sepertinya selalu menghadiri majlis taklim.”
“Istrinya memang berusaha mengelak,
berusaha menepis.”
“Tidakkah istrinya berusaha keluar
kamar?”
“Kamar memang sudah dikunci
suaminya. Istrinya tidak berdaya dan dosa yang amat besar itupun akhirnya
terjadi.”
“Mereka berdua terbenam dalam dosa
yang sukar untuk ditebus. Sia-sia
saja perjalanan mereka ke Tanah Suci. Percuma
saja mereka membuang biaya.”
Semut betina itu tidak mampu
membendung air mata. Semut betina itu menangis. Sebagai betina ia memahami kelemahan
kaum perempuan. Semua perempuan selalu
tidak berdaya menghadapi kehendak lelaki. Perempuan selalu menyerah kepada
kehendak lelaki. Perempuan selalu tidak berdaya bila dijerumuskan dalam dosa.
Dengan air mata yang masih berderai
sepasang semut itu kembali ke kamar yang dihuni Mbak Retno yang masih tidur lelap. Dua ekor semut itu menghirup air zam-zam yang
tersisa di bawah meja. Sepasang semut itu juga menikmati sisa roti dan ayam bakar yang jatuh di bawah meja. Mereka segera
berkemas-kemas masuk ke balik selendang yang melingkar di atas kepala Mbak Retno.
***
Jabal Rahmah sudah ramai
meskipun hari masih pagi ketika sepasang semut hitam itu tiba di sana yang menempel di
ujung baju Mbak Retno. Usia hampir tiga puluh menyebabkan perempuan yang berasal dari keluarga penjual
jamu itu dengan mudah menaiki tangga
Jabal Rahmah. Langkahnya masih amat
tegar karena ia benar-benar masih enerjik. Padahal masih banyak
orang-orang muda tidak mampu menaiki
tangga bukit itu, langkahnya seperti diberati dosa. Tidak
semuanya jamaah dapat mencapai puncak bukit Jabal Rahmah yang dipercaya sebagai
tempat yang mujarab untuk berdoa, untuk
mendapatkan jodoh. Sebab di Jabal Rahmah ini dulu Nabi Adam alaihissalam bertemu kembali dengan Siti Hawa setelah
berpisah lebih dari seratus tahun. Bayangkan, betapa amat berat berpisah selama seratus tahun.
Di depan tugu yang berdiri
kokoh di puncak bukit itu, Mbak Retno
mengangkat tangannya dan ia memulai berdoa.
Tapi sebelum doa itu terucapkan dari celah bibirnya, tangisnya tiba-tiba
berderai. Tiba-tiba saja perempuan dari keluarga yang berasal di Yogya itu
ingat pada seorang lelaki yang
pernah dicintainya yang ia harapkan menjadi teman hidupnya. Ia ingat Bang Fadhil.
Ia ingat kebaikannya, ingat cintanya yang amat dalam , ingat pendiriannya yang
teguh dan ingat janjinya untuk segera menikah, tapi maut telah
merenggutnya. Seuntai kalung berhiaskan
mainan del ima
merah masih melekat di lehernya..
Mbak Retno masih mengangkat
tangannya dan berusaha untuk melantunkan doa. Airmatapun masih membentuk sungai
kecil di pipinya ketika ia menyebut nama Tuhan, juga menyebut nama Bang Fadhil.
Setiap gerak bibirnya diperhatikan oleh dua pasang mata mahluk kecil, Ummu Naubah
dan Abu Masyghul. Setiap kata yang tercetus dari bibir gadis berumur hampir tiga
puluh itu didengar dua ekor semut yang sengaja keluar dari tempatnya
bersembunyi. Derai air mata gadis itu juga menjadi perhatian dua ekor semut
itu.
“Ya,Allah. Ya,Rabbi. Ya, Rahman. Ya,
Rahim. Ya, khoyul. Ya ,Qoyyum. Ya Dzal Jallali Wal Ikram . Hingga hari ini aku
masih selalu menitikkan air mata. Hingga saat ini aku masih selalu menyebut
nama Bang Fadhil. Aku sangat mencintainya, tapi Engkau lebih menyayanginya lagi
sehingga Engkaupun memanggilnya untuk kembali ke sisi-Mu
Ia telah meninggalkan aku untuk
selamanya,padahal aku sangat mencintainya. Ia telah pergi untuk selamanya dan
membiarkan aku dalam kesendirian. Ia
telah pergi dan tidak akan pernah kembali dan membiarkan aku selalu dalam
kerinduan.
Di
tempat ini, di Jabal Rahmah, aku mohon kepadaMu, perkenankan aku menemukan
seseorang yang baik seperti Bang Fadhil.
Aku rela ia meninggalkan aku, tapi jangan biarkan aku selalu sendirian
tanpa siapapun. Perkenankanlah aku mendapatkan seorang lelaki yang mirip dengan Bang Fadhil. Izinkan aku
mendapatkan seorang sahabat yang hatinya lembut dan penuh kasih sayang.
Perkenankan aku mendapatkan seorang lelaki yang akan menjadi teman hidupku yang
setia. Izinkan aku mendapatkan pengganti Bang Fadhil yang akan membahagiakan
hidupku. Perkenankan aku mendapatkan seorang teman hidup yang mengerti diriku, yang selalu di sisiku
dalam suka dan duka.
Di sini, di Jabal Rahmah, di sini
dulu Nabi Adam bertemu kembali dengan Siti Hawa setelah berpisah lebih dari
seratus tahun, karena itulah aku memohon kepadaMu, pertemukan pula aku dengan seseorang
yang dapat membangun sebuah kebahagiaan.
Perkenankan aku mendapatkan jodoh yang baik. Jangan biarkan aku hidup dalam
kesendirian. Pertemukan aku dengan
seseorang. Amien.”
Ketika menyebut nama Bang Fadhil,
tangan Mbak Retno menyentuh kalung yang melingkar di lehernya. Del ima merah yang
menjadi hiasan kalung itu tiba-tiba bersinar. Sepasang semut yang selalu
mendampinginya selama di Tanah Suci melihat sinar yang amat ind ah dari mainan kalung itu. Abu masyghul
terheran-heran .
“Lihat,Naubah. Del ima merah di kalung itu bersinar di leher
Mbak Rento,” ujar Masyghul kepada semut betina di sisinya.
“Malaikat melihat kalung itu. Tuhan
mendengar doa Mbak Rento. Insya Allah
Tuhan akan mengabulkan doa itu dan suatu saat akan datang seseorang yang akan
menggantikan Bang Fadhil di sisinya,”
sahut Naubah.
Gadis itu tidak menyadari, ada
mahluk lain mendengar ungkapan hatinya. Amat banyak malaikat mendengar doanya dan
mengaminkannya. Bahkan dua ekor semut hitam
yang selalu bersamanya juga mengaminkan doa itu. Langitpun bagaikan
tergetar mendengar doa gadis itu. Apa
lagi ketika di puncak Jabal Rahmah itu
dia menyentuh delima merah yang menjadi hiasan kalung itu. Angin yang sedang berhembuspun mendengar doa itu
dan menyebar kemana-mana agar seluruh malaikat mendengar dan mengaminkan doa
itu. Awan putih yang berarak di langit biru, juga berarak-arak menyebar
ke segala penjuru agar seluruh
malaikat di surga dan di bumi menyampaikan doa itu kepada Allah.
Tuhanpun memang mendengar setiap
kata yang diucapkan gadis itu. Allah
mendengar setiap kata-kata tentang kerinduan dan tentang kasih sayang yang dilantunkan gadis dari keturunan
keluarga penjual jamu gendong..
Air mata masih mengalir dipipinya
ketika gadis itu menuruni bukit yang masih dipenuhi jamaah yang berdoa memohon
jodoh untuk anak-anak mereka, juga orang-orang yang memohon jodohnya sendiri.
Seperti halnya doa seorang janda yang sudah tiga tahun menyendiri karena
suaminya direnggut diabetes. Juga seorang gadis berumur empat puluh yang
pacarnya direnggut kecelakaan lalu lintas. Masih ribuan, bahkan lebih banyak
lagi orang-orang-orang dari seluruh pelosok dunia yang memohon jodoh di Jabal
Rahmah itu.
Kesedihan memang amat mendalam di
dasar hati Mbak Retno sejak ia menjejakkan kakinya di Jabal Rahmah.
Wajah almarhum Bang Fadhil selalu hadir di pelupuk matanya.
Kerinduan terhadap Bang Fadhil amat
melekat di dasar hatinya, padahal lelaki
itu sudah direnggut maut karena tusukan belati oleh tiga orang penjahat. Bagaimana mungkin ia dapat bertemu dengan
seseorang yang sudah meninggal?. Mbak Retno berharap biarlah Bang Fadhil sudah
meninggal, tapi Tuhan memperkenankan ia bertemu dengan seorang yang mirip Bang Fadhil,
seorang lelaki yang penuh kasih sayang, seorang lelaki yang selalu sabar dan
dapat membahagiakan hidupnya. Yang lebih ia harapkan adalah lelaki yang tidak
pernah lalai dalam hal ibadah. Mbak Retno amat berharap ia dipertemukan Tuhan
dengan lelaki yang beriman teguh, seperti halnya Bang Fadhil yang dididik orang tuanya dengan pendidikan
agama, juga didikan Mualim Bukhari di Sumatera.
Airmata masih
bergulir di pipinya ketika ia hadir kembali di pelataran Masjidil Haram dan ia amat bersyukur dapat menemukan tempat
di depan Multazam, sebuah tempat yang dikenal sebagai tempat yang paling makbul untuk berdoa. Sejenak ia bersimpuh,
menatap Ka’bah dan pandangannya lurus ke arah Multazam. Bibirnya berkomat-kamit melantunkan zikir dan tasbih. Sepasang semut hitam yang amat setia
menemaninya dan gadis itu tidak pernah
lagi untuk berusaha menepiskan, apalagi untuk membunuhnya juga ikut bersimpuh
di depan Multazam. Ia membiarkan semut itu menjalar diselendangnya,
menjalar di lengan bajunya, bahkan menjalar di tangannya. Iapun membiarkan
semut-semut itu merayap di atas sajadah,
tepat di depannya. Dua ekor semut itu
seperti ikut bersimpuh, ikut bersujud, ikut berdoa untuk Mbak Retno. Sepasang semut itu amat ingin Mbak Retno
menemukan kebahagiaannya. Dua ekor semut itu amat ingin Mbak Retno menemukan
jodohnya, sebagai ganti Bang Fadhil yang sudah direnggut kematian. Sepasang semut itu juga ingin Mbak Retno
segera menemukan teman hidupnya dan tidak sendiri lagi. Kasihan kalau gadis itu
sendiri terus sementara abi dan umminya serta adiknya sudah meninggalkannya
karena kecelakaan kereta api.
Tangan gadis itu menyentuh Qur’an
dan membuka surat
Ar Rahman. Ketika membaca surah itupun , sejenak bayangan wajah Bang Fadhil
membersit di benaknya. Air matapun bergulir lagi di pipinya. Sekali lagi dan
sekali lagi Mbak Retno menyentuh kalung pemberian Bang Fadhil di lehernya,
tepat pada mainannya, del ima
merah.
“Ya,Tuhan. Tabahkan hatiku , kuatkan
jiwaku karena kehilangan seorang lelaki yang amat kucintai. Perkenankan aku
mendapatkan penggantinya,” itulah doanya
ketika lembaran Qur’an sudah terbuka di depannya, tepat pada lembaran
surah Ar Rahman. Derai tangisnya
menyebabkan setetes air mata jatuh di lembaran itu.
Sebuah mukjizat Tuhan seakan turun
ke muka bumi, turun di depan Ka’bah, tepat di depan Multazam. Sebuah jari tangan yang kukuh terlihat
menjulur dan menyeka air mata yang membasahi lembaran Qur’an, tepat di surah Ar
Rahman. Tidak hanya jari tangan yang menyeka tetesan air mata di lembaran
Qur’an itu, tapi Mbak Retno juga merasakan
dengus nafas seorang lelaki. Mbak
Retno juga mendengar bisikan seorang lelaki di telinga kanannya.
“Jangan
menangis terus, Retno. Jangan menitikkan
air mata lagi,sayang,” tidak hanya Mbak
Retno yang mendengar bisikan itu, dua ekor semut yang sedang bersimpuh di atas
sajadah alasnya bersujud juga mendengar suara itu meskipun amat lirih. Sepasang semut memang ditakdirkan
Tuhan memiliki indra yang amat sensitif. Di atas kepala setiap semut seperti
ada sebuah antenna sehingga dapat mencium bau makanan meskipun berada di tempat
jauh. Setiap semut dapat menangkap getaran suara paling halus sekalipun.
Mbak
Retno tidak mampu menoleh ke sisi kanannya dan matanya yang basah masih
menatap lembaran Qur’an. Malaikatkah yang menghampiriku?. Malaikatkah yang datang
menghampiriku pada saat ini?. Darahnya
berdesir-desir, jantungnya berdebar keras.
“Ya,Tuhan. Adakah Engkau menurunkan
malaikat ke bumi yang turun menghampiri diriku dan tangannya
menyeka air mataku di lembaran Qur’an?,”
terdengar suara Mabk Retno.
“Bukan!. Bukan malaikat!,’ terdengar lagi bisikan di telinga
kanannya,bisikan seorang lelaki.
“Manusiakah?” tanya Mbak Retno dan masih menunduk, masih
memandang ke arah lembaran Qur’an di depannya.
“Ya,manusia biasa!”
“Manusia siapakah yang
menghampiriku?”
“Kau pasti mengenalnya, Retno. Kau pasti sangat mengenalnya, karena kau
sangat merindukannya.”
“Siapa?,” Mbak Retno belum mampu menoleh ke arah kanan.
“Kau pasti mengenalnya!”
Mbak Retno masih menunduk.
“Jangan menunduk terus, tataplah
aku,Retno. Bukankah kau merindukan seseorang sudah terlalu lama?. Sekarang
mahluk yang amat kau rindukan itu ada di sisimu. Angkatlah wajahmu, tataplah
aku!”
Perlahan sekali Mbak Retno mengangkat wajahnya, perlahan
sekali ia memandang lelaki yang tiba-tiba hadir di sisinya. Sebuah nama tiba-tiba saja tercetus dari
celah bibirnya amat lirih.
“Bang Fadhil!”
Lelaki itu tersenyum, tapi Mbak Retno merasakan tubuhnya gemetar. Ia
bagaikan sedang mimpi.
“Mimpikah aku?” cetus Mbak Retno
lagi dan tidak percaya pada tatapan
matanya . Ia tidak percaya pada dirinya sendiri, bahwa di sisinya berdiri
seorang lelaki kelahiran Sumatera yang dulu sudah mati ditusuk penjahat.
“Kamu tidak mimpi, sayang.”
“Tapi Bang Fadhil sudah lama
meninggal. Seseorang yang sudah almarhum
tidak mungkin lagi hadir di sini. Mayat
Bang Fadhil sudah dibuang ke dalam sungai lalu orang-orang tidak dikenal itu
menghanyutkan mayat itu hingga ke laut dan menjadi santapan buaya dan mahluk
air lainnya.”
“Itu tidak benar,Retno!, “sahut
lelaki gagah yang tiba-tiba muncul di
sisinya.
“Bang Fadhil sudah menghadap Tuhan. Tidak mungkin ia hadir
di sini. Aku pasti sedang menghadapi malaikat yang tampil menyamar sebagai Bang Fadhil”
Airmatapun berderai lagi ketika
lelaki itu tiba-tiba hadir di sisinya, menyeka air matanya dan berkata-kata
kepadanya. Mbak Retno merasa tidak mungkin hal itu terjadi. Ia merasa dalam mimpi. Ia merasa didatangi
malaikat yang mirip dengan Bang Fadhil.
Iapun mengucapkan istighfar berkali-kali dan bibirnya bergetar lirih:
“Ya,Tuhan. Jangan biarkan aku dalam
keraguan. Jangan biarkan aku hanyut dalam mimpi indah. Tunjukkan kepadaku
hal-hal yang sebenarnya. Malaikat apakah yang kini sedang berada di sisiku dan
amat mirip dengan seorang lelaki yang pernah sangat kucintai, yakni Bang Fadhil?”
Tiba-tiba saja lelaki yang baru hadir di sisinya menyentuh
jari-jari tangannya. Sentuhan itu terasa hangat, penuh kasih sayang, penuh
cinta kasih yang sebenarnya. Sentuhan di jari tangannya terasa hangat, persis
seperti sentuhan tangan Bang Fadhil ketika masih hidup dulu. Ketika
jari tangan Mbak Retno diremas lelaki di sisinya juga ia rasakan semesra
ketika Bang Fadhil meremasnya dulu, penuh kasih sayang. Dengus nafas yang ia
rasakan di sisi telinganya juga persis dengus nafas Bang Fadhil ketika masih
hidup dulu.
“Malaikat
apakah yang menggoda di sisiku?,” ucapan itu terdengar berkali-kali, bergetar
dari bibir Mbak Retno.
“Demi Tuhan, yang hadir di sisimu
bukan malaikat, tapi Bang Fadhil!”
“Rasanya tidak mungkin!. Demi Tuhan
tidak mungkin, karena ia sudah pergi untuk selamanya menghadap Tuhan. Ia sudah
meninggal. Jenazahnya sudah hanyut hingga ke laut!””
Perlahan sekali lelaki itu
mendekatkan wajahnya dan dengan penuh kasih sayang lelaki itu mengecup
keningnya.
“Terimalah ciumanku,Retno. Tandanya
aku benar-benar Bang Fadhil, tandanya aku belum mati, tandanya aku masih
hidup dan selalu memikirkan
dirimu,” terdengar suara lelaki
itu. Mbak Retno masih termangu, masih ada perasaan ragu-ragu. Padahal suara
itu benar-benar mirip dengan suara Bang Fadhil ketika masih hidup dulu.
“Kau dengar suaraku,Retno?”
Gadis itu mengangguk lirih.
“Benar-benarkah kau dengar suaraku?”
“Aku mendengarnya!”
“Masih mirip suaraku yang dulu,
bukan?”
Sekali lagi gadis itu menangguk
lirih.
“Kamu rasakankah jari tanganmu
kugenggam erat?”
“Aku merasakannya,” sahut Mbak Retno.
“Masihkah kau rasakan sehangat
dulu?”
Mbak Retno
mengangguk dan membiarkan jari tangannya digenggam amat erat oleh lelaki yang tiba-tiba hadir di sisinya.
“Masihkah sehangat dulu?”
“Ya!”
Perlahan sekali lelaki itu mencium pipi Mbak Retno dengan
penuh kasih sayang dan cinta kasih.
“Kamu rasakan kecupanku,sayang”
“Aku merasakannya”
“Masihkah sehangat dulu?”
Mbak Retno menggangguk.
“Sekarang tataplah aku
dalam-dalam!,” pinta lelaki yang
tiba-tiba saja muncul di sisinya seperti sebuah keajaiban. Seperti dalam mimpi.
Kedatangan lelaki itu bagaikan kedatangan malaikat yang turun ke bumi, apalagi saat itu
ia sedang berada di dalam Masjidil Haram, tepat di depan Multazam dan semua doa
dikabulkan di sana .
Mbak Rento menatap wajah lelaki di
sisinya.
“Tataplah aku lebih lama!”
Mbak Retno masih menatap amat dalam
dan lebih lama. Ia mendengar suara lelaki itu lagi:
“Masihkah seperti dulu?.”
“Ya,masih seperti dulu. Tatapan mata Bang Fadhil masih amat dalam
dan menembus hingga ke dasar hati saya yang paling dalam.”
“Itu
tandanya aku benar-benar Bang Fadhil yang kamu anggap sudah meninggal karena
ditusuk penjahat. Itu tandanya kamu tidak mimpi, tapi yang kamu hadapi
adalah kenyataan. Yang ada disisimu bukanlah
malaikat, tetapi Bang Fadhil yang selalu memikirkan dirimu dari tempat yang
sangat jauh”
Tiba-tiba saja Mbak Retno rebah di
dada lelaki itu. Ia membiarkan lelaki itu mendekapnya erat dan mengusap
rambutnya.
“Dekapanmu masih seperti dulu,Bang Fadhil!”
”Itu tandanya kamu tidak mimpi.”
“Apakah yang terjadi adalah sebuah keajaiban yang jarang terjadi di muka
bumi?”
“Tidak!. Yang kamu hadapi adalah
dunia nyata. Kamu hanya menganggap aku sudah mati, padahal yang terjadi
tidaklah demikian!”
“Aku masih ingat benar ketika malam itu Bang Fadhil mengantar
penumpang langgananmu yang paling setia dan seorang dermawan, Bu Martha,”
ucap Mbak Retno mengenang tragedi masa silam.
“Ya, saat itu Bu Martha memang membawa uang tunai dalam jumlah yang
banyak dan juga sejumlah permata berharga jutaan rupiah. Penjahat memang sudah
lama mengintai dirinya untuk dijadikan mangsa. Aku dan Bu Martha dihadang di
tengah jalan yang sepi dekat jembatan.”
“Dan Bu Martha tidak berdaya
menghadapi tiga orang pejahat bersenjata?. Begitukah?”
Lelaki itu mengangguk.
“Aku hanya seorang penarik ojek.
Kebaikan Bu Martha sungguh amat besar kurasakan. Aku tahu benar, Bu Martha
adalah seorang bendahara sebuah gereja Katolik.
Bu Martha adalah seorang
pengurus gereja dan kebaikan hatinya
sangat terkenal di kalangan para jamaat gereja itu. Kebaikannya juga
diakui semua warga meskipun bukan penganut Nasrani. Sepantasnya aku melindungi
dirinya dari pejahat itu. Nuraniku tergerak untuk menyelamatkan hartanya, untuk
melindungi dirinya. Apalagi aku tahu benar, bahwa uang dalam tasnya bukanlah
milik pribadi, tetapi milik ummat para jamaat gereja.”
***
Tangan lelaki itu
masih menggenggam jari tangan Mbak Retno ketika bercerita pajang lebar tentang penumpang langganannya yang bernama Bu
Martha, seorang janda dan suaminya adalah seorang aktivis gereja tetapi
meninggal ketika pesawat Cessna yang
ditumpangnya jatuh di Papua. Semua penumpang dan awak pesawat itu tewas
dan jenazah mereka baru dapat dievakuasi lima hari
kemudian karena kondisi medan yang tidak bersahabat. Selama ini ,sebelum kecelakaan pesawat itu
terjadi , suami Bu Martha memang selalu menelusuri bumi Papua sesuai dengan misi agamanya. Warga Papua yang
selama ini menyembah pohon, patung, gua, gunung dan benda-benda lainnya
akhirnya satu demi satu menjadi penganut Kristen. Jasa suami Bu Martha
terhadap agamanya amat besar.
Jamaat gereja masih memberi kepercayaan kepada Bu Martha sebagai
pengganti suaminya, sebagai bendahara. Bedanya,
Bu Martha tidak pernah terbang menjelajah bumi Papua untuk misi agamanya. Tapi
Bu Martha selalu hadir di gereja melaksanakan kebaktian minggu..
“Saya juga tidak menduga Bu Martha ternyata mengemban misi gereja. Saya
tidak menduga, bahwa Bu Martha adalah seorang aktivis Kristiani!,” cetus Mbak Retno menyela kata-kata
Bang Fadhil.
“Pada awalnya aku juga menganggapnya
seorang muslimah.. Aku menduga, bahwa Bu
Martha adalah seorang muslimah yang baik hati, sampai suatu saat aku melihatnya
keluar dari salah satu gereja. Bu Marthapun tidak ingin berbohong. Ia berterus
terang tentang keyakinannya. Ia berterus
terang, bahwa ia bukan seorang penganut Islam, tapi aku tidak menyesalinya”
Mbak Retno menekur dan membiarkan
lelaki di sisinya melanjutkan kata-katanya tentang Bu Martha:
“Saat itu aku ikut mempertahankan
tas yang disandangnya karena didalamnya ada uang milik masyarakat jamaat
gereja. Aku tidak memiliki senjata apapun sementara tiga orang penjahat yang
menghadang bersenjatakan belati, pisau sepatu dan kelewang.”
“Keberanian Bang Fadhil tiba-tiba
timbul, begitukah?,” tanya Mbak Retno.
“Aku benar-benar tidak memikirkan risiko. Aku tidak gentar sedikitpun hingga perkelahian dua lawan satu berlangsung
di tempat sepi, sementara seorang lagi penjahat berusaha merebut tas milik Bu Martha.”
“Lalu
penjahat itu berhasil merebut tas itu?”
“Bu Martha tidak berdaya.”
“Lalu bagaimana Bang Fadhil
menghadapi penjahat yang bersenjata itu?”
“Aku melawan semampuku. Beberapa
kali aku mampu mengelakkan tusukan belati. Tapi aku tidak berdaya ketika
seorang penjahat lagi mengayunkan kelewang dari arah belakang. Aku tersungkur
dan pada saat itu, sebilah belati membuat
ususku terburai dan darahpun mengucur
amat banyak.”
“Saya mendengar kabar, bahwa jasad
Bang Fadhil dibuang ke sungai.”
“Ya, aku tidak berdaya dan aku tidak
tahu apa yang terjadi selanjutnya.”
“ Media massa memberitakan, bahwa jasad Bang Fadhil
dibuang ke sungai hingga dihanyutkan arus ke laut lalu menjadi santapan buaya.”
“Aku tidak tahu lagi apa yang
terjadi karena luka yang terlalu parah dan darah terlalu banyak mengucur.”
“Saat itu saya menangis tidak
henti-hentinya. Saya telah kehilangan dirimu.
Kepergianmu tanpa pamit dan andainya jasadmu ditemukan, pasti saya yang
akan membawanya ke surau untuk dimandikan, untuk dikafani, untuk disholatkan kemudian
dikembumikan dengan layak.”
“Demi Tuhan, aku seperti menghadapi sebuah keajaiban Malaikat Izrail, belum ingin mendekat
kepadaku. Tuhan masih melindungi diriku. Ternyata nyawaku masih ada dalam
jasadku yang penuh luka tusukan, hingga kawan-kawan sesama penarik ojeg memberikan pertolongan. Pada saat itulah aku menyadari, bahwa tidak
ada penarik ojeg yang hidup senang. Tidak ada penarik ojeg yang hidup kaya.
Tapi rasa persaudaraan amat besar dalam
diri setiap penarik ojeg. Semua merasa
senasib sepenanggungan. Sesama penarik ojeg menyadari, bahwa pada saat rekannya
dalam kesulitan, semua akan memberikan uluran tangan. Tidak kurang dari enam
orang penarik ojeg mengantar diriku ke
rumah sakit dan syukurlah pertolongan
dokter segera datang. Aku membutuhkan transfusi darah yang tidak sedikit.”
“Para
penarik ojeg itukah yang memberikan sumbangan darah? Merekakah yang mencari
dana untuk membeli darah yang saat ini amat mahal?”, Mbak Retno menyela lagi.
“Bukan!. Bukan demikian.!” ujar lelaki di sisi Mbak Retno lagi. “Mereka
hanya mengantarku ke rumah sakit, tapi yang memberikan sumbangan darah dan dana
adalah seorang dermawan.”
“Siapakah dermawan itu?”
“Dermawan itu adalah Bu Martha!”
“Alhamdulillah, selalu ada saja
orang-orang yang mengulurkan tangan kepada Bang Fadhil. Itu tandanya Bang
Fadhil seorang umat yang baik.”.”
“Bu Martha bukanlah seorang
muslimah, tetapi kebaikannya sungguh amat besar terhadapku. Ia tidak hanya menyumbangkan darah, tidak hanya memberikan
dana. Bu Martha juga memberikan doa.”
“Doa secara Kristen, tentunya.”
‘’Ya. Bu Martha meyakini doa itu yang menyembuhkan aku dari luka-luka parah. Doa di gereja itu diyakininya menolong aku terhindar dari kematian. Bu
Martha tetap meyakini, bahwa Bapa di Surga telah menyelamatkan nyawaku dari
kematian.”
Sesaat Mbak Retno menekur lagi .
Seorang non muslim telah mengulurkan tangan, telah membantu demikian banyak dan
juga doa secara non muslim pula. Tetapi itulah pertolongan Tuhan. Tanpa
pertolongan itu, pasti Bang Fadhil sudah benar-benar mati, sudah dihanyutkan
arus sungai hingga ke laut, hingga jasadnya jadi santapan buaya. Dan sekarang lelaki itu dalam keadaan segar
bugar dan tiba-tiba muncul di sisi Mbak Retno ketika ia bersimpuh di depan
Ka’bah, tepat di depan Multazam. Doa
Mbak Retno,doa dua ekor semut yang selalu menyertai perjalanan
spiritual Mbak Retno benar-benar dikabulkan Tuhan. Lelaki itu belum mati. Lelaki itu masih hidup
karena pertolongan seorang perempuan yang berakidah lain. Lelaki itu sekarang ada di sisi Mbak Retno
dan menggenggam jari-jemari tangan Mbak Retno.
“Amalan ilmu bela diri yang
diberikan Mualim Bukhari tidak sia-sia kuamalkan,” cetus Bang Fadhil lagi. Dan
Mbak Retno tetap ingat ucapan lelaki itu tentang amalan untuk menjaga
diri,apalagi untuk hidup di sebuah kota besar. Dia ingat Bang Fadhil pernah
berkata tentang surah At Taubah ayat 128-129.
“Tanpa amalan itu nyawaku sudah
melayang karena luka-luka yang kuderita.”
“Syukurlah, Bang Fadhil berhutang
budi kepada Ustaz Bukhari.”
“Kamu juga harus maklum, bahwa Bu
Martha pernah menolong menyelamatkan nyawaku sebagai ungkapan rasa syukur, bahwa
tas miliknya yang penuh uang jamaah gereja dan sejumlah permata tidak sempat hilang.
Penjahat yang menghadang kami ternyata mengalami nasib sial, mereka sedang
mabuk hingga sepeda motornya menabrak bus dan polisipun menangkapnya. Tas milik
Bu Martha ditemukan kembali dalam keadaan utuh.”
“Pertolongan Tuhan selalu ada saja dimanapun.”
“Kebaikan Bu Martha memang amat
banyak dan aku tidak pernah melupakannya. Setelah aku sehat, Bu Martha
membawaku ke kampung halamannya dan aku juga diajak ke makam suaminya di
Halmahera.”
“Sungguh amat jauh kampung halaman Bu Martha.” cetus Mbak Retno.
“Ya,sangat jauh. Tapi ia selalu pulang
karena di Halmahera ia juga memiliki
usaha.”
“Bang
Fadhil ikut menaburkan bunga di makam
suami Bu Martha?,” tanya Mbak Retno dan
menatap wajah lelaki yang pernah dianggapnya sudah mati.
“Ya,
aku juga ikut menyiramkan air mawar. Kubur
itu jadi menyebarkan bau harum. Dan
tandanya suami Bu Martha adalah orang yang baik, sebagai panutan, sebagai
pemuka agamanya di pedalaman Papua, kuburnya selalu bersih, tak ada seekorpun
kecoa dan lalatpun tidak ada yang mendekat.”
Sesaat
Mbak Retno termenung. Dua ekor semut yang selalu berada di sisinya tertegun mendengar
liku-liku perjalanan hidup yang dialami oleh lelaki kelahiran Sumatera yang dikabarkan tewas di
tangan penjahat, tetapi ternyata nyawanya masih bersisa, masih dilindungi
Tuhan. Bahkan sekarang lelaki iu sedang berada di Tanah Suci lalu Tuhan
mempertemukannya dengan Mbak Retno di depan Multazam,persis di depan Ka’bah.
Sungguh seperti sebuah mukzizat.
“Berhari-hari aku berada di Halmahera bersama Bu Martha.” ujar lelaki itu lagi.
“Bang Fadhil tidak minta pulang?”
“Bu
Martha tetap meminta agar aku tidak buru-buru meninggalkannya. Apalagi saat itu
ibunya sudah tua dan menderita stroke,padahal ibunya memiliki perkebunan lada
dan pala, sementara ayahnya memiliki usaha dibidang perhotelan yang sedang berkembang
pesat.”
“Kalau begitu Bu Martha berasal dari keluarga yang
sukses di daerah kelahirannya.”
“Tiap orang yang berasal dari bagian Timur pasti mengenal keluarga itu”
“Dan ibunya akhirnya meninggal diHalmahera ?”
“Dan ibunya akhirnya meninggal di
“Ya!. Jamaat amat banyak saat
mendiang ibunya diantar ke kubur.”
“Ikutkah Bang Fadhil dalam acara
pemakaman itu?”
“Ya, aku hadir diantara
iring-iringan panjang pengantar jenazah dan Bu Martha selalu berada di sisiku.”
“Tangan Bu Martha berpegang pada
lengan Bang Fadhil?,”
“Ya,karena ia merasa tidak kuat ditinggalkan ibunya.”
Ada
perasaan cemburu di dasar hati Mbak Retno, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia
membiarkan lelaki itu menuturkan pengalamannya.
“Tiap
hari minggu Bu Martha menghadiri kebaktian di gereja dan selalu memintaku agar mengantarnya.”
“Dan Bang Fadhil benar-benar mengantarnya?. Bang Fadhil tidak merasa
sungkan karena Bang Fadhil adalah seorang Muslim yang taat beribadah sementara
Bu Martha penganut agama lain?”
“Aku
memang mengantarnya, tapi hingga sampai pintu pagar gereja. Aku menjemputnya
kembali setelah kebaktian selesai. Bu Martha selalu mengajakku makan siang di
restoran setelah keluar dai gereja. Kami minum juis bersama dan lama
berbincang-bincang. Tidak hanya itu, Bu Martha juga mengajakku ke pinggir
laut.”
“Apa yang dilakukan Bu Martha di
pinggir laut?.”
“Hanya duduk-duduk.”
“Hanya itu?,” Mbak Retno seperti menyelidik. Ada perasaan
cemburu di dasar hatinya yang paling dalam.
“Tidak!”
“Lalu apa lagi yang dilakukannya?”
”Ia membuat istana dari pasir.”
“Lalu apa yang dikatakannya tentang istana
dari pasir yang dibangunnya?”
”Ia katakan ingin membangun sebuah istana
untukku.”
”Hmmmm,” Mbak Retno bergumam. Rasa cemburu tumbuh semakin besar di rongga
hatinya.
”Aku
tidak mampu mengelak ketika ia merebahkan kepalanya di dadaku.”
“Sepertinya
Bu Martha tertarik kepada Bang Fadhil..
Rasanya ia jatuh cinta kepada Bang Fadhil,”
sela Mbak Retno dengan perasaan cemburu yang semakin membesar di relung hatinya.
“Aku memang merasakan hal itu. Aku tahu ia jatuh cinta
kepadaku melalui sinar matanya yang menatapku teramat dalam hingga menembus
hatiku. Apalagi ketika di pantai, ketika
kami duduk menghadap laut, ia merebahkan kepalanya di dadaku dan ia menarikkan
tanganku agar aku membelai tubuhnya ,agar aku memeluknya .”
“Bang Fadhil melakukannya?” hati Mbak Retno semakin dibakar cemburu.
“Aku melakukannya, karena aku merasa
berhutang budi kepadanya. Bukankah ia telah menyelamatkan diriku dari kematian?.
Kalau tidak ada Bu Martha,aku sudah di alam akhirat.”
“Bu
Martha juga berharap Bang Fadhil menciumnya.”
“Ia
memang pasrah.”
Mbak
Retno seperti menahan tangis, tapi ia masih mampu membendung air mata agar tidak
bergulir di pipinya.
“Saya amat sedih mendengarnya.
Sementara saya merasa kehilangan dirimu, hati saya hancur berkeping-keping, tapi Bang Fadhil
bersama orang lain.” sela Mbak Retno dan menahan tangis.
“Tunggu dulu,Retno. Aku belum selesai mengatakan segalanya tentang Bu
Martha. Perjalanan hidupku bersama wanita non muslimah itu masih amat panjang dan kamu harus mendengarnya. Akupun harus mengatakan semuanya, karena aku
sangat mencintaimu.”
“Teruskan!. Saya akan mendengar
setiap kata yang Bang Fadhil katakan tentang Bu Martha.” ucap Mbak Retno dan yang mendengar penuturan itu tidak hanya
Mbak Retno, tapi sepasang semut hitam yang duduk bersimpuh di depan Mbak Retno
juga ikut mendengarnya.
“Kamu tahu apa yang diharapkan Bu Martha dariku?. Kamu tahu apa yang
diinginkan perempuan kelahiran Halmahera itu
dariku?,” terdengar lagi suara lelaki
kelahiran Sumatera itu.
“Pasti yang diharapkan dari Bang Fadhi
hanya setetes cinta. Yang diinginkan
darimu hanya setitik kasih sayangmu.”
sahut Mbak Retno.
‘Tidak!. Tidak hanya cinta. Tidak
hanya kasih sayang.”
“Lalu apa lagi yang diharapkan
darimu?”
“Sesuatu yang mustahil dapat
kupenuhi?”
“Apa yang dipintanya darimu?”
“Ia berharap agar aku memeluk
agamanya kemudian menikah”
“Astaghfirullah,” gumam Mbak Retno.
“Bu Martha berharap Bang Fadhil murtad. Dia meminta Bang Fadhil menjadi pemeluk
Kristiani,”
“Yang sangat ia harapkan agar aku menjadi pemeluk agama yang dianutnya,
agar aku menjadi pemeluk Kristen.”
“Ya, ampun!,” bibir Mbak Retno
berdecap-decap dan bulu romanya berdiri
mendengar ucapan itu.
“Aku sama sekali tidak menduga hal-hal
yang diharapkan dariku sejauh itu.”
“Tidakkah hati Bang Fadhil memberontak
karena keinginan Bu Martha?”
“Sejak kecil , aku diasuh dan
dididik oleh ayah bundaku untuk menjadi seorang muslim yang memiliki sifat
istiqomah, aku sudah terbiasa untuk senantiasa berpegang teguh pada pendirian.
Aku dilahirkan dari rahim keluarga yang taat pada Islam.”
Di depan Mbak Rento, lelaki yang
selama ini dianggap sudah mati itu mengucapkan ayat Qur’an Surah Al Imran yang mengingatkan orang-orang
yang beriman , bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya
dan janganlah sekali-kali umat manusia
mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.
“Ayat itu membuat takwa dalam diriku
semakin kental dan tidak mungkin aku beralih akidah meskipun kebaikan dan
pertolongan Bu Martha amat banyak. Aku tidak akan murtad meskipun ia sudah
menyelamatkan nyawaku. Aku tidak akan ikut agamanya meskipun seandainya tidak
ada Bu Martha aku sudah jadi penghuni kubur dan menjadi santapan cacing tanah.”
“Aku kagum kepadamu,Bang Fadhil. Sulit untuk kubayangkan bagaimana akhirnya
kalau Bang Fadhil akhirnya beralih akidah dan menikah dengan Bu Martha.” cetus
Mbak Retno dengan polos.
“Aku menolak. Aku berusaha
menghindar meskipun dengan cara yang paling lembut dan halus. Aku berusaha untuk
menyingkir karena aku menganggap Bu Martha memiliki misi khusus,apalagi suaminya memang seorang misionaris yang selalu
berkelana di Papua , sementara Bu Martha sendiri adalah seorang pengurus gereja
yang fanatik. Ia selalu mondar-mandir antara Pulau Jawa dan Halmahera tidak
hanya untuk urusan bisnisnya, tapi juga dalam rangka kepentingan agamanya.”
“Saya bangga kepada Bang Fadhil..”
“Tapi Bu Martha tidak ingin
kehilangan diriku. Ia merasa
cintanya terhadapku sudah teramat dalam.
Setelah ibunya meninggal ia
mengajakku untuk sama-sama mengelola salah satu hotel yang diwariskan dari
ayahnya. Aku tidak mampu mengelak kalau sekedar untuk mengelola sebuah hotel, tapi untuk pindah agama aku tetap
berkata tidak.”
“Dan
hotel itu berkembang di tangan Bang Fadhil bersama Bu Martha.”
“Tanganku bersama Bu Martha memang
dingin. Hotel itu berkembang pesat dan sempat membuka hotel lagi di Makassar
dan Manado ,”
“Tangan Bang Fadhil memang dingin dan bertuah.”
“Rasanya
tidak sia-sia aku kuliah di jurusan pariwisata sehingga tidak canggung
mengelola hotel. Tapi tidak hanya itu.
Bila ia berharap agar aku memeluk agamanya, justru aku juga berharap agar ia
menjadi seorang muslimah, seperti hanya dirimu,Retno. Sambil mengelola beberapa hotel, sedikit demi
sedikit aku berusaha menggugah hatinya agar Bu Martha menjadi seorang penganut
Islam. Tiap saat aku selalu mengajarinya
tentang ayat-ayat Qur’an. Aku selalu
mengatakan, bahwa Islam itu bersih. Islam itu suci. Islam itu indah. Islam itu
lembut. Bahwa Islam itu manis.”
“Tergugahkah hatinya?”
“Itulah yang amat kusyukuri. Meskipun
yang kuajarkan kepadanya hanya beberapa huruf, meskipun hanya alif, lam dan
mim, tetapi maknanya meresap dalam hati sanubarinya, yakni hanya Allah yang mengetahui. Tanyalah ayat berikutnya dari
surah Al Baqarah apa makna ayat kedua, pasti ia menjawab dengan pas, bahwa itulah al Kitab. Tidak ada keraguan padanya ,
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
“Nur Ilahy telah masuk ke dalam
sanubari Bu Martha. Itulah sebabnya ia mudah menyerap arti ayat-ayat Qur’an. “
“Itulah yang membuat aku tidak ingin
meninggalkannya. Ia akhirnya berikrar
mengucap dua kalimah syahadat. Ucapkanlah
surat Fatihah kepadanya, pasti ia akan berkata bahwa itu adalah
Mahkota Tuntunan Ilahi, bahwa itu adalah
Ummul Qur’an, bahwa itu adalah Ummul Kitab
atau as Sab’ al Mathsani!”
“Kukira langitpun bergetar ketika Bu Martha akhirnya menjadi
seorang muslimah.”
“Aku bangga dan aku bersyukur, seorang penganut Nasrani yang fanatik
akhirnya menjadi seorang muslimah dan namanya bukan lagi Bu Martha,”
“Lalu Bang Fadhil sendiri yang memberinya nama muslimah?”
”Ya, aku , namun mendapat
restu dari para ulama yang bermukim di Halmahera. Nama Bu Martha menjadi
Ummi Masyitah.”
“Sebuah nama yang indah, nama
seorang perempuan yang bersikap istiqomah dan rela dimasukkan ke kancah berisi
air mendidih oleh Fir’aun demi imannya yang amat kukuh. Masyitah tetap teguh
pendiriannya tidak mau mengakui Fir’aun sebagai Tuhan”
“Ia memang seorang Masyitah
sejati. Betapa ia terlihat amat cantik ketika mengenakan jilbab.”
“Tidakkah ia merasa tersingkir
dari ayah dan saudara-saudara lainnya yang masih non Islam?”
”Reaksi memang ada, tapi cuma
sebatas riak-riak kecil dan belum sempat menjadi gelombang besar.”
Panjang lebar Bang Fadhil
menuturkan tentang Bu Martha yang kemudian bernama Masyitah dan selalu hadir di
masjid untuk menghadiri majlis taklim.
“Itulah yang kukagumi pada dirinya.
Ia benar-benar menjadi muslimah yang taat, dan jilbab tidak pernah lepas
dari kepalanya.. Bahkan nama hotel yang dimilikinya juga dirubah menjadi hotel Ar Rahman. Secara perlahan-lahan pekerja hotel
non muslim diganti dan hotel itu terus berkembang amat pesat. Hampir tiap malam
selalu penuh dengan tamu-tamu. Sebuah musholah juga segera dibangun di sisi
hotel itu. Tiap tamu hotel merasa nyaman tinggal di hotel itu, bahkan mereka
seakan tinggal di tengah hunian di padang
pasir yang di sekitarnya ada pohon kurma.”
Bang Fadhil juga menuturkan tentang seorang tamu berkebangsaan Belanda
yang menjadi langganan hotelnya hingga berbulan-bulan karena bule itu adalah
mahasiswa pasca sarjana jurusan antropologi Universiteit Leiden dan sedang
meneliti kebudayaan masyarakat Halmahera .
Latar belakang pendidikan antropologi jurusan Asia Tenggara menyebabkan lelaki berambut pirang itu seakan sudah jatuh cinta terhadap Pulau
Halmahera yang indah. Bang Fadhil juga menuturkan, bahwa ia selalu
menyertai Hollman van Nienhuys, lelaki
berkebangsaan Belanda itu, menjelajah
pulau-pulau yang ada di bagian timur negeri ini. Bersama istrinya yang akhirnya
bernama Masyitah , Bang Fadhil selalu menyertai lelaki berkebangsaan Belanda
itu bersafari hingga ke Pulau Morotai, Pulau Bacan, Pulau Obi hingga Pulau
Kasiruta.
Sejak berkenalan dengan lelaki berkebangsaan Belanda mahasiswa pascasarjana
antropologi itu Bang Fadhil jadi mengerti tentang tempat suci yang bernama baileu. Di pulau-pulau sekitar Halmahera itu,
Bang Fadhil terkadang ikut menghadiri upacara cuci negeri, yang hampir sama
dengan bersih desa atau di Sumatera dikenal dengan upacara ritual “tulak bala”. Bang Fadhil juga akhirnya tahu
tentang adat “kain berkat”, yakni persembahan sehelai kain putih oleh pengantin
lelaki kepada kepala adat di tempat
tinggal mempelai perempuan dan hal itu tidak boleh ditinggalkan. Lalai pada pelaksanaan adat kain berkat
ini dapat menyebabkan pasangan yang baru
menikah itu akan jatuh sakit dan meninggal.
“Saya ikut gembira mendengar semua itu, meskipun hati saya tetap menangis
karena kehilangan dirimu dan tetap
menganggapmu sudah tidak ada di dunia lagi. Andainya saya tahu Bang Fadhil
sudah menikah dengan perempuan di Halmahera itu, pasti hati saya akan hancur
berkeping-keping karena saya sangat mencintaimu” Mbak Retno menunduk dan dua ekor semut hitam yang bersimpuh di
depannya juga merunduk. Semut-semut itu tetap menjadi saksi pada pertemuan kembali
seorang gadis dengan kekasihnya. Sungguh
amat mirip dengan pertemuan kembali antara Nabi Adam dan Siti Hawa yang berpisah
selama seratus tahun setelah mereka keluar dari surga.
“Maafkan aku,Retno. Aku tidak ingin mengecewakan isteriku yang akhirnya
selalu kupanggil dengan nama Ummi Masyitah, namun di dasar hatiku selalu
terkenang padamu. Aku tetap selalu menyebut namamu. Aku selalu merindukanmu.
Namamu tetap lekat di dasar hatiku yang paling dalam. Aku yakin suatu saat akan
bertemu kembali denganmu”
“Saya juga begitu, saya juga selalu menyebut namamu tiap saat.Kalung
pemberian Bang Fadhil tidak pernah lepas dari leher saya. Dan di Jabal Rahmah
kalung ini saya dekap erat-erat dan saya
memohon kepada Tuhan, agar saya mendapatkan ganti Bang Fadhil.”
“Aku tetap yakin, suatu saat
Tuhan akan mempertemukan kita seperti Tuhan mempertemukan kembali Nabi Adam
dengan Siti Hawa . Bukankah akhirnya kita bertemu di Masjidil Haram?.
Bukankah kita bertemu kembali di depan Ka’bah, di depan Multazam ini?. Seperti
pertemuan kembali Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah.”
“Saya amat bersyukur. Doa saya di Jabal Rahmah tidak sia-sia. Doa saya di
sana dikabulkan
Allah. Di puncak bukit itu saya selalu menyentuh kalung berhiaskan mainan
delima merah pemberian Bang Fadhil”.
Lelaki gagah itu tersenyum dan bangga.
Mbak Retno tidak mampu mengelak ketika lelaki itu mendekapnya dan memeluknya
erat sekali. Sepasang semut hitam yang masih bersimpuh di depan Mbak Retno
menunduk malu.
“Aku berjanji akan menikah denganmu!.” kata-kata itu diucapkan oleh Bang Fadhil di
telinga kanan Mbak Retno dan lelaki itu menggenggam jari-jemari tangannya amat erat.
”Tidak
mungkin!. Sungguh tidak mungkin kita menikah karena sudah ada Ummi Masyitah di sisimu!”
“Ummi
Masyitah sudah pergi jauh.”
“Pergi kemana?. Ia pergi ke Papua?. Ia pergi melanglang buana?”
“Ia
pergi sangat jauh sekali. Ia tidak akan pernah pulang kembali.”
“Berterus
teranglah kepada saya,Bang Fadhil. Kemana Ummi Masyitah meninggalkanmu dan meninggalkan semua usahanya?”
Lelaki
itu tidak segera menyahut, seperti ada kesedihan yang amat besar di dasar hatinya.
“Katakanlah
dimana sekarang istrimu berada. Tidak bolehkah saya tahu keberadaan seseorang
yang sudah menjadi teman hidupmu?”
“Terlalu berat bagiku untuk mengatakannya,Retno.” Lelaki
itu berkata dengan menunduk.
“Kenapa
berat?.” desak Mbak Retno dan menatap amat dalam wajah lelaki itu, seperti
mencari sesuatu. Lelaki itu menekur
lagi, seperti tidak mampu berkata-kata.
“Tidak
bolehkah saya tahu apa yang terjadi?’
“Ia
tidak lagi di sisiku. Ia telah pergi jauh dan sangat jauh. Ia sudah kembali ke
sisi Tuhan.”
“Meninggal?”
Lelaki itu menangguk lirih.
Kesedihan yang amat dalam menggurati wajahnya yang tampan. Kumisnya dibentuk
rapi. Sejak dulu lelaki itu memang selalu rapi dalam hal berpakaian, juga
selalu merapikan kumisnya. Bila lelaki itu mengecup keningnya, kumis itu terasa
menusuk kulitnya.
“Meninggal seperti suaminya,
kecelakaan pesawatkah?”
Lelaki itu menggeleng.
“Sakit?”
“Ya!”
“Tidakkah Bang Fadhil berusaha membawanya berobat ke Singapura atau ke Belanda?”
”Sia-sia. Segala usaha dan upaya
telah ditempuh, tetapi tidak berdaya. Ia meninggal karena serviks ganas yang
menggerogoti rahimnya.”
Mbak Retno menghela nafas panjang. Setiap perempuan memang selalu
dihadang dua penyakit yang mengerikan, yakni kanker serviks yang menyerang
leher rahim dan tumor ganas di payu dara. Sudah amat banyak perempuan mati
direnggut kanker serviks. Orang tidak lagi terkejut bila perempuan tidak memiliki payu dara lagi karena keduanya diangkat akibat kanker
ganas. Masih lumayan bila wanita yang tidak memiliki payu dara, tapi masih hidup.
Betapa malang
nasib perempuan bila payu daranya sudah
diangkat tetapi nyawanya tidak tertolong.
“Tidak ada satupun rahasia dalam dirinya. Ia berterus terang tentang
kekayaannya, tentang keadaan orang tuanya, dan tentang almarhum suaminya yang selalu terbang menjelalah pulau Papua
sebagai misionaris. Hanya yang tidak
pernah ia katakan, bahwa ia menyimpan benih-benih penyakit dalam rahimnya,yakni
serviks. Kanker itu mengganas setelah
kami menikah dan akhirnya ia meninggal di pangkuanku.”
“Kasihan,” gumam Mbak Retno ikut merasa sedih.
“Ia meninggal sebagai seorang muslimah sejati. Meskipun sebelumnya ia
adalah seorang penganut Nasrani, tapi di saat menghembuskan nafas teakhir, kalimah Allah tergetar dari bibirnya yang
lemah”
“Kasihan. Aku ikut bersedih. Aku ikut kehilangan.”
Dan lelaki itu masih sempat mengungkap, bahwa sudah banyak ia menyaksikan
orang menghembuskan nafas terakhir, meskipun amalannya amat banyak, tetapi pada
saat menghembuskan nafas terakhir sangat gelisah dan mengerang kesakitan. Pada
saat roh akan meninggalkan jasad seseorang memang terasa sangat sakit, seperti
kambing dikuliti hidup-hidup, hingga gelisah dan tidak jarang yang meraung
kesakitan. Hingga kalimah terakhir yang diucapkan bukan zikrilah, tapi kalimah
lain. Tapi pada saat istrinya, Ummi Masyitah yang pernah menjadi pemeluk agama
lain menghembuskan nafas dengan amat tenang, dengan mengucapkan zikir.
“Ia memang seorang muslimah sejati,” terdengar lagi suara lelaki di sisi
Mbak Retno.
“Tuhan akan menempatkan arwahnya disisi-Nya di tempat yang terbaik.”
“Aku berharap juga begitu. Allah sudah menyediakan tempat di surga
untuknya.”
Lelaki yang berada di sisi Mbak Retno adalah seorang lelaki yang
dibesarkan dengan didikan agama yang sangat ketat. Selama bertahun-tahun lelaki
itu belajar ilmu tauhid, ilmu tasauf. Fikih dan masalah-masalah amar ma’ruf
nahi mungkar dari seorang lelaki tua bernama Mualim Bukhari. Bang Fadhil masih sempat mengungkap
tentang sabda Raululullah yang
diriwayatkan Abu Bakar bin Syaibah .dari
Abu Hurairah, bahwa ada tiga golongan manusia yang pertama masuk surga dan tiga
golongan pula yang pertama dilemparkan ke
dalam neraka. Tiga golongan pertama yang masuk surga adalah orang-orang
yang mati syahid, orang yang menjaga
kehormatan dan berusaha tetap menjaga diri dari
maksiat, dan budak yang tetap
setia kepada tuannya dan beribadah dengan
sebaik-baiknya.
“Akankah Bang Fadhil kembali ke Halmahera ?,” Mbak Retno menatap wajah lelaki itu lagi.
“Tidak. Aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke sana .”
“Lalu bagaimana dengan usaha yang tinggal di sana ?”
“Ketika kami menikah, Ummi Masytah sudah mempunyai seorang anak lelaki
dari suaminya yang tewas di Papua. Sebagian besar usaha itu diwariskan
kepada puteranya. Aku hanya mendapatkan harta warisan sekedarnya.”
“Saya kagum kepadamu,Bang Risal.”
“Aku menerima apa adanya, hanya
cukup untuk modal membuka usaha sebuah biro perjalanan kecil-kecilan.
Tahukah kamu, bahwa langganan yang selalu membeli tiket jurusan ke Halmahera
adalah Hollman van Nienhuys yang
berbulan-bulan menelititi budaya orang-orang Halmahera yang unik itu?. Namun
ada sesuatu yang tidak ternilai harganya yang ditinggalkan oleh Ummi Masyitah?”
“Emas?. Deposito di Bank?”
“Bukan berbentuk harta. Kalau tumpukan harta yang ditinggalkan, mungkin
sekejap akan habis.”
“Benda apa yang ditinggalkannya di dunia ini?”
“Seorang anak lelaki yang diperolehnya dari perkawinannya dengan suami
yang tewas di Papua. Ayah anak itu adalah misionaris yang menyebarkan agamanya
di pedalaman Papua. Setelah suaminya meninggal anak itu dididik agar mewariskan tugas-tugas ayahnya. Anak itu
dididik di lingkungan gereja.”
“Bakat itu memang sudah tampak sejak anak itu kecil?, Begitukah?”
“Ya!. Tapi setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan pesawat terbang,
setelah ibunya menikah denganku, ibunya berusaha agar anak itu juga ikut
menjadi muslim.”
“Memang demikiankah pada akhirnya?”
“Pada awalnya memang alot dan keras.
Karena jiwa dan ajaran Nasrani memang sudah berakar amat dalam di jiwa raganya,
tapi karena upaya yang amat keras dari ibunya, anak itu akhirnya mendapatkan
Nur Ilahy. Ia menjadi seorang muslim.
Andainya ibunya meninggal, ia mewariskan sesuatu yang tidak ternilai,
yakni seorang anak muslim padahal ayahnya adalah seorang pemuka agama lain”
“Jasamu ada di sana,Bang Fadhil.”
“Aku bersyukur sudah berbuat yang terbaik”
Lelaki itu menghela nafas panjang. Sesaat ia menekur dan memandang wajah
Mbak Retno.
“Maukah kamu ikut mendoakan
isteriku di tempat ini?”
“Kenapa tidak?. Aku akan mendoakan dengan ikhlas, seperti aku mendoakan
abi dan ummi yang direnggut kecelakaan
kereta api.”
Di depan Ka’bah, persis di depan Multazam, Retno dan lelaki kelahiran Sumatera
itu memulai doanya yang khusu’.
Sepasang semut hitam ,Ummu Naubah
dan Abu Masyghul juga ikut berdoa
. Ikut mengaminkan.
“Saya tidak punya siapa-siapa lagi sekarang ,Bang Fadhil,” suara Mbak Retno seperti sebuah rintihan panjang.
“Aku sudah mendengarnya. Aku amat kasihan kepadamu. Itulah sebabnya aku
mencarimu, hingga akhirnya kudengar kau berniat menunaikan Ibadah Haji. Aku
harus menyusulmu. Aku bersumpah untuk mencarimu sampai bertemu meskipun aku
mencarimu hingga ke ujung langit. Aku harus bertemu denganmu apapun yang
terjadi, karena aku selalu menyebut namamu, karena aku selalu merindukanmu.”
“Saya juga begitu!”
“Aku bertekad, diantara jutaan orang di Tanah Suci ,aku akan berhasil menemukanmu!”
Memang tidak sulit untuk mencari seseorang diantara jutaan orang yang
menunaikan ibadah haji, dengan syarat diketahui nama embarkasi keberangkatan
dan urutan keloter. Itulah sebabnya dengan pertolongan Tuhan, lelaki itu
menemukan Mbak Retno di depan Ka’bah, persis di depan Multazam. Dan lelaki itu
menemukan Mbak Retno sedang menangis. Betapa lelaki itu amat bersyukur.
Dan Mbak Retno lebih bersyukur lagi. Seseorang yang dianggapnya sudah
mati ternyata masih segar bugar, masih tegar, bahkan keadaan hidupnya mapan.
Liku-liku perjalanan hidup lelaki itu memang teramat panjang. Menjadi korban pembantaian penjahat ternyata
membawa hikmah yang amat besar baginya.
Bila tragedi itu tidak menimpa dirinya, mungkin ia tetap akan menjadi
penarik ojeg seumur hidupnya dan tetap melarat.
“Aku ingin mengatakan sesuatu
kepadamu.” ujar lelaki itu setelah menekur sejenak.
“Tentang apa?. Adakah hal-hal yang sangat menyakitkan hati saya yang
akan saya dengar?”
“Tidak!,” lelaki itu menggeleng.
“Saya sudah siap untuk
mendengar hal-hal yang paling pahit. Saya sudah siap untuk mendengar hal-hal
yang paling menakutkan, karena hidupku sudah terbiasa dengan kegetiran dan goresan beling tajam. Katakanlah apa saja meskipun hati saya akan terasa seperti tertusuk duri,” Mbak Retno berkata polos.
“Aku tidak akan menyakiti hatimu lagi. Aku tidak akan meninggalkan kamu
lagi.”
“Katakanlah sekarang, saya siap
untuk mendengarnya.”
“ Aku akan menikahimu. Kita akan kawin! Aku akan membahagiakanmu”
“Sungguh?”, Mbak Retno hampir tidak percaya dengan ucapan itu. Baru saja
tangisnya berderai-derai karena ia ingat masa lalu, saat ia kehilangan lelaki
itu. Sekarang, tiba-tiba saja lelaki
itu muncul bagaikan sebuah keajaiban,
lalu mengajaknya menikah.
“Demi Tuhan, aku sungguhan!”
“Setelah kita pulang ke tanah air?”
“Tidak!”
“Di sini? Di Masjidil Haram ini?.
Di depan Ka’bah ini?”, gadis itu masih ragu-ragu akan kebenaran ucapan lelaki
yang baru muncul di sisinya setelah menghilang berbilang tahun.
“Ya, di sini, di Tanah Suci ini. Bukankah pernikahan di Tanah Suci tidak
dilarang kecuali pada saat berihram?.
Yang penting semua syarat dan rukun nikah itu ada!”
Diam-diam sebelum kepergian lelaki itu ke Tanah Suci , ia
menelusuri kawasan kelas bawah di sekitar tempat tinggal Mbak Retno. Ia mendengar
informasi bahwa sang abi, ummi dan adiknya tewas karena kecelakaan kereta api
lalu pihak asuransi membayar klaim tiga
puluh juta. Lelaki itu juga memperoleh
informasi, bahwa Mbak Retno menjadi pendidik di madrasah Istiqomah.
Tidak hanya itu, lelaki itu juga memperoleh informasi tentang rencana keberangkatan Mbak Retno ke
Tanah Suci. Itulah sebabnya ia mendatangi kantor kelurahan, kemudian kantor
urusan agama setempat untuk mendapatkan keterangan dan dokumen yang diperlukan
untuk pernikahan. Semua itu sudah diperoleh lelaki itu, Semua sudah ditangan
lelaki itu. Tidak ada lagi rintangan
untuk melaksanakan pernikahan di Tanah Suci.
“Oh,Bang Fadhil. Semua seperti mimpi. Semua berjalan seperti sebuah
keajaiban. Saya sangat bersyukur dan berbahagia sekali.”
Mbak Retno rebah di dada lelaki itu dan membiarkan tubuhnya remuk dalam dekapan lelaki itu.
“Ada sesuatu yang kuminta
darimu,” terdengar bisik lelaki itu.
“Tentang apa?”
“Namamu.”
“Kenapa dengan namaku?
“Aku ingin menambahkan agar
lebih beraroma muslimah.”
“Lalu saya harus merubah nama?.
Bukankah sudah ada nama muslimah,yakni Ramadhani karena saya dilahirkan di
bulan Ramadhan,tepat pada peringatan nuzulul Qur’an?.”
“Tidak harus merubah nama itu,
tetapi menambahkan sepotong nama, yakni
Anisa, artinya perempuan.”
Mbak Retno rebah lagi di dada
lelaki yang selama ini dianggapnya sudah mati namun seperti sebuah keajaiban
tiba-tiba lelaki itu hadir di sisinya,di
depan Multazam.
“Suatu saat nanti aku akan
membawamu ke Sumatera. Aku ingin memperlihatkan kampung halaman dan tanah
kelahiranku yang merupakan desa orang-orang Melayu di Sumatera.”
Lelaki itu menyebut desa Kuta Galuh,tempat kelahirannya yang terletak
di kawasan Serdang Bedagai yang banyak dihuni oleh masyarakat Melayu dan tidak
jauh dari kota kecil Perbaungan. Di sana pernah berdiri dengan megah istana Sultan
Serdang namun ketika revolusi bergolak
dan terjadi politik bumi hangus, istana
itu ikut jadi abu.
Di atas tanah bekas istana
Sultan Serdang itu kini sudah berdiri rumah-rumah rakyat biasa, bukan bangsawan
Melayu.
”Oh, saya ingin sekali bertemu
dengan kedua orang Bang Fadhil. Saya ingin sekali mencium tangan ibumu”.
Mbak Retno masih rebah di dada
lelaki itu. Mereka memandang ke langit dan melihat burung-burung merpati terbang di atas Masjidil Haram. Seperti burung-burung itulah
kedua keturunan Adam itu sekarang, berada di tempat yang sangat jauh dari
kampung halaman. Namun di tempat jauh itulah mereka yang pernah terpisah
oleh kerasnya kehidupan akhirnya bertemu lagi.
***
Setetes demi setetes air mata bergulir di pipi
perempuan yang berasal dari keluarga penjual jamu gendong itu ketika melangsungkan pernikahannya di pelataran Masjidil Haram, disaksikan oleh
amat banjak jamaah, disaksikan oleh burung-burung yang sedang terbang di atas
masjid itu. Juga disaksikan oleh langit biru, disaksikan oleh awan putih yang
berarak-arak, disaksikan oleh angin gurun yang sedang berhembus sepoi. Ikut juga menyaksikan dua ekor semut hitam , Ummu Naubah dan
Abu Masyghul . Bahkan banyak malaikat juga ikut menyaksikan
pernikahan itu. Saat itu Mbak Retno
merasa sebagai manusia yang paling berbahagia di muka bumi ini. Demi Tuhan, ia tidak menduga akan bertemu
kembali dengan seorang lelaki idamannya
di Tanah Suci. Seperti sebuah keajaiban,
seperti sebuah mukjizat Tuhan.
“Lihat air mata
Mbak Retno,” desis suara Ummu Naubah.
“Kenapa ia menangis padahal pernikahan ini sudah amat lama
dinantikannya?”
“Ia menitikkan air mata karena
kebahagiaannya, bukan kerena kesedihan.
Ia ingat segalanya, ingat abi dan
umminya yang sudah tidak ada dan pasti ia ingat masa lalu yang sangat pahit dan pedih.”
“Kenapa pahit?. Kenapa pedih?”
“Ia kehilangan calon suaminya sangat lama, berbilang tahun, bahkan
dianggapnya sudah mati”
“Doanya di Tanah Suci ini tidak sia-sia!”
“Itu tandanya Tuhan sangat menyayanginya. Pertolongan Tuhan datang di sini, di Tanah Suci ini”
Lelaki
yang kini sudah menjadi suami Mbak Retno
menyeka air mata di pipinya dan memberinya kecupan di kening sebagai tanda
kasih sayang.
“Saya bahagia sekali,” desis Mbak Retno lirih ketika rebah di dada lelaki
itu.
“Aku juga, tidak pernah kurasakan
kebahagiaan seperti ini sebelumnya.”
“Rahmat Tuhan telah datang kepada
saya.”
“Juga kepada kita berdua.”
“Doa kita tidak sia-sia. Pernikahan
kita disaksikan langit biru, disaksikan burung-burung, disaksikan angin yang
berhembus dan disaksikan oleh malaikat-malaikat.”
Sepasang manusia yang kini sudah
menjadi suami istri itu adalah pasangan
yang paling beruntung, yang paling banyak mendapatkan Rahmat Allah.. Para malaikatpun ikut mendoakan agar pasangan itu adalah
pasangan suami istri yang sakinah mawaddah wa rahmah. Seperti pasangan Rasulullah dengan Aisyah
atau Khadijah, atau seperti pasangan Nabi Yusuf dengan Zulaiha yang amat cantik
itu. Tapi yang paling mirip adalah seperti pasangan Adam dan Hawa yang
pernah terpisah lebih dari seratus tahun, namum suatu ketika mereka bertemu
kembali di Jabal Rahmah, setelah masing-masing menjalani kehidupan yang penuh
dengan liku-liku dan beling tajam atau
duri-duri tajam.
Mbak Retno juga begitu, mereka terpisah
selama berbilang tahun dan menganggap
tidak akan pernah bertemu lagi karena lelaki
itu sudah mati, mayatnya sudah dilemparkan orang ke sungai lalu jadi
santapan buaya di laut. Siapa menyangka keduanya akan bertemu lagi?. Semua adalah kehendak Tuhan.
Bila Allah memang berkehendak, apapun dapat terjadi dalam waktu sejenak.
Sepasang semut hitam itu saling
berpandangan ketika Mbak Retno
rebah di dada suaminya. Sudah amat lama
sepasang semut itu saling bersahabat, saling mengasihi, saling mencintai dan
saling berharap menjadi pasangan suami istri. Mereka selalu bersama ketika
masih menjadi semut pekerja bersama ribuan koloni lainnya mengusung bangkai kecoa
atau mengusung benda untuk bahan sarang
mereka.
Tangan semut jantan menyentuh tangan
semut betina.
“Naubah,” nama itu tercetus dari
cela bibir semut jantan, seperti ada sesuatu yang diharapkannya.
“Hmmmm,” semut betina hanya bergumam lirih.
“Mbak Retno sudah menemukan
jodohnya. Ia berbahagia sekarang. Dia sudah menemukan seseorang yang hilang dan
diduga sudah mati.”
“Doanya memang dikabulkan Tuhan.”
“Bukankah kita juga ikut berdoa?.
Kita juga menginginkan kebahagiaan seperti itu.”
“Jangan samakan kebahagiaan kita
kaum semut dengan Mbak Retno dan suaminya yang abadi hingga hari tua, hingga ke
anak cucu. Kebahagiaan kita hanya sesaat.
Apa artinya kebahagiaan kalau hanya sesaat?. Apa artinya kita kawin lalu
beberapa saat kemudian kamu meninggalkan aku sendiri?. Bukankah masih banyak yang ingin kita
saksikan di sini?. Perjalanan yang akan ditempuh Mbak Retno masih panjang.
Bersama suaminya ia harus melakukan
wuquf di Arafah, mencari batu di Muzdalifah, melakukan pelontaran di Aqobah,
Ula dan Wusta, lalu kembali kemari untuk melakukan tawaf wada’. Masih banyak
yang harus kita saksikan.”
“Kapan lagi kita akan kawin?.”
“Nanti, pada akhir perjalanan ibadah
Mbak Rento.”
“Akh, betapa amat lama, betapa
amat jauh perjalanan ini. Rasanya aku tidak sabar untuk
menikmati kebahagiaan sejati, yakni sebuah perkawinan.”
“Aku berharap kamu bersabar. Bukankah
Nabi Adam bersabar menunggu seratus tahun hingga dapat bertemu kembali dengan Siti Hawa?. Bukankah Mbak Retno bersabar
menunggu datangnya suami selama berbilang tahun dan akhirnya kebahagiaan itu
datang?”
Semut jantan menghela nafas panjang,
seperti ada sebuah kekecewaan di hatinya. Ia memang sudah amat merindukan
sebuah perkawinan sejati.
Malam-malam yang penuh
kebahagiaan dinikmati oleh Mbak Retno
bersama suaminya . Bulan madu dinikmatinya di Tanah Suci. Sepasang semut hitam
itu merasa malu dan bersembunyi dalam tas paspor bila pasangan suami isteri itu sedang
menikmati kemesraan. Bulan madu sepasang
manusia itu dinikmati di tempat yang amat suci.
Betapa bahagianya mereka berdua. Tetapi kebahagiaan itu mereka peroleh
tidak mudah. Kebahagiaan itu mereka nikmati setelah melalui perjalanan panjang.
Kebahagiaan itu mereka nikmati setelah melewati duri-duri dan beling tajam.
Kebahagiaan itu menjadi kenyataan
setelah lelaki kelahiran Sumatera itu melanglang buana hingga ke Halmahera dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya, hingga
menikah dengan seorang janda yang pada
awalnya penganut non muslimah. Setelah
janda itu meninggal direnggut ganasnya kanker serviks, barulah lelaki itu
menjadi milik Mbak Retno sekarang.
“Terkadang aku masih selalu terkenang
dengan Ummi Masyitah,” cetus Bang Fadhil menyebut nama istrinya yang dulu masih
bernama Bu Martha ketika mereka berbaring.
“Bang Fadhil terkenang akan
kecantikan wajah Ummi Masytah?,” Mbak
Retno menatap suaminya.
“Tidak hanya itu.”
“Lalu terkenang tentang apa?”
“Usia kami jauh berbeda. Ummi Masyitah sudah berusia empat puluh lima tahun dan aku
jauh lebih muda.”
”Bukankah Rasulullah juga begitu ketika pertama kalinya
menikah dengan Siti Khadijah?. Saat itu
umur Khadijah sudah empat puluh dan diberi
julukan konglomerat muslimah”
”Ya, juga sebagai bangsawan Quraisy
yang kaya raya dan dermawan”.
Sahut
Bang Fadhil tersenyum.
Sekarang
Mbak Retno tidak sendiri lagi. Pergi sholat fardhu bersama suaminya, membaca Qur’an
juga bersama-sama, bila Mbak Retno membaca, suaminya menyimak tentang
tajwidnya. Begitu juga bila suaminya membaca kitab suci itu, bergantian Mbak Retno yang memperhatikan tentang panjang
pendeknya. Sesekali lelaki kelahiran
Sumatera itu menterjemahkan ayat-ayat yang dibaca Mbak Retno. Seperti ayat yang baru saja dibaca Mbak Retno
yakni surah Ar-Ruum ayat 41. Suaminya langsung membacakan maknanya, Telah terjadi
kerusakan di darat dan di laut sebab perbuatan tangan manusia, supaya Allah
memberi tahu kepada mereka sebagian dari
akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Sejak ratusan tahun yang silam,
Tuhan sudah memberi peringatan, bahwa di
bumi ini, di darat, di laut, bahkan di udara telah terjadi kerusakan yang
disebabkan tangan-tangan kotor dan nafsu manusia. Manusia memang terkadang amat dikuasai nafsu.
Hingga bumipun dirusak.
Lelaki kelahiran Sumatera itu juga
bertutur tentang terjemahan Surah Asy Syu’araa yang berarti penyair. Bahwa
Allah menurunkan mukjizat kepada Nabi Musa dengan sebuah tongkat,lalu tongkat itu
menelan ular-ular yang dibuat oleh para ahli sihir dedengkot Fir’aun. Ketika Fir’aun mengejar Nabi Musa hingga ke
pinggir laut, lalu tongkat itu pula yang menyelamatkan Nabi Musa dengan jalan
memukulkan tongkat itu ke laut, lalu lautpun terbelah dua dan Fir’aun terjebak
di dalamnya.
***
Air matapun berderai
lagi ketika lebih dari tiga juta ummat melakukan wuquf di Arafah. Semua
bersujud di atas pasir yang hanya
dilapisi karpet lalu melakukan munajat dengan Allah. Semua seperti melakukan
dialog dengan Tuhan. Semua mengakui
dosa-dosa dan kesalahan di depan
Allah. Pada saat itu Tuhan seakan-akan
hadir di depan para jamaah haji yang jumlahnya lebih dari tiga juta orang dan
datang dari seluruh penjuru dunia. Dan semua memohon keampunan. Di sini tidak
ada dosa yang tidak diampuni. Tidak ada
dosa yang tidak mendapat maghfirah dari Tuhan.
Mbak Retno dan suaminya menyadari,
bahwa setelah melakukan wuquf, manusia merasa terbebas dari belenggu dosa. Di
tempat ini para jamaah haji mengenakan pakaian ihram dan menanggalkan segala simbol-simbol
keduniaan. Setiap jamaah pada saat di Arafah sangat dekat dengan Allah. Sepasang
semut yang selalu bersama Mbak Retno, Ummu Naubah dan Abu Masyghul, juga ikut merasakan sangat dekat dengan Tuhan.
Udara di Arafah yang amat luas itu
memang teramat panas, matahari seakan-akan berada tepat diubun-ubun. Tapi Mbak
Retno dan suaminya tidak perduli dengan udara yang amat panas itu, seakan
malaikat menyemprotkan air sejuk di atas
kepala mereka berdua. Di sisi mereka, seorang
lelaki setengah umur justru merasa seperti kedinginan, tubuhnya
menggigil.
“Aku tidak tahan di sini, aku tidak
tahan,” keluh lelaki yang menggigil
kedinginan. “Ayo kita pulang!. Ayo kita pulang!”
“Bapak harus istighfar. Kita sedang
beribadah. Kita sedang melakukan wuquf.
Di sinilah tempatnya kita bermunajat kepada Allah. Disinilah kita memohon keampunan,” sambut istrinya.
“Tapi aku tidak tahan,Bu. Aku tidak tahan terlalu dingin. Perasaanku
seperti sedang berada di puncak gunung es. Aku merasa bukan di Arafah, tapi
seperti sedang berada di kutub yang sangat dingin.”
Lelaki itu menunjuk ke arah timur
dan tubuhnya masih terus menggigil kedinginan sementara semua jamaah sedang
merasakan udara yang amat panas sehingga menyemprotkan air di atas kepala.
“Lihatlah di sana
burung-burung penguin sedang kedinginan, padahal mereka adalah binatang yang
sudah biasa bermain salju, tapi pada hari ini mereka kedinginan seperti aku!,” lelaki itu masih menunjuk ke arah timur dan
yang tampak di pelupuk matanya adalah burung-burung penguin yang
kedinginan,padahal mereka adalah para jamaah yang datang dari Bangladesh .
“Lihatlah di sana , Bu. Di sebelah selatan beruang-beruang es yang sedang menyusukan anaknya juga sedang
kedinginan. Kasihan, anak-anak beruang es itu tidak dapat menyusu karena air
susu induk beruang itu sudah membeku
karena udara yang sangat dingin.”
“Astaga!.
Mereka bukan beruang es yang kedinginan, tapi mereka adalah jamaah dari India
yang sedang memohon keampunan dari Allah!”
“Lihat di sana !,” lelaki itu
menunjuk ke arah barat “Di sana anjing-anjing laut
juga kedinginan dan berlari ke daratan untuk
mencari tempat yang hangat”
“Ya, Allah ampuni dosa suamiku di
masa lalu. Jangan biarkan ia mengigau terus.”
Lelaki itu tetap saja kedinginan, tetap saja ia menggigil,
padahal ia sedang mengenakan pakaian ihram. Lelaki itu tetap saja minta pulang ke tanah air. Ia minta pakaian ihram
yang tidak dijahit pada dirinya ditukar dengan jeket tebal.
”Buka
pakaian ihram ini,Bu. Aku tidak suka memakainya. Aku tidak mau memakai pakaian yang tidak berjahit ini. Ambilkan jeketku,Bu. Aku tidak tahan dingin! Ambilkan selimutku!”
”Ya,
Allah. Mengapa harus terjadi seperti ini terhadap ayah anak-anakku?.”
Lelaki
itu tetap saja kedinginan, tetap saja meminta agar pakaian ihramnya diganti
dengan jeket tebal dan minta tubuhnya diselimuti.
”Tidak
boleh,Pak. Kita sedang melakukan wuquf
di Arafah. Bapak harus tetap mengenakan pakaian ihram hingga mabit di Muzdalifah untuk mencari
batu-batu kecil di sana kemudian melakukan pelontaran. Bapak baru boleh melepas
pakaian ihram setelah melakukan
pelontaran terhadap jamrah di Mina nanti, setelah melakukan tahalul.”
Dengan
amat sabar, sang istri membujuk suaminya
agar memperbanyak kesabaran , beristighfar serta berzikir. Tapi lelaki itu tetap saja gelisah karena
kedinginan.
“Ayo,Bu!.
Bawa aku menyingkir dari tempat ini. Aku
tidak tahan lagi. Aku tidak tahan. Aku akan mati di sini. Aku akan terkapar karena kedinginan di
tempat ini!”
Lelaki itu tetap saja menunjuk ke arah
barat, timur, utara, selatan dan segala penjuru. Di semua tempat yang tampak adalah anjing-anjing laut, penguin, beruang es
atau binatang lainnya yang semua menggigil kedinginan. Padahal yang ada di sekitarnya adalah para jamaah
dari berbagai negara, dari Afganistan, dari Mesir, Irak, Afrika Selatan dan negara-negara
lainnya. Semua sedang membaca Qur’an,
mereka sedang membaca doa wuquf. Mereka
semua sedang memohon keampunan atas dosa-dosa di masa lalu ketika di tanah air.
Hanya lelaki setengah baya itu yang
tidak berdoa. Tidak satupun huruf Qur’an
yang dibacanya. Ia tetap saja menggigil. Ia tetap saja tidak kerasan bersimpuh
di Arafah. Bahkan ketika khutbah wuquf dikumandangkan, ia tetap saja menggigil
dan meminta agar dibawa pergi ke tempat
lain untuk menghindari udara dingin. Ia tidak sempat memohon keampunan.
Ia telah kehilangan kesempatan emas, padahal semua dosa diampuni ketika melakukan wuquf di Arafah. Orang-orang yang sakit parahpun harus berada
di Padang Arafah meskipun mereka tergeletak tanpa daya di mobil ambulans.
Orang-orang yang sakit itu dengan posisi
berbaring dalam ambulans juga
melantunkan doa-doa dan ayat-ayat Qur’an. Dengan tubuh terbaring lemah, orang-orang yang sedang sakit itu mendengar khutbah
wuquf.
Segumpal
dosa memang melekat pada diri lelaki
yang terus gelisah dan kedinginan itu. . Lelaki itu adalah seorang pengusaha
yang sukses karena ketekunannya. Tapi
lelaki itu telah melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Lelaki itu
tidak pernah membayar zakat harta, padahal dalam hartanya terdapat harta orang
lain, terdapat harta milik orang-orang fakir, miskin, mualaf, fisabilillah,
orang yang berhutang dan banyak lagi. Bahkan
lelaki itu tidak pernah bersedekah,
ia tidak pernah menyumbang untuk membangun masjid atau madrasah. Ia tidak pernah memberi bantuan kepada
panitia MTQ yang datang ke rumahnya.
Lelaki itu memiliki kekayaan yang lumayan, tetapi sama sekali tidak
pernah menunaikan kewajibannya membayar
zakat harta. Lelaki itu tetap patuh membayar pajak kepada pemerintah. Tapi
lelaki itu selalu berdalih membayar
pajak ke kantor Kas Negara dianggap sebagai zakat hartanya.
Tidak hanya itu, ia juga memberikan sebagian hartanya untuk seorang
perempuan cantik yang dikawininya dengan diam-diam. Dengan diam-diam pula ia
membangun sebuah salon untuk isteri gelapnya dan juga sebuah bangunan untuk
sanggar kebugaran jasmani.
Itulah sebabnya akhirnya ia menerima
azab dari Tuhan ketika ia sedang berada di Padang Arafah ketika melakukan
wuquf. Tidak hanya itu, sebuah toko
miliknya terbakar habis. Si jago merah mengamuk dan memusnahkan barang-barang
dagangannya. Sebelum khutbah wuquf
dikumandangkan, lelaki itu pingsan dan harus masuk ambulans. Kasihan istrinya.
Azab Tuhan memang selalu datang
ketika manusia melakukan ibadah haji.
Hakim yang selalu berlaku tidak adil, di tanah suci juga akan menerima
azab. Anggota legislatif yang
tidak menyuarakan hati nurani rakyat kecil juga akan menerima hukuman
dari Allah. Bahkan ustaz yang menjual
ayat-ayat Qur’an juga akan terjerat oleh azab Allah di sini. Sesungguhnya azab dari Allah amat pedih.
Orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat dari Allah, pasti akan menerima
azab yang sangat pedih. Seperti lelaki yang selalu kedinginan di
Padang Arafah itu.
Akan halnya Mbak Retno tidak sendiri lagi melakukan wuquf
di padang pasir
yang amat luas itu. Keduanya seperti
mendapat naungan dari malaikat sehingga tidak terlalu merasakan udara panas.
Bersama suaminya ia membaca doa wuquf, suami melantunkan doa, Mbak Retno
mengaminkan. Tidak hanya Mbak Retno yang mengaminkan doa itu, tetapi juga
sepasang semut hitam yang sejak awal keberangkatannya ke Tanah Suci selalu
berada di sisinya.
Mbak Retno tidak mampu membendung
tangis. Air matanya berderai-derai dan membuat anak sungai yang airnya amat bening di pipinya. Suaminya juga tidak mampu menahan tangis, apalagi
ketika ia berdoa untuk almarhumah
isterinya yang sudah amat banyak
berbuat baik kepadanya. Tidak hanya itu,
Ummi Masyitah juga sudah berkorban yang tidak ternilai harganya, yakni meninggalkan akidahnya sebagai non muslimah bersama seorang puteranya.
Tangan-tangan malaikat selalu dekat
dengan Mbak Retno bersama suaminya
hampir pada setiap tempat. Juga ketika angin kencang berhembus di Padang Arafah
menjelang keberangkatan seluruh jamaah untuk mabit Muzdalifah dan mencari tujuh puluh batu-batu kecil yang akan digunakan untuk melakukan
pelontaran Aqobah, Ula dan Wusta sebagai sarang iblis dan syetan.
Tidak perlu tergesa-gesa mengejar
bis yang akan membawa mereka ke Muzdalifah.
Mbak Retno berjalan amat santai dan berpegangan tangan bersama suaminya naik ke bis besar dan dua tempat
duduk seakan sudah disediakan oleh
malaikat.
“Selamat tinggal Arafah tempat pembakaran dosa. Selamat tinggal padang Arafah tempat
pengampunan semua dosa-dosa manusia.” . Itulah yang diucapkan Mbak Retno dan
suaminya. Lebih tiga juta manusia mendapat pengampunan di tempat ini atas
dosa-dosa masa lalunya.
Tangan-tangan malaikat juga selalu
dekat dengan mereka berdua ketika mereka
turun dari mobil di sebuah tempat di Muzdalifah. Amat mudah mereka mendapatkan
tujuh puluh batu-batu kecil untuk melakukan pelontaran jamrah di Mina esok
hari. Tidak pernah sekalipun mereka keliru memungut tahi unta. Tidak seperti
jamaah lainnya yang terkecoh, mengutip
tahi unta yang dikira batu-batu kecil. Mbak Retno selalu mendapatkan banyak kemudahan dari
Allah.
Tidak hanya kemudahan, tetapi juga rahmat. Bukankah pertemuannya dengan
lelaki kelahiran Sumatera itu adalah sebuah rahmat Tuhan yang tidak ternilai?.
Bertemu kembali dengan seseorang yang diduga sudah mati terbunuh sekelompok
penjahat. Tuhan menyelamatkan nyawa lelaki
itu. Tuhan melindunginya. Dan mempertemukannya kembali dengan Mbak Retno. Seperti sebuah keajaiban.
Semut hitam itu masih tetap saja
lekat di pakaian Mbak Retno dan seekor
lagi melekat di pakaian ihram Bang Fadhil. Semut hitam itu menyaksikan sendiri
Mbak Retno dan suaminya mencari dan memungut batu-batu kecil dengan mudah.
Semut hitam itu tertegun sejenak ketika mendengar suara anjing menyalak. Mbak
Rento juga terheran-heran, mana mungkin di Tanah Suci ada seekor anjing. Tapi hanya sesaat suara anjing menggonggong
itu lenyap, lalu berganti dengan suara kucing mengeong. Apa yang dicari oleh
kucing itu di tempat yang gelap ini?,
pikir Mbak Retno yang juga mendengar suara kucing mengeong.
Suara kucing itupun sejenak lenyap
lalu terdengar suara kambing jantan.
Siapa yang memelihara kambing di tempat ini?. Mengapa dibiarkan kambing
berkeliaran di tengah malam ketika para
jamaah sedang mabit di tempat ini?. Bang Fadhil juga terheran-heran mendengar suara hewan-hewan itu. Tapi semua akhirnya menyadari, bahwa suara
hewan-hewan itu berasal dari seorang perempuan yang tampak seperti kesurupan.
Tubuh perempuan itu kejang-kejang dan matanya membelalak lebar sementara anak
lelaki yang menjadi muhrimnya berusaha menolong tetapi selalu ditepiskan dan
terpental. Dalam diri perempuan itu seperti ada syetan jahat yang sedang
mengganggunya ketika ia mabit di Muzdalifah dan mencari batu-batu kecil. Dan yang diperolehnya bukan batu-batu kecil,
tapi tahi unta yang sudah mengering. Perempuan malang itulah yang menirukan
suara anjing, kambing dan kucing.
Sesaat
kemudian terdengar perempuan itu berteriak-teriak histeris kepada puteranya:
”Usir
anjing itu jauh-jauh,Andi!. Usir binatang itu dan jangan biarkan dia mendekat.”
”Di
sini tidak ada anjing,Bu!,” sahut sang
anak berusia tujuh belas tahun di sisinya.
”Tapi
anjing itu akan menggigit ibu!”
”Tidak
ada binatang apapun di sini!,” sahut
anak lelaki di sisi perempuan yang terus berteriak-teriak histeris.
”Kucing
itu juga akan mencakar ibu,anakku!. Usir jauh-jauh kucing itu!”
”Astaga!.
Di sini tidak ada kucing ,Bu.”
”Kambing
itupun akan menanduk ibu. Usir jauh-jauh
semua binatang itu. Jangan biarkan binatang-binatang itu mendekati ibu!”
”Sama sekali tidak ada hewan apapun di
sini,Bu. Yang ada hanya jamaah yang
sedang mabit dan mencari batu-batu kecil untuk melontar jamrah,” tegas sang
anak.
”Tapi binatang-binatang itu matanya sangat mengerikan. Lihatlah anjing
itu, giginya sangat menakutkan. Lihat kucing itu cakarnya amat tajam . Lihat
kambing itu tanduknya panjang dan
melirik ibu untuk merobek perut ibu.”
”Ya,Allah. Ibu harus istighfar. Tidak ada hewan apapun.
Tempat ini adalah tempat suci, tidak mungkin
ada anjing atau kambing.”
Perempuan
itu tidak lagi berkata-kata, tidak lagi mendengar suara apapun, tapi ia meronta-ronta
dan berusaha menyerang setiap orang yang mendekat. Matanya membelalak lebar
membuat anak lelaki yang menyertainya ke Tanah Suci ketakutan. Jamaah
lainnya juga mendekat dan berusaha
menenangkan perempuan yang tampak
seperti kemasukan syetan itu.
Tapi perempuan itu seperti
mendapat kekuatan gaib sehingga
orang-orang yang mendekat segera terpental karena gerakannya. Semua akhirnya
menyingkir.
”Pergiiii!.
Pergiiii!. Jangan ganggu aku!,” teriaknya.
Dokter
kloter segera dipanggil untuk memberikan
pertolongan. Mungkin dengan sebiji tablet penenang dapat menolong perempuan yang tampak seperti
kesurupan itu. Tapi dokter itupun terpental ketika perempuan itu meronta
lagi. Setiap
ada tangan yang menyentuh dirinya,
ia pasti meronta. Ia pasti
berteriak-teriak lagi. Dokter itupun akhirnya tidak berdaya menghadapi seorang
perempuan yang sedang kesurupan itu.
“Dalam
kasus seperti ini pertolongan secara
medis tidak akan memberi manfaat, tapi harus dibantu dengan cara
supranatural,” ujar dokter itu.
“Tapi
bagaimana bisa mendapatkan pertolongan secara kebatinan di Tanah Suci?”
Ucapan
itu terdengar oleh Bang Fadhil yang pernah belajar berbagai ilmu dari Mualim
H.Bukhari, tidak hanya ilmu tauhid, tidak hanya ilmu tasauf, tidak hanya
ilmu-ilmu Qur’an dan hadist, tidak hanya tentang fadhilah tabligh, tidak hanya
tentang kalimah-kalimah thayyibah, tapi juga tentang ilmu-ilmu kebatinan. Bang Fadhil
juga pernah belajar untuk menjadi seorang shaman atau sejenis pawang. Lelaki
itu juga pernah mendapatkan pendidikan
untuk menjadi seorang pawang dari Mualim H.Bukhri di kampung halamannya di Kuta
Galuh, Sumatera.
Bang
Fadhil tahu persis, perempuan yang sedang berteriak-teriak histeris dan
meronta-ronta itu sedang menderita polong atau puaka. Mana mungkin seseorang
yang sedang menderita penyakit polong dapat diobati dengan cara kedokteran.
Penyakit polong hanya dapat disembuhkan dengan cara kebatinan. Penyakit polong hanya dapat disembuhkan oleh
shaman atau pawang.
Bang
Fadhil segera mendatangi anak muda yang menyertai perempuan itu ke Tanah
Suci. Bang Fadhil berbisik kepada anak muda itu:
“Ibumu
sedang menderita polong. Penyembuhannya hanya dapat dilakukan secara
kebatinan.”
“Lalu
apa yang dapat saya lakukan agar ibu saya sembuh?”
“Aku akan membantu menyembuhkannya, tapi
dengan satu syarat.”
”Syarat
apa?. Saya akan membayar berapapun yang diminta, asalkan ibu saya
dapat terhindar dari penyakit aneh seperti ini.”
”Tidak
perlu membayar mahal.”
”Lalu
saya harus memberikan apa?”
”Terus
terang, ketika di tanah air, ketika masa lalu, ibumu pernah melakukan kesalahan
terhadap seseorang , mintalah kepada ibumu untuk mengakui kesalahan itu.”
”Saya
tahu persis perjalanan hidup ibu
saya. Saya tahu persis segala hal-hal
yang pernah dilakukan ibu saya. Saya tahu betul apa saja kesalahan ibu saya
pada masa lalu.”
”Syukurlah
kalau begitu, ibumu akan dapat disembuhkan dengan mudah.”
Bang
Fadhil menekur sejenak,
seperti bersemedi layaknya. Lelaki itu seperti
sedang mengumpulkan semua kekuatannya.
Suami Mbak Retno seperti sedang memusatkan konsentrasi pikiran dan perhatiannya
pada suatu titik, pada penyembuhan terhadap perempuan yang menderita polong.
Seekor
semut yang tetap menempel di pakaian ihram Bang Fadhil terheran-heran. Semut yang menempel pada pakaian Mbak Retno
juga tidak menduga, bahwa ternyata Bang Fadhil mempunyai simpanan tentang ilmu
kebatinan.
Sesaat
kemudian Bang Fadhil membaca doa dalam bahasa Arab seperti yang diajarkan
Mualim H.Bukhari kemudian diiringi mantera:
”Hei Si Tinjak, si Tertib.
Ular
dan lipan berkelementang
Terbatuk
terbersin,
Berkat aku menangkal polong
Dengan
bayang hantu sekalian
Asal
kau di Tanah Kang.
Pulang
kau ke Tanah Dengkang
Datang
kau menelentang
Pulang
kau meniarap
Pulanglah
kau kepada Jinjang engkau
Hei
Datuk Ulan, Datuk Putih
Tetaplah
engkau kepada tempat engkau
Kepada
hulu air paya berlendang
Berkat La illaha Illallah”
Bang Fadhil menyapukan air zam-zam
di wajah perempuan yang sedang kesurupan
polong itu. Tubuhnya yang tegang
tiba-tiba lemah dan terkulai. Sesaat
kemudian membuka matanya. Ia benar-benar sembuh sekarang.
”Dimana aku?. Dimana
aku?,” ia tampak seperti kebingungan.
”Ibu sedang mabit di Muzdalifah dan mencari batu-batu
kecil untuk melempar syeitan di Mina besok.”
”Astagfirullah,” perempuan yang baru sadar itu mengucap
istighfar berkali-kali.
Dua ekor
semut juga ikut mendengar istighfar
perempuan itu. Dua ekor semut itu semakin kagum kepada Bang Fadhil yang
mampu menyembuhkan penyakit polong.
”Mungkin
di masa lalu ibu pernah melakukan kekeliruan terhadap seseorang sehingga
menerima peringatan dari Tuhan ketika berada di Tanah Suci.”
”Rasanya
tidak pernah. Saya tidak pernah
menyakiti hati orang lain,” sahut
perempuan yang sudah dapat duduk dengan tenang.
”Meskipun
terhadap suami sendiri?,” tanya Bang Fadhil.
”Terhadap
suami mungkin saja.”
”Kesalahan
dalam bentuk apa?”
”Sungguh
tidak mungkin diceritakan kepada orang lain
karena sifatnya sangat pribadi.”
”Tapi
ibu harus jujur mengakuinya. Ibu harus memohon keampunan dari Allah. Kalau ibu
tidak mengakuinya, penyakit polong akan segera datang lagi dan lebih
parah,mungkin tidak dapat disembuhkan.”
Sesaat
perempuan yang baru saja sadar dari gangguan syetan itu menekur:
”Ayo,Bu.
Akuilah terus terang!, ” desak Bang Fadhil.
”Saya
memang telah berbuat keliru terhadap suami saya.”
”Sejauh
mana kekeliruan itu?”
”Hingga
menyebabkan kematiannya.”
Ucapan
itu menyebabkan Bang Fadhil
terkejut. Mbak Retno justru bergidik bulu romanya mendengar kata-kata itu.
”Teruskan,Bu.
Teruskan dengan sejujurnya.”
”Selama hidup saya dua kali menikah. Yang
pertama, ketika saya masih gadis suci, saya menikah dengan seorang duda yang
sudah beranjak tua namun keadaan hidupnya lumayan.”
”Hartanya
banyak, begitukah?”
”Ya.
Ketika suami saya jatuh sakit, saya tidak ingin hidup melarat andainya suami
saya meninggal. Saya menyarankan kepadanya
sebelum penyakitnya terlalu parah untuk menjadi peserta asuransi jiwa
untuk Andi, satu-satunya anak kami.”
”Lalu
suami ibu menjadi pemegang polis peserta asuransi jiwa?”
”Ya!.
Suami saya memang mencintai saya dan iapun tidak ingin saya serta anaknya
menderita setelah ia meninggal nanti. Suami saya menjadi pemegang polis tiga perusahaan asuransi jiwa dengan
nilai lima puluh ribu dolar dan ahli
warisnya adalah saya sendiri dan anak saya.”
Perempuan
itu akhirnya bercerita tentang suaminya yang akhirnya menderita stroke dan
dilarang makan garam, dilarang makan makanan yang megandung lemak tinggi. Tapi
dengan diam-diam ia menyuguhkan makanan dengan garam tinggi, memberinya sop
buntut, kari kambing, bahkan juga durian. Semua itu dilakukannya agar suaminya
cepat meninggal kemudian perempuan itu menikah lagi dengan seorang lelaki muda.
”Suami
ibu akhirnya meninggal?,” tanya Bang Fadhil.
”Ya,
akhirnya ia meninggal.”
”Lalu
ibu menerima klaim asuransi setelah
suami ibu meninggal?”
”Ya, sebanyak lima puluh ribu dolar.”
”Lalu apa yang ibu lakukan dengan uang
sebanyak itu?”
”Saya menikah dengan seorang bujangan yang
masih muda.”
”Lamakah
ibu menikah dengn bujangan itu?”
”Tidak
lebih dari satu tahun, karena ia selingkuh dengan seorang gadis kampungan. Terus terang, saya mengusirnya bagaikan
seekor kucing sakit. Ia
angkat kaki tanpa membawa apapun selain pakaian yang melekat pada tubuhnya. Saya
mengusirnya seperti anjing yang lumpuh
dan tidak berdaya”
”Hmmmm,” Bang Fadhil dan Mbak Retno bergumam bersamaan. Pantaslah
ketika mabit di Muzdalifah perempuan itu bertingkah seperti kucing, atau seperti anjing. Dua ekor semut yang ikut mendengar pengakuan itu berdecap-decap. Mereka merasa kasihan
terhadap lelaki muda ,sang suami, yang diusir seperti kucing sakit atau seperti
anjing yang lumpuh.
”Saya menyesal. Demi Tuhan saya menyesal
telah mengusirnya seperti kucing sakit. Saya
tahu persis keadaan bekas suami saya sekarang, hidupnya miskin.Karena itulah
saya menerima azab Tuhan di sini.”
”Berjanjilah
kepada Tuhan, mumpung masih di Tanah
Suci ibu memohon ampun dan maaf.”
”Saya
berjanji. Saya bersumpah akan mencium
kakinya setelah pulang ke tanah air nanti, biar hidup saya tenteram.”
Tandanya
perempuan itu sangat menyesal, dari matanya menitik cairan bening. Perempuan
itu menangis
***
Pertolongan Tuhan
memang selalu datang kepada lelaki kelahiran Sumatera itu bersama Retno,
istrinya, ketika mereka berdua berjejal
di antara lebih dari tiga juta ummat menyerbu Aqobah dan melontar iblis di
sana. Seperti dilindungi dan dituntun malaikat , Mbak Retno dan suaminya
dengan mudah melontar sarang iblis itu. Padahal tiga juta lebih ummat manusia
dari berbagai penjuru dunia menyerbu sekali gus dan berjejal di depan sarang
syetan yang bernama Aqobah.. Tidak jarang jamaah yang terjatuh dan
terpijak-pijak oleh jamaah lainnya yang terus berjejal. Tuan-tuan tanah yang mendapatkan tanahnya dengan tidak
melalui prosedur, di tempat ini pasti akan mengalami kesulitan dan mendapat
azab Tuhan, jatuh lalu terinjak oleh jamaah lainnya hingga darah mengucur dari
telinga dan mulut lalu akhirnya meninggal.
Pedagang yang melakukan kecurangan
timbangan juga akan mendapat azab di sini.
Apalagi pemimpin yang tidak adil, hukuman Tuhan pasti tidak
terelakkan.
Alhamdulillah, Mbak Retno
bisa melakukan pelontaran tiga hari berturut-turut karena ia mendapat
kesempatan melakukan nafar sani.
Sepuasnya ia melontar iblis di sarangnya. Sepuasnya ia berdoa usai
melakukan pelontaran itu. Sementara
banyak jamaah lainnya hanya mendapat kesempatan nafar awal, hanya dua hari
melakukan pelontaran jamrah di tempat itu.
Kembali ke Makkah untuk melakukan
tawaf Ifadah biasanya terkendala oleh
kemacetan kenderaan yang luar biasa.
Jarak Mina dan Makkah tidak terlalu jauh, hanya 7 kilometer. Jarak yang tidak
terlalu jauh dapat ditempuh dengan jalan kaki, tapi dengan kenderaan besar,
bisa belasan jam karena padatnya jalanan oleh bis-bis besar mengangkut para jamaah yang jutaan jumlahnya dan semua
mengejar untuk melakukan tawaf Ifadah.
Tapi tidak demikian halnya dengan
kenderaan yang ditumpangi Mbak Retno dan
suaminya ketika meninggalkan Mina menuju Makkah. Tidak
sampai satu jam bis besar yang ditumpangi Mbak Retno bersama suaminya sudah
memasuki kota
Makkah dan langsung memasuki Masjidil Haram melalui pintu Babussalam , salah
satu pintu dari sekian banyak pintu-pintu masjid yang amat diagungkan umat
Islam seluruh dunia.
Saat itu Masjidil Haram dipadati manusia
lebih dari tiga juta orang yang melakukan tawaf Ifadah. Seperti tidak ada celah sedikitpun untuk menyusup, untuk
bersama-sama melakukan tawaf, tujuh kali keliling Ka’bah.
“Rasanya sudah terlalu padat, bagaimana
kalau kita tawaf di lantai dua?” terdengar suara lelaki kelahiran Sumatera itu
kepada Mbak Rento.
“Apa salahnya tawaf di atas?.
Bukankah pahalanya juga sama?”
“Memang begitu, tapi jaraknya jadi
sangat jauh. Belum tentu dapat
selesai dua jam.”
“Saya merasa mampu.
Bukankah saya belum jadi
nenek-nenek bongkok?”
“Aku bangga padamu!”
Dari garis coklat, mereka berdua
memulai langkah untuk melakukan
tawaf Ifadah di lantai dua masjid itu. Sepanjang jalan mengelilingi Ka’bah terdengar
lantunan doa-doa tawaf. Dinding Ka’bah tetap berada di kiri mereka. Seekor semut hitam
jantan masih tetap bergayutan di
baju Mbak Retno sementara semut betina merayap di lengan Bang Fadhil. Mereka
saling berpasangan. Belum sempat lima
kali keliling Ka’bah Mbak Rento merasa
haus dan mereka terpaksa istirahat untuk minum. Air zam-zam terasa amat sejuk
dan segar membasahi kerongkongan. Semut
hitam itu juga sempat merayap turun dan ikut menikmati air zam-zam. Semut-semut itu juga masih sempat berpapasan
dengan semut-semut padang
pasir. Mereka saling menyapa, mereka saling tersenyum dan berciuman di pipi
seperti umumnya tiap-tiap mahkluk semut bertemu dan berpapasan.
Ruang sa’i juga amat padat
dengan manusia yang melakukan perjalanan ulang alik Safa dan
Marwah . Tidak ada celah sedikitpun di ruang itu karena padatnya para jamaah yang
melakukan perjalanan Marwah – Safa atau
sebaliknya. Orang-orang yang sakit di
atas kursi roda tubuhnya tergoyang-goyang karena didorong oleh orang kulit
hitam dengan cara berlari-lari.
Doa-doa sa’i juga bergaung di sini. Mbak
Rento berjalan tampak santai, hanya pada garis hijau mereka berdua berlari-lari
kecil. Untuk apa berlari tergesa-gesa kalau tidak ada yang diburu?. Di kaki bukit
Marwah, sejenak sepasang manusia yang baru saja menjadi suami istri itu
berhenti. Terkenang oleh mereka, betapa dulu Siti Hajar berjalan kesana kemari tidak tentu
arah untuk mencari sumber air di padang pasir sementara ia baru saja
melahirkan seorang bayi. Betapa amat sulit mendapatkan sumber air di tengah padang pasir
yang amat luas. Dimana-mana hanya gurun pasir dan pohon kurma, sementara
perasaan haus semakin menyiksa. Pada saat itulah seorang anak yang dilahirkan
Siti Hajar menjejakkan tumitnya di atas
padang pasir berkali-kali. Dan sebuah keajaiban Tuhan pada saat itu
terjadi di bumi Makkah. Airpun mendadak muncrat dari bekas jejakkan kaki Ismail,
putera Siti Hajar. Itulah sumur zam-zam.
Di kaki bukit Marwah itulah Mbak
Rento meneguk air zam-zam lagi. Terasa amat sejuk dan segar, melegakan
kerongkongan. Pada saat itulah, ketika Mbak Retno dan suaminya beristirahat di
kaki bukit Marwah, mereka melihat
seorang perempuan setengah baya
mendorong seorang lelaki tua berjenggot panjang, kurus dan
terbatuk-batuk yang duduk di atas kursi roda. Perempuan itu tampak kelelahan
padahal masih beberapa kali lagi ia melakukan perjalanan ulang-alik dari Marwah
ke Safa. Perempuan itu seperti amat kehausan dan hampir saja tersungkur di kaki
bukit Marwah karena kehabisan tenaga.
”Aku tidak tahan lagi. Aku tidak kuat lagi,” keluh perempuan setengah baya
itu dan terduduk di lantai.
Mbak Retno amat kasihan
melihat perempuan itu, apa lagi lekaki yang didorong di kursi roda itu dalam
keadaan lemah karena usianya yang sudah sangat tua.
”Ambilkan aku air!. Ambilkan
aku air!,” pintanya.
Tidak seorangpun yang perduli.
”Aku sangat haus, ambilkan aku
segelas air zam-zam!”
Tidak ada seorangpun yang
perduli, padahal jamaah amat banyak dan saling
berdesakan di tempat sa’i .
Mbak
Retno merasa amat kasihan, hatinya tersentuh untuk menolongnya apalagi terhadap
sesama manusia. Apalagi terhadap sesama perempuan. Ia mengambil segelas air
zam-zam dan mengulurkannya kepada perempuan yang amat kelelahan lalu perempuan
itu meneguknya perlahan-lahan setelah
mengucapkan basmallah. Iapun mengucapkan alhamdallah setelah segelas air zam-zam melewati
kerongkongannya.
”Terima
kasih,” ucap perempuan setengah baya itu kepada Mbak Retno yang sudah
mengulurkan segelas air zam-zam. Perempuan yang tadinya amat kelelahan dan
kehausan mendadak merasa segar dan seperti
mendapatkan tenaga baru. Air
zam-zam yang baru diteguknya seperti mengandung mukjizat. Perempuan itu sudah
dapat tersenyum kepada Mbak Retno.
Segelas
lagi air zam-zam diberikan kepada seorang lelaki tua berjenggot panjang yang duduk di atas kursi
roda. Lelaki tua itu meneguknya dan batuk tidak lagi mengusiknya. Di atas kursi
roda itu lelaki itu membaca doa-doa sa’i. Lelaki itu juga sudah dapat tersenyum
kepada Mbak Retno dan mengucap terima kasih.
”Saya
tidak berdaya. Saya tidak memiliki tenaga lagi, tapi isteri saya mendesak terus
agar menemaninya ke Tanah Suci.” ujar lelaki itu polos.
”Saya
yakin di sini akan banyak sekali
mendapatkan pertolongan, tidak hanya dari sesama manusia, tetapi dari para
malaikat,” ujar perempuan setengah baya
yang tadi mengalami kelelahan dan kehausan.
”Bersyukurlah
kepada Tuhan,” sahut Mbak Retno.
”Tidak
putus-putusnya saya bersyukur. Di Tanah
Suci ini saya juga bersyukur, bahwa saya akhirnya mendapatkan seorang suami
padahal selama bertahun-tahun saya merindukan sebuah perkawinan,” perempuan setengah baya itu mulai menuturkan perjalanan hidupnya.
”Ibu
baru menikah?”
”Setahun
yang silam”
”Sebelumnya?”
”Saya
pernah merencanakan sebuah perkawinan yang dilandasi dengan cinta kasih yang
suci, tetapi kandas.”
”Kekasih
ibu menginggal karena sakit?”
”Tidak!” perempuan itu menggeleng lirih.
”Lalu
pacar ibu waktu itu ingkar janji?”
”Bukan
ingkar janji!”
”Direbut
orang lainkah?”
”Sama
sekali tidak!”
”Lalu kemana perginya kekasih ibu?”
”Tiga tahun lebih kami saling memadu
kasih. Cinta kami sudah sangat mendalam dan kami sudah merencanakan untuk
menikah. Tapi perpisahan itu harus
terjadi.”
”Calon suami ibu mengalami kecelakaan?”
Perempuan
setengah baya itu menggelengkan kepala lirih. Wajahnya mendadak sedih, seperti
terkenang masa lalu yang amat pedih.
”Lalu
apa yang terjadi?”
”Ia seorang aparat dan harus menjalankan
tugasnya di kawasan konflik.”
”Ditugaskan
di Poso atau Ambon?”
”Bukan
di Indonesia bagian timur”
“Lalu dimana?”
“Ia ditugaskan di Aceh. Suami saya
adalah seorang lelaki yang taat pada agama
dan ibadahnya tidak pernah terlalaikan. Bahkan setiap melaksanakan
sholat fardhu ia selalu mencari masjid untuk sholat berjamaah karena ia meyakini sholat berjamaah akan
mendapatkan pahala dua puluh tujuh kali.”
Perempuan setengah baya itu juga
menuturkan, bahwa selama bertugas di kawasan Serambi Makkah yang sedang dilanda
konflik suaminya selalu sholat berjamaah di masjid terdekat. Bahkan ketika imam
masjid tidak ada, lelaki itulah yang menjadi imam. Tapi suatu saat, ketika baru saja melaksanakan sholat maghrib
dan lelaki itu menjadi imam, ketika baru keluar dari pintu masjid, dua orang
bersepeda motor tiba-tiba menembaknya.
“Calon suami saya tersungkur mencium
bumi dengan luka-luka di dadanya. Ia terbunuh dibumi Serambi Makkah. Ia
terbunuh oleh sesama muslim, padahal sesama muslim seharusnya bersaudara. Itulah kekejaman yang
terjadi di Serambi Makkah. Banyak sesama
muslim terbunuh disana dan pelakunya adalah orang muslim sementara orang-orang
dari etnis China lebih aman bermukim di sana.”
Perempuan setengah baya itu tidak
mampu membendung air mata karena hatinya teramat sedih mengenang masa
lalu yang manis tetapi berakhir amat
pahit.
“Sulit untuk melupakan tragedi itu. Hingga bertahun-tahun saya menyendiri
terus. Syukurlah saya seorang karyawati di sebuah bank sehingga saya mampu
meredam kesedihan selama bertahun-tahun, sampai saya menyadari benar, bahwa
saya sangat mencintai Rasulullah dan mengamalkan semua ajarannya. Bukankah
nikah itu adalah sunnahnya yang harus dipatuhi?. Itulah sebabnya saya menikah walaupun dengan
seorang lelaki yang sebenarnya sudah sangat tua dan uzur. Tapi saya
berbahagia dan saya juga berusaha untuk
mencintainya. Saya merawatnya dengan baik
ketika ia terbaring akibat stroke. Syukurlah Tuhan memberinya
kesembuhan ketika kami akan berangkat ke
Tanah Suci. Bahkan di sini, setelah suami saya meneguk air zam-zam ia merasa
lebih sehat. Suami saya sudah dapat berjalan meskipun tidak seperti dulu lagi. Banyak yang saya
syukuri selama saya berada di sini,
terutama tentang kesehatan suami saya. Lihatlah, setelah ia meneguk air zam-zam,
ia tampak segar dan enerjik.”
Mbak
Retno tersenyum mendengar penuturan itu.
”Saya
meyakini benar, bahwa seteguk air zam zam adalah obat yang paling ampuh.”
”Saya
juga meyakini hal itu,” sahut Mbak Retno
polos dan membalas senyum perempuan itu
yang tidak lagi kelelahan. Mbak Retno
ingin mendengar penuturan lainnya tentang perjalanan hidup perempuan
itu, tetapi perempuan itu segera bergegas untuk menyelesaikan sa’inya. Lihatlah , perempuan itu tampak tegar ketika
mendorong suaminya di atas kursi roda. Tubuh suaminya di atas kursi roda terasa
amat ringan. Air zam-zam benar-benar
memiliki mukjizat. Dan lelaki berjanggut panjang itu melambaikan tangannya.
Mbak Retno hanya tersenyum.
Betapa
amat menyedihkan perjalanan hidup
perempuan itu. Hanya sesaat lagi
akan menikah, lalu calon suaminya tewas di daerah konflik, diberondong tembakan
oleh orang tidak dikenal. Alangkah getirnya hal-hal yang dialami perempuan itu,
hingga bertahun-tahun menyendiri dan suatu saat akhirnya menikah dengan seorang
lelaki tua.
Sepasang
semut, Ummu Naubah dan Abu Masyghul mendengar semua ucapan perempuan setengah
baya itu. Sepasang semut itu juga menahan keharuan. Itulah kehidupan manusia, saling berseteru,
saling bermusuhan, hingga akhirnya korban-korban berjatuhan. Selagi bumi terbentang
permusuhan sesama manusia tidak pernah reda
dan itulah yang tidak pernah terjadi dalam kehidupan semut.
***
Mbak Retno dan suaminya meneguk air zam lagi-lagi.
Amat lama mereka berdua istirahat di
kaki Bukit Marwah dan orang-orang yang
melakukan sa’i terus berjejal dan doa-doa terdengar bergaung di ruangan itu. Sesekali
Bang Fadhil mengucap salam bila ada jamaah yang dikenalnya, terutama jamaah
dari kawasan Halmahera. Meskipun saat ini mayoritas warga disana beragama
Nasrani, tapi tiap tahun jamaah haji dari kawasan itu selalu saja ada.
Ketika
itulah, ketika Mbak Retno beristirahat di kaki Bukit Marwah, dua ekor semut
saling berpandangan. Semut jantan memberi ciuman di kening semut betina.
“Naubah!,” sapa semut jantan.
“Ya,Abu
Masyghul!”
“Sebentar
lagi semua pelaksanaan Ibadah Haji akan berakhir dan Mbak Retno bersama suaminya akan kembali
ke Tanah Air.”
“Ya,sebentar
lagi mereka akan meninggalkan Tanah Suci”
“Apa yang kita inginkan bersama,
sudah waktunya kita lakukan disini.”
“Artinya perkawinan kita.”
“Ya,perkawinan adalah keinginan semua mahluk. Juga mahluk semut seperti
kita.”
“Lakukanlah!”
“Kamu sudah siap?”
Semut betina mengangguk. Lirih,
Semut jantan mulai membelai tubuh sang betina, lalu menciumnya mesra sekali. Terdengar suara Ummu Naubah amat lirih.
“Aku juga sudah siap andainya
setelah perkawinan kita aku akan kehilangan dirimu.”
“Aku juga rela untuk pergi
selamanya. Aku juga rela kamu tinggal
sendirian di muka bumi menjadi ratu dan bertelur. Aku akan pergi membawa kebahagiaan meskipun kebahagiaan itu harus berakhir
dengan kematian. Takdir kehidupan
semut memang demikian, pejantan harus
mati sesaat setelah perkawinan berlangsung.
Dan semut-semut jantan tidak pernah menyesali ketentuan itu. Semut pejantan
tidak pernah menyesali kodrat itu. Mereka rela mati sesaat setelah perkawinan
dan membiarkan sang betina menjadi ratu
lalu bertelur hingga ribuan butir.”
Sepasang semut itu saling
berpelukan, saling bermesraan dan kawin sebagaimana setiap mahluk kawin.
Sepasang semut itupun menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya dan mereka melakukan
hal itu di tanah suci, di kaki bukit Marwah. Perkawinan memang menjadi impian
setiap mahluk hidup. Perkawinan itulah yang kini sedang berlangsung bagi
sepasang semut yang senantiasa menjadi saksi perjalanan hidup Mbak Retno yang
kini beristirahat setelah melakukan sa’i.
“Jangan sedih andainya setelah
perkawinan kita, aku harus pergi untuk selamanya. Kamu tidak akan
kelaparan,Naubah. Sebab sebelum kematianku, aku sudah berusaha mencarikan bahan
makanan untukmu, untuk waktu yang panjang.” bisik Abu Masyghul, semut jantan di
telinga semut betina, Ummu Naubah.
“Terima kasih, aku akan selalu merasa kamu tetap di sisiku meskipun kamu
sudah meninggalkan aku untuk selamanya.”
Sepasang
semut hitam itu berpelukan lagi, amat erat. Perkawinan mahluk semut hanya berlangsung beberapa
saat saja.
“Kalau kamu kembali menjejakkan kaki di
tanah air, sampaikan salamku kepada semua sahabat sesama semut,” itulah pesan terakhir semut jantan seusai melakukan perkawinan.
“Aku akan menyampaikannya dengan
baik, meskipun aku mengatakannya dengan derai air mata.” sahut semut betina yang baru saja menikmati
kemesraan bersama sang jantan, suaminya.
“Kenapa harus dengan derai air
mata?. Kenapa harus dengan tangisan?,”
sang jantan menatapnya amat dalam.
“Karena aku akan pulang sendiri. Karena yang
menyertaiku hanya telur-telur yang kukandung.”
Sang jantan melihat ada setetes air
mata menitik. Tangan sang jantan
bergerak perlahan dan menyeka air mata itu.
“Tidak usah menangis, karena
perpisahan harus terjadi. Aku sudah rela menerima takdir ini.”
Semut jantan itu memberikan ciuman
di pipi sang betina. Sesaat lagi mereka akan berpisah, sang jantan mati sesuai
kodratnya, lalu sang betina dengan membawa calon telur-telur dalam perutnya
akan kembali ke tanah air. Setiap semut
jantan sudah tahu, bahwa ia pasti akan mati setelah melakukan perkawinan.
Karena itulah semut jantan sebelum
perkawinan itu berlangsung di kaki bukit Marwah, semut jantan harus bekerja
keras. Ia mencari makanan sebanyak-banyaknya dan menyimpannya di dalam tas milik
Hajjah Mbak Retno Ramadhani Anisa. Dalam tas yang berisi paspor dan
dokumen perjalanan haji ,sekarang terdapat sisa makanan berupa serpihan kurma serta sisa
makanan lainnya. Pemilik tas itu
tidak menyadari, bahwa dalam tasnya ada
makanan untuk persediaan semut betina
selama beberapa minggu bila sang jantan mati setelah melakukan perkawinan. Semut bukanlah hewan yang rakus. Semut makan
hanya sedikit sekali. Semut bukanlah mahluk seperti manusia yang mempunyai selera makan yang tinggi.
Hanya secuil makanan cukup untuk membuatnya kenyang dan mampu bertahan untuk
hidup. Bahkan semut merasa kenyang hanya
dengan mencium bau makanan.
Karena itulah, meskipun makanan serpihan kurma dan makanan sisa lainnya untuk persediaan beberapa minggu ke depan
hampir tidak terlihat oleh mata manusia.
Hanya sedikit, hampir tidak tampak oleh mata manusia, tapi mampu untuk
mengenyangkan perut seekor semut selama beberapa bulan. Bahkan untuk beberapa
bulan, hingga semut betina mengerami telur-telurnya Hanya sedikit sekali, tapi
mampu untuk persediaan bagi semut betina
selama beberapa minggu. Semut memang mahluk yang sangat hemat
hidupnya. Hemat dan prihatin.
Perkawinan sepasang semut itu memang saling dikehendaki sehingga terasa amat indah, penuh kemesraan dan kasih
sayang. Perkawinan memang amat indah dan
manis. Apalagi mereka melakukannya tanpa ragu lagi. Kenapa harus ragu-ragu kalau semut jantan
sudah mneyediakan makanannya untuk beberapa waktu ke depan?. Ummu Naubah akan
berubah menjadi ratu yang setip hari mempunyai tugas hanya bertelur kemudian mengeraminya sementara jantannya
sudah mati. Itulah dunia kehidupan semut.
Saat kematian bagi semut jantan
itupun sudah sangat dekat. Tubuhnya mulai lemas. Ia mencoba untuk bersikap
tenang ketika nyawanya perlahan
sekali dipisahkan dari jasadnya. Semut jantan itu tampak sudah
pasrah menerima nasibnya, mati setelah perkawinan berlangsung. Ia rela menerima
kematian itu. Semut jantan itu memandang kepada Ummu Naubah.
“Aku akan meninggalkanmu sesaat lagi, Ummu Naubah,” bisik semut jantan.
“Rasanya aku tidak kuat menghadapi
kenyataan ini. Aku merasa tidak kuat untuk hidup tanpa dirimu.”
“Tapi kita harus berpisah. Ajalku
sudah sangat dekat. Aku sudah siap untuk meninggalkanmu. Dan kamu tidak perlu
ragu-ragu untuk menghadapi hari-hari mendatang, sebab aku sudah menyediakan makananmu
selama beberapa bulan ke depan. Kamu
tidak usah khawatir akan kelaparan hidup
sendiri!”
“Aku mohon doamu agar hatiku tabah
dan kuat.”
“Aku akan selalu mendoakanmu hingga
nafasku terakhir.”
“Cium aku untuk terakhir
kalinya,” pinta semut betina.
Semut jantan mendekat dan memeluknya
erat sekali lalu menciumnya.
“Selamat tinggal , sayang!,” itulah ucapan semut jantan yang terakhir kali.
Semut betina tidak mampu berkata
apapun. Hatinya terlalu rapuh, hatinya luluh dan hancur berkeping-keping. Seekor
semut jantan yang menjadi sahabatnya,
setiap saat, sejak dari tanah air menyertai Mbak Retno melakukan ibadah
haji sebentar lagi akan menghembuskan nafas terakhir. Ummu Naubah merasa amat sedih pasangan
hidupnya akan pergi untuk selamanya
padahal mereka baru sesaat melakukan
perkawinan.
Perlahan sekali nyawa semut itu berpisah dari jasadnya. Kepergiannya diiringi
derai air mata semut betina yang berusaha menahan kepiluan di dasar hatinya. Ia
menyaksikan sendiri bagaimana saat-saat terakhir kehidupan pasangannya. Semut
jantan itupun akhirnya mati di sisi semut betina. Perlahan sekali kematian itu
terjadi. Semut jantan itu tidak merasakan sakit sedikitpun ketika nyawanya dicabut.
Sekarang
hanya tinggal semut betina sendiri yang akan berubah status menjadi ratu, yang
tugasnya sehari-hari hanya bertelur dan makanpun sudah tersedia di sisinya yang
dikumpulkan sang jantan sebelum kematiannya. Semut betina itu akan tetap
menyaksikan Mbak Hajjah Retno melangkahkan kakinya pulang ke tanah air.
Semut
betina itu, tanpa semut jantan lagi,
masih sempat menyaksikan
perempuan yang berasal dari keluarga penjual jamu itu menyempatkan dirinya untuk membeli oleh-oleh
di Pasar , yang tidak jauh dari Masjidil
Haram. Suasana Pasar amat ramai luar biasa karena para jamaah yang
berbelanja untuk oleh-oleh pulang ke tanah air.
Dengan
ditemani lelaki kelahiran Sumatera yang sudah menjadi suaminya,Mbak Retno membeli belasan tasbih, jilbab dan kopiah warna putih dan kurma untuk oleh-oleh jiran tetangga dan
sahabat serta kerabatnya. Tidak ada
benda-benda berharga mahal yang
dibeli Mbak Rento. Untaian tasbih dan jilbab serta buah kurma sudah merupakan
oleh-oleh dari Tanah Suci yang tidak
ternilai harganya. Apalagi para tetangga , kerabat dan sahabat yang datang
menyambut kepulangannya nanti akan meneguk air zam-zam pasti mereka sangat bersyukur. Meskipun hanya
setetes, apalagi seteguk air zam-zam, akan terasa sejuk dan nikmat di kerongkongan. Air zam-zam memang mengandung rahmat. Dan
semua amanah dari jiran dan tetangga sudah dilaksanakannya di Tanah Suci. Semua
titipan doa-doa khusus sudah dilakukannya
di berbagai tempat.
“Selamat tinggal Masjidil Haram,
selamat tinggal Ka’bah, selamat tinggal Telaga Zam-Zam, selamat tinggal Tanah
Suci,” itulah kata-kata yang tergetar
dari bibir Mbak Retno dan suaminya
setelah ia melakukan tawaf selamat tinggal. Mereka tidak mampu membendung air mata,
mereka tidak mampu menahan tangis di saat akan meninggalkan Tanah Suci yang
selalu dirindukan berjuta-juta ummat Islam di seluruh penjuru dunia.
Pesawat Garuda berbadan lebar menerbangkan Mbak Retno dan suaminya kembali
ke Tanah Air. Dua orang jamaah haji yang meninggal dunia dari rombongan Bang Fadhil menyebabkan Mbak Retno pindah pesawat dan bergabung dengan
suaminya. Tuhan benar-benar
mempertemukan keduanya untuk selamanya.
Mereka tidak akan terpisah lagi. Seekor semut betina berwarna hitam yang sedang bertelur juga ikut kembali
ke Tanah Air. Semut betina itu juga tidak mampu menahan air mata. Semut betina
itu menitikkan air mata meninggalkan Tanah Suci. Ummu Naubah amat sedih karena pulang ke
Tanah Air seorang diri, sementara sang jantan sudah mati meninggalkannya.
***
Sebuah mobil
tua sudah menunggu di halaman Asrama
Haji untuk menjemput Mbak Hajjah Rento
pulang dari Tanah Suci. Ratusan mobil yang
parkir di halaman Asrama Haji itu pada umumnya adalah mobil-mobil bagus
dan mahal ,sebab mereka yang berangkat ke Tanah Suci biasanya adalah
orang-orang yang mampu hidupnya. Hanya
sebuah mobil tua yang parkir di
sana karena jamaah yang dijemput juga bukan berasal dari
keluarga kaya, tapi seorang perempuan yang berasal dari keluarga amat
sederhana, dari keluarga penjual jamu dan tinggalpun di rumah gang sempit
di kawasan kelas bawah, di pinggiran sebuah kota Metropolitan. Bahkan mobil tua itupun disewa dengan cara
patungan oleh warga sekitar gang sempit ,tidak jauh dari pinggiran sungai.
Belasan jiran tetangga dan keluarga
serta kerabat yang menjemput mengulurkan tangan dan memberinya ciuman di pipi.
Semua tampak amat gembira menyambut kepulangannya. Dan semua terheran-heran karena Hajjah Retno pulang
dari Tanah Suci tidak seorang diri, tetapi bersama seorang lelaki bernama Bang Fadhil
yang pernah tersiar kabar ia sudah mati
di tangan para penjahat. Beberapa jiran tetangga memang sudah mengenal lelaki
kelahiran Sumatera itu, ketika masih pacaran dengan Mbak Retno dulu.
Jiran tetangga, kerabat dan sahabat
seperti melihat sebuah keajaiban, seorang yang dikabarkan sudah mati,
tenyata kini muncul lagi bersama Mbak
Rento pulang dari Tanah Suci. Bahkan lelaki yang sudah menjadi suami Mbak
Rento sekarang tampak lebih gagah
berpakaian serba putih. Seuntai tasbih selalu ada di tangan kanan lelaki itu.
“Rasanya kami tidak percaya, Mbak
Hajjah!,” semua berkata begitu kepada Mbak
Retno.
“Nanti Bang Fadhil akan bercerita apa yang telah terjadi sebenarnya.
Terlalu panjang untuk diceritakan di sini.”
Perempuan dari keluarga sederhana
yang sekarang menyandang gelar hajjah
itu naik ke mobil tua yang sengaja disewa
oleh warga para tetangga Mbak Retno. Bang Fadhil duduk di sisinya tanpa canggung. Lelaki itu memang sudah bertekad untuk tinggal di rumah yang dihuni Mbak Retno, lalu setelah beberapa
hari kemudian , lelaki itu akan memboyong
Mbak Retno ke rumahnya yang lebih layak huni meskipun berukuran kecil.
Tapi
mobil tua itu tidak segera berjalan, tidak segera meluncur keluar halaman
Asrama Haji karena memang mesinnya sudah sangat rewel dan lebih sering mogok
dari pada berjalan. Mobil tua itu terpaksa didorong lebih dulu baru mesinnya
dapat hidup. Namun sebelum mobil tua itu
bergerak meninggalkan Asrama Haji, dua orang lelaki muda tiba-tiba muncul dan
menghadang mereka.
“Tunggu!!. Tunggu dulu!,” ujar salah
seorang yang menghadang.
“Maaf, kami ingin bertemu dan bicara
dengan Bang Haji Fadhil,” sapa salah seorang
lelaki muda lainnya.
Lelaki di sisi Mbak Hajjah Retno
kaget. Ia tidak menduga sama sekali kepulangannya dari Tanah Suci, sebelum
menginjakkan kakinya di rumah, dua orang yang sangat dikenalnya tiba-tiba
menghadang. Bang Fadhil tahu, bahwa mereka adalah Rommy dan Leo, dua orang adik
lelaki dari almarhumah isterinya yang semula bernama Martha alias
Masyitah. Bang Fadhil tahu benar ,bahwa
kedua adik almarhumah isterinya masih berakidah non muslim. Kedua adik almarhumah
isterinya masih penganut Kristen yang fanatik dan tiap minggu hadir di gereja
untuk mengikuti kebaktian minggu. Mereka
masih berstatus mahasiswa di sebuah Perguran Tinggi swasta yang berorientasi
kepada agama non muslim.
Bang Fadhil yang sudah menyandang gelar haji turun dari mobil
tua yang ditumpanginya dan seuntai tasbih ada di tangannya.
“Selamat datang, Bang Fadhil,” sapa Rommy dan Leo bersamaan. Tanpa ragu-ragu
Bang Fadhil menerima uluran tangan kedua adik almarhumah istrinya.
“Terima kasih ,Leo dan Rommy.”
“Maafkan kami menemui Bang Fadhil di
tempat ini.”
“Tidak mengapa. Sepertinya ada sesuatu
yang tidak beres,” cetus lelaki kelahiran Sumatera itu. Berbagai dugaan timbul di benak lelaki itu.
“Ya, papa sakit. Sudah tiga hari
papa terbaring di rumah sakit. Sejak papa jatuh sakit, kami memboyongnya dari
Halmahera kemari dan langsung masuk rumah sakit karena keadaannya sangat serius.”
Sesaat lelaki yang kini sudah
menjadi suami Mbak Retno itu termenung. Seperti ada benang kusut di benaknya.
“Apa kata dokter?”
“Ginjal papa kambuh lagi”
Lelaki kelahiran Sumatera itu hanya mampu menghela nafas panjang. Bekas
bapak mertuanya yang selama ini bermukim di Halmahera itu, kini sudah diboyong
ke Jakarta dan harus menjalani rawat inap karena penyakit gagal ginjal yang sudah
sangat lama dideritanya. Sejak dulu, lelaki berumur lebih setengah abad itu memang tidak menghendaki kehadirannya. Sejak
dulu lelaki warga asli Pulau Halmahera itu memang sama sekali tidak mengharapkan Bang
Fadhil menjadi menantunya.
Lelaki itu adalah mertuanya, Alex
Manuputty, tetapi jurang pemisah terasa amat dalam di antara mereka berdua,
terutama karena Bang Fadhil adalah
seorang muslim dan mampu mempengaruhi istrinya berubah akidah dari seorang
Nasrani menjadi seorang muslimah. Yang lebih membuat lelaki itu lebih murka
lagi karena nama hotel yang sudah dihibahkan
kepada puterinya juga dirubah menjadi Hotel Ar Rahman. Bahkan karyawan-karyawan
hotel yang beragama Nasrani secara
perlahan-lahan ditiadakan dan kini semua pekerja di hotel itu adalah
muslim,apalagi dibagian restorannya.
Lelaki yang memiliki duit banyak
sebagai pemilik hotel itu amat benci kepada Bang Fadhil. Tapi pada saat ia jatuh
sakit, pada saat pinggangnya terasa amat ngilu, barulah kebencian itu berubah. Gagal
ginjal membuatnya sangat tersiksa.
Apalagi ketika dokter yang merawatnya
menganjurkan kepada lelaki itu untuk melakukan transfalasi ginjal. Ia
butuh seseorang yang mau mendonorkan satu ginjal kepadanya. Yang pasti adalah
donor gainjal dari seseorang yang masih hidup dan sehat. Bukan ginjal orang
yang sudah mati. Bukan ginjal seseorang yang sedang sekarat karena penyakit
berat yang dideritanya. Ginjal yang
dianjurkan dokter adalah ginjal dari orang yang benar-benar sehat, meskipun
dari keluarga miskin. Bahkan dokter juga menganjurkan transfalasi ginjal itu
benar-benar ginjal yang tidak mengalami infeksi gigi dan mulut.
Lelaki itu sudah keliling negeri ini
untuk mencari seseorang yang mau
mendonorkan ginjalnya, tapi sia-sia. Ia mencarinya hingga ke Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Nusatenggara. Bahkan hingga ke Papua,tapi sia-sia. Bila ia
menemukan seseorang yang bersedia memberikan ginjalnya adalah manusia yang berpenyakit
dan hampir mati, seperti penderita TBC,
penderita Diabetes Melitus berat atau penderita Hepatitis. Tidak pernah ada orang
yang benar-benar sehat yang mau mendonorkan
ginjalnya. Teramat sulit untuk mendapatkan ginjal dari orang yang masih
hidup dan sehat. Kalaupun ada pendonor ginjal adalah laki-laki penderita
hypertensi akut yang ginjalnya tidak lagi sehat.
“Insya Allah saya dapat membantu papa
mendapatkan donor ginjal,” Bang Fadhil
ingat benar ia pernah berkata seperti itu kepada mertuanya beberapa tahun yang
silam. Bang Fadhil teringat masa lalunya ketika masih bermukim di Halmahera dan
menjenguk mertuanya yang sakit.
“Dari kalangan orang miskin?” mertuanya
menatap wajah Bang Fadhil.
“Bukan!”
“Biasanya orang-orang muslim yang
selalu menerima santunan zakat fitrah selalu butuh duit. Mungkin mereka butuh
pertolongan. Saya akan menolongnya. Adakah dari keluarga fakir yang butuh
pertolongan uang”
“Tidak ada!”
“Dari golongan orang-orang yang
berhutang”.
“Saya kira juga tidak ada.”
“Dari kalangan mualaf?’. Orang-orang mualaf biasanya sangat
mengharapkan bantuan uang. Kami akan
menolongnya.”
“Rasanya dari golongan itu juga
tidak ada.”
“Dari kalangan fisabilillah?”
“Orang-orang dari kelompok
fisabilillah adalah kaum yang memiliki istiqomah. Mereka tidak pernah tergiur
oleh kebendaan dan uang. Mereka tidak mudah menggadaikan imannya. Apalagi
menjual ginjalnya.”
“Atau yatim piatu mungkin?”
“Yatim piatu adalah tanggung jawab
setiap muslim. Semua kaum muslimin akan sangat marah kalau ada seseorang
memintanya menjadi donor ginjal lalu membayarnya dengan uang.”
“Musafir. Adakah musafir di negeri
kita yang butuh uang?”
Bang Fadhil hanya menggeleng lirih. Alangkah sombongnya lelaki
ini, pikirnya. Karena duitnya banyak lalu seenaknya ingin membeli ginjal dari
kalangan kaum muslimin yang fakir, miskin atau musafir. Orang Islam di negeri
ini mamang banyak yang hidup miskin, tetapi
tidak semudah itu menggadaikan imannya.
“Kalau papa benar-benar menghendaki,
ada seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya.”
“Panggil ia kemari.”
“Tapi papa harus ingat, seseorang
yang mau memberikan ginjalnya
kepada papa adalah seorang pemabuk,
seorang peminum berat dan mungkin juga pecandu narkoba”
“Tentu saja tidak mungkin!” lelaki kaya itu menolak.
“Bersabarlah papa, sampai suatu saat saya menemukannnya.”
“Bersabar
hingga kapan?. Jangan tunggu papa meninggal baru seseorang yang mau jadi donor
ginjal datang ke rumah ini.”
“Tidak terlalu lama.”
“Seminggu? Sebulan? Atau setahun?”
“Insya Allah, setelah saya kembali dari Naik Haji!”
Lelaki yang dianggap tokoh di kawasan Indonesia Timur itu menghela nafas
panjang karena kecewa, tapi ia tetap bersabar karena gagal ginjalnya belum
terlalu parah. Masih ada kemungkinan dapat bertahan selama beberapa bulan lagi.
“Baiklah, papa akan menunggu.”
“Tapi dengan satu syarat.” Bang Fadhil berkata lagi sejujurnya.
”Syarat berupa apa?
”Lelaki pendonor ginjal itu tidak menghendaki imbalan uang.”
”Lelaki pendonor ginjal itu tidak menghendaki imbalan uang.”
“Sungguh mengherankan. Apa pula yang dikehendakinya. Rumahkah?”, lelaki kaya
itu menatap wajah menantunya amat dalam.
“Bukan rumah!”
“Lalu apa?. Dia butuh toko sembako
untuk hidupnya”
Sang menantu menggeleng lagi.
“Apakah ia butuh pekerjaan dengan gaji yang lumayan?. Papa akan
memberikannya.”
“Bukan!. Bukan itu yang dihendaki!.”
“Lalu apa?”
“Saya tidak dapat mengatakannya sekarang, tapi nanti, setelah saya pulang
dari menunaikan rukun Islam yang kelima.”
Semua pembicaraan itu terngiang kembali di rongga telinga Bang Fadhil
yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah air setelah kembali dari Tanah
Suci.
“Papa selalu menyebut nama Bang Fadhil dan Papa sangat mengharapkan
kehadiran Bang Fadhil di rumah sakit.” ujar lelaki yang menghadangnya.
Sesaat lelaki kelahiran Sumatera
itu memikir-mikir. Ia baru saja sesaat menjejakkan kakinya di tanah air dan
bermaksud untuk istirahat di rumah Mbak Retno, tetapi sekarang mendadak
kedua adik-adik almarhumah istrinya menghadang dan
mengharapkan kehadirannya di rumah sakit karena
papa mereka dalam keadaan terbaring lemah. Istri pertama lelaki kelahiran Sumatera itu,
Ummi Masyitah memang sudah meninggal dan
lelaki yang kini terbaring di
rumah sakit itu tetap sebagai mertuanya meskipun dulu tidak menyukai dirinya.
Lelaki itu memandang kepada Mbak Retno yang sudah duduk dalam mobil tua
yang akan membawanya pulang ke rumahnya di kawasan gang sempit.
“Pulanglah ,Retno. Aku harus segera ke rumah sakit.”
‘Siapa yang sakit?”
“Mertuaku. Ia butuh bantuanku. Ia butuh kehadiranku. Ummi Masyitah memang
sudah meninggal, tetapi ia masih tetap sebagai mertuaku dan aku merasa berkewajiban
menjenguknya meskipun sesaat.”
“Aku ingin ikut!”
“Tidak usah. Bukankah
di rumahmu ada acara penyambutan kepulanganmu? Jangan kecewakan mereka. Nanti setelah
acara selesai, kalau aku belum pulang kamu boleh menyusulku ke rumah sakit.”
Lelaki itu menyebutkan nama rumah sakit di kawasa Jalan Gatot Subroto, sebuah rumah
sakit mewah yang taripnya mahal. Hanya orang-orang yang hidupnya mampu dan kaya
mampu dirawat di rumah sakit itu.
***
Ketika Bang Fadhil
tiba di rumah sakit itu,lelaki yang dianggap tokoh masyarakat dan sangat
dermawan di kawasan Halmahera itu terbaring lemah.
“Selamat datang di tanah air Fadhil.”
sapa lelaki yang terbaring itu ketika
Bang Fadhil sudah tegak di sisi ranjang
mertuanya yang terbaring tanpa daya.
“Saya bersyukur dapat bertemu kembali dengan papa!,” sahut Bang Fadhil.
“Terima kasih kamu sudah berkenan menjenguk papa pada waktu yang sangat tepat .”
Bang Fadhil hanya tegak dan berdiam diri.
“Pada saat seperti ini, pada
saat papa tidak berdaya, papa selalu ingat dirimu. Dokter tetap menyarankan agar ada seseorang yang mau menjadi donor ginjal bagi papa.”
“Saya akan tetap ingat janji saya.” sahut lelaki
kelahiran Sumatera yang masih mengenakan pakaian serba putih dan seuntai tasbih
selalu di jari tangannya.
“Syukurlah kalau kamu masih
ingat janji itu. Sekarang papa butuh bantuan itu. Sudahkah kamu bertemu
dengan seseorang yang mau memberikan
ginjalnya untuk papa?”
Bang Fadhil mengangguk.
“Saya sudah bertemu dan bicara
dengannya.”
“Tentang kesediaannya?.”
“Ya”
“Juga tentang harganya?”
“Ya”
“Berapa
papa harus memberikan uang kepadanya?,”
tanya lelaki setengah tua yang uangnya banyak itu.
“Harganya mahal.”
“Berapa?. Lima puluh juta?.”
“Tidak semurah itu?
“Seratus juta?”
“Masih kurang.”
“Dua ratus juta harus papa berikan
kepadanya?”
“Saya kira belum mencukupi, sebab
seseorang yang memberikan satu ginjalnya kepada orang lain taruhannya adalah
nyawa.”
“Tiga ratus juta rupiah?. Rasanya
papa masih mampu membayar semahal itu.” Lelaki kaya itu amat bersemangat. Ia
belum ingin mati direnggut gagal ginjal. Ia ingin hidup lebih lama. Ia masih
ingin tetap sebagai donator untuk misionaris yang menyebarkan agama Nasrani di
tempat-tempat terpencil di Papua.
“Masih belum memadai.”
“Harus berapakah papa memberikan
uang kepadanya?”
“Tidak terkira”
“Sikapmu membuat papa tidak
mengerti. Papa sedang sakit, papa sedang tidak berdaya, seharusnya kamu berterus
terang kepada Papa. Apa yang harus papa berikan kepada seseorang yang berkenan
menjadi pendonor ginjal buat papa.”, lelaki
yang terbaring itu penuh harap.
“Papa mau mendengar kata-kata saya
dengan tekun?”
“Tentu saja!. Karena Papa
memang berharap segera sembuh dan hidup
wajar tanpa beban penyakit seperti ini. Penyakit ini sangat menyiksa papa
terlalu lama.”
“Terus terang, Papa. Seseorang yang
akan memberikan ginjalnya untuk papa tidak mengharapkan uang satu senpun, juga
tidak mengharapkan rumah atau benda-benda berharga lainnya.”
“Bantuan moral mungkin?.
Pekerjaan? Atau lapangan hidup lainnya?.”
“Juga tidak!”
“Lalu apa yang dipintanya?”
“Ia seorang muslim.”
“Kaya atau miskin?”
“Sedang-sedang saja!”
“Lalu apa yang dipintanya?. Papa
berjanji apapun syarat yang dipintanya Papa akan berikan mskipun amat berat.”
“Sungguh-sungguhkah papa berkata begitu?.
Apakah kata-kata itu benar-benar lahir dari dasar hati Papa yang
paling dalam?”
“Ya!. Demi Tuhan dan demi Bapa di Surga.”
“Pemilik ginjal itu sebenarnya
adalah seorang muslim dan tidak selayaknya
diberikan kepada seseorang yang bukan muslim”
Kata-kata itu membuat lelaki yang
terbaring itu terdiam sesaat.
“Lalu bagaimana jalan keluarnya
karena Papa bukan seorang muslim?.”
“Terus terang, lelaki yang ingin
mendonorkan ginjalnya adalah manusia biasa, seorang muslim sejati. Ia juga
ingin hidup wajar, ia ingin hidup sehat dan sempurna. Ia khawatir setelah
memberikan ginjalnya kepada orang lain, lalu terjadi hal-hal yang membuat
hidupnya berubah.”
“Ia takut cacat? Ia
takut hidupnya tidak sempurna lagi?. Ia takut umurnya tidak panjang?. Ia takut tidak akan punya
keturunan?”
“Itu adalah salah satu hal yang
dipertimbangkannya”
“Dokter sudah memberikan penjelasan, bahwa seseorang dengan
satu ginjal dapat hidup normal, layak dan punya keturunan.”
Lelaki yang dilahirkan di Sumatera itu tertegun
sejenak,tapi sesaat kemudian ia menatap wajah mertuanya yang tampak kurus dan
pucat.
“Papa ingin hidup layak juga,bukan?.
Papa ingin hidup tenang juga,bukan?.
Papa ingin hidup sehat,bukan?”
“Tentu!.
Hidup bebas dari penyakit. Hidup sehat dan rutinitas sehari-hari tidak
mengalami gangguan apa-apa.”
“Papa mau memenuhi permintaan lelaki
pendonor gainjal itu ,bukan?. Yakinlah Papa, bahwa setelah papa mendapatkan
ginjal darinya, Papa akan hidup tenang
dan sehat.”
“Katakanlah, papa akan mendengarnya dan Papa akan mengabulkan segala yang
dipintanya.”
“Terus
terang, permintaan itu akan sangat berat bagi Papa. Tapi Papa akan mendapatkan
ketenangan hidup, bahkan juga kebahagiaan. Papa akan hidup layak dan normal
sebagai mana manusia yang sehat.”
“Demi Bapa di surga, Papa akan
memenuhi permintaannya.”
“Pintanya hanya satu, bukan
berbentuk uang atau harta. Ia seorang muslim dan ia berharap bila suatu saat
Papa hidup sehat karena ginjal yang diperoleh darinya , Papa juga harus menjadi
muslim.”
Kata-kata itu membuat lelaki yang tidak berdaya itu terdiam amat lama. Sukar baginya untuk
mempertimbangkan permintaan itu.
Kata-kata itu terdengar seperti petir
yang menyambar kepalanya di siang bolong,di panas terik. Permintaan itu
dirasakannya terlalu mahal, lebih dari
lima milyar rupiah. Sungguh tidak
mungkin dikabulkan oleh seorang yang
memang bukan muslim. Apalagi bagi seorang Nasrani yang sangat fanatik. Apalagi
selama ini ia dikenal sebagai penyandang
dana untuk kegiatan penyebaran Kristen di pedalaman Papua.
“Rasanya
tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin. Papa adalah seorang Nasrani dan taat kepada ajaran Jesus, bagaimana Papa mungkin akan
meninggalkannya?. Sungguh tidak mungkin!.”
“Semuanya terpulang kepada Papa
sendiri. Kalau Papa merasa tidak mungkin memenuhi permintaan sang pendonor ginjal itu
tidak menjadi persoalan, sebab ia merasa justru organ pada dirinya masih tetap utuh. Ia hanya
mau menyumbangkan ginjalnya tanpa bayaran satu senpun. Yang dipintanya hanya orang yang membutuhkan
ginjalnya mau menjadi seorang muslim. Tidak lebih dari itu. Iapun akan mendoakan semoga yang menerima
donor ginjalnya selalu sehat dan mendapat perlindungan dari Allah. Ia yakin
benar, bahwa ginjal yang didonorkan
berasal dari seorang muslim, lalu setelah ginjal itu dimiliki orang lain, si
penerima akan menjadi muslim pula. Mudah-mudahan Allah bersama
malaikat-malaikatnya akan bersamanya serta selalu mendapat Rahmat sebesar-besarnya.”
Kata-kata menyentuh dasar hati
lelaki yang terbaring tanpa daya itu.
Sesaat lelaki
bertubuh kurus itu termenung.
“Papa boleh memilih, hidup tanpa
daya dan mungkin pula kehidupan Papa akan berakhir karena gagal ginjal. Atau
segera sehat dan hidup layak setelah memperoleh ginjal baru, tapi Papa menjadi
seorang muslim.”
Lelaki yang terbaring itu semakin
termenung.
“Papa ingin sehat,bukan?”
“Tentu!. Papa sudah tidak sanggup
terbaring seperti ini. Sungguh sangat menderita. Papa sudah tidak sanggup lagi
menahan sakit. Sakit ini seperti sebuah siksa yang berkepanjangan.”
“Siksa itu akan segera
berakhir. Derita itu tidak akan papa rasakan lagi, bila pemberian ginjal orang
lain melekat pada tubuh Papa. Tapi saya mohon dengan segala kerendahan
hati, Papa dapat menjadi seorang muslim. Papa akan hidup sehat. Allah akan
menyembuhkan penyakit papa.”
Kata-kata itu semakin menggugah hati lelaki yang terbaring dan ia menyeringai
menahankan rasa sakit yang luar biasa pada bagian pinggangnya. Lelaki itu benar-benar tersiksa oleh penyakitnya.
“Sampai kapan papa akan mampu bertahan
dengan penyakit seperti ini?”
“Rasanya
tidak mampu. Terlalu berat siksa ini!”
“Islam itu mulia,Papa. Setelah Papa
menjadi seorang muslim, semua muslim akan menjadi saudara Papa. Dan dalam setiap gerak muslim selalu diatur
oleh Qur’an dan hadist sehingga tidak pernah merugikan orang lain, tidak
pernah memakan hak orang lain, dan tidak akan pernah menyakiti orang lain. Kalau Papa sakit semua ummat muslim akan
mendoakan kesembuhan Papa.”
Kata-kata
itupun semakin menggugah hati lelaki
yang sudah tidak berdaya itu.
“Papa akan segera sehat. Papa akan
kembali tegar seperti sedia kala!” tukas Bang Fadhil lagi.
Betapa lelaki yang terbaring itu ingin kembali hidup normal, tanpa siksaan
rasa sakit sedikitpun. Rasanya ia amat
merindukan hidup bebas dari siksaan sakit yang berkepanjangan.
Setelah beberapa saat lelaki itu
berpikir dan menimbang-nimbang, apa lagi setelah siksaan rasa sakit pada
pinggangnya semakin perih, lelaki itu menatap wajah menantunya yang baru
menjejakkan kakinya dari Tanah Suci.
Penderitaannya semakin mendera. Suaranya
lirih, tetapi pasti:
“Papa menerima tawaran itu. Bila Papa kembali
sehat, Papa akan menjadi seorang muslim bersama dua orang anak papa, Leo dan Rommy”
“Terima kasih, Papa!’
“Segera panggil orang itu kemari. Papa
akan mencium tangannya, papa akan mengatakan, bahwa Papa akan menjadi
muslim bila Papa benar-benar sehat dan hidup normal.”
“Orang
yang akan mendonorkan ginjalnya sudah ada di sini,Papa.”
“Mana?”,
lelaki yang terbaring itu memandang keliling kamarnya, tetapi tidak ada orang
lain selain menantunya.
“Saya!.” Lelaki kelahiran Sumatera
itu menunjuk dadanya sendiri. “Menantu
Papa sendiri yang akan memberikan sebuah ginjalnya untuk Papa. Mudah-mudahan
Allah akan bersama kita.”
Lelaki tanpa daya itu menggenggam
jari tangan menantunya amat erat. Ia
seperti sedang mencari sebuah tempat
berpegang yang kukuh dan tegar. Lelaki itu sudah menemukan tempat berpegang
yang amat tegar sekarang.
***
Dokterpun segera datang untuk melakukan pemindahan ginjal dari seorang menantu kepada
mertuanya setelah kesehatan Bang Fadhil diperiksa amat teliti. Bang Fadhil
memang benar-benar sehat. Bahkan pada bagian mulut dan gigipun tidak ada infeksi.
Apalagi lelaki kelahiran Sumatera itu selalu menghindari makanan yang haram dan
tidak jelas sumbernya. Syukurlah ada seseorang yang bersedia
mendonorkan ginjalnya kepada lelaki yang
terbaring lemah itu. Terlambat beberapa saat saja, kematian akan merenggut
nyawanya. Kehadiran Bang Fadhil memang
benar-benar tepat waktu, seperti sebuah mukjizat, ia menyelamatkan nyawa mertuanya.
Sebagai
seorang istri yang sudah terikat oleh pernikahan yang syah yang diredhoi oleh Allah, ada
kontak batin antara Mbak Hajjah
Retno dan suaminya yang sudah memasuki
ruang bedah. Perempuan yang baru
saja kembali dari Tanah Suci itu merasa terpanggil untuk segera menjenguk
suaminya. Seperti ada dorongan gaib
untuk segera melangkahkan kakinya menyusul suaminya yang kini terbaring di ruang
operasi di sebuah rumah sakit di kawasan
Jalan Gatot Subroto.
Jalanan macet menyebabkan
perjalanan perempuan yang bertempat
tinggal di kawasan gang sempit itu ke rumah sakit lebih dari tiga jam. Perempuan
itu kaget setengah mati ketika tiba di rumah sakit, suaminya sudah berada di
ruang bedah. Kepalanya seperti dipukul
dengan palu godam. Seekor semut
hitam yang mulai bertelur dan selalu ikut dengan Mbak Retno hingga ke
Tanah Suci juga ikut dengannya dan
menempel di bagian bawah gaun panjangnya. Semut betina yang sudah kehilangan
pasangannya yang mati di Tanah Suci itu juga
ikut heran. Sudah terlalu banyak hal-hal yang disaksikan semut betina itu. Binatang
kecil berwarna hitam itu seakan menjadi saksi dalam setiap gerak kehidupan Mbak
Hajjah Retno.
“Suami saya sehat dan segar bugar.
Suami saya tidak menderita penyakit apapun. Tidak mungkin ia harus menjalani
operasi!,” keluhnya kepada petugas rumah
sakit.
“Suami ibu memang tidak sakit. Suami ibu segar bugar,” sahut petugas rumah sakit.
“Tapi kenapa tiba-tiba harus menjalani operasi?. Rasanya tidak mungkin.
Sungguh tidak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi?” perasaan curiga menyelinap dalam rongga hati perempuan yang
hanya berpendidikan pomdok pesantren itu.
“Suami ibu memberikan ginjalnya
kepada seseorang!. Suami ibu mendonorkan satu ginjalnya” seorang dokter terpaksa memberikan penjelasan
resmi dan menunjukkan sebuah surat pernyataan di atas kertas bermeterai yang sudah ditanda tangani Bang Fadhil.
“Donor ginjal?.,” perempuan berkerudung putih itu semakin tidak
mengerti. Ia semakin bingung. Meskipun
pendidikannya hanya di pondok pesantren, tapi ia tahu, bahwa ginjal adalah organ tubuh yang amat penting, hampir
sama dengan jantung atau sama pentingnya dengan paru-paru. Apa yang akan
terjadi kalau seseorang telah kehilangan salah satu ginjalnya?. Mampukah ia bertahan hidup?. Atau hidupnya hanya beberapa bulan?. Mungkin
hanya beberapa minggu. Mungkin pula Bang Fadhil tidak akan berumur panjang.
Akan menderitakah hidupnya?.
“Ibu tidak usah khawatir andainya suami ibu mendonorkan ginjalnya. Suami
ibu masih akan tetap hidup sehat dan normal seperti sedia kala.” sahut dokter lagi.
“Kenapa begitu mudahnya suami saya memberikan ginjalnya?. Mungkinkah ada
suatu tekanan atau paksaan.”
“Tidak ada tekanan dari siapapun, tidak ada paksaaan.”
”Saya merasa hal ini tidak
mungkin terjadi.”
”Kenapa tidak mungkin?. Suami
anda memberikannya dengan ikhlas.”
Lagi-lagi dokter itu
menunjukkan surat pernyataan yang ditanda tangani suaminya. Tidak ada tekanan,
tidak ada unsur paksaan dari
siapapun.
“Kepada siapa suami saya memberikan ginjalnya?.”
“Ibu boleh membaca sebuah nama yang menerima donor itu.”
Perempuan berkerudung putih itu
membaca sebuah nama, Alex Manuputty. Dan ia amat kaget ketika membaca hubungan keluarga
penerima donor ginjal itu dengan suaminya, sebagai mertua. Ia mengerti sekarang. Ia memahami apa yang sedang terjadi. Bang Fadhil rela mengorbankan salah satu ginjalnya kepada
mertuanya. Betapa amat besar pengorbanan
itu, tidak dapat dinilai dengan materi.
Setinggi Bukit Uhudpun uang yang
diberikan sebagai pengganti sebuah ginjalnya masih belum memadai.
Sebesar apakah rasa hormat Bang Fadhil terhadap mertuamu?. Pengorbanan apakah yang pernah Bang Fadhil
terima dari mertuamu?, pikir Mbak Retno ketika ia termenung amat lama. Sudahkah Bang Fadhil memikirkan dalam-dalam
risiko yang akan terjadi saat
menjalani operasi ginjal?. Bagaimana kalau dokter melakukan kecerobohan hingga opersi
itu gagal?. Pasti akibatnya adalah kematian.
Aku tidak ingin kehilangan dirimu.
Kehilangan itu amat menyakitkan.
Mbak Retno berkata-kata sendiri hingga
seekor semut betina yang merayap di gaunnya ikut-ikutan berkata.,bahwa sikap
Mbak Retno adalah benar, bahwa kehilangan itu amat menyakitkan. Sayapun pernah merasa kehilangan . Sayapun
pernah kehilangan Abu Masyghul dan kini harus hidup dalam kesendirian, sungguh
amat menyedihkan. Hampir saja semut betina itu menitikkan air mata
ketika ia ingat kematian pasangannya.
Seharusnya Bang Fadhil menimbang-nimbangnya seribu kali. Bagaimana
kalau dokter anastesi tidak mampu bekerja secara benar dan operasi itu gagal?. Seharusnya bukan
Bang Fadhil yang menjadi donor
ginjal bagi mertuamu. Bukankah masih ada famili dan kerabat dekat lainnya?. Bukankah mertuamu juga masih memiliki menantu
yang lain?. Bukankah mertuamu masih
mempunyai anak-anak yang lain dan sehat?.Bukankah mertuamu masih punya anak Leo
dan Rommy yang sehat dan gagah?.
Bukankah ia juga punya kemanakan
atau adik?. Kenapa bukan mereka yang menjadi donor ginjal?. Kenapa harus
Bang Fadhil?. Kenapa? Kenapa???. Berbagai
pertanyaan terlontar dari celah bibir
perempuan yang baru saja kembali dari
Tanah Suci itu.
Tiba-tiba saja air mata bergulir di
pipinya yang mulus. Demi Tuhan, aku tidak rela. Aku tidak ikhlas suamiku memberikan satu ginjalnya kepada
orang lain meskipun orang lain itu adalah mantan mertuanya. Aku tidak
rela. Aku takut kehilangan suamiku. Aku takut, setelah ia mendonorkan ginjalnya
lalu suamiku menjadi orang yang cacat!. Mbak Retno berkata sendiri dan kata-kata itu terdengar oleh seekor semut betina yang
sedang mengandung. Sungguh amat mengharukan. Semut betina itu memahami isi hati Mbak Retno.
Semut betina itu ikut sedih, karena ia baru saja kehilangan sang jantan yang
mati sesaat setelah mereka kawin.
Lebih tiga jam operasi transfalasi
ginjal itu berlangsung, namun belum ada tanda-tanda akan usai. Perempuan yang
baru kembali menjejakkan kakinya dari
Tanah Suci itu semakin cemas. Airmatanya berderai lagi. Membentuk sungai kecil di pipinya.
Dari celah bibirnya, ia melantunkan doa-doa semampunya.
“Ya,Tuhan. Selamatkan suamiku. Perkenankan ia hidup lebih lama sebagai suamiku. Jangan renggut
nyawanya. Jangan pisahkan kami.”
Mbak Hajjah Retno semakin cemas bila ia ingat, bahwa banyak operasi yang dilakukan para dokter
mengalami kegagalan. Mbak Retno selalu
membaca di berbagai majalah dan surat kabar, bahwa ada operasi kanker leher
rahim gagal dan sang pasien akhirnya
meninggal. Apalagi operasi tumor otak, si
penderita akhirnya meninggal beberapa saat setelah pembedahan. Bahkan operasi prostat juga banyak menelan
korban. Penderita kanker usus juga banyak yang tewas di
tangan dokter. Begitu juga dengan bedah caesar, belum tentu semuanya
selamat. Pasien yang meninggal
setelah operasi caesar berlangsung
juga banyak, bahkan bayinya juga tidak tertolong. Apalagi dalam hal
jantung, banyak pasien yang akhirnya tidak tertolong. Mal praktek
yang dilakukan dokter banyak terjadi dimana-mana.
Bila ingat hal itu. Mbak Retno semakin
takut kehilangan suaminya. Ia takut
dokter melakukan kesalahan. Salah satu
dari tim , seperti dokter bedah atau dokter ahli anastesi yang melakukan
kekeliruan seujung jarumpun akan berakibat fatal. Operasi mengangkat ginjal sudah pasti
risikonya sangat tinggi. Taruhannya adalah nyawa.
Mbak
Rento lebih khawatir lagi bila suaminya kekurangan darah, pasti akibatnya
adalah kehilangan nyawa.
”Ya,Tuhan.
Lindungi suamiku dari kematian. Lindungi Bang Fadhil. Jangan pisahkan kami. Jangan Engkau renggut nyawanya.” Itulah doanya berkali-kali. ”Jangan biarkan ia kekurangan darah. Jangan
biarkan kami berpisah lagi.”
Airmatapun
masih berderai ketika operasi pemindahan ginjal itu berakhir dan jasad lelaki kelahiran Sumatera itu masih terbaring
lemah di atas tempat tidur yang didorong keluar dari ruang operasi. Mbak Retno mencium kening suaminya yang
terasa amat dingin. Lelaki itu masih
belum sadar. Sepasang matanya masih
tertutup rapat, wajahnya pucat dan selang infus masih melekat pada tubuh lelaki kelahiran Sumatera
itu.
Jasad lelaki yang terbaring
itu dipindahkan ke ruangan perawatan intensif.
”Bang
Fadhil,” suara itu lirih terdengar dari
celah bibir Mbak Retno. Lelaki itu masih belum mampu membuka mata dan
sekali lagi Mbak Rento mencium kening suaminya. Masih tetap dingin. Lelaki itu seakan kekurangan darah.
”Saya
disisimu, Bang Fadhil. Saya
akan selalu ada di sisimu apapun yang terjadi atas dirimu,” bisiknya perlahan dan air mata yang mengalir
dipipinya jatuh di wajah lelaki itu.
”Jangan
tinggalkan saya,Bang Fadhil. Jangan tinggalkan saya sedetikpun. Saya sangat
mencintaimu. Saya tidak mampu bertahan hidup tanpa dirimu.”
Perlahan
sekali lelaki yang pernah menjadi korban
pengeroyokan para penjahat itu membuka mata
tetapi ia masih amat lemah.
Ia masih belum mampu
berkata-kata. Tatapan matanya kosong. Wajahnya masih amat pucat, seperti orang
mati.
”Bang
Fadhil, saya di sini. Saya ada di
sisimu,” terdengar lagi suara Mbak Retno perlahan di telinga
lelaki itu.
”Retno,”
nama itu terdengar dari celah bibir
lelaki yang terbaring itu. Dada Mbak
Retno terasa plong ketika terdengar namanya
disebut lelaki itu. Ia mengucap syukur, bahwa
lelaki itu masih memiliki sisa
nafas. Lelaki itu masih hidup. Lelaki itu masih memiliki nyawa meskipun kini ginjalnya hanya tinggal satu. Satu lagi ginjalnya sudah diberikan kepada
seorang lelaki yang berstatus sebagai
mantan mertuanya.
”Saya sangat cemas pada dirimu. Saya khawatir pada dirimu.”
“Aku
baik-baik saja, Retno.”
“Syukurlah. Tuhan masih melindungi
dirimu.”
”Aku
merasa amat haus. Maukah kau memberiku
setetes air!,” pinta lelaki itu dengan
suara amat perlahan.
Mbak
Retno meraih segelas air, tetapi perawat yang masih berada di ruang itu segera mencegah.
”Jangan
berikan air minum!”
”Tapi
suami saya merasa sangat haus. Ia hanya
mohon setetes air saja!”
”Belum
waktunya untuk diberikan!”
”Aku
merasa seperti di padang pasir yang amat terik dan tidak ada air. Aku amat
haus.”
”Bersabarlah
sejenak. Sesaat lagi dokter akan mengizinkan
Bang Fadhil minum sepuasnya.
Bukankah Bang Fadhil baru saja merasakan
teriknya matahari di Padang Arafah dan kita berdua mampu bertahan dari
panas dan haus?”
Lelaki itu menghela nafas panjang. Mbak Retno amat iba melihat sepasang bibir
lelaki yang terbaring itu amat kering
dan merasakan haus yang amat sangat. Tapi begitulah setiap pasien yang baru saja menjalani operasi, pasti
merasa amat haus dan tidak diperkenankan
minum meskipun hanya setetes air hingga waktu tertentu.
”Aku
baru saja merasa terbang melayang-layang di langit biru, melewati taman-taman
yang indah dan di sana bunga-bunga aneka warna sedang mekar. Aku melihat
kupu-kupu bermain amat gembira. Akupun merasa terbang di hutan belantara dan
melihat burung-burung berbagai jenis bermain di dahan pohon. Dan akupun merasa terbang melewati padang
rumput yang amat luas dan aku melihat berbagai jenis ternak seperti kuda putih,
sapi dan banyak sekali rusa sedang makan rumput. Aku juga melihat anak-anak menggembalakan
ternaknya sambil bernyanyi.”
”Bang
Fadhil ikut bernyanyi?”
”Ya,
karena lagunya amat merdu.”
”Lagu
apa?”
”Sri
Mersing, sebuah lagu yang amat disenangi di kampung halamanku di Sumatera. Lagu itu membuatku rindu kepada tanah
kelahiranku.” Di pelupuk mata lelaki itu terbayang suasana kampung halamannya,
Kuta Galuh di kawasan Serdang Bedagai.
”Bang
Fadhil juga merasa melihat pantai yang indah?” tanya Mbak Retno dengan perasaan
lega karena suaminya sudah lancar berkata-kata.
”Ya,aku
melihat pantai yang indah sekali!”
”Bang
Fadhil melihat orang duduk-duduk di pantai?.
Bang Fadhil melihat perahu-perahu
nelayan mengembangkan layarnya menuju pulang?”
Lelaki
itu menggeleng.
”Kenapa
Bang Fadhil tidak melihat perahu nelayan pulang dari laut?. Kenapa Bang Fadhil
tidak melihat orang duduk-duduk di
pantai berpasang-pasangan?”
”Aku
melihat banyak sekali orang. Aku melihat di pantai itu sedang diadakan acara
ritual jamuan laut. Mereka , warga desa yang umumnya adalah nelayan sedang kenduri bersama memberi
sesaji di pinggir laut, berupa kambing hitam, bunga rampai dan banyak lagi
dengan harapan laut tidak menimbulkan tsunami. Mereka berharap dengan
mengadakan ritual jamuan laut, agar laut
tidak akan murka kepada para
nelayan dan bersikap ramah serta memberi hasil ikan yang banyak. Ustazpun
membaca doa di tepi laut itu.”
”Bang
Fadhil tidak merasa ada di tengah warga
yang sedang mengadakan jamuan laut itu?.”
”Ya,aku
berada di sana bersamamu dan ikut berdoa. Kita berdua duduk di samping ustaz
yang melantunkan doa.”
”Syukurlah
yang Bang Fadhil rasakan adalah sesuatu yang indah, taman
bunga, padang rumput, dan pantai yang indah.
Tidak ada hal-hal yang menakutkan. Justru saya yang merasa amat takut
dan cemas ketika Bang Fadhil menjalani operasi,” ujar Mbak Retno dan menggenggam jari tangan lelaki itu amat erat.
”Kenapa
harus cemas?. Bukankah aku
dalam keadaan sehat?. Aku tidak sakit,Retno. Aku hanya memberikan salah satu ginjalku kepada
mantan mertuaku yang memang membutuhkannya.. Tanpa ada seseorang yang mau mendonorkan
ginjalnya, ia akan segera kehilangan nyawa. Tanpa bantuan ginjalku ia akan pergi untuk
selamanya dalam waktu yang tidak lama
lagi.”
”Itulah
yang membuat saya cemas dan khawatir. Sebesar apakah rasa hormat dan cinta Bang
Fadhil kepada mertuamu?. Adakah sebesar Jabal Uhud yang pernah kita
ziarahi di Madinah?. Adakah sebesar
Jabal Rahmah atau Jabal Nur?”
”Tidak
hanya rasa cinta dan hormat kepada mertuaku,
tapi ada hal-hal lain.”
”Hal-hal
lain apa?”
”Nanti
akan kukatakan semuanya kepadamu setelah
aku merasa benar-benar kuat dan mengajakmu pulang ke Sumatera untuk
melihat kampung halaman kelahiranku.”
”Tidak bolehkah saya mendengarnya
sekarang?. Kenapa harus
menunggu sampai kita pulang ke Sumatera?.”
”Terlalu
panjang untuk mengatakannya,Retno.”
”Saya
akan mendengarnya meskipun Bang Fadhil akan mengatakan semuanya hingga esok
hari.”
Lelaki
itu menghela nafas panjang. Seorang
perawat masuk ke dalam ruangan itu dan memindahkan lelaki itu dari ruang rawat intensif ke ruang
rawat inap biasa. Lelaki kelahiran
Sumatera itu sudah sadar sepenuhnya dan sudah diperkenankan minum meskipun hanya setetes demi setetes. Bahkan lelaki
yang terbaring itu sudah mampu menggerakkan tangannya dan menyentuh jari-jemari
tangan Retno dan menggenggamnya erat sekali.
”Bang
Fadhil enggan mengatakan mengapa dengan mudah memberikan ginjalmu padahal risikonya
amat tinggi?”
Lelaki
itu diam, hanya menghela nafas panjang.
”Adakah
Bang Fadhil menerima sesuatu dari mertua sehingga rela memberikan ginjalmu padahal risikonya
amat tinggi?”
Lelaki
itu menggeleng.
”Sungguh
Bang Fadhil tidak menerima uang ratusan juta untuk harga sebuah ginjal?”
”Aku
punya harga diri,Retno. Tidak semudah
itu aku menjual salah satu organ tunbuhku. Aku punya prinsip.”
”Adakah benda berharga yang diberikan oleh mertuamu?”
”Demi
Tuhan, tidak!”
”Lalu
demi apa Bang Fadhil memberikan ginjal yang taruhannya adalah kematian?. Demi
apa yang menyentuh hati Bang Fadhil untuk menolong mertua?”
”Terus
terang, yang kuterima lebih dari uang lima milyar rupiah. Yang kuterima
lebih dari segumpal emas, lebih dari setumpuk permata zamrud atau
liontin. Sungguh tidak ternilai yang kuterima dari mertuaku.”
”Lalu
dalam bentuk apa?”
Lelaki
itu masih terbaring, tapi kekuatannya
seakan cepat pulih, karena ia memang tidak sakit, karena ia dalam keadaan
sehat ketika memberikan ginjalnya kepada
sang mertua yang seharusnya akan segera
meninggal bila tidak ada yang sudi mendonorkan ginjalnya.
”Katakanlah
terus terang, apa yang diberikan mertuamu?”
”Akidah!.
Sungguh hanya sebuah akidah. Hanya itu!. Tidak lebih dari suatu akidah!”
”Akidah?. Aku sungguh tidak mengerti!”
Mbak
Retno menatap wajah lelaki yang terbaring itu amat dalam, seperti mencari
sesuatu di bola mata lelaki itu, seperti ingin menyelami isi hatinya yang
paling dalam.
”Seperti
halnya puterinya yang pernah menjadi teman hidupku dan sebelumnya adalah non
muslimah, begitu juga dengan bapak
mertua adalah non muslim, bahkan seorang donator terkemuka untuk membiayai
misionaris mengembangkan agamanya ke pedalaman Papua. Mertuaku adalah
seorang Nasrani yang sangat fanatik
kepada agamanya.”
”Lalu
apa kaitannya dengan ginjalmu yang kini
sudah hilang dari tubuhmu dan melekat
pada tubuh mertuamu?”
”Terus
terang, ia memang ingin hidup lebih lama. Untuk bertahan hidup sehat dan
normal, ia harus memiliki ginjal yang sehat. Ia butuh donor ginjal. Dari mana
lagi ia mendapatkannya kalau tidak dari sang menantu?. Dari mana lagi ia memperoleh
ginjal kalau tidak dariku?. ”
Mbak
Retno masih menatap sepasang mata lelaki kelahiran Sumatera yang masih terbaring tapi sudah mampu berkata
lebih banyak. Seekor semut betina yang sedang mengandung sejak tadi merayap di
baju Mbak Retno masih tetap mendengar semua pembicaraan Mbak Rento dan
suaminya.
”Lalu
setelah ia sembuh dari penyakitnya ,sesudah mendapatkan donor ginjal, ia akan
terjun lagi di Papua?. Ia akan ikut
secara langsung untuk mengembangkan agamanya?” tanya Mbak Retno ingin tahu.
”Tidak!.
Tidak lagi. Justru sebaliknya.” sahut
lelaki itu dengan nada pasti.
”Ia
tidak akan menjadi donor kegiatan pengembangan agama itu?”
”Ya!.
Justru ia sudah berjanji, bahkan bersumpah, bila ia benar-benar sembuh dan hidup
normal, ia akan beralih akidah. Ia akan menjadi seorang muslim seperti puterinya
yang kunikahi dulu. Tidak hanya mertuaku
sendiri, tetapi bersama dua puteranya ia
akan menjadi pemeluk Islam. Ia dan dua
anaknya akan menjadi muslim sejati. ”
”
Alhamdulillah,” cetus Mbak Retno dan
mencium tangan suaminya. Ada rasa kesyukuran di dasar hatinya yang paling dalam.
Alex Manuputty, seorang lelaki yang selama ini dikenal sebagai penganut Nasrani
yang fanatik, lalu setelah mendapatkan donor ginjal dan hidup sehat, ia beralih
akidah, menjadi seorang muslim bersama dua anak-anaknya. Betapa tulus hati Bang
Fadhil, betapa amat besar pengorbanannya. Sebuah ginjal miliknya telah didonorkan
dengan imbalan sebuah akidah.
”Aku
memang tidak mendapatkan apapun selain
Rahmat belaka!,” ujar lelaki itu lagi polos.
”Saya
ikut bersyukur. Saya benar-benar kagum kepada Bang Fadhil. Sekarang
saya rela suamiku kehilangan salah satu
ginjalnya, tetapi sebagai imbalannya seseorang yang menerima donor ginjalmu
menjadi muslim bersama dua puteranya.
Sungguh, merupakan Rahmat yang
jatuh ke telapak tangan kita lebih besar
dari Jabal Uhud, lebih besar dari Jabal Rahmah dan lebih besar dari Jabal Nur.”
”Aku
merasa telah berbuat yang terbaik dalam hidupku!,” cetus lelaki itu dan masih menggenggam jari
tangan Mbak Retno erat-erat.
Mbak
Hajjah Retno meletakkan kepalanya di
dada lelaki kelahiran Sumatera
yang kini sudah menjadi suaminya. Hari itu, mereka telah mendapatkan Rahmat yang
tidak tenilai harganya. Daun-daun pohon mahoni yang tumbuh di halaman rumah
sakit itu bergoyang-goyang dibelai angin yang berhembus sepoi. Burung-burungpun hinggap di rantingnya dan
berkicau nyaring. Ada induk burung yang sedang mengajar anaknya terbang dari satu ranting ke ranting
yang lainnya. Di langit awan putih
berarak-arak ke arah barat. Langit biru dan sedang cerah. Tidak ada mendung.
Sepasang
manusia itu bersyukur kepada Tuhan, bahwa proses transfalasi ginjal berlangsung cepat dan tidak ada kendala
apapun, karena Bang Fadhil memang
seorang lelaki sehat dan bertubuh tegar. Seekor semut betina yang sedang
mengandung ikut bersyukur kepada Tuhan. Sesaat lagi ia akan lahir telur-telur calon koloni semut hitam hingga
50.000 atau l00.000 butir telur dalam waktu 20 hari. Semut betina yang selalu
bersembunyi di balik selendang itu benar-benar telah menjadi saksi bagi Mbak
Retno sejak dari Tanah Air menuju Tanah Suci
hingga pertemuan Mbak Retno dengan Bang Fadhil yang pernah dikabarkan
terbunuh oleh para penjahat. Juga semut itu tetap menjadi saksi setelah Mbak
Retno menjejakkan kakinya di Tanah Air. Juga menjadi saksi ketika
Bang Fadhil memberikan sebuah ginjalnya kepada mertuanya dan akhirnya
lelaki kelahiran Halmahera itu menjadi
muslim bersama dua puteranya.
Rahmat
yang amat besar telah turun ke muka bumi. Seorang pengusaha yang sukses
kelahiran Pulau Halmahera , Alex
Manuputty telah menjadi seorang muslim sejati bersama dua puteranya. Dan sejak
itu namanya bukan lagi Alex, tapi ia lebih senang dipanggil Anas. Iapun menolak ketika anak-anaknya
memanggilnya ”Papa”, tapi ia lebih senang dipanggil ”buya” biar suasana Islami lebih terasa.
***
Ayat-ayat
suci Al Qur’an terdengar dilantunkan dengan amat nyaring dari sebuah
surau yang terletak di kawasan kelas bawah tidak jauh dari pinggiran sungai.
Seekor semut betina yang selalu menyertai Mbak Retno hingga ke Tanah Suci,
tercenung ketika mendengar bahwa ayat-ayat suci yang dilantunkan orang di
kawasasan kumuh itu adalah sebagian dari surah An Naml ayat 18 yang
bermakna: ”Hingga apabila mereka sampai
di lembah semut, berkatalah seekor semut: ”Hai semut-semut, masuklah ke dalam
sarang-sarangmu ,agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya sedangkan
mereka tidak menyadarinya. Maka dia tersenyum dan tertawa karena mendengar
perkataan semut itu.”
Ribuan
semut dari berbagai jenis, ratu dan koloni, segera keluar dari sarangnya dan membentuk
barisan yang rapi ketika mendengar ayat-ayat tentang semut yang tertera dalam
Al Qur’an dibacakan manusia di sebuah acara syukuran atas rahmat Tuhan yang
turun dari langit, yakni acara
mensyahadatkan tiga orang-orang yang semula beragama Nasrani. Padahal mereka
adalah orang-orang yang terpandang di kampung halamannya di Pulau
Halmahera. Saat itu semut rangrang,
semut beledru, semut api, semut permanen, semut madu, semut
kayu, semut legiun, bahkan semut gurun, berhenti mengusung bangkai
belalang dan semua memandang ke arah sebuah surau berukuran 6 x 9 meter tetapi dipadati manusia. Bahkan tenda-tenda
yang terpasang di sekeliling surau itu
tidak mampu menampung orang-orang
yang menghadiri upacara syukuran itu.
Acara
ikrar dua kalimah syahadat itu disaksikan oleh banyak warga kawasan kelas bawah
tidak jauh dari pinggiran sungai itu, juga pemuka agama dan seorang ustaz juga berbicara menyampaikan
tausiyah dan bimbingan. Anas Manuputty
bersama kedua puteranya merasakan semua tausiyah itu meresap dalam
kalbunya. Apalagi ketika ustaz yang
berbicara itu menyampaikan tentang kemuliaan Nabi Muhammad ketika menolak tawaran
sebuah gunung emas. Tuhan telah menawarkan
kepadanya untuk mengubah
bukit-bukit di sekitar Makkah
menjadi bukit emas, tapi Rasul menolak. Rasul berkata:
”Ya,Allah,
saya lebih senang hidup zuhud, sehari kenyang dan lapar pada hari berikutnya
agar saya dapat mengingat-Mu apabila sedang lapar dan memujimu serta mensyukuri
nikmat-Mu apabila sedang kenyang”
Ucapan
Muhammad itu sungguh melekat di dasar hati warga asal Halmahera yang paling
dalam. Hatinya terasa amat sejuk. Tidak pernah lelaki yang sukses dalam niaga
itu merasakan kedamaian dan kesejukan seperti saat itu. Ia merasa amat bahagia
sebagai seorang muslim. Apalagi semua umat muslim itu bersaudara.
Sebagai
tanda bersyukur mendapatkan kedamaian dan kesejukan dalam hatinya, lelaki itu
membangun sebuah madrasah 6 lokal lengkap dengan ruang perpustakaan , ruang
sholat dan lapangan olah raga. Madrasah itu diutamakan menampung anak-anak dari
keluarga miskin, terutama yang bermukim di kawasan kelas bawah. Puluhan
anak-anak keluarga miskin di kawasan kumuh itu memang tidak sempat menikmati
pendidikan karena orang tua mereka yang pada umumnya pengamen, kuli bangunan,
atau pemulung tidak mampu membiayai pendidikan.
Itulah
sebabnya pembangunan madrasah di kawasan
itu amat disyukuri masyarakat. Puluhan anak-anak berpakaian kumuh yang
biasanya tiap hari bermain di tempat
pembuangan sampah sejak saat itu masuk kelas dan mulai belajar baca
tulis, mate-matika, menggambar, dan pendidikan seni. Juga olahraga. Anak-anak
itu hadir di kelas dengan pakaian kumuh dan sendal jepit yang mereka peroleh dari tempat pembuangan sampah. Untuk membeli sendal jepit saja orang tua
mereka tidak mampu, apalagi untuk membeli sepatu sekolah.
Siapa yang tidak ikut
bersyukur bila melihat anak-anak jalanan yang tiap hari berkeliaran di pinggir
jalan kini hadir di kelas dan belajar sholat?.
Tenaga
pengajar di madrasah itu, meskipun di dirikan di kawasan kelas bawah, tapi
mereka pada umumnya adalah berlatar belakang pendidikan Fakultas Tarbiyah.
Siapa lagi yang mencari tenaga pengajar itu kalau bukan Mbak Hajjah Retno yang
sudah amat kenal dengan kawasan itu?. Enam orang tenaga pengajar di
madrasah itu sudah cukup memadai.
Anak-anak
berpakaian dekil itu sesungguhnya adalah anak-anak yang cerdas. Mereka cepat
mengerti apa yang diajarkan para pendidiknya. Mereka cepat dapat mengenal huruf
dan mereka cepat dapat menulis. Dalam hal belajar huruf Arab juga begitu.
Mereka cepat dapat membaca aksara Arab dengan sistem Iqra’. Begitu juga dalam hal belajar sholat, semua
murid tampak antusias. Semua bersungguh-sungguh dan tidak seorangpun yang
bercanda atau bersenda gurau ketika sedang mengikuti pelajaran sholat. Mereka juga membuka telinga lebar-lebar ketika
para guru membacakan hadis tentang sholat, bahwa bangunan Islam ditegakkan di atas lima tiang,
yakni ikrar dua kalimah sahadat, sholat,
zakat, ibadah haji, dan puasa pada bulan
ramadhan. Juga ditegaskan, bahwa sebaik amalan adalah sholat.
Anak-anak itu mendengarkan amat sungguh-sungguh ketika di
depan kelas guru mereka menceritakan
tentang Rasulullah yang keluar
dari rumahnya di musim dingin, waktu daun-daun berguguran. Beliau mengambil
satu ranting dari sebatang pohon sehingga daun di ranting dari pohon itupun berguguran. Kemudian
Rsulullah bersabda kepada Abu Dzhar, bahwa sesungguhnya seorang hamba yang muslim itu jika menunaikan sholat dengan
ikhlas, maka dosa-dosanya akan
berguguran seperti gugurnya daun-daun itu dari pohonnya.
Siapa yang tidak gembira melihat kanak-kanak yang selama ini tiap hari hanya
bermain atau mengejar layang-layang putus, tapi sekarang sudah dapat
melantunkan azan?. Tiap hari murid-murid
yang belajar di madrasah yang dibangun oleh dermawan dari Halmahera itu
bertambah terus. Gurunya juga ikut bertambah. Gajinya juga bertambah.
Madrasah itu dibangun memang
pada saat yang amat tepat, sebab pada saat ini kegiatan pemuka agama
lain sedang berusaha memurtadkan sebanyak-banyaknya
anak-anak muslim dari kalangan miskin. Apalagi anak-anak muslim dari kawasan
yang tertimpa bencana, seperti yang terjadi di kawasan bencana tanah longsor yang menelan banyak korban.
Anak-anak yang kehilangan orang tuanya dibujuk oleh orang-orang tertentu untuk
tinggal di panti asuhan. Akidah anak-anak itu mulai dibelokkan selama mereka
tinggal di panti asuhan milik agama non
Islam. Siapa yang tidak sedih, anak-anak
yatim piatu yang ayah dan ibunya direnggut bencana alam lalu mereka secara
perlahan-lahan dimurtadkan?.
Tentu saja Mbak Hajjah Retno
harus bekerja keras dan dengan cara seperti seorang diplomat mendatangi panti
asuhan itu dan meminta agar anak-anak
yang dipungut dari lokasi tanah longsor itu dikembalikan ke tempat
asalnya. Pada awalnya pihak panti asuhan
itu menolak dengan alasan anak-anak
yatim itu kelak akan terlantar hidupnya.
Tapi perempuan yang baru kembali dari Tanah Suci itu menjamin pendidikan
anak-anak yatim itu dengan alasan, bahwa anak-anak yatim piatu adalah tanggung jawab
semua umat Islam, apalagi sekarang sudah ada madrasah Al Amien yang memberikan
pendidikan dengan gratis. Buku-buku jga gratis.
Tidak hanya anak-anak yang berasal dari korban bencana alam yang
dimurtadkan oleh LSM dan lembaga-lembaga
tertentu yang berorientasi non Islam , tetapi juga anak-anak jalanan yang
hidupnya terlantar. Anak-anak jalanan yang belum menyadari arti akidah secara
mendalam tentu saja akan mudah terbujuk dan menjadi penghuni
panti asuhan. Tapi syukurlah perempuan dari keturunan penjual jamu itu
bersama suaminya memiliki sepasang mata jeli sehingga
perempuan berpakaian serba putih itu harus mendatangi panti-panti asuhan
, untuk menjemput bocah-bocah yang
tersesat itu. Banyak dan amat banyak bocah-bocah yang terjebak. Bila para pemuka Islam tidak perduli,
maka kaum muslim akan kehilangan aset
generasi penerusnya . Syukurlah
kehadiran madrasah Al Amien itu benar-benar
amat peduli dengan keadaan seperti itu.
Setiap hari jum’at puluhan anak-anak para siswa
madrasah itu hadir di masjid untuk melaksanakan sholat jum’at. Dan mereka
melihat seorang lelaki kelahiran Halmahera yang baru menjadi muslim itu berada pada barisan paling depan bersama
kedua puteranya. Itulah sebagai tanda,
bahwa pengusaha asal Indonesia Timur itu benar-benar telah menjadi muslim
sejati. Juga sebagai ungkapan syukur, bahwa ia sudah hidup sehat
setelah menjalani transpalasi ginjal yang diperolehnya dari seorang lelaki
kelahiran Sumatera.
Bang Fadhil amat bersyukur, meskipun
sekarang ia hidup dengan satu ginjal, tapi ia tidak pernah merasa was-was suatu
saat akan menjadi manusia cacat atau menjadi manusia yang kurang sempurna. Ia tetap berpasrah diri kepada Tuhan. Bukankah semua datangnya dari Allah?.
Bukankah ia mendonorkan satu ginjalnya kepada Buya Anas Manuputty dengan satu iktikad yang paling mulia?. Dengan
imbalan bukan uang, bukan emas atau materi lainnya, tapi dengan imbalan lelaki
asal Halmahera itu bersedia menjadi seorang muslim. Alhamdulillah semua itu
telah terwujud.
***
Lelaki kelahiran Sumatera itu merasa sudah
banyak berbuat yang terbaik. Sudah
waktunya, setelah sekian lama meninggalkan desa kelahirannya, Kuta Galuh, kini ia merencanakan untuk pulang bersama Hajjah
Retno Ramadhani Anisa. Apalagi setelah ia menerima telepon dari ibunya.
”Pulanglah, Fadhil, anakku. Ibu
sangat merindukan dirimu. Sudah terlalu lama kamu meninggalkan ibu. Sekarang
ibu sudah sangat tua dan lemah. Sampai
hatikah kamu membiarkan ibumu uzur dan tidak berdaya?.” itulah ucapan ibunya via telepon seluler.
”Aku
memang sudah berniat untuk pulang!,” sahut lelaki itu.
”Pulanglah
secepatnya, anakku. Jangan tunggu ibu
meninggal baru kamu pulang dan kamu hanya menemukan jasad ibumu yang terbaring
tidak bernyawa lagi. Ibu sudah sangat lama merindukan kepulanganmu,anakku.”
”Aku
memang sudah berniat untuk pulang. Hanya menunggu waktu yang tepat, karena
banyak hal-hal yang harus kulakukan.”
”Tunggu
apa lagi?. Kamu menunggu setelah ibu meninggal baru pulang?”
”Bukan begitu. Kalaupun aku pulang
tidak sendiri lagi.”
”Bersama
istrimu?”
”Ya.
Sudah siapkah ibu menerima kehadiran seorang menantu yang bukan orang Melayu?”
”Dulu
memang ibu selalu berharap , bahwa seorang perempuan yang akan menjadi istrimu
adalah sesama orang Melayu!”
”Mengapa
harus Melayu?”
”Bukankah
bagi setiap orang Melayu, bahwa Islam
adalah nomor wahid?. Bukankah orang disebut Melayu kalau ia beragama Islam,
berbicara dengan bahasa Melayu dan
beradat istiadat Melayu?”
”Dalam
hal Islam ibu tidak usah meragukannya.”
”Sundakah
menantu ibu?. Betawikah?. Orang Jawakah yang akan kamu bawa pulang?. Atau orang
Banjar?’
”Pokoknya
Islam sejati. Ibadahnya tidak perlu ibu ragukan lagi. Untuk apa hanya Melayu
yang ibu inginkan tetapi tidak dapat berbuat banyak untuk hidupnya dan untuk
agamanya?.”
”Bawalah dia kemari. Biar dia
mencium tangan ibu!”
“Tidak
lama lagi aku akan menjejakkan kaki di rumah ibu. Tidak lama lagi menantu ibu
akan mencium tangan ibu. Dia akan bersujud di kaki ibu.””
“Terus
terang, banyak yang ibu inginkan darimu,anakku,” terdengar lagi suara ibunya dari seberang.
“Apa yang ibu inginkan dariku?”
”Yang jelas bukan uang, anakku. Sebab ibu masih mempunyai sandaran. Beberapa
tahun setelah kepergianmu ke Jawa, adikmu Azizah menemukan jodohnya seorang
lelaki yang boleh dikatakan lumayan hidupnya.”
“Syukurlah
kalau begitu.”
“Tiap
bulan ibu menerima uluran tangannya sehingga ibu tidak merasa sebatang kara dan
tidak akan kelaparan.”
“Lalu
apa yang ibu inginkan dari anak lelaki ibu?”
“Ibu
hanya ingin kau hadir di sisiku pada saat aku menghadapi sakratul maut. Ibu ingin menghembuskan nafas di pangkuanmu,
anakku. Ibu ingin ketika mati nanti,
ketika aku melepas nafas terakhir kamu
ada di sisi ibu dan membisikkan kalimah-kalimah zikrullah di telinga ibu.”
Kata-kata
itu amat menggugah hati lelaki yang sudah amat lama meninggalkan ibundanya,
yang sudah sangat lama berkelana di pulau Jawa hingga ke Halmahera. Sesaat ia
termenung.
“Kalau
ibu meninggal nanti, ibu berharap yang akan menjadi imam sholat jenazah adalah
kamu ,anakku. Sebab ibu tahu benar, kau adalah seorang anak lelaki yang solih,
yang doanya selalu dikabulkan Tuhan. Ibu juga berharap ketika jenazah ibu diantar ke kubur, kamu
yang mengusungnya,anakku!”
Lama
lelaki itu tertegun mendengar ucapan sang ibu di seberang laut. Betapa sudah amat lama dan jauh lelaki itu
meninggalkan ibundanya. Sekarang ibunya berbicara tentang kematian. Lelaki itu
mendadak amat terharu dan sedih.
”Kamu
dengar suara ibu,anakku?”
”Ya,
aku mendengarnya!”
”Kenapa
kamu diam saja?”
”Kata-kata ibu tentang kematian membuat
aku sedih.”
”Setiap
ibu yang sudah tua memang harus bicara tentang kematian.”
”Aku mendengarnya setiap kata yang ibu
ucapkan.”
”Ketika
jenazah ibu diturunkan ke liang lahad, ibu juga berharap kau yang menurukannya.
Kamu yang ibu harapkan mengurug lubang
lahat ibu dengan tanah.”
”Aku
akan selalu ingat kata-kata ibu.”
”Ibu
juga berharap kau yang melantunkan
talkin untuk ibu.”
”Kenapa
harus aku?. Bukankah masih ada yang
lainnya?. Bukankah masih ada Uwak Ulong Hamzah yang paling disegani di Kuta Galuh?.”
”Doa
yang paling makbul adalah doa anak yang
solih. Ibu tahu benar, hidupmu selalu lurus, jujur dan selalu menjalankan
prinsip amar ma’ruf nahi mungkar. Terus terang ibu selalu ingat,
bahwa dulu ibu selalu membacakan ayat Qur’an
surat Luqman ayat tujuh belas: ”Hai anakku. Dirikanlah sholat,
perintahkan manusia berbuat baik dan
cegahlah mereka dari perbuatan mungkar dan bersabarlah segala yang menimpamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan-urusan
yang diutamakan. Kamu ingatkah
ayat itu?”
”Ya,aku
selalu ingat hal itu.”
”Ibu
yakin benar, dalam perjalanan hidupmu di
rantau orang, kau tetap menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.”
”Ya,
aku selalu berbuat terbaik untuk diriku dan untuk orang lain. Seorang perempuan yang sekarang jadi istriku
juga seperti itu.”
”Syukurlah!”
”Tidak
lama lagi aku akan sampai di rumah ibu. Sebentar lagi istriku akan mencium
tangan ibu dan bersujud.”
”Ibu
menunggu. Terung terang yang sangat mengharapkan kepulanganmu tidak hanya ibu.”
”Siapa lagi?”
”Seorang sahabatmu.”
”Siapa?”
”Hanafi!”
Sesaat lelaki itu menekur dan
berusaha mengingat semua kawan-kawan dan sahabatnya,tapi tidak seorangpun yang bernama Hanafi.
”Rasanya aku tidak punya sahabat
bernama Hanafi!”
”Cobalah kau ingat, pasti kamu
mengenalnya.”
Beberapa saat lelaki itu
termenung, mengingat kembali semua sahabatnya ketika
masih duduk
di bangku Darul Ilmi, tidak seorangpun sahabat bernama Hanafi. Juga
ketika belajar ilmu tauhid di rumah Mualim Haji Bukhari, juga tidak seorangpun
bernama Hanafi.
”Demi
Tuhan, tidak ada sahabatku bernama Hanafi.”
”Ada!.
Mungkin kamu yang lupa!. Hanafi berkata kamu adalah sahabatnya yang paling
dekat. Pulanglah dengan segera. Sahabatmu menantimu”
Lama
lelaki itu termenung. Sudah amat lama ia meninggalkan ibunya. Lelaki itu tidak menyadari, bahwa semua
pembicaraan dengan ibunya yang tinggal di desa Kuta Galuh Perbaungan didengar
oleh seekor semut betina yang baru saja menetaskan telur-telurnya yang berjumlah
ribuan semut-semut baru yang segera berbaur dengan puluhan ribu semut-semut
lainnya untuk membentuk koloni baru.
***
Semut betina yang baru saja menetaskan
ribuan semut-semut angkatan koloni baru itu juga menyaksikan setetes demi
setetes air mata bergulir di pipi Mbak Hajjah Retno yang menjejakkan kakinya di
desa Kuta Galuh, ketika perempuan itu
mencium tangan ibu mertuanya. Semut
betina yang sudah menyaksikan seluruh perjalanan ibadah haji ke Tanah Suci,
sekali lagi memastikan dirinya untuk ikut ke Sumatera. Ingin menyaksikan apa
yang terjadi di kampung halaman Bang Fadhil.
”Selamat
datang di rumah ibu, Anisa,” ujar ibu
yang melahirkan Bang Fadhil ketika Mbak Retno mencium tangannya.
”Saya
sangat bahagia sekali dapat bertemu ibu.”
sahut Mbak Retno menyeka air mata di pipinya.
”Syukurlah
kedatanganmu ketika ibu masih hidup. Kalau kalian datang pada tahun-tahun
mendatang, mungkin ibu sudah tidak ada. Ibu merasa sudah sangat tua, sudah
sangat uzur.”
Semut
betina yang bersembunyi dalam tas sandang Mbak Retno masih sempat melihat acara
tepung tawar yang diberikan kepada Bang Fadhil dan Mbak Retno. Tepung tawar
adalah adat kebesaran orang Melayu untuk menyambut kedatangan seseorang yang
sangat dihormati, juga dilakukan orang terhadap pengantin baru, khitanan atau terhadap seseorang yang baru
saja terhindar dari bahaya maut.
Ketika
duduk dan ditepung tawari itulah Bang Fadhil
mengutarakan kepada Mbak Retno makna tepung tawar dan yang berupa semangkuk air putih, bertih,
beras putih, bunga rampai dan jeruk purut diiris-iris serta rincisan daun
kalinjuhang, daun pepulut, daun ganda rusa dan daun sedingin. Ketika itulah, ketika tepung tawar sedang
dilaksanakan, seorang shaman atau seorang dukun terkemuka di desa itu membaca
mantera untuk menjemput semangat:
”Nur
Mani nama engkau
Si
Panca Awal nama aku
Kabul
berkat aku memakai doa
Kundang
Maya Cinta Berahi
Bercinta
kau pada aku
Gila
kau pada aku
Gila
siang , gila malam
Gila
7 kali sehari
Gila
7 kali semalam
Pulanglah
ke rumah engkau
Pulanglah
ke istana engkau
Dengan
berkat La Illaha Illlallah”
Sesaat perempuan dari keluarga yang amat sederhana
itu tertegun mendengar shaman atau sejenis pawang membaca mantera itu.
”Apa
makna mantera itu?,” tanya Mbak Retno
kepada Bang Fadhil di sisinya.
”Itulah
mantera memanggil semangat. Bukankah ibuku dan semua keluarga di sini pernah
mendengar kabar, bahwa aku terbunuh di tangan penjahat dan tubuhku dibuang ke
sungai dan jadi santapan buaya?. Ternyata sekarang aku masih segar bugar. Aku
lolos dari bahaya besar, karena itu kepulanganku disambut dengan tepung
tawar dan memanggil semangat.”
”Aku
senang sekali dengan adat-adat Melayu.”
”Kukira
hanya orang Melayu yang paling kaya dengan adat istiadatnya. Yang jelas semua orang Melayu adalah Islam dan
tidak satupun adat-adat itu bertentangan dengan agama.”
”Hmmmm,”
Mbak Retno hanya bergumam dan tersenyum.
”Kamu
harus maklum ibuku memanggilmu dengan nama Anisa, bukan Retno.”
”Bukankah
nama itu adalah pemberian Bang Fadhil?”
”Kau
harus memaklumi, bahwa semua orang Melayu memberi nama anak-anaknya beraroma Melayu,
bernafaskan Islam, seperti Malik,
Hamzah, Anas, Azizi, Azmi, Zaitun,
Maimunah, Habibah, Hafsah, Hindun, Fatimah dan banyak lagi.”
”Juga
Anisa, bukan?” Mbak Retno tersenyum. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum.
”Tidak
ada orang Melayu memberi nama anak-anaknya dengan nama kebarat-baratan.”
”Seperti
Johni?. Seperti George?. Seperti Susan?. Seperti Alice?”
”Untuk
apa memberi nama Johni kalau artinya
adalah kakus. Jim artinya Negro, George maknanya adalah sungguh mati dan
Jimmi bermakna linggis. Nama adalah doa
yang melekat pada diri sang anak.”
”Saya mengerti.”
”Desa
ini sudah jauh berubah karena kemajuan jaman. Lihat saja rumah-rumah warga
sudah sangat bagus dan megah dengan cat warna-warni. Dulu di sini juga ada
sebuah istana kesultanan, tetapi ketika revolusi meletus istana itu jadi abu
karena serangan bumi hangus.”
”Dan para bangsawannya juga hidup
terpencar-pencar?”
“Ya,
bahkan tidak sedikit yang enggan mengaku
sebagai bangsawan. Buat apa jadi bangsawan
kalau memang tidak ada manfaatnya lagi. Istanapun sudah rata dengan
tanah.”
Lelaki
itu juga mengatakan, bahwa di desa itu dulu anak-anak amat senang bermain permainan
khas anak Melayu seperti bermain rimbang, congkak, main enjit-enjit semut dan
alif cendong. Sekarang anak-anak Melayu tidak lagi menyukai permainan itu.
Anak-anak Melayu sudah hanyut oleh kemajuan zaman dengan permainan di Time Zone
atau play station di komputer. Padahal permainan khas anak-anak Melayu mendidik
para anak-anak untuk cermat, pintar, teliti, mendidik agar cekatan dan selalu
berlaku jujur.
“Orang
yang paling kurindukan di desa ini
adalah Mualim Haji Bukhari. Aku ingin mengujunginya bersama Anisa.”,
cetus Bang Fadhil kepada ibunya setelah perempuan itu melepas kerinduan kepada
anak dan menantunya.
“Ia sudah meninggal lima bulan yang lalu. Ia meninggal pada usia delapan
puluh tiga.”
“Ya,Tuhan. Inna lillahi wa inna ilaihy
rojiun,” cetus lelaki itu. Kesedihan yang amat mendalam menggores relung hatinya.
Padahal ia ingin menyampaikan sekedar kurma, tasbih dan kemeja yang dibawanya
dari Tanah Suci. Ia juga ingin mengatakan, bahwa ajarannya tentang majlis
tabligh sudah ia lakukan.
”Aku
sangat merindukannya, biarlah yang kutemui hanya makamnya. Ia adalah seorang
yang amat berjasa dalam hidupku.” ujar Bang Fahdil dengan nada sedih.
Lelaki
itu ingat benar, dulu hampir tiap malam hadir di rumah Mualim Bukhari, seorang
ulama yang paling terkemuka di desa itu.
Muridnya belasan orang dan semua belajar tentang tauhid, semua belajar tentang amar
ma’ruf nahi mungkar.Lelaki itu juga mengajarkan tentang ayat-ayat Thayyibah.
Juga tentang fadhilah tabligh. Mualim itu pula yang selalu menganjurkan kepada
muridnya agar bersahabat dengan
orang-orang saleh dan menyertai majlis
mereka. Mualim itu juga mengajarkan tentang Istiqomah. Lelaki itu ingat benar,
ucapan Mualim Bukhari belasan tahun
silam, sesaat sebelum Bang Fadhil melangkahkan kakinya untuk merantau ke Jawa.
”Berhati-hatilah
memilih orang pintar untuk belajar, juga dalam hal memilih ulama. Sebab di
jaman modern ini terdapat dua jenis ulama, yakni ulama khoir, ulama yang murni dan sejati dalam menyampaikan
ayat-ayat Qur’an. Sementara ada lagi ulama suu’, yakni ulama yang tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya.
Ulama suu’ biasanya mengajarkan tentang akhlak dan sopan santun, tetapi anak isterinya memamerkan aurat. Itulah sebabnya di neraka terdapat amat
banyak ulama, padahal mereka mengajarkan ayat-ayat Qur’an.”
Bang
Fadhil masih ingat benar, ketika lelaki berjenggot putih dan seuntai tasbih
selalu ada di jari tangannya itu menceritakan
perjalanan Rasulullah ketika Isra’ Mi’raj dan oleh Allah diperlihatkan seorang
ulama mengiris-iris bibirnya sendiri dengan gunting di neraka. Tentu saja Nabi
Muhamamd Saw bertanya kepada malaikat yang menyertai perjalanan malam itu dan
malaikatpun menjelaskan, bahwa itulah ulama suu’ yang tidak mengamalkan
dakwahnya,terutama kepada keluarganya.
”Kamu
ingat ketika kita ziarah ke Jabal Nur dan
mendaki bukit itu hingga ke celah batu tempat nabi kita menerima wahyu
yang pertama kali?” tanya Bang Fadhil
kepada Mbak Retno dan suara itu didengar
oleh semut betina yang selalu menyertai perjalanan mereka hingga ke Tanah Suci,
hingga ke pedalaman Sumatera, hingga ke desa Kuta Galuh, desa kelahiran lelaki
itu.
”Ya,
aku tidak akan pernah lupa ada seorang
lelaki tergelincir di bukit itu dan terhempas di dasar bukit. Tubuhnya penuh luka dan bibirnya
bagai tersayat-sayat, persis seperti penghuni neraka yang disaksikan nabi kita ketika
Isra’ Mi’raj.” sahut Mbak Retno.
Bang
Fadhil tidak akan pernah lupa nasihat Mualim Bukhari yang menganjurkan
agar terlebih dulu memperbaiki diri
sendiri sebelum menyampaikan dakwah. Sebab hadis nabi sudah mengingatkan,
bahwa azab Tuhan lebih cepat turun kepada ulama jahat daripada
orang-orang awam yang berdosa.
***
Bila lelaki itu berjalan di antara deretan
pusara di pemakaman keluarga Melayu itu, kesedihan mulai menggurati hatinya.
Langkahnya terhenti di sisi sebuah makam.
Tangan Mbak Retno berpegang di tangan Bang Fadhil. Seekor semut betina yang
baru saja menetaskan telur-telurnya, ikut menyertai mereka dan melekat di kaki
celana Bang Fadhil.
Lihatlah,
tandanya Mualim Bukhari adalah seorang
ulama zuhud, makamnya amat sederhana, tidak disemen, tidak dipasang keramik, hanya berupa gundukan tanah dan
hanya ditandai sebuah batu sebesar kepala bayi. Sungguh mirip ribuan makam yang
ada di Baqi, yang terletak tidak jauh dari Masjid Nabawi,padahal mereka yang
terbaring di makam itu adalah keluarga Rasulullah, bahkan juga para
syuhada yang gugur di pertempuran Uhud.
Makam almarhum Mualim Bukhari selalu bersih, tidak ada satupun kecoa, tidak
ada tikus, apalagi binatang berbisa bersarang di atas gundukan tanah itu.
Di
atas makam itu Bang Fadhil menaburkan
bunga segar dan menyiramnya dengan air mawar sehingga makam itu
menyebarkan bau harum semerbak. Di sisi makam itu Bang Fadhil membacakan
doa-doa untuk Mualim Bukhari yang sudah amat banyak memberikan
bekal hidup bagi dirinya.
Berbekal
ilmu dari Mualim Bukhari, Bang Fadhil mampu menggugah hati Bu Martha yang
semula adalah penganut Nasrani yang fanatik namun akhirnya menjadi seorang
muslimah dengan nama Ummi Masyitah. Juga dengan bekal dari lelaki tua
berjenggot panjang itu Bang Fadhil mampu menggugah hati seorang lelaki bernama
Alex Manuputty yang semula adalah penyandang dana pengembangan Nasrani di Papua, hingga akhirnya lelaki itu juga
menjadi seorang muslim bersama dua anaknya meskipun Bang Fadhil harus memberikan salah satu ginjalnya.
Sekarang Bang Fadhil hanya memiliki satu ginjal, tapi ia merasa cukup sehat dan
enerjik tanpa kesulitan apapun.
Dulu lelaki tua itu selalu
mengkhawatirkan, bahwa suatu saat lagu-lagu khas Melayu seperti Jalak Lenteng,
Dayung Senandung, Makan Sirih, Sri Mersing, Gunung Banang, Burung Putih dan
Kuala Deli tidak lagi dinyanyikan orang. Khalayak akan lebih suka kepada
lagu-lagu modern. Kesenian tari juga akan mengalami nasib yang sama, tidak akan diperdulikan orang. Dan kenyataan itu memang benar. Orang ramai
kini lebih senang menikmati karaoke. Orang ramai tidak lagi menyukai kesenian
yang bernama Makyong atau Menora dan Mendu. Orang lebih suka nonton film di
tempat mewah seperti di Sinema 21. Orangpun
lebih suka berjam-jam duduk di depan layar kaca nonton sinetron yang sama sekali tidak berkualitas
Ketika
membacakan doa-doa di atas makam Mualim
Bukhari itulah air mata mengalir di pipi lelaki itu. Ia amat sedih tidak dapat
hadir ketika Mualim Bukhari meninggal dunia pada usia delapan puluh tiga tahun.
Sepanjang umurnya yang hampir satu abad itu
dihabiskan untuk mengajarkan ayar-ayat Qur’an, hadist dan ilmu tauhid, ilmu tasauf
serta amar ma’ruf nahi mungkar dan tentang fadhilah berbagai amalan.
Bang
Fadhil amat merasakan, bahwa semua ajaran almarhum Mualim Bukhari amat
bermanfaat untuk menjalani kehidupannya. Ia selalu berjalan lurus. Ia tidak
pernah menikmati rezeki yang tidak halal, bahkan yang berbau subhat, sama
sekali dijauhi oleh Bang Fadhil. Lelaki itu selalu berbuat baik kepada sesama.
Lelaki itu selalu bersikap hormat kepada orang lain yang lebih tua, apalagi
budaya Melayu amat melekat dalam kehidupannya. Setiap orang Melayu harus
menyegerakan tiga hal yang diajarkan Rasulullah, yakni menyegerakan sholat di
awal waktu, jenazah segera diantar ke kuburnya dan segera menikahkan anak
gadisnya.
Bang
Fadhil amat sedih, ketika lelaki
berjanggut panjang itu meninggal ia tidak sempat mengantarkannya ke kubur.
Selama ini dalam hatinya, ia sudah berjanji
bila suatu saat lelaki tua itu meninggal ia akan mengusung kerandanya
hingga ke pemakaman, ia juga berjanji untuk ikut serta menurunkan jenazah
lelaki zuhud itu ke liang lahatnya. Ia akan ikut menimbun liang lahatnya dengan
tanah. Ia akan ikut membaca talkin dan
doa-doa untuk lelaki yang selalu menghindari kecintaan terhadap dunia.
Sekarang
lelaki itu sudah meninggal. Bang Fadhil tidak sempat ikut serta memandikannya,
tidak ikut mensholatkannya, tidak sempat mengusung kerandanya, apalagi
menurunkan jenazahnya ke liang lahat. Padahal ketika kerandanya diusung terasa
amat ringan dan langitpun kelam agar para pengantar jenazah itu terhindar dari
panas terik. Letak tanah pemakaman itu
cukup jauh, tetapi pengantar jenazah seakan hanya melangkah beberapa langkah
saja. Tidak seorangpun yang kelelahan. Tidak seorangpun yang merasa haus. Itulah
tandanya Mualim Bukhari adalah orang yang baik dan zuhud. Bang Fadhil amat menyesal. Ia hanya dapat menitikkan air mata di makam
lelaki tua itu.
”Maafkan
saya,Mualim. Maafkan saya,” ujarnya berkali-kali di depan makam lelaki tua itu.
”Bila saya tidak hadir pada saat Mualim meninggal, bukan karena saya terlalu
mengejar isi dunia, tapi karena mengurusi umat, terutama umat yang masih bocah
yang akidahnya terancam akan dimurtadkan oleh agama lain.”
Di
depan gundukan tanah yang sudah kering itulah Bang Fadhil seakan bermunajat
kepada gurunya, bahwa ia tidak bermaksud mengejar kepentingan dunia, tetapi
justru ia sedang berjuang agar orang-orang non muslim dapat memeluk agama Islam
dan anak-anak muslim sendiri terhindar dari murtad. Seperti hal-hal yang pernah
dilakukannya, Bu Martha menjadi muslimah, kemudian Papa Alex Manuputty juga
menjadi muslim sejati bersama dua puteranya. Juga tentang telah didirikannya
madrasah enam lokal dan banyak anak-anak jalanan dibina keimanannya di sana.
Juga tentang anak-anak muslim yang sudah dimurtadkan dapat ditarik kembali.
”Maafkan
saya!. Maafkan saya!,” ucap Bang Fadhil terbata-bata dan air matanya
berderai-derai. Lelaki itu mencium gundukan tanah di depannya, hingga tanah itu basah oleh air mata Bang Fadhil.
Mbak Hajjah Retno juga tidak mampu
membendung air matanya. Ia ikut menangis. Airmata sepasang suami istri itu berderai-derai
membasahi gundukan tanah di pemakaman umum itu.
Ketika itulah, seekor
semut hitam keluar dari ujung celana panjang Bang Fadhil dan menjalar di sisi
gundukan tanah di pemakaman itu. Semut hitam yang sudah melakukan perjalanan
musyafir hingga ke Tanah Suci itu seperti ingin membangun sarang di sisi makam
itu. Dan ketika itulah ,ketika beberapa saat Bang Fadhil dan istrinya mencium
gundukan tanah di depannya, tanpa disadari, seorang lelaki berambut pirang dan
sepasang matanya biru tiba-tiba berdiri
di belakang mereka. Lalu terdengar suaranya:
”Aku
yang hadir di rumah itu ketika almarhum Mualim Bukhari meninggal. Aku yang
berada di sana dan ikut memandikannya, ikut mengkafani, ikut mensholatkannya
dan ikut mengusung kerandanya, lalu ikut menurunkan jenazah almarhum ke liang
lahatnya. Aku juga ikut
mentalkinkannya,”
Bang
Fadhil segera mengangkat keningnya yang melekat
di gundukan tanah di depannya. Ia segera menoleh ke belakang. Sesaat ia tertegun melihat seorang lelaki
asing,lelaki bule, di belakang
dirinya. Ia segera ingat lelaki itu
pernah menginap di hotel yang di kelolanya ketika masih di Halmahera. Dan lelaki
itu adalah Hollman van Nienhuys., seorang mahasiwa pascasarjana dari
Universiteit Leiden. Bang Fadhil juga ingat ketika ia selalu menemani lelaki
itu menyeberang hingga ke pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera.
Sekarang
kenapa lelaki asal Netherlands itu ada di sini?. Mengapa bule itu ada di makam ini?, pikirnya.
”Hollman
Nienhuys! . Mengapa kamu ada di makam ini?,”
Bang Fadhil menyapa lelaki
bermata biru itu lalu memeluknya.
”Jangan
panggil aku Hollman.” lelaki itu menolak.
”Lalu aku harus memanggilmu dengan nama
siapa?” Bang Fadhil terheran-heran.
”Panggil
saya dengan nama Hanafi?” sahut lelaki
berambut pirang itu
”Nama
itu adalah nama muslim, nama salah seorang dari empat imam besar Islam.”
”Aku
juga seorang muslim. Salahkah bila aku amat senang dipanggil dengan nama itu.”
”Pantas ketika ibuku menyebut nama itu, aku mengatakan
sama sekali tidak mengenal nama itu. Siapa yang memberi nama itu?” Bang Fadhil menatap wajah lelaki itu.
”Terus
terang, aku bangga dengan nama itu dan
yang memberiku nama itu adalah almarhum yang terbaring di bawah makam ini. ”
”Maksudmu
Mualim Haji Bukhari?” semakin tajam mata
Bang Fadhil menatap wajah lelaki itu. Ia tidak percaya dengan ucapan lelaki
asal Belanda itu.
”Ya,
benar. Bukankah ketika Bang Fadhil masih berada di Halmahera selalu bercerita
tentang seorang Mualim bernama Bukhari?.
Itulah orang yang pertama kucari ketika aku menjejakkan
kaki di Sumatera. Aku sangat bersyukur
mendapatkan nara sumber yang sulit dicari tandingannya di kawasan ini kecuali
almarhum Mualim Bukhari”
Panjang lebar lelaki berdarah Belanda itu
menuturkan, bahwa ia amat mengagumi dunia Melayu yang tidak pernah hilang di
bumi.
”Ada
hal-hal yang saya kagumi dalam dunia Melayu, terutama tentang falsafah
hidupnya, bahwa Adat bersendikan syaraq
dan syaraq bersendikan Kitabullah,” ujar lelaki itu setelah menuturkan
pengalamannya selama bermukim di Sumatera untuk melengkapi tesisnya tentang
kehidupan puak Melayu yang banyak mendiami pesisir Sumatera, Malaysia, Brunai
Darussalam, Singapura, hingga Thailand Selatan.
Sekarang
lelaki yang kini menjadi seorang muslim dan bernama Hanafi itu sedang
bersiap-siap untuk pulang ke negerinya di
Netherlands setelah berbulan-bulan melakukan berbagai penelitian di Sumatera.
Dalam tasnya penuh berisi amat banyak catatan. Apalagi dalam laptop yang selalu
dibawa kemana-mana, penuh berisi catatan
tentang acara tepung tawar, tentang arti
tepak sirih, tentang arti balai pulut, tentang alat-alat musik tradisional
Melayu seperti rebab, gendang, gedombak, geduk, gong, serunai ,gambang,
ceracap, kesi dan rebana. Apa lagi tentang adat istiadat perkawinan tidak
satupun yang luput dari perhatiannya. Juga tentang musik dan tari tradisional Melayu seperti Menora, Makyong, Mendu dan Bangsawan
. Dalam adat Melayu, seorang raja belum resmi dan tidak syah ditabalkan sebelum
dimainkan musik ”Nobat Raja”. Musik nobat raja dikenal sebagai super natural
power. Hal itu juga tidak luput dalam
catatan lelaki berambut pirang yang kini bernama Hanafi dan amat mengagumi
Mualim Bukhari.
Tidak
hanya itu. Berbagai jenis senjata tradisional yang selalu menjadi kebanggaan
puak Melayu pada masa dulu seperti keris
Melayu, kerambit, badik, serampang, bawar, semumu, tumbuk lada, lembing dan
serunjang juga tertulis dalam laptop milik lelaki bule itu. Bahkan makanan khas
Melayu seperti anyang pakis, botok kampung, bubur pedas, gulai terung sembam, gulai
lodeh, asinan betik dan asam glugur juga jadi catatan lelaki itu, malah lelaki itu amat menyukai makanan itu. Apalagi
tentang acara ritual seperti jamuan laut, tolak bala, tarian lukah dan mandi
berminyak.
Yang
paling penting dalam catatan bagi lelaki bule itu adalah tentang silsilah
kesultanan yang diawali dengan Tuanku
Sri Paduka Gocah Pahlawan di abad ke 17 dan menikah dengan Puteri Nang
Baluan dari kesultanan Sunggal. Menyusul Tuanku Umar Kejeruan Junjungan yang
berhasil menaklukkan kerajaan Deli, Serdang, Langkat, Batu Bara dan Asahan.
Namun Raja Siak telah berhasil membunuhnya di awal tahun l700. Kesultanan Serdang digantikan oleh Tuanku Sultan
Ainan Johan Alamsyah yang
memerintah tahun 1767-1817.
Sultan Serdang yang ketiga adalah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah yang
memerintah tahun 1817-1850 dan pada masa itu
kerajaan ini memproduksi kapal-kapal kayu dan tanaman laga puyuh menyebabkan kesultanan itu menjadi makmur.
Beberapa sultan berikutnya silih berganti memimpin kerajaan Serdang, seperti
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah, lalu digantikan Sultan Sulaiman
Syariful Alamsyah. Setelah kemerdekaan
kerajaan Serdang masih mempunyai sultan yang bernama Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar yang menjabat di tahun
1946 hingga 1960.
”Aku
hadir di sini untuk pamit kepada almarhum Mualim Bukhari yang amat besar
jasanya kepadaku. Atas segala ajaran dan petunjuknya aku akhirnya menjadi
seorang muslim. Namun yang sangat kukagumi pada dirinya adalah tentang kesederhanaannya, juga tentang
sifat zuhud pada dirinya, sifat yang
mengenyampingkan urusan dunia. Semasa hidupnya ia tetap berpakaian serba putih
dan seuntai tasbih selalu ada di tangannya. Siapa menduga, bahwa dalam diri
seorang lelaki yang amat sederhana itu ternyata dia adalah seorang bangsawan
dengan gelar Tengku.?” ujar lelaki bule
itu lagi. ”Saya amat mengaguminya karena
bertahun-tahun beliau membaur dengan orang
awam.”
”Beliau
merasa gelar itu tidak perlu dipamerkan. Ia tetap berprinsip, bahwa semua
manusia itu sama dan yang membedakan
satu dengan lainnya adalah takwanya,” sahut Bang Fadhil.
Lelaki
yang kini bernama Hanafi itu menghampiri gundukan tanah dan dibawahnya
terbaring jasad Mualim Bukhari yang dikagumi amat banyak orang. Lelaki itu sujud dan mencium gundukan tanah
dan mengucapkan kata-kata pamit.
”Saya
pulang,Mualim. Hari ini saya meninggalkan
bumi Melayu yang tidak akan terlupakan
dalam hidup saya. Suatu saat, saya akan menjejakkan kaki kembali di sini dan mungkin saya akan
menikah dengan seorang gadis Melayu.”
Sekarang
lelaki asal Belanda itu pamit untuk pulang ke negerinya dan ia meninggalkan air
mata di makam itu. Setetes demi setetes air mata lelaki bule itu bergulir
dan membasahi makam itu. Seekor
semut betina, Ummu Naubah, yang sudah
amat jauh melanglang buana sudah selesai
membuat sarangnya di sisi gundukan tanah itu.
Kalau ia mati karena usianya, ia memang amat ingin kuburnya ada di sisi
makam lelaki yang amat banyak dikagumi banyak
orang.***
Oleh-oleh
dari berhaji tahun 2001 dan Umroh 2010
---o0o---
No comments:
Post a Comment